DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....1DAFTAR ISI...2BAB I
PENDAHULUAN..........3BAB II TINJAUAN PUSTAKA....52.1 Patensi
Duktus Arteriosus.52.2 Tatalaksana Non-operatif terhadap Patensi
Duktus Arteriosus.........7BAB III KESIMPULAN DAN SARAN....14DAFTAR
PUSTAKA....17
BAB IPENDAHULUAN
Duktus arteriosus adalah sebuah arteri yang menghubungkan istmus
aorta denganarteri pulmonalis. Patensi duktus ateriosus esensial
untuk sirkulasi fetus, namun penutupan duktus postnatal sangat
penting dalam adaptasi sirkulasi setelah kelahiran. Patensi duktus
arteriosus persisten (PDA) merupakan bentuk umum dari kelainan
jantung kogenital pada neonatus, diperkirakan kejadian ini muncul 1
dari 2500-5000 kelahiran hidup dan mewakili sekitar 9-12% dari
seluruh kelainan jantung kogenital. PDA mengakitbatkan neonatus
rentan terhadap kelebihan sirkulasi pada paru dan terjadinya
pengurangan aliran darah sistemik terutama pada neonatus dengan
berat lahir sangat rendah dan berat badan lahir ekstrim rendah,
insidensi dan komplikasi yang datang dari patensi duktus arteriosus
sangat tinggi .1,2Komplikasi yang terjadi pada PDA dikarenakan oleh
dua sebab utama, yaitu kelebihan cairan dan fenomena diastolic
steal .Berdasarkan besarnya shunt pada PDA, dapat terjadi kelebihan
cairan yang menyebabkan terjadinya gagal jantung konfestif, dan
edema intersistial, yang bila semakin parah akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pernapasan, gagal napas, dan henti napas.
Keadaan ini juga dapat memperpanjang penggunaan ventilasi mekanik
pada bayi prematur yang meningkatkan risiko dari penyakit paru
kronik bayi prematur, infeksi nosokomial, dan angka kematian.
Fenomena diastolic steal dimana pada saat diastolik aliran darah
dapat tertarik kembali ke paru melalui duktus arteriosus dapat
menyebabkan hipoperfusi pada arteri mesenterika yang mengakibatkan
terjadinya necrotizing enterocolitis (NEC), fenomena ini juga dapat
meningkatkan risiko perdarahan intrakranial pada bayi prematur.
Oleh karena itu, maka perlu adanya intervensi terapeutik untuk
membantu penutupan duktus arteriosus.3Secara tradisional dahulu
terapi pembedahan berupa ligasi dilakukan pada 98% kasus PDA, namun
sering terjadi rekanalisasi atau terjadinya penutupan yang
inkomplit. Walaupun dilakukan dengan bantuan evaluasi Doppler,
insidensi PDA residual terlihat semakin meninggi. Selain itu terapi
pembedahan memiliki komplikasi yang serius berupa terligasinya
arteri pulmonal atau desending aorta. Beberapa metode non-operatif
telah dikembangkan dalam penutupan PDA untuk menemukan tatalaksana
dengan efek samping yang minimal. Terapi non-operatif tersebut
dapat berupa penutupan dengan transkateter, dan penggunaan
medikamentosa, yaitu ibuprofen, indometasin, dan parasetamol.
Referat ini akan membahas tentang pendekatan non-operatif terhadap
penutupan PDA.
BAB IITinjauan pustaka
2.1 Patensi Duktus ArteriosusDefinisi dan patofisiologiDuktus
arteriosus adalah pembuluh darah yang menghubungkan trunkus
pembuluh darah pulmonalis utama, yaitu arteri pulmonalis sinistra
langsung dengan aorta desendens, pembuluh darah in terletak 5-10mm
distal dari pangkal arteri subclavia sinistra. Pada janin, duktus
arteriosus berfungsi mengalirkan darah mejauhi paru-paru dan
esensial fungsinya karena penutupan duktus arteriosus pada intra
uteri dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.4Pada janin, duktus
arteriosus dapat tetap terbuka karena produksi dari prostaglandin
E2 (PGE2). Pada bayi baru lahir akan terjadi proses penutupan
karena prostaglandin yang didapat dari ibu (prostaglandin maternal)
kadarnya menurun sehingga duktus arteriosus berubah menjadi
jaringan parut dan menjadi ligamentum arteriosum yang terdapat pada
jantung normal. Penutupan secara fungsional akan terjadi dalam
24jam pertama kehidupan pada lebih dari 50% bayi cukup bulan, 98%
dalam 48 jam, dan seluruh bayi normal akan mengalami penutupan pada
usia 96jam. Sedangkan penutupan secara anatomis dengan fibrosis dan
bersifat permanen akan terjadi pada usia 2 sampai 3 minggu Patensi
duktus arteriosus merupakan suatu kondisi dimana terjadi kegagalan
proses penutupan yang mengakibatkan jalur ini terus terbuka.4Secara
keseluruhan patensi ataupun proses penutupan dari duktus arteriosus
tergantung pada keseimbangan antara faktor konstriksi (misalnya
oksigen) dan faktor relaksasi dari prostaglandin. Peningkatan PaO2
yang terjadi akibat mulainya usaha ventilasi setelah kelahiran
memberikan efek konstriksi yang membantu penutupan duktus
arteriosus, faktor lain seperti pelepasan substansi vasoaktif
(contohnya asetilkolin) juga dapat memberikan kontribusi terhadap
penutupan duktus arteriosus postnatal. Pada sisi yang lain, efek
dilatasi dari prostaglandin (E1 , E2) dan prostasiklin akan menjaga
duktus untuk tetap terbuka. Perlu diperhatikan bahwa pengaruh
oksigen dan prostaglandin terhadap proses penutupan duktus
arteriosus akan bervariasi sesuai dengan umur gestasi. Efektivitas
konstriksi oksigen terhadap duktus akan cenderung berkurang pada
usia gestasi dini, sementara sensitivitas duktus terhadap efek
relaksasi prostaglandin E2 akan semakin meningkat.4
Manifestasi KlinisSebagian besar pasien dengan PDA tidak
memiliki gejala yang spesifik. Pasien dengan PDA yang cukup besar
dapat mengalami gagal jantung dan berkemungkinan besar mengalami
retardasi pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik pasien PDA dapat
ditemukan tekanan pulsasi yang memanjang, pada pemeriksaan thoraks
jantung dapat terlihat dan teraba pulsasi pada suprasternal dan
arteri karotis. Dapat ditemukan thrill pada sela iga kedua, bunyi
ini dapat meluas ke lateral sampai daerah klavikula sinistra, atau
ke distal sampai daerah batas sternal sinistra, atau meluas ke
apeks. Bunyi ini biasanya dipalpasi pada saat sistolik tapi juga
dapat terjadi terus menerus. Pada perkusi, bila pasien PDA yang
kecil, tidak didapatkan pembesaran jantung, namun pada PDA yang
cukup luas dapat terjadi pembesaran jantung yang ditandai dengan
pergeseran batas jantung. Pada auskultasi dapat terdengar bunyi
murmur klasik yang kontiniu, kualitas suaranya sering
dideskripsikan seperti bunyi mesin atau bunyi petir. Murmur dapat
didengar segera setelah bunyi janting pertama, mencapai intensitas
maksimal pada sistolik akhir dan menurun saat akhir diastol. Bunyi
ini bisa terlokalisasi pada sela iga kiri kedua atau menjalar
seperti thrill. Pada pasien dengan peningkatan resistensi vaskuler
paru, bunyi murmur dapat menjadi tidak prominen atau
hilang.5Pemeriksaan penunjangKarena gejalanya yang tidak spesifik,
pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan untuk membantu diagnosis
PDA. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain,
elektrokardiografi, foto thoraks, ekokardiografi, dan kateterisasi
jantung.5Pemeriksaan elektrokardiografi biasanya normal pada PDA
yang berukuran kecil, namun pada PDA dengan ukuran yang cukup besar
dapat ditemukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri atau hipertrofi
biventrikular.5Pada pemeriksaan radiografi pada pasien dengan PDA
yang cukup besar dapat ditemukan gambaran arteri pulmonalis yang
prominen, dengan peningkatan corakan vaskularisasi paru. Ukuran
jantung dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan dari
left to right shunt. Bagian jantung yang terlihat hipertrofi
biasanya adalah atrium kiri dan ventrikel kiri. Dapat juga terlihat
gambaran elongasio aorta.5Ekokardiografi pada duktus besar akan
terlihat pembesaran ruang pada atrium dan ventrikel kiri,
pembesaran atrium kiri biasanya diukur dengan perbandingannya
terhadap aortic root, yang dikenal dengan rasio LA: Ao. Pada mode
Doppler dapat terlihat turbulensi retrograde pada fase sistolik
maupun diastolik di arteri pulmonal dan aliran retrograde pada
aorta saat diastol.5Kateterisasi jantung tidak selalu menjadi
indikasi pemeriksaan , namun dapat dilakukan apabila pada pasien
gejala dan temuan pemeriksaan yang atipikal atau pada pasien dengan
kecurigaan lesi pada jantung. Pada kateterisasi jantung dapat
ditemukan peningkatan tekanan pada ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis, peningkatan tekanan ini berhubungan dengan ukuran PDA.
Adanya percampuran darah yang teroksigenasi di arteri pulmonal
mengkonfirmasi adanya left to right shunt. Kateter ini dapat
menelusuri arteri pulmonalis menuju ke duktus arteriosus sampai ke
aorta desenden, dengan menginjeksikan kontras pada aorta desenden
akan memperlihatkan daerah opak yang memenuhi arteri pulmonalis
dari aorta desenden sehingga duktus dapat teridentifikasi.5
Tanda Panah : duktus arteriosusA. Gambaran duktus arteriosus
melalui kateterisasi jantung.
2.2 Penatalaksanaan non-operatif terhadap Patensi Duktus
Arteriosus2.2.1 IndomethacinPenggunaan indomethacin dalam penutupan
PDA yang berkaitan dengan prematuritas telah dilakukan sejak tahun
1970. Indomethacin merupakan obat golongan Non Steroid Anti
Inflammation Drug (NSAID), yang menfasilitasi penutupan PDA melaui
dua cara : memblokade formasi dari prostaglandin yang penting dalam
menjaga PDA tetap terbuka, dan meningkatkan ketebalan dari zona
avaskular dengan menyebabkan kontraksi pada otot sirkumferensial
dan longitudinal dari PDA yang berakibat konstriksi, penurunan
aliran darah pada vaso vasorum yang mengakibatkan hipoksia dari
dinding pembuluh darah yang kemudian memicu vascular endothelial
cell growth factor, yang nantinya akan menstimulasi pertumbuhan ke
dalam dari neo intima dan mengakibatkan penyempitan pada lumen PDA.
Sejak tahun 1976, inhibisi prostaglandin dengan menggunakan
indomethacin telah digunakan secara luas baik sebagai profilaksis
maupun sebagai pengobatan PDA dengan tingkat efektivitas
66-88%.1,3Indomethacin cukup sering menimbulkan efek samping, dapat
berupa hyponatremia, perburukan dari NEC, dan perforasi usus yang
tidak terkait dengan NEC, perdarahan gastrointestinal, gagal ginjal
yang bersifat sementara atau permanen, dan gangguan pembekuan
darah. Walaupun insiden dari NEC pada bayi yang mendapatkan
indometacin tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan
kelompok plasebo, telah ada penelitian yang melaporkan terjadinya
peningkatan mortalitas pada pasien dengan riwayat pemberian
indometasin sebelumnya dan menderita NEC, dengan peningkatan
perforasi usus terutama pada pasien dengan ibu yang menggunakan
steroid karena persalinan prematur. 1Pada PDA dengan hemodinamik
yang stabil pemberian indomethacin juga diketahui mempengaruhi
perfusi renal, mesenterika, dan serebral sehingga dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya bronkopulmonari displasia
(BPD), pengurangan oksigenasi intraseluler serebral, perdarahan
intrakranial, necrotizing enterocolitis, dan kematian.12.2.2
IbuprofenTerapi standar medikamentosa yang digunakan dalam
penutupan PDA biasanya menggunakan ibuprofen yaitu golongan
nonselektif siklooksigenase inhibitor. Mekanisme kerja dari NSAID
tradisional menginduksi konstriksi duktus adalah dengan jalur
inhibisi pada sintesi prostaglandin. Prostaglandin sintase memiliki
dua komponen, yaitu siklooksigenasi dan peroksidase,
siklooksigenase mengkatalis sintesis awal dari prostanoid dari asam
arakidonat. Pada awal situs aktif dari sikooksigenase, asam
arakidonat mengalai oksigenasi dan membentuk PGG2 yang nantinya
dengan komponden enzim peroksidase membentuk PGH2. Indomethacin dan
ibuprofen bekerja dengan cara berkompetisi dengan substrat asam
arakidonat pada situs aktif dari siklooksigenase, dan oleh karena
itu potensiasi dari kedua obat tersebut akan dipengaruhi oleh kadar
asam arakidonat endogen.1Obat ini terbukti efektif dalam penutupan
duktus 70% pada kasus. Ibuprofen pertama kali digunakan pada tahun
1995, dalam penelitian Van Overmiere,dkk menunjukkan bahwa
penggunaan Ibuprofen IV memberikan efektivitas yang sama dengan IV
indomethacin dalam penutupan PDA pada bayi permatur tetapi memiliki
efek samping yang lebih rendah terkait dengan oliguria dan
peningkatan serum kreatinin, tanpa adanya perbedaan signifilan pada
variabel lain seperti NEC, mortalitas dan perdarahan
intrakranial.1Ibuprofen dimetabolisme melalui sitokrom P450
kompleks (secara spesifik CYP2C9 dan CYP 2C8) yang kadarnya hampir
tidak terdeteksi pada kelahiran, tapi akan meningkat secara stabil
pada minggu pertama kehidupan dan mencapai sepertiga kadar dewasa
pada usia satu bulan. Oleh karena itu, berdasarkan studi ini maka
perlu adanya peningkatan dosis Ibuprofen IV seiring bertambahnya
usia postnatal, yaitu sebagai berikut 10mg/kg diikuti dengan dua
dosis 5 mg/kg/dosis untuk bayi dengan usia kurang dari 70jam
kehidupan; 14, 7, 7 mg/kg/hari untuk bayi dengan usia diantara 70
dan 108 jam dan 18, 9, 9 mg/kg/hari untuk bayi yang dengan usia
lebih dari 108 jam.1,3Pada sebuah studi oleh Cherif,dkk yang
membandingkan efektivitas pemberian ibuprofen secara oral dan IV,
ditemukan angka keberhasilan penutupan yang lebih baik pada oral
ibuprofen dibandingkan dengan pemberian IV (84.3% : 62.5%) dengan
efek samping yang juga lebih minimal (9.3% : 31.2%). Ketertarikan
tentang efektivitas ibuprofen oral ini dilanjutkan dengan studi
yang memeriksa efektivitas dari oral ibuprofen terhadap PDA pada
bayi cukup bulan. Ibuprofen oral diberikan pada bayi usia diatas
tiga hari dengan dosis 10mg/kg/hari untuk hari pertama diikuti
dengan dua dosis 5mg/kg/hari. Terdapat hasil yang signifikan
diantara kelompok terapi dengan plasebo (73.3% dan 42.9% penutupan)
dan pada kelompok dengan oral ibuprofen PDA menutup dalam jangka
waktu yang lebih awal jika dibandingkan dengan kelompok
plasebo.1,3
2.2.3 ParacetamolPerluasan penggunaan parasetamol pada neonatus
telah berakumulasi dalam beberapa tahun terakhir, karena sekarang
telah mulai digunakan juga sebagai analgesik. Laporan kasus
American Association of Pediatric dengan memberikan parasetamol
pada lima bayi prematur yang memiliki hemodinamik stabil dengan
riwayat gagal terapi atau kontraindikasi terhadap ibuprofen,
menunjukkan penutupan PDA pada 48 jam setelah pemberian terapi pada
semua bayi, tanpa ada efek toksisitas.3Cara kerja Parasetamol mirip
dengan golongan NSAID, yaitu melalui inhibisi sintase dari
prostaglandin. Walaupun mekanismenya secara pasti masih
kontroversial, parasetamol sepertinya bekerja pada segmen
peroksidase dari enzim. Peroksidase diaktivasi dengan kadar
peroksida 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan siklooksigenase,
sementara inhibisi yang dimediasi oleh parasetamol diketahui akan
terfasilitasi dalam keadaan konsentrasi peroksida yang rendah.
Secara teoritis, perbedaan hal ini akan memungkinkan inhibisi
peroksidase menjadi optimal dimana pada keadaan ini inhibisi
siklooksigenase kurang aktif.3Parasetamol diberikan secara
intravena dengan dosis yang disarankan yaitu sebanding dengan dosis
yang digunakan untuk manajemen nyeri pada neonatus. Parasetamol
terlihat memiliki efek samping yang lebih rendah dari golongan
NSAID tradisional pada umumnya, termasuk di dalamnya vasokonstriksi
perifer, perforasi gastrointestinal, oliguria, gangguan agregasi
platelet, dan hiperbilirubinemia. Mengingat sifat parasetamol yang
hepatotoksik, pada laporan kasus American Association of Pediatric
ini, hanya 1 neonatus cukup bulan yang dilaporkan mengalami
hepatotoksisitas dengan pengobatan eksesif parasetamol selama 3
hari dengan dosis mendekati 10 kali lipat dari dosis terapeutik.
Pada penggunaan yang akut, overdosis tunggal pada neonatus
prematur, parasetamol terbukti relatif aman dan tidak menunjukkan
adanya hepatotoksisitas, dan secara keseluruhan disimpulkan bahwa
bayi yang lebih matur akan lebih rentan terhadap efek
hepatotoksisitas dari parasetamol dibandingkan dengan bayi
prematur.3Pada laporan kasus mengenai penggunaan parasetamol
terhadap penutupan PDA ini, menunjukkan penutupan seluruh pasien
neonatus yang menderita PDA dengan hemodinamik stabil selama lebih
kurang 35 hari dengan penutupan seluruh PDA dalam 3 hari setelah
pemberian parasetamol. Meskipun belum diketahui secara pasti efek
kausal parasetamol terhadap penutupan PDA, laporan kasus ini sangat
menyarankan adanya penelitian Randomized Controlled Trial lebih
lanjut, karena bila dapat dikonfirmasi parasetamol dapat memberikan
beberapa keuntungan terapeutik dibandingkan dengan terapi yang
sudah ada sekarang, yaitu tidak memiliki efek vasokonstriksi
perifer, dapat diberikan pada pasien dengan kontraindikasi terhadap
NSAID, dan terlihat efektif bila digunakan sebagai terapi
alternatif pada pasien yang gagal dengan terapi ibuprofen dimana
sebelumnya pilihan terapinya adalah pembedahan.3
2.2.4 Penutupan TranskateterPenutupan transkateter pada PDA
merupakan teknik alternatif yang memungkinkan pasien untuk
mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, menghindari adanya
bekas luka, dan nyeri akibat tindakan. Metode ini juga dinilai
ekonomis dan hampir tidak memiliki batasan terlepas dari ukuran PDA
yang lebih dari 8mm dimana metode operatif masih
disarankan.6Porstman melaporkan penutupan PDA non-operatif pertama
dengan transkateter menggunakan Ivalon plug pada tahun 1967,
laporan ini menyatakan tingkat kesuksesan sebesar 90% penutupan
sempurna setelah pemantauan selama 5 tahun. Kelemahan dari metode
ini adalah dari besarnya ukuran alat yang digunakan, dan oleh sebab
itu metode ini hanya digunakan pada orang dewasa dan dewasa
muda.6Setelah laporan Porstman, beberapa teknik penutupan
transkateter lain mulai dikembangkan. Sebuah penelitian di Eropa
melaporkan mengenai penggunaan perangkat Rashkind Double Umbrella
pada 686 pasien dengan tingkat kesuksesan 82.5% pada tahun pertama
implantasi. Perangkat kedua diimplantasi pada 41 pasien dengan
kebocoran residual dan meningkatkan tingkat penutupan sampai 98.4%
setelah pemantauan selama 30 bulan, namun teknik pemasangan alat
ini lebih kompleks dan menggunakan alat yang relatif berukuran
besar (8F dan 11F). Pada penelitian ini didapatkan komplikasi
berupa 2 kematian selama prosedur, embolisasi alat pada sirkulasi
pulmonal pada 16 pasien, dan embolisasi aorta pada 2 pasien.6Teknik
lain dengan menggunakan Gianturco Coil atau multipel coil
dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan 93-97% setelah pemantauan
selama 6 bulan. Teknik ini menggunakan kateter berukuran kecil
untuk pemasangan alatnya (5F-6F) dan memungkinkan pendekatan
melalui arteri atau vena. Teknik ini dinilai lebih aman
dibandingkan dengan Rashkin device dan memiliki kemungkinan
embolisasi sirkulasi pulmonal yang lebih rendah , yaitu sekitar
3-8% dari pasien, oleh karena itu penting dilakukannya pengukuran
duktus secara cermat sebelum pemasangan alat. Beberapa modifikasi
terhadap coil telah dilakukan untuk mengurangi kemungkinan
embolisasi, namun seluruh teknik modifikasi ini belum dapat dengan
sempurna melindungi pasien dari kemungkinan emboli. Pada studi
Hijazi dan Geggel mengenai penggunaan Gianturco Coil, dilaporkan
tidak terdapat perbedaan dalam penutupan PDA baik secara retrograde
dan antegrade pada penutupan PDA dengan diameter kurang dari 4mm,
begitu juga dengan penggunaan satu atau multipel coil. Studi ini
menyimpulkan tingkat kesuksesan metode ini mencapai 87.5% dan
menyarankan penggunaan lebih banyak coil pada PDA dengan diameter
lebih dari 3.5mm.6,7Amplatzer duct occluder adalah peralatan
terakhir yang digunakan dengan transkateter. Laporan kasus pertama
oleh Masura,dkk tentang penggunaan pertama pada manusia didapatkan
penutupan duktus arteriosus secara sempurna setelah 24 jam dari
prosedur dan tidak ditemukan adanya komplikasi. Studi kolaborasi
yang lebih besar oleh the Second Pediatric Interventional Cardiac
Symposium in 1998 melaporkan penutupan sempurna dari duktus 98%
dari pasien setelah 6 bulan.6,2
Penutupan PDA dengan metode transkateter sudah menjadi modalitas
terapi yang diakui, sampai saat ini Amplatzer Duct Occluder
merupakan metode yang terbaik karena hemat biaya, mudah digunakan,
dapat dimasukkan melalui kanal yang kecil, dapat diambil kembali
sehingga memungkinkan terjadinya reposisi, dan memiliki tingkat
kesuksesan penutupan yang hampir mencapai 100% dengan kejadian
komplikasi yang minimal. Namun untuk PDA dengan diameter yang lebih
dari 8mm masih disarankan pendekatan penutupan PDA dengan cara
operatif.6,2
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN3.1 KesimpulanPatensi duktus
arteriosus persisten (PDA) merupakajn kelainan jantung kogenital
pada bayi yang memiliki insiden cukup sering pada neonatus. Keadaan
ini sering memberikan komplikasi yang serius, yaitu dapat berupa
gagal jantung konfestif, dan edema intersistial, yang bila semakin
parah akan mengakibatkan terjadinya gangguan pernapasan, gagal
napas, dan henti napas. Selain itu, patensi duktus arteriosus juga
dapat menyebabkan hipoperfusi pada arteri mesenterika yang
mengakibatkan terjadinya necrotizing enterocolitis (NEC),
meningkatkan risiko perdarahan intrakranial. Gangguan napas akibat
PDA dapat memperpanjang penggunaan ventilasi mekanik pada bayi
prematur yang meningkatkan risiko dari penyakit paru kronik bayi
prematur, infeksi nosokomial, dan angka kematian. Oleh karena itu,
maka perlu adanya intervensi terapeutik untuk membantu penutupan
duktus arteriosus. Secara kronologis dari masa ke masa terapi PDA
diawali dengan metode pembedahan berupa ligasi dilakukan pada
hampir seluruh kasus PDA, namun sering terjadi rekanalisasi atau
gagalnya penutupan sempurna dari PDA, walaupun dalam
perkembangannya metode pembedahan telah dilakukan dengan bantuan
evaluasi Doppler insidensi PDA residual terlihat semakin meninggi.
Selain itu terapi pembedahan memiliki komplikasi yang serius berupa
terligasinya arteri pulmonal atau desending aorta. Oleh karena itu
mulai dikembangkan metode non-operatif dalam penatalaksanaan
PDA.Terapi medikamentosa standar yang biasa digunakan sampai saat
ini adalah Ibuprofen karena dibandingkan dengan indomethacin,
Ibuprofen IV memiliki efektivitas yang sama dengan IV indomethacin
dalam penutupan PDA pada bayi permatur dan memiliki efek samping
yang lebih rendah terkait dengan oliguria dan peningkatan serum
kreatinin, walaupun tidak ditemukan adanya perbedaan signifilan
pada variabel lain seperti NEC, mortalitas dan perdarahan
intrakranial. Perkembangan selanjutnya yaitu penggunaan parasetamol
dalam laporan kasus American Association of pada lima bayi prematur
yang memiliki hemodinamik stabil dengan riwayat gagal terapi atau
kontraindikasi terhadap ibuprofen, menunjukkan penutupan PDA pada
48 jam setelah pemberian terapi pada semua bayi, tanpa ada efek
toksisitas, namun belum ada penelitian secara statistik untuk
mengkonfirmasi efektivitas parasetamol terhadap penutupan PDA.
Walaupun belum teruji secara statistik, penutupan PDA secara
medikamentosa dengan parasetamol sangat menjanjikan karena dapat
memberikan beberapa keuntungan terapeutik dibandingkan dengan
terapi yang sudah ada sekarang, yaitu tidak memiliki efek
vasokonstriksi perifer, dapat diberikan pada pasien dengan
kontraindikasi terhadap NSAID, dan terlihat efektif bila digunakan
sebagai terapi alternatif pada pasien yang gagal dengan terapi
ibuprofen dimana sebelumnya pilihan terapinya adalah pembedahan.
Penutupan PDA secara medikamentosa biasanya tidak adekuat untuk PDA
yang persisten melebihi usia 1 minggu kedupan, oleh sebab itu perlu
dilanjutkan dengan terapi alternatif lain, misalnya penutupan
transkateter.Penutupan dengan Transkateter merupakan metode
alternatif non-operatif yang memungkinkan pasien mempersingkat
waktu perawatan di rumah sakit, menghindari adanya bekas luka, dan
nyeri akibat tindakan. Metode ini juga dinilai lebih ekonomis
dibandingkan dengan terapi operatif. Pada PDA dengan ukuran kecil
biasanya ditutup cukup baik dengan Gianturco Coil, pada ukuran yang
lebih besar dapat digunakan multipel coil atau Rashkind Double
Umbrella. Hingga saat ini, Amplatzer Duct Occluder merupakan metode
yang terbaik karena hemat biaya, mudah digunakan, dapat dimasukkan
melalui kanal yang kecil, dapat diambil kembali sehingga
memungkinkan terjadinya reposisi, dan memiliki tingkat kesuksesan
penutupan yang hampir mencapai 100% dengan kejadian komplikasi yang
minimal. Penatalaksanaan PDA dengan cara non-operatif terus
dikembangkan menilai besarnya komplikasi dan biaya perawatan bila
harus dilakukan pendekatan secara operatif. Bila dibandingkan
dengan metode invasif sebelumnya berupa ligasi dengan pembedahan,
metode pendekatan non-operatif baik dengan medikamentosa ataupun
transkateter lebih disarankan untuk tatalaksana penutupan PDA
dengan diameter kurang dari 8mm. Sementara untuk PDA dengan ukuran
lebih dari 8mm ataupun PDA yang persistent setelah pengobatan
adekuat dengan medikamentosa dan transkateter terapi operatif dapat
dipertimbangkan.
3.2 SaranReferat ini secara umum membahas beberapa pendekatan
non-operatif terhadap penatalaksanaan PDA, namun tidak membahas
tentang perbandingan tingkat efektivitas diantara
pendekatan-pendekatan non-operatif tersebut. Penulis menyarankan
perlu adanya tulisan selanjutnya mengenai perbandingan antara
terapi transkateter dengan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan PDA.Selama penulisan penulis menyadari adanya
perbedaan antara respon pengobatan PDA pada neonatus cukup bulan
dengan neonatus prematur. Oleh karena itu penulis menyarankan
penulisan selanjutnya dapat membahas tentang perbandingan
efektivitas pendekatan non-operatif pada kelompok neonatus cukup
bulan dan prematur.
DAFTAR PUSTAKA1. Wong, Abdul Rahim et al. Closure of the patent
ductus arteriosus with ibuprofen and other non-steroidal
antiinflammatory medications in neonates. Eastern Journal of
Medicine 15 (2010) 139-145.2. Al-Motarreb, Ahmed et al. Percutaneus
transcatheter closure of patent ductus arteriosus using amplatzer
duct occluder: first yemeni experience. Heart Views Volume 7 No.3
(2006) 101-104.3. Hammerman, Cathy et al. Ductal closure with
paracetamol: A suprising new approach to patent ductus arteriosus
treatment. Pediatrics 2011;128;e1618 4. Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs. New York : Lange Books/Mc Graw-Hill. 2009. hal
619-621. 5. Klegman, Robert M., Beherman, Jenson, Stanton. Nelson
Textbook of Pediatrics 18th.2007. Philadelphia: Saunders Elsevier.
6. Robida, Andrej, MD. Nonsurgical transcatheter closure of ductus
arteriosus. Heart Views Volume 1 No.3 (1999) 64-9.7. Haweleh, Abdel
F. Transcatheter closure of patent ductus arteriosus using
gianturco coil: Jordanian experience. Kuwait Medical Journal 2003,
35 (2): 118-121.
1