Page 1
HASIL PENELITIAN OBLIGASI SYARIAH KORPORASI
Oleh Iwan Pontjowinoto, 2007
Diambil dari disertasi Program Doktor UNPAD
PENDAHULUAN
Tidak dapat disangkal lagi, krisis keuangan tahun 1997-1998 telah membawa
banyak perubahan dalam pasar keuangan dan pengelolaan keuangan di Indonesia. Salah
satu diantaranya adalah perubahan pembiayaan dari perbankan ke pasar modal, serta dari
pembiayaan melalui penjualan saham kepada publik menjadi penerbitan obligasi.
Fenomena lain yang patut disimak adalah pertumbuhan emisi obligasi syariah yang pesat
untuk beberapa tahun, tetapi kemudian terjadi penurunan yang drastis. Fenomena ini
patut dikaji untuk dapat lebih mengetahui potensi penerapan prinsip syariah di pasar
modal Indonesia.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada periode tahun 2002-2004,
pertumbuhan kredit yang diberikan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-
rata 16,6%. Demikian pula loan to deposit ratio (LDR) perbankan meningkat dari 44,4%
menjadi 58,3% pada akhir tahun 2004. Walaupun harus diakui bahwa tingkat LDR yang
hanya di bawah 60% masih jauh dari nilai ideal sekitar 85%. Disamping itu, data Bank
Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan terutama didorong oleh
pertumbuhan kredit perorangan, sementara pertumbuhan kredit untuk dunia usaha masih
sangat terbatas. Bank Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2002, dari sekitar Rp. 51
triliun tambahan kredit yang diberikan hanya kurang dari Rp. 28 triliun yang diberikan
kepada perusahaan. Dan pada tahun 2003 dan 2004, tambahan kredit kepada perusahaan
hanya sekitar Rp. 25 triliun. Sementara pembiayaan yang diterima perusahaan melalui
emisi obligasi pada tahun 2003 telah melebihi Rp. 25 triliun.
Populasi Emisi Obligasi periode 2000 - 2005
Periode Emisi Obligasi
Konvensional
Emiten Obligasi
Syariah
Total Observasi
Emisi Nilai Emisi Nilai Σ Emisi Σ Nilai
2000 15 5.613,0 - - 15 5.613,0
2001 3 2.875,0 - - 3 2.875,0
2002 7 5.975,0 1 175,0 8 6.150,0
2003 50 25.111,1 5 560,0 55 25.671,1
2004 36 14.643,0 7 654,0 43 15.297,0
2005 20 6.510,9 2 525,0 22 7.035,9
2006 14 11.150,1 1 200,0 15 11.350,1
Total 145 71.878,1 16 2.114,0 161 73.992,1
Sumber : Laporan Tahunan Bapepam
Page 2
Data Bapepam-LK menunjukkan bahwa setelah masa krisis ekonomi tahun 1997-
1998, pembiayaan yang diberikan melalui pasar modal telah beralih dari mayoritas
pembiayaan saham menjadi mayoritas pembiayaan obligasi, baik dari jumlah emiten
yang melakukan emisi maupun dari nilai emisi. Dan sejalan dengan berkembangnya
pembiayaan yang mengikuti prinsip Syariah Islam, sebagian dari pembiayaan obligasi
yang telah diberikan adalah pembiayaan obligasi syariah. Dimulai dengan penerbitan
Obligasi Syariah Mudharabah oleh PT Indonesia Sattelite Tbk. pada November 2002,
sampai dengan akhir tahun 2006 telah diterbitkan 16 obligasi syariah oleh berbagai jenis
perusahaan di Indonesia. Dan alasan karena sentimen agama tidak terbukti karena
beberapa perusahaan tersebut kepemilikannya tidak dikendalikan oleh orang yang
beragama Islam, dan bahkan manajemen puncak dari beberapa perusahaan juga bukan
muslim.
Pembiayaan obligasi secara alami mempunyai resiko yang lebih tinggi dari
pembiayaan dalam bentuk pinjaman bank yang umumnya berjangka lebih pendek, baik
bagi perusahaan yang menerima pembiayaan maupun bagi pemberi pembiayaan itu
sendiri. Pengambilan keputusan untuk memilih pembiayaan obligasi (hutang jangka
panjang) dapat berdasarkan pada strategi manajemen untuk mencapai suatu nisbah hutang
terhadap modal, atau lazim disebut rasio struktur modal, yang tertentu (sesuai dengan
teori-teori trade-off) ataupun lebih mempertimbangkan biaya dalam mendapatkan
pembiayaan (mengikuti model pecking order), atau mempertimbangkan kondisi pasar
modal atau market timing.
Sesuai dengan ketentuan Majelis Ulama Indonesia, semua pembiayaan syariah,
termasuk pembiayaan obligasi syariah, harus mengikuti persyaratan yang ditentukan
dalam Syariah Islam. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia telah mendirikan Dewan
Syariah Nasional yang antara lain bertugas untuk memberikan fatwa mengenai kegiatan
lembaga keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional (2001) telah telah memberikan
fatwa bahwa pembiayaan hanya dapat diberikan pada perusahaan yang jenis usahanya
tidak bertentangan dengan Syariah Islam dan yang kondisinya layak untuk mendapat
pembiayaan secara Syariah.
Jenis usaha yang sesuai dengan Syariah adalah jenis usaha yang tidak termasuk
(a) usaha perjudian atau perdagangan yang dilarang oleh peraturan perundang undangan
yang berlaku, (b) usaha lembaga keuangan konvensional, (c) usaha memproduksi,
mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram menurut
Syariah Islam, dan (d) usaha memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-
barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Sedangkan kondisi perusahaan yang tidak layak untuk menerima pembiayaan
syariah adalah perusahaan yang (a) struktur hutang terhadap modal yang sangat
tergantung pada pembiayaan ribawi, yaitu pembiayaan yang bertentangan dengan Syariah
Islam, (b) nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82 persen, dan (c) kegiatan
manajemen telah melanggar prinsip usaha yang Islami.
Page 3
Ketentuan mengenai struktur modal yang dalam keuangan syariah disebut sebagai
nisbah hutang terhadap modal, ditetapkan untuk menghindari timbulnya kondisi yang
dalam Syariah Islam disebut sebagai kondisi gharar dan maysir (Vogel dan Hayes,
1998). Kondisi gharar secara umum dapat disamakan dengan kondisi yang memiliki
keraguan yang dapat merugikan. Sedangkan kondisi maysir secara umum adalah
pengambilan resiko yang melebihi kemampuan yang wajar dalam mengelolanya.
Penentuan nisbah hutang terhadap modal –atau yang dalam istilah keuangan
disebut sebagai rasio struktur modal– yang telah diambil oleh Dewan Syariah Nasional
didasarkan pada praktek usaha dan perdagangan pada zaman Nabi Muhammad SAW
yang kemudian diusahakan untuk disesuaikan dengan kondisi masa kini. Pada zaman
Nabi Muhammad SAW sebagian besar kegiatan usaha berkaitan dengan perdagangan dan
pertukangan serta pengadaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pada saat itu
kelaziman pedagang tidak memiliki hutang lebih dari setengah dari nilai modal (debt-to-
equity ratio ≤ 0.5), baik pembiayaan melalui akad pembiayaan dimana pemilik modal
dapat ikut dalam kegiatan usaha maupun dimana pemilik modal tidak ikut dalam
kegiatan usaha. Hutang yang terjadi umumnya akibat transaksi perdagangan yang tidak
tunai, baik melalui akad jual beli dengan pembayaran tertunda, atau dengan penyerahan
tertunda, atau atas dasar pesanan dengan pembayaran uang muka. Sedangkan kewajiban
yang timbul akibat akad sewa dari aset umumnya hanya berkaitan dengan pengadaan
barang modal.
Pada saat ini kegiatan usaha tidak terbatas pada perdagangan dan pertukangan
saja, tetapi sudah mencakup kegiatan ekploitasi sumber daya alam, pengolahan dan
produksi secara masal, serta jasa-jasa baik untuk memenuhi kebutuhan perorangan
maupun untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya.
Akibatnya sebagian dari kebutuhan usaha yang dahulu harus diusahakan sendiri oleh
pengusaha atau pedagang, seperti kebutuhan untuk transportasi, komunikasi, pengepakan,
distribusi dan perbaikan barang dagangan, kini dapat dikerjakan oleh pihak lain sebagai
pemberi jasa (outsourcing). Sehingga kebutuhan modal untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tersebut bisa digantikan dengan biaya jasa-jasa kepada pemberi jasa. Oleh
karena itu timbul pertanyaan mengenai batasan maksimal nisbah hutang terhadap modal
yang wajar untuk kegiatan usaha dibandingkan dengan (sasaran) batas nisbah yang
optimal.
KONSEP PEMBIAYAAN SYARIAH
Sebenarnya pembiayaan syariah tidak mengenal pembedaan antara pembiayaan
instrumen hutang dengan pembiayaan instrumen ekuitas. Konsep Syariah Islam hanya
mengenal dana sendiri dari pemilik usaha, yang membawa hak kepada pemilik usaha, dan
dana dari pihak lain, yang membawa kewajiban kepada perusahaan. Sehingga bila
diterapkan dalam sistim konvensional, maka obligasi syariah dengan akad mudharaba
dapat didefinisikan sebagai dana pihak lain dengan prinsip bagi hasil seperti efek ekuitas.
Namun karena berupa obligasi maka instrumen tersebut mendapat perlakukan pajak dan
senioritas dalam pembayaran kembali seperti efek hutang.
Page 4
Teori-teori mengenai struktur modal umumnya dikembangkan dengan asumsi
bahwa semua hutang yang diberikan membawa beban biaya berupa bunga, dan perlakuan
pajak atas bunga tidak selalu sama dengan perlakuan pajak atas pajak maupun atas
dividen dan capital gain. Sementara dalam pembiayaan syariah dilarang adanya bunga
sebagaimana yang dikenakan pada pembiayaan konvensional.
Dalam sistim ekonomi syariah terdapat pandangan bahwa all-equity structure
adalah satu-satunya solusi yang efisien, sehingga seharusnya pembiayaan ekuitas lebih
mendapat prioritas dibandingkan dengan pembiayaan hutang. Namun dalam dunia
keuangan yang berlaku saat ini terdapat hal-hal yang membuat pembiayaan hutang lebih
disukai dibandingkan dengan pembiayaan ekuitas, yaitu (1) manfaat dari pajak (tax
shield) yang diberikan pada pendapatan akibat biaya bunga yang dibayarkan, (2)
berkurangnya resiko moral hazard, (3) menghindari dilusi pendapatan, (4) biaya
pembiayaan yang (dipandang) lebih rendah.
Dalam konteks Syariah Islam, manfaat pajak tidak bisa secara langsung berlaku
karena dalam pembiayaan syariah tidak dikenal pembayaran (maupun penerimaan)
bunga. Sementara resiko moral hazard dalam sistim syariah relatif lebih tinggi karena
kebutuhan akan informasi yang lebih tinggi pada pembiayaan ekuitas dibandingkan
dengan pembiayaan hutang. Pada pembiayaan hutang, persyaratan dan kondisi dari
kontrak memberikan perlindungan yang lebih besar kepada pemberi pembiayaan hutang
dibandingkan dengan pada pembiayaan ekuitas (Vogel dan Hayes, 1998).
Sistim syariah yang lebih mengutamakan ekuitas dibandingkan dengan kredit
mempunyai dua moda pembiayaan. Moda pembiayaan yang primer merupakan akad
penggabungan sumber daya keuangan dimana (1) pemberi pembiayaan dapat terlibat
secara aktif dalam kegiatan usaha -yang lazim disebut sebagai akad Musyarakah-, atau
(2) pemberi pembiayaan hanya bersifat pasif namun memberikan seluruh pembiayaan
yang diperlukan -atau lazim disebut sebagai akad Mudharabah-. Dalam moda
pembiayaan primer, pemberi pembiayaan berhak memperoleh bagi dari hasil (baik positif
maupun negatif) dari kegiatan usaha yang dibiayai (Umer Chapra, 2000).
Moda pembiayaan sekunder merupakan akad pertukaran produk/jasa dengan dana
atau lazim disebut akad jual beli, yang umumnya dapat berbentuk:
(1) pemberian fasilitas penundaan pembayaran - akad Murabahah,
(2) pemberian fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi - akad Salam,
(3) pemberian modal untuk memproduksi obyek transaksi sesuai dengan kontrak -
akad Istisna’,
(4) pemberian fasilitas sewa - akad Ijarah, dan
(5) pemberian fasilitas sewa dengan opsi untuk membeli - akad Ijarah wa Iqtina.
Dalam moda pembiayaan sekunder, pemberi pembiayaan berhak untuk
menetapkan marjin laba yang umumnya merupakan fungsi dari manfaat yang diterima
oleh perusahaan. Dan pemberi pembiayaan dapat menentukan jangka waktu dan cara
Page 5
pembayaran (atau penyerahan obyek transaksi), namun tidak berhak untuk meminta
tambahan atau mengenakan denda atas keterlambatan pembayaran (penyerahan).
Moda pembiayaan primer yang disebut Musyarakah mempunyai ciri serupa
dengan pembiayaan melalui penerbitan saham. Namun pemberi pembiayaan dalam
pembiayaan syariah, yang dalam hal ini adalah pemegang saham, berhak menentukan
waktu dan jumlah pembelian kembali saham oleh perusahaan.
Moda pembiayaan primer yang disebut Mudharabah, instrumen yang digunakan
dapat berbentuk saham ataupun obligasi –termasuk obligasi konversi. Karena kegiatan
usaha yang menjadi obyek pembiayaan tidak harus berbentuk badan hukum perusahaan,
tetapi dapat merupakan divisi atau unit usaha yang memiliki pembukuan yang terpisah
dari induk perusahaan. Hanya dalam moda pembiayaan mudharabah, pemberi
pembiayaan menanggung seluruh resiko pembiayaan karena kerugian yang timbul
menjadi tanggung jawab pemberi pembiayaan.
Instrumen yang digunakan dalam moda pembiayaan sekunder dapat berupa surat
hutang, obligasi, atau dalam hal ijarah dan ijarah wa iqtina dalam berupa kontrak sewa
dan kontrak sewa-beli. Sehingga dalam pembukuan perusahaan, pembiayaan yang
diterima melalui moda pembiayaan sekunder ini akan dibukukan sebagai hutang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pembiayaan syariah, jenis pembiayaan
dapat dikelompokkan menjadi:
1) Pembiayaan ekuitas dalam bentuk saham dengan akad Musyarakah dengan biaya
atas pembiayaan yang diterima berupa dividen.
2) Pembiayaan kuasi-ekuitas yang bisa berbentuk saham maupun obligasi dengan
ketentuan tertentu, dengan akad Mudharabah dengan biaya atas pembiayaan yang
diterima berupa bagi hasil.
3) Pembiayaan hutang untuk pengadaan obyek transaksi, baik berupa barang modal,
bahan baku, maupun barang dagangan, dengan akad-akad Murabahah, Salam, dan
Istisna’ dengan biaya atas pembiayaan yang diterima berupa marjin pembiayaan.
4) Pembiayaan sewa dengan akad Ijarah, dengan biaya berupa biaya sewa.
Akibatnya dalam pembiayaan syariah, biaya atas pembiayaan yang diterima dapat
berupa dividen/bagi hasil, marjin pembiayaan atau biaya sewa. Bagi hasil merupakan
fungsi dari hasil usaha berupa laba perusahaan tanpa memperhitungkan bunga dan
dampak pajak atas bunga, dengan suatu nisbah atau dividend payout ratio yang telah
ditentukan dimuka dan tidak dapat dirubah oleh manajemen tanpa persetujuan pemegang
saham sebagai pemberi pembiayaan. Marjin pembiayaan ditentukan dimuka atas
kesepakatan dari manajemen dengan pemberi pembiayaan, berdasarkan perkiraan hasil
usaha yang dibiayai dan tidak merupakan fungsi dari jangka waktu pembiayaan. Oleh
karena itu penelitian ini berusaha untuk mendalami implikasi dari karakteristik
pembiayaan syariah pada teori-teori yang mendukung model dari struktur modal., untuk
selanjutnya diterapkan dalam mencari hubungan antara struktur modal dengan indikator-
indikator finansial yang berkaitan dengan kinerja perusahaan
Page 6
PEDOMAN KELAYAKAN PEMBIAYAAN OBLIGASI SYARIAH
Masalah utama yang perlu dipecahkan sehubungan dengan pembiayaan obligasi
syariah adalah penilaian tingkat kelayakan pembiayaan obligasi syariah. Dalam
pembiayaan konvensional dikenal pembedaan antara pembiayaan ekuitas (modal) dengan
pembiayaan hutang, sehingga dikenal rasio pembiayaan hutang terhadap modal. Dimana
dalam pembiayaan ekuitas pemberi pembiayaan berhak untuk mendapatkan dividen,
sedangkan dalam pembiayaan hutang pemberi pembiayaan umumnya berhak mendapat
imbalan bunga. Dan sebagaimana diketahui biaya bunga dapat mengurangi pajak,
sedangkan dividen dibayarkan setelah pembebanan pajak.
Dalam pembiayaan syariah dikenal pembedaan antara pembiayaan primer yang
merupakan pembiayaan langsung atas suatu kegiatan usaha dan pembiayaan sekunder
yang merupakan pembiayaan yang terkait dengan akad pengadaan produk/jasa yang pada
dasarnya adalah ikatan transaksi, atau akad, jual-beli. Pembiayaan primer umumnya
memberi hak atas bagi hasil untuk pemberi pembiayaan (investor), sedangkan
pembiayaan sekunder umumnya memberi hak atas marjin laba atau sewa bagi pemberi
pembiayaan. Berbeda dengan pembiayaan konvensional, biaya bagi hasil dalam
pembiayaan syariah tidaklah sama dengan dividen karena dapat menggunakan instrumen
obligasi, yaitu Obligasi Syariah Mudharabah. Sehingga sebenarnya biaya bagi hasil dapat
dibebankan sebagai biaya dana yang dapat mengurangi pajak.
Hal ini disebabkan karena dalam pembiayaan konvensional obligasi pada
dasarnya adalah instrumen untuk pembiayaan hutang, sehingga tidak digunakan dalam
pembiayaan ekuitas. Karena itu obligasi umumnya membawa konsekuensi biaya bunga
kepada penerbit (emitan). Dalam pembiayaan syariah, obligasi dipandang sebagai
instrumen yang membawa kewajiban (obligation) bagi pihak penerbit (emiten) dan hak
bagi pihak pembeli instrumen (investor). Sehingga obligasi dapat digunakan untuk
pembiayaan primer yang berdasarkan prinsip bagi hasil, maupun untuk pembiayaan
sekunder yang memberikan hak marjin laba atau hak menerima pembayaran sewa. Beban
biaya yang terkait dengan pembiayaan obligasi dapat dibebankan sebagai biaya, yang
akan mengurangi pajak.
Obligasi Syariah yang telah diterbitkan berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional, Majelis Ulama Indonesia adalah Obligasi Syariah Mudharabah dan Obligasi
Syariah Ijarah.
Obligasi Syariah Mudharabah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah
yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi
Syariah Mudharabah berupa bagi hasil dari kegiatan usaha yang dibiayai oleh dana
obligasi, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Nisbah bagi hasil
atas keuntungan (maupun kerugian) yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dibiayai
oleh dana obligasi tersebut, ditentukan sesuai kesepakatan yang diambil sebelum emisi
Obligasi Syariah Mudharabah tersebut.
Page 7
Sedangkan Obligasi Syariah Ijarah adalah surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang Obligasi
Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang
Obligasi Syariah Ijarah berupa sewa/fee ijarah secara teratur pada masa sewa dan
membayar sisa sewa/fee ijarah pada saat jatuh tempo. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah
dapat bertindak sebagai penyewa maupun sebagai pemberi sewa. Emiten dapat bertindak
sebagai wakil pemegang Obligasi Syariah Ijarah untuk menyewa obyek ijarah dan
menggunakannya untuk kepentingannya sendiri atau menyewakan obyek ijarah kepada
pihak lain. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk kepentingannya sendiri,
maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai
imbalan sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
Obligasi syariah yang menjadi obyek penelitian ini terdiri dari 2 Obligasi Syariah
Mudharabah dan 6 Obligasi Syariah Ijarah. Seluruh obligasi syariah tersebut diterbitkan
bersamaan dengan penerbitan obligasi konvensional, yaitu:
1. Obligasi Syariah Mudharabah Indosat Tahun 2002, senilai Rp.175 milyar,
diterbitkan untuk jangka waktu 5 tahun, bagi hasil dihitung berdasarkan
pendapatan jasa internet dan pendapatan sewa satelit yang sudah dimiliki oleh PT
Indosat Tbk. dengan nisbah bagi hasil mengambang. Bagi hasil untuk tahun 2003
sebesar Rp.28,67 milyar atau setara 16,38% per tahun. Pada saat yang bersamaan
Indosat menerbitkan a) obligasi konvensional senilai Rp.775 milyar dengan bunga
tetap 15.75% per tahun untuk jangka waktu 5 tahun, b) obligasi konvensional
senilai Rp.200 milyar dengan bunga tetap 16,0% per tahun untuk jangka waktu 30
tahun, dan c) obligasi konvensional senilai Rp.100 milyar untuk jangka waktu 5
tahun dengan bunga mengambang sebesar bunga deposito bank umum tertentu
ditambah premi 1.625% dengan tingkat bunga dibatasi minimal 15% dan
maksimal 18% per tahun.
2. Obligasi Syariah Mudharabah Berlian Laju Tanker Tahun 2004, senilai Rp. 60
milyar, diterbitkan untuk jangka waktu 5 tahun, bagi hasil dihitung berdasarkan
pendapatan operasi KM Gandhini yang sudah dimiliki oleh PT Berlian Laju
Tanker dengan nisbah bagi hasil 25% dari pendapatan operasi. Nilai bagi hasil
untuk tahun 2004 adalah Rp.8,875 milyar, setara 14,79% per tahun. Pada saat
yang bersamaan Berlian Laju Tanker menerbitkan a) obligasi konvensional
sebesar Rp.294,8 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14.75%
per tahun dan b) obligasi konvensional sebesar Rp. 45,2 milyar untuk jangka
waktu 5 tahun dengan bunga mengambang sebesar deposito bank tertentu
ditambah premi 2,5%.
3. Obligasi Syariah Ijarah Berlina Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah aset yang
sudah dimiliki oleh Berlina, dengan cicilan fee ijarah sebesar Rp.2,92
milyar/triwulan untuk jangka waktu 5 tahun, sisa fee ijarah Rp. 85 milyar
dibayarkan pada akhir ijarah. Biaya dana ini setara dengan bunga tetap
13,75%/tahun. Pada saat yang bersamaan Berlina menerbitkan a) obligasi
konvensional dengan bunga tetap 12.625% per tahun senilai Rp.43 milyar untuk 3
tahun, dan b) obligasi konvensional dengan bunga tetap 13,75% per tahun senilai
Rp.32 milyar untuk 5 tahun.
Page 8
4. Obligasi Syariah Ijarah Humpuss Intermoda Tahun 2004, dengan obyek ijarah
adalah kapal yang sudah dimiliki oleh PT Humpuss Intermoda, dengan cicilan fee
ijarah Rp.17,08 milyar per tahun untuk jangka waktu 5 tahun, Sisa Fee Ijarah
sebesar Rp.122 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. Biaya dana ini setara dgn
bunga tetap 14,0% per tahun. Pada saat yang bersamaan Humpuss menerbitkan a)
obligasi konvensional senilai Rp.109 milyar untuk jangka waktu 3 tahun dengan
bunga tetap 13,625% per tahun dan b) obligasi konvensional senilai Rp.119
milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14,0% per tahun.
5. Obligasi Syariah Ijarah Matahari Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah ruang
usaha yang akan disewa sesuai kebutuhan Matahari, dimana cicilan fee ijarah
Rp.20,7 milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun, sisa fee ijarah
sebesar Rp.150 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. (Setara dengan 13,8% per
tahun.) Pada saat yang bersamaan Matahari menerbitkan obligasi konvensional
dengan bunga tetap 13,8% per tahun senilai Rp.300 milyar untuk jangka waktu 5
tahun.
6. Obligasi Syariah Sona Topas Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah ruang
usaha yang sudah dimiliki oleh Sona Topas, dengan cicilan fee ijarah Rp.7,67
milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun dan sisa fee ijarah Rp.52
milyar dibayarkan pada akhir Ijarah. (Setara dengan 14.75% per tahun). Pada saat
yang bersamaan, Sona Topas menerbitkan obligasi konvensional senilai Rp.100
milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14,75% per tahun.
7. Obligasi Syariah Ijarah Apexindo Tahun 2005, dengan obyek ijarah rig
pengeboran minyak yang sudah dimiliki oleh Apexindo, dimana fee ijarah
Rp.29,4 milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun dan sisa fee
ijarah Rp.240 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. (Setara dengan bunga tetap
12.25% per tahun). Pada saat yang bersamaan, Apexindo menerbitkan obligasi
konvensional sebesar Rp. 510 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga
tetap 12.25% per tahun.
8. Obligasi Syariah Ijarah Indosat Tahun 2005, dengan obyek ijarah adalah Satelit
sudah dimiliki oleh PT Indosat, dimana cicilan fee ijarah Rp. 8,55 milyar per
triwulan dibayarkan untuk jangka waktu 6 tahun dan sisa fee ijarah sebesar Rp.
285 milyar dibayarkan pada akhir Ijarah. (Setara dengan bunga tetap 12,0% per
tahun). Pada saat yang bersamaan Indosat menerbitkan obligasi konvensional
dengan bunga tetap 12,0% per tahun senilai Rp.815 milyar untuk jangka waktu 6
tahun.
Dari data emisi obligasi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa nilai emisi dan biaya
dana untuk obligasi syariah adalah 2 obligasi syariah mudharabah dengan nilai emisi Rp.
235 milyar dan biaya dana variabel, serta 6 obligasi syariah ijarah dengan nilai emisi Rp.
934 milyar dan biaya dana tetap. Sementara pada saat yang bersamaan, emiten-emiten
tersebut juga menerbitkan obligasi-obligasi konvensional dengan bunga mengambang
sebesar Rp. 145 milyar dan dengan bunga tetap sebesar Rp.3.300 milyar. Baik biaya dana
mengambang (variabel rate) untuk obligasi syariah mudharabah maupun biaya dana tetap
(fixed rate) untuk obligasi syariah ijarah yang ditetapkan oleh emiten, dan diterima oleh
investor, pada awal periode penerbitan obligasi syariah adalah setara dengan biaya dana
untuk obligasi konvensional dengan bunga tetap.
Page 9
Penelitian dengan model pengaruh struktur modal tidak memberikan perbedaan
yang signifikan antara pengaruh obligasi konvensional dibandingkan dengan pengaruh
obligasi syariah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa obligasi syariah ijarah secara
kuantitatif tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan obligasi konvensional.
Sedangkan obligasi syariah mudharabah mungkin memberikan pengaruh yang berbeda.
Namun nisbah bagi hasil yang ditentukan ternyata memberikan biaya dana yang setara
dengan obligasi konvensional. Oleh karena itu, setidaknya untuk obligasi syariah ijarah,
nilai optimal dari struktur dana untuk pembiayaan dengan obligasi konvensional juga
berlaku untuk pembiayaan dengan obligasi syariah.
Secara kualitatif terdapat perbedaan yang mungkin signifikan antara pembiayaan
dengan obligasi syariah dibandingkan dengan pembiayaan dengan obligasi konvensional.
Pada semua emisi obligasi syariah yang ada, pembiayaan dikaitkan langsung dengan
pengadaan atau penguasaan aset yang telah, atau diyakini akan, diusahakan dan
memberikan hasil usaha yang memadai. Keyakinan tersebut dilandaskan pada data-data
untuk 2 tahun sebelum emisi yang sesuai dengan ketentuan Bapepam-LK wajib
dicantumkan dalam prospektus emisi obligasi untuk menjadi pertimbangan bagi (calon)
investor yang (berminat) membeli obligasi tersebut.
Berbeda dengan obligasi syariah, pada emisi obligasi konvensional, emiten tidak
harus menguraikan pengadaan atau penguasaan aset yang akan diusahakan. Bahkan bila
emiten sudah menguraikan rencana pengadaan atau penguasaan aset, tidak terdapat
sanksi atau kewajiban melaporkan bila aset tersebut tidak diadakan atau tidak dikuasai
dalam jangka waktu tertentu. Disamping itu, pembiayaan dengan obligasi tersebut
mungkin relatif lebih rendah dari pembiayaan lainnya. Sehingga walaupun terdapat aset
yang dimiliki atau dikuasai dengan menggunakan dana hasil emisi obligasi tersebut,
terdapat aset lain yang mungkin relatif lebih besar yang diperoleh dengan pembiayaan
lain. Akibatnya bila kegiatan usaha berdasarkan aset lain tersebut mengalami masalah
atau setidaknya memberikan hasil yang lebih rendah dari kegiatan usaha berdasarkan aset
yang diperoleh dengan dana hasil emisi obligasi tersebut, maka terjadi penurunan kinerja
secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi kemampuan emiten untuk memenuhi
kewajiban kepada pemegang obligasi tersebut. Sedangkan pada seluruh emisi obligasi
syariah, kecuali pada kasus Matahari, semua aset yang menjadi dasar pembiayaan
obligasi syariah sudah dimiliki atau dikuasai oleh emiten. Sehingga risiko pembiayaan
obligasi syariah tentunya lebih rendah dari risiko pembiayaan obligasi konvensional, oleh
karena itu batas kelayakan dari nisbah hutang terhadap modal pada pembiayaan obligasi
syariah dapat lebih tinggi dari nisbah yang sama pada pembiayaan obligasi konvensional.
STRATEGI KEUANGAN DENGAN OBLIGASI SYARIAH
Operasionalisasi strategi dalam perspektif keuangan tergantung kepada jenis
industri, kondisi ekonomi, kondisi pasar keuangan dan karakteristik perusahaan. Dalam
penelitian lebih lanjut mengenai emisi obligasi syariah oleh emiten tersebut diketahui
bahwa :
Page 10
1. PT Indosat menerbitkan obligasi syariah mudharabah dengan nilai Rp.175 milyar
untuk pembiayaan usaha internet dan penyewaan satelit pada tahun 2002 dan
kemudian menerbitkan obligasi syariah ijarah senilai Rp.285 milyar dengan obyek
ijarah adalah satelit pada tahun 2005. Porsi pembiayaan syariah meningkat dari
20% di tahun 2002 menjadi 26% di tahun 2005. Laporan keuangan PT Indosat
menyatakan dengan khusus hasil usaha dalam bidang internet dan penyewaan
satelit sehingga terdapat keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan
obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan.
2. PT Berlian Laju Tanker menerbitkan obligasi syariah mudharabah pada tahun
2004 dengan nilai Rp.60 milyar untuk pembiayaan usaha penyewaan kapal
tertentu. Laporan keuangan PT Berlian Laju Tanker menyatakan dengan khusus
hasil usaha penyewaan untuk kapal tertentu tersebut sehingga terdapat
keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan syariah pada kinerja
keuangan perusahaan. Laporan keuangan juga menunjukkan bahwa PT Berlian
Laju Tanker mengambil pinjaman dalam valuta asing untuk tahun 2005 dan 2006
dengan bunga yang relatif lebih rendah dan laba usaha untuk tahun yang
bersangkutan meningkat.
3. PT Sona Topas menerbitkan obligasi syariah ijarah pada tahun 2004 senilai Rp.52
milyar dengan obyek ijarah ruang usaha tertentu yang sudah dimiliki oleh PT
Sona Topas. Laporan keuangan PT Sona Topas menunjukkan nilai aktiva tetap
untuk kegiatan penyewaan dan hasil pendapatan sewa sehingga terdapat
keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan syariah pada kinerja
keuangan. Disamping itu terdapat informasi yang menunjukkan bahwa PT Sona
Topas menggunakan dana hasil penerbitan obligasi untuk melunasi hutang dalam
valuta asing.
4. PT Apexindo menerbitkan obligasi ijarah pada tahun 2005 senilai Rp.240 milyar
dengan obyek ijarah rig pengeboran minyak yang sudah dimiliki oleh PT
Apexindo. Walaupun laporan keuangan PT Apexindo menunjukkan hasil
pendapatan dari usaha pengeboran minyak, namun tidak terdapat informasi
mengenai nilai rig pengeboran minyak yang disewakan sehingga tidak terdapat
informasi yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi
syariah pada kinerja keuangan perusahaan. Terdapat informasi yang menunjukkan
bahwa PT Apexindo melakukan swap bunga atas obligasi yang diterbitkan dengan
pinjaman valas sehingga dapat menurunkan beban biaya atas pembiayaan obligasi
(konvensional dan syariah) tersebut.
5. PT Berlina dan PT Matahari Putra Prima juga menerbitkan obligasi syariah ijarah
untuk membiayai kembali aset usaha yang dimiliki sebagaimana halnya yang
dilakukan oleh PT Sona Topas. Namun dalam laporan keuangan PT Berlina
maupun PT Matahari Putra Prima tidak terdapat informasi yang diperlukan untuk
mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan
perusahaan.
6. PT Humpuss Intermoda juga menerbitkan obligasi syariah ijarah untuk
membiayai kembali kapal yang sudah dimiliki sebagaimana yang dilakukan oleh
PT Berlian Laju Tanker, dimana pendapatan sewa kapal dihitung dalam valuta
asing. Namun dalam laporan keuangan PT Humpuss Intermoda tidak terdapat
Page 11
informasi yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi
syariah pada kinerja keuangan perusahaan.
7. Seluruh emiten yang menerbitkan obligasi syariah dan konvensional tersebut (7
emiten dengan 8 emisi) ternyata telah membeli kembali sebagian dari obligasi
yang diterbitkannya yang mempunyai dampak baik dalam penurunan beban
pembiayaan obligasi maupun dalam penurunan tingkat leverage struktur modal.
Disamping itu, ternyata seluruh emiten tersebut sudah atau masih memiliki
pinjaman dalam valuta asing dan pernah atau masih mempunyai pendapatan
dalam valuta asing.
Penerbitan obligasi syariah adalah untuk menarik dana investasi dari sumber baru,
yaitu lembaga keuangan syariah dan para pemilik dana yang ingin melakukan investasi
yang sesuai dengan prinsip Syariah Islam. Disamping itu penerbitan obligasi syariah
diperlukan untuk memberikan alternatif investasi bagi lembaga keuangan syariah dan
reksa dana syariah, serta untuk melengkapi portofolio investasi syariah dengan instrumen
investasi jangka panjang yang memberikan hasil yang tetap atau teratur (fixed income).
Namun beberapa pihak terkait dengan emisi obligasi syariah menyatakan bahwa usaha
menerbitkan obligasi syariah adalah bagian dari idealisme mereka untuk
mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia, bahkan ingin menunjukkan bahwa
prinsip syariah berlaku universal.
Jenis akad atau jenis obligasi syariah yang paling diharapkan adalah jenis obligasi
syariah mudharabah yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Hal itu terbukti bahwa 2
obligasi syariah yang pertama diterbitkan adalah obligasi syariah mudharabah. Namun
penerbitan obligasi syariah mudharabah mendapat kendala pada penyusunan pedoman
penghitungan bagi hasil, yang seharusnya dihitung terhadap laba usaha. Oleh karena itu
diadakan pendekatan dengan mengadakan bagi hasil terhadap pendapatan usaha.
Kemudian setelah diterbitkan obligasi syariah ijarah yang dikaitkan langsung dengan
pengadaan atau keberadaan aset tetap yang dapat disewakan (misalnya kapal, ruang
komersil), maka struktur akad ijarah lebih disukai karena dapat memberikan keteraturan
dan kepastian hasil investasi.
Proses penentukan tingkat bagi hasil atau fee ijarah ditentukan oleh mekanisme
pasar. Mengingat pasar obligasi lebih mengenal obligasi konvensional, maka untuk
seluruh emisi obligasi syariah dilakukan bersamaan dengan emisi obligasi konvensional
dan dengan tingkat hasil investasi yang setara.
Secara struktur maupun dari tingkat hasil investasi (yang menjadi biaya agensi
bagi perusahaan), tidak terdapat perbedaan antara obligasi syariah dan obligasi
konvensional. Namun secara kualitatif, risiko investasi pada obligasi syariah lebih kecil
daripada obligasi konvensional karena pada obligasi syariah terdapat pembatasan
(covenants) penggunaan dana yang hanya dapat digunakan untuk pengadaan aset
produktif. Sementara tidak terdapat pembatasan dan sanksi atas ketidakpatuhan pada
penggunaan dana hasil emisi obligasi konvensional.
Page 12
Data dari laporan keuangan menunjukkan bahwa seluruh emiten menggunakan
penerbitan obligasi (konvensional maupun syariah) untuk mengatur kembali pembiayaan
hutang yang diterima dan telah membeli kembali sebagian dari obligasi yang diterbitkan
untuk mendapat keseimbangan rasio pembiayaan hutang dan ekuitas (struktur modal).
Dari analisis atas strategi keuangan yang diambil oleh manajemen sehubungan
dengan emisi obligasi syariah dapat diambil kesimpulan bahwa emiten telah menjalankan
kegiatan market timing yang menjadi taktik dari strategi valuasi pasar terhadap aset,
dengan menyesuaikan jumlah saham dan/atau obligasi yang beredar dengan
keseimbangan rasio pembiayaan ekuitas dan hutang yang diharapkan (struktur modal
yang optimal). Emiten yang telah menerbitkan obligasi syariah berarti menjalankan
strategi pembiayaan aset produktif karena pembiayaan obligasi syariah harus dikaitkan
dengan pengadaan atau keberadaan aset produktif.
PENGELOLAAN KINERJA KEUANGAN DENGAN OBLIGASI SYARIAH
Dari emiten obligasi syariah diadakan penelitian kasus pada 3 (tiga) emiten, yaitu
PT Indosat Tbk., PT Berlian Laju Tanker Tbk. dan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk.
Adapun alasan utama pemilihan adalah karena terdapat keterbukaan informasi dalam
laporan keuangan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja
keuangan perusahaan.
PT. Indosat Tbk.
Laporan keuangan PT Indosat Tbk. menunjukkan bahwa laba usaha perusahaan
meningkat dengan baik dan walaupun total nilai pembiayaan ekuitas dan hutang juga
meningkat, namun rasio antara laba usaha terhadap total pembiayaan juga meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi membawa pengaruh positif terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Tingkat financial leverage selama tahun penelitian menunjukkan
rata-rata 34,6%, berada di sekitar tingkat optimal yaitu 32,20%. Walaupun pendapatan
dari kegiatan telekomunikasi internasional dan sewa satelit yang awalnya menjadi
kegiatan utama PT Indosat Tbk menurun, namun dengan investasi pada aset produktif
lainnya, pendapatan dari kegiatan usaha selular dan MIDI telah meningkat pesat.
Sehingga membawa dampak positif pada kinerja keuangan, walaupun pendapatan
telekomunikasi internasional dan sewa satelit umumnya dalam valuta asing dan
pendapatan usaha selular umumnya dalam rupiah.
Laporan keuangan menunjukkan bahwa laba bersih yang menjadi hasil bagi
pemegang saham ternyata mengalami penurunan yang diakibatkan oleh perubahan beban
pembiayaan dan beban transaksi derivatif akibat perubahan nilai tukar valuta. Ternyata
kegiatan lindung nilai yang dilakukan oleh manajemen tidak membawa hasil yang positif.
Walaupun telah mengambil kebijakan yang tepat dalam pengelolaan struktur modal,
namun perlu mengambil strategi pengelolaan risiko valuta yang lebih baik.
Page 13
Kinerja Keuangan PT Indosat Tbk.
INDOSAT 2002 2003 2004 2005 2006 Rata2
Laba Bersih 569,2 1,604,5 1,658,2 1,654,9 1,446,6 1,386,7
Ekuitas 10,603,4 12,039,9 13,184,6 14,315,3 15,201,7 13,069,0
Hasil Pembiayaan Ekuitas 5.37% 13.33% 12.58% 11.56% 9.52% 10.47%
Beban Pembiayaan Obligasi 359,8 694,3 701,2 816,1 621,8 638,7
Total Pembiayaan Obligasi 2,250,0 4,750,0 4,750,0 5,850,0 4,850,0 4,490,0
Hasil Pembiayaan Obligasi 15.99% 14.62% 14.76% 13.95% 12.82% 14.43%
Laba Usaha 1,911,8 2,347,9 3,234,7 3,651,9 3,398,7 2,909,0
Pembiayaan Ekuitas dan
Hutang 18,809,6 22,474,4 22,721,1 26,817,6 26,623,2 23,489,2
Hasil Pembiayaan E dan H 10.16% 10.45% 14.24% 13.62% 12.77% 12.25%
Beban Pembiayaan Syariah 5,2 31,2 38,8 62,5 77,6 43,1
Pembiayaan Obl. Syariah 175,0 175,0 175,0 460,0 460,0 289,0
Hasil Pembiayaan Obligasi Syariah 17.92% 17.85% 22.15% 13.58% 16.87% 17.67%
Laba Usaha Syariah 17,1 96,8 135,5 209,1 188,1 129,3
Nisbah Bagi Hasil Syariah 30.52% 32.28% 28.60% 29.89% 41.25% 32.51%
Sumber : Laporan Keuangan PT Indosat Tbk. diolah kembali.
PT Berlian Laju Tanker Tbk.
Laporan keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk. menunjukkan bahwa laba usaha
perusahaan meningkat dengan baik dan walaupun total nilai pembiayaan ekuitas dan
hutang juga meningkat, namun rasio antara laba usaha terhadap total pembiayaan juga
meningkat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi membawa pengaruh
positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Kinerja Keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk.
BERLIAN LAJU TANKER 2003 2004 2005 2006 Rata2
Laba Bersih 149,150 243,204 645,186 722,369 439,977
Pembiayaan Ekuitas 1,081,890 1,665,460 2,008,385 3,131,160 1,971,724
Hasil Pembiayaan Ekuitas 13.79% 14.60% 32.12% 23.07% 20.90%
Beban Pembiayaan Obligasi 86,993 89,008 57,725 57,510 72,809
Total Pembiayaan Obligasi 600,000 600,000 400,000 400,000 500,000
Hasil Pembiayaan Obligasi 14.50% 14.83% 14.43% 14.38% 14.54%
Laba Usaha 203,122 305,432 945,822 946,392 600,192
Total Pembiayaan Ekuitas dan
Hutang 2,921,093 4,181,366 7,421,035 7,795,590 5,579,771
Hasil Pembiayaan Ekuitas dan
Hutang 6.95% 7.30% 12.75% 12.14% 9.79%
Beban Obligasi Syariah 4,905 8,875 8,818 8,829 7,857
Pembiayaan Obligasi Syariah 60,000 60,000 60,000 60,000 60,000
Hasil Pembiayaan Obl. Syariah 14.72% 14.79% 14.70% 14.72% 14.73%
Laba Usaha Syariah 6,923 11,549 15,551 13,965 11,997
Nisbah Bagi Hasil Syariah 70.85% 76.84% 56.70% 63.22% 66.90%
Sumber : Laporan Keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk. diolah kembali.
Page 14
Namun ternyata PT Berlian Laju Tanker pada tahun 2005 dan 2006 mempunyai
pinjaman dalam valuta asing yang nilainya sekitar 2 (dua) kali nilai ekuitasnya. Sehingga
financial leverage selama tahun penelitian menunjukkan rata-rata 59,2%, jauh di atas
tingkat optimal yaitu 32,02%. Walaupun laba bersih yang menjadi hasil bagi pemegang
saham ternyata meningkat pesat yang diakibatkan oleh menurunnya beban pembiayaan,
namun penambahan pembiayaan dalam valuta asing yang sangat signifikan memberikan
risiko akibat perubahan nilai tukar valuta. Pembiayaan dalam valuta asing ditunjang oleh
kontrak penyewaan kapal untuk jangka panjang yang dihitung dan dibayarkan dalam
valuta asing, sehingga terjadi lindung nilai alami (natural hedge).
PT Sona Topas Tourism Industry Tbk.
Laporan keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. menunjukkan bahwa
perusahaan berhasil keluar dari kerugian akibat keberhasilan manajemen mengganti
pinjaman dalam valuta asing menjadi pembiayaan obligasi dengan beban tetap (fixed
rate). Pendapatan usaha menurun akibat menurunnya penjualan toko bebas.
Kinerja Keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk.
SONA TOPAS 2004 2005 2006 Rata2
Laba Bersih -7,385 4,173 7,788 1,525
Pembiayaan Ekuitas 117,480 129,423 121,638 122,847
Hasil Pembiayaan Ekuitas -6.29% 3.22% 6.40% 1.11%
Beban Pembiayaan Obligasi 11,210 22,420 22,420 18,683
Total Pembiayaan Obligasi 202,203 202,603 203,003 202,603
Hasil Pembiayaan Obligasi 11.09% 11.07% 11.04% 11.07%
Laba Usaha 40,439 33,656 23,910 32,668
Total Pembiayaan Ekuitas
dan Hutang 319,683 332,026 324,641 325,450
Hasil Pembiayaan Ekuitas dan Hutang 12.65% 10.14% 7.37% 10.05%
Beban Obligasi Syariah 3,835 7,670 7,670 6,392
Pembiayaan Obl. Syariah 52,000 52,000 52,000 52,000
Hasil Pembiayaan Obl.
Syariah 14.75% 14.75% 14.75% 14.75%
Laba Usaha Syariah 12,620 9,567 14,240 12,142
Nisbah Bagi Hasil Syariah 60.78% 80.17% 53.86% 64.94%
Sumber : Laporan keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. diolah.
Manajemen telah mengambil langkah-langkah penghematan dan penurunan
kegiatan usaha (downsizing) sehingga dapat kembali memperoleh laba bersih serta tetap
memenuhi kewajiban atas pembiayaan hutang. Tingkat financial leverage selama tahun
penelitian menunjukkan rata-rata 49,2% karena mengambil pinjaman dalam valuta asing
yang nilainya meningkat karena perubahan nilai tukar. Manajemen berhasil menurunkan
tingkat financial leverage menjadi 37,26% pada tahun 2006, yang berada di sekitar
tingkat optimal yaitu 32,02%. Namun manajemen masih harus dapat meningkatkan
produktivitas dari penggunaan aset karena rasio laba usaha terhadap total pembiayaan
telah menurun menjadi hanya 7,37%. Bila berhasil maka perusahaan akan memiliki
kemampuan untuk bangkit kembali dan mengembangkan usaha di masa mendatang.
Page 15
USULAN PENGELOLAAN OBLIGASI SYARIAH
Penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi, termasuk obligasi syariah,
terbukti mempengaruhi kinerja keuangan emiten non keuangan. Kebijakan manajemen
dalam mengambil pembiayaan dari luar perusahaan dalam bentuk obligasi mempengaruhi
rasio struktur modal dan biaya agensi serta mempengaruhi keleluasaan manajemen dalam
mengelola perusahaan. Sampai batas tertentu pembiayaan obligasi terbukti
meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, namun bila rasio pembiayaan obligasi
terhadap total aset melebihi kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai maka
beban dari penambahan hutang tersebut terbukti dapat lebih besar dari manfaat yang
diberikan. Situasi ini terbukti mempunyai pengaruh pada kinerja keuangan perusahaan.
Disamping itu kondisi pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi dan kinerja pembiayaan
obligasi (pasar obligasi) terbukti telah menjadi faktor kontrol pada kinerja keuangan
perusahaan.
Perubahan kondisi ekonomi, baik tingkat pertumbuhan produk domestik bruto
maupun tingkat inflasi, terbukti telah berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan
sehingga manajemen berusaha menyesuaikan komposisi pembiayaan obligasi terhadap
total aset (rasio struktur modal) perusahaannya untuk dapat mengatasi dampak perubahan
kondisi ekonomi ataupun untuk memanfaatkan peluang yang timbul sebagai akibat dari
perubahan kondisi ekonomi.
Penentuan pembiayaan obligasi pada emiten non keuangan dipengaruhi oleh
berbagai faktor-faktor penentu yang terdiri dari faktor-faktor makro ekonomi, faktor
kinerja pembiayaan obligasi dan valuasi pasar atas perusahaan dan faktor-faktor mikro di
dalam perusahaan emiten tersebut. Kebijakan manajemen dari emiten non keuangan
untuk mengambil pembiayaan obligasi dipengaruhi secara positif oleh faktor-faktor
makro ekonomi yaitu pertumbuhan domestik bruto dan inflasi, dipengaruhi secara
positif oleh faktor ‘sentimen pasar’ yaitu pertumbuhan nilai emisi obligasi, dipengaruhi
secara negatif oleh valuasi pasar atas harga saham perusahaan tersebut, dipengaruhi
secara positif oleh ukuran perusahaan dan tangibilitas dari aset, serta dipengaruhi secara
negatif oleh peningkatan arus dana bebas dan likuiditas keuangan.
Kinerja pasar modal, baik berupa perubahan nilai emisi obligasi maupun
perubahan valuasi pasar atas perusahaan, terbukti memberi peluang bagi manajemen
untuk mengatur pembiayaan usaha dengan lebih efisien. Keadaan internal perusahaan,
baik profitabilitas maupun karakteristik perusahaan, mempengaruhi kebutuhan akan
pembiayaan dari pihak di luar perusahaan (misalnya pembiayaan obligasi) serta persepsi
pasar akan keadaan keuangan perusahaan yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan
pembiayaan obligasi. Bila perusahaan mempunyai dana internal yang cukup maka
manajemen dapat kebutuhan pembiayaan dari luar akan berkurang dan manajemen dapat
menyesuaikan komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal),
baik dengan membeli kembali saham atau membeli kembali obligasi atau melunasi
hutang bank.
Page 16
Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh
pembiayaan obligasi syariah dibandingkan dengan obligasi konvensional terhadap kinerja
keuangan emiten non keuangan, namun secara kualitatif pembiayaan obligasi syariah
memberikan batasan-batasan untuk pengendalian risiko. Penelitian atas 30 (tiga puluh)
emiten yang telah menerbitkan saham dan obligasi dengan 7 (tujuh) emiten diantaranya
telah menerbitkan obligasi syariah dan konvensional tidak dapat membuktikan adanya
perbedaan yang signifikan antara pengaruh pembiayaan obligasi syariah dibandingkan
dengan obligasi konvensional terhadap kinerja keuangan emiten non keuangan.
Walaupun pembiayaan dengan obligasi syariah mudharabah secara teoritis
membawa biaya dana yang berimbang dengan hasil dari kegiatan usaha yang dibiayai dan
pembiayaan dengan obligasi syariah ijarah secara teoritis membawa biaya dana yang
merupakan fungsi dari manfaat aset yang dibiayai, namun ternyata pada data penelitian, 2
(dua) obligasi syariah mudharabah dan 6 (enam) obligasi syariah ijarah memberikan
pengaruh yang mirip dengan obligasi konvensional dengan bunga tetap. Namun karena
semua pembiayaan obligasi syariah yang diteliti dikaitkan dengan pengadaan aset
produktif, maka pembiayaan obligasi syariah telah membawa pembatasan (covenants)
yang terbukti membantu dalam pengendalian risiko.
Penelitian menunjukkan bahwa komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset
(rasio struktur modal) terbukti dapat mencapai suatu rasio tertentu yang dapat
memaksimalkan kinerja keuangan perusahaan (profitabilitas) sehingga dapat dijadikan
acuan dalam menentukan tingkat kelayakan pembiayaan obligasi pada emiten non
keuangan. Rasio struktur modal optimal yang dapat memaksimalkan profitabilitas terjadi
karena marjinal pertumbuhan biaya agensi menjadi lebih tinggi dari marjinal laba usaha.
Bila biaya agensi akibat pembiayaan obligasi telah melebihi kemampuan perusahaan
dalam menciptakan nilai sehingga tambahan biaya agensi lebih besar dari tambahan
manfaat yang diberikan, maka setiap penambahan pembiayaan hutang akan menambah
risiko pembiayaan. Oleh karena itu terdapat rasio struktur modal tertentu dapat dijadikan
acuan dalam menentukan tingkat kelayakan pembiayaan obligasi pada emiten non
keuangan. Pada tingkat rasio struktur modal yang optimal perusahaan akan mencapai
profitabilitas yang maksimal, sementara pada tingkat rasio struktur modal yang maksimal
total tambahan biaya agensi akan lebih besar dari total tambahan manfaat akibat
pembiayaan hutang.
Manajemen sebaiknya mengetahui rasio struktur modal yang optimal untuk
perusahaannya dan memperhatikan perubahan kondisi ekonomi dan pasar modal dalam
mengelola kewajiban (baik terhadap pemegang saham maupun pemegang surat hutang)
untuk dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Sementara investor dan lembaga
keuangan disarankan untuk menggunakan kriteria dan batasan komposisi pembiayaan
obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal) yang lebih tepat dalam menilai
kelayakan pembiayaan dengan obligasi.
Emisi obligasi syariah mudharabah dengan prinsip bagi hasil yang relatif jauh
lebih sedikit dari emisi obligasi syariah ijarah yang memberikan ‘fixed income’
menunjukkan bahwa emiten masih memandang obligasi syariah sebagai pembiayaan
Page 17
‘pendamping’, walaupun sebenarnya pembiayaan bagi hasil melalui obligasi syariah
mudharabah dapat memberikan hasil yang baik bagi pemegang obligasi dengan risiko
yang lebih rendah bagi emiten.
Otoritas pengawas lembaga keuangan, baik Bank Indonesia maupun Bapepam-
LK, sebaiknya memberikan ketentuan yang mewajibkan semua perusahaan non keuangan
yang menerima pembiayaan syariah untuk memberikan informasi yang jelas dalam
laporan keuangan mengenai aset produktif yang diperoleh dengan pembiayaan syariah
serta nilai buku, pendapatan usaha dan laba usaha dari aset produktif tersebut. Sehingga
investor maupun lembaga keuangan dapat melakukan penilaian yang lebih tepat
mengenai kelayakan dari pembiayaan syariah yang diberikan. Disamping itu pemberi
pembiayaan, baik bank, lembaga keuangan lain, maupun investor secara umum dapat
menghitung hak bagi hasil yang wajar.
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia disarankan untuk
menyesuaikan fatwa mengenai nisbah hutang terhadap modal yang diperbolehkan bagi
perusahaan yang berhak mendapat pembiayaan dengan obligasi syariah, yaitu dengan
menetapkan batasan nisbah maksimum dengan memperhatikan tingkat optimal dari
komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal).
Perlu diadakan penelitian tentang hubungan antara kinerja dari bagian kegiatan
usaha yang dibiayai dengan obligasi syariah dengan beban biaya obligasi syariah yang
dapat bermanfaat dalam menentukan nilai nisbah bagi hasil yang lebih adil. Khususnya
apabila jumlah emisi dan nilai emisi obligasi syariah sudah cukup memadai untuk
kegiatan penelitian. Pemeringkatan bagi emiten yang ingin dipandang memenuhi
persyaratan sebagai emiten syariah dan dapat menjadi komponen bagi Jakarta Islamic
Index, sebaiknya juga memperhatikan batasan rasio struktur modal yang ideal serta
persyaratan keterbukaan informasi untuk (bagian) usaha yang mendapat pembiayaan
obligasi syariah.
Page 18
DEFINISI INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH
Fatwa Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia
1. Obligasi Syariah.
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah yang
mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada Pemegang Obligasi Syariah
berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan Obligasi Syariah antara lain
Mudharabah (Muqaradhah/Qiradh), Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, dan
Ijara. Jenis usaha Emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten kepada Pemegang Obligasi harus
bersih dari unsur non halal. Pendapatan (hasil) yang diperoleh Pemegang Obligasi
Syariah sesuai akad yang digunakan. Dalam hal Obligasi Syariah dengan akad
Mudharabah atau Musyarakah pendapatan yang dibagikan merupakan bagi hasil.
Dalam hal akad jual-beli seperti Murabahah, Salam, atau Istishna, pendapatan yang
dibagikan merupakan marjin. Sedangkan dalam hal akad Ijarah, pendapatan yang
dibagikan merupakan fee (sewa) dari aset yang disewakan. Pemindahan kepemilikan
Obligasi Syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
2. Akad Mudharabah.
Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang diberikan oleh Pemilik Dana
(Shahibul Maal) kepada Pengusaha (Mudharib) untuk suatu usaha yang produktif.
Dalam pembiayaan mudharabah, Shahibul Maal membiayai 100% kebutuhan suatu
proyek (usaha) sedangkan Mudharib bertindak sebagai Pengelola Usaha. Jangka
waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan
dimuka berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Mudharib boleh melakukan
berbagai usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan Syariah, dan
Shahibul Maal tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha tetapi mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan. Shahibul Maal menanggung semua kerugian
akibat dari akad mudharabah kecuali jika Mudharib melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Biaya pengelolaan usaha dibebankan
kepada Mudharib.
3. Akad Musyarakah
Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketentuan mengenai hasil usaha
harus dinyatakan secara jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi bagi hasil atau pada waktu penghentian Musyarakah. Sistim pembagian
hasil usaha harus tertuang dengan jelas. Keuntungan harus dibagi secara proporsional
dan tidak ada jumlah yang ditentukan dimuka bagi seorang mitra atau lebih. Namun
bila disepakati, jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau sebagian
dari kelebihan tersebut dapat diberikan kepada seorang mitra atau lebih. Kerugian
Page 19
harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing
dalam modal usaha.
4. Akad Murabahah
Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan untuk membeli (mengadakan) suatu
barang dimana Pemberi Pembiayaan akan membeli barang yang telah disepakati
(obyek pembiayaan) untuk kemudian bertindak sebagai Penjual untuk dijual kepada
Penerima Pembiayaan (yang bertindak sebagai Pembeli) senilai harga beli ditambah
keuntungan yang telah disepakati. Penerima Pembiayaan akan membayar harga
barang (harga beli ditambah keuntungan) yang telah disepakati pada jangka waktu
tertentu dan dengan cara tertentu sesuai kesepakatan. Setelah terjadi jual-beli, maka
barang yang menjadi obyek pembiayaan menjadi milik Penjual (Penerima
Pembiayaan) dan yang bersangkutan bebas menggunakan barang tersebut, termasuk
untuk menjual kembali. Dalam hal Penerima Pembiayaan (Pembeli) menjual barang
tersebut sebelum masa pembayaran berakhir, Penerima Pembayaran tidak wajib untuk
melunasi pembayaran sebelum masa pembayaran berakhir. Untuk menjamin agar
Penerima Pembiayaan (Pembeli) melunasi kewajibannya, Pemberi Pembiayaan
(Penjual) dapat menentukan jaminan dari Penerima Pembiayaan.
5. Akad Salam
Pembiayaan Salam adalah pembiayaan pembelian (pengadaan) barang dimana
Pemberi Pembiayaan memesan barang dan membayar dimuka harga barang kepada
Penjual (Penerima Pembiayaan) yang akan mengadakan barang tersebut, untuk
kemudian dijual kembali kepada Pembeli yang akan membayar harga barang sesuai
dengan kesepakatan kepada Pemberi Pembiayaan. Pemberi Pembiayaan memperoleh
keuntungan dari selisih harga barang yang dibayar dimuka dengan harga yang
dibayarkan oleh Pembeli.
6. Akad Istishna
Pembiayaan Istishna adalah pembiayaan pembelian (pengadaan) barang tertentu
(termasuk kapal, bangunan, dsb) dimana Pemberi Pembiayaan akan memesan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara Penerima
Pembiayaan (Pembeli) dengan Penjual (Produsen atau Pembuat Barang). Pemberi
Pembiayaan akan membayar kepada Penjual dan akan menerima pembayaran dalam
jumlah dan jangka waktu tertentu. Pemberi Pembiayaan memperoleh keuntungan dari
selisih harga barang yang dibayarkan kepada Penjual dengan jumlah harga yang
dibayarkan Penerima Pembiayaan.
7. Akad Ijarah
Akad pembiayaan Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang (maal) atau jasa (amal) dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Pihak
yang berakad terdiri atas Pemberi Sewa (pihak yang memilik/menguasai barang atau
pemberi/penguasa jasa) dan Penyewa (pihak yang mengambil manfaat dari
barang/jasa) dimana sebagai obyek akad adalah pembayaran sewa dan manfaat dari
barang/jasa. Para pihak harus menjamin tersedianya obyek akad karena ia adalah
Page 20
rukun yang harus dipenuhi dalam akad Ijarah. Manfaat harus dinyatakan dan dapat
dikenali secara spesifik, termasuk jangka waktu dari tersedianya dan pemakaian
manfaat. Manfaat harus sesuai Syariah dan kesanggupan memenuhi manfaat harus
nyata serta sesuai Syariah. Jangka waktu dan ketentuan pembayaran sewa tidak harus
terkait dengan jangka waktu pemakaian manfaat. Pemberi Sewa wajib menyediakan
barang/jasa yang disewakan, menanggung biaya pemeliharaan barang, menjamin bila
terdapat cacat pada barang yang disewakan. Penyewa wajib membayar sewa dan
bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang yang disewa dan biaya
pemeliharaan ringan, namun tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang bukan
akibat pelanggaran ketentuan pemakaian atau akibat kelalaian.
Fatwa Audit Accounting Organization for Islamic Banks and Financial Institutions
(AAOIFI)
1. Mudaraba (Muqaradah) Sukuk.
Mudaraba Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of units of equal
value in the Mudaraba equity and are registered in the names of holders on the basis
of undivided ownership of shares in the Mudaraba equity and its returns according to
percentage ownership of share.
2. Musharaka Sukuk.
Musharaka Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of Musyaraka
equity which is not differ from the Mudaraba Sukuk except in the organization of the
relationship between the party issuing sukuk forms a committee from the holders of
the sukuk who can be referred to in investment decisions.
3. Salam Sukuk.
Salam Sukuk are investments in sukuk that represent a sale of commodity on the basis
of deferred delivery against immediate payment. The deferred commodity is a debt
in-kind against the supplier because it refers to a commodity accepted based on the
description of the seller.
4. Ijara Sukuk
Ijara Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of equal shares in a
rented real estate (assets) or the usufruct (benefit) of the real estate (assets). The
sukuk gives the owners the right to own (or control of) the real estate (assets), receive
the rent and dispose of their sukuk in a manner that does not affect the right of the
lessee, i.e. the sukuks are tradeable. The holder of the sukuk bear all cost of
maintenance of and damage of the real estate (assets).
5. Istishna Sukuk
Istishna Sukuks are investments in sukuk that represent a sale of commodity (assets)
on the basis of deferred delivery against advance and deferred payments. The
deferred commodity is a debt in-kind against the manufacturer or builder because it
refers to a commodity (assets) accepted based on the description of the manufacturer
or builder.
Page 21
DEFINISI TERKAIT OBLIGASI SYARIAH
Akad Ijarah : akad Ijarah yang ditanda tangani oleh Emiten dan Wali Amanat
sebagai dasar pengalihan manfaat Obyek Ijarah.
Obyek Ijarah : manfaat yang akan diterima oleh Emiten, berasal dari aset tertentu
yang dinyatakan secara rinci dalam Akad Ijarah. Untuk menjaga kelangsungan Akad
Ijarah dapat ditentukan Obyek Ijarah Pengganti yaitu manfaat serupa yang dapat
berasal dari aset lain yang dinyatakan secara rinci dalam Akad Ijarah.
Fee Ijarah : sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh Emiten sebagai Penerima
Manfaat Ijarah kepada Pemegang Obligasi Syariah Ijarah sebagai Penguasa Obyek
Ijarah sehubungan dengan Emisi Obligasi Syariah Ijarah yang berupa Cicilan Fee
Ijarah, Sisa Fee Ijarah, dan Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan (bila ada)
yang harus dibayar oleh Emiten dari waktu ke waktu selama berlakunya Perjanjian
Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah.
Cicilan Fee Ijarah : bagian dari Fee Ijarah yang wajib dibayarkan oleh Emiten
kepada Pemegang Obligasi Syariah Ijarah sebagai imbalan atas manfaat yang
diterima oleh Emiten atas dasar Akad Ijarah, yang pembayarannya akan dilakukan
sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah.
Sisa Fee Ijarah : bagian dari Fee Ijarah yang belum dibayarkan dalam bentuk Cicilan
Fee Ijarah, yang wajib dibayarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah
Ijarah untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Akad Ijarah, dimana nilai Sisa Fee
Ijarah umumnya sama dengan nilai Emisi Obligasi Syariah Ijarah.
Dana Cadangan Fee Ijarah : dana yang wajib dibentuk secara bertahap oleh Emiten
yang khusus digunakan sebagai cadangan atas pembayaran Fee Ijarah, baik berupa
Cicilan Fee Ijarah maupun Sisa Fee Ijarah, sesuai ketentuan dalam Perjanjian
Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah.
Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan Pembayaran Fee/Bagi-Hasil:
jumlah yang harus dibayar oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah sebagai
akibat dari kelalaian aau keterlambatan Perseroan memenuhi kewajiban pembayaran
Fee/Bagi –Hasil dimana dalam hal ini tidak ada unsur kesalahan dari Pemegang
Obligasi Syariah serta Pemegang Obligasi Syariah dirugikan akibat kelalaian atau
keterlambatan tersebut. Besarnya Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan
dihitung berdasarkan jumlah hari kelalaian/keterlambatan dan tidak dapat dihitung
berdasarkan nilai Fee/Bagi-Hasil yang bersangkutan.
Dokumen Emisi Obligasi Syariah : dokumen-dokumen yang terdiri dari a) Akad-
Akad Syariah, b) Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah, c) Pengakuan
Hutang, d) Perjanjian Penjaminan Emisi Obligasi Syariah, e) Perjanjian Agen
Pembayaran, f) Perjanjian Pendaftaran Obligasi Syariah di Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, dan g) Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Efek.
Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah : perjanjian yang dibuat antara
Emiten dengan Wali Amanat untuk kepentingan Pemegang Obligasi Syariah dan
bertugas untuk mewakili kepentingan para Pemegang Obligasi Syariah baik dimana
dinyatakan hak-hak Pemegang Obligasi Syariah dan hak-hak serta kewajiban Wali
Amanat untuk melakukan tindakan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan,
yang berkaitan dengan kepentingan para Pemegang Obligasi Syariah mengenai
pelaksanaan hak-hak para Pemegang Obligasi Syariah sesuai dengan syarat-syarat
Page 22
Emisi Obligasi Syariah, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Perjanjian Perwaliamanatan serta berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan peraturan tentang penawaran umum
dan Obligasi.
Wali Amanat : badan yang telah memiliki izin usaha Wali Amanat dari instansi yang
berwenang, yang diberi kepercayaan untuk mewakili kepentingan para Pemegang
Obligasi Syariah untuk memperoleh hak-hak para Pemegang Obligasi Syariah sesuai
dengan syarat-syarat Emisi Obligasi Syariah.
Pengakuan Hutang : akta yang dibuat oleh Emiten untuk kepentingan Pemegang
Obligasi Syariah yang diwakili oleh Wali Amanat yang dimaksudkan untuk memberi
kepastian pembayaran Fee atau Bagi Hasil kepada Pemegang Obligasi Syariah
dengan memperhatikan ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Perjanjian Penjaminan Emisi Obligasi Syariah : perjanjian yang dibuat antara
Emiten dengan Penjamin Emisi dimana Emiten menyatakan akan melakukan Emisi
Obligasi Syariah dengan syarat-syarat tertentu dan Penjamin Emisi menyatakan akan
menjamin pelaksanaan Emisi Obligasi Syariah dengan syarat-syarat tertentu.
Perjanjian Agen Pembayaran : perjanjian yang dibuat antara Emiten dengan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengenai pembayaran Fee atau Bagi Hasil
baik berupa Cicilan Fee/Bagi-Hasil maupun Sisa Fee/Bagi-Hasil atau Pokok Obligasi
Syariah.
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian : adalah lembaga self-regulating
organization sesuai ketentuan Undang Undang Pasar Modal yang dalam Emisi
Obligasi Syariah bertugas sebagai Agen Pembayaran sesuai dengan Perjanjian Agen
Pembayaran dan melakukan administrasi atas Obligasi Syariah sesuai dengan
Perjanjian Pendaftaran Obligasi Syariah.