kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis (WHO, 2004). Di Indonesia prevalensi demam tifoid di perkirakan 350 – 810 kasus per 1000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus setiap tahun 80 - 90% dari angka di atas adalah anak berusia 2-19 tahun. Pada tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi di Indonesia adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi Banten sebesar 2,2 %. insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760 sampai 810 kasus per 100.000 penduduk (Riskesdas, 2007). Di provinsi Jawa tengah tifoid klinis dideteksi dengan prevalensi 1,61 % dan tersebar di seluruh Kabupaten atau Kota dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap 2
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka
kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia
Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit
demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis
(WHO, 2004).
Di Indonesia prevalensi demam tifoid di perkirakan 350 – 810 kasus
per 1000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus
setiap tahun 80 - 90% dari angka di atas adalah anak berusia 2-19 tahun. Pada
tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi
menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Berdasarkan data Riskesdas 2007
prevalensi di Indonesia adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi
Banten sebesar 2,2 %. insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan
biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157
kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760
sampai 810 kasus per 100.000 penduduk (Riskesdas, 2007). Di provinsi Jawa
tengah tifoid klinis dideteksi dengan prevalensi 1,61 % dan tersebar di seluruh
Kabupaten atau Kota dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap tempat.
Prevalensi tifoid di Kabupaten Semarang sebesar 0,8%.
Peningkatan jumlah kasus demam tifoid terjadi selama 3 tahun
berturut – turut di provinsi Jawa Tengah dari tahun 2007 jumlah kasus 254
dan pada tahun 2008 menjadi 971 kasus, pada tahun 2009 naik 4817 kasus,
dan pada tahun 2010 naik lagi 5021 kasus (Dinkes DKI, 2005). Demam tifoid
menduduki tempat kedua di antara penyakit usus setelah gastroenteritis
(Dinkes DKI, 2005). Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810
kasus pertahun dan angka kematian 3,1 sampai 10,4%.(WHO, 2004).
2
B. Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan feses pasien
demam tifoid dari tahap pre-enrichment sampai pewarnaan gram.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi hasil pemeriksaan dari
mulai proses pre-enrichment sampai pewarnaan gram
3. Mahasiswa diharapkan mengetahui jenis bakteri yang terdapat pada feses
penderita demam tifoid dengan mengamati hasil morfologi koloni,
morfologi sel, medium SIMA dan TSIA
C. Manfaat
1. Teoritis
Hasil praktik lapangan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang cara pemeriksaan bakteri Salmonella thypi dengan sampel feses.
2. Praktis
Praktik lapangan ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menambah keterampilan mahasiswa dalam melakukan pemeriksaan
bakteri Salmonella thypi dengan sampe feses.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bakteri Salmonella thypi
Salmonella thypi merupakan bakteri batang gram negatif, tidak
membentuk spora, memiliki kapsul dan sering disebut sebagai bakteri
facultative intra-cellular parasites karena.memiliki habitat asli di dalam usus
manusia. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein,
dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan . Ukuran
panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella
sehingga bersifat motil. Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku
untuk waktu yang lama. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan
mannose, serta dapat menghasilkan gas H2S namun hanya sedikit (Winn,
2006).
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis
inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen. Menurut Widodo (2009), bakteri
ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat
spesifik grup.
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari
proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri
dan efektivitas vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan
bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah
dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam
tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel
terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan
4
yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai
barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran
sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk
bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang
penting dalam mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non
purin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.
Antigen yang paling umum digunakan untuk Salmonella adalah
antigen O dan H. Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela
dari bakteri ini, yang disebut flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat
dihilangkan dengan pemanasan atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi
untuk antigen ini terutamanya adalah IgG (Brooks, 2005).
B. Demam Tifoid
1. Definisi
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Penularannya
terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Mansjoer, 2000). Gejala klinis demam thypoid disebut
trias typhoid yang terdiri dari demam lebih dari 7 hari naik turun,
gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Selain itu, infeksi demam
tifoid ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada sistem
retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan
ulserasi plaque peyeri di distal ileum. Penulis lain membuat kriteria
demam tifoid, ditandai adanya demam tujuh hari atau lebih, gejala saluran
pencernaan dan gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, kejang
dan gangguan kesadaran) (Soegijanto, 2002).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
5
klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan
demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid
(Sumarmo, 2002).
2. Gejala
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari
status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit,
penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang
melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari
dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam
pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang
ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat
fokus infeksi (Cammie et al.,2005; IDAI, 2008)
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise,
Soegijanto,S.2002.Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika
Sumarmo S.2002.Garna H, Sri RSH, Hindra IS. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Widodo D. 2009. Demam Tifoid. In; Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing
Winn, W.A. 2006. Koneman’s color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology 6th edition. Baltimore. MD.
World Health Organization. 2004. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO/V&B/03.07.Geneva : World Health Organization 7-18.
Zulkarnain, I.2000. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p.6-12