1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat memperbaiki kualitas kesehatan penduduk serta memperbaiki umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata- rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2000). Bahkan di masa datang, jumlah lanjut usia di Indonesia semakin bertambah. Pada lansia, osteoartritis adalah salah satu kelainan muskuloskeletal yang paling sering dijumpai di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama impairment dan disabilitas. Osteoartritis merupakan suatu keadaan patologi yang mengenai kartilago hialin dari sendi lutut, di mana terjadi pembentukan osteofit pada tulang rawan sendi dan jaringan subchondral yang menyebabkan penurunan elastisitas dari sendi. Saat mengalami degenerasi kartilago hialin mengalami kerapuhan, di mana perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan sendi (kartilago hialin) berkenaan dengan perubahan biokimia di bawah permukaan kartilago yang akan meningkatkan sintesis timidin dan glisin. Akibat dari ketidak seimbangan antara regenerasi dengan degenerasi tersebut maka akan terjadi pelunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan rawan sendi yang akan terlepas
96
Embed
penambahan traksi / translasi pada latihan gerak aktif lebih ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional,
telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan
ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat memperbaiki kualitas
kesehatan penduduk serta memperbaiki umur harapan hidup manusia. Akibatnya
jumlah penduduk yang berusia lanjut diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-
rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar
(Nugroho, 2000). Bahkan di masa datang, jumlah lanjut usia di Indonesia semakin
bertambah.
Pada lansia, osteoartritis adalah salah satu kelainan muskuloskeletal yang
paling sering dijumpai di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama
impairment dan disabilitas. Osteoartritis merupakan suatu keadaan patologi yang
mengenai kartilago hialin dari sendi lutut, di mana terjadi pembentukan osteofit
pada tulang rawan sendi dan jaringan subchondral yang menyebabkan penurunan
elastisitas dari sendi. Saat mengalami degenerasi kartilago hialin mengalami
kerapuhan, di mana perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan sendi
(kartilago hialin) berkenaan dengan perubahan biokimia di bawah permukaan
kartilago yang akan meningkatkan sintesis timidin dan glisin. Akibat dari ketidak
seimbangan antara regenerasi dengan degenerasi tersebut maka akan terjadi
pelunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan rawan sendi yang akan terlepas
2
sebagai corpus libera yang dapat menimbulkan penguncian ketika sendi bergerak.
Reparasi berupa sclerosis terjadi pada tulang subchondral. Tulang di bawah
kartilago menjadi keras dan tebal serta terjadi perubahan bentuk dan kesesuaian
dari permukaan sendi. Jika kerusakan berlangsung terus berlanjut maka, bentuk
sendi tidak beraturan dengan adanya penyempitan celah sendi, osteofit,
ketidakstabilan dan deformitas. Dengan terbentuknya osteofit maka akan
mengeritasi membran sinovial di mana terdapat banyak reseptor-reseptor nyeri
dan kemudian akan menimbulkan hidrops. Dengan terjepitnya ujung-ujung saraf
polimodal yang terdapat di sekitar sendi karena terbentuknya osteofit serta adanya
pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi maka akan
menimbulkan nyeri tekan dan nyeri gerak. Pada kapsul-ligamen sendi akan terjadi
iritasi dan pemendekan, hal ini disebabkan karena imobilisasi dan kelenturan
colagen yang berkurang, pelunakan lapisan rawan yang diikuti oleh pecahnya
permukaan sendi, terjadinya pengerasan pada tulang di bawah lapisan rawan
sehingga kelenturan berkurang. Kemudian terjadi kontraktur jaringan ikat maupun
kapsul sendi sehingga lingkup gerak sendi semakin lama semakin sempit.
Pada lansia proses menua biasanya terjadi penurunan produksi cairan
sinovial persendian, tonus otot menurun, kartilago sendi menjadi lebih tipis dan
ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan lingkup gerak sendi,
sehingga mengurangi gerakan persendian. Adanya keterbatasan pergerakan dan
berkurangnya pemakaian sendi dapat memperparah kondisi tersebut (Tortora &
Grabowski, 2003). Penurunan kemampuan muskuloskeletal dapat menurunkan
aktivitas fisik (physical activity) dan latihan (exercise), sehingga akan
3
mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (activity
daily living atau ADL) (Wold, 1999). Aktivitas fisik pada lansia terdiri self care
(pemeliharaan diri), work, leisure, pleassure, sport dan hobby. Penurunan
aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living atau ADL) akan
mempengaruhi Quality of Life lansia. Di mana Health related Quality of Life
(HRQL) ada tiga dimensi: komponen fungsi fisik ( ADL dan IADL), komponen
psikologi dan komponen sosial.
Bagi lansia, ada beberapa indikator fisik yang berhubungan dengan fungsi
pergerakan, yaitu endurance (daya tahan), muscle strength (kekuatan otot), gait
speed (kecepatan jalan) dan lingkup gerak sendi (LGS) (Easton, 1999).
LGS dapat diartikan sebagai pergerakan maksimal yang dimungkinkan
pada sebuah persendian (Kozier et al., 2004). Pada usia 45s/d 70 tahun, LGS
sendi paha dan sendi lutut akan menurun sekitar 20%, (Miller dan Alexander,
2003). Pada sendi lutut terdapat 25% komponen yang mengalami kekakuan (pada
posisi fleksi), disebabkan oleh adanya kalsifikasi pada lansia yang akan
menurunkan fleksibilitas sendi. Pada sendi lutut, karena berfungsi sebagai
penopang tubuh maka mempunyai struktur ligamentum yang lebih kuat dan
banyak dari pada sendi siku walaupun keduanya sama-sama berjenis sendi engsel.
Hal ini juga akan mempengaruhi kemungkinan terjadinya kekakuan yang lebih
besar pada sendi lutut tersebut (Totora dan Grabowski, 2003).
Menurut Jenkins (2005) penurunan LGS disebabkan oleh tidak adanya
aktivitas fisik. Untuk mempertahankan LGS sendi pada keadaan normal dan otot
harus digerakkan secara optimal dan teratur. Aktivitas LGS juga dianjurkan untuk
4
terapi yang dapat mempertahankan pergerakan sendi dan jaringan lunak, yang
dapat mempertahankan pergerakan sendi dan jaringan lunak, yang akan
meminimalkan pembentukan kontraktur. Latihan untuk memperbaiki LGS aktif
dalam jenis Latihan gerak aktif yaitu latihan isotonik yang dapat memperbaiki
tonus dan massa, kekuatan otot dan ketahanan fleksibilitas sendi (Kisner dan
Colby 1996).
Traksi/ translasi adalah suatu tehnik yang digunakan untuk menangani
disfungsi sendi seperti kekakuan, hipomobilitas sendi reversibel dan nyeri. Traksi/
translasi merupakan gerakan pasif yang dilakukan oleh fisioterapis pada
kecepatan yang cukup lambat sehingga pasien dapat menghentikan gerakan.
Gerakan traksi/ translasi didasari oleh gerak artrokinematika. Pemberian
traksi/translasi dapat menstimulasi aktivitas biologi dengan pengaliran cairan
sinovial yang membawa nutrisi pada bagian avaskuler di kartilago sendi pada
permukaan sendi dan fibrokertilago sendi. Gerakan yang berulang-ulang pada
traksi/ translasi akan memperbaiki mikrosirkulasi dan cairan yang ke luar akan
lebih banyak sehingga kadar air dan matriks pada jaringan meningkat dan jaringan
lebih elastis. Selain itu unsur gerak traksi/translasi hampir sama dengan gerak
fisiologis dari sendi lutut baik fleksi maupun ekstensi sehingga dapat menambah
dan mempertahankan elastisitas dari kapsul, ligamen, juga otot.
Latihan adalah salah satu jenis aktivitas fisik dengan gerakan yang
direncanakan, terstruktur dan gerakan yang berulang untuk mempertahankan atau
memperbaiki kesehatan maupun kebugaran jasmani (physical fitness). Latihan dan
aktivitas fisik pada lansia dapat mempertahankan pergerakan dalam batas-batas
5
normal persendian, tonus otot dan mengurangi masalah fleksibilitas (Wold, 1999).
Latihan yang diutamakan pada kelenturan sendi dengan peregangan maksimal dan
secara bertahap ditingkatkan dengan latihan kekuatan, namun harus dilakukan
secara hati-hati dan perlahan, latihan yang digunakan termasuk jenis latihan LGS
ringan dengan penyesuain dosis dalam kategori latihan LGS smooth motion yakni
gerakannya perlahan namun pasti dalam posisi full LGS dan tanpa nyeri
(Sukendro, 2007), teknik gerak LGS yang digunakan dalam latihan ini adalah
gerak sesuai bidang anatomi sendi lutut yakni gerak fleksi-ekstensi dan gerak
ditujukan untuk aktivitas sehari-hari (Activity daily living atau ADL) seperti
jongkok ke berdiri dan Toileting, dengan indeks Katz sehingga Quality of Life
akan meningkat (Kisner & Colby, 1996).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dilakukan penelitian mengenai
pengaruh Penambahan traksi/ translasi pada latihan gerak aktif lebih
meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri pada osteoartritis lutut
wanita lanjut usia.
1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini dapat disusun sebagai berikut:
1. Apakah pemberian latihan gerak aktif dapat meningkatkan lingkup
gerak sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia ?
6
2. Apakah penambahan traksi/ translasi pada latihan gerak aktif dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut
usia ?
3. Ada perbedaan dari kedua perlakuan tersebut akan lebih meningkatkan
lingkup gerak sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia ?
4. Apakah pemberian latihan gerak aktif dapat mengurangi nyeri pada
osteoartritis lutut wanita lanjut usia ?
5. Apakah penambahan traksi/ translasi pada latihan gerak aktif dapat
mengurangi nyeri pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia ?
6. Ada perbedaan dari kedua perlakuan tersebut akan lebih mengurangi
nyeri pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia ?
1. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat disusun sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui metode perlakuan yang paling baik di antara metode
yang diteliti dalam rangka memperbaiki lingkup gerak sendi dan mengurangi
nyeri pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia, sehingga dapat digunakan pada
aktivitas sehari-hari.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bahwa latihan gerak aktif dapat meningkatkan lingkup gerak
sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia.
7
2. Untuk mengetahui bahwa penambahan taksi/ translasi pada latihan gerak aktif
dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut
usia.
3. Untuk mengetahui bahwa dari kedua perlakuan tersebut mana yang lebih
meningkatkan lingkup gerak sendi pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia.
4. Untuk mengetahui bahwa latihan gerak aktif dapat mengurangi nyeri pada
osteoartritis lutut wanita lanjut usia.
5. Untuk mengetahui bahwa penambahan taksi/ translasi pada latihan gerak aktif
dapat mengurangi nyeri pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia.
6. Untuk mengetahui bahwa dari kedua perlakuan tersebut mana yang lebih
mengurangi nyeri pada osteoartritis lutut wanita lanjut usia.
1. 4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.1. Manfaat Keilmuan
Untuk memperbaiki pengetahuan dalam memberikan solusi pemecahan
masalah mengenai latihan yang tepat untuk meningkatkan lingkup gerak sendi dan
mengurangi nyeri pada osteoartritis sendi lutut bagi lansia.
1.4.2. Bagi IPTEK
Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya bagi lansia dengan adanya data-data penelitian yang menunjukkan
8
pengaruh penambahan Traksi/ Translasi pada Latihan gerak aktif terhadap
peningkatan Lingkup Gerak Sendi dan pengurangan Nyeri pada osteoartritis lutut
wanita lanjut usia.
1.4.3. Manfaat Praktis
Menambah khasanah pengetahuan mengenai macam latihan dan dosis
latihan yang tepat yang nantinya berdampak pada keberhasilan terapi.
1.4.4. Bagi Masyarakat khususnya lanjut usia
Sebagai masukan kepada lansia dan ke luarganya serta bagi masyarakat
untuk menyadari pentingnya latihan fisik agar tercapainya derajat kesehatan yang
optimal.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Menua dan Teori Menua
Menua (menjadi tua atau aging) adalah suatu proses penurunan secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejar (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Darmojo & Martono, 2004).
Batasan usia pada lansia (Badrusshalih, 2008) adalah sebagai berikut : (1)
menurut WHO meliputi usia pertengahan atau midlle age (45-59 tahun), lanjut
usia pertama atau elderly (60-74 tahun), lanjut usia kedua atau old (75-90 tahun),
sangat tua atau very old (usia di atas 90 tahun), (2) menurut UU No. 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyatakan bahwa lansia atau seseorang
yang mencapai usia 60 tahun, (3) menurut Depkes dijelaskan bahwa kelompok
menjelang usia lanjut meliputi 45-54 tahun sebagai masa vibrilitas, usia 55-64
tahun sebagai presenium dan usia 65 tahun ke atas sebagai senium.
Menurut Pudjiastuti & Utomo (2003), bahwa penuaan dapat terjadi secara
fisiologis dan patologis. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological
aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan
dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai kronologis usia (penuaan primer) yang
dipengaruhi oleh faktor endogen, di mana perubahan dimulai dari sel, jaringan,
organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan sekunder yang dipengaruhi oleh faktor
eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya dan gaya hidup. Faktor eksogen dapat
10
juga mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal faktor resiko. Faktor resiko
tersebut yang menyebabkan penuaan patologis (pathological aging).
Bertambah tua atau lansia selalu berhubungan dengan penurunan tingkat
aktivitas fisik. Hal ini disebabkan oleh 3 hal, yaitu : (1) perubahan pada struktur
dan jaringan penghubung (kolagen dan elastin) pada sendi, (2) tipe dan
kemampuan aktivitas pada lansia berpengaruh sangat signifikan terhadap struktur
dan fungsi jaringan pada sendi, (3) patologi dapat mempengaruhi jaringan
penghubung sendi, sehingga menyebabkan functional limitation atau keterbatasan
fungsi dan disability. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan
tingkat aktivitas fisik lansia adalah genetik, kebiasaan hidup sebelumnya, trauma
atau kecelakaan, dan lain-lain (Gruccione, 2000).
Ada beberapa teori yang menerangkan proses menua antara lain :
1. Teori genetic clock
Menurut teori ini bahwa menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Dalam nucleus tiap spesies mempunyai suatu jam
genetik. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi tertentu dan
menghitung mitosis dan juga menghentikan replikasi sel bila tidak berputar. Jadi
menurut konsep ini bila jam berhenti, maka akan meninggal dunia, meskipun
tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal
(Darmojo & Martono, 2004).
2. Teori eror catastrophe (mutasi somatik)
Salah satu faktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel
11
tersebut, sehingga dapat memperpendek umur. Menurut teori ini, menua
disebabkan oleh kesalahan-kesalahan beruntun sepanjang kehidupan, berupa
kesalahan dalam proses transkripsi (DNA RNA) maupun translasi (RNA
protein/enzim). Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuk enzim yang
salah, akibatnya terbentuk reaksi metabolisme yang salah, sehingga akan
mengurangi fungsional sel. Jika kesalahan dalam proses tranlasi (pembuatan
protein), maka akan terjadilah kesalahan yang makin banyak, sehingga terjadilah
katastrup (Darmojo & Martono, 2004).
3. Teori rusaknya sistem imun tubuh
Adanya kerusakan sistem imun tubuh berbentuk sebagai proses
keteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self
recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen
permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap
sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
Peristiwa inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autonium.
Di pihak lain, daya pertahanan sistem imun tubuh sendiri mengalami
penurunan akibat proses menua, daya seringnya terhadap sel kanker menjadi
menurut, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah yang menyebabkan
terjadinya kanker meningkat sesuai pertambahan umur (Suhana, 1994 yang
dikutip oleh Darmojo & Martono, 2004).
12
4. Teori akibat metabolisme
Peristiwa menua akibat metabolisme tubuh sendiri, antara lain karena
kalori yang berlebihan, kurang aktivitas dan sebagainya (Darmojo & Martono,
2004).
5. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh jika
faqosit pecah. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan
bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi, sinar ultra violet
mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi
dengan DNA, protein anak lemak tidak jenuh, seperti dalam memberan sel dan
dengan gugur SH (Hardywinoto & Setiabudhi, 1999).
Walaupun ada sistem penangkalan yang berbentuk enzim, seperti katalase,
glutation perosida, superoksida dismutase dan bentuk non enzimtik, seperti
vitamin C (asam askorbat), provitamin A (beta-karotin), Vitamin E (tocopherol),
namun sebagian radikal bebas tetap lolos bahkan semakin lanjut usia semakin
banyak radikal bebas terbentuk, sehingga pengerusakan terus terjadi, kerusakan
sel makin lama makin banyak yang akhirnya sel mati (Darmojo & Martono,
2004).
2.2 Perubahan Fisiologis Penuaan
Pada proses menua, perubahan fisiologis akan terjadi pada sistem
muskuloskeletal, saraf, kardiovaskuler, respirasi, indra, dan integument. Pada
13
penulisan ini akan dibahas perubahan fisiologis pada sistem muskuloskeletal,
(Pudjiastuti & Utomo, 2003).
1. Sistem Muskuloskeletal
a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang
tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan. Tarikan
linier pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas
pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya
mekaniknya karena penuaan, daya elastisitas dan kekakuan dari kolagen menurun
karena mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan (Pudjiastuti
& Utomo, 2003).
Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas
pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan
otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan
berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap hari (Pudjiastuti
& Utomo, 2003).
b. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulari dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk
generasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif.
Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau
hilang secara bertahap. Kartilago mengalami klasifikasi di berbagai tempat
14
persendian, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang
berpelumas menurun dengan konsekwensi kartilago pada persendian rentan
terhadap gesekan (Pudjiastuti & Utomo, 2003).
Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan.
Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan nyeri,
keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari (Pudjiastuti & Utomo,
2003).
c. Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi merupakan bagian
dari penuaan secara fisiologis. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula
transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang
kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga
produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalium di usus,
peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan
ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabkan kekakuan dan penurunan
kekuatannya. Hal ini berdampak terjadi osteoporosis yang selanjutnya dapat
mengakibatkan nyeri, deformitas dan traktur ( Pudjiastuti &Utomo, 2003).
d. Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan jumlah
dan ukuran serabut otot, atrofi pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada
beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah
15
penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan
penurunan kemampuan fungsional (Pudjiastuti & Utomo, 2003).
e. Sendi
Jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia pada lansia
mengalami penurunan elastisitas. Ligament, kartigo dan jaringan particular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan
klasifikasi pada kartigo dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya
sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi
(Pudjiastuti & Utomo, 2003).
2.3 Patologi Osteoartritis Lutut
Osteoarthritis merupakan gangguan atau kerusakan kartilago hialin sendi
yang melapisi ujung-ujung tulang di dalam persendian yang progresif lambat.
Walaupun penyebabnya masih belum diketahui secara jelas, para ahli
berpendapat, kerusakan sendi itu akibat stres mekanik (tarikan atau peregangan)
pada kartilago pada sendi patelofemoral. Stres mekanik memunculkan respons
pada tubuh dalam bentuk zat kimiawi yang merangsang pembentukan tulang baru
untuk mengatasi kerusakan tulang rawan. Dari situlah lalu muncul penebalan atau
tonjolan tulang yang tak teratur atau osteofit. Sudah pasti itu lalu mengganggu
jaringan di sekitarnya dan menimbulkan rasa nyeri dan gangguan beraktivitas.
Suatu cidera tunggal jarang dapat merusak permukaan kartilago. Yang jauh lebih
sering adalah kelebihan beban yang berkali-kali akibat:
16
a. Malkongruensi pada permukaan patelofemoral karena bentuk patella atau alur
interkondilus yang abnormal.
b. Malposisi mekanisme ekstensor, atau kelemahan vastus medialis, yang
menyebabkan patella miring, atau bersubluksasi, dan menahan beban lebih
berat pada satu permukaan daripada permukaan yang lain selama fleksi dan
ekstensi.
c. Kelebihan beban patelofemoral mengakibatkan perubahan pada kartilago
sendi dan tulang subkondral, tidak selalu pada tingkat yang sama. Oleh karena
itu, kartilago dapat tampak normal dan hanya sebatas memperlihatkan
perubahan biokimia seperti overhidrasi atau hilangnya proteoglikan,
sementara tulang yang mendasari menunjukan kongesti pembuluh darah
sebagai reaksi (penyebab nyeri potensial). Atau mungkin terdapat perlunakan
kartilago yang nyata dan fibrilasi, dengan atau tanpa hipertensi intraoseosa
subartikular.
Fibrilasi kartilago biasanya terjadi pada permukaan medial patela atau tepi
median, tetap terbatas pada daerah dangkal dan biasanya sembuh secara spontan.
Ada empat tahapan kerusakan rawan sendi yang saling tumpang tindih, yaitu:
a. Tahap pertama, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedang kolagen masih
normal. Meskipun kadar proteoglikan berkurang, justru sintesis awal sel
rawan meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya aktivitas dari mitosis sel
rawan yang bertambah. Hal ini membuktikan bahwa sel rawan berperan dalam
menjaga keseimbangan antara aktivitas produksi dengan aktivitas destruksi
yang diperankan oleh enzim tadi yang dalam keadaan normal aktivitasnya
17
rendah, jadi proteoglikan yang menurun tadi karena destruksinya melebihi
produksi, penurunan ini menimbulkan rawan sendi menjadi lunak secara lokal.
Warna matrik menjadi kekuningan kemudian timbul retakan dan terbentuknya
celah.
b. Tahap kedua, celah semakin dalam, tetapi belum sampai ke perbatasan daerah
subkondral, jumlah sel rawan ini mulai menurun begitu juga kadar kolagen.
c. Tahap ketiga, celah tadi akan semakin dalam sampai daerah subkondral, kista
dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaan menjadi tidak
teratur.
d. Tahap keempat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan
difagosit sel-sel membran synovial dan terjadilah reaksi radang. Selanjutnya
kondrosit mati, proteoglikans dan kolagen tidak diproduksi lagi dan matrik
memucat.
Tulang rawan hyalin memiliki fungsi sebagai shock-absorber dan
kegagalan fungsinya dapat memperberat kerja tulang rawan. Pada awal proses
patologi kemungkinan terjadi gangguan aktivitas metabolisme dan pada proses
lanjutan fungsi kondrosit mengalami kegagalan dan aktivitasnya menurun.
Keadaan ini menyebabkan kekurangan proteoglikan, di mana akan terjadi
kekakuan yang mudah merobek tulang rawan hialin karena tekanan mekanis.
Permukaan kolagen menjadi kasar dan berpartikel, yang akan pulih setelah
diserap oleh jaringan sinovial. Dapat pula terjadi penimbunan kristal (calsium
pyrophospatte dan hydroxyapatite) di antara persendian, dan kedua faktor di atas
dapat menimbulkan reaksi radang.
18
Adapun gejala dan tanda klinis, di antaranya:
a. Nyeri di sepanjang daerah anterior lutut saat berjalan, berlari, naik turun
tangga, jongkok, atau melompat.
b. Nyeri anterior saat menaiki tangga, jongkok atau menuruni tangga.
c. Efusi berulang, terutama setelah beraktivitas atau keadaan istirahat.
d. Krepitasi atau bunyi gemeretak dan nyeri saat menggerakkan lututnya.
e. Pada saat istirahat gejala juga bisa muncul.
f. Deformitas berupa genu valgus.
g. Kaku sendi terutama pada saat pagi hari.
Otot berperan sebagai penggerak sendi juga berfungsi sebagai komponen
stabilisator aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan. Lutut
diperkuat oleh dua group otot yang besar yaitu group ekstensor dan group fleksor.
Group ekstensor adalah qudriceps dan group fleksor lutut adalah otot-otot
hamstring. Hanya sedikit otot bekerja semata-mata pada sendi lutut, sebagian
bekerja pada sendi panggul dan sebagian pergelangan kaki.
Kontraktur kapsul ligamen atau terbentuknya formasi abnormal cross link
pada jaringan yang timbul secara progresif lambat atau perlahan-lahan erena
proses immobilisasi sehingga menyebabkan kekakuan dan keterbatasan gerak
dengan pola kapsular pattern pada lutut adalah fleksi lebih terbatas dari ekstensi.
Pada awal immobilisasi sendi akan terjadi perubahan substansi
glyeosaminoglyeaus (GAG) dan air. Akibatnya ruang antar serabut kolagen
sempit dan menghambat antar serabut, sehingga jaringan ikat menurun
kelenturannya. kekakuan pada kapsul ligamen juga dapat disebabkan karena
19
osteofit yang telah terbentuk mengiritasi pada jaringan sekitar sehingga
menyebabkan terjadinya proses inflamasi.
Dalam sirkulasi darah sering terjadi inflamasi atau peradangan timbul
setelah 24-36 jam setelah cidera yang merupakan suatu reaksi pada jaringan
karena trauma atau rangsangan yang menghasilkan cairan, zat-zat yang terlarut
dan sel-sel dari darah yang bersirkulasi ke dalam jaringan pada daerah cedera atau
iskemia.
2.4 Mekanisme timbulnya nyeri Osteoartritis lutut
Pada awal terjadi OA lutut kadang seseorang belum merasakan nyeri
namun setelah agak lama akan merasakan nyeri terutama setelah berdiri atau
berjalan lama dan hilang saat istirahat, namun pada tahap dini tidak sampai terjadi
nyeri yang menjalar ke daerah lain. Perasaan nyeri ini akan sangat mengganggu
aktivitas sehari-hari jika timbul pemprovokasian dari nyeri tersebut.
Pemprovokasian nyeri ini terjadi jika lutut pasien mendapat tekanan atau saat
menggerakkan lututnya, sehingga pasien akan berteriak nyeri saat tekanan tepat di
daerah nyeri.
Stres mekanik akan mengakibatkan kerusakan sendi dan memunculkan
respons pada tubuh dalam bentuk zat kimiawi yang merangsang pembentukan
tulang baru untuk mengatasi kerusakan tulang rawan. Dari situlah kemudian
muncul penebalan atau tonjolan tulang yang tak teratur atau disebut perkapuran.
Selanjutnya akan mengganggu jaringan di sekitarnya dan menimbulkan rasa nyeri.
Penganturan nyeri pada tingkat saraf perifer, yaitu berupa sensasi yang di
20
hantarkan oleh serabut saraf nyeri yaitu serabut A-delta dan C. rangsangan nyeri
ini biasa timbul akibat adanya gangguan metabolic dan penjempitan pada
polimodal di sekitar jaringan.
Kerusakan awal di mulai dari hyalin cartilago sendi lutut, dilanjutkan
pembentukan osteofit pada rawan sendi dan jarngan subchondral yang
menyebabkan penurunan elastisitas dari sendi. Selain permukaan sendi (tulang
rawan sendi), juga mengenai daerah-daerah sekitar sendi seperti: tulang
subchondral, kapsul ligament yang membungkus sendi dan otot-otot yang melekat
berdekatan dengan sendi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan
sendi berkenaan dengan perubahan biokimiawi di bawah permukaan kartilago
yang meningkatkan sintesis timidin dan glisin. Lesi permulaan ini disusul oleh
proses kerusakan kartilago secara progresif. Akibat dari ketidakseimbangan antara
regenerasi dengan degenerasi tersebut maka akan terjadi pelunakan, perpecahan
dan penglupasan lapisan rawan sendi yang akan terlepas sebagai korpus libera
yang dapat menimbulkan penguncian ketika sendi bergerak.
Gambar.2.1 Rontgen Osteoartritis lutut
21
Pada tulang subchondral terjadi reparasi berupa sclerosis. Dengan
peningkatan aktivitas tulang dan pembentukan spur pada tepi sendi yang dapat
membatasi gerakan. Tulang di bawah kartilago menjadi keras dan tebal serta
terjadi perubahan bentuk dan kesesuaian dari permukaan sendi. Jika kerusakan
berlangsung terus berlanjut maka, bentuk sendi tidak beraturan dengan adanya
penyempitan celah sendi, osteofit, ketidakstabilan dan deformitas. Dengan
terbentuknya osteofit maka akan mengiritasi membrane synovialis di mana
terdapat banyak reseptor-reseptor nyeri dan ini akan menimbulkan hydrops.
Karena terpaparnya ujung-ujung saraf polymodal yang terdapat di sekitar sendi
oleh karena terbentuknya osteofit serta adanya pembengkakan dan penebalan
jaringan lunak di sekitar sendi maka akan menimbulkan nyeri tekan dan nyeri
gerak.
Konsep nyeri sejak dahulu adalah sebagai teori‘telephone exchange’ di
mana nosireseptor menerima impuls nyeri yang diteruskan oleh serabut saraf tepi
ke susunan saraf pusat sampai ke korteks serebri yang mampu menciptakan
kesadaran akan rasa nyeri FNamun konsep nyeri yang sekarang ini banyak
dipahami adalah konsep menurut Melzack dan Wall yang disebut dengan Gate
Control Theory. Teori ini mengemukakan bahwa:
“Ada dua macam serabut yaitu serabut tebal dan halus yang sama-sama
mengirim rasa nyeri melalui akar saraf belakang bersambung dengan sel saraf
yang dinamakan Tcell pada neuron kedua (interbuncial neurons) yang
berhubungan dengan sel saraf (SG-cell). Sel SG menekan rangsang nyeri yang
akan dikirim ke sel T. Rangsangan nyeri dari serabut yang tebal berfungsi
22
memperkuat tekanan pada sel SG, sedangkan rangsangan nyeri dari serabut
yang halus bekerja untuk mengurangi sel SG, berarti sel SG adalah suatu
gerbang. Untuk menerima rasa nyeri yang masuk ke sel T, rasa nyeri dari
serabut tebal, gerbang ini menyempit, berakibat rangsangan kepada sel T
melemah. Bila rasa nyeri melalui serabut halus gerbang akan melebar,
rangsangan yang diterima menjadi lebih kuat. Membuka dan menutup gerbang
bukan saja dipengaruhi oleh dua macam serabut tersebut di atas, tetapi pusat
kontrol dari pusat pun mempengaruhi. Impuls rasa nyeri masuk melalui saraf
perifer ke pusat kolumna posterior dan sistem proveksi dorsolateral sebagai
pacu kontrol sentral mengumpulkan informasi, sifat dan letak rasa nyeri,
mengirim ke thalamus sebagai pusatnya, kemudian melalui desending afferent
fiber mengirim ke gerbang, yang akan membuka dan menutup gerbang”
Akibat nyeri akan menyebabkan spasme otot dan keterbatasan lingkup
gerak sendi. Jika hal ini dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan kontraktur
sehingga lingkup gerak sendi akan lebih terbatas.
Akibat hilangnya stress mekanik normal menyebabkan susunan serabut
kolagen menjadi acak tidak bertauran dan terbentuklah abnormal cross link,
fibrous dan adhesi. Sehingga membatasi gerak luncur setiap serabut dan
menimbulkan kekakuan yang bersifat kapsular pattern. Kekakuan pada kaspsular
ligament juga disebabkan karena osteofit yang telah terbentuk mengiritasi pada
jaringan sekitar seperti kapsul ligament sehingga menyebabkan terjadinya proses
inflamasi. Bila kondisi ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan banyak
23
keluhan seperti kekauan, penurunan kekuatan otot dan berkurangnya instabilitas
sendi.
2.5. Aktivitas Fisik Pada Lanjut usia
Lansia yang sehat, bugar dan produktif dapat diupayakan sejak usia muda
melalui aktivitas fisik atau olah raga terprogram. Kemampuan fungsional organ
tubuh akan mengalami penurunan yang lebih lambat pada orang yang menjalani
hidup aktif (active life), sebesar 0,4% - 0,5% pertahun dibandingkan dengan orang
yang hidup tidak aktif (sedentary life) sebesar 0,4% - 0,5% pertahun dibandingkan
dengan orang yang hidup tidak aktif (sedentary life), sebesar 0,75% - 1% pertahun
setelah usia 30 tahun (Brooks & Fahey, 1984; Putro, 1998).
Olah raga yang dilakukan secara benar akan memperbaiki fungsi paru dan
efisiensi kerja jantung, kemampuan otot skelet, kelenturan badan dan sendi,
membentuk tubuh serasi, padat dan kokoh, kolesterol high density lipoprotein,
kemampuan fisik, produktivitas serta kekuatan jiwa (Burke, 2001). Olah raga
akan menurunkan kolesterol low density lipoprotein, trigliserida, total kolesterol,
denyut jantung istirahat dan obesitas (Putro, 1998).
Latihan adalah jenis aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur dengan
gerakan yang berulang untuk mempertahankan atau memperbaiki kesehatan dan
kebugaran jasmani (Kozier dkk, 2004). Banyak strategi untuk memperbaiki
kebugaran dan aktivitas fisik pada lansia, antara lain dengan cara memperbaiki
satu tahap saja dari keadaan aktivitas sebelumnya. Lansia yang sebelumnya
kadang aktif menjadi dapat melakukan aktivitas teratur dan yang sebelumnya
24
telah melakukan aktivitas teratur kemudian melakukan olahraga secara teratur
(Darmojo & Martono, 2004). Edward dan Larson (cit. Darmojo & Martono, 2004)
menyatakan bahwa :
1. Latihan dan olah raga dengan intensitas sedang dapat memberikan keuntungan
bagi para lansia melalui berbagai hal, antara lain pengurangan resiko fraktur
peningkatan status kardiovaskuler dan kemampuan fungsional serta proses
mental.
2. Peningkatan aktivitas, hanya akan sedikit sekali menimbulkan komplikasi.
3. Latihan dan olah raga pada lansia harus disesuaikan secara individual, dengan
tujuan yang khusus pada individu tersebut. Perhatikan khusus harus diberikan
pada jenis dan intensitas latihan, antara lain : aerobic, kekuatan, fleksibilitas
dan keadaan dalam hal apa latihan diberikan.
4. Latihan menahan beban (weight bearing exercise) yang ringan secara intensif
misalnya berjalan.
5. Lansia yang tidak aktif (sedentary) harus diransang untuk melakukan latihan
secara tetap.
Program latihan fisik bagi para lanjut usia harus memperbaiki
kemungkinan bahwa mereka akan menjalankan tingkatan aktivitas yang lebih
tinggi. Menurut Darmojo & Martono (2004), aktivitas sehari-hari pada lansia
dapat dikaji dengan menggunakan Indeks Katz, yang mengukur kemandirian
untuk mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat, mempertahankan
kontinensia dan makan. Program latihan yang diberikan kepada lanjut usia
biasanya disesuaikan dengan latihan semasa mudanya. Latihan dengan intensitas
25
ringan, secara umum didefinisikan sebagai latihan dengan < 50% kapasitas
aerobik maksimum : latihan sedang 50-70% kapasitas aerobik maksimum dan
latihan berat dengan > 70% kapasitas aerobik maksimum. Berikut adalah
komponen dan takaran latihan/olahraga bagi lanjut usia :
Tabel 2.1.
Komponen dan Takaran Latihan bagi Lansia
Komponen Cara Frekuensi Intensitas Lama Fleksibilitas Peregangan statis
: betis, hamstring, abductor paha
Tiap hari Harus menimbulkan rasa teregang bukan nyeri
15 detik / kelompok otot.
Daya tahan Jalan-jalan naik bukti atau tangga atau step up. Golf, membawa atau menarik tas. Bersepeda. Berenang
> 4 x / mgg Sampai tingkat cukup atau moderat (pendapat penderita sendiri), 50-70% denyut nadi maksimal.
20-30 menit/hari
Kekuatan Otot tertentu. Kontraksi Kelompok otot dan gerakan sehari-hari
2-3x/mgg 3 set Kelompok otot
Intensitas sedang-berat
2-3 set setiap gerakan
Keseimbangan Sikap kewaspadaan/ sikap tubuh bersandar Tai chi dan gerakan berdansa. Berpindah tempat/berbalik badan.
1-3x/mm Bervariasi Tergantung dari tingkat supervise dan fungsi keseimbangan
Sumber : Darmojo dan Martono, 2004
Berdasarkan tipe kontraksi otot yang digunakan pada saat latihan, dibagi
menjadi kontraksi isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isometrik terjadi
26
ketegangan pada panjang otot yang konstan meski tidak terjadi pemendekan otot.
Pada kontraksi isotonik ketegangan otot tetap konstan ketika panjang otot
berkurang. Pada latihan isotonik terjadi pemendekan otot akibat kontraksi otot dan
pergerakan aktif. Hampir semua aktivitas fisik sehari-hari termasuk latihan
isotonik, seperti berlari, berjalan, berenang dan latihan berbentuk LGS aktif.
2.6. Anatomi terapan dan biomekanik lutut
Lutut merupakan sendi yang aneh bentuknya. Bila dilihat permukaan sendi
nampak bahwa permukaan sendi dari tulang femur dan tulang tibia tidak ada
kesesuaian bentuk. Kedua condylus femur membentuk sejenis katrol sedang tibia
di antaranya lebih rata. Pada bagian dorsal terdapat simpai sendi yang kuat serta
diperkuat oleh berbagai ligamentum. Rongga sendi lutut sangat luas dan
melanjutkan diri ke dalam recessus suprapatellaris. Di dalam lutut terdapat
ligamentum cruciatum anterior dan ligamentum cruciatum posterior. Di sebelah
medial dan lateral terdapat ligamentum collateral medial dan ligamentum
collateral lateral. Keempat ligamentum tersebut sepertinya mengemudikan lutut
dalam gerakan antara fleksi dan ekstensi (De wolf and J.M.A, Mens , 1994).
Aksis gerakan lutut fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi
yaitu melewati condylus femoris. Untuk gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada
daerah condylus medialis (Kapandji, 1987).
Osteokinematika yang terjadi pada sendi lutut adalah gerakan fleksi dan
ekstensi pada bidang sagital dengan luas gerak sendi fleksi antara 120-130 bila
posisi hip mencapai fleksi penuh. Untuk gerakan ekstensi luas gerak sendi 0
tetapi bisa 5-10 jika terdapat hiperekstensi lutut. Gerakan memutar pada bidang
27
rotasi untuk gerakan endorotasi dengan luas gerak sendi antara 30-35.
Sedangkan untuk eksorotasi antara 40-45 dari posisi awal mid posisi, gerakan
ini terjadi pada posisi lutut fleksi 90 (Kapandji, 1987).
Otot-otot yang menggerakan sendi lutut dikelompokkan menjadi dua
bagian yang terdiri dari otot quadriceps yang merupakan kelompok otot dari (1)
m. rectus femoris, (2) m. vastus intermedius , (3) m. vastus medius, (4) m. vastus
lateralis. Dan otot bagian belakang yaitu hamstring berfungsi sebagai penggerak
sendi lutut ke arah fleksi, yang terdiri dari (1) m. biceps femoris caput longum
dan brevis, (2) m. semi tendinosus, (3) m. semi membranosus. Otot-otot pembantu
gerakan fleksi lutut antara lain m. popliteus dan m. gastrocnemius. Sedangkan
untuk gerakan eksternal rotasi dilakukan oleh (1) m. biceps femoris dan (2) m.
tensor facialata. Dan gerakan internal rotasi dilakukan oleh (1) m. popliteus,(2)
m. gracilis, (3) m. hamstring.
Artrokinematika sendi lutut adalah pada femur (cembung) maka gerakan
yang terjadi adalah rolling dan sliding berlawanan arah. Saat fleksi femur rolling
ke arah belakang dan sliding ke arah depan. Untuk gerakan ekstensi, rolling ke
depan dan sliding ke belakang ,dan jika tibia (cekung) bergerak fleksi maupun
ekstensi maka rolling maupun slidding akan searah, saat gerakan fleksi menuju ke
ke dorsal sedang pada saat bergerak ekstensi menuju ke depan (Slamet Pardjoto,
2000).
28
Gambar 2.2 Otot-otot tungkai atas dari sudut pandang anterior dan posterior
(Putz and Pabst, 2000) Keterangan : 1. M. illiacus 9. M. gluteus minimus 2. M. tensor fascia latae 10. M. piriformis 3. M. pectineus 11. M. adductor magnus 4. M. adductor longus 12. M. semi tendinosus 5. M. sartorius 13. M. bisep femoris 6. M. rectus femoris 14. M. semi membranosus 7. M. vastus lateral 15. M. gastrocnemius caput medial 8. M. vastus medial
29
Gambar 2.3 Ligamentum Pembentuk Sendi Lutut Tampak dari Depan
(Putz and Pabst, 2000).
Keterangan gambar 2.3 : 1. Tendon m. adductor magnus 2. Tendon caput medialis m. gastrocnemiuss 3. Condylus medialir 4. Lig. meniscus femorale posterio 5. Lig. collaterale tibiale 6. Tendon m. semi membranosus 7. Lig. popliteum obliqum 8. Lig. cruciatum posterior 9. M. popliteum obliqum 10. M. popliteum 11. M. tendon caput lateralis 12. Lig. cruciatum anterior 13. Condilus lateralis femoris 14. Tendon m. popliteus 15. Meniscus lateralis 16. Lig. collaterale fibulare 17. Condilus lateralis tibialis 18. Lig. capitis fibula posterior
Gambar 2.4 Ligamentum Pembentuk Sendi Lutut Tampak dari Medial dengan Posisi Lutut
dalam Keadaan : a) Ekstensi dan b) Fleksi (Putz and Pabst, 2000).
Bandy, W, Irion, J. dan Bringgler, M. 1997. The Effect of Time and Frequency of
Static Stretching of Flexibility of the Hamstring Muscles, Journal of Athletic Training, 36 : 44 – 9.
Bandy, E. 2006. Exercise and Women with Physical Disabilities, Practitioners’
Guide to Primary Care, Primary Health Care Considerations. Braden, C. 2005. Open or Closed Kinetic Chain Exercise After ACL [cited 2008
October, 6]. Avaelable from: http:www.Medscape.com. Brooks. G.A. & Fahey T.D. 1984. Exercise Physiology. Human Bioenergetics and
Its Applications John Wiley & Sons, Singapore.
Burke, E.R. 2001. Panduan Lengkap Latihan Kebugaran di Rumah. Jakarta:
Rajagraindo Persada.
Clark, B. 2006. Exercise for The Older Adult, The University of Missouri, St. Lous.
Chehab R, H. 2000. Wawasan-wawasan Baru dalam Pengobatan serta
Penyembuhan Arthritis. Naskah Seminar Jakarta, 4 Nov 2000
Darmojo, B. and Martono. 2004. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai
Penerbit FK UI, Jakarta.
82
Easton, K. 1999. Gerontology Rehabilitation Nursing, W.B. Sauders, Philadelphia.
Ellis, J. 1996. Modules of Basic Nursing Skill, JB. Lippincott, Philadelphia. Graf, C. 2006. Functional Decline in Hospitalized Older Adults, American
Journal Nursing, 106 (1) : 58-67. Gowitzke, BA. dan Milner, M. 1980. Understanding the Scientific Bases of
Human Movement, Williams & Wilkins, Baltimore. Guccione, A. 2000. Geriatric Physical Therapy; Second Edition, A Harcout
Health Scienses Company, United States of America. Hardywinoto & Setiabudhi, T. 1999. Panduan Gerontology Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hendricks T. 1995. The effect of immobilization on connective tissue. Journal of manual and manipulative therapy. 3(3):98-103
Hudaya, P. 2002. Rematologi. Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan
Fisioterapi, Surakarta
Jenkins, L. 2005, Mazimzing Lingkup Gerak Sendi In Older Adult. The Journal on Active Aging. January February, 50-5.
Junquera, LC, Carneiro, J. and Kelley, RO., 1995. Histologi Dasar, Alih Bahasa
Tambayong, J. EGC, Jakarta. Kapandji I.A. 1987. The Physiology of the Joint, Vol Two Lower Limb Fifth
Edition, Churchil Livingstone, Edinburg, London, Melbourne, and New York.
Kisner, C. and Colby, LA., 1996. Therapeutic Exercise Foundations and
Techiques, F.A. Davis, Philadelphia. Kozier, B., Erb, G. and Blais, K., 2004. Fundamental of Nursing, Concepts,
Process and Practice, Addison Wesley Publishing, California.
83
Kusumastuti, P.M. 2000. Pengaruh Latihan pada Perbaikan Kecepatan Berjalan para Lansia di panti Werdha, Berkala Ilmiah Kesehatan FATMAWATI, 2 (4) : 136-43.
Luttgens, K. and Hamilton, N. 1997. Kinesiology Scientific Basis of Human
Heinemann, Ltd. Mayer, F. 2003. Training and Testing in Open and Closed kinetic chain. [cited
2008 October, 8]. Avaelable:URL/:www.motionmed.com. Meyer, B.J, Van Papendorp DH, dan Meij HS. 2002, Human Physiology, 3rd
edition. Sout Africa:Juta:15.11-15.16 Miller, J. dan Alexander, N. 2003. Biomechanical of Mobility in Older Adults.
Dalam Hazzard, W. Blass, John, J. Ouslander, J and Tinetti, Mary, (ed) Principles of Geriatric Medicine and Gerotology, P. 919-45 McGRAW-HILL, New York.
Nugroho, Wahyudi. 2000. Perawatan Gerontik. EGC. Jakarta. Parjoto, S. 2000. Assesment Fisioterapi pada OA Sendi Lutut, TITAFI XV,
Semarang. Pudjiastuti, S dan Utomo, B. 2003. Fisioterapi pada Lansia, cetakan I, penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta, hal. 8-18 Putz,R and Pabst, R. 2000. Atlas Anatomi Manusia, Sobotta Anatomi, Edisi
XXI, Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Putro, D.S. 1998. Agar Awet Muda, Trubus Agriwidya, Ungaran.
Poccok, S.J. 1986. Clinical Trials A Practical Approach. New York: A Willey Medical Publication.
84
Russe, O. A. Gerhardt, J. J, 1992. An Atlas of Examination, Standard Measurements and Diagnosis in Orthopedics and Traumatology. Orthopedics Equipment Company, Bourbon, USA.
Schiff, I and Walsh, B. Menopause in K.L. Becker (editor), 1995. Principles and Practice of Endocrimology and Metabolism. 2nd ed. J.B. Lippincot Company, Philadelphia. hal. 915 – 28.
Smith. 1996. Brunstrom Clinical Kinesiology. Fifth edition. FA Davis Company. Philadelphia. hal. 202-203.
Sukendro. 2007. Sehat Bugar dengan Senam Untuk Usia Lanjut, [cited 2010
Februari, 12]. Available from http://www.jambi_independent.co.id Suma’mur, P.K. 1984. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Cet-4. Jakarta:
PT. Gamedia Tortora, G.R. dan Grobowski, S.H. 2003. Principles of Anatomy and Physyology
John Wiley & Sons. Hoboken. Wold, G. 1999. Basic Geratric Nursing, Mosby, St. Loui Wolf, D. dan Mens, J.M.A. 1994. Pemeriksaan Alat Pengerak Tubuh, cetakan ke
dua, Houten.
85
Lampiran 1. Karakteristik Umur (th), Kriteria Indek Karz, Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (cm) Subjek Penelitian
Subjek Traksi/translasi dan
latihan gerak aktif
Subjek Latihan gerak aktif
Umur
(th)
Kriteria Indek Karz
BB
(kg)
TB
(cm)
Umur
(th)
Kriteria Indek Karz
BB
(kg)
TB
(cm)
1 76 B 52 155 1 62 B 46 148
2 62 B 53 156 2 74 B 46 144
3 77 C 52 155 3 62 C 57 159
4 76 B 47 148 4 61 B 52 148
5 70 B 50 147 5 76 C 47 147
6 65 C 53 152 6 62 C 54 148
7 62 B 49 149 7 76 B 46 149
8 70 C 50 149 8 65 C 47 149
9 72 C 54 155 9 63 C 52 155
10 76 D 54 156 10 75 C 46 147
11 61 C 49 149 11 64 C 52 155
12 63 D 53 157 12 63 D 53 157
13 78 C 52 158 13 75 C 51 147
14 64 D 53 156 14 61 C 57 157
Keterangan:
BB : Berat Badan
TB : Tinggi Badan
86
Lampiran 2. Nilai Pengukuran “Visual Analogue scala”, Subjek Penelitian
Subjek Traksi/translasi Subjek Latihan gerak aktif sebelum sesudah sebelum sesudah
Lampiran 5 Uji Normalitas data Karakteristik Subjek dan data pengukuran LGS lutut dan nyeri
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Nyeri Sebelum Perlakuan Kelompok I .100 14 .200* .968 14 .851 Nyeri Sesudah Perlakuan Kelompok I .117 14 .200* .985 14 .994 Nyeri Sebelum Perlakuan Kelompok II
.174 14 .200* .931 14 .313
Nyeri Sesudah Perlakuan Kelompok II
.183 14 .200* .920 14 .221
LGS Ekstensi Sebelum Perlakuan Kelompok I
.211 14 .093 .845 14 .019
LGS Ekstensi Sesudah Perlakuan Kelompok I
.263 14 .009 .802 14 .005
LGS Ekstensi Sebelum Perlakuan Kelompok II
.246 14 .021 .849 14 .022
LGS Ekstensi Sesudah Perlakuan Kelompok II
.242 14 .026 .811 14 .007
LGS Fleksi Sebelum Perlakuan Kelompok I
.201 14 .131 .928 14 .284
LGS Fleksi Sesudah Perlakuan Kelompok I
.229 14 .045 .853 14 .025
LGS Fleksi Sebelum Perlakuan Kelompok II
.245 14 .023 .878 14 .054
LGS Fleksi Sesudah Perlakuan Kelompok II
.197 14 .144 .929 14 .295
Selisih nyeri Kelompok I .311 14 .001 .747 14 .001 Selisih LGS Ekstensi Kelompok I .311 14 .001 .747 14 .001 Selisih LGS Fleksi Kelompok I .311 14 .001 .747 14 .001 Selisih nyeri Kelompok II .266 14 .008 .796 14 .005 Selisih LGS Ekstensi Kelompok II .399 14 .000 .691 14 .000 Selisih LGS Fleksi Kelompok II .311 14 .001 .747 14 .001
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. ket : kelompok 1= penambahan traksi/translasi pada latihan gerak aktif kelompok 2= latihan gerak aktif
89
Lampiran 6 Uji Homogenitas data Subjek antar kelompok Independent Samples Test Levene's Test for