1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadis Nabi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran, 1 dan sebagai bayan (penjelas) Al- Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan kedudukan hadis dalam Islam ke beberapa fungsi yang didasarkan pada tugas Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Quran. Fungsi tersebut adalah: Pertama, sebagai penjelas Al-Quran (QS. Al-Naḥl: 44). Kedua, sebagai teladan pelaksanaan petunjuk Al-Quran (Qs. Al-Aḥzab: 21). Ketiga, sebagai penetap hukum (Qs. Al-A’rāf: 157 dan al-Hashr: 7). 2 Semua ini menunjukkan kedudukan dan fungsi hadis dilihat dari sumbernya yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu sumber hukum Islam. Hadis Nabi memiliki beberapa sebutan, selain disebut sunnah, juga disebut dengan athar dan khabar. Perbedaan sebutan ini dilatarbelakangi oleh pandangan ilmu yang berbeda. 3 Ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah, sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian yang berbeda mengenai hadis dan sunnah. Beberapa perbedaan sebutan hadis ini ikut mempengaruhi interpretasi dan pengamalan hadis Nabi, yang tentunya dengan berbagai sebutanya diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami dan mengartikan sebutan sunnah. Dan dalam penelitian ini penulis mengikuti ahli hadis yang menganggap sama antara hadis dan sunnah. Begitu pentingnya kedudukan hadis dalam Islam bahkan Daud Rasyid menyatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam terdapat di dalamnya, 4 sehingga menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Bukan hanya dari kaum muslimin yang berusaha mengidentifikasi sunnah yang sahih dari yang 1 Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285 ; Muhammad ‘ajja>j al-kha>thib, dalam al-sunnah qabla al-tadwi>n, 25 ; Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. , o , , p. ; A. Kevin Reinhart, ‚Junbolliana, Gradualism, the ig ang, and Hadith Study in the Twenty-First Century‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) pp, 414 2 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004 ) , 35; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 233; Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif ( Jakarta : Kencana, 2011 ), 187 ; M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Ḥadīth Nabi ( Jakarta : Bulan Bintang, 2007 ), 7-9 3 Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian riwayah dan dirayah ( Bandung : Amal Bakti Press, 1997), 1; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 235; Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 9-10. 4 Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Quran dapat ditemukan dalam ḥadis Nabi. Seperti pelaksanaan rukun Islam, hukum muamalat , hukum pidana dan lainnya. Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi ( Jakarta : Usamah Press, 2003 ), 25.
20
Embed
PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis Nabi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, yaitu
sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran,1 dan sebagai bayan (penjelas) Al-
Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan kedudukan hadis dalam Islam ke beberapa
fungsi yang didasarkan pada tugas Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Quran.
Fungsi tersebut adalah: Pertama, sebagai penjelas Al-Quran (QS. Al-Naḥl: 44).
Kedua, sebagai teladan pelaksanaan petunjuk Al-Quran (Qs. Al-Aḥzab: 21). Ketiga,
sebagai penetap hukum (Qs. Al-A’rāf: 157 dan al-Hashr: 7).2 Semua ini
menunjukkan kedudukan dan fungsi hadis dilihat dari sumbernya yaitu perkataan,
perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu
sumber hukum Islam.
Hadis Nabi memiliki beberapa sebutan, selain disebut sunnah, juga disebut
dengan athar dan khabar. Perbedaan sebutan ini dilatarbelakangi oleh pandangan
ilmu yang berbeda.3 Ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah,
sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian yang berbeda mengenai
hadis dan sunnah. Beberapa perbedaan sebutan hadis ini ikut mempengaruhi
interpretasi dan pengamalan hadis Nabi, yang tentunya dengan berbagai sebutanya
diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami dan mengartikan sebutan
sunnah. Dan dalam penelitian ini penulis mengikuti ahli hadis yang menganggap
sama antara hadis dan sunnah.
Begitu pentingnya kedudukan hadis dalam Islam bahkan Daud Rasyid
menyatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam terdapat di dalamnya,4
sehingga menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Bukan hanya dari
kaum muslimin yang berusaha mengidentifikasi sunnah yang sahih dari yang
1Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second
Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward
Muhammad ‘ajja>j al-kha>thib, dalam al-sunnah qabla al-tadwi>n, 25 ; Kamaruddin Amin, The
Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. , o , , p. ; A. Kevin Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang,
and H adi th Study in the Twenty-First Century‛ Journal of the American Oriental Society
130.3 (2010) pp, 414 2Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004 ) , 35;
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 233; Abuddin
Nata, Studi Islam Komprehensif ( Jakarta : Kencana, 2011 ), 187 ; M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Ḥadīth Nabi ( Jakarta : Bulan Bintang, 2007 ), 7-9 3Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian riwayah dan dirayah ( Bandung : Amal Bakti
Press, 1997), 1; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ),
235; Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dār al-Fikr
al-‘Arabī, 1958), 9-10. 4Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Quran dapat ditemukan dalam
ḥadis Nabi. Seperti pelaksanaan rukun Islam, hukum muamalat , hukum pidana dan lainnya.
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi ( Jakarta : Usamah Press, 2003 ), 25.
2
tertolak, bahkan kaum Orientalis yang terkadang punya maksud lain,5 juga tertarik
untuk menelitinya. Dan karena perbedaan sebutan hadis pula, sehingga banyak dari
para peneliti yang salah dalam memahami maknanya, termasuk Goldziher dan
Schacht.6 Mereka menemukan teori berbeda dalam penelitianya, salah satu
sebabnya adalah karena kurang dalamnya pemahaman mereka atas makna kata
sunnah7 dan kesalahan dalam memahami makna teks-teks ilmu hadis, seperti kata
al-Tadwīn dan al-Taṣnīf 8 dalam ungkapan Imam Malik yang menyatakan:
‛awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn Shiha>b‛. Ungkapan tersebut mereka pahami
bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibn Shiha>b al-Zuhri, padahal
tujuan kata-kata itu adalah untuk menjelaskan bahwa al-Zuhri merupakan orang
yang pertama mengumpulkan tulisan-tulisan hadis.9
Kajian tentang autentisitas hadis telah dilakukan umat Islam sejak zaman
sahabat Nabi. Para sahabat memberlakukan aturan ketat dalam menerima hadis,
hingga ilmu tentang sanad hadis terus berkembang dan menjadi acuan dalam
penelitian, dan pada akhirnya menjadi kebanggaan umat Islam yang membedakanya
dari agama samawi lain dalam menerima berita serta penjelasan dari Nabi mereka.10
Memang, sempat terjadi pemalsuan hadis secara massiv yaitu setelah terjadinya
fitnah, namun hal itu telah disadari dan diperhatikan oleh para sahabat Nabi11
sejak
akhir abad pertama hijriah atau mungkin lebih awal.12
Karena itu, sebagai responya,
dalam rangka untuk memisahkan hadis mawd}u’ dari yang sahih, para ulama’
membuat metode yang sangat teliti dan ketat, bahkan larangan mencela-pun tidak
5 Kamaruddin menyebut tujuan mereka didorong oleh kepentingan sejarah. Lihat
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta : Hikmah,
2009), 1; sedang menurut Darmalaksana tujuan mereka karena adanya tendensi kedengkian
bangsa barat terhadap Islam, Lihat Wahyudin Darmalaksana, dalam H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung : Benang
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period ( Surrey : Curzon Press, 2000), 9 ; A. Kevin
Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang, and H adi th Study in the Twenty First
Centur ‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP.
413-444. 23
A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century
, Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP. 413-444. 24
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: University
Press, 1975), 314. 25
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence , 170-177.
5
Menurut Wael B. Hallaq, sejak Schacht mempublikasikan karyanya pada
tahun 1950, perdebatan akademik dalam bidang hadis terus berkembang pesat, dan
secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berusaha
menegaskan kembali kesimpulan Schacht, kelompok kedua berusaha untuk
menolak kesimpulannya dan kelompok ketiga berusaha untuk mencari jalan tengah
atau berusaha menyatukan dua kubu menjadi suatu metodologi baru. John
Wansbrough dan Michael Cook adalah bagian dari kelompok pertama, selanjutnya
Nabia Abbott, Fuad Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fuck adalah
kelompok kedua, sedangkan Harald Motzki, D. Santillana, G.H.A. Juynboll, Fazlur
Rahman, dan James Robson adalah kelompok ketiga.26
Dan sejak saat itu pula maka
hadis riwayat al-Zuhrī yang dianggap ṣahih di kalangan sarjana Islam berlatar
belakang Barat, menjadi sangat sedikit.27
Dan lebih parahnya lagi, kalau Schacht
setelah menganalisa teks dalam al-Muwaṭṭa’, al-Mudawwana, al-Umm, al-Mukhtasar, al-Mabsu>ṭ dan al-Kharrāj, menyimpulkan bahwa adanya hukum fiqih
dimulai sejak abad kedua hijriah, Calder menyimpulkan bahwa tidak ada hukum
fiqih sampai pertengahan abad ketiga Hijriah dengan argumen bahwa pada masa
inilah semua isnad baru ditemukan.28
Orientalis berikutnya yang meneliti hadis dengan mendalam adalah GHA.
Juynboll. Jika Wael B. Hallaq menempatkanya pada kelompok ketiga sebagaimana
disebutkan di atas, penulis berpendapat bahwa Juynboll lebih tepat ditempatkan
dalam kelompok pertama yang selalu mendukung pendapat Schacht. Sebab dia
terus berusaha menyempurnakan teori common link yang telah dipopulerkan
Schacht.29
Dalam teorinya, Juynboll mengatakan bahwa autentisitas sunnah Nabi
dapat dilihat dari common link yang memiliki sumber kesejarahan lebih.30
Teori
common link ini telah digunakan GHA Juynboll untuk menyelidiki asal usul hadis
selama 20 tahun terakhir. Teori ini berpijak pada asumsi bahwa semakin banyak
jalur periwayatan yang bertemu pada seorang perawi, baik yang menuju kepadanya
maupun yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang perawi tersebut
memiliki klaim kesejarahan. Jadi menurut teori common link Juynboll, suatu Hadis
26Wael . Hallaq, ‚The Authenticit of Prophetic Ḥadi>th’: A Pseudo-Problem.‛
Studia Islamica 89 (1999) : 75-90 . 27
Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi Ḥadīth (Leiden Boston : BRILL, 2010), 46.
28Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 240; Rudolph Peters Review, International Journal of Middle East
Studies, Vol. 26, No. 4 (Nov., 1994), pp. 699-701. 29
Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western Scholar
Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship Al-Ja>mi‘ah, Vol. 46,
No. 2, 2008, 255; Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal
theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-
Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 5. 30
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions: Studies in Chronology provenance and Authorship of Early Ḥadīth , 104.
6
dapat diterima tidak hanya dari kualitas perawinya saja tapi yang paling penting
adalah kuantitas perawinya.31
Dengan mengaplikasikan teori common link tersebut dalam beberapa
artikelnya, Juynboll telah membuat kesimpulan tetang palsunya ribuan hadis yang
terdapat dalam kutub sittah yang diriwayatkan oleh a>fi’ Mawla Ibn Umar,
saorang perawi dalam kelompok As}ah} al-Asa>ni>d, dan salah satu jalur sanad dhahabiyyah.32
Karena menurut Juynboll, a>fi’ tidak pernah benar-benar berstatus
common link,33
dan juga karena pribadi Nāfi’ mawlā Ibn ‘Umar ang sedikit sekali
ditemukan dalam kitab biografi.34
Selain itu, dengan mengikuti pendapat Schacht,35
Juynboll mengatakan bahwa a>fi’ hanyalah nama yang sering disisipkan dalam
sanad agar memiliki otoritas lebih kuat, sedangkan sesungguhnya pribadi a>fi’
adalah seorang yang fiktif.
Atas dasar temuannya tersebut, kemudian ia menetapkan bahwa semua
hadis dan biografi tentang afi’ adalah buatan Malik bin Anas, karena Malik bin
Anas yang mengaku sebagai murid Na>fi’ jika dilihat dari tahun wafat di antara
mereka berdua menggambarkan adanya kemustahilan bahwa mereka pernah
bertemu satu sama lain. Kesimpulan terakhir Juynboll mengenai masalah common link ini, adalah menetapkan bahwa common link merupakan seorang fabricator atau originator (pembuat hadis palsu) yang menyebarkannya secara luas.
Muncul sebuah pertanyaan, mengapa Juynboll ingin menjatuhkan
kredibilitas a>fi’ mawla Ibn Umar, apa pentingn a? Dalam analisis penulis hal itu
ia lakukan karena a>fi’ merupakan pen ampai berita dari Ibn Umar terbanyak
dibandingkan dengan mawla Ibn Umar lainnya, dan Ibnu Umar adalah salahsatu
sahabat nomor dua terbanyak dalam periwayatan hadis Nabi setelah Abu Hurairah.
Jumlah riwayatnya mencapai 2630 hadis,36
dan sejumlah 1979 terdapat dalam
kutub sittah dengan 1088 hadis menggunakan jalur periwa atan a>fi’. Ini sungguh
merupakan jumlah yang sangat fantastis.
Selain itu, Juynboll juga mempersoalkan awal penggunaan sanad.
Menurutnya, sanad belum memiliki standar baku, kapan mulai digunakan. Sebagian
mengatakan bahwa penelitian terhadap penyampai berita tentang Nabi telah
dilakukan sejak masa sahabat. Beberapa sahabat digambarkan tidak langsung
menerima hadis sebelum menelitinya, seperti yang dilakukan oleh Umar dan Ali
juga oleh Abu Bakar. Tetapi, yang dipercayai juga dalam kesarjanaan muslim
31
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi ( Yogyakarta: LKIS, 2007), xii.
35 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 160.
36 Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th (Bairut : Maktabah al-ma’a>rif,
2004), 244; Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammd bin Suwailim, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus>t}alah} al-H}adi>th (Bairut: Da>r al-Fikr, tt), 506.
7
adalah bahwa sanad mulai digunakan setelah terjadinya fitnah, berupa terbunuhnya
Khalifah Uthma>n pada tahun 35/656. Pendapat ini didasarkan pada ucapan Ibn
Si>ri>n (w.110/728) ‚lam yakūnū yas alūna ‘an al-Isnād falammā waqa’at al-Fitnah, qālū sammū lanā rijālakum‛ (sebelumn a mereka tidak pernah menan akan tentang sanad, dan setelah terjadi fitnah, kemudian mulai mereka berkata: sebutkan kepada kami perawi-perawi kalian).37
Dan ada pula pendapat Malik yang
menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan sanad adalah al-Zuhri,
sebagaimana ucapannya: ‚Awwalu man Asnada al-Hadi>th Ibn Shiha>b‛38 (orang yang pertama menggunakan sanad adalah Ibn Shiha>b). Menurut Juynboll semua ini
mengindikasikan bahwa penggunaan sanad secara konsisten dimulai pada masa al-
Zuhri, sekitar tahun 50-124 Hijriah.39
Berbeda dengan sarjana Muslim yang meyakini bahwa fitnah yang
dimaksud Ibn Si>ri>n adalah fitnah terbunuhnya Khalifah Uthma>n,40
Juynboll
berpandangan bahwa fitnah yang disebut melatarbelakangi munculnya pemeriksaan
sanad adalah fitnah peperangan yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Bani
Umayyah al-Wali>d bin Yazi>d pada tahun 126 Hijriah, yang mana pada masa itu,
seseorang tidak dapat dianggap terpercaya kecuali setelah diteliti lebih dahulu. Dan
bukanlah fitnah terbunuhn a khalifah ‘Uthman.41
Sebab dalam ungkapan Ibn si>ri>n
tersebut tidak menyertakan penjelasan fitnah mana yang ia maksud, sehingga
Juynboll, setelah melihat pada masa hidup Ibn Si>rin, memastikan bahwa fitnah
tersebut adalah fitnah yang disaksikan oleh Ibn Sirin ketika telah dewasa.
Sedangkan berdasarkan data, Ibn Si>ri>n lahir pada masa akhir pemerintahan
Uthman, yaitu 2 tahun sebelum Uthman bin Affan wafat,42
sehingga dapat
dipastikan bahwa Ibn Si>ri>n tidak tahu secara langsung hiruk pikuk fitnah
terbunuhnya Uthman, karena pada saat itu Ibn Si>ri>n masih kecil.43
37
Muslim bin al-Hajjāj Abu al-Husayn al-Qushairi, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairut: Dār Ihya’
al-Turath al-‘Arabī, t.t), 15; 38
Al-Zahra>ni>, Abu> Ya>sir Muhammad bin Mat}ar, ‘Ilm al-Rija>l ash’atuhu wa Tat}awwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila> Niha>yati al-Qarn al-Ta>si’ (Riyad: Da>r al-Hijrah,
1996), 25. 39
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, 18-19 40
Dipercaya demikian karena setelah kejadian itu, terjadi peperangan antar
sahabat, seperti peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awi ah, sehingga ban ak
terjadi penyebaran hadis palsu untuk menguatkan kelompok masing-masing. Lihat Abd
Rahman bin Abd Rahman al-Khat}i>b, al-Rad ‘ala> Maza>’im al-Mustashriqi>n Goldziher wa Joseph Schacht wa Man Ayyadahuma min al-Mustaghribi>n (Madinah: Majma’ al-Malik
41 Juynboll, G. H. A. "The date of the great fitna." Arabica (BRILL) 20 (Juni 1973):
142-159. 42
Ibn Khalka>n, Wafiya>t al-A’ a>n wa Anba> Abna>’ al-Zama>n J.4 (Bairut: Da>r S}a>dir,
1971), 182; 43
Cf. J. Robson, ‚The Isnad in Muslim Tradition, in Transactions (of the) Glasgoe
Universit ‛ Oriental Society, xv, pp. 15-26; G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18
8
Jikalau apa yang dinyatakan oleh Goldziher, Schacht, Calder, Juynboll dan
para sarjana yang sealiran dengan mereka itu benar, maka akan sangat sedikit atau
bahkan tidak ada hadis Nabi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Ini tentu
merugikan umat Islam karena interpretasi yang digunakan selama ini yang
didasarkan pada hadis Nabi adalah salah semua karena tidak memiliki pondasi yang
kuat, mengingat sumber hukumnya bukan dari orang yang mimiliki otoritas untuk
penentuan hukum. ahkan ‘Azamī mengatakan bahwa jika pandangan Schacht ini
dianggap benar maka sama saja dengan membenarkan bahwa ada kekosongan
hukum di kalangan umat muslim selama 100 tahun dan itu mustahil terjadi.44
Daud
Rasyid juga mengomentari bahwa tuduhan Orientalis secara historis dan realitas
tidak beralasan, dia mengatakan bahwa Rasulullah wafat ketika bangunan Islam
telah sempurna dengan memberikan gambaran kesiapan ‘Umar bin al-Khattāb
(Khalifah kedua) menangani dua imperium terbesar dunia waktu itu yaitu Persia
dan Romawi yang telah berhasil dikuasai umat Islam.45
Oleh karena itu muncullah perlawanan dari para sarjana muslim untuk
menggugat temuan mereka. Diantaranya oleh Fuat Sezgin yang melakukan kritik
keras terhadap temuan para Orientalis, dan Muhammad Musṭafa ‘Azamī dalam
bukunya ‚Studies ini Earl Hadith Literature‛ (1977), kemudian oleh Muhammad
‘Ajjāj al-Khatib menulis dalam bukunya ‚al-Sunnah qabla al-Tadwin‛ (198 ), serta oleh Musṭafa al-Sibā’i dengan menulis kitab ‚Al-sunnah wa makānatuha fī al-Tashrī’ al-Islāmī‛ (1982).
Muhammad Musṭafa ‘Azami menyatakan bahwa sunnah Nabi sudah mulai
ditulis sejak zaman Nabi. Azami juga menolak tuduhan atas adanya rekayasa sanad
(teori projecting back) Schacht, dimana sesuai kenyataan sejarah yang
membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi, seperti
perintah beliau kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk
menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Demikian pula, tuduhan bahwa
sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab
merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah,
karena penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan, dengan segala
kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.46
Selain itu, menurut R. Talmon, skeptisisme Juynboll adalah termasuk skeptisisme
yang tidak produktif .47
Akan tetapi temuan para Orientalis itu nyata pengaruhnya terhadap sarjana
Muslim,48
Pandangan mereka ada yang memiliki kesamaan dengan kaum Orientalis.
44
Azami, On The Schacht’s Origin of the Muhammadan Jurisprudence., 19. 45
Daud Rasyid, ‚Goldziher dan Sunnah‛ Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, vol. I
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 35. 46
Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th, 321. 47R. Talmon, ‚’Review of G.H.A. Juynboll, Muslim ...‛ Jerussalem Studies in
Arabic and Islam 11 (1998) : 248- 252. 48
Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi Ḥadīth, 3; Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’
views on Ḥadīth, Al-Qānūn Vol. 12, 293.
9
Diantara orang Islam yang terpengaruh oleh pendapat Orientalis adalah Ahmad
Amin, Ahmad Abdul Mun’im al-Bāhi, Taufiq Shidqi,49
Ali Hasan Abdul Qadir,
Muhammad al-Ghozali, Ismāil Adham dan Abu> Rayyah.50
Pengaruh orientalis
tersebut tampak dalam pemikiran yang dituangkan dalam karya mereka. Dalam
bukunya yang berjudul ‚Aḍwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadi ah‛, Abu Rayyah
mengatakan bahwa tulisan hadis para sahabat tidak ada yang sampai kepada para
tabi’in, dan bahwa hadis adalah hasil ijtihad ulama’ belakangan.51
Ahmad Amin
dalam bukunya ‚Fajru al-Islam‛,52 Ali Hasan Abdul Qadir dalam bukunya ‚ aẓrah
Āmmah fī Tārīh al-Fiqh al-Islāmī, Muhammad al-Ghozali dalam bukunya ‚al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahli al-Fiqh wa ahli al-hadis‛. Dia mengkritisi
kredibilitas afi’ mawla Ibn Umar, juga menganggap bahwa ahli hadis adalah
orang-orang yang hanya memuja nama-nama. Ismāil Adham dalam bukunya
tentang sejarah hadis, menyimpulkan bahwa hadis-hadis dalam kitab s}ahih al-
Bukhari dan S}ahih Muslim tidak dapat dipertanggung jawabkan autentisitasnya dan
mayoritas palsu. Dia mengaku didukung oleh Ahmad Amin, dan bantahan atas
pendapatnya tersebut dia anggap sebagai pemasungan kreatifitas dan kebebasan
berfikir serta akan mengganjal penelitian ilmiah.53
Sesungguhnya yang terjadi pada mereka bukanlah hal baru dalam umat
Islam. Umpamanya pada awal abad kedua hijriah golongan semacam ini pernah
ada, dan mereka disebut dengan kelompok ingkar-sunnah. Pada awal kemunculan
kelompok ini, argumen yang mereka bangun adalah tidak mau menggunakan hadis
sebagai sumber hukum, mereka berpendapat cukuplah hanya al-Qur’an sebagai
hujjah karena al-Qur’an sudah sempurna.54
Sebenarnya pendirian mereka yang
seakan meng-agungkan al-Quran dengan menganggapnya telah sempurna, tidak lain
hanyalah pelecehan dan pelanggaran terhadap perintah Al-Quran itu sendiri, sebab
telah jelas perintah di dalam Al-Quran adanya suatu kewajiban untuk mengikuti
hadis yang tidak dapat diingkari. Menurut Ali Mustafa Ya’qub, Kaum inkar sunnah
yang pernah ada pada zaman klasik, di abad modern ini muncul kembali bersamaan
dengan kolonialisme, Orientalisme, dan missionarisme.55
49
Taufiq shidqi menolak sunnah karena tidak ditulis dan dibukukan sejak masa
Nabi, dan juga sedikitnya hadis yang dianggap mutawatir. Lihat dalam Taufiq Shidqi, ‚al-
Nashk fi al-Shara>i’ al-Ila>hi ah‛, Majalah Al-Mannar, Juz 9 Jilid 10, 913-914 50
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 107. Dan lihat Nur al-Din Muhammad ‘It}r al-
Lihat dalam Mahmud Abu Rayyah, Ad}wa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah .
c. 6 (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 19 7), . 52
Dia ikut mengkritik kitab Imam al-Bukhari dan mengatkan bahwa al-Bukhari
hanya melakukan kritik sanad saja, akan tetapi argumen Amin sangat lemah karena apa
yang dia sampaikan sebagai sebuah kritikan adalah akibat kesalahan dia dalam memahami
matan hadis dalam kitab ‚al-Jami’ al-S}ahih, lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 107. 53
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 50. 54
Kassim Ahmad, Ḥadīth A Re-Evaluation 1997, 40 55
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 37; Anver M. Emon, ‚Review Rethinking
Tradition in Modern Islamic Thought. By Daniel W. Brown. Cambridge and New York:
Cambridg Universit Press 199 . Pp. 18 ‛. Journal of Law and Religion, Vol. 16, No. 2
(2001), pp. 647-652.
10
Tapi orang-orang di atas telah dibantah pendapatnya oleh M. Mustafa
Azamī dalam bukunya ‚Dirāsāt fī al-hadith al-Nabawy wa tārīḥ tadwīnīh‛. Pendapat-pendapat Muhammad al-Ghāzali juga dibantah oleh Syeikh Salman al-
Audah, dalam bukunya ‚Hiwār hādi’ ma’a Muhammad al-Ghazali‛, dan juga Dr.
Syeikh Rābi’ bin Hādi al-Madkhali dalam bukunya ‚Kasyfu mawqifi al-Ghazāli> min al-Sunnah wa ahlihā wa naqdi ba’d{i ārā’ihī‛ dan syaikh S}ālih al-Shaykh dalam
kitabnya ‚al-Mi’yār fī ‘ilmi al-Ghazāli> fi kitābihi al-Sunnah al-Nabawiyyah‛.
Meskipun telah mendapat perlawanan dan bantahan dari beberapa sarjana
Muslim, tapi apa yang dilakukan Orientalis Barat terhadap hadis Nabi masih
kurang mendapat jawaban yang kuat. Bahkan Kamaruddin Amin menyatakan
bahwa kajian ini dari sisi akademik masih kurang disentuh oleh pelajar hadis di
tanah air. Kamaruddin juga menyatakan bahwa seakan-akan sarjana Islam alergi
untuk menjawab tuduhan-tuduhan Orientalis tentang metodologi kritik hadis yang
masih kurang akurat.56
Selain itu Kamaruddin juga menyatakan bahwa argumen
Azami dan Sezgin yang menyimpulkan bahwa hadis telah ditulis sejak masa awal
Islam, tidak dapat memberi penjelasan nyata, karena berdasarkan kepercayaan
ulama’ hadis, secara umum dinyatakan bahwa pada awal Islam, hadis diriwayatkan
dengan hafalan dan tidak dengan tulisan.57
Begitu pula persoalan konsistensi
penyusun kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis, juga masih
dipertanyakan, karena setelah dilakukan penelitian ulang ditemukan bahwa suatu
hadis yang dinyatakan telah diriwayatkan oleh orang yang ḍābiṭ tapi ternyata
berbeda-beda dalam lafalnya, Dan jika pengertian ḍābiṭ adalah kuatnya hafalan
seorang perawi, maka secara tidak langsung perbedaan lafal atau variant matan
hadis tersebut dapat mengurangi autentisitas hadis itu sendiri atau secara tidak
langsung dapat disimpulkan bahwa para penyusun kitab kanonik tidak konsisten
dalam meyeleksi perawi hadis.58
Selain itu dalam masalah tawatur hadis, ternyata
ditemukan bahwa teori mutawatir menurut ukuran dan definisi yang ditegaskan
oleh Ibn Hajar,59
sebenarnya tidak pernah terjadi dan tidak dapat diterapkan.60
Dari latarbelakang di atas, maka penelitian terhadap hadis-hadis riwayat
afi’ mawla Ibn Umar sangat penting dilakukan, karena dalam studi terdahulu
yang telah dipaparkan, masih sangat jarang yang membahas dan menguatkan
posisinya, karena itu menemukan argument atas autentisitas hadis riwayatnya
menjadi tujuan dari penelitian ini, mengingat hadis Nabi yang menggunakan jalur
transmisi ini sangat banyak jumlahnya. Meskipun ada jalur transmisi hadis yang
56
Kamaruddin Amin, ‚Problematika Ulumul hadis’: ’Sebuah Upa a Pencarian
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi , 115 - 121
11
juga mendapat kritikan oleh para orientalis seperti jalur transmisi Abu Hurairah,
namun pendapat-pendapat tersebut telah mendapatkan perlawanan oleh sarjana
muslim terdahulu. Kitab al-Ṣaḥīḥayn sengaja dipilih sebabagi sumber primer,
karena dua kitab tersebut telah disepakati oleh umat Islam sebagai kitab paling
autentik dalam bidang hadis, sehingga dengan demikian akan dapat diketahui
apakah benar penyusun kitab al-Ṣaḥīḥayn konsisten dalam menerapkan syarat-
syarat dalam seleksi hadis. Posisi penulis saat ini ada pada keyakinan akan
autentisitas hadis Nabi dan skeptis terhadap temuan Orientalis. Hal ini sesuai
petunjuk Al-Quran yang memerintahkan agar melakukan tabayyun ketika
menerima berita dari seorang fasiq,61
sedangkan Orientalis, mereka bukan hanya
fasiq tapi mereka bukan Muslim yang terkadang memiliki tujuan lain dalam
pengkajian hadis.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang berkaitan dengan autentisitas hadis Nabi sebagai berikut:
Pertama, mengenai kredibilitas ulama hadis terkemuka terutama Nāfi’ yang
diragukan keberadaanya, karena minimnya catatan sejarah tentangnya dan al-Zuhrī
yang dianggap sebagai pemalsu hadis. Kedua, mengenai tuduhan berkembangnya
isnād hadis ke belakang (back Projection) ang dianggap han a buatan ulama’
untuk menyandarkan perkataan mereka kepada orang-orang yang memiliki otoritas
hukum, karena berdasarkan temuan sarjana Barat, sanad baru muncul pada awal
abad kedua hijriah, dan menurut mereka pengguna pertamanya adalah Ibn Shihab
al-Zuhri. Ketiga, adanya pernyataan bahwa sunnah baru muncul sejak zaman al-
Shāfi’ī dan tidak ada sunnah Nabi pada masa sebelumnya dengan argumen e-silentio Schacth, sehingga kemudian disimpulkan bahwa sebelum masa itu, tidak
ada hukum Islam. Keempat, mengenai teori hadis mutawatir yang masih menjadi
pertentangan, karena istilah-istilah yang ditetapkan sering kali kontradiktif.
Kelima, tentang tadlis dalam periwayatan hadis, dimana hampir tidak ada ahli
hadis yang selamat dalam masalah ini. Keenam, mengenai konsistensi penyusun
kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis yang mereka kumpulkan, karena
masih ditemukan hadis yang diriwayatkan oleh seorang dengan predikat ḍābiṭ tapi
berbeda dalam lafal yang diriwayatkan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dirumuskan
untuk menjawab pertanyaan pokok yang sangat mendasar yaitu ‚Bagaimana autentisitas hadis riwayat a>fi’ mawla> Ibn ‘Umar dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn?‛
3. Pembatasan Masalah
Untuk mempertegas rumusan masalah di atas, maka secara konseptual
penelitian ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu a>fi’ dan teori common link.
a>fi’ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah a>fi’ mawla Ibn Umar.
Sedangkan teori common link yang akan dibahas adalah teori yang telah digunakan
61Surat Al-hujurat ayat : 6
12
oleh G.H.A. Juynboll yang menetapkan bahwa suatu hadis dapat ditentukan nilai
kesejarahannya dengan melihat siapa perawi dalam sebuah bundel sanad yang
memenuhi kriteria sebagai common link. Hadis riwayat a>fi’ yang akan diteliti
dibatasi hanya hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-S}ahi>h}ayn karya al-Bukhari
dan Muslim. Riwa at a>fi’ ini juga dibatasi han a hadis-hadis yang ia terima dari
Ibn Umar. Alasannya adalah karena jalur transmisi ini merupakan sanad emas
dalam pandangan sarjana muslim, dan juga termasuk jalur kaluarga dalam
periwayatan hadis yang diragukan oleh Joseph Schacht dan didukung oleh Juynboll.
Namun dalam penyusunan bundel sanad, penulis menyusunnya dengan seluruh
periwayatan hadis yang sama yang terdapat dalam kitab-kitab hadis pre-kanonik
yaitu kitab-kitab hadis yang disusun sebelum masa al-Bukhari dan Muslim.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian secara umum bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran terhadap suatu persoalan.62
Sedangkan penelitian hadis,
memiliki tujuan untuk mengetahui kualitasnya agar dapat dinyatakan autentik atau
tidak. Hal ini sangat penting berkenaan dengan kehujjahanya sebagai salah satu
sumber dalam istinbath hukum ajaran Islam.63
Charles J. Adams mengatakan
bahwa pada saat ini diperlukan peneliti muda yang mampu menilai capaian-capaian
masa lampau dan memberikan arah baru dalam studi hadis.64
Untuk itu, maka
tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan capaian sarjana muslim
masa lampau dalam usaha mereka mengumpulkan hadis-hadis autentik.
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan bukti autentisitas hadis riwayat Nāfi’ mawlā Ibn
‘Umar yang terdapat dalam kitab al-Ṣaḥiḥayn. 2. Untuk mengkritisi metode penentuan autentisitas hadis Nabi yang
berkembang dari masa ke masa, agar dapat memberikan arah baru dalam
penelitian hadis selanjutnya.
3. Untuk menggali kualitas metode dan sikap ulama’ dalam penelitian hadis,
sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad dalam penetapan hadis
autentik.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Kevin Reinhart menyimpulkan bahwa sarjana kontemporer belum ada yang
mampu menolak argumen-argumen Juynboll.65
Untuk itulah penulis menganggap
bahwa penelitian ini penting, karena selain untuk memperkaya kajian hadis, juga
sebagai penambah hujjah para pencinta hadis terhadap para pengingkarnya.
62
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama , 6. 63
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Tangerang Selatan : Serat
Alam Media, 2012) , 31. 64
Charles J. Adams, "Islamic Religious Tradition," in The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard
Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 29-95. 65
A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century
, Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, P 418.
13
Mengingat argumen-argumen sarjana muslim dirasa masih belum kuat,
sebagaimana Fuat Sezgin dan Azami yang berargumen bahwa tradisi menulis hadis
sudah berlangsung sejak awal malah bertentangan dengan jumhur ulama muslim
yang menyatakan bahwa pada masa awal, hadis Nabi disebarkan melalui hafalan.66
Kemudian Mustafa ‘Azamī yang dalam bukunya mengungkapkan jalur isnad ‘Amr
bin Abi ‘Amr67
untuk membuktikan kesalahan kesimpulan Schacht, ternyata
menurut Ali Masrur justru malah berakibat sebaliknya yaitu menguatkan pendapat
Schacht tentang adanya teori common link.68 Dan pada kenyataanya konsep
‚ ackgrowth‛ (berkembangnya isnad hadis ke belakang) telah diakui dan diterima
kebenaranya oleh sarjana modern,69
yang secara tidak langsung menjadi penguat
asumsi kepalsuan hadis-hadis Nabi dalam kitab-kitab kanonik yang disusun pada
pertengahan abad kedua hijriah.
Dari itu semua, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Dalam kegunaan teoritis diharapkan
dapat memperkaya kajian kritik hadis dan memperkuat posisi hadis yang telah
diteliti untuk dijadikan dasar penetapan hukum. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Menemukan hasil autentisitas riwayat Nāfi’ mawlā ibn ‘Umar yang
terdapat dalam kitab al-Ṣaḥiḥayn setelah diuji menggunakan teori Common Link.
2. Diperoleh klasifikasi metode menentukan hadis autentik sebagai petunjuk
arah baru dalam penelitian hadis.
3. Mendapatkan bukti konkrit terhadap kualitas metode dan sikap ulama’
dalam penelitian hadis, sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad oleh
para penyusun kitab kanonik.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam mempersiapkan disertasi ini, penulis telah menelusuri beberapa hasil
penelitian terdahulu, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan dengan tujuan untuk
mengetahui isu yang berkembang seputar penelitian ini dan mengetahui persamaan
serta perbedaanya dengan penelitian terdahulu.70
Diatara kajian terdahulu yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
66
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta:
Hikmah, 2009), 120. 67
M.Mustafa Azami, Studies in Early Ḥadīth Literature (Bairut: al-maktab al-
Islam, 1968), 233-234. 68
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi, 61.
69Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal theoritists and
ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 1.
70Craig Ian Collinson, Academic Writing Guide: Dissertations: 2 Edge Hill
University , 1-6.
14
Diawali dengan penelitian Nabia Abbott dalam bukunya ‚Studies in Arabic Literary Papyri, II Qur̀anic Commentary and Tradition‛.71
Dia mengoreksi dan
mengkritisi pandangan Ignaz Goldziher tentang beberapa sebab terjadinya gerakan
pemalsuan hadis dalam skala besar yang membuat Goldziher meragukan
autentisitasnya. Abbot adalah salah satu dari orang yang mendukung metode dan
kesimpulan Fuat Sezgin.72
Dia menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah
berlangsung sejak awal dan berkesinambungan. Abbot mengawali bukunya dengan
pentingnya manuskrip, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan penulisan
hadis sejak masa awal Islam yang terus berkembang dan dapat menjadi bukti
kelangsungan serta autentitas hadis, dan diakhiri dengan mengemukakan dokumen-
dokumen naskah tertulis dalam empat periode penting yaitu sejak masa hidup Nabi
Muhammad SAW, kemudian setelah wafatnya Nabi, dan periode Bani Umayyah
serta berbagai koleksi hadis yang terkodifikasi.
Kemudian Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwīn,73
juga menyanggah pendapat Goldziher dan orang yang sependapat
denganya bahwa banyak terjadi pemalsuan hadis karena tidak tertulis sejak masa
awal, dan menyanggah pendapat Goldziher mengenai Ibn Shihāb al-Zuhrī dan
posisinya dalam periwayatan hadis.
MM Azami dalam ‚Dirāsāt fi al-Hadith al-Nabawi wa tārihi Tadwīnihi‛.74
Menjelaskan arti kata sunnah dalam Islam sebagai sanggahan atas pendapat
Goldziher yang mengatakan bahwa sunnah adalah istilah jahiliyyah dan baru
dikhususkan sebagai sunnah nabi sebagaimana pendapat Schacht dan Ali Hasan
Abdul Qodir setelah masa al-Shafi’i.75
Selain itu dijelaskan pula argumen-argumen
lain dalam rangka menyanggah temuan Goldziher yang lain. Selanjutnya Azami
juga menulis ‚On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence‛.76 Buku ini
adalah sanggahan atas Schacht dalam bukunya ‚The Origins of Muhammadan Jurisprudence‛. Azami menyanggah pandangan Schacht yang menganggap adanya
perbaikan sanad oleh para penyusun kitab hadis, dan menyanggah tentang sanad
keluarga yang dianggap palsu. Dalam kesimpulannya Azami mengatakan bahwa
sebenarnya Schacht telah gagal dalam memeriksa sebagian literatur yang paling
relevan dan salah dalam memahami teks-teks yang dikutipnya, contoh-contoh yang
digunakanya sering bertentangan dengan poin yang sedang diupayakan. Dalam
bukunya itu, Azami mengemukakan contoh-contoh yang diberikan oleh Schacht
dan memberikan penjelasan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Schacht atas
contoh-contoh tersebut.
71
Diterbitkan oleh : The University of Chicago Press, Tahun 1967. 72
Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western
Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship‛, 264. 73
Diterbitkan oleh al-Maktabah al-Tijāriyyah, Makkah Tahun 1980 74
Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī Bairut Tahun 1980. 75
M.M Azami, dalam Dira>sa>t fi al-Ḥadīth al-Nabawi wa ta>rihi Tadwi>nihi (Riyad:
al-Maktab al-Isla>mi, 1980 ), 5-11. 76
Diterbitkan oleh Suhail Academy, Lahore Pakistan Tahun 2004.
15
Selanjutnya Muhammad Muṣṭafā al-Sibā’ī, dalam ‚al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamī‛.
77 Dalam buku ini al-Sibā’i> menyanggah semua
pendapat Goldziher tentang pemalsuan hadis dengan mengungkapkan upaya para
ulama’ masa awal untuk memerangi pemalsuan hadis, dan juga tentang al-Zuhrī
secara panjang lebar. Dia juga menjelaskan semua hadis yang dianggap Goldziher
telah dipalsukan oleh al-Zuhrī dan memberikan argumen yang mantap atasnya. Al-
Siba>’i> mengungkapkan metodologi ahli hadis seperti kebiasaan rihlah dalam
mencari hadis, pengusutan sanad, mencari pembanding atau saksi sebuah riwayat,
dan ilmu kritik rawi (ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l). selain itu al-Sibā’i> juga
menyanggah pendapat Abu Rāyah tentang Abu Hurairah yang dianggap tidak jelas
olehnya karena namanya dan nasabnya yang berbeda-beda, sebab abu Hurairah
menemani Nabi, dan terbelakangnya dia masuk Islam tapi meriwayatkan hadis
paling banyak. Tesis ini juga sebagai sanggahan argumen esilentio Schacht dengan
mengungkapkan kedudukan hadis dalam umat Islam sejak awal.
Wahyudin Darmalaksana, dalam buku Hadis di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht78
buku ini mulanya adalah sebuah
skripsi membahas tentang permasalahan dalam studi hadis, otentisitas hadis dan
masalah Orientalisme, pandangan Ignaz Goldziher dan joseph Schacht tentang
otentisitas hadis dan hukum Islam serta kritik terhadap tesis keduanya dengan
mengutip pandangan Nabia Abbot, Fazlur Rahman dan Mustafa Azami. Dalam
kesimpulanya. Wahyudin menyatakan bahwa tesis golziher dan Schacht
mengandung tendensi kedengkian dan lebih merupakan arogansi self-nya Barat
yang selalu ingin mendistorsikan realitas Islam sebagai others sebagaimana wacana
orientalisme79
menurut pandangan Edward Said. Jadi penelitian ini pijakannya
adalah tujuan orientalis dalam mengkaji Islam dan tidak terfokus pada sanggahan
atas pendapat mereka.
Ali Masrur, dalam Teory common Link Juynboll: Melacak akar kesejarahan Hadis Nabi.80
Dalam buku ini dijelaskan tentang kronologi, sumber dan
kepengarangan hadis, kajian atas peran para kadi (hakim) Islam awal yang menurut
Juynboll sangat mudah memalsukan hadis, kajian hadis mutawatir, konsep
mutawatir, dimana kemutawatiran hadis tidak menjamin kesejarahanya, dan kajian
terhadap berbagai aspek ilmu rijal menurut pandangan Juynboll. Dalam penutupnya
Masrur melakukan verifikasi kebenaran teori Juynboll dengan menerapkannya pada
hadis-hadis shahadat dan rukun Islam dan dia menawarkan penafsiran baru tentang
fenomena common link.
Berikutnya Kamaruddin Amin dalam buku Analisis isnad cum matan.81 Ini
adalah disertasinya di Bonn Jerman. Dalam penelitiannya ini, hadis shawm pertama
diuji dengan kritik atau penanggalan hadis sarjana muslim, kemudian diuji dengan
metode kritik atau penanggalan Juynboll dan terakhir diuji dengan metode isnad
77
Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī, Bairut Tahun 2000. 78
Diterbitkan oleh : Benang Merah Press Bandung, cetakan pertama tahun 2004 79
Wahyudin Darmalaksana, H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, 135
80Diterbitkan oleh : LKIS Yogyakarta cetakan pertama tahun 2007
81Diterbitkan oleh : Pustaka Mapan Jakarta tahun 2008
16
cum matan. Kemudian dalam buku Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,82
Kamaruddin Amin menyajikan secara runtut bagaimana mengkaji hadis
dari sisi metodologi, pemikiran dan polemik antara penelitian yang dilakukan
sarjana Muslim dan sarjana Barat. Kamaruddin juga mempertanyakan keseragaman
penggunaan istilah periwayatan dan konsistensi penerapanya oleh ulama hadis
dalam kitab mereka, dan penelitian hadis yang dikritik al-Bani dalam Ṣahih Muslim
dengan metode kritik isnad cum matan. Kesimpulan besar buku ini adalah bahwa
pertama Kritik isnad mendapat perhatian lebih ketimbang kritik matan di kalangan
ulama’. Kedua Informasi yang disajikan para ulama abad ketiga dan keempat
tentang ulama hadis awal memiliki nilai untuk konstruksi sejarah. Ketiga Dalam
meneliti ilmu hadis pada masa awal Islam, analisis matan sama pentingnya dengan
analisis isnad, analisis isnad saja tidak cukup karena dapat membawa pada
penyandaran yang salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu seperti kasus hadis
Said bin Mina dan Said al-Maqbury yang secara salah telah disandarkan kepada
Saīd Ibn al-Musayyab oleh M.M. Azami.
uku ‚Otentisitas Hadis menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi‛.83
Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa akurasi metodologi yang diterapkan oleh
ahli hadis membuat tidak sembarang orang bisa meriwayatkan hadis. Berbeda
dengan kaum sufi yang bisa menṣahihkan suatu hadis dengan jalan mimpi bertemu
Nabi dan ṭariq al-Kashf, dan menganggap hadis mereka lebih sahih dari metode
kritik ahli hadis. Penelitian ini berusaha mencari titik temu dan pembeda antara
metode penentuan kesahihan hadis Nabi menurut ahli hadis dan kaum sufi yang
bukan ahli hadis. Titik temu itu adalah teori ‘adalah dan kesalihan dalam diri
seorang perawi hadis yang sama dalam substansinya.
Harald Motzki, dalam Analisyng Muslim Tradions: Studies in Legal, Exegetical and Maghazi Hadith.84 Buku ini adalah ulasan dan bantahan atas
beberapa kesimpulan Joseph Schacht dan GHA Juynboll dalam studi hadis. Harald
Motzki sebagai penulis dan editor mengomentari pandangan Juynboll atas al-Zuhrī
dan a>fi’ mawla Ibn ‘Umar secara lugas dan menunjukkan beberapa kesalahan
Schacht dan Juynboll dalam penelitiannya, mulai dari pengambilan referensi dan
proses generalisasi yang dilakukan. Dia mengambil sampel murid-murid al-Zuhrī
selain Malik bin Anas aitu Ma’mar Ibn Rāshid (w.153/770) dan ‘Abd al-Malik ibn
Juraij (w.150/767) yang terdapat dalam Mus}annaf Abd al-Razzāq al-San’ānī (w.
211 H) serta membandingkanya dalam rangka rekonstruksi kritik terhadap doktrin
dan hadis riwayat al-Zuhrī. Kemudian berkenaan dengan a>fi’ Motzki meneliti
hadis tentang zakat fitrah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi. Buku ini
menjadi salah satu sumber rujukan peneliti dalam melihat beberapa permasalahan
mengenai a>fi’. Dengan melihat berbagai aspek yang diungkap Juynboll dan
dibantah oleh Motzki, penelitian ini memposisikan diri diantara mereka.
Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, dalam Kritik terhadap Metode Kajian Sanad G.H.A. Juynboll: Tumpuan terhadap Teori common link dan Single
82
Diterbitkan oleh: PT Mizan Republika Jakarta cetakan pertama tahun 2009 83
Diterbitkan oleh : Pustaka Firdaus, cetakan kedua tahun 2008 84
Diterbitkan oleh : BRILL volume 78 Tahun 2010
17
Strand.85 Dalam artikel tersebut, mereka menyatakan bahwa kesimpulan Juynboll
banyak menuai kritikan sarjana Barat lain. Dan bila ditinjau dari perspektif ilmu
hadis, teori-teori yang dikembangkan Juynboll berdasar pada ketidak percayaannya
terhadap autentisitas hadis a>ha>d, sebenarnya pendapat seperti ini adalah sama
dengan pendapat sebagian tokoh Mu’tazilah masa lalu yang bertentangan dengan
pendapat jumhur umat Islam. Kajian mereka ini lebih fokus pada penguatan status
hadis Ghari>b untuk diterima sebagai hujjah.
Idri, dalam Otentisitas H{adîth Mutawâtir Dalam Teori Common Link G.H.A. Juynboll, 86
dalam artikel ini Idri menolak pendapat Juynboll bahwa konsep
mutawatir telah dikembangkan oleh sarjana muslim secara random dan bahwa
istilah tersebut sering digunakan secara longgar dan salah. Idri menganggap bahwa
teori common link Juynboll tidak dapat dijadikan paradigma untuk meneliti hadis-
hadis Nabi oleh Umat Islam, karena hasil akhir dari penggunaan teori ini adalah
kesimpulan bahwa hadis Nabi yang diteliti adalah palsu.
Halit Ozkan, dalam artikelnya ‚The Common Link and Its Relation to the Madār‛.87
Dalam tulisannya ini, Ozkan memberikan argumen bahwa istilah
common link tidak bisa disamakan dengan istilah mada>r yang digunakan oleh
sarjana hadis muslim masa lalu maupun masa kini. Kata mada>r juga tidak selalu
digunakan sebagai istilah teknis. Ozkan menyatakan bahwa terdapat problem dalam
contoh yang diberikan Juynboll tentang orang yang disebut mada>r. Selain itu tidak
benar juga bahwa mada>r berarti sama dengan kata tafarrada (sendiri dalam
periwayatan). Ozkan menyampaikan argumen bahwa adanya mada>r dalam level
yang sama dari sanad hadis, menunjukkan bahwa istilah mada>r itu berbeda dengan
istilah tafarrud sekalipun dalam literatur hadis ditemukan bahwa Ibn Hajar
menggunakan dua istilah itu yang kemudian difahami sebagai sinonim. Tetapi dari
hasil penelusuran dalam literatur, dua istilah itu jelas berbeda. Ozkan juga menolak
temuan Juynboll bahwa istilah muta>ba’a>t dan Shawa>hid lebih tepat diartikan
sebagai menyalin atu meng-copi. Menurut Ozkan, dua istilah itu lebih tepat
difahami dalam konteks al-I’tiba>r (mencari pembanding), dan tidak tepat jika dua
istilah itu difahami sebagai praktek menyalin hadis (to copy) dengan bukti tidak
adanya kemungkinan seseorang yang hidup di dua tempat dan waktu yang berbeda
untuk melakukan hal tersebut.
Dengan melihat pada literatur buku dan artikel dalam jurnal yang telah
disebutkan di atas, maka secara garis besar sanggahan terhadap teori Barat tentang
kepalsuan hadis Nabi dilakukan dengan mengumpulkan bukti bahwa periwayatan
hadis dan tradisi menulis riwayat telah dilakukan sejak masa awal Islam, serta
dengan meluruskan istilah-istilah yang difahami dengan kurang tepat. Oleh karena
itu maka diketahui bahwa fokus kajian disertasi ini memiliki perbedaan dengan
kajian terdahulu dalam beberapa aspek sbb:
1. Penelitian ini akan mengaplikasikan teori common link GHA Juynboll
pada hadis-hadis riwa at a>fi’ mawla Ibn Umar ang terdapat dalam
kitab al-Ṣaḥiḥayn.
85
Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Hadith vol. 5 Mei 2007, p. 71-95. 86
Jurnal Islamica volume 7, Nomor 2, Maret 2013 87
Dipublikasikan dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 1 (2004), pp. 42-77
18
2. Penelitian ini ingin menguatkan posisi Nāfi’ sebagai tokoh sanad dhahabiyyah yang belum banyak dikuatkan posisinya oleh para sarjana
hadis terdahulu dalam karya mereka.
3. Penilitian ini akan membuktikan kehandalan kritik hadis sarjana muslim
dengan menjawab tuduhan-tuduhan yang dialamatkan atasnya dengan
fokus pada kitab al-Ṣaḥiḥayn .
F. Metode Penelitian
1. Sumber dan Jenis data
Sumber data penelitian ini adalah data pustaka88
yang terdiri dari sumber
primer yaitu kitab hadis al-Ṣaḥīḥayn ang memuat riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar,
buku Muslim’s Traditions karya Juynboll, dan kitab-kitab biografi ulama hadis,
serta jurnal-jurnal internasional yang berkaitan. Sedangkan sumber sekunder dari
penelitian ini, yaitu buku Anal sing Muslim’s Traditions karya Motzki dan buku
Kamarudin Amin menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik hadis, serta kitab-
kitab sīrah yang relevan, ditambah buku-buku orientalis dalam bidang hadis.
Adapun jenis data penelitiannya adalah hadis riwayat Nāfi’serta biografinya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sumber data yang mayoritas berupa tulisan yang dalam
bahasa Arikunto disebut paper, maka Pengumpulan data ditempuh dengan metode
dokumentasi,89
dengan tahapan sebagai berikut: pertama, memisahkan hadis-hadis
ang akan diteliti aitu riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar. Kedua, mengambil sampel
hadis yang akan diteliti. Ketiga, observasi untuk mengetahui acuan utama metode
kritik hadis ‘ulama dalam kitab-kitab mereka dan hasil temuan Orientalis atas
kelemahan metode kritik tersebut. Keempat, memisahkan hadis yang dapat
diterima dan tertolak setelah menggunakan dua metode tersebut.
3. Pendekatan dan Analisis Data
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian pustaka yang
bersifat kualitatif. Metode kualitatif akan diterapkan sebagai eksplorasi terhadap
setiap jenis data.90
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan
filologis, dengan model analisis induktif. Data-data yang diperoleh akan dianalisis
dengan pendekatan deskriptif analisis. Selain itu dilakukan analisis komparatif dari
data-data tersebut sehingga kesimpulan yang diperoleh akan lebih komprehensif.
Penelitian komparatif ini menurut Van Dalen merupakan jenis Inter relationship
Studies yang termasuk Causal Comparative Studies.91
Penelitian ini juga
merupakan penelitian eksploratif karena bertujuan untuk menemukan berbagai
implikasi yang mempengaruhi autentisitas hadis.
88
Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2004), 1-13 89
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1998), Cet XII, Edisi Revisi V, 129. 90
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2010). 91
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, 236.
19
4. Penentuan Populasi dan Sampel
Dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn terdapat 6602 hadis yang tidak diulang. Dalam
sahih al-Bukhari 2602 hadis, dan dalam sahih Muslim 4000 hadis. Dari jumlah
tersebut terdapat riwayat Nāfi’ sebanyak 188, dan yang dianggap sebagai hadis
mutawatir sebanyak 18 hadis. Untuk memenuhi kriteria sampel berupa ukuran dan
keterwakilannya,92
maka hadis yang akan dijadikan sampel untuk menggeneralisasi
hasil penelitian adalah 66 hadis yang diambil dengan pemilihan sampel acak
sederhana.93
Jumlah ini diperoleh setelah mengaplikasikan rumus sampling Taro
Yamane sebagai berikut:94
n = N N n = Jumlah sampel, N= Jumlah Populasi N.d
2 + 1 d
2 = Presisi yang ditetapkan
Dan telah diketahui jumlah populasi hadis a>fi’ seban ak = 188, dan presisi yang
ditetapkan sebesar 10%, maka berdasar rumus tersebut diperoleh jumlah sampel
sebagai berikut:
n = N = 188 = 188 = 188 = 65,27 = 66 hadis
N.d2 +1 188.0,12+1 (188).(0,01)+1 2,88
5. Teknik Pengolahan Data
Data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu :
a. Hadis-hadis riwa at a>fi’
Pengolahan data hadis ini melalui tahap-tahap: Pertama, hadis-hadis
yang menjadi sampel akan di-taḥrīj untuk mengetahui sumber-sumber hadis
dalam kitab yang lain. Kedua, melakukan I’tiba>r yaitu membuat bundel
sanad, kemudian dilanjutkan dengan menentukan perawi yang menduduki
posisi common link. Ketiga, meneliti pribadi rawi dalam periwayatan dan
meneliti kebersambungan sanadnya. Dan Keempat menentukan autentik atau
tidaknya sanad. Kelima, membuat natījah (kesimpulan) hadisnya sahih
(autentik) atau mawḍū’.95
b. iografi a>fi’
Untuk data yang berupa biografi, akan dianalisis secara logis,
sistematis dan obyektif menggunakan pendekatan sejarah dengan langkah-
langkah sebagai berikut: Pertama, pengumpulan data-data yang relevan dari
berbagai sumber yang otoritatif (heuristik). Kedua, melakukan analisis kristis
pada sumber. Ketiga, penetapan makna dan hubungan antara fakta-fakta yang
ditemukan (interpretasi). Keempat, rekonstruksi data yang diperoleh
(historiografi). Semua data yang ditemukan akan dievaluasi dan diverifikasi
92
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2012), 250. 93
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 261. 94
Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula c.6 (Bandung: Alfabeta, 2010), 65.
95M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 49-138.
20
untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap kesejarahan a>fi’ mawla Ibn
Umar sebagai tokoh yang memiliki kesejarahan.96
G. Sistematika Penulisan
Penulis membagi penelitian ini ke dalam 6 bab dengan uraian sebagai
berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah
pendorong penilitian ini dilakukan, dilanjutkan dengan permasalahan yang dirinci
dengan identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, dilanjutkan dengan
tujuan, signifikansi dan manfaat penelitia, kemudian paparan penelitian terdahulu
yang relevan, sebagai upaya menunjukkan perbedaan dan persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dilanjutkan dengan
metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab dua berisi kerangka teori dengan mengungkapkan polemik dalam
penentuan autentisitas hadis antara kelompok pengingkarnya dari kelompok sarjana
Barat terkemuka yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A. Juynboll, dan
yang mendukung mereka dari kalangan sarjana Muslim modern yang mengingkari
kehujjahan hadis. Kemudian paparan berisi sanggahan dari para pembela hadis, baik
dari sarjana muslim maupun dari sarjana non muslim, dan diakhiri dengan
pandangan dan kesimpulan peneliti sebagai penentu posisi peneliti.
Bab tiga berisi deskripsi tentang kitab al-S}ah}i>h}ayn dengan memaparkan
kualitas metode kritik dan sikap ulama dalam penelitian hadis sebagai gambaran
obyek penelitan, diawali dengan paparan biografi singkat al-Bukha>ri dan Muslim
dilanjutkan dengan kualitas kitab al-Sa}h}i>h}ayn, dan dilanjutkan dengan membahas
tadlis riwayat hadis yang dilakukan oleh al-Bukha>ri dan Muslim untuk diketahui
kredibilitas dan konsistensi mereka dalam menyeleksi hadis, dengan mengacu pada
pandangan ahli hadis klasik serta di konfirmasikan dengan pandangan modern yang
terdapat dalam jurnal internasional terbaru.
Bab empat memaparkan analisis kesejarahan dan kredibilitas perawi hadis
yang dikritik Joseph Schacht dan Juynboll, yaitu Nāfi’ mawlā Ibn ‘Umar serta jalur
periwayatan hadisnya, dilanjutkan dengan telaah terhadap kualitas hadis bersanad
emas Malik dari a>fi’ dari Ibn Umar, kemudian analisis kritis istilah mada>r, muta>ba’a>t dan Shawa>hid dalam ilmu hadis, dan diakhiri dengan menguji kembali
kualitas hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh a>fi’ dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn.
Bab lima memaparkan analisis hadis Nabi ang diriwa atkan a>fi’ mawla
Ibn ‘Umar dalam kitab al-Ṣah}i>h}ayn yang telah dipilih sebagai sampel penelitian,
kemudian menghitung prosentase hadis ṣahih didalamnya yang bertujuan untuk
mengetahui kualitas hadis-hadis tersebut setelah mengaplikasikan teori common
link Juynboll terhadapnya.
Dan bab enam adalah penutup berisi kesimpulan hasil penelitian mengenai
hadis riwa at a>fi’ serta implikasi penelitian yang dilakukan sebagai masukan
untuk pengkajian hadis selanjutnya.
96Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula