1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks, karena sifatnya yang kompleks itu maka tidak ada sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberi arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting diantara komponen-komponen pendidikan lainnya. Sehubungan dengan fungsi tujuan yang demikian penting itu maka menjadi keharusan bagi pendidikan untuk memahaminya. Kekurangpahaman pendidik terhadap tujuan pendidikan dapat mengakibatkan kesalahan di dalam melaksanakan pendidikan. Gejala demikian oleh Langeveld disebut salah teoritis (Langeveld dalam Umar Tirtarahardja dan Lasula, 2000).
75
Embed
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah filepeserta didik kelas V SDN - 9 Menteng Palangkaraya menunjukkan bahwa ... pada mata pelajaran IPS, berdasarkan ketentuan sekolah SDN - 9 Menteng
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung
banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks, karena sifatnya yang kompleks
itu maka tidak ada sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk
menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang
dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu
dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar
yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang
melandasinya.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan pendidikan memiliki
dua fungsi yaitu memberi arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi
penting diantara komponen-komponen pendidikan lainnya. Sehubungan
dengan fungsi tujuan yang demikian penting itu maka menjadi keharusan bagi
pendidikan untuk memahaminya. Kekurangpahaman pendidik terhadap
tujuan pendidikan dapat mengakibatkan kesalahan di dalam melaksanakan
pendidikan. Gejala demikian oleh Langeveld disebut salah teoritis (Langeveld
dalam Umar Tirtarahardja dan Lasula, 2000).
2
Salah satu tujuan pendidikan adalah menghasilkan peserta didik yang
mempunyai semangat untuk terus belajar seumur hidup, penuh rasa ingin tahu
dan keinginan untuk menambah ilmu, meskipun pendidikan formal mereka
telah berakhir. Kunci untuk mewujudkan itu semua adalah adanya motivasi
yang kuat dan terpelihara dalam diri peserta didik untuk belajar (Suciati,
2007:3.3). Seorang guru senantiasa dihadapkan dengan peserta didik yang
memiliki kemauan belajar yang berbeda. Terkadang guru menhadapi peserta
didik yang kehilangan perhatian dan minat peserta didik. Menghadapi peserta
didik yang demikian, tidak bisa bila guru terus mendorong mereka untuk
tetap berusaha membaca bab buku tertentu, mengerjakan soal dan tugas,
ataupun aktif bertanya ketika guru menjelaskan. Akan lebih baik lagi apabila
peserta didik dengan sendirinya menyenangi belajar.
Menurut Deci dan Ryan (Suciati, 2007:3.25), “yang menjadi masalah adalah peserta didik seringkali tidak memahami peranan berpikir dan penalarannya sendiri dalam proses pembelajaran. Di samping itu, peserta didik tidak melihat materi dan tujuan pembelajaran di kelas sebagai sesuatu yang menarik atau relevan. Mereka juga tidak melihat lingkungan belajar sebagai sumber untuk melatih menjadi kompeten, mandiri, dan bersosialisasi dengan orang lain. Perlu dipahami bahwa keinginan peserta didik untuk belajar merupakan interaksi antara proses internal peserta didik dengan dukungan belajar dari luar“.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada
peserta didik kelas V SDN - 9 Menteng Palangkaraya menunjukkan bahwa
dalam pelaksanaan pembelajaran IPS, metode yang digunakan guru kurang
bervariasi karena guru cenderung menggunakan metode konvensional.
Metode yang digunakan guru pada proses pembelajaran tidak membuat
peserta didik aktif. Pada saat guru masuk kelas, setelah mengkondisikan
3
kelas, guru langsung meminta peserta didik menjawab soal di LKS yang
sudah dimiliki masing-masing peserta didik. Selama lebih kurang 30 menit,
peneliti mengamati proses belajar mengajar di kelas V ini, guru duduk dan
mengerjakan sesuatu di meja guru, sedangkan peserta didik sibuk menjawab
soal. Hal yang dimaksud dengan sibuk adalah peserta didik sibuk bertanya
dan menyamakan jawaban mereka dengan temannya, peserta didik bertanya
ke teman di depannya atau di belakangnya. Tentu saja hal ini berpengaruh
pada hasil belajar peserta didik.
Hal ini terbukti dari nilai latihan di kelas V yang berjumlah 24 orang
peserta didik hanya 50% (12 orang peserta didik) mencapai ketuntasan belajar
dan 50% (12 orang peserta didik) belum mencapai ketuntasan belajar,
sedangkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebagai acuan keberhasilan
pada mata pelajaran IPS, berdasarkan ketentuan sekolah SDN - 9 Menteng
Palangkaraya yaitu 65. Dapat dikatakan bahwa rendahnya hasil belajar
peserta didik diduga karena pada mata pelajaran IPS ini guru lebih cenderung
memberikan materi saja daripada kegiatan yang mengundang peserta didik
untuk aktif. Hal ini membuat peneliti ingin memberikan suatu proses
pembelajaran yang dapat menyalurkan keaktifan peserta didik menjadi
sesuatu yang positif dan menyenangkan.
Salah satu proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik
bisa diperoleh dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif. Model
pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang menggerakkan
peserta didik berinteraksi dengan teman-teman sebayanya secara aktif dan
4
positif, model pembelajaran kooperatif bekerja dalam sebuah kelompok yang
terdiri dari tiga atau lebih anggota. Pembelajaran kooperatif adalah suatu
aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar peserta didik
berkelompok untuk menjalin kerja sama dan saling ketergantungan dalam
struktur tugas, tujuan, dan hadiah (Muslim Ibrahim dalam Syafruddin,
2005:208).
Berdasarkan ulasan di atas, untuk mengatasi masalah tersebut maka
dapat dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT). Model pembelajaran
kooperatif tipe TGT adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif
yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh peserta didik tanpa
harus ada perbedaan status, melibatkan peran peserta didik sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas
belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif
model TGT memungkinkan peserta didik dapat belajar lebih rileks di
samping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan
sehat dan keterlibatan belajar.
Teams Games Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh
Davied Devries dan Keith Edward, ini merupakan metode pembelajaran
pertama dari Johns Hopkins. Pendekatan yang digunakan dalam TGT adalah
pendekatan secara kelompok yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok
kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil akan membuat
peserta didik makin aktif dalam pembelajaran.
5
Dari fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian menggunakan pembelajaran yang dapat melibatkan peserta didik
secara aktif dalam pembelajaran, bekerja sama dengan sesama peserta didik
dalam tugas-tugas terstruktur dan saling berinteraksi dengan sesama secara
aktif, dan efektif. Selain itu peserta didik mampu menghubungkan materi
yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata peserta didik sehingga
mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam dunia nyata
melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media
permainan bentuk monopoli untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik
kelas V.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan, dapat di
identifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Peserta didik tidak terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran IPS.
2. Guru masih menggunakan metode konvensional.
3. Hasil belajar IPS pada peserta didik masih belum mencapai ketuntasan.
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari perluasan masalah maka peneliti membatasi
masalah sebagai berikut:
1. Peserta didik yang diteliti pada kelas V SDN - 9 Menteng Palangkaraya
tahun pelajaran 2013/2014 semester II dengan mata pelajaran IPS.
2. Hasil belajar peserta didik kelas V SDN - 9 Menteng Palangkaraya
dilihat pada mata pelajaran IPS sebelum dan sesusah penerapan model
6
pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media permainan bentuk
monopoli.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada latar belakang maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana aktivitas guru dan peserta didik kelas V SDN – 9 Menteng
Palangkaraya pada saat pembelajaran IPS dengan menerapan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media permainan bentuk
monopoli?
2. Apakah ada peningkatan hasil belajar peserta didik kelas V SDN - 9
Menteng Palangkaraya pada mata pelajaran IPS dengan menerapan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media permainan
bentuk monopoli ?
E. Alternatif Pemecahan Masalah
Alternatif pemecahan masalah yang peneliti ingin berikan sesuai
dengan rumusan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah masih banyak hasil belajar IPS peserta didik yang belum mencapai
nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dan peserta didik masih belum
berperan aktif dalam proses pembelajaran. Peneliti memilih altenatif
pemecahan masalah dengan menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe
Teams Games Tournament (TGT ) dengan media permainan bentuk
Monopoli untuk memperbaiki proses penyajian materi dan mengaktifkan
peserta didik dalam proses pembelajaran. Peneliti berharap dengan
7
memperbaiki proses penyajian materi dan mengaktifkan peserta didik dalam
proses pembelajaran, peneliti berharap proses pembelajaran menjadi lebih
menarik, menyenangkan dan merubah aktivitas pembelajaran ke arah yang
lebih baik.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukan di atas, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui aktivitas guru dan peserta didik saat pembelajaran IPS
dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan
media permainan bentuk monopoli.
2. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik kelas V SDN -
9 Menteng Palangkaraya pada mata pelajaran IPS dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media permainan
bentuk monopoli.
G. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi Kepala Sekolah: sebagai bahan mengadakan supervisi dan
pembinaan guru kelas agar SDN - 9 Menteng Palangkaraya menjadi
sekolah yang memiliki kreativitas tinggi dan berkualitas.
2. Bagi guru: dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat
menambah wawasan tentang berbagai model pembelajaran serta dapat
meningkatkan kompetensi guru.
8
3. Bagi Peserta didik: dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta
didik, karena peserta didik dapat belajar lebih rileks, serta dapat
menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat,
dan keterlibatan belajar.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Analisis Teoritis
1. Model Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (Syafruddin, 2005:201), “pembelajaran
kooperatif menggalakkan peserta didik berinteraksi secara aktif dan
positif dalam kelompok. Ini memperbolehkan pertukaran ide dan
pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai
dengan falsafah konstruktivisme”.
Dalam model pembelajaran kooperatif ini, guru lebih berperan
sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke
arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri.
Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada peserta didik, tetapi
juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Peserta didik
mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung
dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi
peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka
sendiri.
Pada hakikatnya cooperative learning sama dengan kerja
kelompok. Oleh karena itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada
sesuatu yang aneh dalam cooperative learning karena mereka
beranggapan telah biasa melakukan cooperative learning dalam bentuk
10
belajar kelompok. Walaupun sebenarnya tidak semua belajar kelompok
dikatakan cooperative learning, seperti dijelaskan Abdulhak
(Syafruddin, 2005:203) bahwa “pembelajaran cooperative dilaksanakan
melalui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat
mewujudkan pemahaman bersama diantara peserta belajar itu sendiri”.
Tom V. Savage (Syafruddin, 2005:203) mengemukakan bahwa
“cooperative learning adalah suatu pendekatan yang menekankan kerja
sama dalam kelompok. Dalam proses pembelajaran kooperatif, peserta
didik berbagi ilmu dan pengetahuan diantara mereka dan untuk mereka,
dengan begitu pembelajaran dapat menjadi tiga arah, antara guru ke
peserta didik, peserta didik ke guru dan peserta didik ke peserta didik“.
Maka dari itu cooperative learning ini berbeda dari kerja kelompok
biasa. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberi peserta didik bentuk
sinergi yang menguntungkan semua anggota.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan model pembelajaran
yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran
yang lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok.
Bennet (Isjoni, 2009:60) menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat
membedakan pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu:
1. Positive Interdepedence adalah hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok di mana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula.
2. Interaction Face to face adalah interaksi yang langsung terjadi antara peserta didik tanpa adanya perantara.
11
3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga peserta didik termotivasi untuk membantu temannya.
4. Membutuhkan keluwesan yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif.
5. Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat dicapai dalam pembelajaran kooperatif.
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Syafruddin (2005:209) model pembelajaran kooperatif
dikembangkan setidaknya untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran
penting, yaitu:
1. Hasil belajar akademik.
2. Penerimaan terhadap keragaman.
3. Pengembangan keterampilan sosial.
Melihat tujuan dari tujuan pembelajaran kooperatif tersebut
dapat disimpulkan bahwa peserta didik menjadi pusat dalam kegiatan
belajar mengajar, sedangkan guru selaku pemberi motivasi bertindak
mengarahkan dan menjadi fasilitator sehingga pembelajaran dapat
berlangsung dengan baik dan mencapai tujuan pembelajaran.
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif
Menurut Roger dan David Jhonson (Syafruddin, 2005:212) ada
lima unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning),
yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip ketergantungan positif yaitu dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam penyelesaian tugas tergantung pada uasaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Oleh karena itu, semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan.
12
2. Tanggung jawab perseorangan yaitu keberhasilan kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh karena itu setiap individu memiliki tanggung jawab dan tugas untuk dikerjakan di dalam kelompok.
3. Interaksi tatap muka yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberikan ide atau pendapat dan informasi dari anggota kelompok lain.
4. Partisipasi dan komunikasi yaitu melatih peserta didik untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran.
5. Evaluasi proses kelompok yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
d. Prosedur Pembelajaran Kooperatif
Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada
prinsipnya terdiri atas empat tahap (Syafruddin, 2005:212), yaitu:
1. Penjelasan materi. Tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelumnya peserta didik belajar dalam kelompok . tujuan utama tahapan ini adalah pemahaman peserta didik terhadap pokok materi pelajaran.
2. Belajar kelompok. Tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, peserta didik bekerja dalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
3. Penilaian. Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis, yang dilakukan secara individu atau kelompok. Tes individu akan memberikan penilaian kemampuan individu, sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan kelompoknya.
4. Pengakuan tim. Pengakuan tim adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi lebih baik lagi.
e. Model-model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Syafruddin (2005) “ada beberapa variasi jenis model
dalam pembelajaran kooperatif, walaupun prinsip dasar dari
13
pembelajaran kooperatif ini tidak berubah”, jenis-jenis model
pembelajaran kooperatif tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis-Jenis Model Pembelajaran Kooperatif
No Jenis-Jenis Model Pembelajaran Kooperatif 1 Model Student Teams Achievement Division (STAD) 2 Model Jigsaw 3 Model Group Investigation 4 Model Make a Match (Membuat Pasangan) 5 Model Teams Games Tournaments (TGT) 6 Model Struktural
2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournaments (TGT)
a. Pengertian Model Pembelajaran TGT
Menurut Saco (Syafruddin, 2005:224), “dalam TGT peserta
didik memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk
memperolah skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat
disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan materi pembelajaran. Kadang-kadang dapat juga
diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas
kelompok mereka)“.
Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan
yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Misalnya, tiap peserta
didik mengambil sebuah kartu yang diberi pertanyaan dan disetiap kartu
yang berisi pertanyaan diberi angka sebagai pemberi perbedaan.
Misalnya ada dua jenis pertanyaan, maka angka satu untuk pertanyaan
yang berjenis pilihan ganda dan angka dua untuk pertanyaan yang
14
berjenis menebak gambar, jumlah soal pun disesuaikan dengan jumlah
peserta didik disetiap meja turnamen. Setiap peserta didik harus
berusaha untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sesuai.
Turnamen harus memungkinkan semua peserta didik dari
tingkat kemampuan atau kepandaian yang berbeda dapat
menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Prinsipnya soal sulit untuk
anak pintar dan soal yang lebih mudah untuk yang kurang pintar
(Syafruddin, 2005:224). Hal ini dimaksudkan agar semua anak
mempunyai kemungkinan memberi skor bagi kelompoknya. Permainan
yang dikemas dalam bentuk turnamen ini dapat berperan sebagai
penilaian alternatif atau dapat pula sebagai preview materi
pembelajaran.
b. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe TGT
Menurut Slavin (2010) pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri
dari lima tahapan yaitu:
1. Tahap penyajian kelas (class precentation). Guru menempatkan peserta didik dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang peserta didik yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda. Guru menyajikan materi.
2. Belajar dalam kelompok (teams). Peserta didik bekerja di dalam kelompok mereka masing-masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota kelompok lainnya. Apabila ada dari angota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan maka anggota kelompok yang lain bertanggung jawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
3. Permainan (games). Setelah memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran maka seluruh peserta didik akan diberikan permainan akademik.
15
4. Pertandingan (tournament). Dalam permainan akademik peserta didik akan dibagi dalam meja-meja tournamen, di mana setiap meja turnamen terdiri dari 5 – 6 orang yang merupakan wakil dari tiap kelompok. Peserta didik dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik. Artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Setelah peserta didik duduk di meja turnamen, guru memberitahukan aturan bermain.
5. Penghargaan kelompok (team recognition). Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang diperoleh anggota kelompok. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu.
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka model
pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peserta didik bekerja dalam kelompok-kelompok kecil.
2. Dalam proses pembelajaran TGT memiliki proses pembelajaran
yang berbentuk games tournament.
3. Penghargaan untuk kelompok yang memiliki poin lebih banyak dari
kelompok lain sebagai hadiah atas keberhasilan kelompok atau tim
mereka.
c. Keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Slavin (2010), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang
pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar peserta
didik yang secara implisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan
pembelajaran TGT, sebagai berikut:
Para peserta didik di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT
memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari
16
kelompok rasial mereka dari pada peserta didik yang ada dalam
kelas tradisional.
Meningkatkan perasaan/persepsi peserta didik bahwa hasil yang
mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada
keberuntungan.
TGT meningkatkan harga diri sosial pada peserta didik tetapi tidak
untuk rasa harga diri akademik mereka.
TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama
verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
Keterlibatan peserta didik lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi
menggunakan waktu yang lebih banyak.
TGT meningkatkan kehadiran peserta didik di sekolah pada remaja-
remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima
skors atau perlakuan lain.
Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam
pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan
nilai individual peserta didik. Dengan demikian, guru harus merancang
alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar
peserta didik secara individual.
3. Media Pembelajaran
a. Pengertian Media
Kata media berasal dari bahasa Latin “Medius” yang secara
harfiah berarti: tengah, perantara, atau pengantar. Gerlach dan Ely
17
(Arsyad dalam Yetrae, 2013:20) mengatakan bahwa “media apabila
dipahami secara garis besar adalahh manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat peserta didik mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap”.
Salah satu gambaran yang paling banyak dijadikan acuan
sebagai landasan teori penggunaan media dalam proses belajar adalah
Dale’s Cone Of Experience (Kerucut Pengalaman Dale) (Azhar Arsyad,
2010:10). Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman
langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan
seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang
verbal (abstrak). Semakin ke atas dipuncak kerucut semakin abstrak
media penyampai pesan itu. Perlu diketahui bahwa urut-urutan yang
ada di dalam gambar tidak berarti proses belajar dan interaksi mengajar
harus selalu dimulai dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan
jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan peserta didik yang dihadapi dan mempertimbangkan situasi
belajar.
Dasar pengembangan kerucut dibawah bukanlah tingkat
kesulitan, melainkan tingkat keabstrakan atau jumlah jenis indera yang
turut serta selama penerimaan isi pengajaran atau pesan. Pengalaman
langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna
mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman
18
itu, oleh karena itu ia melibatkan indera penglihatan, pendengaran,
perasaan, penciuman, dan peraba. Ini dikenal dengan learning by doing.
Gambar 1. Kerucut Pengalaman Dale
b. Fungsi dan Manfaat Media dalam Pembelajaran
Pesan dan informasi yang dibawa oleh media bisa berupa pesan
yang sederhana dan bisa pula pesan yang amat kompleks. Akan tetapi,
yang terpenting adalah media itu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
Abstrak
Konkret
Lambang
Kata
Lambang
Visual
Gambar diam, Rekaman Radio
Gambar hidup Pameran
Televisi
Karyawisata
Dramatisasi
Pengalaman Langsung
19
belajar dan kemampuan peserta didik, serta peserta didik dapat aktif
berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Ditinjau dari proses
pembelajaran sebagai kegiatan interaksi antara pebelajar atau peserta
didik dengan lingkungannya, maka fungsi media dapat diketahui
berdasarkan adanya kelebihan media dan hambatan komunikasi yang
mungkin timbul dalam proses pembelajaran.
Menurut Gerlach dan Ely (Rodhatul Jenah, 2009:19) fungsi
media dalam pembelajaran dapat:
1. Bersifat Fiksatif, artinya media memiliki kemampuan untuk menangkap, menyimpan dan kemudian menampilkan kembali obyek atau kejadian.
2. Bersifat Manipulatif, artinya menampilkan kembali obyek atau kejadian dengan berbagai macam perubahan manipulasi sesuai keperluan, misalnya dirubah: ukurannya, benda yang besar dapat dikecilkan dan benda yang kecil dapat dibesarkan, kecepatannya, warnanya, serta dapat juga diulang-ulang dapat diatur untuk dibawa keruangan kelas.
3. Bersifat Distributif, artinya bahwa dengan menggunakan media dapat menjangkau sasaran yang luas atau media mampu menjangkau audien yang besar jumlahnya dalam satu kali penyajian secara serempak. Misalnya siaran televisi, radio, dan surat kabar.
Menurut Harry C. Mc. Kown (Rodhatul Jenah, 2009:20) “fungsi
media pembelajaran adalah merubah situasi belajar, menimbulkan
motivasi, memperjelas isi pembelajaran dan membangkitkan rasa ingin
tahu“. Sudjana dan Rivai (2002:2) mengemukakan manfaat media
dalam pembelajaran peserta didik, yaitu:
1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian peserta didik sehingga dapat menumbuhkan belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh peserta didik dan memungkinkan peserta didik menguasai tujuan pembelajaran lebih baik.
20
3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata berkomunikasi secara verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga peserta didik tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar setiap jam pelajaran.
4. Peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan belajar karena tidak hanya mendengarkan uraian dari guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.
c. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Ada beberapa jenis media pengajaran menurut Nana dan Rivai
(2002) yang dapat digunakan dalam proses pengajaran, yaitu:
1. Media Grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik dan lain-lain. Media grafis seing juga disebut media dua dimensi, yakni media yang mempunyai ukuran panjang dan lebar.
2. Media Tiga Dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama dan lain-lain.
3. Media Proyeksi seperti slide, film strips, film, penggunaan OHP, dan lain-lain.
4. Penggunaan Lingkungan sebagai media pengajaran.
Lalu berdasarkan ciri fisik dan bentuknya, media pembelajaran
dapat dikelompokkan menjadi empat macam (Sudjana dan Rivai dalam
Yetrae, 2013:21), yaitu:
a. Media pembelajaran dua dimensi (2D), yaitu media yang tampilannya dapat diamati dari satu arah pandangan saja yang hanya dilihat dimensi panjang dan lebarnya saja. Misalnya foto, grafik, peta, gambar, papan tulis, dan semua media yang hanya dilihat dari sisi datar saja.
b. Media pembelajaran tiga dimensi (3D), yaitu media yang tampilannya dapat diamati dari arah pandang mana saja dan mempunya dimensi panjang, lebar, dan tinggi/tebal. Media ini juga tidak menggunakan media proyeksi dalam pemakaiannya. Kebanyakan media tiga dimensi ini merupakan objek sesungguhnya (real object) atau miniatur suatu objek, dan bukan foto, gambar atau lukisan. Beberapa contoh media tiga dimensi adalah model, prototype, bola, kotak, meja, kursi, mobil, rumah, gunung, dan alam sekitar.
21
c. Media pandang diam (still picture), yaitu media menggunakan media proyeksi yang hanya menampilkan gambar diam pada layar. Misalnya foto, tulisan, gamabr binatang, atau gambar alam semesta yang diproyeksikan ke dalam kegiatan pembelajaran.
d. Media pandang gerak (motion picture), yaitu media yang menggunakan media proyeksi yang dapat menampilkan gambar bergerak dilayar, termasuk media televisi, film, atau video recorder termasuk media pandang bergerak yang disajikan melalui layar monitor dikomputer atau layar LCD dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat di atas tersebut maka, media yang
digunakan dalam Penelitian ini termasuk ke dalam media pembelajaran
dua dimensi (2D) yaitu media permainan yang berbentuk monopoli. Hal
dasar dari permainan monopoli adalah adanya kertas atau poster sebagai
tempat untuk bermainnya bidak peserta didik, dan adanya sekelompok
kertas yang memiliki warna yang mewakili Dana Umum dan
Kesempatan.
4.Media Permainan bentuk Monopoli
Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling
terkenal di dunia. Tujuan permainan ini adalah untuk menguasai semua
petak di atas papan melalui pembelian, penyewaan dan pertukaran
properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan, Setiap pemain
melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidaknya, dan
apabila ia mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, ia
dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera
(http://id.wikipedia.org/wiki/Monopoli_(permainan) : 20 Juni 2014).
Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang
digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi
antara guru dan peserta didik dalam proses pendidikan dan pengajaran di
sekolah (Hamalik dalam Syahsiyah, 2008:6). Ki Hajar Dewantara pernah
mengatakan permainan anak itulah pendidikan. Maka dari itu peneliti ingin
memberikan media yang konkret dan mengaktifkan peserta didik yaitu
Media Permainan Bentuk Monopoli.
a. Pengertian Permainan Monopoli
Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling
terkenal di dunia. Tujuan permainan ini adalah untuk menguasai semua
petak di atas papan melalui pembelian, penyewaan, dan pertukaran
properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan. Setiap pemain
melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidaknya, dan
apabila ia mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, ia
dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera. Bila petak itu sudah
dibeli pemain lain, ia harus membayar uang sewa yang jumlahnya juga
sudah ditetapkan (Syahsiyah, 2008:27).
b. Peralatan Permainan Monopoli
Pada umumnya orang bermain monopoli sekedar untuk mencari
hiburan semata, akan tetapi seiring dengan pengamatan peneliti tentang
bagaimana anak-anak mengikuti evaluasi pembelajaran dengan
menjawab soal tertulis seperti biasanya. Tanpa ada sesuatu yang
menyenangkan yang dapat memberi mereka semangat untuk menjawab
soal. Di bawah ini adalah peralatan yang digunakan dalam permainan
monopoli pada umumnya (Syahsiyah, 2008:31), yaitu:
23
1. Bidak-bidak yang mewakili pemain. Biasanya bidak memiliki warna
yang berbeda dengan bidak pemain yang lainnya.
2. Dua buah dadu yang berisi enam angka
3. Kartu hak milik untuk setiap properti. Kartu diberikan kepada
pemain yang membeli properti itu. Di atas kartu tertera harga
properti, harga sewa, harga gadai, harga rumah dan hotel.
4. Papan permainan dengan petak-petak. Pemain yang berhenti di petak
yang ada dipapan permainan harus mengambil satu kartu dan
menjalankan perintah di atasnya.
5. Uang-uangan monopoli
6. Kartu Dana Umum dan kartu Kesempatan
5. Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki
perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi
tahu atau proses memperoleh pengetahuan (Suyono dan Hariyanto,
2011:9).
Menurut Aunurahman (2010) “belajar menunjukkan suatu
aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja”. Oleh sebab
itu, pemahaman kita untuk yang pertama kali sangat penting yaitu
bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan yang disengaja atau
24
direncanakan oleh pembelajar sendiri dalam bentuk suatu aktivitas
untuk memperoleh pengetahuan atau informasi.
b. Pengertian Hasil Belajar
Menurut Nana Sudjana (2004:35) “hasil belajar dipengaruhi
oleh kemampuan guru sebagai perancang kegiatan pembelajaran untuk
itu guru dituntut untuk menguasai taksonomi hasil belajar yang selama
ini dijadikan pedoman dalam perumusan tujuan instruksional“.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2008:30) “hasil belajar adalah
bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada
orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak
mengerti menjadi mengerti“.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar adalah kemampuan peserta didik dalam
menafsirkan pengetahuan yang diberikan oleh guru maupun sumber
pengetahuan yang lain dan kemampuan yang dicapai peserta didik
setelah proses pembelajaran.
Setiap mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik
sudah pasti mengharapkan mendapatkan hasil yang baik, sebab hasil
belajar yang baik dapat membantu peserta didik dalam mencapai
tujuannya. Belajar dikatakan berhasil jika seseorang mampu
mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya (Suyono &
Hariyanto, 2011:12).
25
Peserta didik yang belajar berarti menggunakan kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran yang efektif ditandai
dengan terjadinya proses belajar dalam diri peserta didik. Oleh sebab
itu, melalui proses pembelajaran, guru harus berupaya secara optimal
menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik terdorong
untuk berperan aktif sebagi wujud nyata terjadinya proses belajar.
Setelah terjadinya proses pembelajaran, peserta didik akan melalui
proses penilaian untuk menilai hasil belajar dari proses yang telah
dilalui peserta didik. Hal ini menjadi inti dari setiap proses
pembelajaran, maka dari itu jika proses pembelajaran tidak optimal,
sangat sulit untuk mengharapkan hasil belajar yang baik.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2004:39-40) faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar adalah:
1. Faktor dari dalam peserta didik. Faktor yang datang pada diri peserta
didik terutama kemampuan yang dimiliki. Faktor kemampuan besar
sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar peserta didik.
2. Faktor lingkungan. Faktor yang datang dari luar dirinya yang dapat
menentukan atau mempengaruhi hasil belajar yang ingin dicapai.
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi hasil belajar di
sekolah ialah kualitas pengajaran.
6. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
a. Pengertian IPS
26
Istilah pendidikan IPS dalam menyelenggarakan pendidikan di
Indonesia masih relatif baru digunakan. Kurikulum pendidikan IPS
tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (Trianto,
2010:172) “merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu“, Martoella
(Trianto, 2010:172) mengatakan bahwa “pembelajaran Pendidikan IPS
lebih menekankan pada aspek pendidikan daripada transfer konsep,
karena dalam pembelajaran pendidikan IPS peserta didik diharapkan
memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan
mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya
berdasarkan konsep yang telah dimilikinya“.
Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada tingkat sekolah
dasar memerlukan stimulan yang benar serta berbagai variasi
pendekatan untuk mendapatkan partisipasi peserta didik. Menurut
Zamroni (Acinupati dalam Sagiling, 2012:19) “pembelajaran IPS
adalah suatu bidang studi yang merupakan hasil kegiatan manusia
berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasikan
tentang alam sekitar yang diperoleh melalui pengalaman melalui
serangkaian proses sosialisasi antara lain penyelidikan, penyusunan
serta pengujian”.
Ilmu pengetahuan sosial di SD membahas hubungan antara
manusia dengan lingkungan, dimana peserta didik tumbuh berkembang
sebagai bagian dari masyarakat dan dihadapkan berbagai permasalahan
yang terjadi di lingkungan sekitar (Eka, 2013:8). Menurut Eka (2013)
27
pembelajaran IPS di SD kurikulum 2010 bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusian.
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
b. Tujuan Pembelajaran IPS di SD
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar peka tehadap masalah sosial
yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi
setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya
sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat
dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah
diorganisasikan secara baik. Menurut Awan Mutakin (Trianto,
2010:176) dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
28
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.
6. Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral. 7. Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat
menghakimi. 8. Mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik
dalam kehidupannya “to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society” dan mengembangkan kemampuan peserta didik menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.
9. Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan peserta didik terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan (Trianto, 2010:176-177).
7. Indikator Keberhasilan Pembelajaran IPS
Pokok bahasan Perjuangan Melawan Penjajah dan Pergerakan
Nasional Indonesia:
a. Perjuangan melawan penjajah dan pergerakan nasional Indonesia
b. Peranan sumpah pemuda 28 Oktober 1928 dalam mem-persatukan
Indonesia
8. Hasil Belajar IPS
Hasil belajar adalah kemampuan peserta didik dalam menafsirkan
pengetahuan yang diberikan oleh guru maupun sumber pengetahuan yang
lain dan kemampuan yang dicapai peserta didik setelah proses
pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
IPS merupakan perubahan kemampuan dan tingkah laku yang dimiliki
peserta didik setelah terjadinya proses dan aktivitas belajar mata pelajaran
IPS. Hal ini dinyatakan dengan nilai yang meliputi kognitif, afektif, dan
29
psikomotorik. Hasil Belajar IPS merupakan penilaian yang mengukur
penguasaan ilmu pengetahuan, sikap peserta didik, dan keterampilan sosial
dari kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran IPS.
B. Penelitian Yang Relevan
Adapun beberapa hasil penelitian yang relevan dengan Penelitian
yang akan dilakukan yaitu:
1. Perbedaan Hasil Belajar IPS Menggunakan Model TGT Dengan Yang
Menggunakan Model Konvensional Pada Peserta Didik kelas V SDN 14
Palangkaraya. Tahun Pelajaran 2011/2012. Penulis: Andi Satria,
berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa diperoleh thitung =
3,26 dengan ttabel pada n1 + n2 – 2 = 23 +21 – 2 = 42 pada taraf signifikan
= 5% (2ekor) = 2,021. Dengan demikian tnitung > ttabel yaitu 3,26 > 2,021
sehingga H0 ditolak. Jadi, ada perbedaan hasil belajar IPS yang diajarkan
dengan yang menggunakan model pembelajaran konvensional pada
peserta didik kelas V di SDN 14 Palangkaraya. Hal ini terlihat dari nilai
rata-rata kemampuan akhir kelas eksperimen yaitu 81, 74 sedangkan kelas
kontrol 68, 57. Untuk itu penggunaan model TGT sangatlah penting dalam
proses belajar mengajar.
2. Pengaruh Penerapan TGT Terhadap Hasil Belajar Pada Pembelajaran
Matematika kelas IV SDN - 11 Pontianak kota. Tahun Pelajaran
2011/2012. Penulis: YULIANA, berdasarkan perhitungan uji-t
menggunakan rumus polled varians, diperoleh thitung sebesar 3,63 dan