1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Perternakan adalah merupakan gabungan dari sentra-sentra peternakan yang memenuhi batas minimal skala ekonomi dan manajemen pembangunan di wilayah serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya dan keberadaan infrastruktur penunjang. Pengembangan kawasan Peternakan dimaksudkan untuk menjamin ketahanan pangan nasional, pengembangan dan penyediaan bahan baku bioindustri, serta penyediaan bahan bakar nabati melalui peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan, berdaya saing dan mampu mensejahterakan semua pelaku usaha yang terlibat di dalamnya secara berkeadilan. Pengembangan kawasan pertanian dalam operasionalnya harus disesuaikan dengan potensi agroekosistem, infrastruktur, kelembagaan sosial ekonomi mandiri dan ketentuan tata ruang wilayah. Untuk menuju kondisi ideal yang diharapkan dalam pengembangan kawasan Peternakan, maka secara garis besar dapat dirumuskan langkah-langkah pengembangan kawasan, yaitu sebagai berikut: (1) Penguatan perencanaan pengembangan kawasan; (2) Penguatan kerjasama dan kemitraan; (3) Penguatan sarana dan prasarana; (4) Penguatan sumber daya manusia; (5) Penguatan kelembagaan; dan (6) Percepatan adopsi teknologi bioindustri dan bioenergi, (7) Pengembangan industri hilir. Rancang bangun dan kelembagaan dibutuhkan dalam pengembangan kawasan secara berjenjang. Rancang bangun pengembangan kawasan disusun berdasarkan analisis
69
Embed
PENDAHULUAN - pertanian.go.id Pangan Horti... · 6 BAB II ARAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KAWASAN PETERNAKAN 2.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kawasan Perternakan adalah merupakan gabungan dari sentra-sentra peternakan yang
memenuhi batas minimal skala ekonomi dan manajemen pembangunan di wilayah serta
terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya dan
keberadaan infrastruktur penunjang. Pengembangan kawasan Peternakan dimaksudkan untuk
menjamin ketahanan pangan nasional, pengembangan dan penyediaan bahan baku
bioindustri, serta penyediaan bahan bakar nabati melalui peningkatan produksi pertanian
secara berkelanjutan, berdaya saing dan mampu mensejahterakan semua pelaku usaha yang
terlibat di dalamnya secara berkeadilan. Pengembangan kawasan pertanian dalam
operasionalnya harus disesuaikan dengan potensi agroekosistem, infrastruktur, kelembagaan
sosial ekonomi mandiri dan ketentuan tata ruang wilayah.
Untuk menuju kondisi ideal yang diharapkan dalam pengembangan kawasan
Peternakan, maka secara garis besar dapat dirumuskan langkah-langkah pengembangan
kawasan, yaitu sebagai berikut:
(1) Penguatan perencanaan pengembangan kawasan;
(2) Penguatan kerjasama dan kemitraan;
(3) Penguatan sarana dan prasarana;
(4) Penguatan sumber daya manusia;
(5) Penguatan kelembagaan; dan
(6) Percepatan adopsi teknologi bioindustri dan bioenergi,
(7) Pengembangan industri hilir.
Rancang bangun dan kelembagaan dibutuhkan dalam pengembangan kawasan secara
berjenjang. Rancang bangun pengembangan kawasan disusun berdasarkan analisis
2
teknokratis dan rencana kerja melalui telaah kebijakan serta analisis pemeringkatan,
klasifikasi dan pemetaan kawasan, serta analisis data dan informasi tabular dan spasial untuk
mengarahkan pengembangan dan pembinaan kawasan. Pengelola Kawasan di provinsi
menyusun rencana induk (Master Plan) untuk setiap jenis kawasan yang ada di provinsi
sebagai upaya untuk menjabarkan arah kebijakan, strategi, tujuan, program/kegiatan
pengembangan kawasan nasional. Adapun Pengelola Kawasan di Kabupaten/Kota menyusun
rencana aksi (Action Plan) yang merupakan penjabaran operasional dari Master Plan sebagai
upaya untuk rencana yang lebih rinci dalam kurun waktu tahun jamak (multi years).
Pengelolaan kawasan dilakukan secara berjenjang, mulai pengelola di pusat, di provinsi dan
di kabupaten/kota.
Seperti yang telah disebut di atas bahwa salah satu misi dinas Kesehatan Hewan dan
Peternakan Provinsi Aceh adalah mengembangkan kawasan peternakan sesuai potensi dan
cluster yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan. Maka pengembangan kawasan
peternakan terpadu adalah salah satu program yang dapat diterapkan guna mendukung misi
yang telah ditetapkan oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan
tersebut. Kawasan peternakan adalah suatu kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk
kegiatan peternakan terpadu sebagai komponen dari usahatani (berbasis tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu
(kawasan hutan lindung atau suaka alam). Beberapa komponen yang sangat berpengaruh
dalam menunjang keberhasilan pengembangan kawasan peternakan antara lain: ketersediaan
lahan, pakan, penyediaan air, infrastruktur jalan, peternak dan ternak serta prasarana
penunjangn seperti industri pakan, obat/vaksin, alat dan mesin pertanian, Pos Keswan, Pos
IB, Rumah Potong Hewan (RPH), Industri pengolah susu, daging, Holding ground, pasar
hewan dan lain sebagainya yang dapat menunjang produktivitas ternak.
3
Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya, Bener Meriah dan Aceh Tamiang merupakan
salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
kawasan peternakan terpadu untuk pengembangan ternak ruminansia. Namun sejauh ini,
potensi yang ada di kabupaten tersebut tidak berkembang baik karena tidak didukung oleh
berbagai faktor yang menunjang suatu kawasan peternakan terpadu seperti ketersediaan
sarana, prasarana, pengelolaan sumber daya air untuk pengembangan suatu ususah
peternakan dan juga dari berbagai ketersediaan infrastruktur yang masih sangat kurang. Dari
berbagai keterbatasan tersebut mengakibatkan rendahnya produksi dan produktivitas ternak
Provinsi Aceh. Sebagai salah satu faktor keterbatasan keterbatasan faktor pendukung suatu
kawasan peternakan adalah karena sampai saat ini belum adanya dokumen rancangan
pengembangan ternak ruminansia yang menjadi arah bagi pengembangan peternakan di Aceh
menjadi lebih optimal.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan suatu kegiatan berupa penyusunan master
plan kawasan peternakan Provinsi Aceh untuk mengidentifikasikan potensi yang ada dan juga
bagaimana mengelola potensi yang ada dengan baik sehingga dapat mempercepat
pegembangan peternakan Provinsi Aceh yang pada akhirnya dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan Penyusunan dari Penyusunan Master Plan Kawasan Peternakan ini adalah sebagai
berikut:
1. Teridentifikasinya potensi kawasan perternakan di Kabupaten tersebut baik dalam
keterkaitan ke luar (eksternal) maupun ke dalam (internal)
4
2. Mewujudkan pengembangan sektor peternakan secara terarah dan terpadu dengan
pengembangan sektor penunjang lainnya.
3. Mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis peternakan yang berdaya saing
dan berbasis kerakyatan.
4. Meningkatkan kemampuan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam melaksanakan
pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah khususnya dalam bidang pertanian
melalui pendekatan pengembangan wilayah.
1.3. Sasaran
- Tersedianya Data secara detail daerah yang akan dijadikan sebagai acuan untuk
pengembangan kawasan peternakan terpadu Provinsi Aceh,
- Tersedianya Data informasi tentang kelayakan kawasan yang akan dijasikan sebagai
kawasan peternakan ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, hukum dan teknis,
- Tersusunnya rencana model kelembagaan, kebutuhan infrastruktur, fasilitas produksi dan
fasilitas penunjang kawasan peternakan,
- Tersusunnya program kegiatan, rancangan, dan sumber pembiayaan untuk
pengembangan kawasan peternakan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan
tujuan.
1.4. Out put Kegiatan
Adapun Output kegiatan adalah:
1. Adanya dokumen master plan kawasan peternakan Provinsi Aceh
2. Adanya Peta Kawasan,
3. Adanya program kerja untuk pengembangan kawasan peternakan Provinsi Aceh
5
4. Tersusunnya anggaran biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan kawasan
peternakan Provinsi Aceh
1.5. Manfaat Master Plan dan Rencana Aksi
1. Sebagai rujukan daerah dalam perencanaan program dan kegiatan.
2. Sebagai acuan dalam implementasi program dan kegiatan.
3. Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan (rencana kegiatan vs
realisasi).
Urgensi Kegiatan
Kegiatan ini dipandang sangat perlu, berkaitan dengan program pemerintah
swasembada daging yang ingin dicapai oleh pemerintah tahun 2014 dan bisa
berkelanjutan untuk tahun-tahun berikutnya. Disamping itu, dengan adanya kegiatan ini
potensi yang ada Provinsi Aceh untuk pengembagan peternakan dapat ditingkatkan dan
segala faktor-faktor yang menghambat pengembangan kawasan peternakan dapat
diminimalisir. Dengan demikian pengembangan kawasan peternakan dapat dipercepat
sehingga bisa meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat sekitar kawasan
peternakan khususnya.
6
BAB II
ARAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KAWASAN PETERNAKAN
2.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPA
Pembangunan sub sektor peternakan saat ini dihadapkan pada tantangan terhadap
lingkungan strategi global, baik di tingkat daerah, regional dan nasional serta
internasional. Perubahan lingkungan yang sangat cepat dibidang sosial, budaya,
ekonomi dan politik menimbulkan berbagai ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan pemerintah. Isu kemiskinan, pengangguran dan kesempatan kerja merupakan
masalah nasional. Di sub sektor peternakan kasus flu burung, penyakit hewan dan
swasembada daging merupakan tantangan dan masalah yang harus dihadapi melalui
proses tranformasi dari usaha tani ternak tradisional kearah usaha tani maju dan
modern. Untuk menuju kearah tersebut perlu dibangun paradigma baru serta visi
pembangunan peternakan yang memberikan arah dan citra pembangunan peternakan di
masa datang guna menjawab tantangan dan harapan di masa depan. Sehubungan dengan
fenomena tersebut, beberapa masalah dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Sistem usaha peternakan masih merupakan usaha peternakan rakyat yang pada
umumnya merupakan usaha sambilan atau cabang usaha.
2. Semakin sulitnya jaminan kebutuhan lahan bagi sub sektor peternakan karena
belum adanya kepastian hukum terhadap tata ruang budidaya.
3. Belum terbinanya sumber daya manusia (SDM) petani peternak dalam rangka
membangun karakter masyarakat petani yang mandiri dan tangguh.
7
2.2. Telaahan Visi, Misi dan Program Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih
Telahaan Visi dan Misi
Visi :
Mewujudkan tata kelola pengembangan ternak dengan menerapkan tata nilai dan
budaya kerja masyarakat Aceh dalam melaksanakan budidaya untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas ternak yang berbasis ekonomi kerakyatan dalam rangka
meningkatkan harkat dan martabatnya. Melaksanakan pembangunan peternakan secara
profesional dan proporsional yang terintegrasi dan berkelanjutan sehingga dapat
memberikan nilai tambah produk peternakan dalam rangka pemanfaatan potensi sumber
daya peternakan, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak beserta
keluarganya, sehingga mampu mandiri dan tangguh. Dalam melaksanakan
pembangunan peternakan harus berdasarkan perwilayahan komoditi dengan
memperhatikan aspek keadilan dan pemerataan sesuai cluster masing-masing daerah.
Telaahan Misi :
1. Menyusun Qanun peternakan tentang tata kelola pembangunan peternakan Aceh
yang amanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2. Menyediakan produk pangan asal ternak yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal
(ASUH) sesuai dengan nilai-nilai Dinul Islam.
3. Memperkuat sumber daya peternak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
8
4. Melaksanakan pembangunan peternakan yang profesional, proporsional,
terintegrasi dan berkelanjutan sesuai dengan cluster daerah masing-masing.
5. Meningkatkan nilai tambah produksi peternakan dan optimalisasi pemanfaatan
sumber daya lokal.
2.3. Telaahan Renstra K/L dan Renstra
Renstra disusun untuk menjamin kontinuitas dan konsistensi program
pembangunan peternakan sekaligus menjaga fokus sasaran yang akan dicapai dalam
satuan waktu tertentu. Renstra juga menetapkan sasaran yang akan dicapai dengan
indikator keberhasilan yang dapat diukur dan diverifikasi, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam pengendalian dan evaluasi program. Sebagai respon terhadap dinamika
lingkungan strategis baik global maupun domestik, serta memperhatikan perencanaan
sebagai alat manajerial untuk memelihara keberlanjutan dan perbaikan kinerja lembaga,
maka Rencana Strategis Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh disusun dengan
tujuan sebagai berikut
- Untuk merencanakan berbagai kebijakan dan strategi percepatan
pembangunan peternakan ke arah yang lebih baik dalam kondisi perubahan
lingkungan yang cepat, transparan dan semakin kompleks.
- Sebagai dokumen yang akan menjadi dasar atau acuan, khususnya bagi Dinas
Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh dan berbagai komponen yang
menjalankan fungsi pembangunan peternakan, dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya.
- Untuk memberikan komitmen pada aktifitas dan kegiatan di masa mendatang.
- Sebagai dasar untuk mengukur capaian kinerja dan melakukan penyesuaian
terhadap perubahan yang mungkin terjadi.
9
- Sebagai pedoman umum dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.
- Untuk memfasilitasi komunikasi, baik vertikal maupun horizontal, antar dan lintas
sektoral serta dengan masyarakat peternakan, dan pelaku agribisnis
berbasis peternakan.
2.4. Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Strategi pembangunan didasarkan pada kerangka analisis terhadap faktor
lingkungan strategis. Strategi yang demikian perlu dilakukan mengingat faktor strategis
lingkungan akan menentukan keberhasilan pelaksanaan visi dan misi yang diterapkan.
Keberadaan faktor-faktor lingkungan strategis yang terdiri dari faktor lingkungan
internal strategis dan faktor lingkungan eksternal strategis akan merupakan kerangka
dasar mengingat pada faktor tersebut dapat ditemukan berbagai kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan. Isu pelestarian lingkungan menjadi perhatian internasional yang
harus diperhatikan dan diatasi melalui langkah-langkah antara lain :
1. Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan
dan program pemerintah dalam upaya mencegah degradasi kualitas lingkungan
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi secara berkelanjutan.
3. Memperbaiki taraf hidup penduduk miskin.
Kondisi tersebut menuntut Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan bersama -
sama dengan instansi lainnya menciptakan program yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
10
2.5. Penentuan Isu-isu Strategis:
1. Meningkatkan Kelahiran dan Efisiensi Reproduksi Ternak
Tingkat efisiensi reproduksi yang selama ini dengan sistim pengelolaan ternak
secara ekstensif masih sangat rendah dibandingkan dengan kapasitas yang dimiliki
oleh ternak ruminansia besar (sapi/kerbau), ternak ruminansia kecil ( kambing
/domba) maupun pada ternak non ruminansia terutama ayam buras dan itik. Upaya
meningkatkan kelahiran dan efisiensi reproduksi ditempuh melalui strategi
pendekatan sistim pengelolaan intensif dengan pola pengaturan perkawinan baik
dengan inseminasi buatan, meningkatkan intensifikasi sistim perkawinan alam,
penerapan sistim recording, seleksi dan penyediaan bibit unggul.
2. Menekan Angka Kematian Ternak
Selain efisiensi reproduksi yang masih rendah, angka kematian dan kasus
penyakit pada ternak rakyat masih tinggi yang disebabkan oleh serangan
penyakit/wabah yang menyerang ternak besar, ternak kecil maupun ternak unggas.
Semua jenis kasus penyakit pada ternak belum mampu diberantas secara tuntas dan
setiap tahun secara temporer masih berjangkit dibeberapa daerah. Untuk itu upaya-
upaya peningkatan sistim pengendalian dan pemberantasan melalui sistim komando
pengamanan dini dan optimalisasi perangkat pendukung di kab/kota sampai
kecamatan dan pedesaan perlu terus ditingkatkan.
3. Pengendalian Pemotongan dan Pengeluaran Ternak
Upaya pengendalian pemotongan ternak betina produktif diarahkan pada
usaha mencegah terjadinya pemotongan terhadap ternak ruminansia besar (sapi dan
kerbau) betina produktif khususnya yang sedang bunting sehingga dapat menguras
sumber bibit betina. Demikian juga pada calon-calon pejantan unggul perlu
diselamatkan melalui program pengadaan atau rekruitmen pejantan untuk menjadi
11
bull bagi penyediaan sperma. Untuk mendukung kegiatan tersebut selain diperlukan
fasilitas pembiayaan dan peralatan juga perlu dibuat Peraturan Daerah, tentang
Pelarangan Pemotongan Ternak Betina Produktif dengan sanksi yang lebih ketat
untuk mengsukseskan program tersebut dimasing-masing Kabupaten/Kota.
Disamping itu pengembangan pola kemitraan dan koordinasi semua komponen yang
terkait perlu terus ditingkatkan dalam pembinaan dan pengendalian program.
4. Pemasukan dan Pengembangan Ternak Bibit Unggul
Program pemasukan dan pengembangan ternak bibit unggul tetap perlu
dilakukan secara selektif, kolektif berencana dan terukur. Dengan perkataan lain
pemasukan bibit unggul baik dari dalam negeri (antar provinsi) maupun bibit impor
tetap harus memiliki sikap hati-hati, terkendali dan terprogram dengan baik,
sehingga dapat terhindar dari hal-hal yang tidak legal dengan sumber yang tidak
jelas baik dari segi genetik maupun fenotip yang diperlihatkan. Untuk itu kriteria
teknis sesuai ketentuan Pemerintah tentang pemasukan ternak bibit impor tetap
menjadi acuan yang baku untuk dipedomani. Disamping itu upaya-upaya
pengembangan potensi plasma nutfah ternak lokal perlu terus dilakukan secara
intensif khususnya sapi Aceh melalui domestikasi pada suatu kawasan yang layak.
5. Pemanfaatan Teknologi dan Informasi
Menghadapi pesatnya perkembangan teknologi informasi membutuhkan
kreatifitas dari semua aparatur Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan untuk
memanfaatkan teknologi adalah sebagai alat bantu manusia untuk mencapai
tujuannya.
Pemanfaatan teknologi sangat tergantung pada Sumber Daya Manusia (SDM)
yang ada, tanpa kemampuan SDM tidak mungkin optimalisasi pemanfaatan
12
teknologi dapat dilakukan. Untuk itu upaya pembinaan SDM sangat penting
dilakukan guna tersedianya tenaga aparatur yang handal dalam memanfaatkan
perangkat teknologi informasi, sehingga dengan teknologi informasi akan mampu
mengakses semua data yang ada untuk kepentingan perencanaan, pengendalian dan
evaluasi program.
6. Penerapan Teknologi Ekonomi/Usaha
Teknologi adalah sebagai alat mencapai sasaran produksi peternakan.
Optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk menyikapi tuntutan kebutuhan
masyarakat sesuai perkembangan yang terus berubah dengan cepat. Pemanfaatan
teknologi diperlukan kreativitas sumber daya pelaku yang terlibat langsung dengan
pengembangan peternakan.
Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak besar, ternak kecil
maupun ternak unggas haruslah melalui inovasi teknologi yang memberikan
efektivitas dan efisiensi tinggi bagi suatu usaha.
7. Penerapan Teknologi Sosial Ekonomi
Semua proses pendekatan baik dalam rangka perencanaan maupun operasional
dilapangan selain pertimbangan dari segi teknis mekanisasi tetapi juga harus
memperhitungkan dari aspek teknis sosial dan ekonomi.
Untuk itu dalam rangka mempercepat proses transformasi kebijakan
pembangunan peternakan, terutama dalam rangka pengembangan kawasan usaha
agribisnis peternakan, pertimbangan sosial ekonomi merupakan salah satu aspek
penting yang menjadi pertimbangan di dalam menetapkan langkah-langkah strategis
memecahkan masalah dilapangan. Mengingat aspek politik dan sosial ekonomi
13
memegang peranan penting dalam membangun suatu wilayah maka kebijakan yang
ditempuh haruslah benar-benar mampu mengakomodir semua kepentingan baik dari
segi politik, teknis dan sosial ekonomi.
Dengan demikian dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan
pembangunan peternakan lima tahun kedepan diarahkan agar ketiga kepentingan
tersebut dapat terpenuhi maka melalui penerapan teknologi sosial ekonomi akan
diterapkan tiga pola pengwilayahan pengembangan yaitu : Pertama untuk
memenuhi aspirasi praktis program peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
diarahkan pada usaha tani keluarga dengan komoditas ternak kecil dan unggas;
Kedua pada masyarakat tani yang bersifat heterogen dengan berbagai komoditas
pertanian ditetapkan pola intensifikasi usaha tani terpadu penggemukan sapi potong
dan ternak kambing/domba, dan ketiga pada pola pengembangan kawasan agribisnis
sentra perbibitan ternak sapi/kerbau adalah melalui sistim integrasi ternak dengan
tanaman dan mengembangkan pola kemitraan.
8. Pengadaan dan Penyaluran Sarana Produksi Peternakan
Untuk meningkatkan kegiatan budidaya dan proses pengelolaan ternak, upaya-
upaya pengadaan bibit ternak terus dilakukan baik dalam bentuk natura maupun
dalam bentuk kegiatan Inseminasi Buatan (IB). Secara bertahap diharapkan
pengadaan bibit ternak dapat terus meningkat setiap tahun 1-2 % sampai tahun 2017
dapat terpenuhi jumlah populasi yang ditargetkan untuk bibit, sehingga melalui
kedua kegiatan ini diharapkan dapat memenuhi kekurangan bibit selama ini.
Selain sarana bibit ternak, secara sinergis penyediaan pakan dan hijauan pakan
ternak, sarana obat-obatan dan vaksin dalam rangka pengendalian penyakit juga
terus ditingkatkan, demikian juga sarana pendukung operasional dilapangan secara
14
bertahap ditingkatkan dimasing-masing kabupaten/kota sentra pengembangan
komoditas peternakan.
9. Pembinaan Produksi dan Proses Budidaya
Upaya pembinaan produksi dan proses budidaya merupakan subsistim kedua
dalam sistim agribisnis usaha peternakan. Upaya-upaya tersebut diarahkan pada
proses penerapan bioteknologi bibit, pakan dan kesehatan hewan, sehingga
subsistim proses produksi secara sinergis harus didukung oleh subsistim yang lain.
Proses produksi dan kegiatan budidaya merupakan inti dari kegiatan pengembangan
ternak. Oleh karena itu untuk meningkatkan kegiatan ini sangat tergantung pada
pelaku usaha peternakan dalam hal ini petani peternak sebagai subjek harus
ditingkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam sistim pengelolaan agribisnis,
dari subsistim hulu sampai sub sistim hilir. Langkah-langkah yang perlu ditempuh
adalah melalui selektifitas pelaku usaha yang berorientasi agribisnis dalam typologi
usaha pokok, cabang usaha dan sambilan atau sampingan sehingga dengan demikian
akan mempermudah usaha pembinaan dan pengembangannya secara berkelanjutan
dan integratif dari hulu sampai hilir. Dengan menerapkan standar skala usaha
agribisnis peternakan yang layak dapat mengembangkan kapasitas produksi yang
sesuai dengan tujuan usaha yang ingin dicapai.
10. Penanganan Pasca Panen, Pengelolaan Hasil dan Pemasaran
Kegiatan pada usaha hilir sangat penting dan memberikan kontribusi sangat
besar bagi peningkatan nilai tambah dari produk peternakan yang dihasilkan.
Upaya-upaya penerapan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil harus
15
ditujukan pada jaminan produk baik kualitas maupun kuantitas secara berkelanjutan
sehingga memenuhi kebutuhan tuntutan pasar yang terus meningkat. Dengan
perkataan lain bahwa dalam proses pasca panen harus dimulai dari penanganan hasil
sejak produk peternakan dihasilkan sampai pada proses pengolahan dan kegiatan
lain yang terkait dengannya seperti pengawetan dan pengepakan hingga produk
tersebut memuaskan konsumen dan memenuhi standar ASUH (Aman, Sehat, Utuh
dan Halal). Dengan demikian nilai tambah bagi pelaku usaha akan semakin
meningkatkan pendapatannya.
11. Pengembangan Sub Sistem Pendukung.
Tanpa sub sistim pendukung kegiatan sub sistim lainnya sulit berjalan
sebagaimana diharapkan, karena sub sistim pendukung yang dimaksudkan disini
adalah peranan pembinaan SDM aparatur pembina dan pelaku usaha menjadi
penting dalam rangka pemanfaatan teknologi pengelolaan dan sistim informasi
pasar.
Untuk itu upaya-upaya melalui pendidikan dan pelatihan perlu ditingkatkan
secara bertahap dan berkelanjutan, termasuk disini kegiatan penyuluhan, pembinaan
kemitraan usaha, dan kerja sama jasa penunjang yang terkait langsung dengan
proses sub sistim agribisnis lainnya.
Pembinaan sub sistim pendukung sangat strategis dalam rangka memanfaatkan
potensi SDM yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spritual
sehingga menjadi manusia yang tangguh dalam menjalankan tugas dan memiliki
dedikasi yang tinggi serta bertanggung jawab.
16
BAB III
POTENSI PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN
I. Kabupaten Aceh Besar
1.1.Aspek Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Aceh Besar
Letak Geografis
Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak pada 503’1,2” - 5045’9,007” Lintang
Utara dan 95055’43,6” - 94059’50,13” Bujur Timur.
Batasan Geografis
Sedangkan secara administrasi Kabupaten Aceh Besar memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut :
Batas Utara : Selat Malaka dan Kota Banda Aceh
Batas Selatan : Kabupaten Aceh Jaya
Batas Barat : Samudera Hindia dan Kabupaten Aceh Jaya
Batas Timur : Kabupaten Pidie
Luas Administrasi
Kabupaten Aceh Besar memiliki luas wilayah seluas 290.350,73 Ha. Sebagian besar
wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Secara
administratif Kabupaten Aceh Besar memiliki 23 Kecamatan.
Struktur Ruang dalam RTRWN dan RTRWP
Keberadaan Kabupaten Aceh Besar sebagai pintu gerbang utama telah ditunjang
sarana transportasi yang cukup memadai seperti Jalan Nasional Arteri Primer Banda
Aceh - Medan serta Jalan Kolektor Primer Banda Aceh - Meulaboh. Disamping itu,
17
ditunjang pula prasarana transportasi Bandar Udara Internasional Iskandar Muda di
Blang Bintang, Pelabuhan Malahayati di Krueng Raya. Di sisi lain Kabupaten Aceh
Besar berbatasan langsung dengan Kota Banda Aceh yang menyebabkan Kabupaten
Aceh Besar sebagai penyangga dari Kota Banda Aceh, diantaranya dalam kebutuhan
perumahan.
Peta Administrasi Wilayah
Peta administrasi wilayah Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Sumber : RTRW Kabupaten Aceh Besar 2012 – 2032
Gambar 1. Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Aceh Besar
18
Luas wilayah
Sejalan dengan potensi letak dan posisi Kabupaten Aceh Besar yang demikian
strategis menjadikan Kabupaten Aceh Besar berpeluang tumbuh dan berkembang
cepat. Kabupaten Aceh Besar memiliki luas wilayah 290.350,73 Ha. Lebih jelasnya
mengenai luas wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar dapat dillihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Luas Wilayah Administrasi Kabupaten Aceh Besar
No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha)
1. Kota Jantho 59.300,16
2. Leupung 16.915,40
3. Kuta Malaka 2.281,66
4. Kuta Cot Glie 33.225,43
5. Lembah Seulawah 31.960,01
6. Sukamakmur 4.345,30
7. Simpang Tiga 2.759,80
8. Darul Kamal 2.304,93
9. Darul Ima,rah 2.434,69
10. Lhoknga 8.794,62
11. Indrapuri 19.703,87
12. Ingin Jaya 2.433,51
13. Montasik 5.973,33
14. Krueng Barona Jaya 696,13
15. Blang Bintang 4.175,51
16. Kuta Baro 6.107,06
17. Seulimeum 40.435,45
18. Darussalam 3.843,04
19
19. Baitussalam 2.084,09
20. Mesjid Raya 12.993,32
21. Pulo Aceh 9.055,71
22. Peukan Bada 3.625,04
23. Lhoong 14.902,67
Total 290.350,73
Sumber : Perhitungan GIS 2011
1.2.Aspek Agroekologis dan Lingkungan
Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan
yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan akan
berbeda tidak nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk
wilayah dan tanah.
Tingkat curah hujan tertinggi pada bulan November mencapai 316,5 mm. Curah hujan
terendah pada umumnya terjadi pada bulan Juni mencapai 19,8 mm. Fisiografi atau
geomorfologi di Kabupaten Aceh Besar cukup bervariasi. Hal ini terlihat dari bentuk
permukaan wilayah ini yang meliputi datar hingga bergunung. Untuk jenis tanah di
Aceh besar terdapat 8 jenis tanah yaitu : (1) Aluvial, (2) Andosol, (3) Komplek Podsolik
Coklat, Podsol, dan Litosol, (4) Komplek Podsolik Merah Kuning (PMK) dan Litosol,
(5) Komplek Renzina dan Litosol, (6) Latosol, (7) Podsolik Merah Kuning (PMK), dan
(8) Regosol. Berdasarkan aspek agroekologis, Kabupaten Aceh Besar sangat tepat
menjadi kawasan peternakan.
20
1.3.Aspek Gangguan Produksi
Dalam pengembangan peternakan sapi di Kabupaten Aceh Besar tidak mengalami
gangguan produksi. Perubahan musim atau cuaca tidak berdampak pada produksi
peternakan sapi.
1.4. Aspek Kependudukan dan Sosial Budaya
Jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2013 mencapai 383.477
jiwa yang terdiri dari 196.785 jiwa penduduk laki-laki dan 186.692 jiwa penduduk
perempuan. Dengan komposisi tersebut sex ratio penduduk Kabupaten Aceh Besar
mencapai 105,41%.
Jika dilihat dari jumlah penduduk di tingkat kecamatan, maka kecamatan yang
paling banyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Darul Imarah yang berjumlah
50.865 jiwa dan kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan
Leupung yaitu sebanyak 2.791 jiwa.
Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah sebesar 2.903,50 km2/ 290.350,73 Ha
(berdasarkan data spasial) dan dengan jumlah penduduk sebesar 383.477 jiwa memiliki
kepadatan sebesar 132 jiwa/km2 (kepadatan kotor). Jika dilihat dari kepadatan kotor
(jumlah penduduk/ wilayah kecamatan) wilayah yang mempunyai kepadatan tinggi
adalah Kecamatan Krueng Barona Jaya dan Kecamatan Darul Imarah. Sementara
wilayah dengan kepadatan rendah adalah Kecamatan Pulo Aceh dan Kota Jantho.
Kecamatan Krueng Barona memiliki kepadatan tinggi karena luas wilayahnya
kecil, sementara Kecamatan Darul Imarah memiliki kepadatan tinggi karena merupakan
salah satu kawasan perkotaan dan juga salah satu pusat permukiman yang ada di
Kabupaten Aceh Besar.
21
Kecamatan Pulo Aceh memiliki kepadatan rendah karena wilayahnya yang berada
di pulau dan Kota Jantho yang juga memiliki kepadatan rendah karena saat ini sebagian
besar wilayahnya merupakan kawasan hutan.
Jika dilihat dari kepadatan bersih (jumlah penduduk/ luas permukiman) maka
didapatkan bahwa kepadatan tinggi berada di Kecamatan Simpang Tiga, sedangkan
kepadatan rendah berada pada Kecamatan Kota Jantho dan Blang Bintang.
1.5. Aspek Kelembagaan
Lembaga penataan ruang memegang peran krusial dalam proses penataan ruang. Hal ini
mengingat proses penataan ruang memerlukan lembaga yang kredibel terutama dalam
pengendalian pemanfaatan ruang. Lembaga penataan ruang biasanya memiliki bentuk
yang berbeda sesuai dengan ciri, kondisi dan kebutuhan wilayah terkait. Namun,
biasanya kelembagaan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu lembaga formal
pemerintahan dan lembaga fungsional.
Lembaga Formal Pemerintahan
Lembaga formal pemerintahan adalah unit yang bertanggung jawab utama atas
penataan ruang. Untuk tingkat Kabupaten Aceh Besar, Bupati Aceh Besar menunjuk
lembaga yang dimaksud, yaitu Bappeda Kabupaten Aceh Besar yang merupakan
lembaga formal yang menangani perencanaan wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Lembaga Fungsional
Lembaga fungsional adalah lembaga koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
kabupaten, dalam hal ini adalah Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
Keanggotaan BKPRD terdiri dari unsur pemerintah daerah, asosiasi profesi,
perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat.
22
1.6. Aspek Sarana dan Prasarana Penunjang
Adapun prasarana penunjang wilayah Kabupaten Aceh Besar anatara lain meliputi :
1) Transportasi darat
Jalan raya
Berdasarkan status jalan, kondisi jaringan jalan di Kabupaten Aceh ebsar meliputi :
jalan strategis nasional, jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten.
Berdasarkan data yang dimiliki dapat diketahui panjang masing-masing jalan
tersebut yaitu :
Jaringan jalan strategis nasional memiliki panjang sekitar 95,10 km
Jaringan jalan nasional memiliki panjang sekitar 405,54 km
Jaringan jalan provinsi memiliki panjang sekitar 395,19 km
Jaringan jalan kabupaten memiliki panjang sekitar 395,19 km
Dengan keberadaan jalan nasional dan jalan provinsi yang cesara normatif
umumnya akan menjadi arteri primer dan jalan kolektor primer yang akan
melintasi pusat-pusat pelayanan wilayah, dan keberadaan jalan kabupaten
sedemikian rupa, maka pada perkembangan awalnya dapat dikemukakan bahwa
konfigurasi jaringan jalan di Kabupaten Aceh Besar cenderung berpola linier
(dengan berada di sepanjang jalan nasional).
Dalam perkembangan selanjutnya pola jaringan jalan tersebut akan diarahkan
untuk semakin berpola interesmeshed (membentuk jejaring). Pola demikian ini
akan sangat berperan bagi upaya memberikan pelayanan pergerakan bagi
masyarakat, dan pengembangan pemanfaatan ruang di bagian-bagian wilayah yang
relatif jauh dari jaringan jalan utama, baik ke arah pesisir maupun ke arah
pedalaman.
23
Perkeretaapian
Kegiatan transportasi kereta api tidak lagi beroperasi sejak beberapa dekade,
namun direncanakan kembali keberadaannya. Dalam rencana menghidupkan
kembali jaringan kereta api di Provinsi Aceh pada prinsipnya adalah membangun
jaringan jalur kereta api yang menghubungkan mulai dari Banda Aceh sampai
dengan Besitang (ujung rel kereta api Sumatera Utara). Rencana pengembangan
jalur perkerataapian akan diwujudkan melalui pembangunan jalur kereta api skala
regional yang melayani lintas timur, tengah dan barat, serta rel kereta api skala
lokal yang menghubungkan titik-titik pelayanan transportasi udara dan laut di
sekitar Kabupaten Aceh Besar dan mendukung pelayanan transportasi dalam
wilayah.
2) Transportasi laut
Pelabuhan laut yanga da di kabupaten Aceh ebsar meliputi Pelabuhan Laut
Malahayati dan Pelabuhan Rakyat Lamteng dan Lampuyang.
3) Transportasi udara
Di Kabupaetn Aceh Besar terdapat fasilitas bandar udara, yaitu bandar udara
internasional Sultan Iskandar Muda di Kecamatan Blang Bintang yang melayani
penerbangan umum/ sipil. Bandar ini berada di bawah pengelolaan Pemerintah
Kabupaten Aceh Besar.
1.7. Aspek Ekonomi dan Perekonomian
Aktifitas produksi dapat dibedakan dalam tiga kelompok kegiatan yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Kegiatan primer berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam,
24
terdiri dari sektor pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan,
perikanan,kehutanan) dan sektor pertambangan/ penggalian.
Selama periode 2008-2011 dapat dikatakan bahwa sepertiga dari PDRB Aceh
Besar berasal dari kegiatan sektor primer, yakni sekitar 30,28 sampai dengan 34,01
persen. Sektor ini cenderung terus menurun dari tahun 2008 sebesar 34,01 persen hingga
menjadi 30,28 persen pada tahun 2011. Sektor sekunder memanfaatkan hasil sumber
daya alam untuk diolah lebih lanjut, yakni terdiri dari sektor industri pengolahan,
konstruksi, dan energi (listrik dan air). Sumbangan sektor ini terhadap PDRB Aceh Besar
berkisar antara 13,83 sampai dengan 16,38 persen. Terdapat kecenderungan peningkatan
peran terhadap PDRB Aceh Besar dari tahun ke tahun hingga mencapai 16,38 persen pda
tahun 2010 akan tetapi peranan sedikit mengalami penurunan hingga mencapai 15,94
tahun 2011.
Kegiatan sektor tersier memfasilitasi pergerakan sektor primer dan sektor
sekunder, terdiri dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan dan
telekomunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa.
Selama periode 2008-2011 dapat dikatakan bahwa hampir separuh dari PDRB Aceh
Besar berasal dari sekotr tersier. Gejala peningkatan terlihat dari tahun ke tahun, pada
tahun 2008 sektor tersier mencapai 49,14 persen hingga pada tahun 2011 mencapai lebih
dari separuhnya yaitu 50,94 persen.
1.8. Aspek Kebijakan
Dalam rangka mewujudkan tujuan penataan ruang Kabupaten Aceh Besar yaitu
“Mewujudkan pembangunan Kabupaten Aceh Besar yang merata dan terpadu yang
berbasis agropolitan, minapolitan, industri, pariwisata serta mitigasi bencana yang
ebrkelanjutan serta sesuai dengan syariat Islam” dimana tujuan ini juga sejalan dengan
25
visi Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2008-2028 yaitu Terwujudnya
Masyarakat Aceh ebsar yang Damai, Maju, dan Makmur dalam Syariat Islam, maka
diperlukan kebijakan yang akan dilakukan oleh Kabupaten Aceh Besar yaitu :
Pengembangan struktur ruang yang mendukung terciptanya kemajuan dan
kedamaian wilayah bagi masyarakat berdasarkan prinsip syariat Islam
Pengembangan pola ruang yang mendukung kemakmuran masyarakat berdasarkan
prinsip syariat Islam dan berkelanjutan serta dapat mengantisipasi bencana alam
Pengembangan kawasan strategis yang mendorong pertumbuhan wilayah
berdasarkan prinsip syariat Islam.
Kebijakan dan strategi perencanaan tata ruang disusun dalam rangka
mewujudkan rencana tata ruang berkelanjutan dan operasional, serta mengakomodasi
paradigma baru dalam perencanaan.Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah
sebagaimana dimaksud di atas, maka disusun kebijakan penataan ruang wilayah yang
meliputi :
1) Peningkatan aksesibilitas dengan pemerataan sarana prasarana di seluruh wilayah
kabupaten.
2) Pengembangan pusat-pusat pelayanan secara bersinergis sesuai dengan daya dukung
dan tampung lingkungan.
3) Pemantapan sistem sgropolitan untuk meningkatkan komoditi pertanian unggulan.
4) Pengembangan kegiatan perikanan.
5) Pengembangan kegiatan industri yang sesuai dengan potensi alam dan sumber daya
manusia.
6) Pengembangan kegiatan wisata dengan memanfaatkan potensi alam yang
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan budaya.
7) Penigkatan fungsi kawasan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
26
Strategi yang disusun untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang
sebagaimana dimaksud di atas meliputi :
1) Strategi peningkatan aksesibilitas dengan pemerataan sarana dan prasarana di
seluruh wilayah kabupaten.
2) Strategi pengembangan pusat-pusat pelayanan secara bersinergis sesuai dengand aya
dukung dan daya tampung lingkungan.
3) Strategi pemantapan sistem agropolitan untuk meningkatkan komoditi pertanian
unggulan.
4) Startegi pengembangan kegiatan perikanan.
5) Strategi pengembangan kegiatan industri yang sesuai dengan potensi alam dan
sumber daya manusia.
6) Strategi pengembangan kegiatan wisata dengan memanfaatkan potensi alam yang
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan tema wisata.
7) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan
negara.
1.9. Aspek Pertanian
Di wilayah Kabupaten Aceh Besar cukup tersedia lahan yang dapat dijadikan
penggembalaan dan penyediaan pakan ternak besar lainnya. Sejak tahun 2000 telah
terjadi perubahan pola usaha peternakan yang semula tradisional dan sampingan. Pola
usaha peternakan tersebut sudah ke arah intensif terutama penggemukan ternaks api
potong serta ayam pedaging dan petelur.
Areal untuk penyediaan ladang penggembalaan dan pakan ternak masih
memungkinkan di Kecamatan Seulimeum. Namun sentra yang potensial untuk
penggembalaan pola peternakan intensif adalah di Kecamatan Ingin Jaya sekalipun
27
tidak memiliki padang penggembalaan. Kawasan potensial untuk pengadaan lahan
pakan ternak intensif di Kecamatan Ingin Jaya dapat memanfaatkan bantaran sungai
Krueng Aceh. Pemanfaatan lahan untuk penggembalaan dan penyediaan pakan ternak
tersebut umumnya masih tumpang tindih dengan pemanfaatan lain.
Areal bantaran sungai Krueng Aceh merupakan areal sempadan yang tidak
boleh dikembangkan untuk tan,aman keras, namun untuk dikembangkan menjadi
budidaya rumput gajah dan tanaman silo pakan ternak lainnya dapat memungkinkan.
Pada tahun produksi daging ternak sapi potong sebesar 488 ton dan
memberikankontribusi sebesar 48,7% untuk produksi sapi pedaging Kabupaten Aceh
Besar.Peternakan sebagaimana dimaksud di Kabupaten Aceh Besar memiliki seluas
kurang lebih 409,27 Ha yang meliputi :
Ternak besar sapi potong dan kerbau berada di seluruh kecamatan
Ternak kecil domba dan kambing berada di seluruh kecamatan
Ternak unggas ayam dan itik berada di seluruh kecamatan
II. Kabupaten Aceh Tamiang
2.1.Aspek Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang
Letak Geografis
030 53’ 18,81 “ - 040 32’ 56’ 76” Lintang Utara
970 43’ 41, 51” - 980 14’ 45, 41” Bujur Timur
Batasan Geografis
Batas Utara : Kota Langsa, Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka
Batas selatan : Kab. Gayo Lues dan Kab. Langkat Prov. Sumatera Utara
Batas Barat : Kab. Aceh Timur dan Kab. Gayo Lues
Batas Timur : Kab. Langkat Prov. Sumatera Utara dan Selat Malaka
28
Luas Administrasi : 1.957,02 km2 (UU RI No. 4/2002)
2.216,16 km2 (Perhitungan GIS - RTRW)
Struktus Ruang dalam RTRWN dan RTRWP
PKL (Pusat Kegiatan Lokal)
Kota Kuala Simpang - Kota Karang Baru
Fungsi utama dari PKL Kota Kuala Simpang sebagai pusat
perdagangan dan jasa, pusat jasa pendukung pariwisata, cagar budaya sedangkan
fungsi utama dari PKL Kota Karang Baru adalah sebagai pusat pemerintahan
kabupaten, perdagangan dan jasa, pelayanan sosial dan umum skala kabupaten.
Kota Kuala Simpang sebagai ibukota Kecamatan Kota Kuata Simpang
dan Kota Karang Baru sebagai pusat ibukota Kabupaten Aceh Tamiang yang
merupakan kawasan perkotaan menerus (contiguous).
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan)
Sungai Liput Kecamatan Kejuruan Muda
Sebagai pusat kegiatan agroindustri, pengembangan perkebunan, perdagangan
dan jasa, permukiman serta simpul transportasi.
Tualang Cut Kecamatan Manyak Payed
Sebagai pusat kegiatan agropolitan, pusat industri pengolahan dan jasa hasil
pertanian tanaman pangan dan perikanan, pusat pendidikan serta perdagangan dan
jasa.
Tangsi Lama Kecamatan Seruway
Sebagai pusat kegiatan minapolitan, pusat industri pengolahan dan jasa hasil
perikanan, perkebunan dan tanaman pangan, pariwisata bahari serta perdagangan
dan jasa.
29
Pulo Tiga Kecamatan Tamiang Hulu
Sebagai pusat pengembangan perkebunan, perdagangan dan jasa hasil
perkebunan, pariwisata alam, pertambangan dan pengendalian perkembangan
kawasan lindung.
Alur Cucur Kecamatan Rantau
Sebagai pusat permukiman, pertanian, perdagangan dan jasa dan pengolahan hasil
pertambangan.
PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan)
Sekerak Kanan Kecamatan Sekerak
Medang Ara Kecamatan Karang Baru
Sungai Iyu Kecamatan Bendahara
Telaga Meuku Kecamatan Banda Mulia
Simpang Kiri Kecamatan Tenggulun
Babo Kecamatan Bandar Pusaka
Luas wilayah
Perbedaan luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang berdasarkan BPS Tahun 2011 dan
interpretasi peta/ perhitungan GIS dapat dilihat dalam tabel 2 berikut :
Tabel 2. Perbedaan luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang berdasarkan BPS Tahun
2011
No. Kecamatan BPS (km2) Hitungan GIS
(km2) Perbedaan (km2)
1. Banda Mulia 48,27 60,15 11,88
2. Bandar Pusaka
(Kawasan 252,37 212,73 39,64
30
Peternakan)
3. Kejuruan Muda 124,48 162,94 38,46
4. Kota Kualasimpang 4,48 10,05 5,57
5. Rantau 51,71 70,93 19,22
6. Sekerak 257,95 140,81 117,14
7. Seruway 188,49 167,48 21,01
8. Tamiang Hulu 194,63 474,56 279,93
9. Tenggulun 295,55 463,06 167,51
10. Manyak Payed 267,11 222,30 44,81
11. Bendahara 132,53 128,21 4,32
12. Karang Baru 139,45 102,94 36,51
Total 1.957,02 2.216,16 259,14
Sumber : BPS Tahun 2011 dan Perhitungan GIS Tahun 2012
2.2.Aspek Agroekologis dan Lingkungan
Agroekologi adalah pengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik
lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan
akan berbeda tidak nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau
bentuk wilayah dan tanah.
Secara umum, penetapan Wilayah Pengembangan (WP) di Aceh
dikelompokkan berdasarkan posisi geografis, yaitu : (1) Banda Aceh dan sekitarnya, (2)
Pesisir Timur, (3) Pegunungan Tengah, dan (4) Pesisir Barat. Wilayah Pengembangan
yang dimaksud memiliki beberapa pusat kegiatan di wilayah tersebut yang dapat
merupakan : Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL).
Kabupaten Aceh Tamiang ditetapkan sebagai Kawasan Andalan Aceh - WP
Timur 1 yang meliputi Kota Langsa, Aceh Tamiang dan Aceh Timur dengan luas
31
Kawasan Andalan Aceh - Wilayah Pengembangan (KAA-WP) 775.022,60 Ha, Luas
Kawasan Lindung 432.431,90 Ha, Luas Kawasan Budidaya Strategis Aceh 31.934,04
Ha, Luas Kawasan Budidaya lainnya 298.155,96 Ha dengan kegiatan unggulan pada
kawasan budidaya lainnya meliputi :
Permukiman Perkotaan
Permukiman Pedesaan
Perkebunan
Pertanian
Industri
Perikanan
Pertambangan
Adapun isu strategis Sumber Daya Alam di Kabupaten Aceh Tamiang
merupakan darerah perkebunan terbesar meliputi sawit dan karet sehingga
pengembangan integrasi tanaman sawit - ternak sapi sangat cocok dikembangkan di
wilayah ini, dan didukung oleh sumber daya airnya.
2.3. Aspek Gangguan Produksi
Dalam pengembangan peternakan sapi di Kabupaten Aceh Tamiang masih
terkendala oleh beberapa faktor, terutama dalam budidaya yang umumnya dilakukan
oleh masyarakat yang sifatnya masih subsistem/ tradisional dan belum dikelola secara
intensif. Bila kondisi tersebut dipertahankan, asumsi kenaikan rata-rata populasi sapi
dalam 5 (lima) tahun hanya 1,12 % per tahun, dan produksinya hanya mencapai 1/5
jumlah populasi. Sementara proyeksi kebutuhan daging sapi Kabupaten Aceh Tamiang
Tahun 2015-2019, dapat dilihat dari tabel berikut :
32
Tabel 3. Proyeksi Kebutuhan Daging Sapi Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015-2019