Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 2
Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Sosial di Jepang: Sebuah Pedoman
Singkat untuk Artikel dan Buku Terbaru bagi Gaijin (Orang Asing).
Tilman Grammes
Masyarakat Jepang melihat kebelakang tentang tradisi lama dan khusus dari pendidikan kewarganegaraan yang jauh melampaui kebijakan pendidikan di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Budaya pengajaran dan pembelajaran negara Jepang oleh masyarakat telah diakui secara global (Rappleye 2007) dan Jepang sering disebut sebagai masyarakat belajar dimana tidak hanya sekolah yang dianggap sebagai komunitas kecil dari pembelajaran. Okano (2011, 183) menunjukkan bahwa “pembelajaran menjadi pusat evolusi dari apa yang sering disebut peradaban Jepang”. Namun berbeda dengan Jepang sebagai masyarakat yang unik narasi konsep ini selalu berkembang dengan banyak memaparkan apa yang dianggap unggul dari peradaban Jepang – yang pertama China dan kemudian negara barat. Dalam konteks ini pemahaman suatu tema adalah penting. Pencampuran budaya dilakukan oleh masyarakat lokal atau pribumi dari pengetahuan dan keahlian yang berasal dari luar, serta menyalurkan pengetahuan lokal untuk khalayak yang lebih luas. (Okano 2011, 183) saat ini Jepang telah menjadi masyarakat multikultural dan tengah membangun ”bangsa Jepang“ yang tidak lagi tertutup (Nishino 2010; Tsuneyoshi 2007). Oleh karena itu, dalam pendidikan perbandingan kasus di Jepang menunjukkan perbedaan perbandingan keunggulan untuk penelitian ilmu sosial (Kariya 2011, 284) dan sistem pendidikan negara-negara telah terus menerus dipantau oleh para peneliti pendidikan dari dalam maupun dari luar negeri, yang biasa disebut Gaijin (orang asing). Penjelasan berikut ini dapat berfungsi sebagai panduan untuk memperkenalkan konsep kewaranegaraan di Jepang kepada masyarakat internasional. Akhirnya tiga topik penelitian tentang pendidikan kewarganegaraan bisa disoroti lebih jauh.
1. Zhao, Yang et.al. 2011. Handbook of Asian Education. Sebuah Perspektif Budaya.
New York, London; Routledge. (Bagian II di Pendidikan Jepang, 181-316).
Sumber terbaru adalah Routledge “Handbook of Asian Education” (2011). Selain
pendidikan Jepang itu termasuk bagian yang luas pada pendidikan sinic,
pendidikan Islam, pendidikan Budha, serta pendidikan Hindu. Bagian tentang
pendidikan Jepang terdiri dari bab-bab seperti:
a. tata kelola pendidikan dan manajemen di bawah pertanyaan “ Siapa yang
menjalankan sekolah di Jepang” (Robert Aspinall),
b. kebijakan kurikulum sekolah dan sistem penilaian di Jepang (Ryuko Kubota),
c. guru dan pembelajaran di Jepang (Catherine Lewis) serta peserta didik dan
pembelajaran di Jepang (Peter Cave).
Bab tentang perubahan hubungan antara rumah dan sekolah (Ryoko Tsuneyoshi)
dan imigran dari Jepang dan mahasiswa sementara di Amerika Serikat (Yoshiko
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 3
Noyaki) menambahkan aspek pelengkap, bagian yang relevan dengan pendidikan
kewarganegaraan juga. Bagian ini dibingkai oleh Koaori H. Gambaran pendidikan
kebudayaan Okano dalam peradaban Jepang dipandang sebagai “pembelajaran
yang diadaptasi dari lingkar global” dan June A. Gordon melihat pada tantangan
dan arah masa depan pendidikan di Jepang sebagai “Sebuah sekolah Bangsa yang
Tertekuk?”
2. Parmenter, Lynne, Mizuyama, Mitsuharu, Taniguchi, Kozuya. 2008. Pendidikan
Kewarganegaraan di Jepang. Dalam: James, Arthur, Davies, Ian; Hahn, Carole, eds.
Pendidikan untuk Kewarganegaraan dan Demokrasi. Los Angeles, London, New
delhi, Singapura; sage, 205-214.
“Buku Pegangan tentang Pendidikan untuk Kewarganegaraan dan Demokrasi
(2008) masih berfungsi sebagai referensi yang sangat diperlukan. Bab tentang
pendidikan kewarganegaraan di Jepang (Parmenter, Mizuyama, Taniguchi 2008)
memberikan sebuah gambaran terstrukutur dari tempat pendidikan
kewarganegaraan dalam kurikulum ilmu sosial sebagai subjek khusus, subjek lain
serta daerah lain dari suatu kurikulum. Akhirnya, etos sekolah yang positif dan
perilaku positif untuk sekolah dan pembelajaran, yang memfasilitasi pendidikan
kewarganegaraan terdaftar sebagai poin penting dalam pendidikan
kewarganegaraan di Jepang, tetapi sedang berlangsung sebagian dari
pengecualian dari kebijakan keaksaraan yang secara bersamaan dicatat (213).
Masalah ini ditangani secara lebih rinci dalam monografi berikut:
3. Norio Ikeno, ed.2011. Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang. Forword oleh sir
Bernard Crick dan John.J. Cogan. Studi Continuum dalam Penelitian Pendidikan.
London., New York; Continuum. 194 halaman.
Kesebelas kontribusi dari isi dasar ini, yang muncul dalam studi Continuum
dalam seri penelitian pendidikan, bertujuan kepada pemirsa internasional. Buku
ditulis secara gamblang dapat direkomendasikan untuk pembaca diluar Jepang.
Semua referensi dari artikel Jepang diberikan dalam bahasa inggris dan buku
termasuk suatu daftar yang berguna. Mari kita lihat pada kontribusi secara lebih
rinci:
Kazuya Taniguchi (Tohuku University) meneliti administrasi pendidikan
kewarganegaraan di Jepang dengan melihat sejarah dari ide kewarganegaraan
Jepang dan ini diajarkan sebelum Perang Dunia II. Sekitar tahun 1872, diawal era
Meiji, Pendidikan Kewarganegaraan pertama kali diindentifikasi dimasa
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 4
pencerahan dan pembentukan konstitusi bangsa. Dalam mengidentifikasi asal-
usul dari konsep “Kewarganegaraan“ pertanyaan dari penerjemahan harus hati-
hati dibahas, konsep spesifik “Shimin“ dan “Komin“. Kesepakatan suatu artikel
dengan pengembangan konsep, osilasi antara pendidikan moral dan pendidikan
kewarganegaraan. Akhirnya, subjek baru didirikan selama Perang Dunia II,
disebut bangsa, Periode dalam pendidikan kewarganegaraan Jepang yang
merupakan titik penting bagi peringatan kebudayaan nasional dan hanya singkat
disinggung dalam volume ini.
Program studi kira-kira direvisi setiap tahun kesepuluh, membawa tentang
perubahan yang signifikan pada tahun 1958, 1977, 1989, 1998, dan 2008. Norio
Ikeno (Hiroshima University, cf Ikeno dalam edisi JSSE) berfokus pada struktur
kurikulum pendidikan kewarganegaraan pasca perang kebijakan tentang
pendidikan kewarganegaraan. Struktur kronologi artikel pasca perang kebijakan
menjadi 4 tahap;
a. periode prinsip dan kebijakan tanpa kendali (1945 – 1947),
b. pengalaman berorientasi fase ketika pengalaman anak-anak berada di inti
tujuan pendidikan (1947 – 1955),
c. sebuah pengetahuan yang berorientasi fase saat akuisisi pengetahuan dasar
adalah suatu keprihatinan yang penting (1955 – 1989),
d. dan akhirnya, kegiatan pendekatan berorientasi dengan penekanan pada
pendidikan melalui kegiatan anak-anak (1989 sampai sekarang).
Sehubungan dengan yang terakhir, penekanan bergeser dari guru memimpin
instruksi untuk mengaktifkan anak-anak untuk belajar keterampilan kerja mandiri.
Penulis menunjukkan bahwa ciri-ciri yang berat harus dipahami sebagai pusat
perhatian, lebih bertujuan menampilkan pendidikan dan hasil dari proses
perundingan pelaku pendidikan dalam bidang prakteknya. Tujuannya adalah untuk
memberikan tipologi sebagai orientasi. Oleh karena, itu fase tunggal pembangunan
lebih homogen ketimbang heterogen dalam hal konflik intenal dan waktu jeda dalam
kebijakan pendidikan. Ini merupakan perspektif studi yang dibahas dalam studi
kasus berikut.
Masao Yoshida (Bunkyo University) meneliti lahirnya paradigma pembelajaran yang
dominan untuk ilmu sosial di sekolah dasar Jepang dengan fokus pada pelajaran
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 5
budaya dan pola pengajarannya. Pendekatan ini menandai sesuatu yang diinginkan
dalam pendidikan perbandingan internasional, meskipun beberapa pelopor studi
untuk mata pelajaran yang lain di sekolah ada, misalnya studi video terkenal pada
pendidikan matematika (Kawanaka et.al.1999, 86ff; Grammes 2004). Sebuah
pendekatan model berpengaruh pada pelajaran ilmu sosial yang bertujuan
pemahaman tentang empati. Penulis mengungkapkan kronologi balik paradigma ini,
tipe orang yang dihasilkan dari perkembangannya. Temuan ini berdasarkan rencana
pelajaran ilmu sosial yang diberikan oleh guru pada pusat pelatihan, dijalankan oleh
masing-masing prefektur atau kota. Inti dari rencana pembelajaran dari unit “studi
sampah“ yang didokumentasikan. Itu menarik untuk mengamati secara berulang
dari atas ke bawah, bawah ke atas pada proses kebijakan pendidikan antara
Departemen Pendidikan, prefektur, kerjasama sekolah dengan universitas dan
individu guru; keselarasan konflik luar permukaan menjadi jelas. Ini
mengungkapkan pengaruh pembelajaran dalam mengajar budaya Jepang, sebagai
guru kelas 1 dan anggota komite penelitian pada waktu itu, Ibu Kayoko Tanaka
mengatakan: "Saya tidak terlalu tertarik untuk belajar keterampilan dan ide-ide
mengajar dari buku-buku. Saya telah belajar banyak dengan mengamati praktek
mengajar yang menyenangkan dari rekan saya dan berdiskusi dengan mereka
daripada membaca buku".
Bagian kedua membahas kurikulum kewarganegaraan di Jepang. Hirokazu Kimura
(Hiroshima University) melihat pendidikan moral sebagai tugas dari seluruh
kurikulum serta mata pelajaran sekolah yang berbeda sejak era pasca perang.
Ceritanya adalah, bahwa " program studi sejarah di Jepang setelah Perang Dunia II,
kita dapat melihat bahwa perkembangan kewarganegaraan telah berkembang
perlahan dan serius dan dicapai dengan derajat yang stabil ". Sekali lagi, gambaran
perkembangan ini mungkin sedikit selaras. Tomoyuki Kobara (Hiroshima
University) menyelidiki batasan-batasan untuk mengajar ilmu sosial dan pendidikan
kewarganegaraan pascaperang. Dia mengidentifikasi ciri-ciri yang tidak berubah
dari waktu ke waktu seperti:
- Karakter dasar ilmu sosial sebagai pendidikan kewarganegaraan,
- Ilmu sosial yang menjamin integritas tujuan
- Ilmu sosial yang menjamin konten yang komprehensif,
- Ilmu sosial yang menjamin modernitas isu.
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 6
Teori pembelajaran untuk mengembangkan perubahan kualitas sipil dari
"pemecahan masalah" hingga "mengetahui". Pada saat yang bersamaan, ini berarti
pergeseran dalam fokus dari apa yang dipahami (1955-1968) ke bagaimana itu
harus bisa dipahami (1.977-1.998). Kazuhiko Iwata (Universitas Hyogo)
menganalisis buku pelajaran untuk siswa SMP di Jepang sejak tahun 1945.
Catatannya "Persetujuan resmi telah diberikan untuk analisis buku ini". Mengacu ke
praktik khusus Jepang dalam memperkenalkan buku pelajaran. Membandingan
dengan buku dari Britain adalah sangat berani.
Kotaru Yoshimora (Tohoku Gakuin University) pendekatan pendekatan untuk
menindakan kurikulum kewarganegaraan dan menggambarkan dua proyek yang
dikembangkan untuk membahas isu-isu kontroversial di masyarakat jepang. Topik-
topik yang "Upaya untuk membuat undang-undang tentang pengumpulan sampah
"dan" Berpikir tentang bagaimana perusahaan harus menangani masalah paten".
Dalam hal kurikulum materi, lima tahap pengambilan keputusan dibedakan. Berikut
ini bagian dengan isu-isu inti dari pendidikan kewarganegaraan. Takaaki Fujiwara
(Universitas Doshisha Womens of Arts Liberal) meneliti pendidikan internasional,
pendidikan global, dan pendidikan multikultural sebagai masalah pendidikan
kewarganegaraan. Setelah gempa di Hanshin Besar pada 1995, pekerja sukarela
telah meningkat di sektor sipil, dan telah ditingkatkan pada 1998 bertindak untuk
promosi organisasi-organisasi non-profit. Anehnya, slogan "satu bangsa, satu
bahasa, satu etnis" membuktikan konsep pendidikan internasional di akhir 1990an
di Jepang menekankan nasionalisme dan esensialisme. "Jepang telah berinvestasi
lebih dalam membina warga negara dengan baik untuk mewakili bangsanya di
panggung dunia daripada mengajarkan tentang budaya asing dan hubungan
internasional. Mitsuharu Mizuyama (Kyoto University of Education) mengamati
lebih dekat pada isu pendidikan lingkungan dalam kurikulum. Pertanyaan-
pertanyaan yang ia selesaikan adalah:
a. Apakah pendidikan lingkungan yang lebih baik diberikan sebagai subjek
independen atau
sebagai tema lintas-kurikuler?
b. Jika aktivitas sipil menjadi bagian dari pendidikan lingkungan?
c. Apakah "global" lebih penting daripada "lingkungan" dalam mengkonsepkan
pada aspek kewarganegaraan ini?
Dia menyimpulkan bahwa pendidikan lingkungan cenderung politis dan ideologis
bila diajarkan sebagai isu tunggal dan / atau dalam kewarganegaraan aktif dalam
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 7
pendidikan. Kazuhiro Kusahara (Universitas Hiroshima) bertanya bagaimana
pendidikan geografis dibenarkan sebagai bagian dari kewarganegaraan pendidikan.
Menurut tiga fase reformasi pendidikan, ia mengidentifikasi tiga jenis yang berbeda
pada proses sosialisasi untuk pendidikan kewarganegaraan:
a. sosialisasi pasif (penyesuaian terhadap status quo agar dapat diterima sebagai
anggota masyarakat yang baik dengan menempatkan diri di dalam batas-batas
masyarakat);
b. sosialisasi berlawanan (kemerdekaan dari status quo, pencerahan tentang
realitas dengan memindahkan diri ke luar masyarakat); dan
c. sosialisasi aktif (menemukan relevansi dalam status quo dengan menempatkan
diri
baik di dalam maupun di luar masyarakat).
Efek dari pengajaran Geografi dapat diklasifikasikan dalam "menciptakan identitas
melalui pendidikan, "membentuk anggota masyarakat yang berusaha bersatu dalam
masyarakat dan "mendukung pluralitas melalui pendidikan," seperti membentuk
orang yang bisa membuat komitmen individu diinginkan ke lapisan masyarakat.
"Pendidikan Sejarah sebagai salah satu masalah dalam pendidikan
kewarganegaraan" yang dibahas oleh Kazuhiro Mizoguchi (Kagoshima University).
Dia berfokus pada tantangan mengajar "sejarah umum" serta pengajaran "sejarah
dalam bentuk sejarah yang komprehensif. "Yang terakhir ini dikritik sebagai"
mempromosikan belajar menghafal, kehilangan makna yang sebenarnya dari
belajar, dan cenderung ke arah indoktrinasi". Ini ambivalensi dari mengajar sejarah
global dapat berhubungan dengan pengantar Sir Bernard Crick (1929-2008), yang
pernah menjadi anggota dewan redaksi JSSE. Ia mengambil label dari sebuah
"masyarakat belajar" dari sudut pandang barat dan mengidentifikasi "diskusi
spekulatif terbuka" sebagai warganegara yang baik dalam masyarakat " tentu
dengan ada keanekaragaman nilai-nilai dan kepentingan”. Sejalan dengan itu, Crick
menekankan konsep pembelajaran Karl Popper berdasarkan pada asumsi bahwa
ilmu-ilmu sosial adalah soal pemecahan masalah, dan tidak seharusnya
menawarkan definisi singkat. Acuan lain dalam filsafat politik adalah pandangan
politik Hannah Arendt sebagai kegiatan berpikir dan penyelesaian masalah daripada
upaya untuk memberikan solusi definitif.
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 8
Bagian ketiga menyajikan penelitian tentang pendidikan kewarganegaraan di
sekolah-sekolah Jepang. Soji Katakami (Yasuda Waomen’s University) melaporkan
SD Ochanomizu yang memperkenalkan kelas yang disebut "Kewarganegaraan"
untuk menggantikan Ilmu Sosial dari kelas 3 sampai 6. Hal ini didahului dengan
kelas yang disebut "Belajar Bersama "(kelas 1 dan 2). Di sini sekali lagi, konsep
kewarganegaraan berfokus pada pengambilan keputusan. Kewarganegaraan
dimaknai sebagai suatu kemampuan untuk menilai peristiwa-peristiwa sosial dan
mencapai sebuah keputusan terhadap (it) (159), sebagai contoh “membuat sebuah
rencana untuk mengurangi sampah” (tingkat menengah); “Menggugat kembali teluk
Isahaya: bagaimana menghubungkan surat kabar dengan isu ini?”, “Merancang
sebuah tipe kendaraan baru yang dapat kita kendarai di masa depan” (tingkat 5);
“Apa skema kamu untuk berurusan dengan masalah-masalah pendewasaan
masyarakat?” (tingkat 6). Pembaca akan menghargai untuk belajar lebih tentang
kasus ini dan mendesak untuk suatu penambahan isi dengan tambahan
dokumentasi dari kurikulum yang menarik. Yoshiharu Toda (Chiba University)
melaporkan di Sekolah Shinagawa Ward, dimana suatu kurikulum asli sekolah
dikembangkan secara berbeda dari kajian pembelajaran umum yang resmi. Oleh
karena itu, dua mata pelajaran baru telah diperkenalkan di bulan April 2006, suatu
pembelajaran bahasa asing dan sebuah mata pelajaran yang disebut “Shimin-ka”. Ini
diperuntukkan bagi kurikulum dari tingkat 1-9 dengan 70 sampai 105/140 jam per
tahun. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu sosial masih diajarkan dari tingkat 3-9
dengan 70 sampai 105 jam tiap tahun. Mata pelajaran baru yang terpadu dalam
Pendidikan Moral, Kegiatan Khusus, dan periode untuk mata pelajaran terpadu.
Pendidikan yang Berorientasi pada Perbandingan Antar Budaya dalam
Permasalahan Dunia Pendidikan: Pandangan bagi Penelitian Selanjutnya.
Bidang penelitian ini akan memfokuskan pada mengajarkan kewarganegaraan dan
mempelajari budaya dan paradigma di dalam sekolah seperti halnya pada
pembelajaran informal di masyarakat. JSSE menyiapkan sebuah isu khusus dalam
topik ini (lihat call of papers JSSE 2013-4: http://www.jsse.org/info/call-for-
papers).
Ketika mengacu pada pernyataan terkini tentang seni, ada tiga pandangan untuk
perbandingan penelitian selanjutnya dalam bidang permasalahan didaktis yang
dapat didiskusikan.
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 9
1) Dokumentasi, kajian perbandingan dengan memfokuskan pada pendidikan
budaya membutuhkan sebanyak mungkin “penjelasan mendalam (thick
description)”. Penjelasan mendalam akan mencakup catatan lapangan pada
dinamika kegiatan belajar-mengajar dalam ranah mata pelajaran ilmu-ilmu
sosial, rangkaian foto beku, video interaksi dan komunikasi seperti halnya obyek
dan tanda materi yang bisa dijadikan contoh dalam proses belajar-mengajar,
khususnya catatan siswa, sumber daya digital akan menjadi pilihan tingkat
menengah dokumentasi gambar terpadu, videoclips, komentar yang multi-
perspektif. Mempelajari budaya orang Jepang dapat dipahami dengan baik untuk
komunitas profesional ini tentang mempraktikkan untuk meningkatkan kegiatan
belajar mengajar. Mata Pelajaran sebagai salah satu proses pembelajaran yang
menganalisis secara mendalam-menyeluruh di pembelajaran budaya profesional
Jepang (lembaran narasi kurikulum dan studi kasus mengenai Jepang Lewis
1995, Lewis 2004, www.jsse.org/2004/2004-1/lesson-lewis.htm; Kobara 2011
dan passages di Sato 2004). Sebuah dokumen tentang rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) di bidang ilmu-ilmu sosial, dalam kejadian, akan menjadi
titik permulaan; Fujita (2005) daftar beberapa contoh terkemuka tentang RPP
dari sejarah pasca perang. Contoh terkini diantaranya:
- Kuhn et.al. (2011) including a transcript in German Language of a Japanese
Social Studies Lesson on “Advertising in our lifes” atau
- Dobashi (2011) Documenting Lesson Plan on “Let’s Develop a Usable Good!”
in grade 7 and “Let’s Develop a New Yatsuhashi Sweet”.
2) Kerangka Umum Penafsiran. Dalam perbandingan pendidikan penelitian di
bidang mata pelajaran didaktis banyak sumbangan tidak lebih sebuah analisis
tentang tujuan kurikulum, panduan resmi, tujuan umum dan makalah tulisan
catatan pelajaran. Pertimbangan untuk mengubah pelaksanaan pendidikan yang
memiliki keterkaitan besar untuk kebijakan pendidikan, oleh karena itu,
konseptualisasi sebagai proses dari atas ke bawah (top down). Kasus di Jepang
menyarankan bahwa kebijakan pendidikan telah sukses dikendalikan dan
dikontrol oleh MEXT, Menteri Pendidikan, Budaya, Olah Raga, Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (www.mext.go.jp/english/index.htm). Narasi inti menyarankan
bahwa ini adalah interaksi kecil dengan pelaku individu atau tekanan kelompok
dalam masyarakat sipil. Apa aturan dari perbedaan guru, perkumpulan pada
ranah ini, di atas semua Asosiasi Peneliti Pendidikan Jepang untuk Ilmu-Ilmu
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 10
Sosial, JERASS ............. , atau Asosiasi Masyarakat Jepang untuk Pendidikan PKn.
Bagaimana tindakan para peneliti di universitas dan universitas menerapkan
pengaruh di sekolah tentang kebijakan pendidikan? Perbandingan Pendidikan
membutuhkan pengkoordinasian saling keterkaitan secara hati-hati dari tipologi
yang lebih umum dari “frasa” dan “konsep”, pada satu kendali, dan studi kasus
pendidikan mikro tentang langkah-langkah tunggal melalui kontradiksi dan
pertentangan pelaku reformasi pendidikan, di sisi lain. Paling mengecewakan
atas kesalahan akan diasumsikan bahwa pembaca internasional mungkin hanya
tertarik pada hasil, tanpa mendengarkan segalanya tentang pertentangan dan
proses kepemimpinan untuk mencapai hasil. Pada sisi yang berlawanan, hanya
persamaan penampakan kebudayaan terbaru dan perbedaan dan hubungan
perbandingan pendidikan dengan penelitian di bidang ilmu politik dan psikologi
lintas budaya tentang budaya politik di masyarakat sipil dan resolusi konflik. Ini
mungkin berhubungan dengan pendidikan kewarganegaraan di kondisi pasca-
tsunami Jepang tertentu (Haddad 2012). Ilmu-ilmu sosial akan lebih tertarik
pada mata pelajaran sekolah pendidikan perbandingan sensitivitas budaya
karena ini memiliki struktur paralel (doppelstructure) dari budaya dan
masyarakat sebagai topik dan sifat pendidikan interaksi. Schubert (2009, 159,
translation TG) menyatakan, pendidikan perbandingan telah “membedakan
dirinya secara lebih jelas dari pada sebelumnya sebagai disiplin pendidikan”.
Oleh karena itu, ini perlu mengambil langkah di luar ketetapan pendidikan
perbandingan pada struktur dan sistem lembaga pendidikan (hanya sering pada
cakupan birokrasi, i.e. pada hal tersebut merupakan aturan atau disumpah oleh
pembimbing, perintah, dan standar, dan lain sebagainya), pada
prestasi/pencapaian sekolah, atau proses internalisasi dan globalisasi tentang
sistem pendidikan, seperti halnya dalam cakupan pembagian pengetahuan yang
bersifat pendidikan.
3) Pendidik dan Peserta Didik sebagai Subyek dan Pelaku Reformasi Pendidikan
dalam latar Ruang Kelas dan Pendidikan Informal.
Cukup mengejutkan, penelitian pada pembelajaran akademik di Sekolah Dasar
dan Sekolah Tingi di Jepang menunjukkan besarnya batas untuk mengkaji
kurikulum, lingkungan belajar, pembelajaran dan penilaian. Ini sangat susah
untuk menemukan kajian yang kaku tentang bagaimana peserta didik belajar
mendekatkan dirinya ...” (Cave 2011, 253). Ini masih terkait dengan Rohlen
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 11
(1983) dengan “analisis yang tidak menyenangkan” miliknya. (ibid.,254) bahwa
“ilmu-ilmu sosial di Sekolah Tingi menyediakan suatu pendidikan yang padat,
termasuk ensiklopedia, dalam informasi faktual, dan memperkenalkan ide-ide
yang layak dan canggih, masih menyediakan akar yang tidak rasional dan
‘mengeluarkan siswa dari pemahaman informasi yang panjang dan pendek dalam
hal intelektual’”. (Cave 2011, 253f., citing Rohlen). Ini merupakan pengamatan
bahwa siswa “tidak diberi sedikit kesempatan untuk melakukan analisis kritis
atau mengekspresikan imajinasi baik secara lisan maupun tulisan” (ibid). Secara
umum, siswa-siswa Asia diarahkan pada pembelajaran menghafal.
Bagaimanapun juga, signifikansi dalam asumsi ini dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan telah didiskusikan secara hati-hati. Apakah gambaran ini
hanya merepresentasikan jenis lain dari “orientalisme” dalam filsafat pendidikan
barat yang akan menjadi cerminan secara menyeluruh dalam kajian pendidikan
perbandingan? (Takayama 2011; Willis, Rapple 2011). Ini merupakan catatan
bahwa sebuah peningkatan jumlah anak laki-laki tidak dapat membebaskan
dirinya dari masa puber masa remaja (Toda in Ikeno 2011, 165); lebih dari itu,
Dewan Pendidikan melaporkan bahwa saat ini anak muda tidak mempunyai
mimpi untuk masa depannya atau cita-cita ideal, seperti halnya kekurangan
standar moral yang akan menjadi dasar bagi tindakan-tindakan sosialnya atau
pertimbangan untuk hal yang baik atau buruk (ibid., 169). Jepang menghadapi
bersama peningkatan generasi muda yang tidak mengatur masa peralihan antara
sekolah dan perlahan menuju tenaga kerja. Apakah hasil pengamatan dan
penafsiran ini masih dapat diterapkan pada masyarakat jepang pasca tsunami?
Tugas ke depan adalah menghubungkan hasil penelitian ke dalam politik
informal dan sosialisasi masyarakat pada generasi muda dan guru-guru untuk
membangun budaya peneliti pendidikan kewarganegaraan. Satu contoh yang
diberikan oleh Lin, dkk. (2010) ketika mempertimbangkan masyarakat sipil
pengguna new media diantaranya anak muda berusia antara 12 dan 17 tahun di
Hongkong, Seoul, Singapura, Taipei, dan Tokyo pada Tahun 2007 (disebut
sebagai “generasi digital” yang tumbuh berkembang dengan komputer dan
internet). Contoh lain adalah studi kasus yang dilakukan oleh Damrow (2011)
yang memetakan tempat tinggal pengalaman anak-anak dan kepergian mereka
ke sekolah di dua negara yakni di Amerika dan Jepang. Kajian ini menghasilkan
konsep tentang masyarakat yang perlu dipraktekkan untuk menguji
Terjemahan |oleh: Didi, Shinta, dan Doni 12
pengalamannya di rumah, di kehidupan bertetangga, dan di sekolah sebagai
ketentuan sosial budaya yang penting.