PENALARAN TA’LILI: Kajian Atas Illat Tasyri’i, Qiyasi dan Istihsani Oleh : M. Nawawi Pendahuluan 1
PENALARAN TA’LILI:Kajian Atas Illat Tasyri’i, Qiyasi dan Istihsani
Oleh : M. Nawawi
Pendahuluan
1
Hukum Islam secara tehnis/definitif adalah ketetapan syari’at Islam yang
dirumuskan dari nash (al-Qur’an dan Sunnah). Seluruh ajaran yang di bawah oleh
Rasulallah tentu saja termasuk didalamnya hukum Islam dimaksudkan untuk
memberikan kemaslahatan bagi manusia, baik kemaslahatan itu berupa manfaat
bagi manusia atau berupa terhindarnya manusia dari kemudlaratan dan
kesengsaraan.
Setiap ketentuan dan aturan-aturan hukum pasti memiliki tujuan. Secara umum
tujuan itu adalah untuk kesejahteraan dan kemaslahatan manusia, baik di dunia
maupun kelak di akhirat. Bahkan secara lebih khusus, setiap perintah dan
larangan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah mempunyai alasan logis
(illat hukum) dan tujuan masing-masing. Namun alasan hukum tersebut ada yang
secara tegas disebutkan di dalamnya, dan sebagian lagi hanya dalam bentuk
isyarat, bahkan ada yang harus dipikirkan dan dianalisa terlebih dahulu. Yang
jelas walaupun jumhur ulama’ sepakat bahwa alasan logis (illat hukum) itu selalu
ada dalam arti suatu hal yang tak terpisahkan dalam setiap hukum yang telah
ditetapkan Tuhan, namun ada sebagian alasan hukum yang tetap tak terjangkau
oleh akal manusia. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam hukum-hukum tentang
ibadah.
Alasan logis inilah yang dinamakan “illat” hukum (al-illat/kausa efektif). Illat
hukum ini disebut juga manath al-hukum, sebab hukum, atau amarat hukum.
Dalam pembahasan ushul fiqh permasalahan illat ini selalu diidentikkan dengan
qiyas, dalam arti pembahasan tentang illat termasuk pembahasan tentang qiyas,
padahal bisa dikembangkan lebih luas menyangkut istihsan dan proses legislasi itu
sendiri.
2
Dalam methode istimbath fiqh yang diperkenalkan oleh sebagian ahli ushul fiqh,
penalaran hukum dengan menggunakan illat ini dinamakan dengan penalaran
ta’lili (metode ta’lili).1 “Metode” ini merupakan metode yang berusaha
menemukan illat dari legislasi suatu hukum. Penalaran ta’lili ini mengandung tiga
bentuk illat, yaitu illat tasyri’i, illat qiyasi, dan illat istihsani.
Penalaran Ta’lili
3
Penalaran ta’lili adalah penalaran yang didasarkan kepada anggapan bahwa semua
ketentuan yang ditetapkan Tuhan untuk mengatur prilaku manusia pasti ada alasan
logis atau nilai hukum yang akan dicapainya, maka pada dasarnya penalaran ta’lili
merupakan metode istimbat hukum yang berupaya menemukan dan menetapkan
hukum dengan menggunakan illat tersebut sebagai alat utamanya.
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat disimpulkan
bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (dhahir) yang dapat diukur
dan mengandung relevansi (munasabah) shingga kuat dugaan “dialah” yang
menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya.2
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga persyaratan yang harus ada
di dalam illat hukum:
1. Sifat yang jelas (dhahir)
2. Relatif dapat diukur (terukur)
3. Mengandung pengertian yang sesuai dengan hukum dalam arti mempunyai
relevansi dengan hukum.(munasabah)
Berangkat dari persyaratan ini, maka dapat dibedakan antara illat hukum dan
hikmah hukum. Di antara contohnya antara lain ialah ketentuan mengqasar shalat
bagi orang yang sedang bepergian. Ketentuan ini mempunyai hikmah dan illat.
Hikmahnya antara lain memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan.
Sedangkan illatnya adalah mengadakan perjalanan atau musafir itu sendiri ,
kerena musafir (safar) di sini adalah suatu hal yang sudah jelas dan pasti. Hanya
saja ukuran safar (yang memberi ijin qashar) itu karna apa, “jarak tempuhnya”
atau “waktu tempuhnya”.
Jadi suatu keadaan yang abstrak dalam arti tidak dapat diukur tidak dapat
digunakan sebagai illat hukum. Contohnya, dalam kasus shalat qashar di atas,
bahwa istilah atau suatu kaadaan “kesukaran/ kesulitan” ini sifatnya relatif, tidak
dapat diukur dan tidak sama pada setiap orang.
4
Melalui persyaratan illat di atas juga dapat digunakan untuk membedakan antara
illat dan sebab, karena illat harus mempunyai relevansi dengan hukum yang
ditetapkan, sedangkan sebab tidak selamanya harus mempunyai relevansi dengan
hukum. Contohnya adalah peristiwa tergelincirnya matahari sebagai sebab
kewajiban shalat dhuhur atau tenggelamnya matahari sebagai tanda datangnya
waktu sholat maghrib, Peristiwa tersebut dinamakan “sebab”, karena tidak
mempunyai atau tidak diketahui relevansinya. Namun sebagian ulama’ ushul tidak
membedakan antara illat dengan sebab, karena keduanya mempunyai maksud
yang sama.
Cara-Cara Mengetahui dan Menentukan Illat.
5
Tata cara atau metode mengetahui illat ini , secara garis besar dapat ditempuh
melalui tiga macam :3
Melalui nash itu sendiri
Illat hukum ketetapan Syari’, sering kali dapat diketahui langsung melalui nash al-
Qur’an atau hadits Nabi. Illat seperti in disebut dengan istilah illat manshushat.
Dalam hal ini terkadang disebut secara tegas (sharih) dan pada saat yang lain
hanya dalam bentuk isyarat. Penyebutan illat yang tegas misalnya dengan
perkataan أجل , من , كي لئال 4 Sedangkan yang illat dapat diketahui melalui
isyarat (al-ima’) atau bentuk peringatan (al-tambih), merupakan dalalah yang
difahami dari hubungan kausalitas antara hukum dan sifat yang disebutkan. Di
samping itu hubungan kausalitas tersebut dapat dipahami dengan segera dan
relatif mudah.. Salah satu contohnya adalah illat yang ada pada firman Allah surat
al-Maidah: 38.
والله الله من نك��اال كس��با بما ج��زاء أيديهما فاقطعوا والسارقة والسارق(38حكيم) عزيز
Dalam ayat di atas disimpulkan melalui isyarat bahwa illah hukuman potong
tangan adalah perbuatan mencuri. Penyebutan قطعوا فا berbarengan dengan
kata والسارقة السارق dapat disimpulkan dengan segera mengenai illat yang
dimaksud.5
Melalui ijma’
1
Catatan Akhir
? Al-Yasa Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya, dalam “Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”, Pengantar : Juhaya. S. Praja, Bandung, Rosdakarya, 1991, hal. 179. Istilah untuk penalaran ini yang dikelanl dalam buku-buku Ushul Fiqh adalah ijtihad qiyasi, maka penalaran ta’lili lebih tepat digunakan.
2 Ibid, hal. 179
6
Jika para mujtahid pada suatu masa sepakat mengenai illat suatu hukum, maka
sifat yang dijadikan sebagai illat bagi suatu hukum secara ijma’, dapat disetujui.
Contohnya adalah ijma’ para mujtahid tentang sifat al-Shighar (belum dewasa)
sebagai illat untuk menetapkan wilayat (penguasaan dan pemeliharaan) seorang
bapak atas harta anak-anak yang belum dewasa. Hal ini diambil dengan
menghubungkan kepada hak perwalian dalam pernikahan al-Shaghirah(anak
perempuan yang masih belum dewasa).6
Melalui cara al-Sibru wa al-Taqsim
Jika suatu illat hukum tidak diperoleh melalui salah satu dari cara di atas, para
mujtahid boleh meneliti dan dan menggunakan penalaran logis untuk menetapkan
apa yang bisa dijadikan alasan kuat legislasi (tasyri’) suatu ketentuan. Penentuan
illat dengan cara ini sering disebut dengan al-munasabah, al-sibru wa al-taqsim,
dan tahqiq al-manath.7 Peluang semacam ini merupakan bidang ijtihad yang luas
dan menjadi salah satu sumber kekayaan pendapat di dalam fiqih Islam.
7 Muhammad Musthofa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, Bairut, 1981, hal. 239. Lihat juga Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’I al-Islamy, Dar al-Ma’arif, Kairo, hal. 149
7
Sekiranya kembali kepada sejarah ushul fiqh akan ditemukan bahwa pola
penalaran semacam ini telah dilaksanakan sejak masa Nabi dan para sahabat.
Salah satu hadits yang sering dikutip untuk menguatkan hal ini adalah tentang
dialog antara Nabi dan Muadz bin Jabal ketika diutus sebagai pejabat (qadli) ke
Yaman. Riwayat lain yang sering dijadikan rujukan juga adalah surat Umar bin
Khattab kepada Abu Musa yang waktu itu menjabat sebagai hakim di Kuffah.
Dalam surat itu Umar menjelaskan pokok-pokok peradilan, di antaranya adalah
kewajiban tidak boleh menolak gugatan dengan alasan tidak ada peraturan,
dimana dalam salah satu dari pokok-pokok tentang peradilan dalam surat Umar
itu menyatakan : “Sesungguhnya memutuskan perkara itu adalah fardhu yang
dikokohkan, dan sunnah yang harus diikuti”.8 Banyak ayat al-Qur’an serta hadits
Nabi yang mendukung penggunaan metode ini. Ayat atau hadits tersebut langsung
mengemukakan illat dalam suatu ketentuan Allah dan Rasul.9
3 Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul III, Muassasah al-Halabi, Kairo, tth, hal. 2334 Di antara contohnya adalah pernyataan al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ : 165 ;
الله وكان الرسل بعد حجة الله على للناس يكون لئال ومنذرين مبشرين رسال(165حكيما) عزيزا
5 Contoh lainnya antara lain yang terdapat dalam hadits Nabi sebagai berikut: المقت��ول من القاتل ي��رث ال dan غض��بان وهو القاضي بقضي ال . sedangkan contoh illat yang dapat disimpulkan dari al-tambih dapat dilihat pada hadits Nabi yang mengungkapkan peristiwa hubungan suami istri pada saat bulan ramadlan yang dilakukan seorang Arab Badui. Ia mengaku telah melakukan hubungan kelamin dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan. Mendengar pengakuan itu Nabi menyatakan كفر “bayarlah kafarat”. Maka illat hukum keharusan membayat kafarat adalah hubungan suami istri disiang hari pada saat berpuasa.
6 Lihat Drs. H. Rafi’i Nazari, Illat dan Dinamika Hukum Islam, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991, hal. 186
8 Disini dipahami bahwa seorang hakim tidak boleh menolak untuk menyelesaikan perkara, maka hakim melakukan ijtihad dengan jalan qiyas, dimana hal ini tidak terlepas dari mempergunakan illat. Tentang hal ini surat Umar, lihat M. Salam Madkur, al-Qadla fi al-Islam, Kairo, dialih bahasakan oleh Drs. Imron, A.M, Penalaran Dalam Islam, hal. 43
9 Mustafa Syalabi, hal. 14-34, telah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memuat illat.
8
Di antara contoh illat yang ditentukan melalui metode ini antara lain ialah illat
kewajiban zakat hasil bumi. Di kalangan para ulama’ madzhab terjadi perbedaan
pendapat. Perbedaan pendapat ini terjadi karena di dalam nash tidak disebutkan
alasannya. Pada surat al-Baqarah :267, Allah memerintahkan supaya orang-orang
mukmin menafkahkan (mengeluarkan zakat) yang baik dari hasil usaha kita dan
dari sebagian apa yang merupakan hasil bumi. Demikian pula yang dijelaskan
dalam surat al-An’am : 141. Bahkan di dalam sebuah hadits, Rasulullah
dikabarkan melarang memungut zakat hasil pertanian kecuali hinthah, sya’ir,
tamar, dan zabib.2 maka oleh karenanya para ulama berusaha melakukan ijtihad
untuk menemukan (mengistimbathkan) apa sebenarnya illat yang melandasi
ditetapkannya zakat pada al-zuru’.
Imam Malik berpendapat bahwa zuru’ yang wajib dipungut zakatnya adalah
apabila hasil bumi itu memiliki sifat dapat disimpan dan dapat digunakan sebagai
makanan pokok, Sedangkan menurut Imam Ahmad Ibnu Hambal, hasil bumi yang
dikenai pungutan adalah yang kering, tahan lama (dapat disimpan), dapat ditakar
dan dibudidayakan (ditanam manusia), baik berupa makanan pokok atau biji-
bijian.10
10 Penolakan terhadap metode atau penalaran ta’lili ini hanya dilontarkan oleh ulama’ Zahiriyah terutama Ibnu Hazm, itupun hanya terhadap illat yang tidak tegas dan jelas dalam al-Qur’an atau hadits. Dia menyatakan bahwa illat yang tidak disebutkan secara tegas dan jelas adalah mengada-ada terhadap firman Allah dan sunnah Rasul. Lebih jauh lagi menurut Ibnu Hazm : “Dosa pertama yang diperbuat manusia adalah berusaha mencari-cari illat perintah Allah dan meninggalkan zahir teks, yaitu godaan Iblis kepada Adam untuk memakan kayu larangan (Q.S. al-A’raf : 19). Lebih lanjut Ibnu Hazm, Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil, Mathba’ah Jam’iyah, Damascus, 1960, hal. 48
9
Pembagian Illat
Penalaran ta’lili atau metode penalaran dengan menjadikan illat sebagai patokan
utamanya ini dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu illat tasyri’i, qiyasi, dan
istihsani.
1. Illat Tasyri’i
Illat Tasyri’i adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu hukum
terus berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena illat yang mendasarinya
telah berbeda. Ketentuan ini telah dirumuskan dalam sebuah kaidah kulliyah :
“hukum itu berputar (berkembang) sesuai illatnya dalam mewujudkan dan
meniadakan hukum”.11
Berdasar kaidah tersebut banyak ketentuan fiqih yang berubah dan berkembang.
Perubahan dan perkembangan ini dapat dilihat dari dua segi:
11 Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, al-Ma’arif, Bandung, 1986, hal. 550
10
Pemahaman terhadap illat itu sendiri yang berubah sesuai dengan perkembangan
terhadap dalil yang menjadi landasannya. Artinya sesuatu yang selama ini
dianggap sebagai illat, karena perkembangan pemahaman terhadap dalil nash
yang menjadi landasannya, maka ditemukanlah sesuatu pemahaman yang lain
yang dirasakan lebih tepat sebagai illat. Contohnya, pemahaman terhadap illat
zakat pertanian. Selama ini yang dipahami sebagai illat zakat hasil pertanian
adalah “makanan pokok, dapat disimpan lama, dapat ditakar, ditimbang, atau hasil
dari tanaman yang ditanam”. Tetapi Yusuf Qardlawi dalam pemahaman tentang
illat zakat hasil pertanian mempopulerkan bahwa illatnya adalah “al-Nama’”
(produktif). Jadi semua tanaman yang produktif wajib dikeluarkan zakatnya.12
Zakat pertanian tidak hanya terbatas pada tanaman yang mengenyangkan, seperti
gandum, padi, jagung, dan lain-lain. Tetapi tanaman lain yang sifatnya produktif
wajib juga dikeluarkan zakatnya, seperti tebu, karet dan lain sebagainya. Disini
yang dipergunakan bukan jalan qiyas tetapi dengan menetapkan “illat baru”
menggantikan “illat yang dipahami selama ini”. Jadi illat zakat pertanian yang
selama ini dipahami sebagai makanan mengenyangkan, telah berubah. Yusuf
Qardlawi melakukan pemahaman ulang, yaitu “ produktif”, tidak hanya sekedar
hanya mengenyangkan, sehingga kewajiban zakat tebu, karet, dan lain-lain bukan
dengan jalan qiyas, tetapi memang memenuhi apa yang mendasarinya (illatnya)
yaitu al-Nama’.
11
Pemahaman terhadap illat masih tetap seperti semula, tetapi tujuan penerapan
hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan yang di harapkan. Contohnya
adalah pembagian tanah Fai’ di Irak pada masa Umar. Illat pembagiannya adalah
agar tidak menjadi monopoli orang-orang kaya saja (Q.S. al-Hasyr : 7)13. Pada
masa Rasul kebun orang-orang Yahudi yang kalah perang di Madinah dan
Khaibar dibagi-bagikan kepada kaum muslimin, tetapi Umar tidak mau membagi
lahan pertanian di Irak tersebut setelah menang perang. Menurutnya pembagian
itu akan melahirkan orang-orang kaya baru(akibatnya melahirkan kesenjangan
ekonomi yang terlalu jauh di dalam masyarakat) yang justru dihindari oleh al-
Qur’an. Tanah tersebut ahirnya menjadi milik negara dan disewakan kepada
penduduk yang dikuasainya. Hasil sewa inilah yang dibagikan kepada orang-
orang yang tidak mampu dan pihak yang memerlukan bantuan keuangan negara.14
Contoh lain adalah larangan Umar terhadap laki-laki muslim menikahi wanita ahl
al-kitab, padahal didalam al-Qur’an menikahi wanita ahl kitab diperbolehkan
(Q.S. al-Maidah : 5)15. Al-Jashshash meriwayatkan dalam tafsirnya, bahwa
Hudzaifah kawin dengan orang Yahudi, maka hal itu dilarang oleh Umar dengan
alasan dikhawatirkan terjadinya percampuran keturunan, dan pernikahan tersebut
dilandasi faktor kecantikan semata, dimana hal ini akan mendatangkan fitnah bagi
wanita-wanita muslim.16 Di samping itu dapat dimasukkan dalam kategori illat-
illat yang namanya masih sama tetapi ukuran atau kandungannya telah berbeda.
Maksudnya definisi tentang illat itu yang telah dikemukakan oleh ulama dahulu
tidak cocok (tidak sesuai) lagi dengan situasi saat ini. Untuk itulah diperlukan
adanya redefinisi terhadap pengertian dari sutau keadaan yang menjadi illat.
Contonhnya illat untuk melakukan shalat khauf dalam al-Qur’an adalah rasa takut
(Q.S. Al-Baqarah 239)17. Jumhur ulama menafsirkan illat tersebut secara sempit,
yaitu mencakup rasa takut karena perang atau binatang buas. Tetapi saat ini ulama
menafsirkan lebih luas lagi yaitu tidak hanya mencakup hal di atas, tetapi juga
takut kehilangan harta, kehormatan diri, bahkan HAMKA dalam tafsirnya Al-
Azhar juga menafsirkan takut dalam ayat tersebut antara lain takut kehilangan
tempat duduk dalam kereta api.18 Contoh lain adalah definisi pencurian sebagai
illat adanya hukuman (had) potong tangan. Mencuri seperti diartikan ulama
dahulu dirasakan kurang cocok untuk diterapkan dalam kondisi sekarang. Hal ini
12
disebabkan kasus pencurian saat ini dilakukan dengan modus operandi yang
sangat canggih. Dari yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa illat tasyri’i
adalah salah satu bagian dari penalaran ta’lili yang dapat memberikan nuansa baru
dalam perkembangan ijtihad dengan mencoba kembali memahami teks-teks nash
dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
2. Illat qiyasi.
12 Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat I, Muassasah al-Risalah, Bairut, hal. 355 القربى ولذي وللرسول فلله القرى أهل من رسوله على الله أفاء ما 13
ءاتاكم وما منكم األغنياء بين دولة يكون ال كي السبيل وابن والمساكين واليتامى (للفقراء7العقاب) شديد الله إن الله واتقوا فانتهوا عنه نهاكم وما فخذوه الرسول
ورضوانا الله من فضال يبتغون وأموالهم ديارهم من أخرجوا الذين المهاجرينالصادقون هم أولئك ورسوله الله وينصرون )
14 Muhammad Abd. Al-Jawwad Muhammad, Milkiyyat al-Aradli fi al-Islam, Mansya’at al-Ma’arif, Iskandariyah, 1872, hal. 85-117
حل وطعامكم لكم حل الكتاب أوتوا الذين وطعام الطيبات لكم أحل اليوم 15 إذا قبلكم من الكتاب أوتوا الذين من والمحصنات المؤمنات من والمحصنات لهم
باإليمان يكفر ومن أخدان متخذي وال مسافحين غير محصنين أجورهن ءاتيتموهن (5الخاسرين) من اآلخرة في وهو عمله حبط فقد
16 Mustafa Syalabi. Hal. 43-44(فإن238قانتين) لله وقوموا الوسطى والصالة الصلوات على حافظوا 17
(239تعلمون) تكونوا لم ما علمكم كما الله فاذكروا أمنتم فإذا ركبانا أو فرجاال خفتم18 HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz II, Pustaka Panji Mas, hal 583
13
Illat qiyasi adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang
berlaku terhadap suatu masalah dijelaskan oleh suatu dalil nash dapat
diberlakukan pada ketentuan lain yang tidak dijelaskan oleh dalil nash karena
adanya kesamaan. Dengan kata lain, ketentuan pada masalah ‘pertama” yang ada
dalil nashnya diberlakukan pada masalah “kedua” yang tidak terdapat dalil
nashnya karena ada kesamaan illat. Dalam ushul fiqh inilah yang dinamakan
dengan qiyas.
Sesuai dengan pengertian di atas, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya
telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut salah
satu cara dari cara-cara mengetahui illat hukum, kemudian didapatkan suatu
peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, tetapi illatnya sama
dengan illat hukum peristiwa yang mempunyai nash tersebut, maka hukum
peristiwa yang yang tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa
yang ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa
tersebut.
14
Metode penalaran seperti ini telah diterima dan diperaktikkan secara meluas
dikalangan ulama’ fiqh. Sangat banyak ketentuan hukum tetap suatu kejadian
yang ditetapkan dengan menggunakan metode ini. Diantara alasan-alasan yang
digunakan untuk mendukung keabsahannya diambil dari al-Qur’an, hadits, dan
praktik sahabat. Penolakan terhadapnya hanya oleh kelompok Dzahiri, seperti Ibn
Hazm dengan alasan kegiatan ini tidak diperlukan dan mengada-ada terhadap
firman Allah dan hadits Rasul. Menurut Ibn Hazm, ummat Islam mesti
mengerjakan semestinya apa yang disuruh oleh syari’at dan meninggalkan apa
yang dilarangnya. Adapun hal-hal yang tidak ada nashnya, kita tidak perlu
mencari-cari dan membuat ketentuan baru.19 Contoh penggunaan illat qiyasi
adalah jual beli pada saat azan jum’at adalah suatu peristiwa yang sudah
ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh, bahkan menurut sebagian
pendapat hukumnya haram (al-Jum’ah: ayat 9)20. Illat hukum dimakrukannya
berjual beli pada waktu azan jum’at karena perbuatan tersebut melalaikan
sembahyang. Kemudian mengadakan perikatan muammalah lain selain jual beli
yang tidak ada ketentuan hukumnya (nash), tetapi karena illat dari peristiwa itu
sama dengan illat yang terdapat pada jual beli, yaitu melalaikan sholat jum’at,
maka hukum perbuatan tersebut disamakan dengan hukum berjual beli pada saat
azan jum’at dikuamandangkan, yakni makruh. bahkan haram.
Untuk melakukan qiyas diperlukan beberapa unsur dan persyaratan yang harus
dipenuhi sebagai berikut :
Ashal : yaitu masalah pokok (maqis ‘alaih) adalah suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya.
Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya. Far’u ini juga disebut maqis.
Hukum ashal
Illat, yaitu suatu sifat atau keadaan yang terdapat pada peristiwa ashal dan
peristiwa far’u (cabang).
Sedangkan untuk melakukan qiyas, persyaratan yang diperlukan adalah :
15
masalah pokok (maqis ‘alaih) harus mempunyai ketentuan yang berdasarkan dalil
nash dan tidak ada keterangan bahwa ketentuan tersebut berlaku khusus sehingga
tidak boleh diberlakukan pada masalah lain, misalnya ketentuan yang khusus
untuk Rasulallah.
masalah baru (maqis) harus tidak ada ketentuan nash yang mengaturnya secara
langsung. Dengan kata lain masalah baru itu tidak diketahui hukumnya.
illat yang ada pada masalah pokok betul-betul ada dan ditemukan pada masalah
baru dan relatif sama realitasnya, harus mempunyai relevansi yang jelas, sehingga
terasa logis dan rasional.
Sebagian ulama’ menambahkan persyaratan lain dalam melakukan qiyas ini
seperti ketentuan pada masalah pokok bukan merupakan pengecualian dari kaedah
umum. Contohnya izin memakan ikan dan belalang tanpa disembelih adalah
pengecualian dari kewajiban menyembelih pada semua jenis hewan. Karenanya
ketentuan ini tidak boleh diqiyaskan kepada hewan lain seperti kodok dan bekicot.
Dalam pengaplikasiannya, untuk sebuah masalah sering ditemukan beberapa
kemungkinan illat. Dalam hal ini terbuka kemungkinan dan peluang besar untuk
melakukan ijtihad dalam rangka menganalisa dan menentukan illat mana yang
sebenarnya sesuai untuk menetapkan suatu ketentuan hukum.
3. Illat Istihsani
19 Al-Yasa Abu Bakar, hal. 183 الله ذكر إلى فاسعوا الجمعة يوم من للصالة نودي إذا ءامنوا الذين ياأيها 20
(9تعلمون) كنتم إن لكم خير ذلكم البيع وذروا
16
Illat Istihsani, yaitu illat husus yang digunakan untuk mengetahui apakah
perluasan hukum dari suatu nash itu , tetap diberlakukan pada kasus lain atau
dikecualikan. Contohnya terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa sisa
minuman binatang buas adalah najis. Melalui pendekatan qiyas, aturan ini
seharusnya dibelakukan juga bagi sisa minuman burung buas., tetapi para ulama
menganggap ada illat lain yang lebih kuat, sehingga hukum tersebut tidak bisa di
samakan. Moncong binatang buas terdiri dari daging, sedang moncong burung
terdiri dari semacan tanduk. Menurut para ulama , sisa makanan atau darah akan
melekat pada moncong binatang buas, sebaliknya tidak melekat pada moncong
burung. Binatang buas tidak membersihkan moncongnya sehabis makan,
sementara burung selalu membersihkannya( dengan digores-goreskan pada kayu
atau lainnya). Jadi secara umun sebenarnya illat binatang buas ada pada burung
buas, tetapi karena ada illat lain yang lebih kuat, maka hukumnya dikecualikan.
Dalam hal memberikan definisi (batasan) tentang istihsan ini terdapat perbedaan
dikalangan fuqaha’ terutama imam-imam madzahib, malahan ada yang tidak
mengakui istihsan sebagai metode istimbath hukum, seperti Imam Syafi’i. Namun
karena yang menjadi titik tolak pembahasan ini adalah hal yang berkenaan dengan
illat, maka pengertian istihsan yang cocok adalah pengertian istihsan yang ada
pada ushul Fiqh Hanafi, meskipun Abu Hanifah sendiri tidak pernah menjelaskan
bagaimana maksud dari istihsan itu sendiri. Abu Hanifah hanya mengatakan
“astahsin” yang artinya “saya menganggap baik”.21 Sedangkan ulama’ Malikiyah
mengidentikkan istihsan dengan Mashalihul Mursalah.
Salah seorang ulama’ Hanafiyah -yaitu al-Karkhi- menyatakan bahwa yang
dimaksud istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada
suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum lain karena adanya suatu
pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan. Al-Sarakhsi
(ulama’ Hanafiyah) menyatakan bahwa sebenarnya qiyas itu ada dua macam,
yaitu qiyas jali (jelas) dan qiyas khafi (tersembunyi), Qiyas khafi inilah yang
dinamakan dengan istihsan.
21 Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah Hayatuhu wa ‘Asruh Ara’uh wa Fiqhuhu, Dar al-Fikr al-Arabi, 1974, hal. 342
17
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa istihsan itu ada dua bentuk:
Mentarjihkan(menggunkan) qiyas yang tidak nyata atas qiyas yang nyata
berdasarkan suatu dalil. Inilah yang disebut dengan qiyas khafi.
Mengecualikan hukum juz’iyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil.
Istihsan macam inilah (bagian yang kedua) yang oleh ulama’ Hanafiyah disebut
dengan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah
karena darurat atau karena adanya suatu kepentingan yang mengahruskan adanya
penyimpangan.22
Untuk lebih jelasnya berikut akan dikemukakan contoh mengenai istihsan :
Sisa minuman burung buas, seperti gagak, rajawali, elang, dan lain-lain, menurut
istihsan adalah suci, sedangkan menurut qiyas adalah najis. Sebagaimana alasan di
atas.
Apabila jatuh suatu najis ke dalam sumur tidak mungkin membersihkannya,
karena setiap air yang dituangkan ke sumur untuk mensucikannya akan menjadi
najis dengan najis yang ada di dalam sumur. Untuk menghilangkan kesulitan dan
memelihara manusia dari kesukaran, maka mensucikan sumur itu cukup dengan
menuangkan beberapa timba air ke dalamnya.
Demikianlah tiga bentuk dari penalaran ta’lili yang jika dilihat sepintas nampak
persamaan diantara ketiganya tersebut yaitu sama-sama mendasarkan penetapan
suatu hukum dengan adanya illat. Namun diantara masing-masing penalaran
tersebut juga terdapat perbedaan satu sama lain.
22 Muhtar Yahya, hal. 101
18
Illat tasyri’i merupakan penalaran awal dari penalaran ta’lili, karena hukum baru
yang ditetapkan itu illatnya telah ada dalam teks nash itu sendiri, hanya belum
terungkap. Baru setelah diadakan penelitian dan ijtihad serta disesuaikan dengan
situasi dan kondisi, terminologi illat yang ada tersebut dirasakan tidak cocok lagi,
atau pemahaman terhadap illat itu sendiri sudah seharusnya diubah, maka hukum
baru itu ditetapkan sesuai dengan pemahaman yang telah berubah terhadap illat
itu sendiri.
Ketika illat suatu hukum itu mempunyai kesamaan dengan illat yang ada pada
suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya, maka digunakan metode
illat qiyasi. Jadi illat qiyasi ini dilakukan ketika illat yang bersifat tasyri’i tadi itu
diperluas terhadap sesuatu yang lain.
Sedangkan illat istihsani lebih jauh lagi dari illat qiyasi karena jika tetap
menggunakan illat qiyasi, maka maksud hukum tidak akan tercapai. Disini
pemakaian illat tersebut dipalingkan dari illat yang jelas kepada illat yang
tersembunyi.
Setelah dilihat perbedaan dari ketiga bentuk illat tersebut, jelaslah bahwa
penalaran ta’lili yang terdiri dari tiga penerapan itu akan memberikan lapangan
yang luas bagi mujtahid untuk memahami, meneliti, dan menganalisa kembali
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran ta’lili ini akan
memberikan kesempatan yang besar bagi mujtahid dan memberikan nuansa-
nuansa baru dalam berijtihad, sehingga nyatalah bahwa hukum Islam merupakan
hukum yang zamani, yang mampu mengakomodir segala perkemabangan dan
dinamika masyarakat.
19