PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL DI DAERAH PASCA KONFLIK (Studi Multisitus Integrasi Nilai Multikultural dalam Pembelajaran PAI di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso Sulawesi Tengah) DISERTASI OLEH: SAEPUDIN MASHURI NPM. 21603011015 PROGRAM DOKTOR PRODI PAI MULTIKULTURAL PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2020
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ii
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
DI DAERAH PASCA KONFLIK (Studi Multisitus Integrasi Nilai Multikultural dalam Pembelajaran PAI
di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso Sulawesi Tengah)
DISERTASI
OLEH:
SAEPUDIN MASHURI
NPM. 21603011015
PROGRAM DOKTOR PRODI PAI MULTIKULTURAL
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
ii
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
DI DAERAH PASCA KONFLIK (Studi Multisitus Integrasi Nilai Multikultural dalam Pembelajaran PAI
di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso Sulawesi Tengah)
DISERTASI
OLEH:
SAEPUDIN MASHURI
NPM. 21603011015
PROGRAM DOKTOR PRODI PAI MULTIKULTURAL
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
i
Abstrak
Mashuri, Saepudin. Pendidikan Agama Islam Multikultural di Daerah Pasca
Konflik (Studi Multisitus Integrasi Nilai Multikultural dalam
Pembelajaran PAI di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso Sulawesi Tengah).
Disertasi. Program Studi PAI Multikultural, Program Pascasarjana
Univesitas Islam Malang, 2020. Promotor: Prof. Dr. H.M. Djunaidi
Ghony, MA dan Co-Promotor: Dr. H. Hasan Busri, M.Pd
Kata Kunci: Integrasi, Nilai Multikultural, Pembelajaran PAI, Perdamaian
Umat Beragama, Sekolah Pasca Konflik
Integrasi nilai multikultural dalam pembelajaran PAI di SMKN 1 dan
SMAN 3 Poso berlangsung pada setting sosial warga sekolah dan masyarakat
pasca konflik yang sedang membangun perdamaian umat beragama. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan proses integrasi nilai multikultural dalam
pembelajaran PAI dan kontribusinya membangun perdamaian umat beragama di
sekolah dan daerah Poso.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif jenis multisitus dengan
pendekatan studi kasus di dua sekolah yang memiliki karakteristik umum yang
sama. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipan, wawancara
mendalam dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan the intractive
analysis pada analisis situs tunggal dan the comparative constant analysis untuk
temuan lintas situs.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai multikultural yang
diintegrasikan dalam pembelajaran PAI di kedua sekolah adalah kontekstual
dengan realitas keragaman peserta didik, masyarakat dan upaya membangun
perdamaian umat beragama di daerah Poso pasca konflik. Nilai multikultural yang
diintegrasikan bersifat universal, meliputi: saling memaafkan, kasih sayang, saling
menghormati, kepedulian, toleransi, kebersamaan dan perdamaian.
Proses integrasi nilai multikultural dalam pembelajaran PAI dilakukan
melalui empat pendekatan, yaitu: formal-tekstual, sosial-kontekstual, kontributif-
kultural dan aditif-tematik. Sedangkan bentuk integrasinya terdiri dari: normatif,
interpersonal, sosial dan budaya lokal.
Pada pembelajaran, guru melaksanakan tiga tahap kegiatan, yaitu: desain,
pelaksanaan dan penilaian hasil belajar. Guru mendesain pembelajaran berbasis
realitas keragaman peserta didik, memetakan materi dan merencanakan komponen
dalam perspektif multikultural. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai setting
sosial sekolah, mengorientasikan tujuan untuk membangun perdamaian,
menyajikan materi dengan pendekatan, metode, media dan sumber belajar
bercorak multikultural. Guru menilai pemahaman dan sikap beragama peserta
didik dalam kehidupan sosial lintas agama di sekolah.
Pembelajaran PAI perspektif multikultural di kedua sekolah pasca konflik berkontribusi pada tiga dimensi kehidupan, yaitu: menangkal paham radikalisme,
perdamaian peserta didik dan umat beragama. Membangun perdamaian di sekolah
dan daerah Poso pasca konflik merupakan upaya strategis menjaga keutuhan
bangsa Indonesia dari disintegrasi karena faktor perbedaan agama.
ii
Abstract
Mashuri, Saepudin. Multicultural Islamic Education in Post-Conflict Areas
(Multi-Sites Study of Multicultural Values Integration in Islamic Education
Learning at SMKN 1 and SMAN 3 Poso, Central Sulawesi). Dissertation.
Multicultural Islamic Education Study Program, Islamic University of
Malang. Postgraduate Program, 2020. Promotor: Prof. Dr. H.M. Djunaidi
Ghony, MA and Co-Promotor: Dr. H. Hasan Busri, M.Pd
The integration of multicultural values in Islamic Education learning at
SMKN 1 and SMAN 3 Poso takes place in the social settings of school members
and post-conflict communities that are constructing religious peace. This study
aims to reveal the process of integrating multicultural values in Islamic Education
learning and its contribution to religious peace construction especially at those
schools and generally in Poso.
This study employed qualitative method, multisite study with a case study
approach in two schools sharing common characteristics. Data collection
techniques, namely participatory observation, in-depth interviews and
documentation. Data analysis was performed using the interactive analysis on a
single site and the comparative constant analysis for cross-site findings.
The results of this study indicate that the multicultural values integrated into
Islamic education learning in both schools are contextual with the reality of the
diversity of students, society and efforts to build religious peace in Poso.
Multicultural values that are integrated are universal, i.e. mutual forgiveness,
compassion, mutual respect, care, tolerance, togetherness and peace.
The process of integrating multicultural values in Islamic Education
learning is carried out through four approaches, namely: formal-textual, social-
contextual, cultural-contributive and additive-thematic. In addition, the form of
integration consists of normative, interpersonal, social and local culture.
In instructional process, the teacher carries out three stages of activity,
namely: design, implementation and assessment of learning outcomes. The
teacher designs learning based on the reality of the diversity of students, maps
material and plans components in a multicultural perspective. The teacher carries
out learning according to the school's social setting, orientates goals to build
peace, presents material with multicultural approaches, methods, media and
learning resources. Eventually, the teacher assesses the understanding and
religious attitudes of students in interfaith social life at school.
Learning Islamic education from a multicultural perspective in the two post-
conflict schools contributes to three dimensions of life, namely radicalism
prevention, the peace of students and religious communities. Building peace in the post-conflict Poso area is a strategic effort to protect Indonesia from disintegration
due to religious differences.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini, peneliti menguraikan setting sosial yang menggambarkan
latar pemikiran dan orientasi penelitian ini sehingga penting dilaksanakan di
daerah pasca konflik Poso Sulawesi Tengah. Secara sistematis, pembahasan bab
ini menguraikan unsur-unsur mendasar dalam sebuah penelitian ilmiah, meliputi:
konteks penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
orisinalitas penelitian dan penegasan istilah judul penelitian.
A. Konteks Penelitian
Pluralitas kehidupan masyarakat Poso secara sosiologis telah terbangun
sejak era sebelum konflik. Walaupun masyarakat Poso berbeda daerah, etnis,
agama, budaya, kondisi ekonomi dan afiliasi politik, tetapi mereka mampu
hidup berdampingan secara damai dalam rentang waktu yang sangat lama.
Dalam satu rumpun keluarga sering terjadi anggotanya menganut
agama yang berbeda, yaitu Islam dan Kristen. Mereka hidup rukun dengan
memegang teguh falsafah kearifan lokal Poso, yaitu „sintuwo maroso‟1 yang
mengajarkan hidup bersama dalam perbedaan.
Namun, harmoni kehidupan antarumat Islam dan Kristen yang telah
terbangun dalam waktu yang lama tersebut mengalami disharmoni akibat
persaingan kehidupan sosial yang semakin tajam. Persaingan dalam bidang
ekonomi dan politik antara komunitas pendatang yang mayoritas beragama
1 Sintuwo Maroso berasal dari dua suku kata dalam bahasa suku Bare`e, yaitu suku asli
penduduk Poso. Sintuwo Maroso berarti bahagia bersama kita kuat. W1/S1/Kepsek/PO/28-3-19.
2
Islam dan umat Kristen sebagai penduduk asli menimbulkan dampak yang
kurang menguntungkan pada kehidupan sosial masyarakat Poso sebelum
terjadinya konflik.
Dari penjelasan informan, peneliti dapat mengungkapkan bahwa
dominasi sektor ekonomi seperti: perkebunan, perdagangan dan pertokoan
menimbulkan ketimpangan yang menjolok antara komunitas pendatang (Islam)
dan pribumi (Kristen). Terlebih, pada era orde baru, banyak posisi strategis di
birokrasi pemerintahan dikuasai oleh umat Islam dalam durasi waktu yang
cukup lama. Kondisi ini berdampak pada kehidupan kedua umat beragama
semakin tidak harmonis dalam persaingan politik, khususnya perebutan
jabatan-jabatan strategis yang menjadi akar penyebab pecahnya konflik
antarumat Islam dan Kristen.2
Persaingan dan perebutan jabatan politik yang semakin „tidak sehat‟
menjadikan para tokoh politik menggunakan isu agama sehingga memantik
konflik horizontal antarumat Islam dan Kristen semakin membara. Sikap
intoleransi antara kedua umat beragama, tidak hanya pada kekerasan fisik
bersenjata, tetapi juga pada aksi saling membakar simbol keagamaan seperti
kitab suci dan rumah ibadah yang sangat dihormati oleh setiap umat beragama.
Konflik kemanusiaan berlatar politik yang disulut oleh isu agama,
kemudian diikuti dengan aksi pembunuhan yang keji telah menghancurkan
nilai kamanusiaan dan harta benda yang masih dirasakan dampaknya sampai
2 Ibrahim Ismail, W25/S7.1/TAM/PO/15-12-18.
3
saat ini.3 Pada saat di lokasi, peneliti dengan mudah menemukan sisa-sisa
peningggalan konflik, seperti: rumah, masjid dan gereja di sekitar daerah Poso
yang pernah dibakar dan belum direnovasi sampai sekarang.4
Konflik kemanusiaan antarumat Islam dan Kristen menjadi pengalaman
buruk bagi masyarakat Poso dalam merawat perdamaian umat beragama sesuai
kearifan lokal „sintuwo maroso‟ dan falsafah kebhinekaan yang menjunjung
tinggi perbedaan agama dan budaya seluruh warga Negara Indonesia.
Dalam konteks lembaga pendidikan, pada era sebelum konflik, warga
SMKN 1 dan SMAN 3 Poso berada di tengah umat Islam dan Kristen yang
sama-sama tinggal dan menjalani kehidupan sosial secara damai. Bahkan,
sebelum konflik, umat Islam di SMKN 1 Poso menjadi kelompok mayoritas
dengan berbagai kegiatan keagamaan yang mewarnai kultur sekolah.5
Umat Islam di SMKN 1 Poso mampu membangun masjid yang
digunakan sebagai tempat pelaksanaan sholat lima waktu dan sholat Jum‟at
bersama masyarakat di sekitar sekolah. Mereka dominan sebagai pendatang
transmigrasi dari etnis Jawa dan Lombok yang berwirausaha di Kota Poso. Di
wilayah sekitar sekolah ini, dulunya terdapat 4 buah masjid. Namun, semua
masjid dan rumah umat Islam turut dibakar pada saat terjadinya konflik.
Demikian pula masyarakat Islam dan Kristen yang mengitari SMAN 3
Poso mampu hidup bersama secara damai. Kondisi tersebut berdampak pada
meningkatnya jumlah guru, staf dan peserta didik yang beragama Kristen di
sekolah ini. Tahun 1998 menjelang pecahnya konflik Poso, kepala sekolah
3 Lukito, W26/S7.2/TAM/PO/13-12-18.
4 O19/Sosial/SMA/8-1-19.
5 Abdul Kadir, W4/S4/GPAI.1/SMK/20-2-19.
4
SMAN 3 Poso berasal dari umat Kristen, yaitu bapak Yohanes Sampetana.6
Namun, harmoni kehidupan antarumat Islam dan Kristen pada segala lini
kehidupan yang dibangun dalam waktu yang sangat lama hancur akibat konflik
bernuansa agama.
Pada pelaksanaan pembelajaran PAI di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso, di
era sebelum konflik lebih bersifat normatif daripada aktualisasinya dalam
konteks membangun kehidupan lintas agama yang toleran, peduli dan damai.
Integrasi nilai multikultural lebih banyak berlangsung dalam pembelajaran
formal-tekstual di kelas sehingga nilai-nilai ajaran Islam rahmatul lil ‘alamin
kurang membumi untuk merawat perbedaan umat beragama.
Guru kurang memfungsikan informal-kontekstual di luar kelas seperti:
ekstra kurikuler, keagamaan, kerja sosial dan kemanusiaan antarumat beragama
dalam kehidupan nyata. Realitas ini dijelaskan informan berikut: “saya jujur
saja, dulu tujuan PAI dominan pada peningkatan keimanan dan ketakwaan
siswa. Pembelajaran lebih fokus pada penyajian materi di kelas dan ibadah.”7
Di samping itu, guru-guru PAI sebelum konflik tidak pernah mengikuti
kegiatan workshop interfidei yang terkait dengan membangun perdamaian
antarumat beragama. Kondisi tersebut diungkapkan informan berikut: “dulu
kami aman pak, maka tidak ada LSM yang melaksanakan kegiatan interfidei.
Sehingga kami tidak punya wawasan tentang pembelajaran PAI berwawasan
multikultural.”8 Kondisi ini menjadikan fungsi Islam sebagai ajaran moral
6 Suhariono, W13/S1/Kepsek/PO/10-4-19.
7 Abdul Kadir, W4/S4/GPAI.1/PO/15-2-19.
8 Suardi, W16/S4/GPAI.1/PO/20-2-19.
5
untuk membangun perdamaian antarumat beragama kurang mendapat porsi
secara fungsional pada era sebelum konflik.
Pasca konflik, guru di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso mengintegrasikan
nilai multikultural dalam pembelajaran PAI yang kontekstual dengan upaya
membangun perdamaian antarumat beragama. Misalnya: nilai toleransi, saling
menghormati, saling menyayangi, peduli, moderat dan damai pada umat agama
lain agar tidak mudah terjadi konflik bernuansa agama seperti di masa lalu.
Melalui tema-tema persaudaraan non muslim, dialog umat beragama,
nasionalisme, deradikalisme dan bahaya terorisme, guru menyemaikan nilai
perdamaian kepada peserta didik, baik dalam pembelajaran di kelas maupun
kegiatan keagamaan di sekolah.
Melalui kegiatan ekstra kurikuler, keagamaan, kerja sosial dan amal
kemanusiaan, guru mengintegrasikan nilai multikultural yang berkaitan dengan
sikap saling menghormati segala perbedaan, tema-tema perdamaian, paham
nasionalisme dan kearifan lokal masyarakat Poso, yaitu „sintuwo maroso‟ yang
mengajarkan hidup bersama secara damai dalam perbedaan. Kearifan lokal ini
sejalan dengan normativitas Islam, falsafah Pancasila dan upaya membangun
perdamaian umat beragama di Poso pasca konflik.
Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti dapat menjelaskan
bahwa saat ini pembelajaran PAI multikultural di SMKN 1 dan SMAN 3 Poso
memberikan dampak signifikan dalam membangun perdamaian umat Islam dan
Kristen pasca konflik. Kontribusi tersebut tergambar pada pemahaman dan
sikap beragama peserta didik yang moderat, kesetaraan dalam beribadah,
6
kebersamaan dalam ekstra kurikuler, kerja sosial dan kemanusiaan di sekolah
dan masyarakat.9
Kebersamaan peserta didik Islam dan Kristen di sekolah berlangsung
secara damai. Melalui unit OSIS, PMR, rohis, kegiatan kemping lintas agama,
porseni dan paskibraka, mereka saling berintegrasi membangun kebersamaan
dan melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah, aksi sosial dan amal kemanusiaan,
baik bagi warga sekolah ataupun masyarakat.10
Dalam kehidupan sosial, peneliti menyaksikan peserta didik Kristen dan
Islam saling membaur, saling bergandeng tangan dan makan bersama di
warung sekolah tanpa melihat perbedaan agama di antara mereka.11
Peserta
didik Islam dan Kristen saling berinteraksi dalam nuansa penuh keakraban.
Mereka berkumpul dan bekerjasama pada kegiatan akademik, ekstra kurikuler,
kerja sosial dan kemanusiaan dalam membangun perdamaian di sekolah.
Peserta didik Islam atau Kristen minoritas dapat berintegrasi dengan kultur
umat baeragama mayoritas di sekolah.12
Pada kegiatan kemanusiaan, peneliti mengamati peserta didik Islam dan
Kristen bersama mengumpulkan dan mendistribusikan sembako ke panti
asuhan. Mereka menggalang dana kemanusiaan secara bersama-sama ketika
ada warga sekolah yang sakit, kedukaan dan terjadi bencana alam.13
Peserta
didik Islam dan Kristen melaksanakan kerja bakti di masjid dan gereja secara
bergantian dan membagikan daging hewan kurban ke masyarakat di sekitar
9 Azhar Rody, W5/S4/GPAI.2/PO/ 30-3-19. 10
O17/Ekstrakur/SMA/4-1-19. 11
O7/Ekstrakur/SMK/4-1-19. 12
O19/Sosial/SMA/8-1-19. 13
O20/Amal/SMA/12-1-19.
7
sekolah setiap tahun. Guru dan peserta didik muslim pergi melayat ke rumah
warga sekolah yang beragama Islam atau Kristen minoritas.14
Gambaran harmoni kehidupan antarumat Islam dan Kristen pasca
konflik diungkapkan informan berikut:
Kedamaian siswa dari berbagai agama dapat dilihat pada Sabtu religi.
Masing-masing umat beragama beribadah di sekolah ini secara damai
tanpa diskriminasi. Pada perayaan Natal, maka yang membantu adalah
siswa muslim atau sebaliknya PHBI siswa Kristen membantu.
Pendidikan agama dan seluruh kegiatan keagamaan di sekolah ini
berjalan dengan baik berdasarkan prinsip toleransi. Dalam kegiatan
keagamaan, siswa SMK berkolaborasi seperti mengikuti pawai idul
fitri dan pada kegiatan sosial, mereka kerja bakti membersihkan
masjid atau gereja yang ada di masyarakat. Jika ada kedukaan saling
peduli dan hadir bersama di rumah duka. Di program pemerintah,
warga sekolah ini dari berbagai agama ikut kegiatan keagamaan,
porseni dan kebudayaan yang diselenggarakan Pemeritahan Poso
dapat mendukung perdamaian umat beragama di Poso.15
Sebagai setting sosial yang membingkai penelitian ini, peneliti penting
mengungkapkan latar belakang konflik Poso dan dampaknya yang masih
dirasakan umat Islam dan Kristen saat ini. Secara historis, konflik Poso yang
melingkupi latar sosial penelitian ini terjadi pada era reformasi, tidak lama
setelah beberapa bulan lengsernya pemerintah orde baru tahun 1998. Konflik
Poso menjadi konflik kemanusiaan terpanjang yang pernah terjadi di Indonesia,
yaitu sekitar 10 tahun sejak 1998 sampai 2007.
Konflik Poso berawal dari perebutan jabatan politik pemilihan bupati
antara sekwilda, Yahya Patiro (Kristen) dan Damsyik Ladjalani (Islam). Yahya
didukung oleh PDI-P dan umat Kristen, sementara Damsyik didukung oleh
14
O10/Amal/SMK/12-1-19. 15
W1/S1/Kepsek/PO/28-3-19.
8
PPP dan umat Islam. Tahun 1999, DPRD Kabupaten Poso gagal menetapkan
keduanya menjadi bupati.
Kondisi kehidupan umat Islam dan Kristen kembali memanas ketika
penunjukan sekwilda, sebab seorang politikus dari PPP mengancam akan
membuat kerusuhan jika Damsyik tidak dipilih sebagai sekwilda. Sebaliknya,
tokoh-tokoh Kristen menuntut jabatan sekwilda harus dari kalangan mereka
sebagai bentuk pembagian kekuasaan di pemerintahan ketika itu.16
Secara garis besar, konflik Poso berlangsung dalam tiga fase, yaitu:
konflik jilid I, II dan III. Konflik jilid I terjadi tanggal 25 Desember 1998 lebih
bernuansa politis yang bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan bupati
Poso saat itu, yakni Arief Patanga. Nuansa politis pada konflik jilid I semakin
menghilang setelah dipicu oleh isu agama antarumat Islam dan Kristen.
Pasca konflik jilid I terjadi pembacokan seorang pemuda muslim oleh
pemuda Kristen di masjid Darussalam Kelurahan Sayo dalam suasana ibadah
puasa Ramadhan yang bertepatan dengan suasana menyambut perayaan Natal.
Sebagai aksi balasan, beberapa umat Islam menyerang dan merusak sejumlah
rumah umat Kristen sebelum subuh ketika sedang persiapan hari raya Natal.
Pembacokan di masjid Darussalam tersebut menjadi penyebab awal konflik
Poso dengan membawa isu dan sentimen agama semakin membara.17
Akibat peristiwa tersebut, umat Islam dan Kristen selama tahun 1999
berada dalam nuansa kehidupan sosial yang saling mencurigai dengan penuh
rasa dendam yang tidak terbendung lagi. Pada tanggal 16 sampai 22 April 2000
16
Ibrahim Ismail, W25/S7.1/TAM/PO/15-12-18. 17
Lukito, W26/S7.2/TAM/PO/13-12-18.
9
pecah konflik jilid II dengan benterok massa yang semakin meluas setelah
menyebarnya isu perang suci di bawah „jubah agama‟ yang berujung pada
pembakaran dan pembunuhan dengan intensitas yang lebih besar.
Pada konflik fase II ini, masyarakat secara terbuka, bebas membawa
berbagai senjata tajam dan rakitan di jalan-jalan umum sehingga kerusuhan
massa antarumat Islam dan Kristen tidak dapat diatasi oleh aparat keamanan.
Terlebih setelah kelompok jihad umat Islam dari berbagai wilayah di Indonesia
secara bergelombang mulai memasuki wilayah Poso.
Demikian pula dengan milisi Kristen, yakni pasukan merah dan
pasukan kelelawar hitam yang dipimpin Fabianus Tibo dkk mulai memasuki
Poso Kota yang menjadi tempat bertahannya umat Islam. Kehadiran milisi dari
kedua umat beragama menjadikan konflik semakin membara dengan intensitas
pembunuhan secara sadis yang terus meningkat di daerah-daerah yang menjadi
basis umat Islam dan Kristen.18
Di saat eskalasi kerusuhan sedang memuncak akibat konflik jilid II,
terjadi lagi peristiwa pembunuhan seorang muslim oleh umat Kristen di Desa
Taripa pada tanggal 6 Mei 2000 sehingga memantik pecahnya konflik jilid III
yang lebih dahsyat dan brutal. Konflik jilid III menjadi fase pembalasan
pasukan Kristen terhadap umat Islam yang lebih terorganisir daripada konflik
jilid I dan II dengan aksi pembunuhan yang sangat biadab.19
Para milisi Kristen dengan kekuatan massa dari berbagai organisasi dan
komunitas umat Kristen di Poso melakukan pembunuhan keji di beberapa
18
Lukito, W26/S7.2/TAM/PO/13-12-18. 19
Ibrahim Ismail, W25/S7.1/TAM/PO/15-12-18.
10
daerah yang menjadi basis umat Islam. Salah satunya adalah pembantaian
massal terhadap 200 orang warga Pondok Pesantren Wali Songo di Desa
Tagolu Kecamatan Lage pada tanggal 28 Mei 2000, dimana banyak mayat
dikubur massal dan dibuang ke sungai.20
Konflik fase ke III ini menjadi kerusuhan terparah dengan gelombang
penyisiran, penyerangan, pembakaran dan pembunuhan yang sangat biadab
antarumat Islam dan Kristen. Konflik terus meluas ke berbagai pelosok desa di
wilayah Kabupaten Poso yang menjadi basis kedua umat beragama sehingga
bertambah banyak korban jiwa, kehilangan harta benda dan sumber kehidupan
di kedua umat beragama yang berkonflik.
Pasca pembantaian tersebut, umat Islam memobilisasi massa secara
intensif, baik dari dalam maupun luar wilayah Poso sehingga tidak terbendung
oleh kekuatan aparat kepolisian. Kelompok jihadis dari berbagai jaringan yang
ada di Indonesia berdatangan ke daerah Poso untuk berjihad atas nama agama.
Milisi umat Islam (pasukan putih) tersentral di daerah Poso dalam posisi a face
to face dengan pasukan milisi Kristen (pasukan merah).
Setelah konflik fase ke III, pemerintah menginisiasi rekonsiliasi damai
dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama Islam dan Kristen melalui
“Deklarasi Malino untuk Poso” tanggal 26 Desember 2001. Meskipun
kesepakatan damai telah ditandatagani perwakilan kedua umat beragama, tetapi
realitas di lapangan terus bergejolak sampai tahun 2007 sebagai batas waktu
berakhirnya konflik Poso yang ditetapkan Pemerintah Indonesia.
20
Ibrahim Ismail, W25/S7.1/TAM/PO/15-12-18.
11
Sejak rekonsiliasi damai sampai 2007, berbagai rentetan kekerasan
terus terjadi di daerah Poso seperti: pengeboman, penculikan dan pembunuhan
misterus. Pada tahun 2004, seorang kepala desa dipenggal dan enam siswa
dibom dalam mobil angkutan umum. Pada 2005, tiga orang siswi Kristen
dipenggal dalam perjalanan menuju sekolah. Pada tanggal 28 Mei 2005, terjadi
dua kali pengeboman di pasar Kota Tentena, daerah yang menjadi basis umat
Kristen yang menewaskan 20 orang dan kerusakan fasilitas umum.21
Meskipun konflik horizontal Poso telah berakhir tahun 2007, tetapi
umat Islam dan Kristen sampai saat ini masih merasakan dampak konflik pada
aspek kehidupan sosial, keagamaan, ekonomi dan keamanan. Peneliti
menemukan beberapa data terkait dampak konflik pada kehidupan sosial
masyarakat Poso, yaitu:
Pertama, pada awal 2007, tidak lama setelah pemerintah menetapkan
bahwa konflik horizontal Poso telah berakhir, pecah kerusuhan massa antara
umat Islam dan aparat kepolisian di Kelurahan Gebangrejo Poso Kota yang
menewaskan 14 warga civil dan 2 anggota polisi.22
Kerusuhan ini dipicu oleh
kekecewaan umat Islam atas sikap aparat kepolisian yang tidak adil dalam
menangani dampak konflik Poso. Fakta ini diungkapkan informan berikut ini:
Umat Islam merasa sangat kecewa dengan sikap aparat kepolisian
yang lebih represif dan sering melakukan penangkapan secara tiba-
tiba terhadap eks konflik dari umat Islam dibandingkan umat
Kristen. Polisi menyita senjata rakitan umat Islam sementara umat
21
Liputan 6 SCTV menurunkan berita bertajuk: “28 Mei 2005: Ledakan 2 Bom di Pasar
Tentena Tewaskan Puluhan Orang”, dalam: http://m.liputan6.com. Diakses, tanggal 7 Desember
2018. 22
Lukito, W26/S7.2/TAM/PO/13-12-18.
12
Kristen dibiarkan saja. Hal ini menjadi pemicu keributan antara
umat Islam dengan aparat di Gebangrejo pada tahun 2007.23
Kedua, konflik Poso telah bersimbiosis menjadi gerakan terorisme yang
masih eksis sampai sekarang. Pola konflik horizontal antarumat Islam dan
Kristen berubah menjadi konflik vertikal antara kelompok terorisme melawan
aparat kepolisian. Sebenarnya, kelompok terorisme telah memulai gerakannya
sejak 2004 dengan aksi pengeboman beberapa pos polisi di Kabupaten Poso.
Pada awalnya, gerakan terorisme di Poso dipimpin adalah Daeng Koro
dan Santoso (Abu Wardah). Setelah Daeng Koro berhasil ditembak mati oleh
aparat kepolisian, Santoso tampil menjadi tokoh sentral yang mengendalikan
gerakan terorisme di daerah Poso. Ia berhasil membangun jaringan, perekrutan
dan pelatihan di hutan-hutan terjauh yang ada di wilayah Poso Pesisir Utara.
Santoso dengan berani memproklamirkan perlawanan secara terbuka kepada
aparat, khususnya kepada Densus 88 melalui tayangan rekaman video.
Dari berbagai sumber yang terkait dengan gerakan terorisme, peneliti
dapat menggambarkan bahwa kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di
bawah komando Santoso dimulai sejak 2009, ketika ia pertama kali diangkat
menjadi ketua militer sayap Jama‟ah Asharut Tauhid (JAT) cabang Poso yang
saat itu dipimpin oleh Abu Bakar Ba‟asyir. MIT Poso pada awalnya merupakan
sel gerakan dari kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jama‟ah
Islamiyah (JI) sebagai jaringan terorisme terbesar di Asia Tenggara.
Pada tahun 2010, Santoso dan pengikutnya sebanyak 28 orang berhasil
mengumpulkan senjata dan melaksanakan pelatihan militer di Gunung Biru
23
Lukito, W26/S7.2/TAM/PO/13-12-18.
13
Poso Pesisir Utara sampai ia resmi diangkat menjadi pimpinan MIT tahun
2012. Santoso terus membangun jaringan dengan berbagai kelompok terorisme
yang ada di Indonesia dan luar negeri. Pada masanya, anak buah Santoso
bertambah hingga mencapai 45 orang, bahkan ada yang berasal dari luar
negeri, yaitu Uighur (Cina).
Pada perkembangan selanjutnya, MIT di bawah komando Santoso telah
menjelma menjadi sentral gerakan terorisme di Indonesia Timur, bahkan di
Indonesia, sebab hampir semua gerakan terorisme di Indonesia menjadi
pendukung MIT. Pada tahun 2014, Santoso dan pengikutnya melakukan bia‟at
setia kepada Negara Islam, ISIS. Tanggal 29 September 2015, Dewan
Keamanan PBB telah menetapkan MIT sebagai organisasi terorisme di dunia.
Meskipun Santoso berhasil ditembak mati oleh Densus 88 tanggal 18
Juli 2016 dalam Operasi Tinombala, tetapi jaringan selanjutnya, yaitu Ali
Kalora (Ali Ahmad) tetap eksis sampai sekarang memberikan perlawanan
kepada pasukan pengamanan TNI-Polri. Kelompok Ali Kalora merupakan
pecahan dari gerakan terorisme MIT pimpinan Santoso yang memiliki ideologi
dan misi yang sama.
Pada awalnya, kelompok ini Ali Kalora memiliki anggota sebanyak 16
orang yang sebagian besar berasal dari anak buah Santoso. Kelompok Ali
Kalora memiliki jaringan dengan kelompok terorisme di Mindanau dan Bima
dengan berafiliasi kepada kelompok Negara Islam, ISIS.
Menurut data Kepolisian RI, anggota terorisme pimpinan Ali Kalora
semakin berkurang berkat Operasi Tinombala, TNI/Polri. Saat ini, anggotanya
14
tersisa sekitar 10 sampai 11 orang, menjadi DPO yang masih berada di wilayah
Pengunungan Biru daerah Poso Pesisir Utara.24
Ketiga, kontak senjata antara kelompok terorisme dan pasukan
pengamanan TNI-Polri menimbulkan dampak psikologis dan sosiologis yang
tidak aman pada masyarakat Poso dalam menjalankan rutinitas kehidupan
sosial dan aktivitas perekonomian. Kelompok terorisme Ali Kalora tidak hanya
memberikan perlawanan kepada aparat TNI-Polri, tetapi juga membunuh
siapasaja dari umat Islam, Kristen dan Hindu yang menginformasikan
keberadaan mereka ke aparat kepolisian.25
Di saat penelitian ini berlangsung, kondisi keamamanan di Poso sedang
memanas. Pada bulan Desember 2018 ketika peneliti akan memulai penelitian,
terjadi kontak senjata antara kelompok terorisme Ali Kalora dengan pasukan
pengamanan TNI-Polri. Kontak senjata ini berawal dari pembunuhan seorang
masyarakat sipil secara mutilasi oleh kelompok terorisme. Selanjutnya, pada
bulan Maret 2019 saat penelitian ini sedang berlangsung, terjadi dua kali
kontak senjata, yaitu tanggal 3 dan 21 Maret 2019.
Di samping itu, kelompok terorisme Ali Kalora sering memasuki desa-
desa yang berdekatan dengan wilayah Poso Kota untuk menemui jaringan
mereka dan mencari berbagai kebutuhan hidup. Informan menuturkan bahwa:
“Kelompok terorisme juga punya jaringan di desa-desa di sekitar Poso. Mereka
24
Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terkini: https://www.beritasatu.com/nasional/ 594127-
kelompok-teroris-ali-kalora-di-poso-tersisa-10-orang. Diakses, 10 April 2020. 25