PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMA KORONER AKUT (BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES) Ringkasan Sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian iskemia miokardial dari angina, trauma jaringan yang reversible yaitu unstable angina, seringkali berhubungan dengan kerusakan minor dari miokard yaitu infark miokard dan nekrosis jaringan yang luas. Menurut sejarah, kecurigaan adanya penyakit pembuluh darah koroner menggunakan kriteria gejala dari WHO, EIektrokardiografi, dan penanda biokimia. Isoenzym Creatine kinase MB (CKMB) tetah menjadi penanda yang penting, tetapi tidak spesifik untuk miokard. Isoform cardiac spesifik Troponin T dan I merupakan indikator miokard infark (Ml) yang spesifik dan kepentingannya untuk stratifikasi resiko pada pasien sindroma koroner akut. Sebagai tambahan pada penanda adanya nekrosis pada sel miokard, penanda adanya plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), "angry" platelets (P-selectin), iskemia (isoenzym glycogen phosphorilase-BB) dan bagian prokoagulan dan trombosis (fibrin soluble/larut air) memiliki potensial untuk digunakan. Juga, CK-MB dan mioglobin telah memiliki kombinasi dengan indikator klinis untuk monitoring reperfusi setetah terapi trombolitik. Penanda biokimia akan menjadi tambahan klinis penting untuk mendiagnosis MI, menilai resiko dan monitoring reperfusi kedepannya. Summary The acute coronary syndromes represent a continuum of myocardial ischemia ranging from angina, reversible tissue injury → unstable angina, frequently associated with minor myocardial damage → myocardial infarction and extensive tissue necrosis. Historically, coronary artery disease assessment has been mainly binary, using WHO criteria of symptoms, electrocardiography, and biochemical markers. The creatinine kinase-MB iso-enzyme (CK-MB) has been a benchmark for markers, but it is not specific for myocardial. Cardiac-specific isoforms of troponin T and I have emerged as sensitive myocardial infarction (MI) Indicators and, importantly, for risk stratification of acute coronary syndrome patients. In addition to markers of myocardial cell necrosis, markers of plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), “angry” platelets (P-selectin), ischemia (glycogen phosphorylase-BB isoenzyme), and the procoagulant state and thrombosis (soluble fibrin) have potential use. Also, CK-MB and myogIobin have been combined with clinical indicators for monitoring reperfusion after thrombolytic therapy. Biochemical markers will continue to be an important clinical adjunct for MI diagnosis, risk assessment, and reperfusion monitoring in the future.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMA KORONER AKUT (BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES)
Ringkasan
Sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian iskemia miokardial dari angina, trauma jaringan yang reversible yaitu unstable angina, seringkali berhubungan dengan kerusakan minor dari miokard yaitu infark miokard dan nekrosis jaringan yang luas. Menurut sejarah, kecurigaan adanya penyakit pembuluh darah koroner menggunakan kriteria gejala dari WHO, EIektrokardiografi, dan penanda biokimia. Isoenzym Creatine kinase MB (CKMB) tetah menjadi penanda yang penting, tetapi tidak spesifik untuk miokard. Isoform cardiac spesifik Troponin T dan I merupakan indikator miokard infark (Ml) yang spesifik dan kepentingannya untuk stratifikasi resiko pada pasien sindroma koroner akut. Sebagai tambahan pada penanda adanya nekrosis pada sel miokard, penanda adanya plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), "angry" platelets (P-selectin), iskemia (isoenzym glycogen phosphorilase-BB) dan bagian prokoagulan dan trombosis (fibrin soluble/larut air) memiliki potensial untuk digunakan. Juga, CK-MB dan mioglobin telah memiliki kombinasi dengan indikator klinis untuk monitoring reperfusi setetah terapi trombolitik. Penanda biokimia akan menjadi tambahan klinis penting untuk mendiagnosis MI, menilai resiko dan monitoring reperfusi kedepannya. Summary The acute coronary syndromes represent a continuum of myocardial ischemia ranging from angina, reversible tissue injury → unstable angina, frequently associated with minor myocardial damage → myocardial infarction and extensive tissue necrosis. Historically, coronary artery disease assessment has been mainly binary, using WHO criteria of symptoms, electrocardiography, and biochemical markers. The creatinine kinase-MB iso-enzyme (CK-MB) has been a benchmark for markers, but it is not specific for myocardial. Cardiac-specific isoforms of troponin T and I have emerged as sensitive myocardial infarction (MI) Indicators and, importantly, for risk stratification of acute coronary syndrome patients. In addition to markers of myocardial cell necrosis, markers of plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), “angry” platelets (P-selectin), ischemia (glycogen phosphorylase-BB isoenzyme), and the procoagulant state and thrombosis (soluble fibrin) have potential use. Also, CK-MB and myogIobin have been combined with clinical indicators for monitoring reperfusion after thrombolytic therapy. Biochemical markers will continue to be an important clinical adjunct for MI diagnosis, risk assessment, and reperfusion monitoring in the future.
1
I. Pendahuluan
Penanda biokimia pada trauma miokard berperan penting dalam penilaian
secara global dan terapi pada pasien dengan spektrum sindroma koroner akut,
suatu masa yang mencakup suatu rangkaian iskemia miokard akut sejak angina
melalui rniokard infark (MI) gelombang Q (Q-wave). Sebagai indikasi pada
gambar 1, suatu rangkaian sindroma koroner akut menggambarkan suatu proses
fisiologis pada iskemia miokard akut dan mungkin menjadi sangat penting dari
"clinical standpoint”, suatu rangkaian resiko. Pada tiga dekade yang lalu, iskemia
miokard telah dianggap sebagai suatu fenomena berpasangan, sebagai contoh,
MI dan non MI, menggunakan rekomendasi WHO yang meliputi pemenuhan
setidaknya 2 dari 3 kriteria berikut ini : gejala klinis iskemia miokard, perubahan
etektrokardiografi (ECG), dan suatu peningkatan serum penanda biokimia. Untuk
kriteria pertama, penilaian yang seksama pada gejala klinis sangatlah penting;
walau bagaimanapun juga, gejala dapat menjadi tidak spesifik pada sepertiga
pasien, khususnya penderita diabetes dan lanjut usia, yang banyak mengalami
suatu gejala iskemia atipikal. Kriteria kedua, perubahan pada ECG, adalah alat
yang sangat penting yang seharusnya dapat berperan lebih cepat setelah
presentasi pasien yang dicurigai MI karena memiliki elevasi ST segmen > 1mV
pada lead yang berdekatan utau gejala atau left bundle branch block baru
sebagai kandidat untuk terapi reperfusi segera. Walau bagaimanapun juga, ECG
bukan suatu alat yang sempurna karena sensitivitas diagnostiknya mungkin
sekitar 50%. Yang terakhir, kriteria WHO yang meliputi monitoring perubahan
sementara pada penanda biokimia suatu nekrosis miokard. Di masa lalu, aktivitas
enzim digunakan sebagai marker; walau bagaimanapun kedepannya, ukuran
protein, beberapa diantaranya merupakan enzim yang akan menjadi standar.
Pengamatan terhadap peningkatan dan penurunan penanda biokimia isoenzim
creatine kinase MB (CK-MB) telah menjdi "gold standart" untuk diagnosis MI.
Pada pasien yang menunjukkan gejala dengan perubahan ECG secara
diagnostik, penanda biokimia memiliki peranan yang terbatas dalam
2
mendiagnosis suatu MI akut, kecuali untuk konfirmasi. Di sisi lain, penanda
biokimia adalah penting untuk menilai sebagian besar pasien yang memiliki
gejala non spesifik atau ragu-ragu dan tanpa diagnosis dari ECG karena
penanda-penanda ini memiliki 1 dari 2 kriteria diagnosis MI. Banyak institusi yang
menginisiasi Chest Pain Evaluation Centers (CPECs), yang merupakan terapi
protokol spesifik yang bermaksud untuk suatu sistematik dan perawatan dengan
biaya yang efektif pada prevalensi pasien yang tinggi. CPECs sering dengan atau
berdekatan dengan Departemen Emergency dan memiliki protokol institusi untuk
monitoring group besar ini pada pasien ”rule out MI”. Diagnosis dan perawatan
pasien dengan kecurigaan suatu sindroma koroner akut, terutama sekali yang
menggunakan ECG sebagai diagnostik, telah difasilitasi oleh pendirian CPECs.
Gambar 1. Berlangsungnya akut koroner sindrom (AKS), iskemik miokard dan resiko (Cristenson. RC, Clinical Chemistry 44; 8(B), 1998.
Meskipun masih tampak keduanya pro dan kontra berkenaan dengan
peranan kecepatan, atau waktu sesungguhnya terhadap tersedianya CK-MB dan
penanda jantung lainnya. Data menunjukkan suatu hubungan dengan
pengurangan keduanya pada lamanya opname dan keseluruhan biaya
3
laboratorium pada institusi menghasilkan waktu yang relative singkat. Sebagai
catatan bahwa pada 4-8% pasien gagal didiagnosis suatu MI dan terdapat
mortalitas yang tinggi pada grup ini. Sebagai tambahan, adanya kesalahan
diagnosa MI menggambarkan tingginya pembiayaan dalam jumlah dollar karena
malpraktek oleh dokter medis emergency.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menampilkan peranan penanda
biokimia yang akan berperan di masa depan untuk menilai rangkaian iskemia
miokard yang berkorelasi untuk suatu spektrum resiko. Juga, akan menampilkan
strategi terkini untuk mendiagnosis kecurigaan suatu MI. Bagaimana penanda
biokimia dapat menjadi pertanda hasil yang merugikan dan strategi masa depan
untuk identifikasi pasien pada rangkaian sindroma koroner akut. Akhirnya,
peranan penanda biokimia, yang dikombinasi dengan variable klinis, untuk
penilaian non invasive pada pasien untuk mereka dengan terapi trombolitik yang
telah diberikan.
II. CK-MB : Strategi Terkini
CK-MB menjadi suatu alat alat yang penting dalam mengevaluasi suatu
sindroma koroner akut. CK-MB adalah 1 dari 3 isoenzim dimerik yang terdiri dari
aktivitas total CK. Seluruh sitoplasmik CK disusun oleh sub unit M dan/atau B
yang saling berhubungan membentuk isoenzim CK-MM, CK-MB, dan CK-BB.
CK-MM sebagian besar berada di otot lurik, keduanya yaitu pada otot skelet dan
miokard.
Pada pasien yang memiiiki penyakit jantung, sebagai contoh: sterosis
aorta, penyakit pembuluh darah koroner (CAD), atau keduanya, isoenzim CK-MB
sekitar 20% lebih dari total CK di dalam jaringan, dimana kandungan CK-MB
hanya 0-3% dari total CK di otot skeletal. Hal ini patut diperhatikan bahwa pada
individu normal memiliki presentase CK-MB yang lebih rendah sekitar 1,1 %.
"Total CK" mengenai aktivitas kumulatif pada isoenzim MM, MD, dan BB pada
sampel pasien.
4
Saat ini, CK-MB harus dianggap penanda biokimia yang unggul pada
trauma miokard, sebagai contoh telah menjadi dasar perbandingan penanda
lainnya. Meskipun CK-MB memiliki nilai diagnostik yang spesifik untuk trauma
miokard, otot skeletal memiliki keduanya yaitu aktivitas total CK yang tinggi per
gramnya dan mungkin memiliki lebih dari 3 % CK-MB. Potensial yang non spesifik
ini, terjadi pada sebagian pasien dengan trauma otot skeletal dan otot miokard
secara bersamaan. Untuk memberikan spesifitas jantung yang terbaik pada
pengukuran CK-MB, Indeks relative CK-MB sering dihitung berdasarkan
persamaan di bawah ini :
CK-MB Index = 100% (CK-MB/Total CK)
Beberapa memberi kesan bahwa Nilai Index CK-MB melebihi 2,5% yang
dihubungkan dengan sumber di miokard pada isoenzim MB. Walau
bagaimanapun juga, pemaparan saat ini menunjukkan bahwa hubungan CK-MB
dan miokad ditetapkan dengan nilai terendahnya 2% dan tingginya 5%
bergantung pada variabilitas keduanya, dalam terminologi sebagai numerator
dan denominator pada index relative.
Karakteristik peningkatan dan penurunan CK-MB pada pengukuran secara
serial merupakan patognomonis untuk mendiagnosis Ml. Peningkatan pertama
CK-MB setelah MI membutuhkan 4-6 jam setelah onset gejala. Untuk diagnosis
dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, sampel serial dibutuhkan selama
periode 8-12 jam. Pada lingkungan CPEC, Gibler dkk., penggunaan pemeriksaan
CK-MB dalam strategi ini, meliputi sampel pada presentasi dan kemudian pada 3,
6, dan 9 jam kemudian pada > 1000 pasien resiko rendah dengan nondiagnostik
ECG. Meskipun harus dicatat bahwa pasien-pasien ini memiliki reslko rendah MI,
penelitian ini didokumentasikan 100% sensitivitas dan spesifitasnya sebesar
98,3% untuk diagnosis MI pada populasi pasien dengan nyeri dada ini. CK-MB
juga merupakan komponen yang penting pada penilaian infark ulangan atau
5
infark luas pada pasien. Meskipun memiliki hasil yang terbaik, CK-tytB bukan
penanda yang ideal karena peningkatannya membutuhkan 8 - 12 jam setelah
onset gejala untuk penggunaan sebagai diagnosis.
III. Pertanda Infark Miokard
Presentasi klinis infark miokard dan iskemi cardiac dapat memiliki variasi
gejala yang cukup besar, secara umum termasuk nyeri dada atau tekanan atau
rasa tidak nyaman seperti rasa terbakar di daerah epigastrik, sering juga pasien
dengan radiasi di leher, lengan, bahu, atau rahang: sedikit presentasi tipikal
meliputi dyspneu, diaphoresis, nausea, dan muntah-muntah mungkin menyertai
gejala umum ini atau mungkin manifestasi tunggal pada iskemia. Sedikitnya,
nyeri iskemia mungkin digambarkan sebagai nyeri yang menusuk atau nyeri
seperti pleuritis (radang pleura) beberapa waktu sebelum presentasi. Faktanya,
sekitar 50 % infark miokard digembor-gemborkan oleh gejala klinis yang hilang
timbul atau "stoccato" sebagai presentasi di rumah sakit. Presentasi ini disebut
gejala "prodromal" dan telah didokumentasi pada literatur sekitar 50 tahun.
Pasien dengan presentasi gejala prodromal memiliki permulaan klinis yang lebih
baik. Empat Mekanisme mungkin dapat menjelaskan mengapa sebelum
terjadinya angina menjadi petunjuk perbedaan hasil yang baik. Pertama, angina
sebelumnya mungkin menyebabkan pembukaan pembuluh darah kolateral, jadi
adanya penyumbatan pada pembuluh darah utama, daerah distal dari
pengeblokan ini sebagian menyatu. Kedua, angina mungkin menghasilkan
prasyarat iskemia selama penyumbatan koroner. Ketiga, terapi pasien angina
rnenggunakan aspirin dan heparin mungkin dapat menggagalkan atau
meminimalkan terjadinya infark. Yang terakhir, terdapat spekulasi bahwa
thrombus pada pasien fase prodromal mungkin memiliki komposisi yang berbeda,
memiliki clot dengan proporsi kecil pada agregasi platelet dan banyak benang
fibrin yang sedikit resisten untuk hancur. Pada beberapa kasus, presentasi
prodiomal merupakan klinis yang penting karena pasien yang memiliki gejala ini
6
melepaskan sedikit penanda biokimia dan oleh karena itu sedikit trauma jaringan,
menjadi petunjuk hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dengan
oklusi yang kasar. Penyuluhan umum untuk mengenal gejala prodromal dan
mencari terapi sebelum periode yang panjang oklusi dapat menjadi sangat
penting untuk menurunkan mortalitas sindrom koroner akut.
IV. Rangkaian Sindroma Koroner Akut
Banyak peramu laboratorium secara tradisional berhubungan dengan tes
penanda biokimia untuk mendiagnosa MI akut, penilaian infark ulangan atau
infark luas, dan perkiraaan kuantitas jaringan yang mengalami infark (ukuran
infark). Secara logis, peranan-peranan ini memiliki korelasi yang jelas dengan
kriteria WHO untuk diagnosis MI. Peranan ke depan laboratorium akan menjadi
hubungan yang dekat pada rangkaian sindroma koroner akut melalui stratifikasi
resiko dan monitoring terapi pada terapi trombolitik, strategi platelet inhibisi, dan
mungkin intervensi lainnya seperti angioplasty keroner.
Gambaran iskemia cardiac sebagai pasangan dari kriteria WHO untuk MI
mungkin digambarkan sebagai sebuah anakhronisme, karena sebagai ilustrasi
pada gambar sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian fenomena.
Pada banyak level dasar, rangkaian iskemia miokard juga menggambarkan
spektrum trauma sel iskemik, yang bermula dari trauma yang masih reversible
hingga nekrosis yang luas. Peristiwa ini digambarkan pada Gambar 1 juga
menggambarkan suatu spektrum resiko untuk sebuah hasil yang merugikan.
Pasien dengan angina stabil, sebagai contoh : iskemia reversible persiapan
miokardial sangat jelas resiko rendah untuk peristiwa merugikan pada keduanya
masa pendek dan masa panjang lalu pasien infark dengan Q-wave yang memiliki
area infark yang luas pada jantung mereka. Identifikasi dimana individu pasien
dalam rangkaian sindroma koroner akut memiliki implikasi-implikasi biologis
berkenaan dengan reversibilitas pada trauma dan kuantitas trauma sel iskemik,
sama baiknya resiko relative pasien untuk hasil yang merugikan.
7
Banyak fokus penanda kimia yang meliputi penanda nekrosis, sebagai
contoh : CK-MB. Walau bagaimanapun juga, penanda dan substansi lainnya
yang ditunjukkan pada tabel 1 dilepaskan atau diaktifasi sebelum nekrosis dan
mungkin memiliki peranan penting dalam identifikasi resiko pada pasien
sindroma koroner akut. Peningkatan konsentrasi pada Acute Phase Proteins
C-reactive Protein (CRP) dan serum amyloid A bersifat non spesifik, tetapi
mungkin memiliki suatu peranan dalam identifikasi pasien memiliki plak
pembuluh darah jantung yang tidak stabil (”unstable plaque”).
Penelitian-penelitian juga menyelidiki penggunaan CRP untuk prediksi hasil yang
tidak baik dan kerusakan fungsi ventrikel kiri sebagai hasil dari nekrosis cardiac
akut atau infark miokard sebelumnya. Peningkatan pada fase protein akut
mungkin mengindikasi adanya ”plaque disruption” yang menyebabkan pelepasan
sitokin dari aktivasi monosit dan makrofag pada tempat terjadinya disrupsi.
Diantara efek sistemik lainnya, sitokin, meliputi interleukin-6, memicu sintesis
acute phase proteins hepar. Pada jalur ini, pasien dengan penyakit pembuluh
darah koroner tidak stabil yang mana mereka pada peningkatan resiko memiliki
sirkulasi konsentrasi yang awal pada acute phase proteins. Komponen yang
memungkinkan pada hubungan yang diamati antara acute phase proteins dan
peningkatan resiko yang mana protein-protein ini mungkin mencerminkan
penyakit infeksi pada pembuluh darah koroner. Pada beberapa kasus, aspirin
atau agen anti inflamasi non steroid mungkin mengurangi resiko pada pasien
penyakit pembuluh darah koroner, kiranya dengan menghambat proses
inflamasi.
Aktifasi platelet penting dalam mekanisme formasi thrombus dan
mekanisme sindroma koroner akut. Indikator aktifasi platelet seperti uji fungsi
platelet atau ”P-selectin” mungkin membantu menilai tendensi pasien untuk
trombosis intrakoroner. Aktifasi platelet dapat dihasilkan dari kontak dengan
pemaparan kolagen, thrombin, dan/atau agonis lainnya yang disebabkan oleh
plaque disruption. P-selectin merupakan suatu molekul adhesi yang nampak
8
pada permukaan platelet yang aktif. Ekspresi protein ini ditingkatkan pada
permukaan platelet pada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner
simptomatik. P-selectin tersebut mungkin menjadi penanda pada ”angry”
platelets yang mengindikasi tendensinya untuk melekat pada leukosit,
menyebabkan akumulasi dan sebagai akibatnya komplikasi trombotik pada
iskemia myocardium.
Formasi thrombus merupakan dasar untuk penghalang pada pembuluh
darah yang berhubungan dengan infark; Oleh karena itu, penanda trombosis,
meliputi fibrin solubel dan produk degradasi fibrin, mungkin juga menampakkan
proses trombosis baru atau resiko pada peristiwa yang akan datang.
Penanda-penanda ini merupakan karakteristik aktivitas fibrinolitik pro koagulan.
Meskipun tidak cukup sensitif untuk mendiagnosis MI, fibrin yang tidak solubel
dan ”crosslinked” degradasi fibrin meningkat pada pasien yang memiliki resiko
tinggi terjadi komplikasi. Secara fisiologis, penanda-penanda ini menggagas
untuk indikasi meningkatkan fibrinolisis sebelum perkembangan MI.
9
Penanda yang mengindikasi
adanya iskemia miokard terjadi
sebelum nekrosis yang jelas akan
dapat membantu untuk
menentukan lokasi pada pasien
dengan rangkaian sindroma
koroner akut. Meskipun tidak ada
informasi sebenarnya, glycogen
phosphorylase-BB isoenzyme
meningkat selama iskemia tanpa
nekrosis dan mungkin cukup
menggambarkan penanda iskemia
dari nekrosis. Glycogen
phosphorylase-BE dilepas
berkaitan dengan ledakan tiba-tiba
glycogenolisis yang terjadi pada
miokardium yang terluka setelah Ml
akut. Keseluruhannya, penanda
plak yang ruptur (CRP dan serum
amyloid A), indikator pada
trombosis intrakoroner (P-selectin
dan fibrin solubel), iskemia
miokardial (glycogen
phosphorilase-BB), dan penanda
nekrosis dapat dikombinasi dengan
indikator klinik, ECG,
echocardiogram dan pencitraan
untuk membentuk suatu model
kombinasi yang terintegrasi untuk
Pathophysiolog
y
Biochemical
marker
Molecular
mass
Cardiospesi
fic
Type of assay
Duration of increase
Comments
Plaque rupture
CRP 120.000
Na* Latex photometric
48 – 72 h
CRP and serum amyloid A are acute phase proteins; may indicate plaque disruption and be prognostic in unstable angina patients.
Serum amyloid A
12.500
NA Sandwich type enzyme immunoassay
48-72 h
Intracoronary thrombosis
Platelet activation
NA
No Functional assays using platelet agonists
Must be performed soon after blood collection
P-selectin
140.000
NA Flow cytrometric assay
Marker of angry platelets; may indicate risk
10
penilaian secara optimum pada pasien dengan resiko.
Tabel 1. Penanda Biokimia Pada Rangkaian Akut Koroner Sindrom (Cristenson RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998.
V. Stratifikasi Resiko pada Pasien Sindroma Koroner Akut
Banyak perhatian yang dihasilkan oleh penelitian dasar yang mengindikasi
bahwa penanda biokimia berguna untuk membuat stratifikasi resiko pada pasien
sindroma koroner akut. Fokus utama pada perhatian ini pada CK-MB, cardiac
troponin T (cTnT) dan cardiac troponin I (cTnI).
CTnT dan cTnI merupakan generasi baru penanda biokimia yang mungkin
melengkapi tambahan klinis untuk penilaian sindroma koroner akut.
Bersama-sama dengan Troponin C, Troponin T dan Troponin I, merupakan
komponen penting pada kompleks kontraktilitas keduanya, yaitu otot skelet dan
otot lurik jantung. Fungsi troponin T untuk mengikat kompleks troponin ke strand
tropomyosin; fungsi Troponin I untuk menghambat aktivitas actomyosin ATPase,
dan troponin C mengikat 4 ion kalsium, lalu meregulasi kontraksi. Perhatian klinis
pada protein dari kompleks troponin dikendalikan oleh isoform spesifik cardiac
pada troponin T dan Troponin I yang telah di purifikasi, yang diikuti produksi
antibodi dan perkembangan immunoassay yang merupakan cardiac spesifik.
Sekuen asam amino untuk Troponin C identik pada jantung dan jaringan otot
skeletal, penggunaan protein ini sebagai penanda spesifik jantung.
Mekanisme pelepasan dan pembersihan troponin T dan troponin I masih
belum dapat dipahami. Meskipun troponin T dan troponin I merupakan struktur
protein, laporan awal menyatakan bahwa kolam ”cystolik” protein ini dilepaskan
ke dalam shkulasi setclah tetjadi trauma sel. Kolam cystolic ini untuk cTnT telah
dilaporkan sekitar 6-8%, dimana kolam cTnI solubel telah dilaporkan 2,8%. Saat
ini, laporan-Iaporan mengindikasi bahwa cTnI dilepaskan sebagai troponin T /
Troponin II Troponin C atau kompleks Troponin I / Troponin C: cTnT mungkin
11
memiliki sequence pelepasan yang berbeda. Kemungkinan perbedaan ini
melepaskan bentuk cTnT dan cTnI dibawah skor kebutuhannya, untuk
standarisasi dan karakteristik yang menyeluruh untuk penilaian terhadap
protein-protein ini. Sebagai tambahan, isu-isu menekankan kebutuhan pelepasan
dan menganggap cTnT dan cTnI sebagai protein yang berbeda karena
perbedaannya dalam fungsi biologi, berat molekul, mekanisme pelepasan, dan
karakteristik penting lainnya yang mungkin berdampak pada penggunaan kllinis.
Hingga saat ini terdapat penilaian satu kuantitatif dan satu kualitatif untuk
penjelasan cTnT oleh US Food and Drug Administration; kedua penilaian ini
menggunakan pasangan antibodi yang sama dan hasilnya berkorelasi baik.
Peningkatan cTnT didokumentasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir (end-stage renal disease); walau bagaimanapun juga, arti klinis dari
peningkatan ini masih belum jelas.
Saat ini terdapat sejumlah immunoassay secara kualitas dan kuantitas
yang potensial, baik dalam penggunaan klinis dalam mendiagnosis MI dan telah
dijelaskan oleh US Food and Drug Administration. CTnI mungkin memiliki
peranan penting dalam strategi waktu sesungguhnya untuk mengevaluasi pasien
dengan sindroma koroner akut, suatu area yang menjadi perhatian yang serius,
diskusi, dan penelitian tahunan. Data yang menunjang masih terbatas, tapi
indikasi bahwa cTnI merupakan penanda yang spesifik pada kasus yang
melibatkan luka otot skeletal dan gagal ginjal.
Beberapa waktu terakhir, sejumlah hasil penelitian dasar menunjukkan
pasien dengan iskemi cardiac akut yang mana CK-MB, cTnI, dan/atau cTnTnya
meningkat merupakan resiko yang meningkat untuk infark miokard atau henti
jantung. Data-data ini memunculkan pertanyaan penting saat ini mengenai
peningkatan biaya; uji mana atau uji yang seharusnya dijadikan alat untuk
stratifikasi resiko? Tinjauan dan meta analysis dari pertanyaan ini dikacaukan
oleh banyak metode pengukuran berbeda terhadap CK-MB dan cTnl. Kenyataan
bahwa perbedaan metode untuk penanda-penanda ini memiliki sensitivitas,
12
analisa, kelemahan untuk campur tangan, dan karakteristik penampilan mungkin
memiliki implikasi penting dimana uji menyediakan informasi yang berguna.
Sebuah model penelitian untuk membandingkan kegunaan pengukuran
CK-MB oleh ”a state of the art mass assay”, cTnT dan ECG untuk menilai resiko
dilakukan sebagai sub penelitian dari percobaan GUSTO Iia. Subpenelitian
GUSTO Iia ini melibatkan 854 pasien, seluruhnya memiliki gejala iskemia jantung
tidak lebih dari 12 jam dan ECG yang abnormal. GUSTO Iia menunjukkan bahwa
tingginya konsentrasi cTnT, hebatnya resiko mortalitas dalam 30 hari. Juga,
pasien yang positif cTnT memiliki peningkatan 3 kali lipat morbiditas
dibandingkan pasien dengan tes negatif. Selanjutnya, di tabel 2 menunjukkan
bahwa cTnT merupakan prediktor kematian yang sangat kuat dalam 30 hari
setelah penampakan klinis dalam sebuah model logistik regresi yang
dikembangkan data GUSTO lia. Kombinasi analisa dalam tabel 2 menunjukkan
bahwa diantara ECG, cTnT, dan CK-MB, cTnT menambah banyak informasi
memiliki resiko mortalitas dalam 30 hari, dan CK-MB tidak menyediakan
tambahan nilai yang lebih dari yang disediakan oleh ECG dan cTnT.
Tabel 2. Nilai relatif dari CNT, CK-MB dan EKG untuk prediksi kematian dalam 30 hari (Cristensen RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998)