PENGUJIAN EMPIRIS MARKET TIMING THEORY OF CAPITAL STRUCTURE DI BEJ DENGAN KASUS IPO EMITEN (NON KEUANGAN) 2000-2001 Abstract Capital structure theory has developed tremendously. Corporations now consider not only the internal factors but also the external factors. Asymmetric information with the pecking order hypothesis and static trade-off theory have not been able to explain some market phenomena. Some corporations have taken into account the current stock price as the main determinant in choosing debt or equity securities. This market timing theory was inititated by Baker and Wurgler (2002). The essence of this theory is corporations will prefer debt securities when the stock price is low and equity securities when the stock price is high. The objective of this study is to confirm the research by Kusumawati and Danny (2002) on the market timing hypothesis using GLS, which is consistent with the findings of Baker and Wurgler (2002) using OLS model. The findings of our research is that marketing theory with the market leverage as the main proxy of capital structure, have been negatively related to market book ratio. Key Words: Capital Structure; Market Timing Theory; Market To Book Ratio, Market Leverage PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen umumnya tidak mengetahui kapan struktur modal optimal apalagi investor di pasar modal. Persoalan menjadi kompleks manakala manajemen harus memutuskan faktor determinan “kapan” struktur modal optimal. Jadi bukan lagi seperti argumen Shyam-Sunders & Myers (1999) yakni berapa porsi leverage sehingga optimalitas tercapai. Teori - teori struktur modal tradisional seperti Pecking Order Theory (POT) dan Static Trade-Off Theory (STT) belum memuaskan para manajer
38
Embed
PENDAHULUAN - Smart Accounting | Universitas … · Web viewKebijakan dividen ketat/ “sticky” biasanya DPR yang rendah No target leverage Target leverage Pendanaan internal dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGUJIAN EMPIRIS MARKET TIMING THEORY OF CAPITAL STRUCTURE DI BEJ DENGAN KASUS IPO
EMITEN (NON KEUANGAN) 2000-2001
Abstract
Capital structure theory has developed tremendously. Corporations now consider not only the internal factors but also the external factors. Asymmetric information with the pecking order hypothesis and static trade-off theory have not been able to explain some market phenomena. Some corporations have taken into account the current stock price as the main determinant in choosing debt or equity securities. This market timing theory was inititated by Baker and Wurgler (2002). The essence of this theory is corporations will prefer debt securities when the stock price is low and equity securities when the stock price is high.
The objective of this study is to confirm the research by Kusumawati and Danny (2002) on the market timing hypothesis using GLS, which is consistent with the findings of Baker and Wurgler (2002) using OLS model. The findings of our research is that marketing theory with the market leverage as the main proxy of capital structure, have been negatively related to market book ratio.
Key Words: Capital Structure; Market Timing Theory; Market To Book Ratio, Market Leverage
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manajemen umumnya tidak mengetahui kapan struktur modal optimal apalagi
investor di pasar modal. Persoalan menjadi kompleks manakala manajemen harus
memutuskan faktor determinan “kapan” struktur modal optimal. Jadi bukan lagi seperti
argumen Shyam-Sunders & Myers (1999) yakni berapa porsi leverage sehingga
optimalitas tercapai. Teori - teori struktur modal tradisional seperti Pecking Order
Theory (POT) dan Static Trade-Off Theory (STT) belum memuaskan para manajer
keuangan dalam penentuan kebijakan struktur modal terbaik. Malahan keduanya saling
bersaing dalam menentukan proxy faktor determinan terbaik [lihat studi Shyam-Sunders
& Myers (1999) dan Frank & Goyale (2003)].
Munculnya Market Timing Theory (MTT) dari Barker & Wurgler (2002)
diharapkan bisa memberikan “jawaban”; namun tidak akan semudah yang dibayangkan.
Proxy MTT secara umum adalah market to book ratio yakni pada kasus-kasus IPO.
Banyak akademisi seperti dikutip Huang & Ritter (2005) mengkritik proxy ini sebab
umumnya market to book ratio adalah proxy keputusan investasi; yakni under-valued
atau over-valued nya suatu saham. Barker & Wurgler (2002) mengklaim market timing
2
adalah “cumulative outcome of past attempts to time the equity market”. 1 Dua asumsi
yang dipakai adalah: 1. Asimetrik informasi terjadi bervariasi di pasar modal, maka
manajemen yang rasional enggan melakukan adjustment terhadap target leverage. 2.
Manajemen percaya dapat melakukan “timing” terhadap equity market. Dan klaim
Barker & Wurgler (2002) tersebut berhasil diderivasikan dalam model empirikal.
Namun demikian MTT dari Barker & Wurgler (2002) menimbulkan banyak pro
dan kontra secara akademik. Pro dan kontra bukan pada asumsi ke-2 seperti halnya
dugaan penulis; namun justru pada asumsi ke-1 yakni cepat atau tidaknya manajemen
melakukan adjustment terhadap target leverage. Berdasarkan survai pada studi Huang &
Ritter (2005), para akademisi yang pro dengan MTT antara lain: Welch (2004);
Kayhan & Titman (2005) dan Lemmon, et.al. (2005). Sedangkan yang kontra antara
lain: Leary & Robert (2005); Alti (2005) yang amat skeptis dengan definisi market
timing Barker & Wurgler (2002) dan Hovakimian (2005). Pro & Kontra terhadap Market
Timing Theory sangat dipengaruhi oleh pandangan behavioralist. Kita tahu Barker &
Wurgler adalah pencetus Behavioral Corporate Finance di samping Ruback (Vasiliou &
Daskalakis, 2007).2 Pandangan behavioralist umumnya sangat berkiblat pada perilaku
manajemen dan situasional lingkungan eksternal. Dalam hal corporate finance maka
leverage yang menjadi fokus perhatian. Berkaca pada pengalaman perusahaan go-public
di BEJ pada leverage maka menarik untuk disimak. Alasannya adalah faktor eksternal
makro atau faktor motivasional dari manajemen perusahaan go-public di BEJ bisa juga
diklasifikasikan sebagai bentuk kongkrit pandangan behavioralist seperti Baker, Ruback
& Wurgler (2004).
Leverage perusahaan go-public di BEJ sebelum krismon cenderung mengalami
peningkatan tajam dan sesusah krismon cenderung turun. Dugaan penulis faktor
eksternal makro atau faktor motivasional dari manajemen memegang peranan penting.
Hal ini terlihat pada deregulasi perbankan 1988-1992 oleh pemerintah Indonesia untuk
kemudahan pendirian bank umum. Pada sisi lain manajemen perusahaan konglomerat 1 Walaupun sebenarnya Myers (1984) mengatakan market timing bukan ide baru. Pandangan beliau
diperkuat pula oleh Graham & Harvey (2001) bahwa ada indikasi keperilakuan manajemen dalam equity issuance. Lain lagi Hovakimian, et.al. (2001) saat harga saham naik, perusahaan akan melakukan penawaran ekuitas. Kemudian Lucas & McDonald (1990) menyebut persoalan adverse selection saat issuance tersebut. [detail lihat Frank & Goyale (2003), p. 7]
2 Baker, Ruback & Wurgler (2004) membuat paper tentang behavioral corporate finance yang mengindikasikan adanya irrasionalitas di kalangan investor dan manajemen. Investor dan manajemen ternyata banyak menggunakan intuisi tidak lagi rasionalitas dari teorema Bayes (Neoclassical Paradigm) dalam pengambilan keputusan. Menurut Vasilou & Daskalis (2007) konsep market efficiency dari Fama dan perfect market dari MM Theorem menjadi terancam.
3
menyambut baik. Namun kemudian yang terjadi kredit macet sebab kredit bank dipakai
untuk kelompok usaha sendiri yang mengabaikan prinsip 3C atau 5R. Sehingga setelah
krismon periode 1998-2002 banyak bank umum yang dipaksa “beku operasi” dan “take-
over” oleh BPPN (agen pemerintah). Sedangkan perusahaan konglomerat sebagai
pemegang saham bank banyak melakukan restrukturisasi hutang dan efisiensi usaha.
Fenomena perusahaan di BEJ sebelum dan sesudah krismon memberi pelajaran
bahwa tidak mudah menerapkan suatu teori struktur modal. Sederetan teori POT, STT
dan MTT masing-masing diharapkan memberi solusi potensial atas target leverage
(Tobing, 2007). Namun penetapan target leverage tidaklah bisa atas dasar judgment
praktikal semata melainkan harus dari kajian empirik. Atas dasar hal tersebut penulis
bermaksud melakukan pengujian market timing of capital structure di Indonesia. Ada
dua motivasi penulis yakni pertama, rekonsiliasi debat teoritik MTT seperti pada studi
Alti (2005) + Hogfeltd & Oborenko (2005) yang kontra MTT dan Kayhan & Titman
(2005) + Wagner (2007) yang pro MTT. Kedua; penelitian MTT ternyata baru
dilakukan dua kali di BEJ yakni masing-masing Kusumawati & Danny (2006) yang
menekankan efek persistensi struktur modal jangka panjang dengan metode MTT dan
OCS (optimal capital structure/STT) & Dahlan (2004) yang berfokus pada ada tidaknya
indikasi kebijakan struktur modal di Indonesia akan mengarah pada MTT.
B. Tujuan Penelitian
Ada dua yakni tujuan umum dan khusus. Tujuan umum adalah penulis ingin
membuktikan bahwa MTT bisa applicable di BEJ; sedangkan tujuan khusus 3 yakni:
1. Menganalisis pengaruh market to book ratio terhadap leverage.
2. Menganalisis pengaruh variabel lain (variabel kontrol) seperti net property, plant &
equipment; Earning After Tax dan Total Asset terhadap leverage.
C. Kontribusi Penelitian
Paling penting adalah adanya bukti indikasi MTT di BEJ, yakni nilai market to
book ratio akan berpengaruh negatif terhadap leverage. Logikanya pada saat perusahaan
mengalami pertumbuhan tinggi (salah satu proxy-nya adalah market to book ratio); maka
perusahaan akan cenderung mengurangi penggunaan hutang (salah satu proxy-nya adalah 3 Beberapa pengertian variabel pengindikasi MTT akan dijelaskan secara detail akan dibahas pada
definisi operasional variabel. Khusus variabel leverage akan dipakai nilai buku dan nilai pasar seperti pada studi Huang & Ritter (2005).
4
leverage). Hal ini karena saat itu investor di pasar modal akan menilai perusahaan secara
over-valued sehingga cost of equity akan lebih kecil dari cost of debt. Dan biasanya
kondisi ini akan terjadi saat perusahaan (yang mengalami pertumbuhan tinggi)
melakukan IPO.
Kontribusi lain terletak pada penemuan variabel kontrol MTT. Ada proxy yang
dipakai di riset Baker & Wurgler (2002) serta Huang & Ritter (2005) seperti net
property, plant & equipment; Earning After Tax dan Total Asset. Peranan variabel
tersebut dalam ikut mempengaruhi hubungan market to book ratio dan leverage menarik
untuk dikaji. Sebab variabel market to book ratio tidak akan berdiri sendiri secara
akunting. Kusumawati & Danny (2006) menyatakan peran masing-masing sebagai
proxy intensitas aktiva tetap, volatilitas earning dan ukuran perusahaan yang
berpengaruh langsung pada tingkat pertumbuhan dengan proxy: market to book ratio.
D. Keterbatasan
Ada tiga hal yakni: Pertama; penulis tidak memakai periode data yang panjang
seperti studi MTT di USA yang rata-rata di atas 20 tahun. Hal ini karena keterbatasan
waktu penulis. Kedua sehubungan dengan tidak panjangnya periode penelitian, maka
penulis tidak bisa memakai model regresi data panel (GLS). Untuk studi ini, penulis
cukup mencoba dengan metode OLS berbasis argumentasi “parsimonisitas”. Terakhir;
penulis tidak memakai data sektor keuangan karena perilaku leverage-nya berbeda
dengan perusahaan biasa dan juga sektor keuangan amat teregulasi oleh aturan
pemerintah misal bank oleh BI dan non bank oleh Departemen Keuangan.
TINJAUAN TEORI
A. Perkembangan Teori Struktur Modal
Seperti terlihat pada gambar 1, penulis mengintrodusir munculnya market timing
theory juga berawal dari teori struktur modal konvensional MM pada akhir 50-an. Beliau
berdua memang diakui sebagai peletak dasar teori keuangan perusahaan. Modigliani &
Miller (MM) mengeluarkan dua proposisi. Proposisi pertama berkaitan dengan leverage,
5
arbitrage 4 dan firm value. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan leverage, risk 5 dan
cost of capital. Berk & De Marzo (2007) menyatakan kedua proposisi ini berujung pada
anggapan bahwa leverage tidak mempengaruhi nilai perusahaan, walaupun syarat
utamanya adalah perfect market seperti tidak ada biaya transaksi; risiko usaha setiap
bisnis yang sama; akses informasi yang merata (simetrik); rasionalitas dan homogenitas
harapan di kalangan investor.
Kemudian kita semua tahu bahwa asumsi no relevant debt ini banyak menimbulkan
kontroversi. Sebab ada bukti bahwa dengan leverage, EPS akan naik, bahkan tanpa
leverage pun tidak terjadi dilusi kepemilikan saham. Kalau penulis melihat, kuncinya
adalah pada asumsi perfect market. Maka setelah revisi teori MM dari mereka berdua
sendiri pada tahun awal 1960-an, muncul pula teori-teori alternatif seperti Pecking Order
& Static Trade-Off yang berlandaskan pada asumsi imperfect market seperti adanya
asimetrik informasi dan munculnya financial distress akibat penggunaan hutang.
Dengan memakai gambar 1 di halaman berikutnya, penulis menyatakan Pecking
Order dan Static Trade-Off memiliki dominasi yang kuat pada pertengahan 60-an sampai
akhir 80-an. Pecking Order berawal dari survey Fortune 500 yang menghasilkan urutan
pendanaan mulai dari laba ditahan, hutang dan saham. Klaim urutan pendanaan didasari
atas mahal atau tidaknya biaya modal.
Sedangkan Static Trade Off berawal dari maraknya pakar keuangan membicarakan
financial distress sebagai implikasi negatif penggunaan hutang. Menurut STT, hutang
harus dipergunakan secara optimal sampai batasan tidak akan menurunkan nilai
perusahaan. Yang menarik berapa proporsi terbaik masih beragam untuk berbagai sektor
industri; sehingga menimbulkan “optimal leverage puzzle”.
4 Hal ini berdasarkan dugaan karena tingkat bunga individu diperlakukan sama dengan tingkat bunga institusi; maka individu investor memiliki akses yang luas di pasar modal untuk bertransaksi saham-saham perusahaan yang levered dan unlevered melalui homemade leverage. Dalam kondisi equilibrium akan tercipta proses arbitrage sehingga tidak akan perbedaan lagi nilai perusahaan antara yang levered dan unlevered.
5 Faktor risiko yang timbul adalah selisih dari biaya modal perusahaan yang levered dan unlevered dikalikan dengan besarnya hutang. Makin besar hutang akan membuat biaya modal sendiri makin meningkat. Karenanya efek tax-shield dari hutang akan terimbangi oleh kenaikan biaya modal sendiri. Situasi tersebut akan membuat besarnya hutang tidak relevan terhadap kenaikan nilai perusahaan.
6
Gambar 1. Peta Teori Struktur Modal Dirancang dari hasil analisis berbagai literatur (2007)
Pada dekade 80-an dan 90-an banyak penelitian lanjutan struktur modal yang
mengacu pada STT dan POT. Walaupun ada kelompok yang pro terhadap POT seperti
Myers (1984), Baskin (1989), Allen (1993) dan Adedeji (1998), namun juga ada yang
tidak sepenuhnya pro artinya memasukkan unsur STT seperti Shyam-Sunders & Myers
(1999) dan Frank & Goyale (2003). Hasil-hasil riset mereka beragam, namun intinya
tetap memperteguh eksistensi POT & STT secara empirik.
Karena intinya tetap eksis, penulis memiliki skenario POT & STT memberi
inspirasi munculnya MTT.6 Mengapa bisa muncul MTT? Baker & Wurgler (2002)
sempat menyatakan bahwa keputusan struktur modal terkait dengan upaya perusahaan
untuk melakukan timing terhadap pasar modal. Yang menjadi alasan adalah POT & STT 6 Penulis pernah berdiskusi bersama bahwa MTT adalah “irisan” dari POT dan STT. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pengakuan MTT bahwa perusahaan harus menetapkan target leverage serta memberikan argumentasi kuat manakala akan menggunakan suatu sumber dana baik hutang ataupun ekuitas.
Capital Structure Theory
Market Timing TheoryPecking Order
TheoryStatic Trade-Off Theory
Modigliani-Miller Theorem
Gap Riset ?
7
tidak mampu memaksimumkan nilai perusahaan dan MTT yang memiliki karakter
“persisten” diharapkan mampu menjadi alat pencapai tujuan finance. Kata kunci
persisten menjadi keunggulan MTT dalam implementasinya. Pada bagian berikut setelah
pembahasan detail POT & STT, penulis akan membahasnya tersendiri. Namun seperti
Alti (2006) yang begitu mempertanyakan sifat persistensi MTT; penulis menduga masih
banyak gap riset yang bisa menjadi acuan penelitian-penelitian berikutnya. Gap riset
terutama berkenaan tentang keterandalan MTT Baker & Wurgler (2002) sebagai teori
struktur modal kontemporer.
B. Static Trade-Off & Pecking Order Theories
Pada gambar 1 penulis mengupas habis POT dan STT dengan memakai 4 pilar
yakni asumsi, inti, variabel dan model riset. Pemilihan 4 pilar ini untuk lebih mudah
membahas suatu kajian teori dengan melihat unsur-unsur metodologisnya.
Tabel 1. Studi Banding POT & STT
Keterangan POT STT
Asumsi Preferensi pendanaan internal karna takut pada asimetrik informasi
Kebijakan dividen ketat/ “sticky” biasanya DPR yang rendah
No target leverage
Target leverage
Pendanaan internal dan eksternal untuk maksimisasi nilai perusahaan
Inti Pendanaan dengan melihat urutan dari Cost of Capital yang murah sampai yang mahal
Cost of Capital (COC) yang murah umumnya lebih banyak didominasi oleh internal financing, sebaliknya untuk COC yang mahal
Pendanaan untuk mencari rasio leverage optimal
Penggunaan hutang berlebihan akan menimbulkan risiko kebangkrutan yang didahului oleh kondisi financial distress
Variabel Penjelas
Profitabilitas Ukuran Penawaran Saham Harga Saham Kondisi Pasar Modal
Risiko bisnis Deviasi dari target leverage Volatilitas pendapatan
Model Riset Donaldson (1961) Baskin (1989) Bayless & Diltz (1994) Allen (1993)
Stiglitz (1969); Haugen & Papas (1971) serta Rubinstein (1973)
Bayless & Diltz (1994) Frank & Goyale (2003)
Sumber: Hasil analisis penulis (2007)Terlihat pada tabel 1 perbedaan nyata antara STT dan POT. POT lebih menekankan
pada hirarkis pendanaan, sedang STT pada optimalitas pendanaan. Walaupun ada
8
perbedaan mencolok, namun kalau diamati pada segi inti keduanya tetap fokus pada
Cost of Capital. POT memfokuskan pada COC murah sedangkan STT bertitik berat pada
COC minimum. Temuan ini mengindikasikan bahwa COC tetap menjadi tujuan utama
keputusan struktur modal.
Beberapa variabel penjelas, penulis ambil dari studi Pangeran (2004). Model utama
adalah regresi logistik dengan pilihan 1 untuk pendanaan ekuitas dan pilihan 0 untuk
pendanaan hutang. Sesuai dengan studi Pangeran (2004), variabel penjelas POT yang
signifikan adalah profitabilitas; harga saham dan kondisi pasar modal dengan arah
pengaruh positif. Kemudian variabel penjelas STT tidak ada yang signifikan, sehingga
klaim Pangeran (2004) POT lebih relevan di Indonesia dibandingkan STT.
Dugaan penulis ini terkait dengan periode data 1991-1996 yang lagi bullish. Yang
menarik lagi Pangeran (2004) mengadopsi variabel penjelas POT & STT dari Bayless &
Diltz (1994) (lihat cetak italic bergaris dalam tabel 1). Kalau demikian halnya berarti
memang ada irisan atau pertautan antara STT dan POT. Deviasi target leverage bisa
terjadi karena ukuran penawaran saham dan harga saham. Bila makin tinggi ukuran
penawaran saham, target leverage akan makin minimum. Sedangkan bila harga saham
makin tinggi, memang bisa jadi target leverage akan minimum atau maksimum
tergantung faktor fundamental non keuangan perusahaan juga.
C. Market Timing Theory (MTT)
Sesuai studi Kusumawati & Danny (2006), penulis akhirnya bisa mendefinisikan
MTT dengan mudah secara operasional. Hal ini penting Sebab Baker & Wurgler (2002)
hanya membuat sedikit justifikasi tentang MTT tersebut, belum lagi kelompok-kelompok
peneliti yang pro dan kontra terhadap MTT hanya sibuk juga dengan urusan persistensi
MTT secara ekonometrik semata.
Dari Kusumawati & Danny (2006), MTT menunjukkan lebih pentingnya implikasi
dari pilihan hutang atau ekuitas pada berbagai titik waktu dibandingkan dengan mencari
rasio leverage yang optimal. Maka pendekatan MTT berkenaan dengan juga aktivitas
pelepasan saham baik itu IPO ataupun SEO. Baker & Wurgler (2002) kemudian diikuti
pula oleh Huang & Ritter (2005) memberikan argumentasi sebagai berikut:
1. Perusahaan cenderung akan melepas saham sebagai pengganti hutang ketika nilai
pasar relatif tinggi terhadap nilai buku dan nilai pasar masa lalu adalah tinggi;
dan cenderung akan membeli kembali saham ketika nilai pasar adalah rendah.
9
2. Melalui analisis perkiraan prospek earning dan perkiraan realisasi harga saham
sekitar pelepasan saham, perusahaan cenderung untuk melepas saham pada waktu
investor memiliki sikap optimisime dan antusias yang tinggi.
Kedua hal tersebut mengindikasikan pentingnya over-valued atau under-valued
dari suatu saham, saat perusahaan akan melepas saham di bursa. Dan yang menarik
aktivitas pelepasan saham akan mempengaruhi struktur modal. Hal inilah yang
saham ini lebih prospektif; maka sudah seharusnya ada pengaruh negatif antara rasio
market to book equity dengan leverage.7 Studi Baker & Wurgler (2002) memperkuat
temuan studi Fama & French (2002) tentang hubungan negatif tersebut; dan bahkan
memberikan rekomendasi bagaimana perusahaan mengatur leverage secara optimum
terkait dengan rasio market to book equity (M/B). Jadi kalau rasio M/B rendah,
perusahaan dengan leverage tinggi boleh melepas saham. Hal yang kontras akan berlaku
untuk rasio M/B tinggi.
Terakhir penulis ingin mendiskusikan hubungan antara rasio M/B dengan leverage
yang cenderung resiprokal. Kalau secara fundamental memang leverage dan ekuitas
berlawanan. Terlihat dalam susunan pos pasiva; bila hutang naik maka leverage naik dan
akibatnya ekuitas akan turun. Yang membuat hutang naik, adalah perusahaan
mengurangi pendanaan internal atau menambah debt financing. Logikanya perusahaan
dengan rating debt bagus, berharap harga saham akan naik. Tetapi sesuai asumsi MTT
yang terjadi sebaliknya leverage tinggi akan menurunkan harga saham melalui turunnya
nilai pasar ekuitas. Hal ini karena perilaku pesimistis investor terhadap perusahaan ber-
leverage tinggi meski rating debt-nya bagus.
D. Riset Akademisi Pro & Kontra Terhadap Market Timing Theory
Pro-kontra terhadap MTT berkisar soal persistensi struktur modal bisa long term
atau tidak. Hasil studi Baker & Wurgler (2002) berhasil menunjukkan efek persistensi
7 Karena argumentasi ini amat penting bagi eksistensi MTT, penulis akan kupas habis di bagian rekonsiliasi akademik pro-kontra MTT. Disamping ada kritik penulis juga terhadap definisi persistensi Kusumawati & Danny (2006) yang terlalu berat ke ekonometrik semata.
10
yakni efek net equity issuance masih ada. Kalau memang efek persistensi masih ada
maka perusahaan tidak perlu tergesa-gesa melakukan adjustment terhadap leverage.
Dalam Huang & Ritter (2005) terungkap dua kelompok yang masing-masing pro &
kontra terhadap MTT. Kelompok yang pro antara lain Welsch (2004); Kayhan & Titman
(2005) serta Lemmon, et.al. (2005). Mereka mengklaim bahwa dengan sampel
perusahaan yang ber-IPO, efek persistensi masih begitu kuat bahkan hingga 10-20 tahun.
Tetapi dengan sampel yang hampir sama itu pula Leary & Robert (2005), Alti (2005)
serta Hovakimian (2005) menemukan efek persistensi hilang beberapa tahun pasca
perusahaan IPO. Apa yang terjadi ini?
Penulis memiliki dugaan persoalan metode analisis; kerangka panel data dan
variabel baru sebagai faktor pemicu. Leary & Robert (2005) memakai model GLS
maximum likelihood yang tentu lebih robust dari OLS Baker & Wurgler (2002).
Sedangkan Alti (2005) sudah memasukkan unsur hot dan cold markets saat IPO pada
kerangka panel data, meski model sama yakni OLS. Terakhir Hovakimian (2005) sudah
memasukkan variabel-variabel baru seperti size, tangibility dan profitabilitas di samping
rasio M/B; rasio PPE/Asset dan rasio EBITDA/Asset di studi Baker & Wurgler (2002).
Kalau memang demikian akar persoalan pada definisi persistensi yang “sarat”
dengan bidang ekonometrik, penulis sepakat dengan Huang & Ritter (2005) bahwa perlu
model analisis yang tepat. Nampaknya regresi data panel menjadi alternatif untuk
menjelaskan fenomena persistensi tersebut. Huang & Ritter (2005) berhasil
menunjukkan masih adanya efek persistensi walaupun cukup lemah.
E. Pandangan Penulis tentang Market Timing Theory
Seperti halnya tabel 1, penulis juga bermaksud membuat desain MTT dengan
menggunakan empat pilar utama seperti asumsi, inti, variabel penjelas dan model riset.
Berbicara tentang asumsi, menurut penulis ada tiga yakni target leverage memang
penting tetapi kapan mencapai the optimal leverage itu jauh lebih penting. Hal ini
sepenuhnya akan tergantung pada equity issuance. Asumsi lain adalah perusahaan akan
mengalami financing deficit, sebab tidak cukup hanya mengandalkan internal financing.
Terakhir proxy lain selain cost of capital seperti karakteristik perusahaan dan kondisi
pasar juga penting (studi Huang & Ritter (2005) membuktikan).
Inti MTT menurut penulis adalah perusahaan hendaknya memakai ekuitas
manakala biaya modal ekuitas itu murah. Dan sebaliknya memakai hutang manakala
11
biaya modal hutang itu juga murah. Tetapi terlepas itu perusahaan dapat memakai
kombinasi keduanya bila biaya modal ekuitas sebesar biaya modal hutang. Artinya ini
tercipta optimalitas struktur modal yang sempurna. Hal lain adalah keputusan pendanaan
juga dipengaruhi oleh situasi terkini perusahaan baik itu IPO ataupun SEO. Teorinya IPO
dan SEO akan mempengaruhi struktur modal perusahaan.
Kalau variabel penjelas maka rasio M/B, EFWA M/B, intensitas aktiva tetap dari
Baker & Wurgler (2002) semuanya dapat teraplikasi. Asalkan dengan catatan variabel
rasio M/B dan EFWA M/B memiliki pengaruh negatif terhadap leverage. Studi Huang
& Ritter (2005) berhasil menambahkan variabel Equity Risk Premium, profitabilitas,
ukuran perusahaan, tingkat penjualan dan modal kerja netto serta variabel makro seperti
pajak & GDP. Penambahan variabel ini sekaligus memperluas dan memperkaya temuan
Baker & Wurgler (2002). Model riset tetap mengacu pada OLS Baker & Wurgler
(2002), kalaupun mau bisa dengan model regresi data panel ataupun multinomial logit
dari Huang & Ritter (2005).
F. Riset MTT di BEJ (versi Indonesia)
Ada dua yakni studi Kusumawati & Danny (2006) dan Dahlan (2004). Kusumawati
& Danny (2006) berhasil melakukan observasi MTT di Indonesia dengan sampel data
400 observasi selama 1991-2001 untuk perusahaan non keuangan. Dalam bentuk model
GMM tersaji sebagai berikut (tanda hitam untuk variabel yang signifikan):
perusahaan IPO tahun 2000 dan 14 perusahaan IPO tahun 2001. Kriteria purposive
sampling adalah:
1. Perusahaan bukan dalam sektor keuangan seperti bank dan non bank (misal
asuransi, sekuritas dan leasing).
2. Perusahaan tidak terkena status delisting selama kurun waktu 2000-2002.
3. Perusahaan memiliki kelengkapan laporan keuangan terutama informasi rasio
leverage, jumlah lembar saham beredar dan harga saham per 31 Desember.8
D. Definisi Operasional & Hubungan Antar Variabel
Ada dua jenis variabel yakni variabel bebas dan variabel terikat. Variabel terikat
adalah leverage yakni tingkat hutang perusahaan yang mempengaruhi struktur modal
suatu perusahaan. Proxy leverage ada dua yakni book leverage dan market leverage.
Book leverage diukur dengan rasio hutang dan total aktiva.
Sementara market leverage diukur dengan hasil bagi antara total hutang – total
ekuitas dikali nilai kapitalisasi pasar dan total aktiva. Variabel bebas secara definisi
mengacu pada studi-studi sebelumnya. Tetapi untuk pengembangan hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat penulis memodifikasi sendiri; berhubung pada
studi terdahulu tidak begitu jelas logikanya.
Secara detail dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Market to Book Ratio yakni hasil bagi antara nilai kapitalisasi pasar plus total
hutang dengan total aktiva. Market to book ratio diharapkan berhubungan negatif
dengan leverage (H1) dengan alasan saat perusahaan melakukan IPO maka nilai
market to book ratio akan tinggi, hal ini akan mendorong perusahaan untuk
mengurangi pendanaan dengan hutang.
2. Net property plant dan equipment yakni nilai buku aktiva tetap yang diperoleh dari
selisih harga perolehan dan akumulasi depresiasi tahun “buku” berjalan.
Diharapkan akan berpengaruh negatif juga terhadap leverage (H2) karena saat IPO
aktiva tetap tidak akan berfungsi sebagai agunan bagi pendanaan hutang. Saat IPO
justru terjadi peningkatan aktiva tetap dengan sumber dana ekuitas pemegang
saham baru.
8 Beberapa perusahaan dikeluarkan dari sampel. Hal ini atas dasar pertimbangan bahwa data harga saham berguna untuk menghitung proxy market to book ratio.
14
3. Earning After Tax yakni laba bersih dipotong beban bunga dan pajak tahun
berjalan. Diharapkan akan berpengaruh negatif juga terhadap leverage (H3) karena
saat IPO perusahaan baru akan mengalami peningkatan laba. Maka efek tax-shield
karena penggunaan hutang akan mulai berkurang.
4. Total Asset merupakan total aktiva yang terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap.
Diharapkan akan berpengaruh positif terhadap leverage (H4). Sebab waktu IPO,
mestinya akan terjadi peningkatan ekuitas dengan asumsi hutang tetap.
Peningkatan ekuitas karena penambahan modal pemegang saham baru pada
gilirannya akan memperbesar ukuran perusahaan yang diukur dengan total aktiva.
E. Model Analisis
Acuan penulis adalah model Dahlan (2004) yang tetap mengacu pada model Baker
& Wurgler (2002). Alasan penulis adalah model Baker & Wurgler (2002) ini banyak
dikutip oleh kelompok peneliti dan juga sangat parsimonif. Skema model nampak
sebagai berikut:
ΔBL t = β0 + β1(M/B)t-1 + β2 PPE t-1 + β3 EAT t-1 + β4 TA t-1+ (1)
ΔML t = β0 + β1(M/B)t-1 + β2 PPE t-1 + β3 EAT t-1 + β4 TA t-1+ (2)
Keterangan:
ΔBL = nilai buku leverage yang dinyatakan dalam selisih 9
ΔML = nilai pasar leverage yang juga dinyatakan dalam selisih
M/B = market to book ratio
PPE = net property, plant & equipment
EAT = earning after tax
TA = total asset
Seperti diketahui dalam model 1 dan 2, maka agar H1-H4 diterima maka nilai
masing-masing koefisien β1 < 0; β2 < 0; β3 < 0 dan β4 > 0. Selain itu secara statistik
masing-masing koefisien akan memiliki nilai t-hitung yang signifikan pada taraf
minimum (p-value) 10 %. Agar dapat dipakai sebagai model prediksi bagi keputusan
struktur modal di masa depan, maka model 1 & 2 juga harus lolos dari uji asumsi klasik.
9 Pada studi pendahuluan hasil pengujian dengan nilai absolut tidak begitu memuaskan. Maka penulis memutuskan mengikuti model Dahlan (2004) yakni dengan difference (selisih).
15
HASIL ANALISIS
A. Statistik Deskriptif
Berbasis pada hasil deskriptif tabel 2, hampir semua variabel yang menjadi acuan
dalam model memiliki karakteristik yang unik. Seperti kita lihat antara ΔBL & ΔML
memiliki perbedaan yang khas. Nilai market leverage secara umum lebih tinggi dari nilai
book leverage. Hal ini selaras dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Faktor
pengurang total ekuitas dan penambah nilai kapitalisasi pasar yang mampu menjelaskan.
Penyebab nilai negatif baik pada book dan market leverage adalah karena adanya
penurunan tingkat hutang pada beberapa sampel. Dan hal ini tentu saja akan berimplikasi
poistif bagi diterimanya hipotesis MTT.
Tabel 2. Statistik Deskriptif [56 (28X2) observasi IPO 2000-2001]Variable Mean Std.Dev Min Max
Sumber: Hasil analisis penulis (2007) versi awal dengan STATA 9.0
Secara ekonometrik, model 3 masih kurang layak. Hal ini karena terjadi
multikolinearitas antara total aktiva dan aktiva tetap. Untuk mengatasi hal ini, penulis
memutuskan menguji lagi dengan model 4. Hasilnya tetap sama yakni H1 sebagai
hipotesis utama masih diterima. Penulis berpendapat proxy total aktiva bisa diganti
dengan penjualan.
KESIMPULAN & REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan “studi kecil ini”, maka nampak bahwa dengan model OLS-pun
hipotesis MTT berhasil diterima. Artinya hal ini memberikan ruang yang lebar bagi
17
peneliti lain yang ingin mencoba dengan sampel periode dan industri yang berbeda.
Penulis juga melihat masalah familiaritas regresi data panel juga menjadi pertimbangan.
Model ini penulis akui lebih baik tetapi dengan sampel periode yang panjang.
Kemudian terkait dengan penerimaan hipotesis MTT ini pula, penulis mengamati
bahwa perusahaan IPO yang dipandang sebagai sampel hipotesis MTT. Ada satu
karakter unik dari perusahaan IPO 2000-2001 yakni data harga saham cenderung akan
berkurang setelah tahun IPO. Fenomena yang terjadi adalah para investor baru akan
melakukan profit taking; dengan asumsi tingkat hutang akan meningkat dan harga saham
merupakan salah satu komponen market to book maka jelas hubungan antara market to
book dan leverage akan negatif.
Yang unik lagi ternyata karakter market to book juga dipengaruhi oleh EAT yang
memberikan efek negatif terhadap leverage. Fenomena yang terjadi adalah medium-term
underperformance pasca IPO. Intinya laba perusahaan akan cenderung menurun
meskipun pada tahun pertama setelah IPO cenderung naik. Penyebab turunnya laba
adalah adanya aksi manajemen untuk membayar tagihan bunga hutang ataupun
mendanai proyek-proyek tertentu.
B. Rekomendasi untuk Riset Selanjutnya
Ada dua hal yakni pertama, tentu saja periode sampel harus diperpanjang terutama
untuk menguji efek persistensi dari MTT. Karena hal ini begitu gencar disorot oleh Alti
(2005). Kedua, pengujian dalam beberapa kelompok panel data dan efek interaksi antara
dummy krisis moneter dan variabel bebas. Ketiga; model GLS wajib tentunya.
REFERENSI
Alti, A. (2003). How Persistent Is the Impact of Market Timing on Capital Structure. Working Paper from University of Texas Austin, pp. 1-35.
Baker, M. & R. Wurgler (2002). Market Timing and Capital Structure. Journal of Finance 57, pp. 1-32.
18
Berk, J. & P. De Marzo (2007). Corporate Finance, Pearson International Edition, Chapter 14 & 15.
Dahlan, I.O. (2004). Market Timing dan Struktur Modal: Studi pada Perusahaan Non Keuangan Tercatat di BEJ. Tesis S2 PSIM UI.
Elliot, W.B., J.K. Kant & R.S. Warr. (2004). Further Evidence on the Financing Deficit: The Impact of Market Timing. Working Paper from Oklahoma State University, pp. 1-32.
Frank, M.Z. & V.K. Goyale (2003). Capital Structure Decisions. Working Paper from www.ssrn.com,pp. 1-56.
Graham, J.R. & C.R. Harvey (2001). The Theory and Practice of Corporate Finance: Evidence from the Field. Journal of Financial Economics 60,pp. 187-243.
Hogfeldt, P. & A. Oborenko (2005). Does Market Timing or Enhanced Pecking Order Determine Capital Structure? Working Paper from Stockholm School of Economics, pp. 1-48.
Hovakimian, A. (2005). Are Observed Capital Structure Determined by Equity Market Timing? Working Paper from Baruch College,pp. 1-45.
Huang, R. & J.R. Ritter (2005). Testing the Market Timing of Capital Structure. Working
Paper from University of Florida, pp. 1-44. Kant, J.K. (2003). Valuation Errors at the Time of Security Issuance & the Market Timing
Theory of Capital Structure. Doctoral Dissertation from Oklahoma State University, pp. 1-123.
Kayhan, A. & S. Titman (2005). Firms’ Histories and Their Capital Structure. NBER
Working Paper, pp. 1- 51.
Kusumawati, D. & F. Danny (2006). Persistensi Struktur Modal Pada Perusahaan Publik Non Keuangan yang Tercatat di BEJ: Pendekatan Market Timing & Teori Struktur Modal Optimal. Jurnal Ekonomi STEI 15 (32), hal. 1-24.
Liu. L.X. (2005). Do Firms Have Target Leverage Ratios? Evidence from Historical
Market to Book and Past Returns. Working Paper from Hongkong University of Science & Technology, pp. 1-48.
Mahajan, A. & S. Tartaroglu (2007). Equity Market Timing and Capital Structure: International Evidence. Working Paper from Texas A & M University, pp. 1-32.
Manurung, A.H. (2004). Teori Struktur Modal: Sebuah Survai. Manajemen & Usahawan Indonesia Vol. 33. No.4, hal.20-25.
Pangeran, P. (2004). Pemilihan Antara Penawaran Sekuritas Ekuitas dan Utang: Suatu Pengujian Empiris terhadap Pecking Order Theory dan Balance Theory, Manajemen & Usahawan Indonesia Vol.33. No.4, hal. 27-36.
Tobing, L.R. (2007), Studi Mengenai Perbedaan Struktur Modal Perusahaan Multinasional
Dengan Perusahaan Domestik yang Go-Public di Pasar Modal Indonesia: Perspektif
19
Teori Keagenan & Teori Kontijensi Dalam Mengoptimalkan Struktur Modal Perusahaan. Proposal Disertasi Program S3 Ilmu Ekonomi UNDIP, hal. 1-26.
Vasiliou, D. & N. Daskalakis (2007). Behavioral Capital Structure: Is the Neoclassical Paradigm Threatened? Evidence from the Field. Working Paper from Hellenic Open University, pp. 1-31.
Wagner, H.F. (2007). Public Equity Issues and the Scope of Market Timing. Working Paper from London Business School, pp. 1-59.
20
LAMPIRAN (1)
Tabulasi Data Final (28 observasi IPO 2000)Data yang berwarna merah untuk IPO 2000; sedang yang berwarna biru adalah untuk IPO 2001. Untuk variabel PPE*; EAT* dan TA*, penulis melakukan transformasi dalam pembulatan digit nilai yakni dikalikan dengan 10-6. Hal ini adalah untuk penyesuaian dengan variabel Δ BL dan Δ ML serta M/B yang digitnya dalam desimal dan satuan
Tabulasi Data Final (28 observasi IPO 2001)Data yang berwarna merah untuk IPO 2000; sedang yang berwarna biru adalah untuk IPO 2001. Untuk variabel PPE*; EAT* dan TA*, penulis melakukan transformasi dalam pembulatan digit nilai yakni dikalikan dengan 10-6. Hal ini adalah untuk penyesuaian dengan variabel Δ BL dan Δ ML serta M/B yang digitnya dalam desimal dan satuan. Khusus Lapindo Int. bukan Lapindo Brantas yang lagi bermasalah.