-
POLICY PAPER
PENANGANAN KEMISKINAN DI SULAWESI SELATAN: Pendekatan dan Agenda
Kebijakan
DR. AGUSSALIM, SE, MS. [email protected]
Dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
dalam merumuskan kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan.
Januari 2012
-
Agussalim
1
PENANGANAN KEMISKINAN DI SULAWESI SELATAN: Pendekatan dan Agenda
Kebijakan1
Agussalim2
“Seperti halnya perbudakan dan aparteid, kemiskinan tidak
bersifat alami. Ia adalah buatan manusia, dan karena itu,
kemiskinan dapat diatasi dan diberantas oleh tindakan manusia”.
Nelson Mandela, 2003
Prolog
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari
lalu, bahwa jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan meningkat,
sungguh mengejutkan. Dari hasil kalkulasi BPS, jumlah penduduk
miskin meningkat dari 832.910 orang pada Maret 2011 menjadi 835.510
orang pada September 2011 atau bertambah sebesar 2.600 orang
(0,31%) dalam enam bulan terakhir. Jika menggunakan perspektif
linearitas, tentu saja peningkatan ini sungguh tidak terduga
mengingat jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan dalam beberapa
tahun terakhir cenderung menurun secara konsisten.
Meskipun dari segi persentase penduduk miskin cenderung menurun,
yaitu dari 10,29 persen menjadi 10,27 persen (ini akibat total
penduduk meningkat lebih cepat ketimbang jumlah penduduk miskin),
peningkatan jumlah penduduk miskin secara absolut tetap harus
direspon dengan serius. Sedikitnya ada empat alasan mengapa respon
semacam itu diperlukan. Pertama, adagium yang terkenal luas di
kalangan para ekonomi bahwa “pasang naik air laut akan mengangkat
semua perahu” tampaknya tidak sepenuhnya berlaku di Sulawesi
Selatan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup impresif pada tahun 2010
dan triwulan I-III tahun 2011 ternyata tidak mampu mengangkat taraf
hidup semua kelompok penduduk. Taraf hidup kelompok penduduk miskin
justru tampak semakin memburuk yang diindikasikan oleh bertambahnya
jumlah penduduk miskin.
Kedua, jika pertumbuhan ekonomi tidak memberi dampak terhadap
penduduk miskin, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi
hanya dinikmati oleh kelompok penduduk menengah-atas. Jika
pertumbuhan ekonomi lebih bias ke kelompok penduduk klas
menengah-atas ketimbang kelompok penduduk klas bawah, maka dapat
dipastikan bahwa distribusi pendapatan cenderung semakin melebar
dan timpang. Angka koefisien gini yang membesar, dari 0,36 pada
tahun 2008 menjadi 0,40 pada tahun 2010, sesungguhnya hanya sekedar
mengkonfirmasi fakta ini. Di
1Policy paper ini dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan dalam menyusun dan mendesain kebijakan
dan program penanggulangan kemiskinan daerah. 2Penulis adalah Ketua
Program Magister Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan Fakultas
Ekonomi
Universitas Hasanuddin dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebijakan dan
Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, Makassar.
-
Agussalim
2
kalangan penduduk miskin, situasi ini berpotensi menimbulkan
efek psikologis, dimana mereka selalu menganggap dirinya semakin
miskin meskipun secara absolut boleh jadi kehidupan mereka semakin
membaik dibandingkan dengan sebelumnya.
Ketiga, secara implisit, pembengkakan jumlah penduduk miskin
juga menegaskan bahwa kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan yang diimplementasikan secara massif dalam beberapa
tahun terakhir tampaknya tidak cukup efektif untuk memperbaiki
taraf hidup penduduk miskin. Dalam konteks ini, Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan berbagai program pengentasan
kemiskinan dapat dinilai – atau setidaknya dipersepsi - tidak
berhasil di Sulawesi Selatan. PNPM boleh jadi berhasil pada tataran
output (memperbaiki saluran irigasi, jalan desa, lingkungan
pemukiman, dsb.), tetapi tentu saja tidak berhasil pada tataran
impact (mengurangi jumlah penduduk miskin).
Keempat, penanganan kemiskinan di daerah ini, terutama dalam
tiga-empat tahun terakhir, sesungguhnya telah mengalami kemajuan
signifikan. Dalam catatan penulis, daerah ini telah melakukan
berbagai langkah konstruktif, diantaranya membentuk Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), menandatangani nota
kesepahaman (MoU) antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota untuk menurunkan angka kemiskinan 10 persen per
tahun, mengimplementasikan kebijakan pendidikan dan kesehatan
gratis, menempatkan pemenuhan hak-hak dasar sebagai substansi utama
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan sebagainya.
Namun berbagai upaya tersebut tampaknya tidak berjalan paralel
dengan penurunan angka kemiskinan, setidaknya untuk September 2011.
Kondisi ini tampaknya kian menegaskan kembali bahwa “keberhasilan
tidak berada di ranah rencana, tetapi di ranah tindakan”.
Potret Kemiskinan di Sulawesi Selatan
Jika mengacu pada data BPS, tampak jelas bahwa, baik jumlah
maupun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan, terus
mengalami penurunan secara konsisten, setidaknya untuk rentang
waktu 2007 s/d Maret-2011. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin
mencapai 1.083.400 orang atau 14,11 persen dari total penduduk.
Dengan kata lain, setiap tujuh penduduk di Sulawesi Selatan, satu
diantaranya terkategori miskin. Angka tersebut terus bergerak turun
hingga menjadi 832.910 orang atau 10,29 persen pada Maret-2011.
Membaiknya kinerja ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi,
tingkat pengangguran terbuka, tingkat inflasi, serta meningkatnya
nilai tukar petani (NTP) telah berkontribusi besar terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan.
Namun pada September 2011, jumlah penduduk miskin meningkat
menjadi 835.910 orang atau meningkat 0,31 persen dari Maret 20113.
Meskipun peningkatannya relatif
3Seluruh angka kemiskinan ini didasarkan atas hasil perhitungan
BPS. Garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS untuk
mengidentifikasi penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah Rp
185.736
per bulan per orang. Angka ini relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan Garis Kemiskinan yang digunakan secara
Nasional, yaitu Rp 243.729 per bulan per orang atau setara dengan
US$1,2 (PPP)
per orang per hari. Jika kita menggunakan kriteria Bank Dunia
saat ini, US$2 (PPP) per orang per hari,
angka kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Nasional tentu saja
akan jauh lebih besar.
-
Agussalim
3
kecil, namun peningkatan tersebut telah memberi citra dan
persepsi kurang baik bagi efektifitas penanganan kemiskinan di
Sulawesi Selatan.4 Peningkatan ini juga berpotensi memunculkan
kesangsian atas berbagai klaim keberhasilan pembangunan ekonomi
oleh pemerintah daerah.
Gambar 1 – Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di
Sulawesi Selatan, 2007-2011
Sumber: Diolah dari BPS
Yang sedikit melegakan, meskipun jumlah penduduk miskin
bertambah, namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan
cenderung menurun, yaitu dari 10,29 persen (Maret 2011) menjadi
10,27 persen (September 2011). Penurunan ini disebabkan oleh laju
pertumbuhan penduduk meningkat lebih cepat dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk miskin. Capaian ini juga tampak bagus jika
dibandingkan dengan angka Nasional (12,36%).
Peningkatan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan menjadi
kian menarik untuk diamati terutama jika dikaitkan dengan kinerja
makro-ekonomi daerah, terutama pertumbuhan ekonomi, tingkat
pengangguran dan tingkat inflasi. Menurut data BPS, pada tahun
2010, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sebesar 8,18 persen dan
capaian tersebut telah menempatkan Sulawesi Selatan dalam jajaran
provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi secara
Nasional. Meskipun BPS memprediksi pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan sedikit melambat pada tahun 2011, namun masih berada di
kisaran 8,00 persen. Tingkat pengangguran terbuka dan tingkat
inflasi juga menunjukkan kinerja yang cukup, yaitu masing-masing
8,37 persen dan 2,87 persen, yang merupakan angka terendah dalam
lima tahun terakhir. Situasi ini yang kemudian menimbulkan
kesangsian, terutama dari kalangan pemerintah daerah, atas akurasi
data BPS mengenai peningkatan jumlah penduduk miskin.
4Fenomena ini cenderung melahirkan pandangan terbelah. Sebagian
pihak, terutama pemerintah daerah, mempertanyakan dan meragukan
data publikasi BPS tersebut. Namun sebagian lainnya,
terutama pemerhati masalah kemiskinan, menganggap bahwa realitas
tersebut seharusnya semakin
memacu pemerintah daerah untuk bekerja lebih keras memerangi
kemiskinan.
1,083,400 1,031,700
963,570 913,430
832,910 835,510
14.11 13.34
12.31 11.61
10.29 10.27
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
2007 2008 2009 2010 2011-Mar 2011-Sept
Per
sen
tase
Pen
du
du
k M
iski
n
Jum
lah
Pen
du
du
k M
iski
n
Jumlah Persentase
-
Agussalim
4
Gambar 2 – Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin di
Pulau Sulawesi, 2011
Sumber: Diolah dari BPS
Jika angka kemiskinan di Sulawesi Selatan dikomparasikan dengan
provinsi lainnya di Pulau Sulawesi, tampak bahwa jumlah penduduk
miskin di Sulawesi Selatan menempati urutan teratas, meskipun dari
segi persentase menempati urutan kedua sesudah Sulawesi Utara. Pada
tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan dua kali
lipat lebih besar dari Sulawesi Tengah dan empat kali lipat dari
Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di
Sulawesi Selatan hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo
merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di
Pulau Sulawesi.
Jika diamati secara spasial, daerah yang menjadi konsentrasi
penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Pangkep,
Jeneponto, Bone, Toraja Utara, Luwu Utara. Luwu dan Maros5. Hampir
setengah dari seluruh penduduk miskin di Sulawesi Selatan bermukim
di daerah ini. Keseluruhan daerah ini memiliki jumlah dan
persentase penduduk miskin yang relatif besar. Dari segi proporsi,
persentase penduduk miskin di daerah ini rata-rata berada di atas
14 persen dari total penduduk. Kota Makassar dan Kabupaten Gowa
meskipun memiliki jumlah penduduk miskin yang tergolong besar,
namun persentasenya relatif kecil.
Jika diamati lebih lanjut dalam perspektif wilayah (kota-desa),
tampak jelas bahwa wilayah perdesaan merupakan tempat bermukim
sebagian besar penduduk miskin, yaitu mencapai 84,01 persen dari
total penduduk miskin. Artinya, setiap 10 orang penduduk miskin di
Sulawesi Selatan, lebih dari 8 orang bermukim di perdesaan.
Persentase penduduk miskin di perdesaan juga relatif cukup besar,
yaitu mencapai 13,63 persen dari total penduduk perdesaan.
Bandingkan dengan perkotaan yang hanya mencatat angka 4.48
persen.
5Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pangkep
mencatat persentase penduduk
miskin paling tinggi, sedangkan Kota Makassar paling rendah.
Dari segi jumlah penduduk miskin,
Kabupaten Bone mencatat angka paling besar, sedangkan Kota
Pare-Pare paling kecil.
194,900
832,910
164,870
330,010
423,640
198,270
8.51
10.29
13.89 14.56
15.83
18.75
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Per
sen
tase
Pen
du
du
k M
iski
n
Jum
lah
Pen
du
du
k M
iski
n
Jumlah Persentase
-
Agussalim
5
Gambar 3 – Penyebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan, 2011
Sumber: Diolah dari BPS
Gambar 4 – Penyebaran penduduk miskin menurut wilayah di
Sulawesi Selatan, 2011-Sept.
Sumber: Diolah dari BPS
Fakta yang paling menarik adalah bahwa pembengkakan jumlah
penduduk miskin di Sulawesi Selatan dikontribusi oleh wilayah
perdesaan. Berbeda kontras dengan wilayah perkotaan yang mengalami
penurunan baik jumlah maupun persentase penduduk miskin, wilayah
perdesaan justru menunjukkan peningkatan jumlah dan persentase
penduduk miskin pada periode Maret s/d September 2011. Akibatnya,
proporsi penduduk miskin di perdesaan cenderung semakin membesar.
Secara implisit fakta ini menegaskan bahwa penduduk miskin di
wilayah perdesaan tidak memperoleh manfaat dari kemajuan ekonomi
yang dicapai oleh Sulawesi Selatan.
15.99%
84.01% perkotaan
perdesaan
Selayar
Bulukumba
Bantaeng
Jeneponto
Takalar Gowa
Sinjai
Maros
Pangkep
Barru
Bone
Soppeng
Wajo
Sidrap
Pinrang
Enrekang
Luwu Tana Toraja
Luwu Utara
Luwu Timur
Toraja Utara
Kota Makassar Kota Parepare
Kota Palopo
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000
Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
-
Agussalim
6
Gambar 5 – perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2011-Sept
Sumber: Diolah dari BPS
Fakta berikutnya yang juga menarik untuk diamati adalah
pergerakan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan. Sampai dengan Maret 2011, baik
P1 maupun P2, menunjukkan penurunan yang konsisten, baik di wilayah
perkotaan maupun perdesaan. Ini mengindikasikan bahwa, baik jarak
rata-rata pengeluaran penduduk miskin ke garis kemiskinan maupun
ketimpangan (gap) pengeluaran antara penduduk miskin itu sendiri,
semakin membaik. Namun pada September 2011, P1 dan P2 menurun di
wilayah perkotaan, tetapi justru meningkat di wilayah perdesaan.
Artinya, secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin
menurun dan ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin semakin
memburuk di wilayah perdesaan.
Perspektif dan Pendekatan Baru
Realitas kemiskinan di Sulawesi Selatan sebagaimana dikemukakan
di atas, melahirkan banyak implikasi. Pertama, desain perencanaan
dan penganggaran yang diperuntukkan bagi kaum miskin ternyata tidak
bekerja efektif, setidaknya untuk periode Maret-September 2011.
Seluruh strategi-kebijakan-program penanggulangan kemiskinan yang
diimplementasikan di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 terbukti
tidak cukup ampuh untuk menurunkan angka kemiskinan. Pembengkakan
jumlah penduduk miskin sekitar 2.600 orang (netto) pada periode
Maret-September 2011 memberi sinyal kuat atas ketidakberhasilan
strategi-kebijakan-program penanggulangan kemiskinan yang
diimplementasikan. Dalam dunia perencanaan dikenal sebuah adagium:
“failing to plan is planning to fail”.
Kedua, paradigma perencanaan dan penganggaran yang dipraktekkan
selama ini tampaknya belum bergeser dari “apa yang akan dilakukan”
menuju “apa yang akan dicapai”. Pembahasan intensif masih terpusat
pada grand design dan master plan penanganan, formulasi strategi
dan kebijakan, rumusan program dan kegiatan, yang kesemuanya itu
mengarah pada paradigma “apa yang akan dilakukan”. Sebaliknya,
2.60 2.44
2.08 1.91
1.61 1.59
0.68 0.67 0.55 0.49 0.40 0.39
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
2007 2008 2009 2010 2011-Mar 2011-Sept
P1
P2
-
Agussalim
7
pembahasan mengenai sasaran dan target yang mau dicapai,
validasi kelompok sasaran, ketepatan sasaran, akurasi intervensi,
efektifitas penanganan, yang merupakan bagian dari paradigma “apa
yang akan dicapai”, belum mendapat ruang pembahasan yang memadai.
Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal, The Seven Habits of
Highly Effective People, mengatakan bahwa satu dari tujuh kebiasaan
orang yang sangat efektif adalah bekerja dengan sasaran, sejak dari
awal kegiatannya (start with the end in mind).
Ketiga, penanganan kemiskinan sepertinya tidak didasarkan pada
hasil “diagnosis” kemiskinan yang valid dan akurat. Tampak jelas,
penanganan kemiskinan masih bertumpu pada “resep”. Padahal kita
semua tahu bahwa mujarabnya “resep” sangat tergantung pada
keakuratan “diagnosis”. Dengan kata lain, tidak mungkin “resep”
akan bekerja optimal ketika “diagnosis” tidak akurat. Mal praktek
dalam dunia kedokteran, selalu terjadi karena kesalahan melakukan
diagnosis.6
Ulasan di atas kian menegaskan perlunya diinjeksi perspektif dan
pendekatan baru dalam penanganan kemiskinan di Sulawesi Selatan.
Perspektif dan pendekatan baru dimaksud antara lain:
Pergeseran paradigma. Pertumbuhan ekonomi konvensional (kenaikan
PDRB riil) tampaknya tidak bisa lagi sepenuhnya diandalkan untuk
menurunkan angka kemiskinan. Hubungan korelasional antara
pertumbuhan ekonomi konvensional di satu sisi dan pengentasan
kemiskinan, perbaikan distribusi pendapatan, dan perbaikan taraf
hidup masyarakat di sisi lain, seperti yang dipahami dalam
paradigma efek menetes ke bawah (trickle down effect), ternyata
juga tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi konvensional semakin
diragukan efektifitasnya seiring dengan terjadinya divergensi
antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup masyarakat
klas bawah. Pada titik ini, kesangsian atas pertumbuhan ekonomi
konvensional, termasuk angka statistik yang menyertainya, menjadi
tak terelakkan.
Pertumbuhan ekonomi konvensional yang bertumpu pada variabel
makro-ekonomi, terutama arus penanaman modal dan peningkatan
ekspor, memang seringkali tidak memiliki kaitan yang kuat dengan
pengentasan penduduk miskin. Kaitan tersebut menjadi semakin lemah,
ketika arus penanaman modal tersebut lebih banyak bergerak pada
usaha padat modal (misalnya, industri telekomunikasi) dan
sektor-sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja
yang rendah (misalnya, sektor lembaga keuangan; hotel dan restoran;
listrik, air bersih dan gas).
Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif (inclusive growth) ataupun
pertumbuhan berkualitas (the quality of growth) ataupun pertumbuhan
yang berpihak kepada kaum miskin (pro-poor growth), sebagai sebuah
terminologi baru dalam wacana pembangunan dewasa ini, perlu
didorong dan diintensifkan di Sulawesi Selatan, baik pada tingkatan
rencana maupun pada tingkatan implementasi. Konsep ini lebih
mementingkan “dampak” ketimbang sekedar angka statistik.
Pertumbuhan ekonomi dikatakan inklusif, berkualitas atau berpihak
kepada kaum miskin jika mampu mengurangi angka kemiskinan,
menurunkan angka pengangguran, memperbaiki
6Pandangan-pandangan ini didasarkan atas hasil olahan sejumlah
dokumen perencanaan
pembangunan daerah.
-
Agussalim
8
distribusi pendapatan, mengangkat taraf hidup masyarakat klas
bawah, dan seterusnya. Pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastik
misalnya, ternyata tidak sepenuhnya diapresiasi oleh para penggiat
pembangunan karena dianggap tidak pro-poor. Penyebabnya, karena
kelompok penduduk klas atas mengalami kenaikan pendapatan yang jauh
lebih cepat ketimbang kelompok penduduk klas bawah. Artinya,
distribusi pendapatan semakin timpang di Cina.
Secara konseptual, pertumbuhan inklusif lebih mementingkan
indikator-indikator kesejahteraan (welfare) ketimbang pertumbuhan
(growth). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi konvensional dan
pendapatan per kapita, yang selama puluhan tahun telah dijadikan
sebagai indikator utama pembangunan, dianggap sudah tidak relevan
lagi dan perlu segera dikoreksi. Sebaliknya, kemampuan daya beli
dan konsumsi, akses terhadap pangan dan pekerjaan, akses terhadap
layanan pendidikan dan kesehatan, akses terhadap sumberdaya ekonomi
dan kepemilikan asset, lingkungan perumahan dan pemukiman yang
sehat, dianggap sebagai indikator pembangunan yang lebih realistik
karena lebih mencerminkan kualitas pembangunan yang
sesungguhnya.
Pergeseran arah studi. Dalam banyak kasus, kemiskinan selalu
dipandang dari perspektif makro. Studi-studi kemiskinan pada
umumnya lebih fokus pada aspek relasional antara kebijakan makro
dan kemiskinan, misalnya dampak subsidi BBM terhadap kemiskinan,
dampak BLT terhadap taraf hidup penduduk miskin, dampak kenaikan
harga beras terhadap angka kemiskinan, dan seterusnya. Hasil studi
semacam ini potensial melahirkan debat dan polemik. Kita tidak
pernah sepenuhnya yakin hasil studi LPEM-UI beberapa waktu lalu,
yang menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap peningkatan angka kemiskinan. Kita juga tetap
menyangsikan kesimpulan Bank Dunia yang menyatakan bahwa kenaikan
harga beras menjadi penyebab utama terjadinya pembengkakan jumlah
penduduk miskin. Kita bahkan menuduh bahwa Bank Dunia telah
melakukan simplifikasi yang berlebihan atas kompleksitas masalah
kemiskinan.
Mengandalkan studi makro memang seringkali tidak memuaskan.
Informasi yang dihasilkan hampir tidak pernah akurat dan valid.
Studi semacam ini tidak pernah sanggup menyediakan informasi rinci
mengenai: (i) dimana persisnya orang miskin tersebut bermukim?;
(ii) bagaimana karakteristik dan profil penduduk miskin?; (iii)
faktor-faktor apa menyebabkan mereka miskin?; (iv) bagaimana
mengamati perubahan taraf hidup orang miskin dari waktu ke waktu?;
(v) siapa saja orang miskin yang berhasil dientaskan dan siapa saja
yang masih berkutat dengan kemiskinan?; (vi) mengapa kebijakan,
program, dan anggaran tidak bekerja efektif bagi kaum miskin; dan
seterusnya. Akibatnya, program dan kegiatan pengentasan kemiskinan
yang tidak tepat sasaran, ketidak-jelasan target, bias ke orang
non-miskin, menjadi berita lumrah.
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan di atas hanya bisa ditemukan
jawabannya ketika studi kemiskinan dilakukan pada level mikro.
Keunggulan studi semacam ini adalah keakurasiannya dalam
mengindentifikasi karakteristik penduduk miskin, sehingga pada
gilirannya sangat memudahkan dalam implementasi program dan
kegiatan pengentasan kemiskinan serta melakukan evaluasi atas
kemajuan yang dicapai dalam
-
Agussalim
9
berbagai upaya pengentasan kemiskinan. Dengan studi mikro, para
pengambil kebijakan tidak perlu lagi gagap setiap kali ditanya,
dimana persisnya terjadi penurunan angka kemiskinan, apa yang
menyebabkan penurunan tersebut, upaya-upaya apa yang signifikan
mengurangi angka kemiskinan, bagaimana efektifitas kebijakan dan
program yang diimplementasikan, dst.
Perubahan pola pananganan. Arus besar (mainstream) penanganan
kemiskinan secara global, termasuk yang dipraktekkan di Indonesia,
berorientasi pada dua skema: pertama, menurunkan atau memperkecil
beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini muncul dalam bentuk
bantuan sosial (misalnya, BLT, Raskin, dll.), pembebasan biaya
(misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian subsidi
(misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan
produktivitas dan pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul
terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur perdesaan (misalnya
irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skim bantuan modal
usaha, dll.
Selama puluhan tahun, pola penanganan lebih menekankan pada
skema pertama. Namun dalam beberapa tahun terakhir, skema kedua
mulai memperoleh porsi yang lebih besar. Ini setidaknya bisa
diamati dari Program PNPM yang memberi perhatian signifikan pada
dimensi pemberdayaan dan peningkatan produktivitas masyarakat,
misalnya melalui penguatan kelembagaan masyarakat, perbaikan
infrastruktur sosial ekonomi masyarakat, penyediaan skim bantuan
modal usaha mikro dan kecil, dll.
Meskipun demikian, salah satu catatan paling krusial terkait
program ini adalah grand design-nya masih sangat sentralistik,
meskipun dikatakan bahwa program ini sudah menggunakan dan
mempraktekkan pendekatan partisipatif. Pendekatan yang cenderung
sentralistik, menyimpan sedikitnya empat masalah, yaitu: pertama,
memperlakukan karakteristik kemiskinan secara seragam dan
mengasumsikan tipologi kemiskinan cenderung serupa untuk semua
wilayah dan daerah; kedua, memungkinkan terjadinya tupang tindih
(over lapping) penanganan antar berbagai tingkatan pemerintahan,
baik dari segi program maupun anggaran; ketiga, pemahaman
pemerintah pusat atas kondisi masyarakat lokal relatif terbatas,
setidaknya jika dibandingkan dengan pemerintah daerah; dan keempat,
inisiatif dan kreasi pemerintah dan masyarakat lokal sulit
bertumbuh di dalam era sentralisasi.
Lalu, apakah penangangan kemiskinan yang desentralistik
merupakan pilihan terbaik? Mungkin tidak, namun pendekatan ini
masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penanganan yang
sentralistik. Argumentasi penting dibalik usulan ini, antara lain,
pemerintah daerah memiliki pemahaman yang relatif baik tentang
kondisi masyarakat lokal; ruang bagi masyarakat miskin untuk
menyampaikan preferensinya relatif semakin luas; proses dan
mekanisme penanganan (perencanaan, implementasi, koordinasi,
monitoring, dan evaluasi) relatif lebih mudah, singkat, dan
sederhana; keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan
agenda penanganan relatif lebih mudah dibangun; tumpang tindih
program dan anggaran antar berbagai tingkatan pemerintahan dapat
dieliminasi; dsb.
Pembaharuan desain perencanaan. Pendekatan terkini dalam
perencanaan pembangunan lebih menekankan pada efisiensi dan
efektifitas. Perencanaan tidak
-
Agussalim
10
lagi bertumpu pada “apa yang akan dilakukan” melainkan “apa yang
mau dicapai”. Dalam ranah perencanaan, ini disebut dengan
“perencanaan berbasis sasaran”, atau biasa juga disebut
“perencanaan berbasis kinerja (performance based planning)”.
Cara kerja pendekatan ini, pertama kali, menetapkan
sasaran-sasaran terukur yang ingin dicapai. Dalam konteks
kemiskinan, sasaran dimaksud dapat berupa, misalnya, jumlah
penduduk miskin menurun sebesar 10.000 orang, pendapatan penduduk
miskin meningkat sebesar 25 persen, 100 rumah tangga miskin memulai
usaha mikro keluarga, 50 persen penduduk miskin memiliki rumah yang
layak huni, dsb. Tentu saja, sasaran-sasaran terukur ini hanya bisa
ditetapkan jika perencana memiliki pemahaman yang utuh dan
informasi yang akurat mengenai kondisi penduduk miskin.
Setelah sasaran yang ditetapkan sudah clear, langkah berikutnya
adalah merancang bentuk intervensi dan upaya untuk mencapai
sasaran. Dalam dunia perencanaan, bentuk intervensi dimaksud
diformulasi ke dalam bentuk strategi-kebijakan-program-kegiatan.
Namun perumusan strategi-kebijakan-program-kegiatan dimaksud
sebaiknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk kaum miskin.
Tahapan berikutnya adalah implementasi
strategi-kebijakan-program-kegiatan. Dalam tahapan ini harus
betul-betul bisa dipastikan bahwa
strategi-kebijakan-program-kegiatan tersebut sungguh-sungguh fokus
ke kelompok sasaran, tidak bias ke non-miskin, tidak terjadi
kebocoran anggaran, benar-benar sesuai dengan kebutuhan penduduk
miskin, dst.
Tahapan terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Tahapan ini
deperlukan untuk memastikan bahwa
strategi-kebijakan-program-kegiatan dan anggaran kemiskinan
benar-benar efektif bekerja bagi kaum miskin. Tahapan ini juga
diperlukan untuk memberi umpan balik (feed back) bagi pengambil
kebijakan dalam rangka merevisi, memperbaharui, dan merekonstruksi
penanganan kemiskinan di masa yang akan datang.
Perubahan metodologi. Kerangka konseptual dan metodologi
pengukuran kemiskinan seyogyanya tidak melihat orang miskin sebagai
orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki
potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan dalam
mengatasi kemiskinannya. Cara pandang baru ini tidak lagi melihat
“apa yang tidak dipunyai orang miskin” melainkan lebih menekankan
pada “apa yang dimiliki orang miskin”. Asset perseorangan dan
sosial merupakan potensi penting yang dimiliki kaum miskin, dan
oleh karena itu, penanganan kemiskinan harus diorientasikan pada
upaya peningkatan kualitas asset tersebut.
Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi
yang kuat bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan upaya cerdas
untuk memperbaiki “asset” kaum miskin. Diyakini bahwa dengan
memperbaiki dan meningkatkan kualitas ”asset” tersebut akan sanggup
memperbaiki taraf hidup mereka dalam jangka panjang. Mengalokasikan
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan
proporsi yang memadai, dianggap sebagai salah satu strategi terbaik
untuk mereduksi kemiskinan. Dengan strategi ini diharapkan
pengeluaran kaum miskin
-
Agussalim
11
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikurangi, misalnya
dengan cara menyediakan biaya pendidikan dan kesehatan secara
gratis dan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap fasilitas
sosial dan ekonomi7. Dalam jangka panjang, upaya seperti ini
diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas penduduk miskin
sehingga pada gilirannya mereka mampu melepaskan diri dari jeratan
kemiskinan.
Pergeseran cara pandang. Semakin kuat disadari bahwa masalah
kemiskinan tidak akan pernah selesai hanya karena menggunakan cara
pandang ekonomi dan sosial. Dimensi moral penting digunakan dalam
memandang persoalan kemiskinan. Proses pembangunan yang berlangsung
selama ini telah melahirkan fenomena kemiskinan dengan ciri
sosial-moral yang amat kental, misalnya keterbelakangan,
keterpencilan, ketidakberdayaan dan ketersisihan. Ciri ini, bahkan
seringkali dianggap sebagai derivasi paling buruk dari fenomena
kemiskinan. Ciri ini hanya bisa dieliminasi jika dimensi moral
lebih dikedepankan dalam memandang persoalan kemiskinan.
Ketika kemiskinan dilihat dari perspektif moral, defenisi
kemiskinan juga mengalami perluasan. Kemiskinan didefenisikan
sebagai suatu keadaan ketika seseorang kehilangan harga diri,
terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar
dan hinaan, serta tak dipedulikan ketika sedang mencari
pertolongan.
Bagaimanapun, proses pembangunan yang terlalu ekonomi-sentris
seperti yang dipraktekkan selama ini, telah menyebabkan rapuhnya
nilai-nilai sosial (social values) dan memudarnya kohesi sosial
(social cohesion) dalam masyarakat. Kita dengan mudah dapat
menyaksikan berbagai kerusuhan sosial (social unrest), konflik
vertikal dan horizontal, perampasan, kriminalitas, dan seterusnya.
Di sisi lain, semangat individualistik dan kehidupan hedonisme,
semakin menemukan bentuknya. Akibatnya, solidaritas sosial dan
sikap empati menjadi sesuatu yang mahal dan langka.
Di tengah situasi seperti itu, solusinya adalah
menumbuh-kembangkan sikap hidup sosial yang lebih egaliter, sebuah
sikap yang lebih menghargai persamaan dan distribusi pendapatan
yang lebih merata antar lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, yang
diperlukan adalah bagaimana membangun sebuah mekanisme yang mampu
menumbuhkan keinginan masyarakat untuk ”menyerahkan” sebagian dari
total pendapatannya guna mewujudkan distribusi pendapatan yang
lebih egaliterian.8 Dalam pandangan egalitarian income distribution
yang diperkenalkan oleh Sir Hugh Dalton, seorang profesor keuangan
publik di London School of Economics, seluruh
7Patut dicatat bahwa cara pandang ini masih menyimpan kelemahan
karena masih melihat kemiskinan
sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan
struktural. Sistem pengukuran dan indikator yang digunakannya
terfokus pada kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan
faktor-
faktor ekonomi yang dominan. Pendekatan ini juga belum
menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan.
8Penjelasan lebih jauh mengenai konsep ini dapat ditelusuri pada
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, Third Edition,
W.W. Norton and Company, New York/London, 2000.
-
Agussalim
12
masyarakat sesungguhnya menghendaki pemerataan, persamaan hak,
dan keadilan sosial yang lebih baik guna mewujudkan kehidupan
sosial yang lebih harmonis.9
Agenda Kebijakan
Jika pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki
keinginan kuat untuk menekan angka kemiskinan ke level yang lebih
rendah, maka agenda kebijakan harus difokuskan pada:
Pertama, pada tingkatan makro, mesin pertumbuhan (engine of
growth) harus digeser dari sektor yang memiliki elastisitas
penyerapan tenaga kerja yang rendah (misalnya, sektor lembaga
keuangan, telekomunikasi, hotel dan restoran) ke sektor yang
memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi (misalnya,
sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan
perdagangan). Implikasinya, seluruh desain kebijakan pembangunan
daerah harus berorientasi pada upaya mendorong dan menfasilitasi
berkembangnya sektor-sektor ekonomi yang disebutkan terakhir.
Melalui upaya semacam ini, diharapkan kesempatan kerja bisa
ditingkatkan dan angka pengangguran bisa ditekan, sehingga pada
gilirannya angka kemiskinan dapat diturunkan. Bersamaan dengan
upaya tersebut, tingkat kenaikan harga (inflasi), terutama untuk
barang-barang konsumsi rumah tangga penduduk miskin, perlu terus
dikendalikan. Ini penting, bukan hanya untuk mempertahankan “daya
beli” masyarakat miskin, tetapi juga untuk menjaga posisi “nilai
tukar” penduduk miskin atas barang-barang konsumsi.
Kedua, pada tingkatan mikro, program-program yang diarahkan
untuk menekan beban pengeluaran penduduk miskin di satu sisi, dan
meningkatkan produktivitas penduduk miskin di sisi lain, harus
terus diintensifkan. Program layanan pendidikan dan kesehatan untuk
rumah tangga miskin perlu terus dilanjutkan dengan memperluas
jangkauan dan meningkatkan aksessibilitas. Program semacam ini,
disamping dapat menekan beban pengeluaran penduduk miskin dalam
jangka pendek, juga dapat memperbaiki kapasitas dan kapabilitas
sumberdaya manusia penduduk miskin dalam jangka panjang. Menyertai
usaha tersebut, program-program yang diarahkan untuk mendorong
peningkatan produktivitas penduduk miskin juga harus terus
diupayakan dan ditingkatkan intensitas dan jangkauannya, misalnya
melalui pemberian kredit mikro, program padat karya perdesaan,
pelatihan keterampilan, dan sebagainya.
Ketiga, pada tataran kelembagaan, perlu dibangun sinergitas
antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,
terutama untuk kabupaten/kota dengan jumlah dan persentase penduduk
miskin yang relatif besar (misalnya Kota Makassar, Kabupaten Bone,
Jeneponto dan Pangkep), untuk mendesain kebijakan, strategi,
program, dan penganggaran penanggulangan kemiskinan. Pada saat
bersamaan, koordinasi dan sinergitas program antar SKPD perlu lebih
ditingkatkan mengingat penanggulangan kemiskinan bersifat outcome
based yang membutuhkan keterlibatan
9Fakta empiris membuktikan bahwa konflik dan kerusuhan sosial
(social unrest) di berbagai belahan dunai seringkali mengalami
ekskalasi luas karena dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan
sosial.
-
Agussalim
13
dan partisipasi multi-pihak. Lembaga donor internasional juga
perlu digiring dan diarahkan untuk bekerja pada ranah pemberdayaan
masyarakat miskin.
Keempat, pada tataran proses, perumusan program penanggulangan
kemiskinan harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terutama penduduk
miskin. Harus bisa dipastikan bahwa penduduk miskin terlibat secara
aktif dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai
dari tahapan penyusunan rencana, implementasi, pengendalian dan
evaluasi, hingga tahapan penganggaran. Jika diamati sekilas, PNPM
Mandiri sebetulnya sudah mencoba mempraktekkan pendekatan inklusif
semacam ini, namun hasilnya belum optimal karena masih seringkali
terjebak pada sekedar ritual-formalistik.
Kelima, pada tataran lokus, program penanggulangan kemiskinan
perlu diarahkan di wilayah-wilayah perdesaan di Kabupaten Pangkep,
Jeneponto, Toraja Utara, Bone, Luwu Utara, Luwu, dan Maros, yang
selama ini menjadi tempat bermukim sebagian besar penduduk miskin.
Reformasi agraria, perbaikan infrastruktur dasar perdesaan,
peningkatan aksessibilitas, peningkatan layanan dasar, pemberian
skim kredit mikro, pemenuhan hak-hak dasar, pengembangan program
padat karya, dan sebagainya, merupakan sejumlah program yang layak
direkomendasikan di masa depan. Program semacam ini, di banyak
tempat, terbukti efektif mengurangi angka kemiskinan dan
memperbaiki taraf hidup masyarakat, terutama di perdesaan yang
menjadi wilayah konsentrasi penduduk miskin.
Keenam, pada tataran horizon perencanaan, strategi
penanggulangan kemiskinan dalam perspektif jangka menengah dan
jangka panjang harus bertumpu pada upaya peningkatan kemampuan dan
kapabilitas penduduk miskin untuk mengakses sumberdaya ekonomi.
Dalam persepktif ini, pengentasan kemiskinan perlu dikorelasikan
dengan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Upaya semacam
ini akan sanggup memperbaiki produktivitas, mengurangi
ketergantungan, menekan kerentanan, dan meningkatkan kemandirian
penduduk miskin.
Epilog
Dengan menggunakan kerangka evaluatif, pertanyaan yang patut
diajukan kemudian adalah apakah desain
strategi-kebijakan-program-kegiatan pembangunan daerah selama ini,
baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, sudah diarahkan
untuk memperbaiki indikator-indikator kesejahteraan. Apakah
strategi dan kebijakan pembangunan daerah sudah didesain sedemikian
rupa untuk lebih berpihak pada wilayah
perdesaan-pertanian-tradisional yang merupakan wilayah konsentrasi
penduduk miskin. Apakah anggaran pemerintah daerah sudah
dialokasikan dan distribusikan sedemikian rupa untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat klas bawah. Apakah sudah terbangun
persepsi yang sama di kalangan para pemangku kepentingan
(eksekutif, legislatif, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, lembaga
donor, organisasi kemasyarakatan, dsb.) bahwa “manusia” harus
menjadi muara dari keseluruhan tindakan yang mengatasnamakan
pembangunan.
-
Agussalim
14
Jika kita sudah menyediakan jawaban cerdas atas seluruh
pertanyaan di atas, dan pada saat yang sama, seluruh agenda
kebijakan yang ditawarkan di atas sudah dapat direalisasikan secara
konsisten dan berkelanjutan, maka sangat boleh jadi kita semua akan
semakin yakin, sebagaimana keyakinan Nelson Mandela, bahwa ternyata
kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diberantas.
Makassar, Medio Januari 2012
Daftar Bacaan
Agussalim, 2011. Pengentasan Kemiskinan di Sulawesi Barat;
Sebuah Pencapaian yang Impresif. Makalah yang Disampaikan pada
Forum Bappeda Provinsi Sulawesi Barat, 18 Juli 2011, di Wonomulyo,
Polewali Mandar.
Agussalim, 2010. Merekonstruksi Penanganan Kemiskinan di
Provinsi Gorontalo. Policy Paper untuk Pemerintah Provinsi
Gorontalo. Tidak Dipublikasikan.
Agussalim, 2010. Kemiskinan: Bencana Bisu Kemanusian. Makalah
yang Disampaikan pada Seminar Nasional Review Kemiskinan di
Provinsi Gorontalo. Hotel Quality Gorontalo. 17 Februari 2010.
Agussalim. 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru
untuk Indonesia. Penerbit: Nala Cipta Litera dan PSKMP UNHAS.
Makassar. Januari 2009.
Agussalim. 2009. Reducing Poverty. Majalah Bakti News. ISSN
1979-777X. Vol. IV April 2009 Edisi 45.
Agussalim. 2007. Pengentasan Kemiskinan; Sebuah Proposal Baru
untuk Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah yang disampaikan pada
Konferensi Internasional Pembangunan Aceh Kedua ”From A Bitter Past
Towards A Better Prospect”. Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
29-30 Desember 2007.
Agussalim. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pengurangan Angka
Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan Universitas Surabaya. ISSN: 1410-9204 (Akreditasi B).
Volume 9. Nomor 2. Juni 2007. Hal. 169-184.
Agussalim. 2006. Kemiskinan dan Gender: Perspektif Perencanaan
dan Penganggaran. Makalah yang Disampaikan pada Seminar dan
Workshop ”Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengarusutamaan Gender”.
kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan UNDP. Hotel
Marannu Makassar, 4 dan 8 Mei 2006.
Agussalim. 2005. Sanggupkah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki
Ketimpangan dan Mereduksi Kemiskinan. Makalah Terpilih pada Calls
for Papers Simposium Riset Ekonomi II: Percepatan Pertumbuhan
Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan. ISEI Surabaya. Surabaya, 23-24
November 2005.
Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap
Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana. Pusbindiklatren
BAPPENAS. ISSN 1656-4229. Volume 5. Tahun 3. Juni 2005. Hal.
28-32.
-
Agussalim
15
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
2010. Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2010.
Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi
Selatan, Berbagai Seri.
Booth, Anne. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era:
An Assessment. Bulletin of Indonesian Economics Studies. Vol. 36.
No. 1. April 2000.
Biro Pusat Statistik (BPS). Data dan Informasi Kemiskinan.
Berbagai Seri.
Committee for Poverty Alleviation. 2003. A Process Framework of
Strategic Formulation for Long Terms Poverty Alleviation. Interim
Poverty Reduction Strategy Paper. March 2003. Jakarta.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Sosial. Berbagai Data
Mengenai Kemiskinan di Indonesia. www.data.menkokesra.go.id.
Payne K. Ruby. 2005. A Framework for Understanding Poverty by.
Fourth revised edition. Inc., Highlands, Texas.
Sachs, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty, How We Can Make in
Happen in Our Lifetime. Penguin Books. New York.
Sen, Amartya. 2000. Development As Freedom. Anchor Books. New
York.
Son, H. and N. Kakwani, 2003. Poverty Reduction: Do Initials
Conditions Matter?, Mimeo, The World Bank.
Stiglitz, Joseph E. 2000. Economics of the Public Sector. Third
Edition. W.W. Norton and Company, New York/London
Thomas, Vinod et. al. 2000. The Quality of Growth. The World
Bank. Washington D.C.
UNDP. 2006. Partnership to Fight Poverty: UNDP in Indonesia.
UNDP Indonesia. Jakarta.
UNDP, Bappenas, BPS. 2004. The Economics of Democracy: Financing
Human Development in Indonesia. Indonesia Human Development Report
2004.
World Bank. 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for
Poverty Reduction. Report No. 23028-IND. October.
World Bank Brief for the Consultative Group on Indonesia. 2001.
Indonesia: The Imperative for Reform. Report No. 23093-IND.
November.
World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World:
Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life. World
Development Report 2003. Oxford University Press.
World Bank. 2006. Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Ikhtisar. Jakarta.