1 PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMPERKECIL VIRUS KKN Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A. A. Pendahuluan Korupsi di Indonesia menjadi hal yang serius, sehingga pemerintah, ikhlas atau tidak mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dari namanya sepertinya mengerikan dan sekaligus menjanjikan. Mengerikan karena namanya pemberantasan, seakan-akan pasukan super power dalam segala bidang termasuk dalam bidang integritas moralnya yang tulus untuk benar-benar memberantas. Pemberantasan boleh jadi kata yang utopis, sehingga tidak mungkin terwujud zero corruption, jika memang korupsi itu bagian dari system hidup yang diciptakan oleh Allah. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang memperbaiki bangsa, ada juga yang merusak bangsa, termasuk para koruptor. Naudzubillah, kita termasuk di dalamnya atau kita kandidat yang berminat untuk korupsi. Untuk itu jugalah judul makalah ini ditulis “…memperkecil virus korupsi”, karena teori itu lebih logis dan mudah dipertanggung jawabkan. KPK saja jika ditanya, kapan korupsi bisa diberantas, saya yakin mereka tidak berani menjawabnya. Makalah dipresentasikan di Seminar Nasional Peranan Ulama dan Cendekiawan Muslim dalam Memberantas KKN di Gunung Tua, Selasa 17 Septermber 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMPERKECIL VIRUS KKN
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.
A. Pendahuluan
Korupsi di Indonesia menjadi hal yang serius, sehingga pemerintah, ikhlas
atau tidak mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dari namanya
sepertinya mengerikan dan sekaligus menjanjikan. Mengerikan karena namanya
pemberantasan, seakan-akan pasukan super power dalam segala bidang termasuk
dalam bidang integritas moralnya yang tulus untuk benar-benar memberantas.
Pemberantasan boleh jadi kata yang utopis, sehingga tidak mungkin terwujud zero
corruption, jika memang korupsi itu bagian dari system hidup yang diciptakan
oleh Allah. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang memperbaiki bangsa, ada
juga yang merusak bangsa, termasuk para koruptor. Naudzubillah, kita termasuk
di dalamnya atau kita kandidat yang berminat untuk korupsi. Untuk itu jugalah
judul makalah ini ditulis “…memperkecil virus korupsi”, karena teori itu lebih
logis dan mudah dipertanggung jawabkan. KPK saja jika ditanya, kapan korupsi
bisa diberantas, saya yakin mereka tidak berani menjawabnya.
Pada saat menggulingkan singgasana Soeharto, masing-masing kita
berteriak untuk menyelesaikan korupsi. Ternyata, banyak juga orang yang
berkomentar pasca Soeharto, korupsi malah semakin meraja lela. Walaupun
dalam banyak data korupsi, tempatnya saja yang berpindah. Kepala daerah,
banyak yang terlibat korupsi, demikian juga para pejabat dan pengusaha. Dalam
hal urusan ibadah juga orang berani korupsi. Dalam kekesalan dan kesedihan
bangsa, sebagian tokoh berkomentar. Prof. Dr. Mahfud M.D. mengatakan sudah
habis rumus dan jurus untuk memberantas korupsi yang diberlakukan di
Indonesia, tetapi tetap saja korupsi tidak terberantas. Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif
mengatakan urat malu para koruptor itu sudah putus, sehingga dalam keadaan
terpida pun mereka kelihatan tidak malu.
Makalah dipresentasikan di Seminar Nasional Peranan Ulama dan Cendekiawan Muslim dalam Memberantas KKN di Gunung Tua, Selasa 17 Septermber 2013
2
Belum selesai tugas KPK, dengan agresif panitia seminar ini
mewacanakan kerja baru, yaitu memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Jadi pemerintah, diberi “PR” oleh panitia ini untuk membentuk “Komisi
Pemberantasan Kolusi” dan “Komisi Pemberantasan Nepotisme”. Klasifikasi
tindak pidana korupsi yang dikeluarkan PBB mencakup kolusi dan nepotisme.
Sementara menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang tindak pidana
korupsi, hemat penulis, nepotisme tidak termasuk di dalamnya, tetapi kolusi
termasuk di dalamnya. Kita berharap, seminar ini memang lahir dari niat baik.
Dalam filsafat etika, tidak cukup niat baik, tetapi harus dilanjutkan kerja yang
baik pula. Kemudian diakhiri dengan akibat yang baik dari pekerjaan itu. Perlu
kita sama-sama mewaspadai para pelaku KKN yang punya niat buruk, tetapi
caranya kelihatannya baik (mangakal akali).
Sebagai bangsa, kita memiliki tanggung jawab bersama dalam
memperkecil virus KKN ini. Boleh jadi kita yang di ruangan ini belum semua
setuju KKN itu diberantas. Karena boleh saja saat ini ada di antara kita yang
diuntungkan dengan KKN, tentu ada juga yang dirugikan dengan KKN. Tapi
nurani kita yang jujur sama menilai KKN itu tidak baik. Walaupun orang masih
bisa berdebat panjang makna dari kolusi dan nepotisme. Tapi KKN dalam makna
negative itu nurani kita menyetujui untuk diberantas, walaupun akal tidak,
setidaknya akal saya mengatakan hampir mustahil memberantasnya. Yang
mungkin kita lakukan adalah memperkecil, sekecil mungkin.
Dimana posisi atau keikutsertaan para ulama dan cendekiawan dalam hal
memperkecil virus korupsi di Negara ini? hal inilah yang akan dibicarakan dalam
makalah ini. Perspektif yang digunakan sesuai dengan permintaan panitia teori
social, budaya, dan agama.
B. Istilah: Ulama dan Cendekiawan.
1. Ulama
Ulama menjadi kata yang tidak asing dalam bahasa Indonesia yang berasal
dari bahasa Arab. Ulama yang asalnya jamak dari ‘alim (orang yang berilmu). Di
3
dalam al-Qur’an ada dua bentuk jamak dari ‘alim, yaitu ulama dan ‘alimun, tetapi
istilah ulama inilah yang berhubungan dengan kepakaran ilmu.
Walaupun istilah ulama itu telah ma’lum bagi kita, apalagi bagi kalangan
ulama, tetapi kata tekstual dari ulama, hanya disebutkan dua kali di dalam al-
Qur’an. Pertama dalam Q.S. al-Syu’ara/26: 197 dan Q.S. Fatir/35: 28.
Artinya, ”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, (Q.S. al-Mumtahah/60: 4)
Dua manusia terbaik yang disebutkan di atas, dalam syariat Islam
diabadikan dalam do’a pada tahiyat akhir setiap shalat. ”alluhumma shalli ’ala
13
Muhammad wa ’ala ali Muhammad, kama shallaita ’ala Ibrahim wa ’ala ali
Ibrahim, wa barik ’ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad kama barakta ’ala
Ibrahim wa ’ala ali Ibrahim: Ya Allah beri keselamatan bagi Muhammad dan
keluarganya sebagaimana Engkau memberi keselamatan bagi Ibrahim dan
keluarganya dan berilah berkah bagi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana
Engkau berkahi Ibrahim dan keluarganya).
Kita diperintahkan untuk mengikuti Allah, Rasul, dan juga ”uli al-amri”
(Q.S. al-Nisa/4: 59). Rasul manusia pilihan Allah tentu tanpa pandang bulu
sebagai tauladan ummat, tetapi ”uli al-amri”, tidaklah semua dapat dijadikan
tauladan. Idealnya ”uli al-amri” itu adalah tauladan umat. Raja Namrut, Raja
Abraham, dan Raja Fir’aun di antara contoh yang bisa dikatagorikan ”uli al-amri”
yang tidak boleh dijadikan tauladan umat.
Selain itu, orang tua juga idealnya adalah tauladan umat. Untuk itu,
sebagai anak kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka (Q.S.
al-Isra/17: 23). Seandainya mereka itu mengajak kita kepada kemusyrikan, kita
tidak boleh mengikutinya, tetapi tetap harus memperlakukan mereka secara baik
(Q.S. Luqman/31: 15). Tidaklah semua orang tua bisa dijadikan sebagai tauladan,
di antara contohnya bapaknya Nabi Ibrahim seorang yang paganis dan istri Nabi
Luth juga seorang yang inkar terhadap kebenaran Allah.
Ada pepatah mengatakan, ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Artinya, guru idealnya sebagai tauladan umat. Di zaman modern ini menurut Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf hanya dipandang sebagai petugas negara atau
swasta yang mendapat gaji tanpa memiliki tanggung jawab moral, padahal mereka
itu semestinya tauladan yang harus ditiru. Dalam pengalaman penulis, guru
tauladan itu susah dicari di zaman hegemoni terhadap budaya benda sekarang ini.
Masih sering ditemukan para guru termasuk dalam makna ini dosen yang bukan
”penutur ilmu” yang baik. Di antara ”penutur ilmu” yang baik itu tidak jarang
ditemukan mereka bukan pelaku yang baik terhadap ilmu mereka. Dalam
pengertian ini jugalah barangkali yang disinyalir oleh al-Qur’an ”kabur maqtan”.
Di atas kertas, di depan kelas, di atas mimbar atau podium, di dalam forum ilmiah
14
mereka itu sepertinya ”calon penghuni surga potensial”. Realitasnya, tidak jarang
di antara mereka itu sekedar ”aktor” yang memerankan skenario profesinya.
Keteladanan berarti kesediaan setiap orang untuk menjadi contoh dari
sebuah perilaku. Perlihatkanlah kebaikan itu bukan sekedar kata-kata. Mulai dari
hal yang sepele, seperti mengambil air minum untuk teman Anda sebagai bukti
keperdulian Anda terhadapnya.
Memberi Contoh
Metode qudwah itu adalah sebagai contoh, sementara dharb al-mitsal
adalah memberi contoh dalam mengajarkan karakter itu. Disinilah kita perlu
contoh-contoh empirik. Rasulullah Saw. dan khulafa al-Rasyidin di dalam Islam
adalah contoh terbaik dari segala hal. Tapi kita juga harus tahu bahwa kata
Quraish Shihab, tidak semua boleh dicontoh dari Rasulullah Saw., contoh tidak
boleh mengikuti beliau dalam hal memiliki istri lebih dari empat. Bukan untuk
dicontoh Rasulullah Saw. disusui oleh orang lain, jika sang ibu masih bisa
menyusui. Bukanlah contoh tauladan untuk menikahi wanita yang lebih tua,
seperti beliau menikahi Khadijah diumur 40 tahun sementara beliau berumur 25
tahun.
Sangat tidak salah kita memberikan contoh dari Rasulullah Saw. dan
Khulafa al-Rasyidin maupun para sahabat ataupun tabi’in yang tergolong dalam
salah al-shaleh. Itu contoh yang jauh, hendaknya para penutur, pelatih, pengajar,
dan pendidik karakter dapat memberi contoh terdekat. Sangat lebih baik menurut
penulis memberi contoh orang yang masih hidup dan yang lebih dekat dengan
orang yang diceramahi. Sering orang menggunakan, ”Lihatlah Bapakmu, ia
sungguh rajin bermasyarakat”, ”contohlah abangmu rajin belajar”. Untuk itu, kita
memerlukan ”guru kehidupan”. Kita membutuhkan contoh manusia yang
termawan, contoh manusia yang ramah, contoh manusia yang rajin belajar, contoh
manusia yang sopan, contoh manusia yang patriot, contoh manusia yang senang
menolong orang lain, contoh manusia yang toleran terhadap perbedaan, contoh
manusia yang setia dalam berkawan, dan contoh-contoh guru kehidupan lainnya.
Jika mereka itu adalah ada di sekitar kita, maka dengan mudah kita memberi
contoh kepada subyek didik kita.
15
Penulis berikan contoh dari olah rasa dalam hal toleransi dari dua mantan
murid Profesor Emeritus Mahmud Yunus, yaitu K.H. Imam Zarkasyi dan Ali
Hasyim yang ditulis dalam buku K.H. Imam Zarkasyi di Mata Umat.
K.H. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor dan Ali Hasyim,
mantan Gubernur Aceh tahun 1957-1964 sering diundang oleh MUI pusat dalam
Rakernas atau Munas. Mungkin karena kedua tokoh ini pernah berteman lama di
Padang, maka mereka sering ditempatkan panitia dalam satu kamar di sebuah
hotel. Dalam kamar hotel ber-AC, kedua tokoh ini pernah menginap bersama
dalam acara Rakernas MUI. K.H. Imam Zarkasyi punya penyakit tidak tahan
dengan suhu dingin, sedangkan Ali Hasyim, punya penyakit tidak tahan dengan
suhu panas.
Apa yang terjadi, K.H. Imam Zarkasyi minta AC dihidupkan, sementara ia
bisa tidur dengan berselimut tebal. Ali Hasyim minta AC dimatikan, ia bisa tidur
dengan menggunakan piyam, untuk mengurangi rasa panas. Permohonan untuk
mengalah K.H. Imam Zarkasyi dikabulkan, mungkin alasannya karena beliau
lebih tua dari Ali Hasyimi 4 tahun. Kedua tokoh ini tidur dalam kamar full AC.
Begitu K.H. Imam Zarkasyi tertidur pulas, AC dimatikan oleh Ali Hasyimi. Di
tengah malam, K.H. Imam Zarkasyi terbangun mungkin karena ingin ke kamar
mandi, beliau melihat AC mati, ia hidupkan kembali. Begitu K.H. Imam Zarkasyi
tidur pulas kembali, Ali Hasyim mematikan AC lagi. Begitu berulang berkali-kali
sampai pagi menurut penuturan Ali Hasyimi. Sungguh mereka memerankan
dengan baik sikap tolerans dan mengalah untuk kebahagiaan kawan. Malu kita
yang sering memerankan sikap ingin menang sendiri, tanpa perduli saudara kita
menderita.
1. Cerita
Metode cerita disini diupayakan berupa fakta bukan fiksi. Kisah nyata akan
memiliki nilai ilmiah selain nilai edukatifnya. Kemudian, jika berupa fiksi, maka
kita sebaiknya menyampaikan bahwa ini hanya ilustrasi dan media untuk
menyampaikan kebaikan dan bukan yang sesungguhnya. Pada metode ini banyak
diperankan oleh media elektronik berupa film dan sinetron. Gaya hidup anak-anak
sangat mudah dipengaruhi oleh tontonan-tontonan. Prof. Dr. Sofyan Siregar
16
menyebutkan pentingnya umat Islam memiliki media internasional untuk
mengimbangi media yang Barat. Media bisa menyajikan kebenaran sekaligus
menyajikan keburukan. Sekarang ini, metode ceramah para da’i sudah mulai
mengadopsi metode ceramah. Sebelum ia ceramah, ia tampilkan tayangan-
tayangan agar menarik dilihat dan mudah diingat.
Karena peran media itu sangat besar, maka metode kisah melalui cerita
lewat ceramah perlu di up grade dengan visualisasi yang menarik. Jadi menguasai
komputer sekarang ini bisa jadi naik status ”hukumnya” menjadi fard kifayah.
Otak menangkap enam hal, yaitu apa yang dilihat, apa yang didengar, apa
yang dikecap, apa yang disentuh, apa yang dicium, dan apa yang dilakukan.
Confucius mengatakan, ”What I hear, I forget. What I see, I remember. What I do,
I understand”. Dengan nada yang hampir sama, Mel Siberman mengatakan, ”Apa
yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit.
Apa yang saya dengar, saya lihat, dan saya tanyakan atau diskusikan dengan
beberapa orang, saya mulai paham. Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan
lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarkan
pada orang lain, saya kuasai.
Teori simulasi praktek di atas mengajarkan bahwa membangun karakter
membutuhkan teori dan praktek. Kita lebih mudah memahami hal-hal yang sudah
dipraktekkan. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman boleh jadi setara dengan
apa yang disebut dengan haqqu al-yaqin. Pengetahuan yang berasal dari
penglihatan boleh jadi setara dengan ’ain al-yaqin. Sementara pengetahuan yang
berasal dari pendengaran boleh jadi setara dengan ’ilm al-yaqin. Mengajarkan
yang sudah diamalkan lebih mudah dikuasai oleh otak.
Kebiasaan
Metode kebiasaan ini lebih tepat disebut dengan pembiasaan. The custom
makes something easy (kebiasaan membuat sesuatu menjadi mudah). Terkadang
orang mengatakan, kenapa seseorang malam melaksanakan shalat, padahal berapa
menit kah dibutuhkan untuk melaksanakan shalat? Bukan persoalan waktu, tetapi
persoalan kebiasaan. Kebiasaan itu membuat sesuatu ringan. Kita patut iri melihat
orang yang sudah terbiasa shalat berjama’ah lima waktu. Terbiasa puasa senin-
17
kamis seperti yang dilakukan oleh B.J. Habibie atau puasa Nabi Daud, seperti
yang dilakukan oleh Amien Rais. Kita juga patut iri melihat ada orang yang sudah
terbiasa setiap datangnya hari Qur’an, ia minimal berkurban 1 ekor kambing. Kita
patut belajar kepada orang yang sudah terbiasa dengan senang hati mau menolong
orang.
Ada kisah seorang ustadz dikisahkan sangat dermawan. Jika ada orang
kesusahan meminta bantuan materil darinya, maka jarang orang itu pulang dengan
tangan kosong. Jika seseorang meminjam (utang) uang, ia tidak pernah bertanya
kapan dipulangkan. Tetapi jika seseorang berjanji, ia tidak tepati, maka
dikemudian hari datang kembali meminta pertolongan, maka ustadz tidak akan
membantunya lagi. Sungguh pantas kita iri melihat orang kaya yang ringan
membatu kesusahan orang lain. Itu semua menjadi ringan dilakukan karena
kebiasaan. Proses membiasakannya itu memang membutuhkan latihan yang ada
kalanya lama. Mohon maaf, penulis dulu sering ditegor oleh saudara sendiri agar
minum dengan tangan kiri. Saya malu dan memulai untuk membiasakan jika
minum dengan tangan kanan. Sepertinya ada 3 bulan baru berhasil. Orang Jepang
saja mendidik anak TK untuk membuang sampah ke tempat yang disediakan
membutuhkan waktu 6 bulan.
Ada yang mirip dengan metode ini, yaitu Repeat power adalah mengulang
kata, kalimat, atau sifat atau niali positif yang ingin dibangun. Para pemimpin
muda Jepang, biasanya detraining di Kuil-Kuil Shinto. Para instruktur
mewajibkan mereka mengucapkan kata, “Saya Juara” seratus kali dalam sehari.
Hasilnya dirasakan hebat, sehingga Jepang memiliki perusahan-perusahan hebat
dan besar di tingkat dunia.
Ibadah shalat adalah bagian dari repeat power. Mari kita menghitung kata
“allahu akbar dalam shalat yang empat rakaat. Takbiratul ihram, do’a iftitah bagi
yang membaca, takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir
sujud, takbir I’tidal untuk rakaat kedua (7x). Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir
sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir tahiyat awal, takbir
I’tidal untuk rakaat kedua (6x).Rakaat ketiga: Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir
sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir I’tidal untuk rakaat