PEMODELAN SPASIAL HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra Desmarest, 1822) YOHANA MARIA INDRAWATI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PEMODELAN SPASIAL HABITAT
MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra Desmarest, 1822)
YOHANA MARIA INDRAWATI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PEMODELAN SPASIAL HABITAT
MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra Desmarest, 1822)
YOHANA MARIA INDRAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
YOHANA MARIA INDRAWATI. Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam
Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822). Dibimbing oleh DONES RINALDI
dan LILIK BUDI PRASETYO
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) memiliki
daerah persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga
di pulau Bacan, Maluku sebagai jenis introduksi. Habitat yang tersisa di Sulawesi
Utara terbatas pada kawasan konservasi diantaranya adalah Cagar Alam (CA)
Tangkoko, CA Duasudara, Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dan TWA
Batuangus di kabupaten Bitung Sulawesi Utara. Berkaitan dengan kondisi tersebut
maka penelitian habitat monyet hitam sulawesi dengan penerapan Sistem
Informasi Georgafis (SIG) perlu dikembangkan untuk mendapatkan data spasial
model habitat yang sesuai.
Pengambilan data dilakukan di CA Tangkoko dan TWA Batuputih
sedangkan untuk areal penelitian dalam analisis spasial pembuatan model dan peta
kesesuaian habitat mencangkup CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih,
dan TWA Batuangus. Pemodelan habitat monyet hitam sulawesi dilakukan dengan
mengidentifikasi titik perjumpaan monyet hitam sulawesi secara spasial terhadap
faktor-faktor habitat dan faktor faktor gangguan. Faktor habitat diidentifikasi melalui
ketinggian, kemiringan lereng, NDVI (Normalization Difference Vegetation Index),
dan jarak dari sungai. Faktor gangguan diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan
bangunan. Pembobotan untuk mendapatkan model dilakukan menggunakan
metode Principal Component Analisys (PCA) dan pengkelasan dilakukan dengan
metode tumpang tindih (overlay).
Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi adalah Y =
(2,399xFkjalan) + (2,399xFksungai) + (2,399xFkNDVI) + (2,399xFktinggi) + (1,142
xFkbangunan) + (0,957xFklereng). Tumpang tindih model tersebut menghasilkan tiga
kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yaitu kelas kesesuaian tinggi
(5160,96 hektar), kelas kesesuaian sedang (2843,10 hektar), dan kelas kesesuaian
rendah (204,39 hektar). Peta kesesuaian habitat dapat diterima dengan akurasi
memprediksi habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi sebesar
76,67% dan kesesuaian sedang sebesar 20,00%.
CA Tangkoko memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi tertinggi yaitu
79,34% sedangkan CA Duasudara memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi
terendah yaitu sebesar 39,83%. TWA Batuangus memiliki persentase habitat
dengan kelas kesesuaian sedang dan rendah tertinggi yaitu 40,91% dan 10,48%.
Berdasarkan persentase kelas kesesuaian habitat tersebut terlihat bahwa CA
Tangkoko merupakan kawasan dengan habitat yang paling sesuai untuk monyet
hitam sulawesi sedangkan CA Duasudara dan TWA Batuangus merupakan
kawasan dengan habitat yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi.
Berdasarkan tingkat gangguan berupa degradasi habitat, Cagar Alam
Duasudara memiliki tingkat gangguan terbesar sehingga kepadatan populasi
monyet hitam sulawesi di kawasan tersebut lebih rendah dibandingkan kawasan
lainnya. TWA Batuputih memiliki habitat dengan kesesuaian sedang yang
letaknya berbatasan dengan pemukiman dan ladang penduduk padahal kawasan
tersebut merupakan wilayah jelajah dua kelompok monyet hitam sulawesi yang
memiliki ukuran populasi yang besar dan terhabituasi dengan manusia. Kondisi
tersebut memerlukan penanganan berupa pengamanan pada habitat dengan
kesesuaian tinggi, pengaturan tata batas antara kawasan CA dan TWA, serta
pembinaan habitat pada habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah terutama
pada perbatasan kawasan dengan pemukiman dan ladang penduduk.
Kata kunci : Monyet hitam sulawesi, model, habitat
SUMMARY
YOHANA MARIA INDRAWATI. Habitat Spatial Modelling of Black Crested
Macaque (Macaca nigra Desmarest, 1822). Under supervision of DONES
RINALDI and LILIK BUDI PRASETYO
Black crested macaques (Macaca nigra Desmarest, 1822) have small
geographic distribution. They naturally only can be found on Northern peninsula
of Sulawesi and introduced in Bacan island, Moluccas as introduction species.
Their remaining habitat on Sulawesi are limited only in conservation areas such as
Tangkoko Nature Reserve, Duasudara Nature Reserve, Batuputih Natural Tourism
Park, and Batuangus Natural Tourism Park in Bitung district North Sulawesi.
Related to that restricted habitat, study in habitat of black crested macaques using
Geographic Information System (GIS) application is urgently needed to get
suitable habitat model for black crested macaques.
Data observation for model simulation were conducted at Tangkoko
Nature Reserve and Batuputih Natural Tourism Park. The model then extrapolated
to Tangkoko Nature Reserve, Duasudara Nature Reserve, Batuputih Natural
Tourism Park, and Batuangus Natural Tourism Park. Modelling of black crested
macaque’s habitat was held by spatial identification of black crested macaque
encounter points toward habitat and disturbance factors. Altitude, slope, NDVI
(Normalization Difference Vegetation Index), and distance from river represent
habitat factor. Distance from road, and distance from building represent disturbance
factors. Weighting were conducted by using determined used Principle
Component Analysis (PCA) and classifying were conducted by using overlay.
Habitat suitability model of black crested macaque was Y =
(2.399xFkroad) + (2.399xFkriver) + (2.399xFkNDVI) + (2.399xFkaltitude) + (1.142
xFkbuilding) + (0.957xFkslope). Commulative score than was divided into 3 classes
based on equal range, namely high suitability habitat (5160,96 hectares), medium
suitability habitat (2843,10 hectares), and low suitability habitat (204,39 hectares).
The habitat suitability map could be accepted by showing the validation about
76,67% for the high suitability habitat and 20,00% for the medium suitability
habitat.
Tangkoko Nature Reserve has highest rate of high suitability habitat
(79,34%) whereas Duasudara Nature Reserve has lowest rate of high suitability
habitat (39,83%). Batuangus Natural Tourism Park has highest rate of medium
and low suitability habitat at the amount of 40,91% and 10,48%. Basic on that rate
of suitability habitat classes can be seen that Tangkoko Nature Reserve forms the
best suitable habitat for black crested macaque whereas both Duasudara Nature
Reserve and Batuangus Natural Tourism Park forms the worst suitable habitat for
black crested macaque.
Duasudara Nature Reserve has highest disturbances level caused by
habitat loss so that population density of black crested macaques at this area is
lowest compared with other areas. On the other hand Batuputih Natural Tourism
Park is the homerange of two groups of black crested macaques which have big
size populations and have habituated with human. That area has medium
suitability habitat that located at the border with settlement and farmland. Both
situations cause a problem between villagers and black crested macaques. There
are several ways to exceed that condition such as preventing on high suitability
habitat, regulating border arrangement between nature reserve and natural tourism
park, and founding of medium and low suitability habitat especially on the border
area near settlement and farmland.
Key words : black crested macaque, model, habitat
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemodelan Spasial
Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra, Desmarest 1822)” adalah benar-
benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum
pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
Yohana Maria Indrawati
E34051720
Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi
(Macaca nigra Desmarest, 1822)
Nama : Yohana Maria Indrawati
NIM : E34051720
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Dones Rinaldi, MSc.F Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc
NIP. 19610518 198803 1 002 NIP. 19620316 198803 1 002
Mengetahui:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Ketua
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 23 Agustus
1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Wiku Suharyoto dan Ibu Suhartatik. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di SD Katholik Santa Maria
(1999), SMP Katholik Santo Yusuf (2002), dan SMA Negeri 1
Glagah (2005). Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis mulai belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2006.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjadi anggota beberapa
organisasi kemahasiswaan, yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK-
IPB), Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) sebagai anggota dari Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM)-
HIMAKOVA, dan Uni Konservasi Fauna IPB (UKF-IPB) sebagai anggota
departemen infokom (2006-2007) dan ketua divisi konservasi primata (2007-
2008).
Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain:
Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di TN Gunung Ciremai dan
KPH Indramayu pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Ek-Situ (PUKES)
di PUSPIPTEK Serpong dan CV Megacitrindo pada tahun 2008 serta Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Bukit Barisan Selatan pada tahun 2009.
Penulis pernah melaksanakan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian
Masyarakat (PKMM) “Pendidikan Konservasi Pengenalan Owa Jawa kepada
Siswa SMA di Kota Bogor” pada tahun 2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pemodelan
Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest 1822)” di
bawah bimbingan Ir. Dones Rinaldi M.Sc.F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kesehatan dan
waktu yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan
terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F yang telah memberikan bimbingan, saran
serta mengusahakan pendanaan penelitian ini dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi
Prasetyo, MSc yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam
penelitian dan penyusunan skripsi ini
2. Bapak Wiku Suharyoto dan Ibu Suhartatik selaku orangtua serta Yonatan
Erry Sadewa dan Tabita W Triutami selaku kakak dan adik atas doa dan kasih
sayang serta dukungan moril dan materiil yang diberikan hingga skripsi ini
selesai
3. Ir. Ahmad Hajib, MS dari Departemen Manajemen Hutan, Ir. Sucahyo
Sadiyo, MS dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS
dari Departemen Silvikultur selaku dosen penguji pada ujian komprehensif
4. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara yang
memberikan izin dan dukungan dalam kegiatan penelitian
5. Pengelola dan Staf Cagar Alam Tangkoko, dan Taman Wisata Alam Batu
Putih yang telah membantu dalam kegiatan penelitian khususnya keluarga
Jhonny Lengkey, Bapak Yunus, Bapak Tane dan Mas Adang
6. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sulawesi Utara dan Badan
Planologi Kehutanan (Baplan) atas bantuan beruoa peta yang diberikan
7. Peneliti dan Asisten Peneliti Macaca Nigra Project atas fasilitas, kerjasama,
dan persahabatan yang diberikan
8. Bapak Untung (Kepala BKSDA Sulut) dan Ibu Jane Onibala (UNSRAT) atas
saran dan bantuan yang telah diberikan
9. Mbak Arin, Mbak Nurhayati, Mbak Nina, Mas Ari Gunawan, dan Mas Hari
atas bantuan yang diberikan selama di lapang.
10. Priska R. Herdiyanti, S.HUT, Rudiansyah, S.HUT dan K. Berliyana, S.HUT
atas bantuan dalam analisis data
11. Keluarga besar KSHE 42 dan HIMAKOVA atas persahabatan dan
kebersamaan yang diberikan
12. Keluarga besar UKM UKF IPB atas pengalaman yang tak terlupakan
13. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial
atas pertukaran ilmu, kerjasama, dan bantuan yang diberikan.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi
(Macaca nigra Desmarest, 1822)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan
pada bulan Juli-September 2009 dan ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Dones Rinaldi,
MSc.F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Konservasi Sumberdaya
Alam Sulawesi Utara atas ijin dan kerjasama yang diberikan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi spasial yang berguna bagi upaya
konservasi monyet hitam sulawesi di Cagar Alam Tangkoko, Cagar Alam
Duasudara, Taman Wisata Alam Batuputih, dan Taman Wisata Alam Batuangus.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan tidak
tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian dalam penyajian isi materi,
maupun tata bahasa sebagai akibat dari belum optimalnya usaha. Semoga karya
ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Bioekologi Monyet Hitam Sulawesi ............................................... 3
2.2 Habitat Satwaliar ............................................................................ 6
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) .................................................. 6
2.4 Penginderaan Jauh dalam Sistem Informasi Geografis .................... 9
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..................................... 13
3.1 Keadaan Fisik Kawasan.................................................................. 13
3.2 Potensi Biotik Kawasan .................................................................. 14
3.3 Aksesibilitas ................................................................................... 15
3.4 Potensi Wisata dan Pengelolaan ..................................................... 15
IV. METODE PENELITIAN ................................................................... 16
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 16
4.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 16
4.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 16
4.4 Pengolahan Peta Tematik ............................................................. 18
4.5 Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis
(PCA) ............................................................................................. 20
4.6. Analisis Spasial ............................................................................ 21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 24
5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial ................................ 24
5.2 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi ...... 40
5.3 Peta Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi............................ 42
iii
5.4 Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan
Kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam .............................. 48
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 52
6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 52
6.2 Saran ............................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 54
LAMPIRAN ............................................................................................... 56
iv
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Spesifikasi kanal landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1990) .................... 11
2. Kelas ketinggian di lokasi penelitian ...................................................... 25
3. Luas tiap kelas kemiringan lereng .......................................................... 27
4. Luas tiap kelas nilai NDVI .................................................................... 30
5. Jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi ..................................... 32
6. Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian ............. 34
7. Keragaman total komponen utama ......................................................... 41
8. Vektor ciri variabel PCA ....................................................................... 41
9. Nilai bobot tiap variabel ........................................................................ 42
10. Skor tiap variabel .................................................................................. 43
11. Penentuan selang IKH ........................................................................... 44
12. Luas tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ..................... 44
13. Validasi tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ................ 48
.
v
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Morfologi monyet hitam sulawesi.......................................................... 4
2. Peta lokasi penelitian ............................................................................. 17
3. Proses pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng .............. 19
4. Pembuatan peta NDVI ........................................................................... 19
5. Proses pembuatan peta buffer ................................................................ 20
6. Bagan alir penelitian .............................................................................. 23
7. Kondisi vegetasi di puncak gunung........................................................ 24
8. Penggunaan habitat dengan kemiringan lereng datar dan landai. ............ 25
9. Peta ketinggian ...................................................................................... 26
10. Peta kemiringan lereng .......................................................................... 28
11. Pakan dan pohon tidur monyet hitam sulawesi ....................................... 29
12. Peta NDVI............................................................................................. 31
13. Peta jarak dari sungai ............................................................................ 33
14. Aktifitas masyarakat dan dampaknya. .................................................... 35
15. Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi ..... 37
16. Peta jarak dari jalan ............................................................................... 38
17. Peta jarak dari bangunan ........................................................................ 39
18. Grafik sebaran nilai piksel hasil overlay ................................................ 43
19. Peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ...................................... 45
20. Kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi pada tiap kawasan ...... 49
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Analisis spasial titik pohon pakan dan perjumpaan monyet hitam
sulawesi................................................................................................. 56
2. Titik pohon tidur dan perjumpaan monyet hitam sulawesi untuk
validasi .................................................................................................. 59
3. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian tahun 2006 .......................... 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Sulawesi adalah pulau dengan tingkat endemisitas jenis flora dan
fauna yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada marga Macaca. Dari 20 jenis
marga Macaca yang ada di dunia, 8 jenis diantaranya merupakan jenis endemik
Sulawesi. Delapan jenis monyet di Sulawesi tersebut adalah monyet hitam dare
(Macaca Maura), dihe (Macaca nigrescens), dige (Macaca heckii), boti (Macaca
tonkeana), hada (Macaca ochraeata), endoke (Macaca brunescens), fonti
(Macaca togeanus), dan monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) (Nowak, 1999).
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) memiliki daerah
persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di
pulau Bacan, Maluku sebagai jenis introduksi.
Monyet hitam sulawesi dalam Red List IUCN 2008 telah ditingkatkan
statusnya menjadi Critically Endangered dan masuk ke dalam Appendix II
CITES. Status monyet hitam sulawesi tersebut diperoleh karena tren populasi
yang cenderung mengalami penurunan yang disebabkan oleh tingginya tingkat
degradasi hutan sebagai habitat alaminya untuk perkebunan dan pemukiman,
perburuan untuk konsumsi dan perdagangan satwa (Supriatna dan Andayani,
2008). Habitat yang tersisa saat ini terbatas pada kawasan konservasi yang
terdapat di Sulawesi Utara antara lain adalah adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko,
Cagar Alam (CA) Duasudara, Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dan Taman
Wisata Alam (TWA) Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara.
Monyet hitam sulawesi di kawasan konservasi tersebut telah banyak
diteliti populasi dan perilakunya selama lebih dari 20 tahun. Penelitian yang telah
dilakukan lebih banyak berkaitan dengan perilaku dan populasi dari monyet hitam
sulawesi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, yaitu Perilaku, Pakan, dan
Pergerakan Monyet Hitam Sulawesi (Kinnaird dan O’Brien, 1997); Perilaku
Sosial Jantan dan Hirarki Dominan Monyet Hitam Sulawesi (Reed et.al., 1997);
Kepadatan Populasi Monyet Hitam Sulawesi di Pulau Bacan dan Sulawesi Terkait
dengan Efek Gangguan Habitat serta Perburuan (Rosenbaum et.al., 1998); dan
2
Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Saroyo, 2005). Penelitian tentang habitat
monyet hitam sulawesi perlu juga mendapat perhatian karena habitat dari monyet
hitam sulawesi yang saat ini semakin terbatas.
Penerapan Sistem Informasi Georgafis (SIG), Penginderaan jauh, dan
Global Positioning System (GPS) dalam penelitian yang berkaitan dengan habitat
monyet hitam sulawesi perlu dikembangkan. Gabungan ketiga teknologi tersebut
dapat digunakan untuk mendapatkan data spasial model habitat yang sesuai untuk
monyet hitam sulawesi berdasarkan faktor pendukung kehidupan dan faktor
gangguan yang berpengaruh bagi monyet hitam sulawesi. Dengan mengetahui
model habitat dan peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi, pengelola
kawasan dapat mengambil langkah lanjutan untuk menjaga habitat monyet hitam
sulawesi sebagai salah satu kekayaan fauna yang ada di kawasan tersebut.
1.2 Tujuan
Penelitian pemodelan spasial habitat monyet hitam sulawesi ini bertujuan
untuk membuat model spasial dan peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian pemodelan spasial habitat monyet hitam sulawesi ini
berupa data spasial habitat monyet hitam sulawesi yang digambarkan dalam
bentuk peta sehingga dapat dimanfaatkan sebagai data acuan bagi penelitian
monyet hitam sulawesi dan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan
keputusan bagi BKSDA Sulawesi Utara dalam pengelolaan kawasan cagar alam
dan taman wisata alam yang merupakan habitat alami dari monyet hitam sulawesi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Monyet Hitam Sulawesi
2.1.1 Taksonomi
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) adalah satu dari
8 jenis monyet endemik Sulawesi. IUCN Red List for Threatened Spesies 2008
mengklasifikasikan monyet hitam sulawesi sebagai berikut:
kerajaan : Animalia
filum : Cordata
kelas : Mamalia
ordo : Primata
keluarga : Cercopithecidae
marga : Macaca
jenis : Macaca nigra Desmarest, 1822
nama Inggris : celebes crested macaque, celebes black macaque
nama lokal : yaki, monyet hitam sulawesi.
Monyet hitam sulawesi seringkali salah dikategorikan sebagai kera walaupun jenis
ini termasuk dalam kelompok monyet karena keberadaan ekor yang hampir tidak
nampak.
2.1.2 Morfologi
Rambut monyet ini berwarna hitam, ekor yang sangat pendek (25 mm),
rambut di puncak kepala yang panjang membentuk jambul tegak, pertulangan pipi
yang menonjol dan panjang (Rowe, 1996). Monyet ini juga memiliki bantalan
pantat (ischial callosities) dengan kulit pantat berwarna merah muda. Monyet
hitam sulawesi merupakan satwa dengan sexsual dimorphism sehingga ukuran
dari jantan bisa mencapai dua kali ukuran betina. Betina memiliki panjang tubuh
445-550 mm sedangkan jantan panjang tubuhnya 520-570 mm. Selain perbedaan
dari ukuran tubuh, monyet jantan memiliki gigi taring yang lebih panjang
daripada betina (Cawthon, 2006). Morfologi monyet hitam sulawesi disajikan
pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Morfologi monyet hitam sulawesi. (a) Jantan; (b) betina; (c) bayi.
2.1.3 Perilaku Sosial
Monyet hitam sulawesi merupakan primata dengan struktur sosial
multimale-multifemale dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1 : 3,4
(Rowe, 1996). Mengutu (grooming) adalah perilaku sosial yang bersifat
mendekatkan sedangkan untuk perebutan wilayah, pakan dan betina dilakukan
dengan perkelahian yang seringkali memakan korban karena gigitan dari gigi
taring jantan yang berukuran besar. Komunikasi antar individu dilakukan dengan
bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon, 2006).
2.1.4 Aktivitas Harian
Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997) terdapat lima kelas aktivitas
harian yang dilakukan oleh monyet hitam sulawesi, yaitu
1. Moving : pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat dan
melompat
2. Feeding : mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah atau
menempatkan makanan di mulut
3. Foraging : bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber
pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari
pakan
4. Resting : tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak
terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu
(a) (b) (c)
5
5. Social : mengutu, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan
berkelahi.
Pergerakan dari monyet hitam sulawesi adalah menggunakan keempat
anggota geraknya atau quadropedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan
lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird di Cagar Alam
Tangkoko dan Duasudara, monyet hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60%
waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan
pergerakan yang menempuh jarak yang jauh (O’Brien dan Kinnaird, 1997).
Wilayah jelajah (homerange) dari monyet hitam sulawesi adalah
114-320 hektar dengan jelajah harian mencapai 6000 meter (Rowe, 1996). Namun
luasan wilayah jelajah dan jelajah harian tersebut dapat berubah tergantung pada
akses dari monyet tersebut terhadap hutan primer. Saat monyet hitam sulawesi
mendapatkan akses terhadap hutan primer maka mereka menghabiskan sedikit
waktu untuk bergerak karena mereka mendapatkan kelimpahan yang tinggi dari
buah-buahan di wilayah tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa saat musim
berbuah, jelajah harian monyet hitam sulawesi tidak terlalu jauh (Kinnaird dan
O'Brien, 2000 dalam Cawthon, 2006).
2.1.5 Perilaku Seksual
Betina menampakkan perilaku seksual yaitu pembengkakan (swellings)
pada bantalan pantat (ischial callosities) dari pink menjadi merah. Dewasa
kelamin pada betina adalah 49 bulan dengan siklus estrus 36 hari dan interval
kelahiran 18 bulan (Rowe, 1996). Betina akan mengutu pada jantan lebih sering
daripada jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi
(Reed et al., 1997 dalam Cawthon, 2006). Pada jantan, perilaku seksual
ditunjukkan dengan sistem hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan
dominan akan mendapatkan sumberdaya dan perhatian dari betina lebih besar
daripada jantan tidak dominan (Cawthon, 2006).
2.1.6 Pakan
Monyet hitam sulawesi termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buah-
buahan. Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan monyet ini terdiri lebih dari
6
145 jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), tumbuhan hijau (2,5%),
invertebrata (31,5%), dan kadang-kadang memangsa satwa vertebrata yang lebih
kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap,
ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang.
2.1.7 Habitat dan Penyebaran
Habitat monyet hitam sulawesi adalah hutan hujan tropis dengan
ketinggian sedang. Jenis monyet ini hanya terdapat secara alami di Sulawesi
bagian utara dan dua pulau yang berdekatan yaitu Pulau Manadotua dan Pulau
Talise. Beberapa kawasan konservasi yang merupakan habitat dari monyet hitam
sulawesi adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, CA Gunung
Ambang, CA Gunung Manembonembo dan juga Taman Nasional Bunaken
(Supriatna dan Andayani, 2008). Monyet hitam sulawesi juga telah diintroduksi
ke Pulau Bacan Maluku pada tahun 1867. Di CA Tangkoko dan CA Duasudara,
monyet ini dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan
sekunder dan bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan
Kinnaird, 1997).
2.2 Habitat Satwaliar
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan baik fisik
maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Habitat mempunyai fungsi dalam
penyediaan makanan, air dan pelindung yang terdapat pada komponen fisik dan
biotik. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang
sedangkan komponen biotik adalah vegetasi, mikro dan makrofauna, dan manusia.
Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar.
(Alikodra, 2002).
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.3.1 Definisi
Sistem Informasi Geografis memiliki beberapa definisi antara lain adalah
sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menganalisis dan memanipulasi objek-objek dan fenomena dimana
7
lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting untuk dianalisis (Aronoff,
1989 dalam Prahasta, 2001).
Sistem infromasi geografis merupakan sekumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras computer (computer hardware), perangkat lunak (software), data
geografi (geographic data), dan personil (personnel) yang dirancang secara
efisien untuk merekam (capture), menyimpan (store), memperbaharui (update),
memanipulasi (manipulate), menganalisis (analize), dan menyajikan (display)
semua bentuk informasi bereferensi geografis (ESRI, 1995 dalam Jaya, 2002).
2.3.2 Subsistem dan Komponen SIG
Sistem Informasi Geografi dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem,
yaitu:
1. Data input
Data yang akan di-entry ke dalam sistem. Bentuk data tersebut antara lain
adalah table, laporan, pengukuran lapang, peta, citra satelit, foto udara
dan data digital lain.
2. Data output
Hasil dari pengolahan data dapat berupa peta, tabel, laporan dan
informasi digital.
3. Data manajemen
Mengorganisasikan baik data atribut maupun data spasial ke dalam
sebuah basis data sehingga mudah untuk di-update atau di-edit.
4. Data manipulasi dan analisis
Melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan. ( Prahasta, 2001).
Data geografis pada SIG memiliki dua komponen, yaitu data spasial dan
data atribut. Chang (2004) menyebutkan bahwa data spasial menerangkan lokasi
atau bentuk di permukaan bumi berdasarkan sistem koordinat geografis yang
dapat ditampilkan dalam model data vektor dan data raster. Model data vektor
menggunakan titik (point) dan koordinat untuk membentuk fitur spasial berupa
titik, garis, dan area sedangkan model data raster menggunakan grid dan sel grid
(grid cells) untuk menampilkan variasi dari fitur spasial (Chang, 2004). Data
8
atribut menjelaskan karakteristik dari fitur spasial pada model data vektor dan
model data raster.
Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) menyebutkan bahwa SIG memiliki
komponen yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), data dan informasi geografi, dan manajemen data. Perangkat keras
untuk SIG antara lain adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan
scanner. Perangkat lunak terdiri dari word processing, spread data, database
presentation dan aplikasi-aplikasi SIG lainnya.
2.3.3 Fungsi Analisis SIG
Menurut Prahasta (2001) terdapat dua fungsi analisis yaitu fungsi
analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis atribut terdiri dari
operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya.
Sedangkan fungsi analisis spasial adalah:
1. Klasifikasi
Mengklasifikasikan kembali suatu data spasial/ atribut menjadi data
spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.
2. Network (jaringan)
Merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (lines) sebagai
suatu jaringan yang tidak terpisahkan.
3. Overlay
Menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang
manjadi masukkannya.
4. Buffering
Menghasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon atau zone
dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya.
5. 3D Analysis
Sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam
ruang 3 dimensi yang banyak menggunakan fungsi interpolasi.
6. Digital Image Processing
Pengolahan citra digital yang dimilliki oleh perangkat SIG berbasis
raster.
9
2.3.4 Aplikasi SIG
Pemakaian SIG dalam penelitian habitat satwaliar antara lain:
1. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci
Seblat oleh Rudiansyah. Pemodelan kesesuaian harimau sumatera
berdasarkan tinjauan dan penilaian dari layer yaitu ketersediaan mangsa
(Encounter Rate/ER harimau hasil camera trap), jarak ke sungai (buffer
jarak sungai), topografi (peta kontur), dan kerapatan tajuk (menggunakan
LAI). Pembobotan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau.
Hasilnya adalah terdapat tiga daerah kesesuaian yaitu rendah, sedang,
dan tinggi dengan hasil pada kesesuaian tinggi 95,85% dengan validasi
95,64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi.
Saran yang perlu diperhatikan adalah perhitungan LAI sebaiknya
dilakukan dengan analisis citra Landsat dan pengukuran langsung di
lapangan.
2. Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’alton, 1832) di
Taman Nasional Ujung Kulon oleh Andita Husna Destriana. Penelitian
untuk mengetahui kondisi kualitas habitat banteng dengan menggunakan
aplikasi SIG dengan menggunakan tujuh layer untuk indikator kesesuaian
habitat yaitu data jenis dan jumlah pakan yang dianalisis terhadap NDVI,
jenis tutupan lahan, kelas ketinggian, kelas lereng, jarak dengan sumber
air, dan jarak dengan jalan. Hasil analisis data: tipe vegetasi merupakan
faktor paling penting dan faktor kemiringan lereng merupakan faktor
paling tidak berpengaruh terhadap habitat banteng. Nilai habitat dengan
kesesuaian tinggi adalah 58,02% dengan validasi 100%. Saran yang perlu
diperhatikan adalah mengetahui tingkat kepercayaan model yang akan
disusun.
3. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus
Boettger, 1893) di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat oleh
Muhammad Irfansyah lubis. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian
habitat katak pohon jawa dengan menggunakan layer kerapatan tajuk,
kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur.
10
Analisis menggunakan metode scoring, pembobotan, dan overlay dengan
model kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 9% dengan validasi 93,
75% sehingga model kesesuaian habitat katak pohon jawa tersebut dapat
diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah penambahan variabel
untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas. Perlu
lebih banyak titik untuk validasi.
2.4 Penginderaan Jauh dalam Sistem Informasi Geografis
Penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan ilmu dan seni untuk
memperoleh tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1990). Lo (1996) menyebutkan bahwa penginderaan
jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpukan informasi mengenai objek dan
lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik dengan tujuan utamanya adalah
mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Data untuk pengideraan jauh
dapat diperoleh dari foto udara, Radar (Radio Detection and Ranging), Lidar (Laser
Imaging Radar), satelit, dan satelit radar (Soenarmo, 2003).
Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan
lahan adalah satelit Landsat yang saat ini telah mencapai satelit Landsat 7. Satelit yang
mulai dioperasikan tahun 1972 ini mempunyai beberapa instrumen pencitraan
(imaging instrument) atau sensor, yaitu Return Beam Vidicon (RBV),
Multispectral Scanner (MSS), Thematic Mapper (TM), Enhanced Thematic
Mapper (ETM), Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dan High Resolution
Multispectral Stereo Imager (HRMSI) (Purwadhi, 2001). Konfigurasi satelit
Landsat adalah tinggi orbit 705 km, inklinasi 98°, jenis orbit sunsynchronous dan
semirecurrent, saat melewati ekuator sekitar pukul 09.39 dan lebar cangkupannya
185 km (Soenarmo, 2003).
Sensor Thematic mapper (TM) merupakan sensor dengan resolusi
spektral yang lebih baik dan ketelitian radiometrik yang lebih tinggi dibandingkan
RBV dan MSS sehingga cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan
penggunaannya. Sensor Landsat TM (Thematic Mapper) memiliki resolusi spasial 30
x 30 meter. Sensor ETM merupakan pengembangan dari sensor TM dengan
11
penambahan saluran pankromatik yang didesain mempunyai resolusi spasial 15 x 15
meter selain itu juga didesain untuk dapat merekam citra multispectral dengan enam
saluran menggunakan panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah
pendek dengan resolusi 30 meter (Purwadhi, 2001). Sensor ETM+ dibawa oleh satelit
Landsat 7 yang didesain sama seperti sensor ETM dan dilengkapi dengan dua sistem
model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari.
Tabel 1 Spesifikasi kanal landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1990) Band Panjang
Gelombang
Nama Gelombang
Elektromagnetik
Fungsi Aplikasi
1 0,45 - 0,52 Biru Penetrasi tubuh air dan untuk mendukung
analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah,
dan vegetasi
2 0,52 - 0,60 Hijau Mengindera puncak pantulan vegetasi pada
spektrum hijau yang terletak diantara saluran spektral serapan klorofil yang gunanya mendeteksi
bentuk pertumbuhan tanaman
3 0,63 - 0,69 Merah Peka terhadap absorp klorofil sehingga
memperkuat kontras antara vegetasi dengan
bukan vegetasi
4 0,76 - 0,90 Inframerah dekat Membedakan tipe vegetasi, pertumbuhan dan
jumlah biomassa, juga untuk memudahkan deliniasi
tubuh air dan memperkuat kontras antara tanaman,
tanah, lahan, dan air
5 1,55 - 1,75 Inframerah tengah Penunjuk kandungan kelembaban vegetasi dan
kelembaban tanah
6 2,08 - 2,35 Inframerah termal Mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas
7 10,45 - 12,50 Inframerah tengah Membedakan tipe mineral dan gormasi
batuan dan juga sensitif untuk kandungan
kelembaban vegetasi
Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang
dapat diintegrasikan kedalam SIG dengan beberapa cara. Barus dan Wiradisastra (1996)
dalam Prahasata (2001) menyatakan bahwa cara pengintegrasian tersebut dapat
ditempuh sebagai berikut :
1. Foto udara discan, diolah dan data yang dihasilkan berupa raster atau
vektor tergantung pengguna SIG itu sendiri.
2. Digitasi peta rupa bumi dengan digitizer untuk menghasilkan data
vektor.
3. Citra satelit diolah menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan
datanya dikonversikan kedalam format SIG, baik berupa data vektor
maupun data raster.
12
4. Citra satelit yang sudah bergeoreferensi langsung digunakan oleh
perangkat lunak SIG.
5. Citra satelit cetakan hasil olahan perangkat lunak pengolah citra, didigit
dan akan menghasilkan data vektor.
Penggunaan citra satelit Landsat dalam bidang penelitian sumberdaya
alam telah umum digunakan seperti :
1. Penelitian untuk mengetahui kondisi vegetasi seperti analisis hubungan
NDVI dan temperatur terhadap tutupan lahan dengan data Landsat-
ETM, mendeteksi perubahan tutupan lahan
2. Penelitian untuk mengetahui potensi sumberdaya kelautan, seperti
pemetaan kondisi terumbu karang, dan aplikasi data Landsat untuk
budidaya ikan.
3. Penelitian untuk mengetahui kondisi kelembaban tanah.
13
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Keadaan Fisik Kawasan
3.1.1 Dasar Hukum, Letak dan Luas
Cagar Alam (CA) Tangkoko ditetapkan pada tahun 1919 berdasarkan
Keputusan No. GB 21/2/1919 stbl. 90 dengan luas 4446 hektar dan diperluas
dengan penambahan dari CA Duasudara (4299 hektar) pada tahun 1978
berdasarkan Sk. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Taman Wisata Alam (TWA)
Batuputih dan TWA Batuangus ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1981
melalui SK. Mentan No. 1049 /Kpts/Um/12/18. Luas TWA Batuputih adalah
615 hektar dan TWA Batuangus memiliki luas 635 hektar (Tasirin, 2009).
Secara geografis keempat kawasan tersebut terletak di ujung paling utara
dari semenanjung utara pulau Sulawesi. CA Tangkoko mencakup kawasan
Gunung Tangkoko-Batuangus dan sekitarnya. CA Duasudara mencakup Gunung
Duasudara dan sekitarnya. TWA Batuputih terletak diantara CA Tangkoko dan
Kelurahan Batuputih. TWA Batuangus terletak diantara CA Tangkoko dan Desa
Pinangunian. Secara astronomi kawasan tersebut terletak pada 125°3’ - 125°15’
BT dan 1°30’ - 1°34’ LU dan secara administratif terletak di Kecamatan Bitung
Utara, Kotamadya Bitung.
3.1.2 Topografi
Secara umum keempat kawasan konservasi tersebut mempunyai topografi
dari landai sampai bergunung, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah,
hutan pegunungan dan hutan lumut. Kawasan ini mempunvai ketinggian dari
0 meter dpl sampai 1351 meter dpl yaitu puncak Gunung Duasudara. Dua puncak
gunung lainnya yaitu Tangkoko (1109 m dpl) dan Batuangus (450 m dpl).
3.1.3 lklim dan Geologi
Iklim berdasarkan Schmidt dan Ferguson mempunyai curah hujan 2.500 -
3.000 mm/tahun, temperatur rata-rata 20°C - 25°C dan termasuk ke dalam iklim
tipe B. Secara geologi kawasan ini dibentuk dari kegiatan vulkanik gunung berapi
14
yang meletus pada tahun 1839 sehingga tanahnya didominasi oleh tipe regosol
dengan proporsi tanah abu granular di bagian permukaan tanah yang tinggi.
3.2 Potensi Biotik Kawasan
3.2.1 Flora
Tipe vegetasi dominan adalah hutan hujan dataran rendah dengan jenis
pohon dominan adalah Dracontomelum dao, Palaquium obvatum, P. obtusifolium,
Canagium odorata, Ficus variegatus, Homalium celebicum, Tetrameles nudiflora,
Planchonia valida, Gostampinus valetonii, jenis palem Livingstona rotundiflora.
Amorphophallus campanulatus, Leea rubra, L. indica, dan rotan Calamus sp.
Hutan hujan pegunungan yang terdapat di kawasan ini didominasi oleh
vegetasi pohon beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu
(Palaquim obtusifolium), sedangkan pada hutan lumut dapat ditemui bunga
edelweis (Anaphalis javanicum) dan kantong semar (Nephentes gynamphoru).
Tipe vegetasi hutan pantai didominasi oleh Calophyllum soulatri dan
Barringtonia asiatica. Hutan sekunder didominasi oleh Casuarina equisetifolia
dan juga terdapat padang alang-alang Imperata cylindrica.
3.2.2 Fauna
Di kawasan konservasi ini terdapat 26 jenis mamalia (10 jenis endemik
Sulawesi), 180 jenis burung (59 diantaranya endemik Sulawesi dan 5 endemik
Sulut), dan 15 jenis reptil dan amfibi (Tasirin, 2009). Jenis mamalia yang terdapat
di kawasan ini diantaranya adalah monyet hitam sulawesi (Macaca nigra),
tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang (Phalanger ursinus), kuskus
sulawesi (Stigocuscus celebensis), dan musang sulawesi (Macrogalidia
musschenbroeckii). Jenis burung yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah
maleo (Macrocephalon maleo), rangkong (Rhyticeros cassidix,), Megapodius
freycinet, Meropogon forsteni, Coracias temminckii, dan Eurostopodus
diabolicus. Satwa reptil yang terdapat di sana antara lain beberapa jenis ular
berbisa seperti viper (Trimeresurus wagleri), kobra (Naja naja), king kobra
(Ophiophagus Hannah), dan ular tidak berbisa yaitu ular sanca (Python
reticulatus).
15
3.3 Aksesibilitas
Keempat kawasan konservasi tersebut berjarak kurang lebih 60 km dari
kota Manado dan 20 km dari Kodya Bitung. Dengan kendaraan roda empat dari
Manado dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 120 menit sedang dan kota
Bitung dapat ditempuh dalam waktu 70 menit. Dengan menggunakan kendaraan
laut jenis perahu motor 2 x 40 PK, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 90
menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih.
3.4 Potensi Wisata AIam dan Pengelolaan
Cagar Alam (CA) adalah bentuk pengelolaan kawasan konservasi dengan
nilai konservasi tertinggi sedangkan Taman Wisata Alam (TWA) adalah bentuk
pengelolaan kawasan konservasi yang memungkinkan pemanfaatan kawasan
untuk tujuan terbatas termasuk pariwisata. Potensi wisata yang ada di kawasan ini
adalah terumbu karang, wildlife trakking, mountain climbing, night trakking, bird
watching, hot water sea swimming, dan wildlife adventure.
CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus
dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah I Bitung Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Sulawesi Utara (BKSDA Sulut). Pengelolaan CA tersebut ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6187/Kpts-II/2002 tanggal 10
Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya
Alam.
16
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data untuk membuat pemodelan habitat monyet hitam
sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) dilakukan di Cagar Alam (CA)
Tangkoko, dan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih. Areal penelitian untuk
analisis spasial model kesesuaian habitat kawasan mencakup CA Tangkoko, CA
Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung, Sulawesi
Utara. Pengolahan dan analisis data penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis
Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-
September 2009 untuk pengambilan data di lapangan. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar 2.
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk pengambilan data monyet hitam
sulawesi di lokasi penelitian adalah Global Positioning System (GPS) Garmin
VISTA HCX, kamera digital, alat tulis, buku lapang, dan penunjuk waktu. Untuk
kegiatan pengolahan dan analisis data, peralatan yang dibutuhkan yaitu Personal
Computer (PC), laptop, perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1, perangkat lunak
Arc GIS 9.3, peta batas kawasan CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih,
dan TWA Batuangus, peta kontur, peta jaringan jalan dan peta jaringan sungai,
citra Landsat TM serta pengolah data statistik SPSS 1.5.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data
sekunder yang diperlukan adalah data bio-ekologi monyet hitam sulawesi, dan
kondisi umum lokasi penelitian yang diperoleh dari studi literatur, observasi
lapang dan wawancara dengan pengelola kawasan, peneliti, pengunjung dan
masyarakat.
17
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
18
Data primer yang diperlukan adalah peta batas kawasan penelitian, dan
peta kontur yang diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)
Sulawesi Utara dan Badan Planologi Kehutanan (Baplan). Peta jaringan jalan,
peta jaringan sungai, dan peta administratif yang diperoleh dari Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Citra landsat 7 ETM+ path 111 row 059 tahun
2006 diperoleh dari BIOTROP Training and Information Centre (BTIC) untuk
menentukan Nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) pada
habitat monyet hitam sulawesi.
Titik keberadaan kelompok monyet hitam sulawesi diperoleh dengan
menggunakan Global Positioning System (GPS). Metode yang digunakan untuk
mengetahui titik keberadaan dan persebaran monyet hitam sulawesi adalah
metode perjumpaan langsung (direct encounter) dengan mengikuti jalur transek
yang telah ada di lokasi penelitian. Kelompok monyet hitam sulawesi yang dapat
diidentifikasi kemudian diikuti pergerakan hariannya untuk mendapatkan data
letak pohon tidur, pohon pakan, dan pengamatan terhadap perilaku tiap kelompok
pada setiap tipe habitat.
4.4 Pengolahan Peta Tematik
4.4.1 Parameter yang Digunakan
Pemodelan habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest,
1822) merupakan proses peninjauan dan penilaian kebutuhan hidup (life requisites)
monyet hitam sulawesi terhadap faktor-faktor habitat dan faktor- faktor gangguan.
Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah aksesibilitas yang diwakilkan oleh
kemiringan lereng dan ketinggian, ketersediaan air yang diwakilkan oleh jarak dari
sungai, dan ketersediaan cover yang diwakilkan oleh nilai NDVI (Normalization
Difference Vegetation Index). Faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia
yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan bangunan.
4.4.2 Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng
Peta ketinggian dihasilkan dari peta kontur yang dianalisis menggunakan
Arc GIS 9.3 sehingga diperoleh TIN (Triangulated Irregular Network). TIN
adalah model data vektor berbasiskan topologi yang digunakan untuk
mempresentasikan data permukaan bumi atau distribusi tidak merata dari titik-titik
19
elevasi. Peta kemiringan lereng dihasilkan dari TIN yang dianalisis untuk
mendapatkan slope. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng.
4.4.3 Pembuatan Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Index)
Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) dibuat dari citra
landsat yang telah dikoreksi geometris. NDVI adalah nilai tengah dari spektral
yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat.
Perhitungan NDVI dilakukan pada model maker ERDAS menurut rumus:
Proses pembuatan peta NDVI disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Pembuatan peta NDVI.
Peta Ketinggian
Peta Kemiringan
Lereng
Surface Analyst (slope)
Peta Kontur
TIN (Triangulated Irregular Network)
3D Analyst (create TIN from feature)
Citra Landsat (Band 1,2,3,4,5,7)
Pemotongan Citra (subset image)
Koreksi Geometris
model maker
Peta NDVI
20
4.4.4 Pembuatan Peta Buffer
Peta buffer yang dibuat adalah peta jarak dari sungai, peta jarak dari
jalan, dan peta jarak dari bangunan. Untuk membuat peta buffer diperlukan data
mengenai ekologi monyet hitam sulawesi untuk menentukan jarak buffer. Peta
jarak dari jalan dibuat dari peta jaringan jalan, peta jarak dari sungai dibuat dari
peta jaringan sungai, sedangkan peta jarak dari bangunan dibuat dari titik
bangunan pada lokasi penelitian. Proses pembuatan peta buffer disajikan pada
Gambar 5.
Gambar 5 Proses pembuatan peta buffer.
4.5 Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis (PCA)
PCA adalah analisis statistika peubah ganda yang digunakan untuk
menyusutkan banyaknya peubah yang tidak tertata untuk tujuan analisis dan
penarikan kesimpulan. Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk
menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi)
dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara
variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang
tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal
component. Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-
masing faktor yang mempengaruhi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi.
Analisis PCA dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS 1.5.
Peta jaringan jalan / jaringan sungai / titik bangunan
Spatial analyst
Distance (Straight line)
Reclassify
Peta Buffer
21
Hasil dari PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing
faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan
sebagai berikut:
Y = aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5 + fFk6
Keterangan: Y = Model habitat monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian
a-e = Nilai bobot setiap variabel
Fk1 = Faktor ketinggian
Fk2 = Faktor kemiringan lereng
Fk3 = Faktor NDVI
Fk4 = Faktor jarak dari sungai
Fk5 = Faktor jarak dari jalan
Fk6 = Faktor jarak dari bangunan
4.6 Analisis Spasial
Titik sebaran monyet hitam sulawesi dianalisis dengan faktor-faktor
spasial yang meliputi ketinggian, kemiringan lereng, kerapatan tajuk, jarak dari
sungai, jarak dari jalan dan jarak dari bangunan untuk mendapatkan bobot.
Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pengkelasan
(class), pembobotan (weighting), dan pengharkatan (skoring).
Pemberian bobot didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi
habitat owa Jawa. Nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling
berpengaruh, nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh,
dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh.
Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari tiga kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang) dan
3 (tinggi). Model Matematika yang digunakan adalah:
1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
SKOR = ΣWi * Fki
Keterangan:
Wi = bobot untuk setiap parameter
Fki = faktor kelas dalam parameter
SKOR = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat
2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
ditentukan berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan analisis
spasial.
22
3. Nilai kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
KHn = Smin + SELANG dan/atau KH = KHn-1 + SELANG
Keterangan:
Smin = nilai skor terendah
SELANG = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat
KHn-1 = nilai Kesesuaian Habitat sebelumnya
KHn-1 = nilai Kesesuaian Habitat ke-n
4. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
Keterangan:
n = jumlah titik pertemuan monyet hitam sulawesi yang ada pada
satu klasifikasi kesesuaian
N = jumlah total titik pertemuan monyet hitam sulawesi hasil
survei
Validasi = persentase kepercayaan.
23
Citra Landsat Peta rupa bumi Peta jalan Peta kontur
Peta jarak
dari jalan
Peta jarak dari
sungai
Peta
ketinggian
Peta kemiringan
lereng Peta NDVI Peta jarak dari
bangunan
Analisis Spasial (Zonal Statistic as a table)
Analisis Statistik (PCA)
Bobot
Overlay
aFk1+bFk2+cFk3+dFk4+eFk5+fFk6
validasi
Akurasi model Model diterima
ya tidak
Peta kesesuaian habitat
Macaca nigra
Analisis Peta Survey Lapang
Titik sebaran
Macaca nigra
Nilai NDVI
Titik sebaran
Macaca nigra
Titik sebaran
bangunan
Gambar 6 Bagan alir penelitian.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial
5.1.1 Peta Ketinggian
Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan
tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko, gunung Batuangus, dan gunung
Duasudara. Menurut Witten et al. (1987) dalam Saroyo (2005), vegetasi diatas
ketinggian 800 meter dpl di lokasi penelitian sudah termasuk ke dalam vegetasi
pegunungan. Pegunungan memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang kurang
dibandingkan dengan dataran rendah. Kondisi vegetasi diatas ketinggian 800
meter disajikan pada gambar 7.
Gambar 7 Kondisi vegetasi di puncak gunung. (a) Vegetasi yang ditumbuhi
lumut; (b) vegetasi di puncak gunung Tangkoko.
Monyet hitam sulawesi dapat ditemukan di berbagai ketinggian sampai
2000 meter dpl (Supriatna dan Wahyono, 2000). O’brien dan Kinnaird (1997)
juga menyebutkan bahwa monyet hitam sulawesi dapat dijumpai di semua
ketinggian di Cagar Alam Tangkoko. Faktor ketinggian rupanya tidak begitu
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Bila dilihat
dari posisi titik perjumpaan monyet hitam sulawesi yang didapatkan selama
penelitian untuk membangun model dan validasi, terdapat 76 titik yang berada
pada ketinggian dibawah 400 meter dpl, 2 titik berada pada ketinggian 400-900
meter dpl dan hanya 1 titik yang berada di atas ketinggian 900 meter dpl.
(b) (a)
25
Pada peta ketinggian untuk model spasial kesesuaian habitat, ketinggian
diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu 0-400 meter dpl, 400-800 meter dpl, dan
>800 meter dpl. Kelas ketinggian dan luas wilayah masing-masing kelas
ketinggian pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Peta ketinggian pada
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.
Tabel 2 Kelas ketinggian di lokasi penelitian No. Kelas Ketinggian (mdpl) Luas (ha)
1. 0-400 5336,46
2. 400-800 3754,62
3. >800 781,65
5.1.2 Peta Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng berpengaruh pada aksesibilitas monyet hitam sulawesi
karena mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial)
(Rowe, 1996). O’Brien dan Kinnaird (1997) juga menyebutkan bahwa monyet
hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas
secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang
jauh. Aktivitas monyet hitam sulawesi di atas tajuk (arboreal) dilakukan sebagian
besar untuk makan dan istirahat pada malam hari. Pada pengamatan secara visual
terhadap 4 kelompok moyet hitam sulawesi dalam pergerakan hariannya, mereka
lebih sering terlihat beristirahat di tempat yang memiliki kemiringan lereng datar
dan landai yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Penggunaan habitat dengan kemiringan lereng datar dan landai.
(a) Aktifitas Istirahat; (b) perilaku sosial menelisik pada saat
istirahat.
(a) (b)
26
Gambar 9 Peta ketinggian.
27
Kemiringan lereng diklasifikasikan kedalam 5 kelas, yaitu datar dengan
tingkat kemiringan 0-8%, landai dengan tingkat kemiringan 8-15%, agak curam
dengan tingkat kemiringan 15-25%, curam dengan tingkat kemiringan 25-40%
dan sangat curam dengan tingkat kemiringan 40-100%. Pembagian kelas
kemiringan lereng tersebut berdasarkan SK Menteri Pertanian No.
837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan
SK Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan
Hutan Produksi (Dewi, 2005). Kelas kemiringan yang dianggap paling tidak
sesuai bagi monyet hitam sulawesi adalah kelas kemiringan diatas 40% karena
menghambat aksesibilitas dari monyet hitam sulawesi. Kelerengan yang semakin
landai dianggap merupakan habitat yang sesuai untuk shelter dan cover dari
monyet hitam sulawesi.
Pada lokasi penelitian terdapat semua kelas kemiringan lereng dengan
luasan terbesar pada kelas kemiringan lereng curam (2663,91 hektar) dan luasan
terkecil pada kelas kemiringan lereng landai (1044,90 hektar). Kelas kemiringan
agak curam dan sangat curam memiliki luasan yang cukup besar yaitu 2362,95
hektar dan 2464,11 hektar. Untuk kelas kemiringan lereng datar memiliki luas
1337,49 hektar. Luas tiap kelas kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 3. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada gambar
10.
Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan lereng No. Kelas Kemiringan Tingkat Kemiringan (%) Kemiringan (°) Luas (ha)
1. Datar 0 - 8 0,00 – 3,60 1337,49
2. Landai 8 - 15 3,60 – 6,75 1044,90
3. Agak Curam 15 - 25 6,75 – 11,25 2362,95
4. Curam 25 - 40 11,25 – 18,00 2663,91
5. Sangat Curam >40 > 18,00 2464,11
5.1.3 Peta NDVI
Monyet hitam sulawesi menggunakan 59% waktunya untuk mencari makan.
Lebih dari 60% pakan monyet hitam sulawesi berasal dari tumbuhan yaitu berupa
buah-buahan, biji-bijian, daun, dan 31,5% pakannya adalah invertebrata. Monyet
hitam sulawesi mengkonsumsi kurang lebih 145 jenis buah-buahan seperti
Dracontomelon dao, dan Ficus spp (O’Brien dan Kinnaird, 1997).
28
Gambar 10 Peta kemiringan lereng.
29
Vegetasi terutama pohon besar dan tinggi juga digunakan oleh monyet hitam
sulawesi sebagai tempat beristirahat di malam hari atau sebagai pohon tidur.
Penggunaan pohon sebagai sumber pakan dan tempat istirahat disajikan pada
Gambar 11.
Gambar 11 Pakan dan pohon tidur monyet hitam sulawesi. (a) Ficus spp.;
(b) Leu (Dracontomelon mangiferum); (c) pohon tidur (Ficus
variegata); (d) aktifitas monyet di atas tajuk.
Beberapa tipe vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu semak
belukar, padang alang-alang, kebun campuran, hutan sekunder, dan hutan primer.
Pada saat penelitian, monyet hitam sulawesi dijumpai menggunakan semua tipe
habitat untuk mencari makan dan makan. Namun untuk istirahat malam, monyet
hitam sulawesi selalu menggunakan hutan yang memiliki pohon dengan ukuran
besar dan tinggi. Dengan demikian, kuantitas vegetasi berupa tutupan hutan di
lokasi penelitian memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup
monyet hitam sulawesi.
Kuantitas vegetasi diukur dengan menganalisis nilai NDVI
(Normalization Difference Vegetation Index). NDVI merupakan salah satu metode
perhitungan indeks vegetasi yang umum digunakan karena memiliki korelasi yang
kuat dengan karakteristik vegetasi. Nilai NDVI yang semakin tinggi menunjukkan
(a) (b)
(c) (d)
30
adanya aktifitas fotosintesis yang semakin besar dan kerapatan vegetasi yang
semakin tinggi (Lillesand dan Kiefer, 1990). NDVI dianalisis dengan
menggunakan nilai piksel pada band infra merah dekat (Near Infra Red) dan band
merah (red) yang pada citra lansat TM diiperoleh dari band 4 (band inframerah
dekat) dan band 3 (band merah).
Nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi ke dalam lima kelas, yaitu 0 0,1;
0,1 0,2; 0,2 0,3; 0,3 0,4; dan lebih dari 0,4. Kelas NDVI dengan nilai lebih
dari 0,4 memiliki luasan terbesar, yaitu 3618,99 hektar dan kelas NDVI dengan
nilai 0,1 0,2 memiliki luasan terkecil, yaitu 650,88 hektar. Kelas NDVI 0 0,1
memiliki luas terbesar ketiga yaitu 1873,26 hektar yang diduga disebabkan karena
pada citra Landsat ETM+ di sekitar puncak gunung Tangkoko dan gunung
Duasudara tertutup awan. Luas tiap kelas nilai NDVI disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas tiap kelas nilai NDVI No. Nilai NDVI Luas (ha)
1. 0,0 – 0,1 1873,26
2. 0,1 – 0,2 650,88
3. 0,2 – 0,3 939,42
4. 0,3 – 0,4 2788,56
5. > 0,4 3618,99
Berdasarkan identifikasi titik pohon pakan monyet hitam sulawesi
terhadap kelas NDVI, terdapat 33 titik pohon pakan yang berada pada kelas NDVI
dengan nilai lebih dari 0,4; 11 titik pohon pakan pada kelas NDVI dengan nilai
0,3 0,4; 3 titik pada kelas NDVI 0,2 0,3; dan 3 titik pohon pakan pada kelas
NDVI dengan nilai kurang dari 0,1. Terdapat 16 jenis pohon pakan yang dapat
diidentifikasi jenisnya, antara lain maombi (Arthocarpus dadah), leu
(Dracontomelon mangiferum), kenanga (Cananga odorata), mengkudu (Morinda
sp), Ficus microcarpa, Ficus variegata, dan Vitex quinata. Kelompok Rambo 2
yang memiliki wilayah jelajah sampai ke perkampungan juga memakan kelapa
(Cocus nucifera), mangga (Mangifera indica), dan palawija. Sedangkan untuk
identifikasi titik pohon tidur terhadap kelas NDVI, terdapat 24 titik yang berada
pada kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4 dari 30 titik pohon tidur. Peta NDVI
di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.
31
Gambar 12 Peta NDVI.
32
5.1.4 Peta Jarak dari Sungai
Monyet hitam sulawesi memenuhi kebutuhan terhadap air melalui
beberapa sumber yaitu buah-buahan yang dimakan, tampungan air hujan pada
banir pohon, dan sungai. Pada musim kemarau, beberapa sungai di lokasi
penelitian mengalami kekeringan. Sungai yang tidak mengering umumnya
memiliki aliran air yang lambat dan permukaan air yang dangkal. Pada saat
penelitian dijumpai penggunaan sungai oleh satu kelompok monyet hitam
sulawesi. Sungai digunakan oleh monyet hitam sulawesi untuk minum,
mendinginkan tubuh dan bermain.
Pengklasifikasian jarak dari sungai ditentukan berdasarkan jari-jari
wilayah jelajah monyet hitam sulawesi yang dianggap berbentuk lingkaran.
Wilayah jelajah dari monyet hitam sulawesi menurut Rowe (1996) adalah 114 -
320 hektar dan menurut penelitian O’Brien dan Kinnaird di Cagar Alam
Tangkoko terhadap tiga kelompok monyet hitam sulawesi selama 18 bulan
mendapatkan hasil wilayah jelajah dari kelompok Malonda adalah 218 hektar,
kelompok Rambo 406 hektar dan kelompok Dua 156 hektar (O’Brien dan
Kinnaird, 1997). Nilai jari-jari masing-masing wilayah jelajah monyet hitam
sulawesi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 5 Jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi No. Wilayah Jelajah (m²) Sumber Jari-Jari (meter)
1. 114 Rowe (1996) 602,54
2. 320 Rowe (1996) 1009,51
3. 156 O’Brien dan Kinnaird (1997) 704,85
4. 218 O’Brien dan Kinnaird (1997) 833,23
5. 406 O’Brien dan Kinnaird (1997) 1137,10
Rata-Rata 859,13
Rata-rata jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi adalah 859,13
meter sehingga selang tiap kelas kesesuaian untuk buffer ditetapkan sebesar 850
meter. Jarak dari sungai diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu 0-850 meter, 850-
1700 meter, 1700-2550 meter, 2550-3400 meter dan lebih dari 3400 meter. Jarak
kurang dari sampai dengan 850 meter dari sungai dianggap sebagai habitat yang
sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Peta jarak dari sungai di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 13.
33
Gambar 13 Peta jarak dari sungai.
34
5.1.5 Peta Jarak dari Jalan
Pembuatan model kesesuaian habitat tidak hanya didasarkan pada faktor
kebutuhan hidup monyet hitam sulawesi namun juga didasarkan pada potensi
gangguan yang didapat oleh monyet hitam sulawesi. Beberapa penelitian yang
dilakukan telah dilakukan di lokasi yang sama menyebutkan bahwa kepadatan
populasi monyet hitam sulawesi di kawasan tersebut terus mengalami penurunan.
Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978 menyebutkan
bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi sebesar 300 individu/km²
(Rosenbaum et al., 1998). Penelitian Sugarjito et al. pada tahun 1989
menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi sebesar
76,2 individu/km² (Rosenbaum et al., 1998). Penelitian Rosenbaum et al. (1998)
menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi pada tahun 1994
sebesar 57,3 individu/km². Penelitian Kyes pada tahun 2002 menyebutkan bahwa
populasi monyet hitam sulawesi sebesar 39,8 individu/km² (Saroyo, 2005).
Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi dalam kurun waktu 1978-2002
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian
No. Tahun Kepadatan Populasi
( ind/km²) Peneliti
1 2002 39,80 Kyes
2 1994 57,30 Rosenbaum et al.
3 1989 76,20 Sugarjito et al.
4 1978 300,00 MacKinnon dan MacKinnon
Penyebab penurunan kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di
kawasan tersebut terutama karena aktivitas manusia yang menyebabkan gangguan
terhadap habitat dan perburuan (Sugarjito et al., 1989 dalam Rosenbaum et al.,
1998). Monyet hitam sulawesi diburu untuk bahan makanan dan binatang
peliharaan, kegiatan perburuan ini tetap berlangsung walaupun monyet hitam
sulawesi termasuk ke dalam satwa yang dilindungi karena dalam
perkembangannya satwa ini dianggap sebagai hama yang memakan tanaman
kebun masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Lee (1999) mengenai perdagangan dan perburuan satwa di
propinsi Sulawesi Utara, monyet merupakan komoditas perdagangan tertinggi
kedua (38,1%) setelah kuskus. Daging monyet yang dikonsumsi dapat
35
menimbulkan sensasi panas pada tubuh yang dipercaya memiliki kemampuan
untuk menyembuhkan penyakit (Lee, 1999).
Secara umum kondisi jalan di sekitar lokasi penelitian sudah diaspal dan
dapat dilalui oleh kendaraan dengan berbagai ukuran. Jaringan jalan di sekitar
lokasi penelitian merupakan salah satu sarana yang mempermudah akses
masyarakat untuk melakukan perburuan dan konversi lahan untuk pertanian,
perkebunan, dan ladang penggembalaan ternak. Cara yang sering digunakan oleh
masyarakat untuk membuka lahan adalah dengan metode pembakaran. Pada saat
penelitian terjadi empat kasus kebakaran lahan di dalam kawasan. Selain di dalam
kawasan, kebakaran lahan juga sering terjadi di sepanjang jalan yang
menghubungkan Kelurahan Batuputih dengan Kelurahan Duasudara. Aktifitas
masyarakat yang mengancam kelestarian monyet hitam sulawesi disajikan pada
Gambar 14.
Gambar 14 Aktifitas masyarakat dan dampaknya. (a) Shelter liar di dalam
kawasan; (b) kebakaran lahan; (c) jerat babi dan monyet (dudeso);
(d) monyet yang terkena jerat di kaki kirinya.
Seperti peta jarak dari sungai, yang menjadi dasar penentuan selang kelas
pada peta jarak dari jalan adalah jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi.
Peta jarak dari jalan dibagi ke dalam tiga kelas yaitu 0-850 meter, 850-1700
(a) (b)
(c) (d)
36
meter, dan lebih dari 1700 meter. Semakin jauh jarak titik perjumpaan Monyet
hitam sulawesi dari jalan maka gangguan yang diterima semakin sedikit. Peta
jarak dari jalan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 16.
5.1.6 Peta Jarak dari Bangunan
Pada lokasi penelitian terdapat empat kawasan konservasi yaitu CA
Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus yang saling
menyatu. Kegiatan wisata di TWA Batuputih telah berlangsung sejak tahun
1980-an dan menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Kelurahan
Batuputih dengan mendirikan losmen dan menjadi pemandu wisata.
Kegiatan wisata yang terdapat di TWA Batuputih adalah wisata masal
dan wisata minat khusus. Wisata masal didominasi oleh wisatawan lokal yang
datang untuk menikmati keindahan pantai sedangkan wisata minat khusus
didominasi oleh wisatawan luar negeri yang datang untuk melihat flora dan fauna
khas yang terdapat di kawasan taman wisata alam dan cagar alam seperti monyet
hitam sulawesi, tarsius, rangkong dan beringin lubang. Untuk mendukung
kegiatan wisata tersebut dibangunlah sarana dan prasarana di dalam kawasan
berupa pos penjagaan, tempat tiket, shelter, tempat berkemah, dan tempat parkir
kendaraan.
Kegiatan wisata selain bermanfaat untuk meningkatkan penghasilan
penduduk Kelurahan Batuputih juga berpotensi menyebabkan gangguan terhadap
kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Sebagai daya tarik utama wisata,
interaksi monyet hitam sulawesi dengan pengunjung tidak dapat dihindari.
Beberapa perilaku pengunjung yang dapat menimbulkan dampak buruk terhadap
monyet hitam sulawesi adalah membuang sampah sembarangan yang kemudian
dikonsumsi oleh monyet hitam sulawesi, memberi makan monyet hitam sulawesi,
berbuat gaduh, dan mengambil gambar dengan menggunakan blitz.
Intensitas perjumpaan monyet hitam sulawesi dengan pengunjung akan
mempengaruhi perubahan perilaku dari monyet hitam sulawesi. Intensitas
perjumpaan yang semakin tinggi akan membuat monyet hitam sulawesi terbiasa
atau terhabituasi dengan kehadiran manusia dan dapat kehilangan sifat liarnya.
Rambo 1 dan Rambo 2 merupakan kelompok monyet hitam sulawesi yang sudah
37
terhabituasi dengan manusia bahkan kelompok Rambo 2 memiliki wilayah jelajah
sampai ke pemukiman dan ladang penduduk sehingga dianggap mengganggu oleh
penduduk. Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi
disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi.
(a)Loket tiket; (b) shelter; (c) monyet jantan makan sisa makanan
pengunjung; (d) kegiatan penghalauan monyet yang masuk kebun
penduduk.
Faktor gangguan yang berasal dari kegiatan wisata tersebut dianalisis
dengan mengukur jarak perjumpaan monyet hitam sulawesi terhadap titik
konsentrasi pengunjung di dalam dan di sekitar kawasan TWA Batuputih. Titik
konsentrasi tersebut dapat berupa bangunan losmen, rumah makan, pos penjagaan,
loket tiket, shelter, dan dua objek yang sering didatangi oleh pengunjung yaitu
pohon tarsius, dan beringin lobang.
Peta jarak dari bangunan dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu 0-850 meter,
850-1700 meter, dan lebih dari 1700 meter. Semakin jauh jarak titik tersebut
terhadap bangunan maka semakin terhindar dari gangguan yang diakibatkan
kegiatan wisata. Peta jarak dari bangunan disajikan pada Gambar 17.
(a) (b)
(d) (c)
38
Gambar 16 Peta jarak dari jalan.
39
Gambar 17 Peta jarak dari bangunan.
40
5.2 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi
5.2.1 Pembobotan dengan metode PCA
Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi didapat dengan
menentukan bobot masing-masing variabel. Faktor bobot menggambarkan
tingkat kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan
kesesuaian habitat. Penentuan bobot tiap variabel dilakukan dengan metode PCA
(Principal Component Analysis) menggunakan software SPSS 1.5.
PCA digunakan untuk meringkas variabel yang banyak jumlahnya
menjadi beberapa komponen utama yang mengandung variabel-variabel tertentu.
PCA menghasilkan komponen utama sejumlah variabel yang digunakan namun
banyaknya komponen utama yang digunakan tergantung proporsi keragaman yang
mewakili total keragaman data. Jumlah komponen utama yang digunakan sudah
memadai jika total keragaman yang dapat diterangkan berkisar antara 70-80%
(Timm, 1975 dalam Pareira, 1999).
Data yang digunakan pada PCA adalah data titik pohon pakan monyet
hitam sulawesi yang dianalisis posisinya secara spasial terhadap enam variabel,
yaitu ketinggian, kemiringan lereng, NDVI, jarak dari sungai, jarak dari jalan, dan
jarak dari bangunan. Titik pohon pakan monyet hitam sulawesi didapatkan dengan
mengikuti pergerakan 4 kelompok monyet hitam sulawesi yang telah terhabituasi
dengan peneliti dari pukul 05.30 WITA - pukul 17.30 WITA atau dari bangun
tidur sampai kembali ke pohon tidur pada bulan Juli sampai Agustus 2009.
Identifikasi pohon pakan didasarkan pada banyaknya anggota kelompok yang
makan di suatu pohon saat melakukan pergerakan dan dikategorikan pohon pakan
bila lebih dari 50% anggota kelompok melakukan aktivitas makan dari pohon
tersebut. Dari hasil pengamatan, teridentifikasi 50 titik pohon pakan monyet hitam
sulawesi.
Hasil analisis spasial titik pohon pakan monyet hitam sulawesi kemudian
ditransformasikan dengan Log 10 yang dilakukan agar nilai setiap variabel
menjadi proposional satu sama lain. Hasil dari transformasi masing-masing
variabel kemudian dianalisis menggunakan metode PCA. Dari hasil analisis
menggunakan metode PCA didapatkan 3 komponen utama yang digunakan
dengan keragaman kumulatifnya sebesar 74,97%. Nilai total dari akar ciri ketiga
41
komponen utama tersebut yang digunakan sebagai bobot untuk model kesesuaian
habitat. Nilai Keragaman total komponen utama yang dijelaskan disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Keragaman total komponen utama
Komponen
Utama
Akar Ciri
Total % Keragaman Kumulatif Keragaman (%) 1 2,399 39,982 39,982
2 1,142 19,032 59,014
3 0,957 15,957 74,970
4 0,824 13,728 88,698
5 0,427 7,109 95,808
6 0,252 4,192 100,000
Bobot tiap variabel dalam pemodelan kesesuaian habitat didapatkan dari
skor total PCA masing-masing komponen utama yang memiliki hubungan positif
dengan variabel pemodelan kesesuaian habitat (Herdiyanti, 2009). Terdapat 4
variabel yang memiliki hubungan positif dengan nilai tertinggi terhadap
komponen 1 (pertama) yaitu jarak dari jalan, jarak dari sungai, ketinggian dan
NDVI. Sedangkan untuk komponen 2 (kedua) dan komponen 3 (ketiga) terdapat
masing-masing satu variabel yang mempunyai hubungan positif dengan nilai
tertinggi. Jarak dari bangunan mempunyai hubungan positif dengan komponen
kedua dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif dengan komponen
ketiga. Vektor ciri masing-masing variabel terhadap ketiga komponen utama
disajikan pada Tabel 8 sedangkan bobot masing-masing variabel berdasarkan skor
keragaman PCA disajikan pada Tabel 9.
Tabel 8 Vektor ciri variabel PCA
No. Variabel Komponen
1 2 3
1 Jarak dari jalan 0,897 0,112 -0,076
2 Jarak dari sungai 0,476 -0,638 0,349
3 Ketinggian 0,772 -0,353 0,094
4 Kemiringan lereng 0,375 0,450 0,651
5 NDVI 0,600 -0,031 -0,626
6 Jarak dari bangunan 0,520 0,627 -0,076
42
Tabel 9 Nilai bobot tiap variabel
No. Variabel Skor Keragaman
PCA Nilai Bobot
1 Jarak dari jalan 2,399 2,399
2 Jarak dari sungai 2,399 2,399
3 Ketinggian 2,399 2,399
4 Kemiringan lereng 0,957 0,957
5 NDVI 2,399 2,399
6 Jarak dari bangunan 1,142 1,142
Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi berdasarkan hasil
pembobotan tersebut dirumuskan sebagai berikut
Keterangan :
Y = model kesesuaian habitat
Fkjalan = skor kesesuaian jarak dari jalan
Fksungai = skor kesesuaian jarak dari sungai
Fktinggi = skor kesesuaian ketinggian
FkNDVI = skor kesesuaian NDVI
Fkbangunan = skor kesesuaian jarak dari bangunan
Fklereng = skor kesesuaian kemiringan lereng
5.3 Peta Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi
5.3.1 Pembuatan Peta Kesesuaian Habitat
Peta kesesuaian habitat dibuat berdasarkan indeks kesesuaian habitat dari
monyet hitam sulawesi. Kesesuaian habitat adalah kemampuan habitat untuk
menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat adalah salah satu cara
untuk menghitung kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dianggap
penting bagi suatu jenis dengan asumsi bahwa jenis tersebut akan memilih daerah
yang paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dewi, 2005).
Indeks kesesuaian habitat diperoleh dengan metode tumpang tindih
(overlay) semua peta tematik atau variabel yang digunakan dalam pembuatan
model kesesuaian habitat. Sebelum dilakukan tumpang tindih, terlebih dahulu
dilakukan pengkelasan pada setiap variabel untuk menentukan skor masing-
43
masing kelas. Nilai skor masing-masing kelas pada setiap variabel disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10 Skor tiap variabel Ketinggian Kemiringan
Lereng
NDVI Jarak dari
Sungai
Jarak dari
Jalan
Jarak dari
Bangunan
Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor
0-400 3 0-8 5 0-0,1 1 0-850 5 0-850 1 0-850 1
400-800 2 8-15 4 0,1-0,2 2 850-1700 4 850-1700 2 850-1700 2
>800 1 15-25 3 0,2-0,3 3 1700-2550 3 >1700 3 >1700 3
25-40 2 0,3-0,4 4 2550-3400 2
>40 1 >0,4 5 >3400 1
Indeks kesesuaian habitat (IKH) terdiri dari tiga kelas kesesuaian, yaitu
IKH 1, IKH 2 dan IKH 3. Selang kelas IKH 1 berkisar dari nilai piksel terkecil
hasil tumpang tindih sampai dengan nilai rata-rata (Mean) dikurangi dengan nilai
standar deviasi. Selang kelas IKH 2 berkisar dari nilai maksimum IKH 1 sampai
dengan nilai rata-rata (Mean) ditambah setengah nilai standar deviasi. Untuk
selang kelas IKH 3 berkisar dari nilai maksimum IKH 2 sampai dengan nilai
piksel terbesar yang dihasilkan dari tumpang tindih (overlay). Sebaran nilai piksel
yang dihasilkan dari overlay disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Grafik sebaran nilai piksel hasil overlay.
Nilai piksel terkecil hasil tumpang tindih adalah sebesar 18,78; nilai
piksel terbesar hasil tumpang tindih adalah sebesar 46,60; nilai rata-rata (Mean)
hasil tumpang tindih adalah 33,58; dan nilai standar deviasi yang dihasilkan
adalah 5,41. Penentuan selang tiap IKH disajikan pada Tabel 11.
Nilai piksel
Jum
lah
p
ikse
l
44
Tabel 11 Penentuan selang IKH No. Indeks Kesesuaian Habitat Selang
1 IKH 1 18,78 sd. (33,58 5,41)
2 IKH 2 (33,58 5,41) sd. (33,58 + (5,41/2))
3 IKH 3 (33,58 + (5,41/2)) sd. 46,60
Nilai piksel yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesesuaian yang
semakin besar. IKH 1 memiliki selang nilai piksel terkecil sehingga kesesuaian
habitat pada pada IKH 1 adalah rendah. IKH 2 memiliki selang nilai piksel lebih
tinggi dari IKH 1 dan lebih rendah dari IKH 3 sehingga kesesuaian habitat pada
IKH 2 adalah sedang. IKH 3 memiliki nilai piksel tertinggi sehingga kesesuaian
habitat pada IKH 3 adalah tinggi.
Habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi memiliki luasan
5160,96 hektar atau 52,64% dari luas total area penelitian. Untuk kesesuaian
sedang memiliki luas 2843,10 hektar atau 29,00% dari luas area penelitian
sedangkan kelas kesesuaian habitat rendah memiliki luasan terkecil yaitu 204,39
hektar atau 2,08% dari luas area penelitian.
Pada lokasi penelitian terdapat 1595,43 hektar atau 16,27% kawasan
yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian habitat (tidak ada
data). Hal ini disebabkan karena pada citra Landsat yang digunakan untuk
membangun model terdapat kawasan yang tertutup oleh awan. Akibat dari tutupan
awan tersebut, nilai NDVI vegetasi di bawahnya tidak dapat ditentukan sehingga
pada wilayah tersebut dikeluarkan dari model. Luasan dan persentase kelas
kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi disajikan pada Tabel 12. Peta
kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 19.
Tabel 12 Luas tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
No. Kelas Kesesuaian Selang Luas (hektar) Persentase (%)
1 Rendah 18,78 – 28,17 204,39 2,08
2 Sedang 28,17 – 36,29 2843,10 29,00
3 Tinggi 36,29 – 46,60 5160,96 52,64
4 Tidak Ada Data - 1595,43 16,27
45
Gambar 19 Peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi.
46
Pada peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yang disajikan pada Gambar
19 terlihat bahwa habitat dengan kelas kesesuaian tinggi tersebar di seluruh lokasi
penelitian tetapi kondisinya terfragmentasi oleh habitat dengan kelas kesesuaian
sedang dan kelas kesesuaian rendah. Kelas kesesuaian tinggi dengan luasan
terbesar terdapat di sisi utara sampai barat laut Gunung Tangkoko atau sisi utara
Gunung Duasudara.
Karakteristik habitat dengan kesesuaian tinggi di wilayah tersebut
terdapat pada ketinggian 0 meter dpl sampai dengan 950 meter dpl, kemiringan
lereng bervariasi dari datar hingga agak curam, dan nilai NDVI terdapat pada
selang 0,3 0,4 dan lebih dari 0,4. Terdapat 4 aliran sungai pada habitat tersebut
sehingga jarak dari sungai berkisar dari 0-1700 meter. Pada bagian barat habitat
dengan kesesuaian tinggi tersebut berdekatan dengan jalan yang menghubungkan
Kelurahan Batuputih dengan Kelurahan Duasudara sehingga nilai jarak dari jalan
bervariasi dari 0 hingga lebih dari 1700 meter. Kegiatan wisata terpusat pada
daerah taman wisata alam di Kelurahan Batuputih sehingga jarak dari bangunan
didominasi jarak lebih dari 1700 meter.
Habitat dengan kesesuaian tinggi di bagian timur lokasi penelitian juga
terfragmentasi oleh habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah yang terdapat di
sekitar Gunung Batuangus. Karakteristik habitat di wilayah tersebut yaitu terdapat
pada ketinggian dibawah 800 meter dengan kemiringan lereng bervariasi dari
datar hingga curam, sedangkan nilai NDVI pada wilayah tersebut bernilai lebih
dari 0,2. Terdapat tiga sungai di wilayah tersebut sehingga jarak dari sungai
didominasi kelas jarak 0-850 meter. Jarak jari jalan didominasi kelas jarak lebih
dari 1700 meter dan jarak dari bangunan terdapat pada kelas jarak lebih dari 1700
meter.
Habitat dengan kesesuaian sedang tersebar di seluruh lokasi penelitian
dan menjadikan habitat dengan kesesuaian tinggi terfragmentasi. Karakteristik
habitat pada kesesuaian sedang adalah terletak pada ketinggian yang bervariasi
mulai dari 0 meter dpl sampai ke puncak gunung, kemiringan lereng bervariasi
dari kelas kemiringan landai sampai sangat curam, nilai NDVI didominasi kelas
nilai 0,1 0,2. Jarak dari sungai bervariasi karena terdapat beberapa aliran sungai
pada habitat dengan kesesuaian sedang tersebut. Jarak dari jalan pada habitat
47
dengan kesesuaian sedang juga bervariasi karena jalan hanya terdapat pada bagian
barat dan selatan lokasi penelitian. Sedangkan jarak dari bangunan didominasi
oleh kelas jarak lebih dari 1700 meter karena bangunan yang diidentifikasi hanya
yang terletak di kawasan TWA Batuputih saja.
Kelas kesesuaian rendah lebih banyak terdapat di sekitar Gunung
Duasudara dan puncak Gunung Batuangus. Karakteristik habitat dengan
kesesuaian rendah didominasi oleh ketinggian diatas 800 meter, kelas kemiringan
lereng curam sampai sangat curam, dan nilai NDVI 0–0,1. Jarak dari jalan
bervariasi dari 0 meter sampai dengan kurang dari 1700 meter dan jarak dari
bangunan didominasi oleh kelas jarak lebih dari 1700 meter. Kawasan yang tidak
dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian habitat akibat tutupan awan
terdapat di sekitar puncak Gunung Tangkoko dan Gunung Duasudara.
5.3.2 Validasi Model
Validasi digunakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap
model yang dibangun. Data yang digunakan untuk melakukan validasi adalah data
titik pohon tidur 4 kelompok monyet hitam sulawesi yang telah teridentifikasi dan
titik perjumpaan langsung kelompok monyet yang tidak teridentifikasi sehingga
jumlah total titik untuk validasi adalah 30 titik pohon tidur dan perjumpaan
langsung monyet hitam sulawesi. Titik perjumpaan monyet hitam sulawesi
tersebut didapatkan pada saat yang sama dengan titik pohon pakan untuk
membuat model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yaitu dari bulan Juli
sampai Agustus 2009.
Model yang dibangun dapat diterima karena memiliki akurasi
memprediksi habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi sebesar
76,67%. Untuk kelas kesesuaian sedang memiliki nilai validasi 20,00% dan untuk
kesesuaian rendah memiliki nilai validasi 0,00%. Terdapat satu titik perjumpaan
pada kawasan yang tidak dapat diidentifikasi dengan persentase sebesar 3,33%.
Validasi pada tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 13.
48
Tabel 13 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
No. Kelas Kesesuaian Titik Perjumpaan Persentase (%)
1 Rendah 0 0,00
2 Sedang 6 20,00
3 Tinggi 23 76,67
4 Tidak ada data 1 3,33
Jumlah 30 100,00
5.4 Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan Kawasan
Taman Wisata Alam dan Cagar Alam
Lokasi penelitian pemodelan kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
ini merupakan gabungan dari empat kawasan konservasi yang saling menyatu,
yaitu CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus.
Awalnya kawasan tersebut diperuntukan sebagai cagar alam yaitu CA Tangkoko
berdasarkan GB. NO. 6 Stbl 1919 dan CA Duasudara berdasarkan SK. Mentan
No. 700/kpts/Um/11/78. Kemudian berdasarkan SK. Mentan No. 1049
/Kpts/Um/12/18 tgl 24-12-1981, pada kawasan cagar alam tersebut dibentuk
kawasan taman wisata alam, yaitu TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Empat
kawasan konservasi tersebut berada dibawah pengawasan Seksi Konservasi
Wilayah I Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara.
Perbedaan status kawasan tersebut berpengaruh pada fungsi dan
pengelolaan kawasan. Taman wisata alam yang merupakan kawasan pelestarian
alam memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada taman wisata alam dapat
dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan
menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Sedangkan cagar alam merupakan
kawasan suaka alam yang diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan cagar
alam hanya terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan yang menunjang budidaya.
49
Model kesesuaian habitat dan peta kesesuaian habitat yang dihasilkan
dari penelitian kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang terjadi pada tiap kawasan konservasi. Masing-
masing kawasan konservasi tersebut berdasarkan peta kesesuaian habitat memiliki
kondisi habitat yang berbeda-beda. Kondisi habitat tersebut dapat diketahui
melalui presentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan. CA Tangkoko
memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi dengan persentase tertinggi yaitu
79,34% sedangkan CA Duasudara memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi
terendah yaitu sebesar 39,83%. Habitat dengan kesesuaian tinggi pada kawasan
TWA Batuputih yaitu sebesar 64,77% dan pada TWA Batuangus sebesar 48,61%.
TWA Batuangus memiliki persentase habitat dengan kelas kesesuaian sedang dan
rendah tertinggi yaitu 40,91% dan 10,48%. Berdasarkan persentase kelas
kesesuaian habitat pada tiap kawasan tersebut terlihat bahwa CA Tangkoko
merupakan kawasan dengan kesesuaian habitat yang paling sesuai untuk monyet
hitam sulawesi sedangkan TWA Batuangus dan CA Duasudara merupakan habitat
yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Persentase kelas kesesuaian
habitat pada tiap kawasan disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20 Kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi pada tiap kawasan.
CA Duasudara memiliki kawasan yang tidak dapat diklasifikasikan ke
dalam ketiga kelas kesesuaian habitat (32,02%) namun berdasarkan studi literatur
diketahui bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan
Duasudara lebih rendah dari Tangkoko dan Batuangus (Rosenbaum et al., 1998).
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
TWA Batu
Putih
TWA Batu
Angus
CA
Tangkoko
CA Dua
Saudara
Perse
nta
se
Persentase Kelas Kesesuaian Habitat pada Tiap Kawasan
tdk ada data
Rendah
Sedang
Tinggi
50
Selain itu, berdasarkan data penggunaan lahan Bapedas Tondano Sulawesi Utara
tahun 2006 (Lampiran 3), tutupan hutan primer dan sekunder di kawasan CA
Duasudara sebesar 46,54%, kawasan CA Tangkoko sebesar 94,02%, TWA
Batuangus sebesar 52,79%, dan TWA Batuputih sebesar 83,29%. Pada kawasan
CA Duasudara terdapat penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dengan
persentase sebesar 20,42% dan permukiman dengan persentase sebesar 0,28%.
Penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering juga terdapat di TWA
Batuangus dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 5,41%, pada CA
Tangkoko penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering hanya sebesar 0,85%,
dan pada TWA Batuputih tidak ada penggunaan lahan untuk pertanian lahan
kering. Dari kondisi habitat yang terfragmentasi dan kepadatan populasi monyet
hitam sulawesi tersebut terlihat CA Duasudara memiliki tekanan yang paling
besar diantara kawasan lainnya.
Tekanan yang terjadi di CA Duasudara diduga disebabkan karena CA
Duasudara berbatasan dengan 16 kelurahan sedangkan CA Tangkoko, TWA
Batuputih, dan TWA Batuangus berbatasan dengan dua kelurahan sehingga akses
masyarakat terhadap CA Duasudara lebih mudah. Akses yang mudah tersebut
diduga menyebabkan tekanan terhadap monyet hitam sulawesi menjadi semakin
tinggi karena adanya perburuan dan perubahan habitat untuk lahan pertanian.
Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian
kemungkinan menyebabkan perubahan terhadap komposisi pakan monyet hitam
sulawesi yang memiliki tingkat adaptasi cukup tinggi terhadap perubahan habitat
sehingga satwa tersebut akan mencari alternatif pakan baru bila pakan alaminya
berkurang. Keadaan tersebut dapat menimbulkan konflik antara monyet hitam
sulawesi dengan masyarakat karena memanfaatkan sumberdaya pertanian yang
sama. Rosenbaum et al. (1998) menduga bahwa tekanan perburuan dan perubahan
habitat yang terjadi di kawasan tersebut akan menyebabkan kepunahan populasi
monyet hitam sulawesi dalam kurun waktu 25-50 tahun apabila tidak ada tindakan
penanggulangan yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Bila CA Duasudara memiliki kepadatan monyet hitam sulawesi yang
rendah karena degradasi habitat yang terjadi di kawasan tersebut maka kondisi
yang berbeda terjadi di kawasan TWA Batuputih. TWA Batuputih memiliki
51
habitat dengan kesesuaian tinggi sebesar 71,30%, habitat dengan kesesuaian
sedang 27,68%, dan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 1,03%. Habitat
dengan kesesuaian sedang dan rendah pada TWA Batuputih terletak di perbatasan
kawasan dengan perkampungan penduduk padahal TWA Batuputih juga
merupakan wilayah jelajah dua kelompok monyet hitam sulawesi, yaitu Rambo 1
dan Rambo 2 yang memiliki ukuran populasi yang besar dan telah terhabituasi
dengan manusia. Pada penelitian Saroyo (2005) disebutkan bahwa populasi
Rambo 1 dan Rambo 2 masing-masing adalah 51 ekor, pada penelitian Newman
et al. (2010) yang dilakukan tahun 2006 sampai 2007 menyebutkan populasi
Rambo 1 sebesar 75 ekor dan Rambo 2 sebesar 65 ekor dan pada saat penelitian
ini dilakukan populasi Rambo 1 mencapai 72 ekor dan Rambo 2 mencapai 64
ekor.
Kedua kelompok monyet hitam sulawesi ini dapat mencapai ukuran
populasi yang besar walaupun dengan kondisi habitat yang rentan terhadap
gangguan karena dekat dengan pemukiman penduduk kelurahan Batuputih diduga
disebabkan karena kedua kelompok tersebut sudah terhabituasi dengan aktifitas
manusia baik terhadap kegiatan wisata maupun pembukaan lahan di kawasan
tersebut. Selain itu tingkat pengamanan dari polisi hutan BKSDA dan kelompok
masyarakat di kawasan taman wisata alam lebih intensif dibandingkan dengan
kawasan cagar alam karena akses kedalam kawasan taman wisata alam lebih
mudah. Keberadaan monyet hitam sulawesi dengan ukuran populasi yang besar
dan telah terhabituasi dengan manusia tersebut telah menimbulkan konflik dengan
masyarakat di sekitar taman wisata alam yang menganggapnya sebagai hama.
52
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Penelitian pemodelan spasial kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
(Macaca nigra Desmarest, 1822) menghasilkan model kesesuaian habitat sebagai
berikut
Y = (2,399xFkjalan) + (2,399xFksungai) + (2,399xFkNDVI) + (2,399xFktinggi) +
(1,142 xFkbangunan) + (0,957xFklereng).
Faktor habitat yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberadaan monyet
hitam sulawesi adalah jarak dari sungai, nilai NDVI, dan ketinggian sedangkan
faktor gangguan yang memiliki pengaruh yang besar adalah jarak dari jalan.
Habitat monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian didominasi oleh
habitat dengan kesesuaian tinggi yaitu seluas 5160,96 hektar atau 52,64% dari
luas total kawasan namun terfragmentasi oleh habitat dengan kesesuaian sedang
(2843,10 hektar) dan habitat dengan kesesuaian rendah (204,39 hektar). Terdapat
1595,43 hektar area penelitian yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelas
kesesuaian habitat karena data untuk membangun model di area tersebut tidak
mencukupi. Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dapat diterima
dengan validasi sebesar 76,67% untuk kesesuaian tinggi, dan 20,00% untuk
kesesuaian sedang.
CA Tangkoko merupakan kawasan dengan habitat yang paling sesuai
untuk monyet hitam sulawesi sedangkan TWA Batuangus dan CA Duasudara
merupakan habitat yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi.
CA Duasudara merupakan habitat monyet hitam sulawesi yang memiliki tekanan
terbesar.
6.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan monyet hitam
sulawesi pada wilayah Gunung Duasudara dan Gunung Batuangus untuk
lebih meningkatkan kepercayaan terhadap model yang dibangun.
53
2. Untuk pembangunan model selanjutnya perlu dianalisis faktor LAI (Leaf
Area Index) berdasarkan pengukuran langsung di lapang dan citra Landsat
untuk mengetahui pengaruh tutupan vegetasi terhadap habitat monyet hitam
sulawesi.
3. Perlu adanya pengawasan pada habitat dengan kesesuaian tinggi di seluruh
kawasan Cagar Alam dari perburuan dan pembukaan lahan demi menjaga
kelestarian monyet hitam sulawesi.
4. Perlu adanya pengaturan batas yang jelas seperti pal batas antara kawasan
yang menjadi taman wisata alam dan kawasan cagar alam agar habitat
dengan kesesuaian tinggi di kawasan cagar alam tidak terganggu oleh
kegiatan wisata.
5. Pembinaan habitat dengan kesesuaian sedang rendah di perbatasan kawasan
TWA Batuputih yang memiliki jumlah populasi monyet hitam sulawesi
yang besar untuk menanggulangi masalah monyet hitam sulawesi yang
merusak panen masyarakat.
54
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan.
Andita HD. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan
Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’alton 1832) di Taman
Nasional Ujung Kulon (Studi Kasus padang Penggembalaan Cidaon)
[Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB.
Cawthon LKA. 2006. Primate Factsheets: Crested black macaque (Macaca nigra)
Taxonomy, Morphology, and Ecology. www.pin.primate.wisc.edu/
factsheets/entry/crested_black_macaque. [25 April 2009]
Chang K. 2004. Introduction to Geographic Information Systems. New York: The
McGraw-Hill Companies.
Dewi H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch
Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [Tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB.
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan, Panduan
Praktis Menggunakan ArcInfo dan ArcView. Bogor: Fakultas Kehutanan
IPB.
Herdiyanti PR. 2009. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di
Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat [Skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan IPB.
Lee RJ. 1999. Market Hunting Pressure in North Sulawesi, Indonesia. Tropical
Biodiversity 6 (1&2):145-162.
Lillesand TM dan FW Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahari R, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.
Lo CP. 1996. Pengindraan Jauh Terapan. Purbowaseso B, penerjemah. Jakarta:
UI-Press. Terjemahan dari: Applied Remote Sensing.
Lubis MI. 2008. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus
javanus Boettger, 1893) dengan Menggunakan Sistem Infromasi Geografis
dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa
Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
55
Newman C, G Assahad, K Hammerschmidt, DP Farajallah, and A Engelhardt.
2010. Loud Call in Male Crested Macaques (Macaca nigra): A Signal of
Dominance in Tolerant Species. Animal Behaviour 79: 187-193.
Nowak RM. 1999. Walker’s Primates of the World. London: The John Hopkins
University Press.
O’Brien TG and MF Kinnaird. 1997. Behavior, Diet and Movements of the
Sulawesi Crested Black Macaque. International Journal of Primatology.
18(3): 321-351.
Pareira YMY. 1999. Karakteristik Habitat Beo Flores (Gracula religiosa
martensi) di Desa Tanjung Boleng, Kabupaten Manggarai, Pulau flores
[Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung:
Informatika.
Purwadhi FSH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Grasindo.
Rossenbaum B, TG O’Brien, MF Kinnaird, and J Supriatna. 1998. Population
Densities of Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) on Bacan
Island and Sulawesi, Indonesia: Effect of Habitat Disturbance and Hunting.
American Journal of Primatology 44:89-106.
Rowe N. 1996. The pictorial Guide to the Living Primates. New York: Pogonias
Press.
Rudiansyah. 2007. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera (Panthera
tigris sumatrae pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat, Seksi Konservasi
Wilayah II Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Bogor: Departemen
Konservasi Sumberdaya hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
Saroyo. 2005. Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
di Cagar Alam Tangkoko-Batu Angus Sulawesi Utara [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Soenarmo SH. 2003. Penginderaan Jarak Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi
Geografi untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB.
Supriatna J dan EH Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor.
Supriatna J dan N Andayani. 2008. Macaca nigra. In: IUCN 2008. 2008 IUCN
Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. 26 April 2009 .
56
Tasirin J. 2009. Press Release: Lansekap Tangkoko-Duasudara. www.wcsip.org/press-release-lansekap-tangkoko-duasudara. [8 Januari 2010]
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Analisis spasial titik pohon pakan dan perjumpaan monyet hitam sulawesi
No. LAT LON Kode GPS Analisis Spasial Log 10*
jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan
1 +1.5644100 +125.1661600 059 295,47 780,00 25,00 0,00 0,32 254,56 2,47 2,89 1,40 0,00 -0,49 2,41
2 +1.5609400 +125.1777200 063 456,95 551,54 25,00 0,00 0,43 469,57 2,66 2,74 1,40 1,03 -0,37 2,67
3 +1.5573100 +125.1783900 064 764,85 436,81 67,65 10,67 0,46 547,45 2,88 2,64 1,83 0,94 -0,33 2,74
4 +1.5568700 +125.1785100 065 810,56 450,00 77,81 8,69 0,46 488,37 2,91 2,65 1,89 0,85 -0,34 2,69
5 +1.5541000 +125.1781400 066 1046,57 488,37 118,15 7,06 0,46 216,33 3,02 2,69 2,07 0,98 -0,33 2,34
6 +1.5534100 +125.1794300 067 1198,87 330,00 119,74 9,62 0,42 94,87 3,08 2,52 2,08 0,95 -0,37 1,98
7 +1.5599300 +125.1729600 080 313,21 1023,96 30,63 8,86 0,46 301,50 2,50 3,01 1,49 0,00 -0,34 2,48
8 +1.5603500 +125.1800600 086 730,55 283,02 25,00 0,00 0,30 740,95 2,86 2,45 1,40 0,00 -0,53 2,87
9 +1.5575000 +125.1830900 088 1168,46 60,00 25,00 0,00 0,43 684,11 3,07 1,78 1,40 1,11 -0,37 2,84
10 +1.5584900 +125.1641000 092 960,47 611,88 60,97 12,95 0,38 882,84 2,98 2,79 1,79 0,00 -0,41 2,95
11 +1.5583000 +125.1554200 093 258,07 228,47 25,00 0,00 0,32 807,78 2,41 2,36 1,40 0,00 -0,49 2,91
12 +1.5595900 +125.1538900 095 30,00 30,00 25,00 0,00 0,38 630,71 1,48 1,48 1,40 0,00 -0,42 2,80
13 +1.5575900 +125.1542100 097 218,40 90,00 25,00 0,00 0,47 842,14 2,34 1,95 1,40 0,92 -0,33 2,93
14 +1.5555500 +125.1548000 098 465,73 180,00 40,53 8,29 0,42 1086,65 2,67 2,26 1,61 0,87 -0,38 3,04
15 +1.5541400 +125.1771100 100 997,25 606,71 123,33 7,39 0,40 300,00 3,00 2,78 2,09 1,04 -0,39 2,48
16 +1.5559200 +125.1770400 101 804,98 600,00 97,90 10,87 0,43 457,93 2,91 2,78 1,99 0,00 -0,37 2,66
17 +1.5589000 +125.1812900 102 926,12 90,00 25,00 0,00 0,43 758,95 2,97 1,95 1,40 0,00 -0,37 2,88
18 +1.5629800 +125.1579900 105 417,85 0,00 25,00 0,00 0,36 540,83 2,62 0,00 1,40 1,14 -0,45 2,73
19 +1.5510500 +125.1815200 107 1531,18 90,00 127,78 13,81 0,37 308,87 3,19 1,95 2,11 0,84 -0,43 2,49
20 +1.5499100 +125.1809300 108 1611,37 180,00 177,41 6,86 0,42 349,86 3,21 2,26 2,25 0,00 -0,37 2,54
21 +1.5563600 +125.1848800 115 1410,32 268,33 25,00 0,00 0,41 757,17 3,15 2,43 1,40 0,62 -0,39 2,88
58
Lampiran 1 (lanjutan)
No. LAT LON Kode GPS Analisis Spasial Log 10*
jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan
22 +1.5593500 +125.1593800 119 560,45 90,00 35,25 4,17 0,36 912,41 2,75 1,95 1,55 0,00 -0,45 2,96
23 +1.5607100 +125.1582100 120 420,00 30,00 25,00 0,00 0,33 721,25 2,62 1,48 1,40 0,00 -0,48 2,86
24 +1.5605700 +125.1551200 121 90,00 123,69 25,00 0,00 0,27 540,83 1,95 2,09 1,40 0,00 -0,57 2,73
25 +1.5589400 +125.1539000 122 94,87 42,43 25,00 0,00 0,41 720,62 1,98 1,63 1,40 1,17 -0,39 2,86
26 +1.5608200 +125.1538800 123 30,00 0,00 36,62 14,65 0,30 510,88 1,48 0,00 1,56 0,00 -0,53 2,71
27 +1.5615700 +125.1565600 125 240,00 180,00 25,00 0,00 0,22 534,14 2,38 2,26 1,40 1,24 -0,67 2,73
28 +1.5360600 +125.1763400 126 2952,37 891,96 407,13 17,57 0,50 1859,52 3,47 2,95 2,61 1,19 -0,30 3,27
29 +1.5327200 +125.1783800 127 3339,18 792,02 506,33 15,45 0,47 2191,85 3,52 2,90 2,70 0,00 -0,33 3,34
30 +1.5707700 +125.1640400 138 84,85 42,43 25,00 0,00 0,40 0,00 1,93 1,63 1,40 0,00 -0,40 0,00
31 +1.5568100 +125.1837700 145 1276,32 150,00 25,08 11,83 0,45 700,36 3,11 2,18 1,40 0,00 -0,35 2,85
32 +1.5573800 +125.1850000 147 1355,65 270,00 25,00 0,00 0,15 829,76 3,13 2,43 1,40 0,98 -0,82 2,92
33 +1.5496200 +125.1737400 160 1440,00 960,00 187,17 9,57 0,43 684,76 3,16 2,98 2,27 1,09 -0,37 2,84
34 +1.5527000 +125.1792200 Beringin L 1235,48 360,00 132,07 12,25 0,50 30,00 3,09 2,56 2,12 0,81 -0,30 1,48
35 +1.5601600 +125.1675500 Coro 582,50 1020,00 36,27 6,40 0,43 573,15 2,77 3,01 1,56 0,00 -0,37 2,76
36 +1.5600500 +125.1754900 G 200 324,50 759,54 25,00 0,00 0,44 349,86 2,51 2,88 1,40 0,91 -0,35 2,54
37 +1.5576900 +125.1762900 K -I 400 603,74 666,11 64,39 8,08 0,42 483,74 2,78 2,82 1,81 0,00 -0,37 2,68
38 +1.5594900 +125.1789600 Leu 658,64 364,97 25,00 0,00 0,46 674,17 2,82 2,56 1,40 1,12 -0,34 2,83
39 +1.5579500 +125.1669700 Lou 810,56 917,82 64,12 13,04 0,40 547,45 2,91 2,96 1,81 0,92 -0,40 2,74
40 +1.5541800 +125.1794000 M07 1123,30 342,05 106,54 8,25 0,46 182,48 3,05 2,53 2,03 0,87 -0,33 2,26
41 +1.5554300 +125.1776700 Madu 885,89 540,00 102,38 7,39 0,46 375,90 2,95 2,73 2,01 0,00 -0,34 2,58
42 +1.5665800 +125.1559800 Mangga 108,17 0,00 25,00 0,00 0,43 84,85 2,03 0,00 1,40 0,95 -0,36 1,93
59
Lampiran 1 (lanjutan)
No. LAT LON Kode GPS Analisis Spasial Log 10*
jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan jalan sungai tinggi lereng ndvi bangunan
43 +1.5588900 +125.1709900 Maombi Rm 510,00 1260,00 47,83 9,00 0,43 216,33 2,71 3,10 1,68 0,00 -0,37 2,34
44 +1.5671200 +125.1681200 Mengkdu 42,43 636,40 25,00 0,00 0,08 123,69 1,63 2,80 1,40 0,93 -1,10 2,09
45 +1.5522400 +125.1695400 mn 1233,29 1149,83 118,24 8,53 0,38 603,74 3,09 3,06 2,07 1,06 -0,41 2,78
46 +1.5532900 +125.1706500 P Maombi 1081,67 1260,36 116,98 11,46 0,35 445,98 3,03 3,10 2,07 0,90 -0,46 2,65
47 +1.5515000 +125.1709600 P Maombi 2 1273,50 1290,00 135,69 7,86 0,41 641,33 3,10 3,11 2,13 0,00 -0,39 2,81
48 +1.5550500 +125.1685800 Phn Mkn Ml 993,18 1050,43 100,00 0,00 0,48 432,67 3,00 3,02 2,00 1,09 -0,32 2,64
49 +1.5521500 +125.1789400 Pkn Pb 1274,56 390,00 146,32 12,25 0,42 42,43 3,11 2,59 2,17 0,00 -0,38 1,63
50 +1.5629400 +125.1738900 Pos 3 0,00 1020,44 25,00 0,00 0,22 0,00 0,00 3,01 1,40 0,00 -0,66 0,00
60
Lampiran 2 Titik pohon tidur dan perjumpaan monyet hitam sulawesi untuk
validasi
No. Lat Lon Kode GPS
1. +1.5463400 +125.1744300 001
2. +1.5662000 +125.1644200 002
3. +1.5388600 +125.1760300 003
4. +1.5608100 +125.1747300 004
5. +1.5528000 +125.1811000 005
6. +1.5526300 +125.1809400 006
7. +1.5574600 +125.1805700 008
8. +1.5580800 +125.1597700 009
9. +1.5675500 +125.1637100 010
10. +1.5551400 +125.1861900 012
11. +1.5217100 +125.1862700 014
12. +1.5657400 +125.1636400 015
13. +1.5593800 +125.1808600 016
14. +1.5545400 +125.1805100 017
15. +1.5519100 +125.1735900 018
16. +1.5572700 +125.1697300 019
17. +1.5607300 +125.1707000 020
18. +1.5458500 +125.1552800 021
19. +1.5596100 +125.1725700 022
20. +1.5601600 +125.1675500 023
21. +1.5592000 +125.1750900 025
22. +1.5526900 +125.1836700 026
23. +1.5422000 +125.1759400 027
24. +1.5522400 +125.1695400 028
25. +1.5521200 +125.1760000 029
26. +1.5550000 +125.1928500 030
27. +1.5608700 +125.1709400 031
28. +1.5645900 +125.1602400 032
29. +1.5610000 +125.1711500 033
30. +1.5558800 +125.1676300 034
61
Lampiran 3 Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian tahun 2006