1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Defisit neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 berlanjut sampai awal tahun 2013 ini. Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 1,7 M. Sementara itu, di periode Januari-April 2013 neraca perdagangan kembali mengalami defisit sebesar USD 0,4 M. Defisit total neraca perdagangan dipicu oleh defisitnya neraca migas, padahal neraca non migas masih mengalami surplus. Data dari BPS tahun 2012 menyebutkan bahwa neraca migas defisit mencapai USD 5,7 milar, sementara neraca non migas surplus sebesar USD 4 M. Di empat bulan pertama tahun ini neraca migas defisit USD 4,6 M ditambah oleh menurunnya surplus perdagangan non migas yang hanya mencapai USD 2,7 M selama periode Januari-April tahun ini, sehingga menyebabkan total neraca perdagangan Indonesia kembali defisit. Berdasarkan data perkembangan total ekspor impor Indonesia sejak tahun 1950. Defisit total perdagangan Indonesia hanya terjadi di tahun 1952, tahun 1961 dan tahun 2012. Namun demikian, nilai defisit perdagangan Indonesia di tahun 1952 hanya mencapai USD 14 juta. Nilai defisit perdagangan Indonesia pada tahun 1961 bahkan lebihi kecil, hanya sebesar USD 8 juta. Defisit perdagangan di tahun 1952 dan tahun 1961 tersebut jauh lebih kecil dibandingkan defisit perdagangan tahun 2012 yang mencapai USD 1,6 miliar. Sebagaimana telah disampaikan di atas, defisit perdagangan bersumber dari defisit perdagangan migas. Berdasarkan fakta empiris selama 2012, defisit neraca perdagangan terutama bersumber dari defisit hasil minyak yang mencapai USD 24,5 miliar atau volumenya mencapai 22,8 juta Ton (18,2 juta kiloliter) (Tabel 1.1).
32
Embed
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · · 2015-02-12Nilai defisit perdagangan Indonesia pada tahun 1961 bahkan ... Defisit perdagangan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Defisit neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 berlanjut sampai awal tahun
2013 ini. Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit
sebesar USD 1,7 M. Sementara itu, di periode Januari-April 2013 neraca perdagangan
kembali mengalami defisit sebesar USD 0,4 M. Defisit total neraca perdagangan dipicu
oleh defisitnya neraca migas, padahal neraca non migas masih mengalami surplus. Data
dari BPS tahun 2012 menyebutkan bahwa neraca migas defisit mencapai USD 5,7 milar,
sementara neraca non migas surplus sebesar USD 4 M. Di empat bulan pertama tahun ini
neraca migas defisit USD 4,6 M ditambah oleh menurunnya surplus perdagangan non
migas yang hanya mencapai USD 2,7 M selama periode Januari-April tahun ini, sehingga
menyebabkan total neraca perdagangan Indonesia kembali defisit.
Berdasarkan data perkembangan total ekspor impor Indonesia sejak tahun 1950.
Defisit total perdagangan Indonesia hanya terjadi di tahun 1952, tahun 1961 dan tahun
2012. Namun demikian, nilai defisit perdagangan Indonesia di tahun 1952 hanya
mencapai USD 14 juta. Nilai defisit perdagangan Indonesia pada tahun 1961 bahkan
lebihi kecil, hanya sebesar USD 8 juta. Defisit perdagangan di tahun 1952 dan tahun 1961
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan defisit perdagangan tahun 2012 yang mencapai
USD 1,6 miliar.
Sebagaimana telah disampaikan di atas, defisit perdagangan bersumber dari
defisit perdagangan migas. Berdasarkan fakta empiris selama 2012, defisit neraca
perdagangan terutama bersumber dari defisit hasil minyak yang mencapai USD 24,5
miliar atau volumenya mencapai 22,8 juta Ton (18,2 juta kiloliter) (Tabel 1.1).
ANALISIS PENINGKATANPENGGUNAAN BIODIESELSEBAGAI UPAYA MENGATASI DEFISITNERACA PERDAGANGAN MIGAS
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Jakarta – 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar NegeriBadan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan PerdaganganKementerian Perdagangan RI
Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 JakartaGedung Utama Lt. 16Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
2
Tabel 1.1. Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia
CPO yang diproduksi sebagian besar diekspor dan sebagian lagi untuk bahan baku
pembuatan minyak goreng dan sabun untuk keperluan dalam negeri. Dengan adanya
program pengembangan biodiesel ini perlu penambahan lahan kelapa sawit yang cukup
besar. Pengembangan ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah pertumbuhan
ekonomi, kurangnya lapangan kerja dan kemiskinan. Oleh karena itu dalam
pengembangannya perlu diperhatikan faktor-faktor teknis, ekonomis, dan dampak sosial
sehingga hasilnya diharapkan dapat lebih berdaya guna. Tim Nasional Pengembangan
BBN pada tahun 2006 telah mengeluarkan Blue Print Pengembangan BBN yang dapat
digunakan sebagai acuan strategis dalam penyediaan dan pemanfaatan BBN termasuk di
dalamnya road map yang merupakan peta langkah dari keadaan sekarang menuju
keadaan yang diinginkan dalam kurun waktu 2006-2025.
Potensi penyediaan bahan baku BBN di Indonesia masih cukup besar. Lahan
untuk pengembangan tanaman masih cukup tersedia dan beberapa wilayah kondisi
agroklimatnya sesuai untuk tanaman penghasil BBN. Disamping kesesuaian lahan perlu
juga diperhatikan aspek legal dalam pengembangan lahan. Ada beberapa pola
pengembangan yang akan diprioritaskan yaitu:
14
• Pengembangan kebun khusus (dedicated area) dengan lebih dahulu memanfaatkan
ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan maupun
melalui ijin/investor baru.
• Pemanfaatan lahan terlantar, lahan kritis dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
• Pemanfaatan HGU terlantar dan ijin usaha perkebunan yang tidak aktif.
• Memetakan pertanaman yang sudah tua dan meremajakan pertanaman melalui
pemanfaatan bibit unggul bersertifikat.
Salah satu bagian penting dari Blue Print tersebut adalah rencana pengembangan
biodiesel dari kelapa sawit seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4. Dalam pengembangan
biodiesel disamping aspek luas lahan aspek kebutuhan tenaga kerja serta investasi juga
perlu diperhatikan. Pendanaan semaksimal diusahakan bersumber dari dalam negeri,
sedangkan pendanaan dari luar negeri dapat dilakukan dengan pemilihan secara selektif.
Tabel 2.4. Proyeksi Pengembangan BBN dari Kelapa Sawit
Parameter Unit/tahunJangka
Menengah(2010-2015)
Jangka Panjang(2015-2025)
Biodiesel Ton Minyak 6,000,000 16,000,000Produksi Ton Biji 30,000,000 80,000,000Industri Unit 167 444Lahan Hektar 1,500,000 4,000,000Tenaga Kerja Langsung Orang 750,000 2,000,000Tenaga Kerja Tak Langsung Orang 1,167 3,111Pendapatan/orang (@2 ha) Rp/Orang 20,000,000 20,000,000Bibit Ton Batang 202,500,000 540,000,000Investasi on farm Juta 45,000,000 120,000,000Investasi off farm Juta 10,000,000 26,666,667
Sumber: Timnas BBN (2006)
Orientasi ekspor biodiesel Indonesia meningkat pesat sejak tahun 2011. Dari 243
ribu KL produksi biodiesel tahun 2010, hanya 8,2% yang diekspor. Kemudian naik
signifikan menjadi 80% dari total produkdi biodiesel diekspor pada tahun 2011. Selama
2012 hasil produksi biodiesel nasional mencapai 2,2 juta KL, 69,7%-nya dieskpor dan
sisanya sebesar 669 ribu KL dikonsumsi dalam negeri (Tabel 2.5).
dengan teknologi yang memungkinkan sehingga akan menciptakan pasar yang stabil
bagi biofuel. Kedua, kerangka kerja Uni Eropa akan dibuat sehingga para
anggotanya dapat mengimplementasikan pembebasan pajak sementara bagi biofuel.
Memasuki tahun 2000, peranan energi terbarui di Jerman ditargetkan meningkat
dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan dan mencapai hingga 12,5 persen dari total
konsumsi listrik pada tahun 2010. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah
mendukung kebijakan energi terbarui dengan menerapkan skema kompensasi feed-in
(Einspeisevergütungen) daya dari sumber energi terbarui dapat diisi ke jaringan listrik
dan harus dioperasikan oleh perusahaan dengan tarif yang tetap per kWh (Hillebrand
et.al. 2006, 3484). Hingga 1 April, 2000 skema kompensasi feed-in hanyalah
berdasarkan pada rata-rata harga retail listrik untuk pengguna akhir. Kemudian skema
21
kompensasi tersebut direvisi dengan mengamandemen Undang-undang energi
terbarui pada 1 Agustus 2004 (Gesetz zur Neuregelung des Rechts der Erneuerbaren
Energien im Strombereich). Tarif kompensasi feed-in tidak bergantung pada banyaknya
harga listrik secara general tetapi bergantung pada teknologi, ukuran dan lokasi
fasilitas pembangkit listrik. Undang-undang ini diberlakukan untuk mendorong
pemakaian energi terbarui mengingat energi terbarui masih belum kompetitif.
Selain itu Jerman juga mulai berusaha untuk mengganti bahan bakar bensin
ke biofuel sebagai rekomendasi Uni Eropa untuk meningkatkan penggunaan energi
terbarui di semua sektor. Tahun 2002 parlemen Jerman memutuskan untuk
membebaskan semua biofuel terhadap pajak bahan bakar. Pembebasan ini
diterapkan sampai pada akhir tahun 2009 dan pemerintah wajib melaporkan
kemajuan atas pengenalan pasar biofuel dan perkembangan harga atas biomas,
minyak mentah dan bahan bakar lainnya setiap tahunnya sehingga dapat diadaptasi
bila diperlukan (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2617).
Penggantian bensin ke bio-ethanol tidak akan mungkin terjadi tanpa
dukungan kebijakan ekonomi dan fiskal. Di Jerman biaya produksi bio-ethanol
ekuivalen dengan 0,45-0,55 per liter bensin dalam skenario yang terbaik. Namun
lebih sering ekuivalen antara 0.80-0.90 per liter bensin. Sedangkan harga bebas
pajak untuk bensin hanyalah 0,20 euro per liter sehingga bio-ethanol tidak akan
kompetitif tanpa pembebasan pajak.
Tidak hanya pembebasan pajak, pemerintah Jerman juga mengintervensi
pasar dengan adanya badan pasar nasional, Federal Monopoliy Administration for
Spirits (Bundesmonopolverwaltung für Branntwein) yang bertanggungjawab membeli
dan memasarkan ethanol yang diproduksi dari pertanian mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap pasar bio-ethanol (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2620). Dulunya
badan ini didesain untuk mendapatkan penghasilan negara. Sekarang badan ini
mensubsidi dan melindungi produsen bio-ethanol kecil dan menengah melawan
kompetitor asing dan menolong untuk memelihara ekologi lahan. Harga yang
dibayar kepada produsen oleh Bundesmonopolverwaltung di atas harga pasar dan
kebanyakan produsen tidak akan bertahan tanpa ada dukungan tersebut. Defisit yang
22
dihasilkan ditutup oleh budget pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya bentuk
bantuan pemerintah ini sebenarnya bertentangan dengan aturan Uni Eropa dan
Jerman melanggar atas peraturan bebas barang-barang pertanian.
Logika politik dibalik meningkatnya penggunaan biofuel adalah kontribusinya
yang positif terhadap perubahan iklim, pertanian dan juga keamanan pasokan
energi. Penggunaan bio-ethanol dalam teknologi otomotif dapat menghasilkan share
volume sebanyak 10 persen dari bahan bakar fosil. Selain itu kebijakan energi
terbarui di Jerman telah mempekerjakan orang sebanyak 120.000-150.000 (Guest
Editorial 2006, 253). Saat ini kebijakan terhadap perubahan iklim terdiri dari
berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi
melalui pengurangan intensitas energi dalam ekonomi, mengurangi aktifitas yang
menguras energi dan terakhir mengganti energi fosil dengan energi terbarui.
23
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.7. Pengembangan Biofuel
Peningkatan ekspor dan penggunaan biofuel di dalam negeri, khususnya
biodiesel, merupakan salah satu langkah efektif untuk mengurangi defisit neraca
perdagangan, khususnya yang bersumber dari migas. Peningkatan ekspor biodiesel
maupun peningkatan penggunaan biodiesel di dalam negeri (substitusi impor BBM)
sehingga mengurangi impor adalah dua sisi yang dapat menekan defisit, bahkan bisa
membuat neraca perdagangan menjadi surplus. Strategi ini sekaligus bermanfaat untuk
menstabilkan harga CPO, menambah lapangan kerja, menurunkan kemiskinan khususnya
di pedesaan, dan meningkatkan ketahanan energi.
Sebagai ilustrasi, penerapan kebijakan B5 (pencampuran biodiesel ke dalam solar
sebesar 5%) akan membuat penggunaan biodiesel sebesar 669 kiloliter yang mencapai
30% dari total produksi. Kebijakan ini telah mengurangi impor solar sebesar 6,4% dengan
nilai sebesar USD 0,5 miliar. Berdasarkan perhitungan PROBI, penerapan B10
diperkirakan akan mengurangi impor solar sebesar 28,6% atau mencapai USD 2,42 miliar.
Dengan pendekatan ini, defisit neraca perdagangan tahun 2012 sebesar USD 1,7 miliar
sudah dapat diatasi. Di sisi lain, ekspor biodiesel terus meningkat dengan laju 101,5% per
tahun, dari USD 31,4 juta pada tahun 2007 menjadi USD 1,4 miliarpada tahun 2012.
Selain mengurangi impor, penerapan B10 juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
217 ribu orang di sektor hulu dan pengurangan gas rumah kaca sekitar 8 juta ton.
Gambar 2. Dampak Kebijakan B5 dan B10
24
Pemakaian Biodiesel Domestik, B5669.328 kilo liter/ 4,2 juta Barel
Mengurangi Impor Minyak Solar6,4%
Tenaga Jumlah48.500 Orang, hulu
Pengurangan Gas Rumah Kaca1.672.652 Ton CO2 (5%)
Kemampuan Ekspor di Tahun 20133.5 Juta Kilo Liter
Pemakaian Biodiesel Domestik, B10
3 juta kilo liter/ 18,87 juta Barel *
Mengurangi Impor Minyak Solar
28,6% (~2,42 Milyar Dollar) **
Tenaga Kerja,
217.500 Orang, hulu
Pengurangan Gas Rumah Kaca
8.031.668 Ton (-7%)
Kemampuan Ekspor di Tahun 2013
1 Juta Kilo Liter
Sumber : Pertamina, APROBI, US EPA
Peningkatan penggunaan dan ekspor biodiesel, khususnya yang berbasis CPO,
untuk memperbaiki neraca perdagangan dinilai sangat potensial. Dari sisi produksi,
bahan baku biodiesel (CPO) cukup melimpah. Pada tahun 2012, produksi CPO
diperkirakan sekitar 25 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 40 juta ton pada tahun
2020. Di samping itu, Kapasitas terpasang industri pengolahan biodiesel di dalam negeri
mencapai 4,6 juta kilo liter, namun utilitas industri baru mencapai 48%. Dari produksi
sebesar 2.21 juta kilo liter hanya sekitar 30% atau sebesar 669 ribu kilo liter yang
diperuntukkan bagi keperluan domestik. Pasar ekspor juga sangat prospektif yang
diindikasikan oleh peningkatan nilai ekspor biodiesel dengan laju 101,5% per tahun.
2.8. Keuntungan Menggunakan Biodiesel
Pengembangan penggunaan Biodiesel dalam negeri memberika banyak
keuntungan dan dukungan dari kondisi Indonesia sendiri. Keuntungan tersebut antara
laian :
• Biodiesel merupakan bahan bakar Renewable dan sustainable.
• Perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel terdapat di seluruh negeri
yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Selain itu,
pabrik pengolahannya juga menyebar di berbagai daerah mendekati sumber bahan
baku karena produk ini mengharuskan proses pengolahan bahan baku yang segera
untuk mencegah terjadinya kerusakan. Hal tersebut memperkecil terjadinya
disparitas harga yang diakibatkan jauhnya jarak distribusi pemasaran.
25
• Sifat struktur kimia yang dimiliki biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air, oleh
karena itu tidak perlu pengawasan ekstra dan terhindar dari kecurangan
(pengoplosan) oleh oknum tertentu (Sumber : Pelaku Usaha).
• Peningkatan penggunaan biodiesel untuk pencampuran dalam solar tidak
mengurangi volume biodiesel yang diekspor dan tidak mengganggu pasokan minyak
goreng dalam negeri, karena biodiesel merupakan hasil sampingan dari produksi
minyak goreng.
2.9. Tantangan Pengembangan Biodiesel
Namun demikian, peningkatan produksi, penggunaan, dan eskpor biodiesel masih
mengalami kendala atau masalah sebagai berikut yaitu:
- Masih besarnya subsidi BBM sehingga biodiesel menjadi kurang kompetitif;
- Indeks harga BBN (biodiesel) sampai saat ini dinilai belum sesuai dengan nilai
keekonomiannya.
- Adanya ketentuan ATPM kendaraan bermesin diesel yang membatalkan garansi
purna jual apabila pengguna menggunakan biodiesel lebih dari 5%.
- Pengguna biodiesel, khususnya dari sektor industri, menginginkan spesifikasi
biodiesel yang terlalu tinggi dari SNI 04-7182-2008, padahal hanya digunakan sebagai
bahan bakar alat berat/kendaraan berat/mesin beban berat dengan spesifikasi
moderat.
- Adanya hambatan persepsi, khususnya pengguna dari sektor industri yang
menyebutkan bahwa kinerja mesin tidak optimal apabila menggunakan bahan bakar
biodiesel sesuai desain.
- Hambatan perdagangan internasional berupa EU Renewable Energy Directive, Anti
Dumping, Anti Subsidy, dan RFS2 EPA dari US
2.10. Temuan Lapang
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke PT. Wilmar Nabati Indonesia di Gresik
sebagai perusahaan produsen Biodiesel terbesar di Indonesia, diperoleh informasi
sebagai berikut :
26
Pihak Industri telah siap melaksanakan B10, karena hasil produksi biodiesel sudah
melebihi kebutuhan dari yang ditetapkan pemerintah (pertamina).
Manager Operasi PT. Wilmar Nabati Indonesia menyatakan bahwa Kementerian
ESDM tidak keberatan dengan percepatan penerapan B10, namun yang menjadi
penghambat adalah kebijakan pelaksana di tingkat hilir (Pertamina).
Yang menjadi kendala adalah penggunaan biodiesel di sektor industri. Yang
seharusnya diwajibkan 5% di tahun 2010-2015, justru tidak menggunakan Biodiesel
sama sekali. Padahal penggunaan solar di industri (50%) sangat besar dibandingkan
penggunaan transportasi Public Service Obligation (PSO) sebesar 25%. Sedangkan
sisanya 25% untuk marine juga tidak diterapkan.
Biodiesel merupakan pengolahan dari hasil samping minyak goreng (stearin) sehingga
tidak akan menggangu pasokan minyak goreng dalam negeri. Selain itu, teknologi
pengolahan biodiesel bukan merupakan teknologi tinggi yang rumit, sehingga semua
industri penghasil minyak goreng dapat membuat biodiesel.
Penambahan produksi di industri tidak menyebabkan kenaikan impor karena
industrinya sudah berkapasitas tinggi dan semua bahan baku untuk pengolahan
biodiesel dapat diperoleh dari dalam negri.
PT. Wilmar Nabati sendiri telah menggunakan 75% biodiesel untuk campuran solar
yang digunakan sebagai bahan bakar mesin produksinya.
Harga ekspor biodiesel lebih tinggi dari harga dalam negeri (yang dibeli pertamina).
Harga pembelian biodiesel oleh pertamina ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan
mereka mengaku tidak mengerti proses perhitungannya.
Harga biodiesel dianggap competitif jika pencampuran ke dalam solar mencapai 25%
dan subsidi BBM (solar dan premium) dikurangi.
Produk biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air dan tidak bisa dikeringkan,
sehingga penggunaannya dapat mencegah terjadinya pengoplosan.
Pihak industri tidak keberatan dengan SNI yang ditetapkan pemerintah kecuali pada
satu karakteristik yaitu titik kabut yang ditentukan sebesar 18°C. Nilai tersebut terlalu
rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti Indonesia. Padahal pada
umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut 19°C.
27
Pihak industri mengaku bahwa penerapan B10 sangat tergantung pada ketegasan
kebijakan pemerintah, karena jika pemerintah sudah mewajibkan, industri secara
otomatif akan menyesuaikan. Dan, perlu adanya pengawasan di tingkat hilir untuk
memaksimalkan penyerapan penggunaan biodiesel.
PT Wilmar Nabati berencana memulai produksi Olefin (campuran bahan bakar mesin
jet) di bulan Agustus 2013 dengan kapasitas 500 ton/hari yang akan diekspor 100%
ke Amerika Serikat karena adanya kontrak dengan Elevance Renewable Sciences Inc.
sebagai investor.
Dari temuan lapang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pihak Industri biodiesel
menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas minimum (persentase) pencapuran
biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya), namun diperlukan
ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasannya di tingkat hilir.
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan kajian mengenai
pengembangan penggunaan Biodiesel sebagai campuran solar adalah
1. Pihak Industri biodiesel menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas
minimum (persentase) pencapuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10%
dan seterusnya), namun diperlukan ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan
dan pengawasannya di tingkat hilir.
2. Berkaca dari Jerman, Indonesia perlu peraturan untuk memaksa pelaku usaha
bergerak meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati. Kebijakan tersebut juga
harus dilengkapi dengan kebijakan ekonomi dan fiskal sehingga harga ekonomi
biodiesel/ bioetanol menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga bahan bakar
fosil.
4.2. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi atau usulan kebijakan yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil kajian adalah:
1. Menaikkan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi sehingga dapat menghemat
APBN dan mengurangi Impor.
2. Meningkatkan penggunaan biodiesel yang harganya murah dan subsidinya lebih kecil
untuk menghemat anggaran subsidi BBM.
3. Meloggarkan aturan maksimum titik kabut menjadi 19-20°C, hal tersebut dikarenakan
peraturan yang ada yakni sebesar 18°C dianggap menyulitkan pengusaha karena nilai
tersebut terlalu rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti
Indonesia. Padahal pada umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut
19°C.
29
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K., 2005. Renewable Energy Conversion and Utilization in ASEAN Countries. EnergyPolicy
Dorian, J.P. et al, 2006. Viewpoint Global Challenges in Energy. Diakses pada tanggal 7 Juni2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fieclub.ir%2Fnewforum%2Findex.php%3Fapp%3Dcore%26module%3Dattach%26section%3Dattach%26attach_id%3D4612&ei=WM_MUZSIDILZrQf0qoHoBQ&usg=AFQjCNFWaIvdsxeletv-JAgj9SwUJtG4nA&sig2=wU8Hcy89JfH1_2Jlo3eN2w&bvm=bv.48572450,d.bmk
ESDM, 20 Maret 2013. Kebijakan Migas Dalam Menopang Ketersediaan Energi Nasional.dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaikineraca perdagangan
Guest Editorial, 2006. Renewable Energy Policies in The European Union. Diakses pada tanggal 7Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Figitur-archive.library.uu.nl%2Fchem%2F2007-0621-202028%2FNWS-E-2006-392.pdf&ei=CdDMUfiPMcTorQfdgYG4Cw&usg=AFQjCNFGw2FtytjbKiKo2vDM0ap3uMgGZA&sig2=Ro_gkZfWxfopmWsWcWi47A&bvm=bv.48572450,d.bmk
Henke, J.M. et al, 2005. Tax Exemption for Biofuels in Germany: Is Bio-Ethanol Really AnOption for Climate Policy?. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDQQFjAC&url=http%3A%2F%2Fmercury.ethz.ch%2Fserviceengine%2FFiles%2FISN%2F102906%2Fipublicationdocument_singledocument%2Fd76c8571-b454-4c04-869d-fb951276a0fa%2Fen%2Fkap1184.pdf&ei=etDMUeSmCZCsrAfevoCgAw&usg=AFQjCNEbtPXe-sinisXfIR2HYtWY5oS8IQ&sig2=pGXWQC59vrdzuALJO4Xdkg&bvm=bv.48572450,d.bmk
Hillebrand, B. et al, 2006. The Expansion of Renewable Energies and Employment Effects inGermany. Energy Policy
Jacobsson, S. dan Lauber, V., 2006. The Politics and Policy of Energy SystemTransformation-Explaining The German Diffusion of Renewable Energy Technology.Energy Policy
Situmorang, Elizabeth, 2012. Pembuatan Dan Karakterisasi Briket Bioarang Cangkang Kemiri –Kulit Durian Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Universitas Sumatera Utara
30
Sugiyono, Agus, 2008. Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Mengurangi DampakPemanasan Global. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 darihttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCYQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsugiyono.webs.com%2Fpaper%2Fp0801.pdf&ei=e9HMUYGMI4ntrAfsvYDYDA&usg=AFQjCNE7vwNuegq0n578qLx6snP41p2bTA&sig2=pDJGKU0jKohqh54r8z6J7A&bvm=bv.48572450,d.bmk
Timnas BBN, 2006. Blue Print Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk PercepatanPengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 2006-2025, Tim Nasional PengembanganBahan Bakar Nabati
Tsoskounoglou, M. et al, 2008. The End of Cheap Oil: Current Status and Prospects . EnergyPolicy
Wijono, R. A., 2010. Rancangan Strategi Perencanaan Industri Biodiesel Kelapa Sawit yang RamahLingkungan dan Berkelanjutan. Universitas Indonesia