1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi ancaman terhadap kawasan pesisir pantai di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ancaman ini lebih disebabkan karena semakin meningkatnya suhu bumi yang menyebabkan mencairnya es di kutub dan pada akhirnya meningkatkan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut tersebut menyebabkan berbagai bencana di kawasan pesisir pantai seperti banjir rob, abrasi dan gelombang besar yang bisa merusak harta, benda bahkan jiwa. Bukan hanya itu saja ancaman terbesar di pesisir pantai adalah gelombang besar tsunami yang bisa meluluhlantahkan daratan. Kawasan Bantul Selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang setiap tahun terjadi bencana gelombang besar dan abrasi. Gelombang tsunami yang pernah terjadi di kawasan ini terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 sedangkan abrasi terjadi setiap tahun. Ancaman bencana tersebut telah mengikis sebagian besar daratan di pinggir pantai. Kejadian itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali saja tetapi bencana abrasi selalu terjadi setiap tahun dengan menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakatnya termasuk di Masyarakat Samas. Abrasi adalah pengikisan tanah yang disebabkan oleh gelombang air laut. Pengikisan ini biasanya disebabkan oleh angin besar dan naiknya permukaan air laut. Abrasi di kawasan Pantai Samas termasuk yang paling parah dibandingkan dengan pantai-pantai di kawasan Bantul Selatan karena
44
Embed
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80347/potongan/S2-2015... · menyebabkan berbagai bencana di kawasan pesisir pantai seperti banjir rob, ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Potensi ancaman terhadap kawasan pesisir pantai di Indonesia semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Ancaman ini lebih disebabkan karena semakin
meningkatnya suhu bumi yang menyebabkan mencairnya es di kutub dan pada
akhirnya meningkatkan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut tersebut
menyebabkan berbagai bencana di kawasan pesisir pantai seperti banjir rob, abrasi
dan gelombang besar yang bisa merusak harta, benda bahkan jiwa. Bukan hanya
itu saja ancaman terbesar di pesisir pantai adalah gelombang besar tsunami yang
bisa meluluhlantahkan daratan.
Kawasan Bantul Selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu
wilayah yang setiap tahun terjadi bencana gelombang besar dan abrasi.
Gelombang tsunami yang pernah terjadi di kawasan ini terjadi pada tanggal 17
Juli 2006 sedangkan abrasi terjadi setiap tahun. Ancaman bencana tersebut telah
mengikis sebagian besar daratan di pinggir pantai. Kejadian itu bukan hanya
terjadi sekali atau dua kali saja tetapi bencana abrasi selalu terjadi setiap tahun
dengan menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakatnya termasuk di
Masyarakat Samas. Abrasi adalah pengikisan tanah yang disebabkan oleh
gelombang air laut. Pengikisan ini biasanya disebabkan oleh angin besar dan
naiknya permukaan air laut. Abrasi di kawasan Pantai Samas termasuk yang
paling parah dibandingkan dengan pantai-pantai di kawasan Bantul Selatan karena
2
lebih disebabkan tersendatnya laguna atau kawasan muara Sungai Opak di sekitar
pantai. Keadaan ini menyebabkan air sungai tidak bisa masuk ke laut. Ketika air
laut tidak bisa bertemu dengan air Sungai Opak maka muara Sungai Opak
berpindah ke kawasan pemukiman sehingga air laut mudah masuk ke daratan. Hal
ini diperparah dengan saat air laut pasang waktu bulan purnama. Abrasi yang
terjadi di kawasan pantai ini terjadi mulai sekitar tahun 2000-an, ketika dunia
menyoroti efek dari rumah kaca dan mulai berdampak parah pada lima tahun
terakhir ini di Pantai Samas.
Dampak umum dari sebuah bencana dan berpengaruh di antaranya adanya
kematian, korban luka-luka, kerusakan, dan kehancuran harta benda. Dampak
parah lainnya akibat bencana alam adalah kerusakan dan kehancuran sumber mata
pencaharian dan hasil-hasil pertanian, gangguan pelayanan khusus, kerusakan
infrastuktur, gangguan sistem, pemerintahan, kerugian ekonomi. Akibat lain dari
bencana yang sulit untuk dihilangkan adalah dampak sosiologi dan psikologi.
Abrasi yang terjadi di kawasan pantai selatan saat ini telah membawa dampak
yang besar berupa kerugian materi yakni rumah rusak dan terbawa arus ke laut.
Kerugian akibat bencana abrasi tersebut antara lain adalah dengan rusak
dan hilangnya bangunan rumah karena terseret arus abrasi. Ada sekitar 21
bangunan milik pemerintah dan warga yang hilang dan rusak terkena abrasi pantai
tersebut. Bangunan rumah milik warga ada sekitar 19 rumah hilang dan terancam
sedangkan dua milik pemerintah yakni bangunan tempat pelelangan ikan dan balai
konservasi perlindungan penyu laut. Rumah milik warga yang hilang dan terseret
abrasi sebagian besar adalah warung kelontong dan tempat tinggal sehingga warga
3
masyarakat yang terkena efek abrasi tersebut harus mengungsi ke tempat saudara
ataupun pindah ke daerah lain. Jumlah warga yang mengungsi karena bencana
abrasi tersebut ada sekitar 50 an orang.1 Semua bangunan yang terkena abrasi
tersebut terseret arus ke tengah laut dan hilang. Selain itu ada beberapa rumah
warga yang terancam akibat abrasi tersebut.
Dampak lain dari terjadinya bencana abrasi ini adalah daratan bergeser dan
berubah menjadi laut sekitar 500 meter dari bibir pantai awal sehingga
mengancam rumah warga yang lain. Bergesernya daratan itu juga ada dampak
dalam bidang pertanian yakni menyebabkan terendamnya lahan pertanian yang
biasanya ditanami padi seluas sekitar empat hektar di sekitar timur pemukiman
penduduk Samas. Akibatnya masyarakat tidak bisa bertani di lahan pertanian
biasa dan terpaksa mereka berladang di lahan pasir yang kurang subur dan
produktif.
Abrasi juga telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Pantai Samas yang
mayoritas mata pencahariannya sebagai nelayan. Sebagai daerah yang mayoritas
sebagai nelayan mereka juga tidak bisa pergi mencari ikan di pantai dikarenakan
kapal pencari ikan juga rusak terkena dampak abrasi tersebut. Kalaupun
dipaksakan untuk melaut hasilnya pun juga sedikit dan tidak maksimal. Dalam hal
ini para nelayan di kawasan Pantai Samas ketika terjadi abrasi dan ingin pergi
mencari ikan maka melakukan adaptasi seperti mengatur waktu yang tepat saat
melaut dan disesuaikan dengan perhitungan musim ikan sesuai dengan
kepercayaan dan kebudayaan setempat. Dan apabila terpaksa tidak melaut maka
1 Data abrasi Pantai Samas oleh BPBD Kabupaten Bantul per September 2013
4
mereka beralih kembali ke pekerjaan lain seperti bertani atau berladang. Nelayan
yang tidak bisa melaut karena abrasi pantai ini mencapai 40 orang dan mereka
semua adalah kepala keluarga atau tulang punggung ekonomi keluarga. Dari
jumlah tersebut dapat diketahui bahwa jika mereka tidak bisa melaut maka
berdampak pada ekonomi keluarga dan pada akhirnya ke ekonomi masyarakat.
Selain itu abrasi juga menimbulkan dampak sosial yang berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat tidak jarang berakibat juga pada struktur sosial.
Dampak tersebut antara lain adalah terganggunya kehidupan mereka seperti
kegitan sosial, ekonomi dan budaya karena hilang dan rusaknya rumah mereka,
sehingga mereka terpaksa mengungsi dan menumpang di rumah saudara atau
tetangga bahkan pergi merantau atau berpindah ke daerah lain. Mereka juga harus
hidup dengan meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang tinggi. Nilai
dan norma sosial yang ada dalam masyarakat juga terpengaruh dan harus
disesuaikan dengan kondisi alam sehingga mengakibatkan perubahan sosial di
dalam masyarakat. Bencana abrasi juga berpengaruh terhadap sistem sosial seperti
terganggunya aktivitas sosial dan jaringan sosial baik itu dalam Masyarakat
Samas sendiri maupun dengan masyarakat luar.
Pantai Samas yang terkenal pula dengan kawasan wisata keindahan pantai,
dengan adanya abrasi tersebut juga mengakibatkan pada menurunnya pendapatan
warga-warga sekitar sebagai pedagang warung dalam berjualan karena minimnya
pengunjung dan terpaksa mereka juga harus mencari pekerjaan lain untuk
menyambung hidup. Bencana abrasi juga menimbulkan adanya disorganisasi
sosial , disintegrasi sosial dan bisa mengarah pada konflik terkait dengan bantuan
5
bencana dan ketidakjelasan status tanah yang ditempati karena merupakan sultan
ground dan warga hanya mempunyai hak untuk menempatinya bukan hak milik.
Situasi dalam bencana tersebut disebabkan karena dalam keadaan bencana alam
sering terjadi situasi kepanikan dan individualisme antar warga yang terkena
bencana yang mengarah pada situasi chaos atau kekacauan. Kondisi ini
disebabkan karena adanya sikap-sikap asosial dari masyarakat yang langsung
terdampak dan tidak bisa beradaptasi dengan bencana ini. Sikap asosial tersebut
mengarahkan masyarakat kepada konflik sosial karena adanya kesenjangan sosial
antara korban terdampak langsung dengan korban tidak terdampak langsung.
Kesenjangan sosial tersebut pada akhirnya akan menghilangkan budaya asli
masyarakat yakni sikap sosial dan gotong royong.
Memang bencana alam adalah sebuah kejadian yang tidak bisa ditolak
kedatangannya tetapi bisa diantisipasi dan diminimalisir dampaknya. Kawasan
Pantai Samas sebagai daerah terparah terkena abrasi atau erosi oleh air laut di
antara daerah pantai lainnya di kawasan Pantai Selatan Bantul. Sebagai
masyarakat yang cukup lama mendiami kawasan pantai tersebut tentunya banyak
cara yang dilakukan untuk bisa hidup berdampingan dengan abrasi tersebut.
Setiap komunitas masyarakat mempunyai macam kebudayaan tersendiri termasuk
masyarakat di kawasan ini. Kebudayaan memberikan apa saja yang menjadi
atribut seseorang tanpa pilihan aktif dan sadar dari yang bersangkutan. individu-
individu berkumpul membentuk komun-komun yang merupakan bentuk awal dari
sebuah masyarakat. Selanjutnya masyarakat ini berinteraksi, bekerja dan mencipta
atau yang disebut sebagai proses belajar dan melahirkan apa yang dinamakan
6
kebudayaan dalam berbagai wujudnya.2 Kebudayaan yang ada dalam masyarakat
tersebut akan menyebabkan munculnya pola perilaku masyarakat untuk bisa hidup
berdampingan dan beradaptasi dengan bencana alam di sekitarnya termasuk yang
dilakukan oleh warga masyarakat pesisir Pantai Samas dalam menghadapi abrasi
yang setiap tahun melanda wilayahnya.
Setiap komunitas masyarakat mampu mengembangkan budayanya masing-
masing sebagai modal sosial masyarakat tersebut dalam mensiasati kondisi yang
melingkupinya. Budaya yang dikembangkan dalam Masyarakat Samas adalah
budaya melaut. Budaya melaut identik dengan budaya larung sesaji tanda syukur
terhadap Tuhan atas hasil yang didapatkan di laut. Budaya ini sebenarnya pada
awalnya tidak ada dikarenakan adanya mitos dari penguasa pantai selatan.
Masyarakat Samas pada awalnya seperti kebanyakan budaya masyarakat lain di
perdesaan yakni budaya tani. Namun karena semakin menyempitnya lahan
pertanian dan hasil yang didapatkan dari budaya tani sangatlah sedikit maka
Masyarakat Samas beralih ke budaya melaut. Tetapi dengan terjadinya abrasi di
kawasan pantai ini membuat masyarakat tidak bisa melaut lagi dan harus beralih
ke pekerjaan lain yang hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan
beradaptasi dengan kondisi alam saat terjadi bencana.
Setiap masyarakat mempunyai budaya sendiri dalam “bergaul” dengan
lingkungan alamnya. Manusia dan alam akan menjadi sebuah kesatuan yang
saling mempengaruhi. Masalah menjadi muncul ketika ada perubahan besar
(seperti bencana alam) yang terjadi pada lingkungan alam sekitar manusia dan 2 Wianti KF. “Manusia, Budaya dan Lingkungan” (Handout Lab Pelestarian Alam Jurusan
Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM, 2006) Halaman 4
7
kehidupannya. Dalam hal ini Giddens juga melakukan eksplorasi mengenai
hubungan-hubungan antara perseorangan dengan tatanan sosial melalui situasi-
situasi kritis (termasuk bencana) dimana kehidupan sehari-hari terganggu secara
dramatis.3 Masyarakat sebenarnya mempunyai cara berpikir dan bertindak sendiri
dalam “bergaul” dengan alam. Cara tersendiri tersebut didukung oleh pengamatan,
pengalaman dan pengendapan masyarakat dalam mensiasati lingkungan dimana
mereka hidup. Tidak banyak diungkap dalam sejarah bahwa masyarakat tertentu
mempunyai “cara” tersendiri dalam memandang gejala dan tanda alam di
dekatnya. Kalaupun ada, atau pernah ada, tentunya perlu dicari keotentikannya
dan perlu diidentifikasi bentuk maupun status pemberlakuannya.
Bencana abrasi memang sudah terjadi rutin dan dalam waktu yang lama
sehingga masyarakat di sana sudah mulai bisa beradaptasi dengan bencana
tersebut. Adaptasi mata pencaharian saat terjadi abrasi adalah dengan cara
memanfaatkan laguna muara sungai yang menyebabkan abrasi dengan
menjadikannya sebagai tempat rekreasi kapal dan memancing sehingga bisa
menarik wisatawan lebih banyak. Selain itu di lahan yang terkena abrasi mereka
juga bergotong royong untuk membuat tambak ikan dan bahkan dengan fasilitas
dari pemerintah mereka membuat garam yang sebelumya belum pernah ada.
Adaptasi mata pencaharian masyarakat ketika tidak bisa melaut adalah dengan
cara kembali lagi kepada budaya lama yakni budaya bertani. Walaupun bertani
hasilnya tidak sebesar saat melaut, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Pola adaptasi yang dilakukan masyarakat pantai 3 Syamsul Maarif, “Bencana dan Penanggulangannya Tinjauan dari Aspek Sosiologis” (Jurnal
Sesuai dengan sistem mata pencaharian yang dikembangkan, maka teknologi
produksi yang dimilikipun akan berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya. Teknologi tersebut biasanya disesuaikan dengan kondisi
lingkungan alam sekitarnya misal di kawasan pantai maka teknologi yang
digunakan adalah kapal, jaring, tempat ikan dan sebagainya. Hal ini berbeda jika
teknologi yang digunakan di wilayah perkotaan atau industri biasanya mereka
menggunakan alat-alat mesin yang tentunya menghasilkan lebih banyak produksi.
Selain mode produksi, dalam kategori ini, tercakup juga aspek mode
reproduksi (mode of reproduction), yaitu teknologi dan praktik yang diterapkan
untuk mengembangkan, membatasi, atau memelihara jumlah penduduk (aspek
kependudukan). Dalam adaptasinya terhadap lingkungan, masyarakat akan
mengembangkan cara-cara tentang bagaimana mereka mengontrol jumlah
penduduk agar kelangsungan hidupnya dapat terjamin. Dalam masyarakat yang
semakin kompleks, jumlah penduduk seringkali tidak terkontrol dengan
mekanisme yang ada sementara kemajuan teknologi produksi tidak dapat
memenuhi kebutuhan survival masyarakat yang makin beragam. Dalam kondisi
seperti ini, faktor kependudukan menjadi sangat berpengaruh terhadap
kondisi/kelangsungan lingkungan/habitat tempat tinggal manusia/masyarakat
yang bersangkutan.
Struktur sosial, yang termasuk ke dalam kategori adaptasi struktur sosial
adalah sistem ekonomi domestik (domestic economy), yaitu cara-cara
pengorganisasian aspek produksi dan reproduksi, konsumsi, dan lain-lain di
lingkungan rumah tangga atau setting domestik lainnya. Dalam masyarakat
18
nelayan, misalnya, akan terdapat sistem-sistem pembagian kerja di antara mereka
dalam usaha penangkapan ikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Misalnya
antara Juragan pemilik perahu, juru mudi, dan para awak perahu. Pembagian kerja
ini memiliki implikasi pada sistem pembagian hasil, dan sebagainya. Pembagian
kerja ini biasanya disebut dengan stratifikasi sosial sehingga ada juga pembagian
kelas sosial yang berbeda-beda. Pembagian kelas sosial dalam masyarakat
perdesaan lebih cenderung tidak ada karena memang dalam masyarakat perdesaan
ketimpangan dan kesenjangan sosial antara satu penduduk dengan penduduk
lainnya tidak jauh mencolok.
Struktur universal yang ketiga adalah suprastruktur, yang termasuk ke
dalam kategori adaptasi suprastruktur adalah seni, musik, sastra, upacara/sistem
nilai atau norma, pengetahuan, dan sebagainya. Kategori ini menonjolkan aspek
kognitif yang berkembang/ada di masyarakat. Sistem pengetahuan lokal
(indigenous knowledge), misalnya, adalah aspek yang menunjukkan kognisi
masyarakat tentang sesuatu yang di antaranya berkaitan dengan setting
lingkungan/habitat tempat tinggal manusia/masyarakat. Contoh lain misalnya
adalah sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang
diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut.
Suprastruktur inilah yang mempengaruhi kemampuan adaptasi warga masyarakat
Samas dari dalam masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan pengertian bahwa kebudayaan adalah ekspresi adaptasi
manusia terhadap lingkungannya, dalam perspektif ini, khususnya perspektif
materialisme budaya, variabel infrastruktur (sistem subsistensi/sistem mata
19
pencaharian dan teknologi) merupakan faktor penyebab utama terjadinya
perkembangan dan perubahan kebudayaan secara keseluruhan. Contoh: pada
masyarakat nelayan, sistem mata pencaharian menangkap ikan (infrastruktur)
akan mempengaruhi cara-cara masyarakat melakukan pembagian kerja di
lingkungan keluarga maupun di masyarakat yang lebih luas (struktur), dan akan
mempengaruhi sistem nilai/norma atau pengetahuan yang berlaku di masyarakat
(suprastruktur).
Berdasarkan contoh ini, upacara-upacara memberikan sesaji kepada
‘penguasa’ laut seperti Ratu Kidul atau yang lebih dikenal sebagai Nyi Roro Kidul
oleh masyarakat pantai selatan atau cara pembagian kerja di antara nelayan seperti
antara juragan perahu dan buruh nelayan, berkembang disebabkan oleh aktivitas
penangkapan ikan di laut. Apabila sistem mata pencaharian nelayan atau sistem
teknologinya berubah, misalnya dari cara dan teknologi yang sederhana ke cara
dan teknologi yang maju dengan digunakannya alat-alat penangkapan ikan yang
canggih atau apabila sistem mata pencaharian berubah total menjadi bukan
kegiatan nelayan karena terjadi perubahan lingkungan, maka perubahan yang
terjadi seperti ini akan menyebabkan perubahan pada aspek struktur dan
suprastruktur berupa perubahan pada cara-cara pembagian kerja atau sistem
kepercayaan yang berlaku.
Berdasarkan contoh di atas, diperlihatkan bahwa bila lingkungan, misalnya
kawasan pantai, berubah maka kebudayaan masyarakat akan mengalami
perubahan; masyarakat akan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap
lingkungan yang berubah sebagai upaya mengadaptasikan diri. Akan ada
20
penyesuaian budaya (cultural adjustment) yang memungkinkan manusia
merespon secara cepat kepada perubahan-perubahan di lingkungannya.13
Sebaliknya, bila terjadi perubahan dalam kebudayaan, misalnya karena terjadi
perubahan pada peralatan teknologi penangkapan ikan, perubahan ini akan
mempengaruhi keberadaan lingkungan di sekitarnya. Gambaran-gambaran seperti
ini, menunjukkan bagaimana hubungan saling terkait (interplay) antara komponen
sosial/budaya dan lingkungan berlangsung/terjadi.
Adaptasi dapat diartikan sebagai upaya menyesuaikan sistem-sistem
ekologi, sosial, dan ekonomi terhadap perubahan karakteristik lingkungan yang
muncul sebagai dampak atau konsekuensi dalam perubahan iklim.14 Perubahan
iklim telah membawa banyak perubahan pada sistem fisik masyarakat dan pada
akhirnya membawa perubahan pada sistem sosial kemasyarakatan itu sendiri.
Adaptasi terhadap bencana alam biasanya dilakukan oleh masyarakat yang terikat
dalam sebuah sistem sosial, ekonomi dan lingkungan. Adaptasi masyarakat adalah
kompleks, karena bukan hanya melibatkan nilai-nilai dan norma-norma sosial
serta pengetahuan lokal tetapi juga membutuhkan pengetahuan ilmiah dan
seringkali membutuhkan intervensi luar.15
Pengelolaan bencana merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk
dapat meningkatkan atau menciptakan suatu kondisi yang lebih stabil dari
sebelumnya ketika bencana terjadi, pengelolaan didefinisikan sebagai suatu
13 Moran Emilio Fi, “Human adaptability An Introduction to Ecological Anthropology” (Westview
Press, 1982) Halaman 44 14 Sunyoto Usman. 2013. Adaptasi Perubahan Iklim. Yogyakarta: Diktat Mata Kuliah Teori Sosiologi I (Klasik dan Modern) halaman 1 15 Loc.cit
dalam mengendalikan atau mengelola kegiatan yang bersifat berkelanjutan.16
Suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management circle) ada dua
kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre
event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah
terjadinya bencana dapat berupa disaster response/ emergency response (tanggap
bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya
bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana)
dan dissaster mitigation (mengurangi dampak bencana) ada juga yang menyebut
istilah dissaster reduction sebagai perpaduan disaster mitigation dan dissaster
preparedness. 17
Tindakan adaptasi bisa bersifat spontan, tanpa direncanakan (utomomous)
dan dapat pula berupa tindakan yang dibingkai oleh pertimbangan atau nalar
tertentu (planned). Adaptasi yang tanpa direncanakan lazim mengandalkan aset
dan kapabilitas yang dimiliki sendiri.18 Adaptasi ini lazim bereferensi pada
pengetahuan lokal atau yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Adaptasi yang tanpa direncanakan oleh masyarakat antara lain adalah kemampuan
membaca tanda-tanda bencana alam dengan kearifan lokal (local wisdom) dan
pengetahuan lokal (local knowledge).
Tindakan adaptasi berkategori spontan yang sering juga dilakukan oleh
masyarakat Pantai Samas adalah tindakan menjauhi bibir pantai karena abrasi
16 Rony Purnomo. “Manajemen Bencana, Respon Dan Tindakan Terhadap Bencana”. (Media Presindo:2010) halaman 23 17 Pribadi dan Gde Widyadinyara Melati. “Mitigasi Bencana”. (ITB:1996) halaman 45 18 Sunyoto Usman. Op. cit. halaman 3
22
yang besar. Respon ini dilakukan karena sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki (autonous adaptations). Respon ini biasanya tidak
sistematis dan tidak tuntas karena meninggalkan dan menyisakan masalah
(residual or net impacts) dikarenakan pengetahuan yang tidak cukup dan tidak
cukup untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Tindakan adaptasi spontan
yang lain adalah seringkali masyarakat karena rasa penasaran nya seringkali
mendekati daerah yang menjadi sumber bahaya besar. Oleh karena itu diperlukan
respon kebijakan bagi pemangku kepentingan yakni dengan cara memberikan
mitigasi secara terencana dan terarah kepada masyarakat.
Sedangkan adaptasi yang direncanakan (planned) lazim dilandasi oleh
pertimbangan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada saat ini
sekaligus yang diperkiran muncul di depan. Pertimbangan semacam itu
diharapkan dapat memberi kepastian. Jalan pikiran tersebut juga dapat
dipergunakan untuk mengidentifikasi respon kebijakan dan mitigasi dari segi
atribut-atribut yang lain.19
F. Review Studi-Studi Terdahulu Terkait Adaptasi
Studi tentang adaptasi yang pertama adalah studi tentang adaptasi
masyarakat kawasan pesisir terhadap banjir rob di kawasan Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Propinsi Jawa Tengah. Studi adaptasi ini dilakukan oleh Bayu
Trisna Desmawan dan Drs. Sukamdi, M.Sc. dari Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM. Penelitian ini untuk mengetahui adaptasi masyarakat kawasan
pesisir di Kecamatan Sayung terhadap banjir rob. Dari data yang dikumpulkan
19 Loc.cit
23
serta dianalisis secara deskriptif diketahui bahwa daerah pesisir di Kecamatan
Sayung yang terkena banjir rob pada ketinggian 0,25 meter adalah Desa Sriwulan,
Desa Surodadi, Desa Bedono dan Desa Timbulsloko. Banjir rob memberikan
dampak besar bagi masyarakat pesisir Pantai Demak. Dampak banjir rob terhadap
masyarakat antara lain kerusakan bangunan tempat tinggal, salinitas air tanah,
kerusakan lahan tambak, dan, kehilangan lahan, serta kerusakan pada kendaraan
atau peralatan kerja.
Respon masyarakat terhadap banjir rob yang terjadi yakni masyarakat
tetap tinggal dan pindah atau mengungsi. Adaptasi dilakukan pada bangunan
tempat tinggal, ketersediaan air bersih dan pada lahan tambak. Adaptasi pada
bangunan tempat tinggal yaitu meninggikan lantai rumah, meninggikan rumah
dan atapnya, membuat tanggul, membuat saluran air. Adaptasi pada ketersediaan
air bersih yaitu menggunakan air bersih yang dipasok dari daerah lain, sedangkan
adaptasi pada lahan tambak yaitu meninggikan tanggul, memasang jaring/waring
dan penanaman bakau. Adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir Demak baru
dilakukan secara swadaya dan belum ada bantuan dari pemerintah terutama
Pemerintah Daerah Demak Propinsi Jawa Tengah. Sebagian besar adaptasi yang
dilakukan oleh warga pesisir Demak adalah adaptasi fisik. Dari penelitian tersebut
tidak disebutkan dan ditemukan adaptasi secara sosial. Adaptasi yang dilakukan
lebih ke adaptasi fisik misalnya membangun tanggul. Kelemahan penelitian ini
adalah lebih memfokuskan pada adaptasi secara fisik dan tidak berfokus pada
adaptasi secara sosial sedangkan kelebihannya adalah fokus adaptasi fisik sudah
mencakup banyak segi dan hal di dalam masyarakat pesisir Demak. Selain itu
24
penelitian ini hanya menggunakan studi deskriptif dan hanya menggambarkan
adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir sehingga penelitian ini kurang
mendalam dan hanya terlihat pada permukaan di masyarakat saja.
Studi yang relevan kedua adalah Devita Elfira dari Program Studi
Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS Universitas Negeri Padang. Judul
Penelitiannya adalah Strategi Adaptasi Transmigran Jawa Di Sungai Beremas
(Studi Etnosains Sistem Pengetahuan Bertahan Hidup). Studi adaptasi ini antara
lain alasan transmigran Jawa masih bertahan di Sungai Beremas adalah karena
mereka yakin dengan masa depan mereka di daerah baru itu akan lebih baik dari
pada kondisi yang mereka alami di daerah asal. Prinsip “sinten ingkang ndamel
ngangge, sinten ingkang nanem ngunduh”.20 merupakan keyakinan untuk selalu
berusaha dan tekun mengolah lahan di Sungai Beremas, karena mereka merasa
yakin bahwa masa depan petani di Sungai Beremas akan lebih baik dari pada
sekarang.
Sistem pengetahuan dan strategi adaptasi lingkungan alam yang
dikembangkan transmigran Jawa di Sungai Beremas adalah sebagai berikut:
pertama, menanam tanaman yang bisa dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran terhadap kebutuhan
makanan, merekonstruksi lahan tidak subur menjadi lahan produktif, membuka
lahan datar menjadi sawah dengan tujuan agar mereka tidak membeli beras, dan
menjadikan jagung sebagai makan pokok di samping beras. Kesemua itu
bertujuan untuk mengurangi konsumsi beras. Kedua, memelihara binatang ternak 20 Filosofi Jawa yang berarti bahwa siapa yang menanam pasti akan memanen begitu juga siapa
yang berbuat kebaikan maka kebaikan itu akan kembali pada diri nya sendiri
25
sapi milik orang dusun (orang Siulak) dan memelihara ayam milik sendiri secara
tradisional. Ketiga, menjadi kuli kebun upahan pada masyarakat Jawa yang
tinggal di Kayu Aro dan menjadi kuli sawah bagi masyarakat Siulak, serta
merantau ke Muaro Bungo, Tebo, Bangko dengan menjadi kuli sawit pada
masyarakat Jawa yang tinggal di sana.
Temuan ini sangat penting dipahami sebagai masukan bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti strategi adaptasi lingkungan sosial yang dilakukan
transmigran Jawa di Sungai Beremas. Karena alasan keterbatasan waktu yang
dimiliki oleh peneliti maka penelitian ini hanya mengungkap strategi adaptasi
transmigran Jawa dengan lingkungan alam Sungai Beremas saja. Selain itu
temuan ini juga bisa digunakan oleh lembaga yang terkait dengan pengelolaan
transmigrasi. Guna menemukan solusi berbagai permasalahan transmigrasi
penduduk untuk mencapai tujuan transmigrasi yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat transmigran. Kelebihan dari penelitian ini sudah berfokus pada
adaptasi masyarakat secara sosial masyarakat transmigran tetapi kelemahan
penelitian ini masih kurang mendalam karena hanya menyangkut pada aspek
sosial saja dan belum menyangkut pada budaya-budaya masyarakat yang menjadi
fokus kajian dalam penelitian ini.
Penelitian ini berfokus untuk mencari dan memahami mengenai pola
adaptasi masyarakat Samas terhadap abrasi yang terjadi di kawasan pesisir pantai.
Adaptasi tersebut berupa adaptasi ekologis dan adaptasi sosial. Adaptasi tersebut
mencakup tiga hal yakni adaptasi pra abrasi, adaptasi saat terjadi abrasi dan
adaptasi pasca abrasi. Proposisi yang terdapat dalam penelitian ini adalah adaptasi
26
yang dilakukan oleh warga masyarakat kawasan pesisir Pantai Samas dipengaruhi
oleh kebudayaan lokal setempat, dengan kata lain bahwa budaya yang mereka
miliki mempengaruhi pengetahuan mereka terhadap cara beradaptasi di kawasan
pantai selatan tersebut. Selain itu cara mereka beradaptasi juga sangat dipengaruhi
oleh adanya kearifan lokal (local wisdom) penduduk lokal setempat.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif Etnografi.
Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan terkait dengan nilai-nilai material
maupun immaterial. Tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami nilai-nilai
atas pandangan hidup dari sudut pandang penduduk yang berdiam di suatu sistem
sosial tertentu. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia
orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak
dengan cara yang berbeda.21 Inti dari Etnografi adalah upaya untuk
memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang
ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam
bahasa dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya
secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan22.
Menurut Creswell, para ahli banyak menyatakan mengenai beragam jenis
penelitian etnografi, namun Creswell sendiri membedakannya menjadi dua bentuk
21 Denzin dan Yvonna, “Handbook of Qualitative Research (Pustaka Pelajar, 2009) Halaman 328 22 James P.Spradley, “Metode Etnografi” (Tiara Wacana, 2007) Halaman 4-5
27
yang paling popular yaitu etnografi realis dan etnografi kritis. Penjelasannya
sebagai berikut :23
1. Etnografi realis
Etnografi realis mengemukakan suatu kondisi objektif suatu
kelompok dan laporannya biasa ditulis dalam bentuk sudut pandang
sebagai orang ketiga. Seorang etnografi realis menggambarkan fakta detail
dan melaporkan apa yang diamati dan didengar dari partisipan kelompok
dengan mempertahankan obyektivitas peneliti.
2. Etnografi kritis
Dewasa ini populer juga etnografi kritis. Pendekatan etnografi
kritis ini penelitian yang mencoba merespon isu-isu sosial yang sedang
berlangsung misalnya dalam masalah gender/emansipasi, kekuasaan,
status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan dan lain sebagainya.
Penelitian ini menggunakan Metode Etnografi jenis Etnografi Realis
karena adaptasi yang dilakukan masyarakat Pantai Samas menggunakan konsep
kebudayaan setempat dan menggunakan sudut pandang orang ketiga
menggambarkan secara detail fakta apa yang diamati dan didengar partisipan
kelompok dalam mempertahankan obyektifitas peneliti. Konsep kebudayaan
ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-
kelompok masyarakat tertentu seperti “adat” (custom) atau “cara hidup
masyarakat”.24
23 John W Creswell., “Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five Approch “
(California: Sage Publications, 2007) halaman 69-70 24 Marvin Harris dalam James P spradley. Op. cit. Halaman 5
28
Peneliti dalam etnografi menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola
perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat
Pantai Samas adalah sebuah kebiasaan dan cara hidup yang membentuk pola.
Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai sebuah
proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu
kelompok, sehingga peneliti memahami betul bagaimana kehidupan keseharian
subjek penelitian tersebut (Participant observation, life history), yang kemudian
diperdalam dengan indepth interview terhadap masing-masing individu dalam
kelompok tersebut. Dengan demikian penelitian etnografi menghendaki etnografer
/peneliti : (1) mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan
interaksi dalam kelompok dalam situasi budaya tertentu, (2) memahami budaya
atau aspek budaya dengan memaksimalkan observasi dan interpretasi perilaku
manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya, (3) menangkap secara penuh
makna realitas budaya berdasarkan perspektif subjek penelitian ketika
menggunakan simbol-simbol tertentu dalam konteks budaya yang spesifik.25
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pantai Samas Desa Srigading
Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta karena
dekat dengan tempat tinggal peneliti. Selain itu daerah ini sangat rawan
dengan terjadinya bencana abrasi karena dekat dengan garis pantai yang
membujur di selatan desa tersebut. Alasan lain peneliti memilih lokasi
25 Loc.cit
29
penelitian ini dikarenakan karena daerah wisata pantai ini merupakan
daerah yang parah terkena dampak abrasi pantai di kawasan Bantul.
2. Kebutuhan dan Jenis Data
Sumber data merupakan obyek dimana data-data diperoleh.
Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain.26 Adapun sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung
oleh peneliti dari sumbernya tanpa ada perantara, dengan cara
menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Data-data
tersebut diperoleh peneliti melalui wawancara maupun pengamatan
langsung di lapangan. Data-data tersebut diperoleh dari tindakan dan
kata-kata dari orang yang diwawancarai. Sumber data primer adalah
kepala desa, ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB),
anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), tokoh
masyarakat, kepala desa, aparat desa dan warga masyarakat Desa
Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data tidak langsung
yang mampu memberikan data tambahan serta penguatan terhadap
26
Norman Blaikie, “Designing Social Research” (Polity Press, 2000) Halaman 183
30
data penelitian. Sumber data sekunder ini diperoleh melalui
dokumentasi dan studi kepustakaan dari buku-buku, internet yang
relevan dengan studi adaptasi masyarakat serta catatan lapangan.
Seorang peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan instrumen
utama penelitian, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian sejalan
dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif sangat tergantung pada
ketelitian dan kelengkapan catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti.
c. Informan
Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah
masyarakat Pantai Samas, Desa Srigading Kecamatan Sanden
Kabupaten Bantul, dalam hal ini adalah perangkat desa, Pengurus
Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) dan masyarakat umum.
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sesuai dengan
obyek penelitian sehingga data yang diperoleh mampu menjelaskan
kebenaran obyek yang diteliti. Beberapa informan tersebut diharapkan
dapat memberikan data yang akurat sehingga diperoleh data dari
berbagai segi sesuai dengan kebutuhan. Peneliti memilih informan
seperti Kepala Desa, Ketua RT, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk
diwawancarai karena mereka selama ini yang menjadi pengayom,
sesepuh atau pimpinan masyarakat yang mengetahui seluk beluk, asal-
usul, sebab-akibat adanya Pantai Samas dan abrasi yang terjadi di sana.
31
3. Prosedur Penelitian
Menurut Spradley penelitian etnografi bersifat siklus, bukan
bersifat urutan linear dalam penelitian ilmu sosial. Prosedur siklus
penelitian etnografi mencakup enam langkah: (1) pemilihan suatu proyek
etnografi, (2) pengajuan pertanyaan etnografi, (3) pengumpulan data
etnografi, (4) pembuatan suatu rekaman etnografi, (5) analisis data
etnografi, dan (6) penulisan sebuah etnografi.27 Uraian langkah tersebut
antara lain :
a. Pemilihan Suatu Proyek Penelitian
Siklus dimulai dengan pemilihan suatu obyek etnografi.
Langkah pertama peneliti etnografi adalah mempertimbangkan ruang
lingkup dari penyelidikan mereka. Peneliti memilih Pantai Samas
karena kawasan pantai yang terkena dampak parah abrasi dengan
jumlah penduduk sekitar 150 orang. Ruang lingkup penelitian dapat
berjarak berkelanjutan dari etnografi makro ke etnografi mikro.
b. Pengajuan Pertanyaan Penelitian
Pekerjaan lapangan etnografi dimulai ketika peneliti mulai
mengajukan pertanyaan etnografi. Itu memperlihatkan bukti yang cukup
ketika pelaksanaan wawancara, tetapi observasi yang sangat sederhana
dan entri catatan lapangan pun melibatkan pengajuan pertanyaan.
Dalam hal ini peneliti akan mengajukan pertanyaan etnografi ke
masyarakat Pantai Samas
27
James P Spradley, Op cit halaman 8
32
1) Siapa yang terkena abrasi Pantai Samas ?
2) Apa dampak abrasi terhadap masyarakat ?
3) Apa yang mereka lakukan setelah terjadinya abrasi ?
4) Di mana mereka mengungsi ?
5) Bagaimana strategi adaptasi masyarakat terhadap abrasi ?
Pertanyaan ini menuntun dan berkembang ke arah entri yang berbeda
dalam catatan lapangan peneliti. Dalam format penelitian sosial yang paling
umum, pertanyaan yang diajukan oleh peneliti cenderung datang dari luar
pemandangan budaya. Para peneliti dari suatu pandangan budaya tertentu (ilmu
sosial profesional) menggambarkan pada kerangka referensi. Peneliti untuk
merumuskan pertanyaan kemudian memandang budaya yang lain untuk
melakukan wawancara atau observasi. Tanpa merealisasikannya peneliti
cenderung berasumsi bahwa pertanyaan dan jawaban merupakan unsur-unsur
yang terpisah dalam pemikiran manusia. Pertanyaan selalu mengimplikasikan
jawaban. Pertanyaan dari jenis apa pun selalu mengimplikasikan pertanyaan. Ini
benar, bahkan ketika pertanyaan atau jawaban tidak dinyatakan. Dalam
melakukan observasi partisipan untuk tujuan etnografi, sebaik mungkin, kedua
pertanyaan dan jawaban harus ditemukan dalam situasi sosial yang terjadi di
Pantai Samas.
Terdapat tiga jenis utama pertanyaan etnografi, masing-masing mengarah
pada jenis observasi yang berbeda di lapangan. Kemudian, setelah penggunaan
jenis pertanyaan ini untuk menuntun observasi peneliti tentang keadaan Pantai
Samas, dan setelah analisis data awal, Peneliti akan menggunakan “pertanyaan
33
struktural” dan “pertanyaan kontras” untuk penemuan. Ini akan membimbing
peneliti membuat observasi lebih terfokus. Dalam sebuah etnografi, peneliti dapat
mengajukan sub-sub pertanyaan yang berhubungan dengan (a) suatu deskripsi
tentang konteks seperti deskripsi tentang adaptasi di Pantai Samas (b) analisis
tentang tema-tema utama seperti adaptasi, dan (c) interpretasi perilaku cultural.28.
Sebagai alternatif sub pertanyaan topikal ini dapat mencerminkan 12 langkah
Spradley dalam Decision Research Sequencenya sebagai berikut29:
1) Apa situasi sosial yang akan diteliti? (Memilah suatu situasi sosial).
Dalam hal ini situasi yang akan diteliti adalah situasi abrasi di Pantai
Samas dan setelahnya serta dampak yang ditimbulkan.
2) Bagaimana seseorang melakukan observasi terhadap situasi abrasi
tersebut? (Melakukan observasi partisipan)
3) Apakah yang sudah terekam tentang situasi abrasi tersebut? (Membuat
rekaman etnografi tentang adaptasi di Pantai Samas)
4) Apakah yang sudah teramati tentang situasi tersebut? (Melakukan
observasi deskriptif)
5) Apakah domain cultural yang muncul dari studi situasi tersebut?
(Melakukan analisi domain)
6) Apakah lebih spesifik, observasi terfokus dapat dibuat? (Melakukan
analisis taksonomi)
28
John W Creswell. “Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five Approach”.
(Sage Publications:2007) halaman 104
29 James P Spradley, Op cit halaman 8
34
7) Melihat secara lebih selektif, observasi apa yang dapat dilakukan?
(Melakukan observasi selektif)
8) Apa komponen-komponen yang muncul dari observasi tersebut?
(Melakukan analisis komponen)
9) Apa tema-tema yang tampak? (Melakukan observasi selektif)
10) Apa inventori cultural yang tampak? (Mengambil inventori cultural)
11) Bagaimana seseorang dapat menulis etnografi? (Menulis sebuah
etnografi).30
c. Pengumpulan Data
Tugas utama kedua dalam siklus penelitian etnografi adalah
pengumpulan data etnografi. Dengan cara observasi partisipan, peneliti
dapat mengamati aktivitas orang, karakteristik fisik situasi sosial di
kawasan Pantai Samas, dan apa yang menjadi bagian dari tempat
kejadian. Peneliti dapat mulai dengan melakukan observasi deskriptif
secara umum, mencoba memperoleh suatu tinjauan terhadap situasi
sosial dan yang terjadi di sana. Kemudian setelah perekaman dan
analisis data awal tentang abrasi di Pantai Samas, Peneliti dapat
mempersempit penelitian abrasi Pantai Samas dan mulai melakukan
observasi ulang di lapangan, peneliti mempu mempersempit
penyelidikan untuk melakukan observasi selektif. Walaupun observasi
peneliti semakin terfokus, peneliti selalu melakukan observasi
deskriptif umum hingga akhir studi lapangan di Pantai Samas. Tiga 30 John W Creswell, Op cit halaman 104 dan James P Spradley, Op cit halaman 103
35
jenis observasi ini berhubungan dengan tiga jenis pertanyaan etnografi
Pantai Samas.
Sebagaimana layaknya penelitian kualitatif yang
mengedepankan naturalistik dalam mendapatkan data yang sifat
deskriptif, maka penelitian etnografi ini juga memafaatkan teknik
pengumpulan data yang digunakan penelitian kualitatif pada
umumnya, namun ada beberapa teknik yang khas. Adapun instrumen
pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai berikut:
1) Pertama, wawancara mendalam (indepth interview) merupakan
serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti kepada subjek
penelitian. Mengingat karakter etnografi yang naturalistik maka
bentuk pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan
pertanyaan terbuka dan sifatnya mengalir, meski demikian untuk
menjaga fokus penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki
panduan wawancara yang sifatnya fleksibel. Setiap wawancara yang
dilakukan, peneliti harus memperdalamnya dengan cara membuat
catatan hasil wawancara dan observasi. Karena itu, kegiatan
wawancara akan selalu menghasilkan pertanyaan baru yang sifatnya
memperdalam apa yang telah diterima dari subjek penelitan. Dalam
konteks memperdalam data, proses wawancara dapat dilakukan
secara spontan/tidak terstruktural maupun terencana/ terstruktural
terhadap informan mengenai abrasi di kawasan Pantai Samas.
36
2) Kedua, Observasi partisipan (participant observation). Untuk
mengetahui secara detail langsung bagaimana budaya yang dimiliki
individu atau sekelompok masyarakat maka peneliti akan menjadi
“orang dalam”. Menjadi “orang dalam” akan memberi keuntungan
peneliti dalam menghasilkan data yang sifatnya natural. Peneliti akan
mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan subjek
penelitian, perilaku keseharian, kebiasaan – kebiasaan yang
dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbol-
simbol kehidupan subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi
orang lain tidak memahami apa sebenarnya simbol itu.
Menjadi orang dalam memberikan akses yang luar biasa bagi
peneliti untuk “menguak”semua hal tanpa sedikitpun halangan,
karena subjek penelitian akan merasa kehadiran peneliti tak ubahnya
sebagai bagian dari keluarganya, sehingga tidak ada keraguan dan
hambatan bagi subjek untuk berperilaku alami, sebagaimana
layaknya dia hidup dalam keseharian. Dalam hal ini karena domisili
peneliti dekat dengan kawasan Pantai Samas maka mudah bagi
peneliti untuk masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat Pantai
Samas. Namun demikian, menjadi orang dalam melalui kegiatan
observasi partisipan tidak menjadikan peneliti larut hingga tidak bisa
membedakan dirinya dengan diri subjek penelitian. Posisi inilah yang
harus benar-benar dijaga dalam melakukan riset etnografi adaptasi di
kawasan Pantai Samas.
37
3) Ketiga, Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion),
merupakan kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek
penelitian secara terarah. Dalam konteks ini sebenarnya kemampuan
peneliti untuk menyajikan isu atau tema utama, mengemasnya dan
kemudian mendiskusikan serta mengelola diskusi itu menjadi terarah
dalam arti proses diskusi tetap berada dalam wilayah tema dan tidak
terlalu melebar apalagi sampai menyertakan emosi subjek secara
berlebihan menjadi kata kunci dari proses FGD yang baik. Diskusi
kelompok terarah ini bisa diawali dengan pemilihan anggota diskusi
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, ataupun dapat saja
dilakukan dengan secara acak, namun tetap memperhatikan
“kekuatan” masing-masing peserta diskusi, mulai dari tingkat
pendidikan, intelektualitas, pengalaman bahkan keseimbangan
gender.
Dengan penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari
ketimpangan atau dominannya satu kelompok atau individu dalam
sebuah diskusi. Kemudian, dilanjutkan dengan tema yang telah
diusung peneliti dan diskusikan secara bersama. Proses inilah yang
kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk kemudian dijadikan
dasar pijak untuk memperdalam dan memperkaya data etnografi.
Dalam FGD ini peneliti bisa memanfaatkan pertemuan-pertemuan
kelompok nelayan atau pertanian di kawasan Pantai Samas dengan
38
begitu data yang diperoleh bisa sesuai dengan apa yang diinginkan
peneliti.
4) Keempat, Sejarah hidup (Life history), merupakan catatan panjang
dan rinci sejarah hidup subjek penelitian. Melalui catatan sejarah
hidup ini peneliti etnografi akan memahami secara detail apa saja
yang menjadi kehidupan subjek penelitian dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya termasuk budaya yang ada di lingkungannya.
Catatan sejarah hidup, menghendaki kemampuan peneliti untuk jeli
dalam melihat setiap detail kehidupan seseorang, sehingga tergambar
dengan jelas bagaimana “jalan” kehidupan subjek penelitian dari
lahir hingga dewasa sehingga terketemukan peristiwa-peristiwa
penting yang menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah
kehidupan subjek penelitian. Meski hampir sama dengan pola
autobiografi, namun terdapat perbedaan terutama pada upaya yang
lebih kuat dalam penulisan untuk menghindari subjektivitas penulis.
Catatan sejarah tentang Pantai Samas maupun abrasi yang terjadi bisa