BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis, neurologis, dan audiologis dari organ- organ yang terlibat dalam proses pendengaran. Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak. Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi 50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud. Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu. Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak sedini mungkin. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan mulai dari bertepuk tangan untuk melihat 1
Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis, neurologis, dan audiologis dari organ-organ yang terlibat dalam proses pendengaran. Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam
tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang
kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis,
neurologis, dan audiologis dari organ-organ yang terlibat dalam proses pendengaran.
Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan
bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.
Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak.
Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang
memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi
50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki
gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud.
Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak
dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu.
Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak
sedini mungkin. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan mulai dari bertepuk tangan
untuk melihat respon mereka hingga memanggil nama atau membunyikan lonceng mainan.
Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada dua dari tiga bayi dalam 1000
angka kelahiran. CDC (Centers for Diseases Control and Prevention) mendapatkan data
adanya peningkatan jumlah bayi yang di skrining pendengarannya dari 46,5 % menjadi 97
%, dan jumlah bayi yang memiliki gangguan pendengaran yang juga meningkat dari 1736
penderita menjadi 2212 penderita. Dengan persentase bayi yang di skrining sebelum usia
satu bulan meningkat dari 80,1 % menjadi 85,4 %. Persentase bayi yang mendapatkan
tindak lanjut sebelum usia tiga bulan meningkat dari 51,5 % menjadi 66,4 %. Sedangkan
persentase bayi yang mendapatkan intervensi sebelum usia enam bulan meningkat menjadi
60,8 % dari 50,7 %.
1
Berdasarkan data yang ada di Indonesia, angka kejadian tuna rungu (tidak dapat
mendengar atau adanya gangguan mendengar) adalah 0,1 % kelahiran, atau kurang lebih
sebanyak 200.000 penderita. Sedangkan data RSCM pada tahun 1999 – 2003, didapatkan
2579 penderita. Sebanyak 6,13 % mengalami gangguan pendengaran berat saat usia
kurang dari satu tahun. Pada usia 1 – 3 tahun, terdapat sebanyak 45,29 % anak dengan
gangguan pendengaran berat. Dan sebanyak 24,42 % lainnya mengalami gangguan
pendengaran berat pada usia lebih dari lima tahun.
Untuk itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai gangguan pendengaran
pada anak dan bagaimana cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
a. Mengetahui gangguan pendengaran pada anak.
b. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perkembangan auditorik dan wicara.
b. Mengetahui penyebab dan klasifikasi gangguan pendengaran pada anak.
c. Mengetahui faktor risiko dan gejala gangguan pendengaran pada anak.
d. Mengetahui pemeriksaan gangguan pendengaran pada anak.
e. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.
f. Mengetahui rehabilitasi dan habilitasi anak dengan gangguan pendengaran.
2
1.4. Manfaat
a. Memberi pengetahuan mengenai gangguan pendengaran pada anak.
b. Memberi pengetahuan mengenai cara deteksi dini gangguan pendengaran pada
anak.
c. Memberi pengetahuan mengenai rehabilitasi dan habilitasi anak dengan
gangguan pendengaran.
d. Sebagai bahan untuk penulisan atau penelitian selanjutnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara
2.1.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara
Perkembangan auditorik dimulai sejak masa gestasional dengan
perkembangan embriologi dari struktur anatomis dan dilanjutkan hingga masa
remaja sesuai dengan maturasi dari susunan saraf pusat auditorik. Dari suatu
persepsi sensorik, bayi dipersiapkan untuk memberikan respon suara saat lahir.
Terdapat suatu proses kompleks, termasuk di dalamnya mengenali suara ibunya,
membedakan suara, dan bunyi tanpa suara, telah diperlihatkan sejak permulaan
bayi. Bagaimanapun juga, tingkat bunyi yang dibutuhkan untuk membangkitkan
suatu respon pada bayi akan berkurang setelah 12 bulan pertama kehidupan sesuai
dengan respon dalam pola perkembangan normal.
Respon inisial dari bayi terhadap bunyi merupakan suatu refleks, seperti
sesuatu yang mengagetkan dan berhenti mendadak. Seiring dengan tingkat
kematangan kognitif dan pencapaian kontrol motorik, bayi mulai melokalisasi
bunyi dalam bidang horizontal, kemudian bidang vertikal. Kemudian bayi
menunjukkan peningkatan ketertarikan dan respon interaktif terhadap perintah
yang diucapkan. Stimulus yang kompleks atau luas lebih efektif dibandingkan nada
murni atau isyarat lainnya dalam merangsang respon bayi terhadap bunyi. Dengan
bantuan teknik tes yang tepat, stimulus yang kompleks mampu merangsang tingkat
ambang batas relatif normal. Sebaliknya, respon terhadap stimulus nada murni
awalnya nampak tinggi, mencapai tingkat ambang batas dewasa pada usia enam
bulan. Perkembangan dari respon-respon ini dapat memperbaiki ambang batas nada
murni sebesar 30 dB untuk nada tinggi dan 15 dB untuk nada rendah.
Untuk tujuan tes pendengaran dan habilitasi, perlu diingat bahwa perubahan
anatomis berlanjut setelah lahir. Sebagai contoh, perkembangan telinga luar terus
berlanjut sepanjang masa anak-anak. Bagian tulang dari kanal auditori eksternal
mengubah bentuk hingga usia tujuh tahun, dan pinna berkembang hingga usia
sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang utama adalah pada telinga
tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani. Telinga dalam (koklea)
4
mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat memberikan respon terhadap
bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.
Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia
remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan
mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut
berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari
letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan
saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,
kehilangan sensorik menyebabkan kematian sel atau perubahan fungsional yang
dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik. Adapun efek dari
perubahan anatomik dan perkembangan setelah kelahiran harus dipertimbangkan
dalam seleksi dan interpretasi dari teknik tes fungsi pendengaran sesuai dengan
strategi habilitasi yang akan dilakukan.
Perkembangan wicara berlangsung bersamaan dengan perkembangan
auditorik. Karena dalam proses berbicara berhubungan dengan input sensorik
(auditorik) dan motorik yang baik, dimana input auditorik tersebut digunakan untuk
merangsang proses wicara pada bayi. Oleh karena keterkaitan perkembangan
wicara dengan perkembangan mendengar, maka dapat pula diperkirakan adanya
gangguan pendengaran pada anak yang memiliki gangguan wicara.
2.1.1. Embriologi Organ Auditorik
Perkembangan berbagai struktur dari kepala dan leher secara mendasar
berhubungan dengan arkus brakial dan atau kantong faring. Keduanya merupakan
struktur embrionik yang bersifat sementara yang akan mengalami perubahan
substansial sehingga bentuk embrionik tidak dapat dikenali lagi seiring dengan
kelahiran. Meskipun demikian, bentuk turunan dari struktur ini penting untuk
bentuk dewasa, oleh karena itu kelainan dari perkembangan arkus brakial dapat
mengakibatkan malformasi yang signifikan.
5
Gambar 1. Arkus brakial dan kantong faring embrio.
Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio terdiri
dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari, disebut sebagai arkus
brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang datar dari leher dan dipisahkan
oleh celah, disebut sebagai celah brakial. Permukaan dari arkus dan celah brakial
ini dilapisi oleh lapisan ektoderm, yang berasal dari lapisan mesoderm. Bagian
yang mendasari daerah celah brakial merupakan lapisan tipis karena terjadi
pendekatan dari kantong luar dari daerah foregut, dinamakan kantong faring.
Bentuk turunan dari arkus brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari
lapisan embrionik termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm,
sedangkan kantong faring berasal dari lapisan endoderm. Karena perbedaan sumber
lapisan embrionik, dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa pada orang
dewasa bentuk turunan arkus brakial memiliki struktur yang terdiri dari otot,
tulang, atau turunan mesodermal lainnya yang bentuknya mirip, seperti otot wajah
dan leher. Bentuk turunan dari kantong faring lapisan endoderm akan seperti
glandular atau berhubungan dengan saluran pencernaan.
Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomik yang memiliki
peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan pada embrio,
telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga luar sebagai
pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara, dan telinga dalam yang
mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf dan menunjukkan perubahan
keseimbangan.
6
Gambar 2. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari.
Perkembangan telinga dapat ditemukan sejak embrio berusia kira-kira 22
hari, yang nampak sebagai penebalan ektoderm permukaan pada kedua sisi
rombensefalon. Penebalan ini dinamakan plakoda otika atau plakoda telinga yang
akan melakukan invaginasi cepat dan membentuk gelembung telinga atau
gelembung pendengaran (otokista).
Gambar 3. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio:
pembentukan gelembung telinga a) 24 hari, b) 27 hari, dan c) 4,5 minggu.
Perkembangan selanjutnya, gelembung tersebut terbagi menjadi unsur
ventral yang membentuk sacculus dan duktus koklearis, unsur dorsal yang
membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus endolimfatikus. Kemudian
terbentuk struktur epitel yang dikenal sebagai labirin membranosa. Kecuali duktus
koklearis yang akan membentuk organ korti, semua struktur yang berasal dari
labirin membranosa termasuk dalam alat keseimbangan.
7
Gambar 4. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis.
Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius, dilapisi
epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di dalamnya terdapat
rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, dan selanjutnya
meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah, dan ke daerah
mastoid. Tuba eustasius menghubungkan kavum timpani dan nasofaring. Tulang-
tulang pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran timpani ke
fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel), yaitu tulang
maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago Reichert), yaitu
tulang stapes.
Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari kantong
faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran timpani.
Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ectoderm di dasar meatus akustikus,
lapisan tengah jaringan ikat (mesenkim) yang membentuk stratum fibrosum, dan
lapisan epitel endoderm kavum timpani yang berasal dari kantong faring pertama.
Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan mesenkim
yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua. Tonjolan-tonjolan daun
telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada setiap sisi liang telinga luar
akan menyatu dan membentuk daun telinga yang tetap. Pada mulanya, telinga luar
terletak di daerah leher bawah, tetapi dengan berkembangnya mandibula, tonjolan-
tonjolan tersebut bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.
Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian
terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus stiloidesus, dan cincin
timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir, sehingga letak saraf
fasialis bayi sangat superfisial. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara
8
meluas dari telinga tengah melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu
daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid.
2.2. Faktor-faktor Risiko dan Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
2.2.1. Faktor Risiko
Menurut Joint Committee on Infant Hearing 2007, indikator yang
berhubungan dengan kehilangan pendengaran sensorikneural atau konduktif di
anak-anak, antara lain :
Usia 0-28 hari (skrining universal belum tersedia)
1. Penyakit atau kondisi yang membutuhkan perawatan di Unit Perawatan
Intensif Neonatus (Neonatal Intensive Care Unit / NICU) selama minimal
48 jam
2. Penemuan kondisi atau tanda yang diketahui berhubungan dengan sindrom
yang memiliki gejala kehilangan pendengaran sensorik atau konduktif
3. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran sensorikneural pada masa
kanak-kanak yang permanen
4. Anomali kraniofasial, meliputi abnormalitas morfologi dari pinna dan
liang telinga
5. Infeksti intra uteri, seperti Cytomegalovirus/CMV, herpes, toksoplasmosis,
atau rubella
Usia 29 hari-2 tahun (Kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif
yang progresif atau onset lambat)
1. Perhatian orang tua atau pengasuh terkait keterlambatan kemampuan
mendengar, berbicara, bahasa atau perkembangan.
2. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran masa kanak-kanak yang
permanen.
3. Penemuan yang diketahui berkaitan dengan sindrom yang memiliki gejala
kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif ataupun disfungsi
tuba eustachius.
4. Infeksi postnatal berkaitan dengan kehilangan pendengaran sensorineural
seperti meningitis bakteri.
9
5. Infeksi intra uteri seperti CMV, herpes, rubella, sifilis, dan toksoplasmosis.
6. Indikator-indikator pada neonatus, seperti hiperbilirubinemia yang