BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sendratari Mahabharata adalah salah satu karya seni pertunjukan yang diunggulkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Mengintegrasikan tiga elemen pokok, yaitu drama, tari, dan karawitan ini, dengan lakon yang bersumber dari epos Mahabharata, Sendratari Mahabharata selalu dijadikan materi sajian utama dan kehadirannya senantiasa disambut penuh antusias oleh penonton. Sejak pertama kali ditampilkan di arena PKB pada tahun 1981 hingga sekarang (2014), Sendratari Mahabharata terus berubah secara dinamis mengikuti semangat kreativitas para kreatornya yang mencoba untuk menjawab pergeseran selera artistik penonton Bali di zaman globalisasi ini. Perubahan dan inovasi bentuk Sendratari Mahabharata di sepanjang perjalanan PKB menunjukkan sebuah dinamika kesenian yang selama ini cenderung luput dari pengamatan peneliti dan pemerhati seni di Bali. Dinamika esensial yang tampak terjadi dalam Sendratari Mahabharata dalam perjalanannya di PKB adalah menyangkut prinsip estetiknya sebagai seni pertunjukan dramatari. Pada prinsipnya, sendratari merupakan seni pentas tanpa menggunakan dialog prosa dan tembang, serta tanpa narasi dalang yang alur ceritanya disajikan semata-mata lewat gerak tari dan mimik penari (Moehkardi, 2011: 37). Perubahan prinsip estetik sendratari sebagai seni drama dengan tata garap seni tari yang terjadi dalam Sendratari Mahabharata, adalah kecendrungan penonjolan sajian drama dengan penggunaan narasi dalang yang verbal. Peran dalang tidak lagi hanya sebatas mengalunkan sendon dan
38
Embed
PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id 1.pdf · tari yang tidak bercerita. Tari dramatik yang ada di Indonesia misalnya Wayang Wong dari Jawa Tengah, Langen Mandrawanaran dari Yogyakarta,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sendratari Mahabharata adalah salah satu karya seni pertunjukan yang
diunggulkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Mengintegrasikan tiga elemen pokok,
yaitu drama, tari, dan karawitan ini, dengan lakon yang bersumber dari epos
Mahabharata, Sendratari Mahabharata selalu dijadikan materi sajian utama dan
kehadirannya senantiasa disambut penuh antusias oleh penonton. Sejak pertama kali
ditampilkan di arena PKB pada tahun 1981 hingga sekarang (2014), Sendratari
Mahabharata terus berubah secara dinamis mengikuti semangat kreativitas para
kreatornya yang mencoba untuk menjawab pergeseran selera artistik penonton Bali di
zaman globalisasi ini. Perubahan dan inovasi bentuk Sendratari Mahabharata di
sepanjang perjalanan PKB menunjukkan sebuah dinamika kesenian yang selama ini
cenderung luput dari pengamatan peneliti dan pemerhati seni di Bali.
Dinamika esensial yang tampak terjadi dalam Sendratari Mahabharata dalam
perjalanannya di PKB adalah menyangkut prinsip estetiknya sebagai seni pertunjukan
dramatari. Pada prinsipnya, sendratari merupakan seni pentas tanpa menggunakan dialog
prosa dan tembang, serta tanpa narasi dalang yang alur ceritanya disajikan semata-mata
lewat gerak tari dan mimik penari (Moehkardi, 2011: 37). Perubahan prinsip estetik
sendratari sebagai seni drama dengan tata garap seni tari yang terjadi dalam Sendratari
Mahabharata, adalah kecendrungan penonjolan sajian drama dengan penggunaan narasi
dalang yang verbal. Peran dalang tidak lagi hanya sebatas mengalunkan sendon dan
2
tandak untuk menggarisbawahi adegan namun dengan dialog verbalnya mengendalikan
para penari. Padahal sajian seni pertunjukan yang digarap secara kolosal ini, pada tahun-
tahun awal penyelenggaraan PKB, masih taat dengan prinsip estetik sendratari dengan
pengutamaan tari sebagai media ungkap dramatiknya.
Penonjolan pendramaan dan verbalisasi antawacana dalang tersebut, menggeser
sendratari, kemudian seakan terdistorsi daya estetiknya ketika penggunaan unsur-unsur
properti besar pada seni pertunjukan yang senantiasa digelar di Panggung Ardha Candra
tersebut. Penggunaan properti sebenarnya sudah muncul pada penggarapan Sendratari
Mahabharata pada tahun 1980-an yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Akan tetapi, pada tahun 2000-an, penggunaan properti mendapat porsi penggarapan dan
penampilan yang ditonjolkan. Properti besar berupa kereta kuda, gajah, harimau, naga,
garuda, dan bentuk-bentuk raksasa, menjadi atraksi menonjol Sendratari Mahabharata
PKB. Simbolisasi maknawi dan imajinatif yang semestinya lewat estetika tari, tampak
lebih diberikan ruang kepada properti-properti besar. Penonjolan properti ini
menunjukkan adanya perubahan sendratari sebagai dramatari simbolik menjadi realistik.
Suatu perubahan terjadi disebabkan oleh adanya faktor-faktor pendorong,
apakah disebabkan oleh faktor stimulasi internal atau pun karena faktor konstelasi
eksternal (Koentjaraningrat, 2009: 28). Pagelarannya yang telah lebih dari 30 tahun
berlangsung di arena PKB, memposisikan Sendratari Mahabharata sebagai ekspresi
estetik yang merefleksikan penanda-penanda perubahan budaya. Sebab, sebagai petanda
budaya, pada hakikatnya seni adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan
3
(Wolff dalam Smiers, 2009: 122). Dalam perannya sebagai penyimpan makna
kebudayaan, perubahan Sendratari Mahabharata di tengah-tengah perjalanan PKB
merepresentasikan adanya dinamika seni dan kultural di era globalisasi ini. Perubahan
prinsip estetik Sendratari Mahabharata PKB, merupakan presentasi teks yang
merepresentasikan konteks. PKB sebagai sebuah forum apresiasi seni menunjukkan
representasi dinamika budaya seperti yang dapat dimaknai dari keberadaan dan
perubahan Sendratari Mahabharata.
PKB dicetuskan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra sebagai upaya menumbuhkan
rasa sadar budaya masyarakat Bali dalam menghadapi globalisasi (Mantra, 1996: 12).
Sendratari Mahabharata sebagai salah satu bentuk seni yang digarap dan digelar dalam
PKB, telah menunjukkan daya dirinya beradaptasi dengan dinamika masyarakat Bali dan
perkembangan kehidupan yang mengglobal. Cerita Mahabharata yang mengakar kuat di
tengah-tengah masyarakat Bali dalam konfigurasi estetika sendratari tersebut, diterima
hangat masyarakat Bali di arena PKB, sebagai tontonan lokal yang memiliki daya saing
di tengah superioritas hegemoni budaya global. Kini, di tengah gelombang globalisasi,
mengemuka kecenderungan seni-seni lokal bangsa-bangsa semakin dihargai dimana
globalisasi justru mendorong bangkitnya nilai-nilai lokal (Naisbitt, 1990: 11). Sendratari
Mahabharata yang dibangun dari estetika lokal dan kearifan budaya Bali dengan
mensinergikan elemen-elemen seni tradisi dengan unsur-unsur seni dan teknologi
modern, menjadi indikator kebenaran ungkapan Naisbitt tersebut. Perubahan Sendratari
Mahabharata PKB tak bisa dilepaskan dari semangat kebanggaan terhadap seni dan
budaya Bali di tengah-tengah pergulatan budaya global-lokal.
4
Genre sendratari telah dikenal luas di tengah-tengah masyarakat Bali pada tahun
1970-an. Ketika kemudian dramatari yang dikonstruksi dari elemen-elemen seni tari,
karawitan, dan pedalangan ini dipentaskan secara khusus sejak awal PKB, 1979,
eksistensinya sebagai genre seni pertunjukan yang banyak digemari oleh masyarakat
semakin kokoh. Sementara itu, bersama bentuk-bentuk kesenian lainnya, sendratari ikut
mengisi kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat Bali. Pada tahun 1970-an,
Sendratari Ramayana disambut hangat pementasannya di desa-desa dengan sebutan
Ramayana Ballet (Picard, 2006: 222). Pementasan sendratari dapat disaksikan sebagai
seni tontonan yang berkaitan dengan ritual keagamaan dalam suasana komunal hingga
disuguhkan sebagai presentasi estetik dalam ruang formal yang disimak masyarakat
kebanyakan dan para pejabat negara. Tata garap estetik dan pesan moral dari lakon
Sendratari Ramayana yang mengisahkan perjuangan dharma (Rama) menundukkan
adharma (Rahwana), mendapat apresiasi yang baik masyarakat penonton.
Lakon-lakon yang disajikan sendratari berangkat dari beragam sumber cerita.
Disamping wiracerita Ramayana, epos Mahabharata adalah salah satu sumber cerita
yang banyak dieksplorasi sejak awal perkembangan seni pertunjukan ini. Sendratari
Arjunawiwaha yang digarap sekolah menengah kesenian Konservatori Karawitan
Indonesia (Kokar) Bali pada tahun 1970, termasuk sendratari perintis yang lakonnya
bersumber dari epos Mahabharata (I Wayan Madra Aryasa, wawancara 4 Oktober 2010).
Sendratari Mahabharata secara berkesinambungan dipertunjukkan sejak PKB III tahun
1981 hingga sekarang (2014), baik sendratari yang lakonnya bersumber dari babon 18
5
parwa maupun sendratari yang mempergunakan lakon-lakon carangan. Berikut adalah
lakon-lakon Sendratari Mahabharata PKB dari tahun 1981 hingga tahun 2014.
No. Tahun Judul Sendratari Mahabharata PKB
1 1981 Sayembara Dewi Amba
Pandawa Korawa Aguru
Bale gala-gala
2 1982 Sayembara Drupadi
Pandawa Korawa Main Dadu
Pembuangan Pandawa
3 1983 Matinya Kicaka
Gugurnya Bhisma
Gugurnya Abimanyu
Gugurnya Gatutkaca
4 1984 Gugurnya Karna
Gugurnya Salya
Gugurnya Duryadana
Hancurnya Dewarawati
5 1985 Nara Kusuma
Dewa Ruci
Lahirnya Gatutkaca
6 1986 Ekalawya
Arjuna Wiwaha
6
7 1987 Parikesit
8 1988 Sutasoma
9 1989 Kunjarakarna
10 1990 Sakuntala
Kangsa Lina
Arjuna Pramada
Krena Duta
11 1991 Pandawa Asrama
Swarga Rohana
12 1992 Gatotkaca Seraya
Prabu Nala
13 1993 Gatutkaca Makrangkeng
Lahirnya Kala
14 1994 Narakusuma
Karna Tanding
Subadra Larung
Pandawa Maguru Jati
15 1995 Prabu Danureja
Lahirnya Gatutkaca
Gugurnya Salya
16 2002 Gorangsa Lina
7
Praja Winangun
17 2004 Siwa Tatwa
Nara Kususma
18 2007 Gugurnya Niwata Kawaca
Bima Dadi Caru
19 2009 Bhima Swarga
20. 2010 Kunti Yadnya
21 2011 Bhisma Dewabharata
22 2012 Purusada Santa
Nila Candra Ngeka Swarga
23 2013 Garuda Digjaya Mahambara
Sakuni Raja Winaya
24 2014 Astina Praja Werdhi
Tidak bisa dipungkiri bahwasannya pagelaran sendratari berkontribusi menarik
perhatian masyarakat terhadap PKB. Pada awalnya, sosialisasi kongkret PKB digiring
oleh berduyun-duyunnya penonton menyaksikan pementasan sendratari di Taman
Budaya Bali. Garapan sendratari yang lakonnya bersumber dari bagian awal cerita
Mahabharata, Adi Parwa, yaitu Sendratari Pemutaran Mandaragiri (1978) yang
dibawakan ratusan penari Kokar Bali, berhasil menggugah penonton dan antusiasisme
masyarakat Bali menyaksikan sendratari-sendratari kolosal berikutnya dalam setiap
penyelenggaraan PKB dari tahun ke tahun. Sebaliknya, melalui PKB sendratari
8
memperoleh wadah dan ruang kreativitas dan inovasi yang dalam perjalanannya
mendapat perhatian tersendiri masyarakat. Keberadaan panggung terbuka Ardha Candra
Taman Budaya Bali menjadi salah satu stimulus penting terhadap sendratari PKB.
Penyesuaian terhadap panggung Ardha Candra yang luas dan besar dengan tata suara dan
lampu canggih, menurut pakar teater Amerika, Fredrik Eugene deBoer (1996),
menempatkan sendratari sebagai seni pertunjukan modern. Panggung yang luas dan jarak
penonton yang relatif jauh dalam pementasan sendratari kolosal PKB, menyebabkan
perubahan dari prinsip tari Bali yang terinci menjadi prinsip global (Bandem, 1996:68).
Pada awalnya, perubahan prinsip tari Bali dalam sendratari kolosal PKB sempat membuat
khawatir para pemerhati seni pertunjukan tradisi.
Sampai pada pementasan yang ketiga sendratari itu masih mendapat kritikyang cukup tajam dari para pengamat tari Bali. Bagi mereka yang fanatikdengan tari klasik Bali sering melontarkan ungkapan bahwa sendratari itutidak menggunakan uger-uger tari Bali, hanya jalan-jalan di panggungtanpa memperhitungkan keluwesan dan ekspresi tari yang matang.Penilaian semacam itu semula ada benarnya dan justru kecaman itumenumbuhkan semangat baru bagi para perancang sendratari untukmenemukan motif-motif baru dalam tari Bali. Peranan dalangdikembangkan, untaian filsafat dalam Mahabharata dan Ramayanaditonjolkan, maka berhasilah perangcang sendratari itu untuk menjadikankesenian itu digemari oleh masyarakat dan kini telah dianggapnya sebagaisuatu “master piece“ dalam pertumbuhan tari Bali (Bandem dalamSudhartha, ed.: 1993: 83).
Sebagai seni pertunjukan modern yang telah diterima masyarakat Bali, sendratari
menampilkan dirinya sebagai ekspresi seni yang terbuka terhadap adanya perubahan.
Sejak muncul di Bali pada tahun 1961 dengan Sendratari Jayaprana hingga menjadi seni
pentas primadona di arena PKB, seni pertunjukan ini menunjukkan perubahan-perubahan
presentasi bentuk dan kontekstualisasi isi, baik perubahan karena faktor internal para
9
seniman pelaku sendratari sendiri maupun perubahan faktor eksternal yang merupakan
pengaruh fenomena kehidupan dan perkembangan zaman, modernisasi dan globalisasi
misalnya. Perubahan itu teridentifikasi dalam perjalanan sendratari sepanjang
penyelenggaraan PKB. Demikian pula Sendratari Mahabharata yang digarap dengan
idealisme berkesenian bermuatan inovasi, menampakkan adanya perubahan-perubahan
itu di tengah perjalanan PKB.
PKB dapat ditempatkan sebagai arena pergulatan seni dan budaya masyarakat
Bali di tengah-tengah era globalisasi. Sebagai arena pergulatan seni, PKB telah lebih dari
30 tahun menjadi gelanggang pelestarian dan pengembangan kesenian Bali. Sebagai
arena pergulatan budaya, PKB dicetuskan sebagai sebuah strategi kebudayaan Bali yang
mampu bertahan hingga sekarang dan menunjukkan eksistensi yang semakin menguat di
masa-masa yang akan datang. PKB dapat menampung seluruh aktivitas budaya yang
perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan, karena ia merupakan daya tarik yang besar
untuk mengajak masyarakat untuk menikmati kesenian (Mantra, 1996 :15). PKB telah
mampu membangkitkan apresiasi masyarakat Bali terhadap nilai-nilai seni dan budaya
daerah Bali di samping memperkenalkan seni dan budaya Bali kepada masyarakat luas
(Dibia, 2003 :106). PKB yang digelar setiap tahun sejak tahun 1979 merupakan suatu
festival seni dan forum kebudayaan bertarap akbar yang sangat menggairahkan
kehidupan kebudayaan serta mencakup berbagai aktivitas kebudayaan seperti: pawai,
pertunjukan, pameran, lomba dan sarasehan kebudayaan (Suyatna dkk, 1990: 68).
Di tengah-tengah pergulatan seni dan budaya dalam arena PKB, genre sendratari,
khususnya Sendratari Mahabharata dalam hal ini, menjadi media komunikasi estetik dan
10
etik di tengah-tengah masyarakat Bali yang berdinamika. Sebagai komunikator estetik,
para seniman Sendratari Mahabharata melakukan berbagai kemungkinan kreatif dan
inovasi. Sebagai komunikator etik, Sendratari Mahabharata menyerap, menggali,
mengolah, pengaktualisasikan nilai-nilai moral yang dikontekstualisasikan dengan
dinamika perubahan masyarakat Bali, penonton Sendratari Mahabharata. Oleh karena itu,
dinamika Sendratari Mahabharata di tengah perjalan PKB sangat menarik untuk dikaji
mengingat genre sendratari, cerita Mahabharata, dan PKB memiliki posisi yang
signifikan dalam konteks kehidupan sosial budaya Bali. Bagaimana signifikasi sendratari,
cerita Mahabharata, dan PKB di tengah masyarakat Bali, berikut ini paparannya.
Sendratari adalah salah satu bentuk dari beragam dramatari Indonesia. Menurut
Soedarsono (1978: 16) dramatari adalah tari yang bercerita, baik tari itu dilakukan oleh
seorang penari maupun oleh beberapa orang penari, sedangkan tari non dramatik adalah
tari yang tidak bercerita. Tari dramatik yang ada di Indonesia misalnya Wayang Wong
dari Jawa Tengah, Langen Mandrawanaran dari Yogyakarta, Langendriyan dari
Surakarta, Arja, Calonarang, dan Gambuh dari Bali. Kata sendratari merupakan
kependekan dari seni, drama dan tari yang berarti seni drama yang ditarikan. Ciri khas
yang terdapat dalam sendratari terletak pada media pengutaraan ceritanya yang
menggunakan tari dan musik (gamelan) tanpa ada dialog atau antawecana
(Soedarsono,1978: 3). Sendratari, seperti halnya ballet modern, pada hakikatnya
merupakan tarian berlakon yang lebih menekankan penyajian cerita lewat gerak tari dan
karawitan (Dibia, 1999: 67).
11
Sejak digagas tahun 1961, konsep estetik sendratari berkembang cepat di
Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sendratari pertama yang muncul
di Bali mempergunakan lakon cerita rakyat popular Bali, Jayaprana. Sendratari Jayaprana
garapan Kokar Bali yang ditata oleh I Wayan Beratha, guru tari dan karawitan sekolah
menengah seni pertunjukan itu, setelah diciptakan pada tahun 1961 sering mendapat
undangan pentas ke berbagai penjuru Bali. Sendratari Ramayana yang digarap tahun
1965 oleh I Wayan Beratha bersama guru-guru Kokar yang lainnya seperti I Made
Bandem dan I Nyoman Sumandhi, diapresiasi dengan begitu antusias oleh masyarakat
Bali hingga ke berbagai penjuru desa. Sekitar tahun 1970-an, acara tontonan yang
berkaitan dengan upacara keagamaan seperti odalan, sering menampilkan Sendratari
Ramayana yang dibawakan oleh siswa Kokar Bali atau mahasiswa Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) Denpasar.
Ide penciptaan seni pentas tanpa dialog verbal ini, pada awalnya adalah agar
dengan mudah dipahami oleh pemirsa asing (Sedyawati, 2006:168). Penggagasnya
adalah Mayor Jenderal G.P.H. Djatikoesoemo yang saat itu mengepalai Departemen
Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, setelah sempat menyaksikan
pertunjukan Ballet Royale du Camboge yang dipentaskan di depan Angkor Wat. Istilah
sendratari merupakan usulan seorang dramawan bernama Anjar Asmara. Sendratari gaya
Jawa ini dipentaskan untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Juli tahun 1961 dengan
mengangkat lakon yang bersumber dari epos Ramayana (Soedarsono, 2003:145).
Penciptaan karya seni pentas dengan konsep estetik tanpa dialog verbal ini
dilatarbelakangi oleh motivasi membangun industri budaya di Jawa Tengah, salah
12
satunya dalam wujud seni pertunjukan wisata. Demikian pula penciptaan sendratari Bali
juga mempergunakan konsep seni wisata art by metamorphosis seperti sendratari di
Yogyakarta (Soedarsono, 1999: 148). Menurut Bandem & deBoer (2004: 111),
sendratari Bali diciptakan juga untuk kebutuhan yang sama. Namun dalam
perjalanannya, sendratari gaya Bali mengarah pada art by destination yaitu seni
pertunjukan untuk kepentingan masyarakat setempat, baik sebagai tontonan komunal di
pedesaan maupun sebagai tontonan masyarakat umum Bali di arena PKB.
Secara kultural, sendratari merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan Indonesia
yang fenomenal. Kelahirannya pada tahun 1961 di Jawa Tengah sebagai seni pentas
kolosal mengagetkan masyarakat setempat, karena para pendukung tari tradisi (Jawa)
sesungguhnya belum siap oleh konsep dan inovasi seni yang ditampilkan sendratari itu
(Murgiyanto, 2004:13). Sebaliknya di Bali, ketika sendratari muncul pada tahun 1961,
masyarakat menyambutnya dengan antusias dan semakin mantap keberadaannya sejak
PKB dibuka pada tahun 1979. Tercatat pada tahun-tahun awal PKB, sendratari yang
dibawakan oleh gabungan siswa Kokar dan mahasiswa ASTI Denpasar disimak sarat
euporia masyarakat penonton yang datang dari penjuru Bali. Garapan seni pertunjukan
yang ceritanya bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata yang dibawakan oleh
ratusan penari dan penabuh itu mengundang kehadiran ribuan penonton memadati
panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali.
Hampir seluruh parwa dalam Mahabharata dan juga kanda dalam Ramayana telah
pernah digarap dalam bentuk sendratari di arena PKB oleh Kokar/SMKI/SMK Negeri 3
Sukawati dan ASTI/STSI/ISI Denpasar, baik dalam kerja seni secara bergabung maupun
13
terpisah. Selain karena kedua cerita itu telah mengakar di tengah masyarakat Bali, tampak
konsep estetik inovatif yang muncul dalam setiap episode sendratari PKB, berhasil
menggugah antusiasme penonton. Unsur-unsur pembaharuan dalam penataan tari dan
karawitannya, serta kontektualisasi cerita yang dituturkan dalang membuat seni
petunjukan ini pada umumnya selalu berhasil memukau penonton. Semangat
pembaharuan seakan menjadi idealisme penggarapan sendratari PKB. Di arena PKB,
tampak seni pertunjukan ini mempertahankan eksistensinya dengan kreativitas seni yang
inovatif. Sementara itu masyarakat Bali sendiri memberikan apresiasi yang tinggi pada
inovasi sendratari PKB. Sebab, inovasi tidak akan tumbuh dan berkembang subur jika
tidak didukung oleh masyarakat (Murgiyanto,2004:8).
Setelah hampir selama 20 tahun berjaya, memasuki tahun 2000-an sendratari PKB
sempat mengendor. Pada era tahun 2000-an awal, pementasan sendratari kurang
disambut gegap penonton. Pementasan sendratari yang biasanya digelar setiap malam
Minggu selama sebulan jadwal PKB, sempat ditiadakan. Upacara pembukaan dan
penutupan PKB yang sejak awal mementaskan sendratari, pada tahun 2000-an pernah
diganti dengan pagelaran lain. Surutnya kejayaan sendratari juga terjadi di tengah-tengah
masyarakat Bali. Setidaknya sampai tahun 1980-an sendratari adalah salah satu seni
pertunjukan yang sering tampil mengisi acara totonan ritual keagamaan atau seni balih-
balihan upacara agama atau adat masyarakat. Selain sendratari yang dibawakan oleh
Kokar/SMKI atau ASTI/STSI, sendratari yang dibawakan oleh sekaa-sekaa milik banjar
atau desa dan grup-grup sendratari yang dikelola sanggar-sanggar, cukup sering
diundang pentas. Namun pada tahun 2000-an pementasan sendratari kian jarang dijumpai
14
di desa-desa. Kendati pun demikian, di arena PKB sendiri, pagelaran sendratari kolosal
kembali dipertahankan hingga sekarang, termasuk garapan sendratari yang lakonnya
bersumber dari Mahabharata, cerita yang telah beruratakar di tengah masyarakat Bali.
Transmisi dan penuturan epos besar Mahabharata di tengah masyarakat Bali
terinternalisasi lewat karya-karya sastra lisan dan tertulis. Transformasi dari karya-karya
seni sastra itu, selain dituangkan dalam seni rupa juga banyak dituturkan dalam
pertunjukan tradisional. Bahkan ada seni pertunjukan Bali yang namanya diambil karena
acuan ceritanya dari karya sastra itu yakni Dramatari Parwa yang merujuk pada episode
dalam cerita Mahabharata yang di Bali lazim disebut Astadasaparwa. Sejumlah seni
pertunjukan Bali juga banyak menjadikan epos Mahabharata sebagai acuan lakon-
lakonnya. Selain Dramatari Parwa, tercacat beberapa seni pertunjukan yang lainnya juga
berorientasi dari cerita Mahabharata seperti Wayang Kulit Parwa, Arja, Janger, Drama
Klasik, Cak, Kebyar, Legong, dan Drama Gong. Bahkan seni pertunjukan musikal tak
sedikit yang terinpirasi oleh cerita atau tokoh-tokoh dalam cerita Mahabharata.
Seni pertunjukan Bali yang paling identik dengan cerita Mahabharata adalah
wayang kulit, Wayang Kulit Parwa. Di antara sekian jenis wayang kulit yang muncul di
Bali, wayang yang mengambil lakon utama dari cerita Mahabharata inilah yang paling
sering disaksikan penonton. Wayang yang mengisahkan parwa-parwa dalam cerita
Mahabharata itu diiringi dengan sebarung gamelan yang terdiri dari empat instrumen
gender wayang. Pementasan Wayang Parwa berlangusng pada malam hari dengan durasi
sekitar 3-4 jam. Eksistensi Wayang Parwa masih lestari di tengah-tengah masyarkat Bali
masa kini, baik kehadirannya dalam konteks ritual keagamaan maupun sebagai seni
15
tontonan. Melalui Wayang Parwa, tokoh-tokoh teladan dalam cerita Mahabharata
terinternalisasi dan diimplementasikan dalam wujud, misalnya, pemberian nama-nama
orang, sanggar, yayasan, lembaga, toko, gedung dan perusahan.
Wiracerita Mahabharata mengandung nilai-nilai filsafat, mitologi dan berbagai
petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh
pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian
disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada
masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara. Di Indonesia, salinan berbagai bagian
dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan beberapa parwa
yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno)
semenjak akhir abad ke-10 Masehi, yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa
Teguh (991-1016 M) dari Kediri.
Keberadaan cerita Mahabharata dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan
cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi tua dengan metrum India berbahasa Jawa
Kuno. Salah satu yang terkenal ialah Kakawin Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna)
gubahan Mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder,
1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu
raja Dharmawangsa. Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin
Bharatayuddha, yang digubah oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh
(Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis
pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, Mpu
16
Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula
menggubah Gatotkacasraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di
antaranya adalah Kresnayana (karya Mpu Triguna) dan Bhomantaka (pengarang tak
dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri, dan Parthayadnya (Mpu Tanakung) di
akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar
daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali. Di samping itu, mahakarya sastra
tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan
seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir
(relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang
kulit dan wayang orang. Pada masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah
disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern
pada sekitar abad ke-18. Dalam dunia sastera popular Indonesia di era modern, cerita
Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas
di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kokasih.
Begitu kuatnya eksistensi cerita Mahabharata di Indonesia, maka ketika
ditransformasikan dalam seni pertunjukan baru yang bernama sendratari masyarakat
dapat menerima, lebih-lebih masyarakat Hindu di Bali. Penggarapan dan pementasan
dalam wujud kolosal di arena PKB menjadikan Sendratari Mahabharata tontonan favorit
masyarakat. Saripati cerita Mahabharata dalam presentasi sendratari yang jauh
sebelumnya sudah dikomunikasikan karya sastra dalam ungkapan Wayang Parwa dan
seni pertunjukan lainnya dicerap tanpa kendala dalam forum berskala Bali yaitu PKB,
17
arena berkesenian yang diayomi pemerintah daerah Bali, baik secara yuridis formal
maupun pendanaannya. Berbeda dengan pementasan seni pertunjukan yang berfungsi
ritual di tengah masyarakat Bali yang penyandang dananya adalah masyarakat
(communal support), sendratari kolosal PKB sebagai pertunjukan profan presentasi
estetis berproduksi atas tanggungan negara (goverment support) dalam hal ini Pemda
Bali. Karcis yang dibeli penonton (tahun 1990-an) saat pagelaran sendratari dalam PKB
bukan diperuntukkan sebagai ongkos produksi. Pementasan sendratari kolosal dalam
PKB tidak bersifat komersial, tidak menjadikan penonton sebagai penyandang dana
(commercial support) .
PKB telah menyatukan masyarakat Bali sejak lebih dari 30 tahun terakhir dengan
pusat perhelatan di Taman Budaya Bali. Pesta yang pada intinya menampilkan
keragaman seni dan budaya Bali itu dikenal hingga ke pelosok desa dan bahkan sampai di
daerah pegunungan. Taman Budaya Bali yang juga dikenal masyarakat dengan sebutan
Art Centre itu, bagaikan magnet yang mampu menyedot masyarakat datang
mengunjunginya dari seluruh penjuru Bali. Beragam sajian seni yang digelar disimak dan
dinikmati masyarakat penonton dan juga para wisatawan. Pengakuan luas masyarakat
Bali terhadap pementasan sendratari di arena PKB merupakan fenomena budaya yang
baru pertama terjadi dalam sejarah kesenian Bali masa kini. Pementasan sendratari
kolosal di panggung Ardha Candra Taman Budaya Bali, sejak awal PKB hingga tahun
1990-an mendapat perhatian paling banyak penonton sepanjang perjalanan PKB jika
dibandingkan dengan pementasan seni pertunjukan lainnya.
18
Keberagaman kekayaan kesenian yang dipamerkan atau dtampilkan dalam PKB
oleh para seniman dari segenap penjuru pulau, menegaskan bahwa seni memang integral
dengan kehidupan masyarakat Bali (Covarrubias, 1972) dan tak salah kalau pulau Bali
dijuluki sebagai surga seni (Hood dalam Soedarsono, 1999: 46). Mantle Hood, seorang
etnomusikolog Amerika, semakin kukuh dengan pendapatnya ketika kembali
mengunjungi Bali pada awal Juli 1988 dan menonton sejumlah pementasan di arena PKB
dengan mengatakan kesenian Bali menunjukkan perubahan yang dinamis (Balipost, 10
Juli 1988). PKB adalah sebuah pemberdayaan yang menghidupkan potensi lokal dan
merupakan tindakan nyata dalam menunjukkan hak hidup dari segala buah budi daerah
(Wijaya, 2004: 199). Namun demikian, pengelenggaraan dan perjalanan PKB juga
ditanggapi kritis oleh kalangan seniman, budayawan atau akademisi. Dalam pandangan I
Gusti Ngurah Bagus (2003: 43), PKB belum disertai lompatan-lompatan yang
memunculkan karya-karya, pemikir, gagasan yang menguatkan identitas dan menjadikan
kebanggaan masyarakat yang dalam kurun waktu tertentu memberikan manfaat
kebangsaan, kenasionalan, kemanusiaan atau universal.
Dukungan dan kritik tersebut sama-sama memberikan peneguh terhadap
eksistensi PKB. Perda Nomor 7 Tahun 1986 yang melegitimasi, mengukuhkan dan
menjamin keberlangsungan PKB diterbitkan setelah melewati penyelenggaraannya yang
ke tujuh (1985). Hingga pada penyelenggaraannya yang ke-35 (2013), PKB telah
mendapat perhatian luas bukan saja dari masyarakat Bali namun juga mengundang
penampilan pelaku seni nasional bahkan hingga partisipasi insan-insan seni internasional.
Di kalangan para seniman Bali sendiri, PKB menjadi arena berkesenian yang cukup
19
diperhitungkan. Semangat berkesenian para seniman Bali cenderung berkobar bila
mendapat kepercayaan tampil di arena PKB. Pementasan bentuk-bentuk seni tradisi
komunal ditampilkan secara fanatik oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula genre
seni sekuler popular, digarap dan disajikan dengan penuh kesungguhan oleh para
pelakunya. Para seniman alam di desa-desa hingga kalangan seniman akademis di
lembaga pendidikan formal kesenian menempatkan ajang PKB sebagai wahana
berkesenian yang prestisius.
Beragam khasanah kesenian Bali ditampilkan dengan bangga oleh komunitas
seni atau pendukungnya masing-masing, apakah itu seni tradisi yang masih natural atau
seni tradisi-kreasi yang sedang menggeliat hingga seni yang bernuansa kontemporer,
semuanya mendapat kesempatan. Upaya penggalian dan langkah-langkah pelestarian
terhadap ekspresi seni yang patut direvitalisasikan dan diaktualisasikan, tak sedikit yang
diproyeksikan dalam konteks penampilan di gelanggang PKB. Semangat pengembangan
yang dirangsang dalam PKB memunculkan kreativitas dan inovasi seni yang diantaranya
menjadi tontonan primadona masyarakat seperti sendratari.
Pementasan sendratari kolosal dan parade gong kebyar, adalah dua bentuk seni
pertunjukan favorit masyarakat Bali di arena PKB. Sendratari Ramayana dan
Mahabharata yang digelar di panggung terbuka Ardha Candra, setidaknya hingga 15
tahun penyelenggaraan PKB menjadi suguhan seni pentas yang selalu mengundang
penuh sesaknya lebih dari 5000 penonton. Festival atau Parade Gong Kebyar bahkan
lebih dahsyat. Festival dalam format kompetisi gamelan dan tari duta masing-masing
kabupaten/kota se-Bali ini selalu mengundang hebohnya antusiasisme para penggemar
20
seni pertunjukan ini. Pementasan yang disajikan secara mabarung sarat dengan rivalitas
yang bergelora.
Sajian seni pertunjukan memperoleh porsi terbesar sejak awal PKB. Penonton
dapat menyaksikan sendratari kolosal atau gegap gempita festival gong kebyar di
panggung terbuka Ardha Candra. Masyarakat penggemar tari klasik legong dan tari
kreasi misalnya dapat menyimak pertunjukan kesenian itu di panggung tertutup
Ksirarnawa. Penonton dapat pula menikmati drama tari arja dan gambuh di Wantilan.
Atau masyarakat menggemar tari joged, janger, dan gnjek dapat menyaksikannya di
kalangan sederhana Angsoka dan Ayodia. Bahkan penonton dapat menikmati
pertunjukan ngelawang di areal Taman Budaya.
Perhelatan seni terbesar di Bali ini menciptakan vibrasi kultural terhadap
keberadaan seni dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya, strategi kebudayaan
masyarakat Bali ini telah memberikan harapan terhadap tujuan digelarnya PKB yaitu
untuk memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya; mengkaji
konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong, dan
mengembangkan kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan dengan
keperibadian masyarakat dan bangsa; mendorong, memberikan kesempatan
perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta
memberikan hiburan yang sehat bagi masyarakat.
Tradisi menonton sebagai media hiburan di tengah masyarakat Bali terartikulasi
di arena PKB. Seni tontonan yang biasanya di tengah masyarakat dinikmati secara
komunal, di panggung-panggung Taman Budaya Bali disaksikan secara netral. Posisi
21
masyarakat penonton yang datang ke arena PKB adalah menjadi penonton yang
apresiatif. Inilah yang mengemuka dalam PKB. Pementasan sendratari kolosal di
panggung Ardha Candra menjadi seni pertunjukan yang sangat diminati masyarakat luas.
Kelahiran sendratari di Bali, khususnya keberadaan sendratari kolosal di PKB merupakan
bagian dari sebuah perkembangan dan penguatan seni tradisi di tengah era globalisasi.
Sendratari Mahabharata mendapatkan celah merepresentasikan reposisi seni tradisi dalam
konstruksi seni modern dengan segala perubahan aspek instrinsik dan ekstrinsiknya di
tengah-tengah pergulatan PKB.
Demikianlah, genre sendratari, cerita Mahabharata, dan PKB seperti telah
dijelaskan di atas memiliki posisi signifikan di tengah kehidupan sosial budaya Bali.
Sebagai genre seni pertunjukan modern yang mulai berkembang tahun 1960-an,
keberadaan sendratari sepanjang perjalanan PKB telah diterima sebagai seni tontonan
yang pantas disimak. Cerita Mahabharata yang dijadikan pijakan dalam lakon-lakon
Sendratari Mahabharata PKB telah terinternalisasi sejak ajaran agama Hindu berkembang
di Bali yang ditransformasikan dalam seni sastra, seni rupa, serta beragam seni
pertunjukan tradisi dan modern. PKB yang dicetuskan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra
sebagai sebuah strategi kebudayaan memberi solusi dan menawarkan kontribusi pada
pengembangan identitas budaya bangsa dalam menghadapi pengaruh negatif globalisasi.
Dapat ditegaskan bahwa Sendratari Mahabharata adalah sebuah bentuk reposisi kultural
dengan memberdayakan potensi dan kearifan yang dimiliki seni tradisi dalam formulasi
ungkapan seni pertunjukan modern. Reputasi Sendratari Mahabharata membawa
penguatan pada seni pertunjukan tradisi Bali yang cenderung termarginalisasi oleh
22
dinamika kehidupan masyarakat global-modern. Tentang bagaimana interaksi dan
dialektika seni tradisi lokal dengan hegemoni budaya global, berikut ini paparannya.
Bahwasannya memasuki milenium ketiga ini, perkembangan arus globalisasi
dan budaya massa telah menggeser keberadaan berbagai bentuk kesenian lokal, termasuk
seni pertunjukan tradisi (Piliang, 2005: 311). Menurut Piliang (2000: 111-112), arus
globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang
menjanjikan optimisme, akan tetapi sekaligus pesimisme. Optimisme itu muncul,
disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar cakrawala kebudayaan dan kesenian,
yang kini hidup di dalam sebuah pergaulan global, sehingga semakin terbuka peluang
bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang
lebih kaya dan lebih bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Akan tetapi pesimisme muncul,
mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan
pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, termasuk perkembangan
kebudayaan dan kesenian.
Sebagai sebuah fenomena peradaban manusia, globalisasi menyentuh hampir
seluruh aspek penting kehidupan. Laju perkembangan teknologi komunikasi pada awal
abad ke-20 berpengaruh besar pada gelombang globalisasi. Kontak budaya tidak perlu
melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan. Karena kontak
ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah
besar orang. Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses
komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak pula
masyarakat yang terlibat dalan proses komunikasi global. Karena itu, tidak
23
mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan
berkembangnya teknologi komunikasi modern seperti radio, televisi, televisi satelit,
telepon genggam dan kemudian internet.
Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan
kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau
kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide,
kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat, 1990: 45), dimana hal-hal tersebut
terwujud dalam kesenian tradisional. Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan
merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam,
termasuk keseniannya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk
dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah
geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam
berbagai ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang
sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan
dalam masyarakat.
Seni tradisi, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari
pengaruh globalisasi. Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan seni tradisi
berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan
baik dari pengaruh luar maupun dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap seni
tradisi ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga
24
karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya
pop. Sementara itu, sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia pun
kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah
terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa dampak yang besar dalam berbagai
aspek kehidupan. Pergeseran budaya dan nilai-nilai tersebut mendistorsi pola pikir dan
prilaku masyarakat kita yang berimbas pada ekspresi artistik seni tradisinya.
Dialektika globalisasi dengan seni tradisi atau global-lokal ditangganggapi dengan
berbagai perspektif oleh para pakar kebudayaan dunia. Sosiolog asal Kenya, Simon
Kemoni, mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan
berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan
berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka
dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon
Kimoni (Annisa Rengganis: http://www.google), dalam proses ini, negara-negara harus
memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak
dieliminasi oleh budaya asing.
Terkait masalah ini, peneliti asal India, Dr. Abhay Kumar Singh menuturkan:
Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencanabagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa sajahingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain dan pengertiankedua, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagibangsa-bangsa dunia yang terbilang kaya dari segi budaya. Seni makinmaju hingga mempengaruhi dunia. Sejarah membuktikan bahwa diberbagai masa, seni peradaban Iran, India, dan Romawi telah tersebarhingga ke negeri-negeri yang jauh. Masalah seperti itu bisa terulangkembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya,tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha dan tahubagaimana seni bisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal(Irianto: http://semangatbelajar.com).
25
John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Global Paradox (1988)
memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt
mengemukakan pokok-pokok pikiran, yaitu semakin kita menjadi universal, maka
tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi kesukuan dan berpikir
secara lokal, namun bertindak global. Naisbitt berpandangan bahwa dengan
berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok
atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di
atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia
sebagai kekuatan yang penting di tengah pergulatan budaya global-lokal sekarang ini.
Seni yang merupakan bentuk komunikasi spesifik manusia, telah menempa
kerangka mental kita, tekstur emosial kita, bahasa kita, pencerapan audio-visual kita
terhadap lanskap, pemahaman kita mengenai masa lalu dan mas asekarang, perasaan-
perasaan kita terhadap orang lain, serta sesibilitas kita (Smiers, 2009; 18). Seni tradisi
merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat (Piliang,
2005: 311). Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas
identitas atau keperibadian suatu bangsa. Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian
adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi kehidupannnya. Sepanjang
sejarahnya seni memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan
dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis (1985: 136),
maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi,