2 PENDAHULUAN Latar Balakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar dengan berbagai kebudayaan, baik tarian, pakaian adat, makanan, lagu daerah, kain, alat musik, dan lain sebagainya. Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan salah satu budaya Indonesia yaitu batik sebagai warisan budaya milik Indonesia (Widisarinasiti, 2011) Pada umumnya bahan dasar yang digunakan untuk membuat batik kain adalah serat alam (serat selulosa atau serat yang dihasilkan dari binatang). Jenis kain batik yang digunakan secara umum di antaranya adalah kain katun, kain rayon, kain mori dan kain sutra. Jenis kain polyester tidak dapat digunakan untuk membatik (Kudiya, 2008) Zat pewarna yang biasa digunakan pada pemberian warna kain batik adalah zat warna sintetis, seperti indigosol, rapid, soga ergan, dan soga croom (Mey, 2009) Penggunaan zat warna sintetis untuk pencelupan mempunyai keuntungan, antara lain: pilihan warna lebih bervariasi, ketahanan luntur tinggi, hasil pewarnaan cerah dan indah, proses mendapatkannya mudah, pengerjaan pewarnaan lebih singkat dan selalu berhasil karena ada standar resep, dan memiliki standar warna karena dapat diulang pewarnaannya. Namun, di balik kemudahan dan keuntungan tersebut tersimpan beberapa kelemahan yaitu mencemari lingkungan dan mengandung sifat karsinogenetik yang diduga kuat dapat mengakibatkan alergi kulit dan nantinya akan menjadi kanker kulit (Sulasminingsih, 2006). Sejak 1 Agustus 1996 negara – negara maju, seperti Jerman dan Belanda, telah melarang penggunaan zat pewarna berbahan kimia (Kwartiningsih, 2013) Pemanfaatan zat pewarna alam untuk tekstil menjadi salah satu alternatif pengganti zat pewarna sintetis. Menurut Kwartiningsih (2013), bahan pewarna alami dapat diperoleh dari tanaman ataupun hewan. Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang sudah terdapat dalam bahan atau terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Umumnya, pigmen - pigmen ini bersifat tidak stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu. Tetapi pewarna alami ini umumnya aman dan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh. Pigmen pada kerabang memberikan warna kerabang telur menjadi putih, kecoklatan, kehijaun atau berbintik-bintik hitam. Menurut Rasyaf (1991 dalam Imran, 2010) pada telur puyuh, warna kerabang kecoklatan berbintik-bintik hitam yang tak beraturan berasal dari porfirin dan biliverdin
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
2
PENDAHULUAN
Latar Balakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar dengan berbagai kebudayaan, baik
tarian, pakaian adat, makanan, lagu daerah, kain, alat musik, dan lain sebagainya. Pada tanggal 2
Oktober 2009, UNESCO menetapkan salah satu budaya Indonesia yaitu batik sebagai warisan
budaya milik Indonesia (Widisarinasiti, 2011)
Pada umumnya bahan dasar yang digunakan untuk membuat batik kain adalah serat alam
(serat selulosa atau serat yang dihasilkan dari binatang). Jenis kain batik yang digunakan secara
umum di antaranya adalah kain katun, kain rayon, kain mori dan kain sutra. Jenis kain polyester
tidak dapat digunakan untuk membatik (Kudiya, 2008)
Zat pewarna yang biasa digunakan pada pemberian warna kain batik adalah zat warna
sintetis, seperti indigosol, rapid, soga ergan, dan soga croom (Mey, 2009) Penggunaan zat warna
sintetis untuk pencelupan mempunyai keuntungan, antara lain: pilihan warna lebih bervariasi,
ketahanan luntur tinggi, hasil pewarnaan cerah dan indah, proses mendapatkannya mudah,
pengerjaan pewarnaan lebih singkat dan selalu berhasil karena ada standar resep, dan memiliki
standar warna karena dapat diulang pewarnaannya. Namun, di balik kemudahan dan keuntungan
tersebut tersimpan beberapa kelemahan yaitu mencemari lingkungan dan mengandung sifat
karsinogenetik yang diduga kuat dapat mengakibatkan alergi kulit dan nantinya akan menjadi
kanker kulit (Sulasminingsih, 2006). Sejak 1 Agustus 1996 negara – negara maju, seperti Jerman
dan Belanda, telah melarang penggunaan zat pewarna berbahan kimia (Kwartiningsih, 2013)
Pemanfaatan zat pewarna alam untuk tekstil menjadi salah satu alternatif pengganti zat pewarna
sintetis.
Menurut Kwartiningsih (2013), bahan pewarna alami dapat diperoleh dari tanaman
ataupun hewan. Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang sudah terdapat dalam bahan atau
terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan. Beberapa pigmen alami yang
banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Umumnya,
pigmen - pigmen ini bersifat tidak stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu. Tetapi
pewarna alami ini umumnya aman dan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh.
Pigmen pada kerabang memberikan warna kerabang telur menjadi putih, kecoklatan,
kehijaun atau berbintik-bintik hitam. Menurut Rasyaf (1991 dalam Imran, 2010) pada telur
puyuh, warna kerabang kecoklatan berbintik-bintik hitam yang tak beraturan berasal dari porfirin
dan biliverdin
3
Porfirin adalah suatu senyawa organik yang mengandung empat cincin pirol, suatu cincin
segi lima yang terdiri dari empat atom karbon dengan atom nitrogen pada satu sudut. Senyawa
ini ditemukan pada sel hidup hewan dan tumbuhan, dengan berbagai macam fungsi biologis.
Empat atom nitrogen di tengah molekul porfirin dapat mengikat ion logam seperti magnesium,
besi, seng, nikel, kobal, tembaga, dan perak (Biesaga et al., 2000) (Gambar 1). Sedangkan
biliverdin (Gambar 2) adalah sebuah pigmen yang berwarna hijau kebiruan yang
terdapat dalam kerabang telur ayam dan spesies unggas lainnya (Yang et al., 2006)
Gambar 1. Porfirin Gambar 2. Biliverdin
Dilihat dari warna khas yang dimiliki, maka kerabang telur dapat dimanfaatkan sebagai
pewarna alami kain batik. Beberapa tahap yang penting dalam pewarnaan kain batik adalah
tahap mordanting, pewarnaan dan fiksasi. Hasil penelitian oleh Moerdoko (1975, dalam
Kwartiningsih, 2009), mordanting adalah perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar
lemak, minyak, kanji, dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan.
Tahap selanjutnya adalah proses pewarnaan dilakukan dengan pencelupan kain pada zat warna
dan proses fiksasi adalah proses penguncian warna kain. Proses ini dapat dilakukan dengan
menggunakan air atau tawas, tunjung, kapur dam prusi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menentukan pengaruh fiksatif (tunjung, tawas dan kapur) terhadap ketuaan warna kain
mori dan sutra dengan pewarna alami pigmen kerabang telur puyuh.
2. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutra terhadap pencucian.
3. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutra terhadap pencucian dan
penyetrikaan.
4
METODOLOGI
Bahan dan Piranti
Bahan yang digunakan adalah limbah kerabang telur puyuh yang diperoleh dari beberapa
pedagang telur puyuh di Salatiga, kain sutra dan kain mori. Selanjutnya, bahan kimiawi yang
digunakan adalah C2H5OH (teknis), HCl (teknis), Na2CO3 (Soda abu), Ca(OH)2 (kapur tohor),
Al2(SO4)3.18H2O (tawas), dan FeSO4 (tunjung).
Piranti yang digunakan dalam penelitian ini adalah Drying Cabinet, evaporator R-