PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: ANALISIS PEMIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG KEWARISAN DALAM ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) UBAIDILLAH 1110044100076 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
111
Embed
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: ANALISIS PEMIKIRAN MAHMUD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45105/1/UBAIDILLAH-FSH.pdffakultas syariah dan hukum . universitas islam negeri
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM:
ANALISIS PEMIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG
KEWARISAN DALAM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
UBAIDILLAH
1110044100076
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
PEPIIKIRAN HUKUⅣ IISLAM:ANALISIS PEPIIIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG
KEWARISAN DALAM[ISLAM
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan HukumUntuk】 /1emenuhi Salah Satu Syarat ⅣIemperoleh
Gelar Sattana Hukum(s.H)
C)leh:
UBAIDILLAHNIM:1110044100076
Dr.DiuFhi Syukri′ MANIP:195507061992031001
PROGRAM STUDIHUKUM KELUARGAFAKULTASSYARIAH DAN HUKUル I
pada P「 ogra1ln Stし lcli卜 ltlktlll]l(CIし l tlド ga(:ヽ hヽ aヽl S)al(hshi),)′ ah)
PANITIA UЛ AN
l. Ketua Dr.H.Abdlll Haliln
19670608 199403 1 005
2. Sel<retirris
3. Perlbirllrirrg
4. PengLrji I
5. PengLr.ii ll
′ぃCc
/
31 01(tobCr 2017
tas S、 lariah Clan卜 lし lkし 1lnl
9691216199603 1 001
:Indra Rahmatullah,S,HI,lMH.
.H.A.Diualni艶型l(rl
〕ヽ11)lt1550706 199203 1 001
:1)1・ s.H.A,13を lsiq l)inlil,S・ ll.,卜IA.
:Al・ il〕 Pll「 koll.S.HI.ハ lA.
NIP 19790427 200312 1 002
HALAMAN PERNYA T AAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (Satu) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2017
Ubaidillah
iv
KATAPENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta..
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, yang berkat risalah beliau kita dapat menjalankan kehidupan ini
dengan penuh kedamaian.
Adalah suatu pekerjaan yang sangat berat bagi penulis yang fakir ilmu dalam
menyelesaikan skripsi ini. Namun berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari
berbagai pihak, akhimya skripsi ini dapat terselesaikan, maka penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
3. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
4. Bapak Dr. Djuani Syukri, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
v
5. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ..
6. Staffperpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
7. Seluruh keluarga yang tanpa jemu terus memberikan dukungan baik secara moril
maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
Atas bantuan mereka yang sangat berharga, penulis berdo'a semoga Allah
SWT memberikan balasan yang berlipat ganda sebagai amal shaleh dan ketaatan
kepada-Nya, Amin.
Jakarta, 29 Juli 2017
Penulis
Vi
ABSTRAK
UBAIDILLAH. NIM: 1110044100076. Pemikiran Hukum Islam: Analisis Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Hukum Kewarisan dalam Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
Permasalahan utama yang dikaji dalam skripsi ini adalah masalah pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum kewarisan Islam, corak pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam, dan pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dengan pendekatan historis dan hukum. Dengan metode ini digunakan untuk menjelaskan pemikiranpemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam, aspek sejarah yang mempengaruhi pemikiran tersebut, serta konsepsi hukum yang dikemukakan dalam karya-karyanya. Sumber data utama dalam skripsi ini adalah karya-karya Mahmud Yunus dalam hukum Islam khususnya hukum kewarisan Islam, sedangkan sumber data pendukungnya adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan hukum kewarisan dalam Islam. Tekini analisis data yang digunakan adalah content analysis.
Temuan hasil penelitian ini adalah: 1) Hukum waris Islam yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus mencakup pembahasan tentang: a) Hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pembagian harta waris; b) Hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan pembagian waris dalam Islam yang meliputi: ahli waris, orang yang terhalang mendapatkan bagian harta waris, ashabah, bagian yang diterima ahil waris, penghalang menerima harta waris, dan dzawil arham; c) Prinsip-prinsip dasar dalam menghitung harta waris, seperti pembahasan tentang asal masalah, tashih, 'aui, dan rad; d) Permasalahan kontemporer dalam waris Islam; dan e) Filsafat dan hikmah pembagian waris dalam Islam; 2) Mahmud Yunus dalam membahas kajian dalam hukum Islamlfiqih memaparkan juga pendapat-pendapat dari mazhab lain, dan dalam mengajukan argumentasi hukumnya beliau menggunakan qaidah fiqhiyyah; dan 3) Sebagai tokoh pembaruan Islam, Mahmud Yunus ditipologikan sebagai seorang modemis yang berupaya mengembangkan berbagai masalah dalam hukum Islam dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Ada sejumlah pemikiran ten tang hukum waris Islam yang dikemukakannya, yaitu: 1) Pentingnya memberikan wasiat terhadap harta guna memperbesar jumlah harta pusaka dalam adat Minangkabau; 2) Harta yang akan diwariskan disyarakatkan memiliki kejelasan asal muasalnya, agar tidak mewariskan harta yang diperoleh dengan jalan yang haram; 3) Menolak pendapat tentang ahli waris pengganti bagi ahli waris yang wafat terlebih dahulu dari ahli waris pengganti; dan 4) Pembagian harta waris bagi anak laki-Iaki dua kali lip at dari anak perempuan adalah hal yang masuk akal dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dewasa inL
2002), h. 3 12Nuraidah Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic Research
Publishing, 2009), h. 20 13Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), h. 62
14
2. Sumber Data
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini dalah karya-karya Mahmud
Yunus, khususnya yang berkaitan dengan hukum waris dalam Islam, yaitu: al-
Fiqhu al-Wadih , Hukum Waris (Harta Pusaka) dalam Islam, Soal Jawab Hukum
Islam. Hukum Perkawinan dalam Islam, dan sebagainya.
a. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini dalah karya-karya
cendikiawan yang mengkaji tentang Mahmud Yunus dan pemikiran hukum waris
Islam, di anataranya: Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 karya Hery
Mohammad, dkk., Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris karya Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia, karya Rifi’al
Ka’bah, , Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith karya
Hazairin, Hukum Waris Islam di Indonesia dan Transendensi Keadilan Hukum
Wasris Islam Tranformatif karya A. Sukris Sarmadi, dan berbagai artikel yang
diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik yang bisa dipergunakan untuk mengumpulkan data,
satu sama lain punya fungsi yang berbeda. Teknik yang paling tepat digunakan
adalah yang sesuai dengan tujuan penelitian, jenis data serta keadaan sumber
informasi penelitian. Untuk itu, maka teknik yang akan digunakan untuk
15
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah telaah dokumen atau telaah
kepustakaan, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, internet dan sebagainya.14
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik content analysis,
yaitu pemahaman secara konsepsional yang berkelanjutan di dalam deskripsi.15
Artinya, penulis melakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam
keseluruhan pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Untuk selanjutnya penulis melakukan interpretasi terhadap pemikiran-pemikiran
tersebut guna mendapatkan konsep-konsep hukum Islam dalam pemikiran
Mahmud Yunus yang relevan bagi penggambaran konstruksi pemikirannya
tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman teknik
penulisan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada latar belakang masalah di
atas, bahwa kajian tentang pemikiran hukum Mahmud Yunus tidak banyak
14Suharsimi Arkunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2002), h. 200 15Louis O. Kotsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992), h. 1
16
dilakukan oleh akademisi, khususnya dalam bentuk penelitian skripsi, tesis,
maupun disertasi. Mayoritas kajian tentang Mahmud Yunus berkaitan dengan
pendidikan dan tafsir, berikut penelusuran penulis terhadap kajian-kajian
terdahulu tentang pemikiran Mahmud Yunus:
Artikel, Pemikiran Fiqih Mahmud Yunus, ditulis oleh Eficandra Masril
dkk, yang dimuat dalam Jurnal Islamiyat Vol. 25 No. 1 Tahun 2013. Artikel ini
memaparkan pemikiran fiqih Mahmud Yunus baik berkaitan dengan corak, ruang
lingkup, maupun metode-metode pengambilan hukum yang digunakan.
Skripsi, Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam Menurut
Mahmud Yunus dan Imam Zarkasyi, ditulis oleh Nur Hikma Tahun 2014. Skripsi
ini memaparkan pemikiran pendidikan Mahmud Yusnus serta komparasi terhadap
pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi baik yang berkaitan dengan aspek tujuan,
kurikulum, metode, sistem, dan kelembagaan pendidikan.
Skripsi, Kontribusi Mahmud Yunus dalam Pembaruan Islam di
Minangkabau (1919-1982 M), ditulis oleh Hikmayanti Tahun 2016. Skripsi ini
lebih memfokuskan penelitian pada peran dan kontribusi Mahmud Yunus dalam
pandangan sosial budaya terhadap masyarakat Minangkabau yang berkaitan
dengan politik, pendidikan, dan dakwah.
Tesis, Epistimologi Tafsir Qur’an Karim Karya Mahmud Yunus, ditulis
oleh Siti Aisyah Tahun 2016. Tersis ini mengkaji tentang sumber-sumber yang
dijadikan rujukan, metode yang digunakan, dan tingkat validitas penafsiran
Mahmud Yunus dalam karyanya Tafsir Qur’an Karim.
17
Inilah beberapa kajian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemikiran
Mahmud Yunus, dan dari hasil penelusuran penulis belum ditemukan karya
akademis berupa skripsi, tesis, dan disertasi tentang pemikiran hukum Islam
Mahmud Yunus, khususnya di lingkugan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini penulis bagi dalam lima bab dengan uraian
sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan pendahuluan dalam penelitian ini yang
meliputi uraian tentang: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian revies
terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan pembahasan tentang pemikiran hukum warisan
dalam Islam di Indonesia yang jabarkan kepada uraian tentang: dinamika
pemikiran hukum Islam, pemikiran hukum kewarisan dalam Islam di Indonesia,
faktor yang mempengaruhi pemikiran hukum kewarisan dalam Islam.
Bab Ketiga, merupakan pemaparan tentang biografi Mahmud Yunus
yang mencakup: Latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, kepribadian,
karya-karya, dan akhir hayat.
Bab Keempat, merupakan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian
ini, yang mencakup: pemikiran hukum waridan dalam Islam Mahmud Yunus,
18
corak pemikiran hukum Islam Mahmud Yunus, dan bentuk pembaharuan
pemikiran hukum kewarisan dalam Islam Mahmud Yunus.
Bab Kelima, merupakan penutup dari keseluruhan penelitian dalam
skripsi ini yang mencakup kesimpulan, saran, daftar pusata, dan lampiran-
lampiran yang dianggap perlu.
19
BAB II
PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM DI INDONESIA
A. Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Sebelum lebih jauh memaparkan dinamika pemikiran hukum Islam di
Indonesia, penulis memandang perlu membahas hakikat hukum Islam itu sendiri.
Hukum Islam merupakan suatu hukum yang bersumber dari ajaran syariat Islam
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Kata hukum secara sederhana dapat dipahami
sebagai “seperangkat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan
yang ditetapkan oleh penguasa.”1
Kerangka dasar konsepsi hukum Islam telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan hukum antara manusia dengan
manusia atau hubungan manusia dengan benda saja, tetapi juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dan juga dengan
dengan alam sekitarnya. Ketetapan Allah SWT yang mengatur interaksi manusia
dengan berbagai hal itu, dalam terminologi Islam, disebut al-hukm jamaknya al-
ahkam.2
1R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish,
2016), h. 1 2R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 1
20
Konsepsi hukum Islam yang serupa dikemukakan oleh Ali Yafie yang
menyatakan bahwa hukum Islam itu dapat dirinci dalam tiga hal, yaitu: Pertama,
petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang benar-
benar tentang Allah SWT dan alam ghaib, yang disebut dengan istilah ahkam
syar’iyyah i'tiqodiyah. Kedua, petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk
mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia, agar ia menjadi
makhluk terhormat, yang disebut dengan istilah ahkam syar’iyyah khuluqiyah.
Ketiga, ketentuan-ketentuan dan seperangkat hukum untuk menata hal-hal praktis
(amaliah) dalam hal melakukan ibadah kepada Allah, melakukan hubungan lintas
pergaulan sehari-hari dengan sesama manusia dalam memenuhi hajat hidup,
melakukan hubungan dalam lingkungan keluarga, dan melakukan penertiban
umum untuk menjamin tegaknya keadilan dan terwujudnya ketentraman dalam
pergaulan masyarakat, yang disebut dengan istilah ahkam syar’iyyah amaliyah.3
Istilah al-hukm al-islamy sebagai terjemahan dari kata hukum Islam
tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Istilah yang sering
dipergunakan adalah al-fiqh al-islamy atau al-syari’at al-islamiyyah.4 Bisa
dikatakan bahwa istilah hukum Islam merupakan terminologi khas Indonesia,
maka padanan yang tepat dari istilah hukum Islam adalah al-fiqh al-islamy atau
al-syari’at al-islamiyyah, sedangkan dalam wacana ahli hukum barat digunakan
istilah Islamic law.5 Penggunaan Istilah hukum Islam sebagai padanan al-fiqh al-
3Ali Yafie, “Pemikiran Hukum Islam” dalam Muntaha Azhari ed., Islam Indonesia Menatap
Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 38. 4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 3 5R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 82
21
islamy atau al-syari’at al-islamiyyah, menurut Ali Yafie, dikarenakan domain
ketiga dari konsepsi ilmu hukum yang dikemukakannya yaitu ahkam syar’iyyah
amaliyah menyangkut perbuatan-perbuatan nyata dan praktis berlaku dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga bidang ini mendominasi istilah hukum Islam.6
Dari pemaparan di atas, dapatlah dinyatakan bahwa syariah dan fiqh
adalah merupakan hukum Islam. Sehingga hukum Islam yang sebenarnya,
menurut Rifyal Ka’bah, adalah ketentuan-ketentuan mengikat yang berasal dari
Allah (wahyu) dan dari legislasi manusia untuk pengaturan hidup individu dan
masyarakat. Wahyu sebagai firman Tuhan memang cocok untuk semua ruang dan
waktu, tetapi pemahaman manusia terhadap teks wahyu dapat berubah dengan
perubahan masalah dan pemahaman terhadap masalah dengan kebutuhan dan
permasalahan kontemporer.7
Dengan pengertian seperti di atas, maka menjadi suatu keniscayaan jika
pemikiran hukum Islam, khususnya di Indonesia, mengalami dinamika yang
sedemikian rupa sebagai upaya merespon berbagai perubahan-perubahan sosial
dan budaya dalam masyarakat Indonesia. Menurut R. Saija dan Iqbal Taufiq, “ada
suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada.
Kondisi sosial yang melingkupi kehidupan para mujthaid (ahli hukum) memiliki
kontribusi dalam melahirkan hukum Islam.”8
6Ali Yafie, “Pemikiran Hukum Islam”…, h. 38 7Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Universitas Yarsi, 1998), h., 46. 8R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 6
22
Pembaruan hukum Islam pada dasarnya bertolak pada sesuatu yang telah
ada, kemudian mengalami perubahan secara kualitatif sebagai produk interaksi
dalam kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa proses pembaruan hukum
Islam dipandang sebagai sesuatu yang otonom, akan tetapi ia pun berinteraksi
dengan unsur lain dalam masyarakat sehingga terjadi saling bergantung. Ketika
hukum Islam berinteraksi dengan kehidupan sosial masyarakat senantiasa
dihadapkan pada masalah, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh
karena itu, konsep pembaruan hukum Islam menuntut adanya sikap adaptatif
dengan kondisi sosial masyarakat di mana ia berinteraksi.
Dalam tinjauan sejarah, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia
telah menunjukan satu fenomena cukup transformatif dan berulang serta
menggambarkan sebuah dinamika yang hidup dan cukup maju. Mendasar pada
sifat berubah dan berkelanjutan, geliat pemikiran ini tidak hanya memperbaiki
yang sudah ada akan tetapi membentuk karakter-karakternya yang unik di
dalamnya. Upaya pemikiran hukum Islam ini telah banyak dimulai jauh sebelum
kawasan Nusantara ini terpecah menjadi banyak negara.
Dinamika pembaruan hukum Islam dilakukan dengan ijtihad yang
menjadi intisari pembaruan dalam Islam. Dengan adanya ijtihad, dapat diadakan
penafsiran dan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran yang bersifat zhanni. Dan
juga dengan adanya ijtihad dapat ditimbulkan pendapat dan pemikiran baru
23
sebagai ganti pendapat dan pemikiran ulama-ulama terdahulu yang tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman.9
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah
yang sangat panjang yaitu sejak masuknya Islam untuk pertama kali di Indonesia.
Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum
yang hidup. Sifat fleksibel dan elastis yang dimiliki hukum Islam merupakan
aspek utama yang memungkinkan terjadinya penyatuan antara hukum Islam
dengan adat istiadat setempat. Meskipun terkadang kemampuan hukum Islam
beraakulturasi melahirkan sikap yang ekstrim, di mana hukum Islam diterima
tanpa telaah sebagai hukum yang sederajat dengan hukum adat atau tradisi leluhur
masyarakat.10
Dinamika hukum Islam di Indonesia pada abad 17 dan 18 lebih
cenderung benuansa syafi’iyah. Hal ini bisa dipahami menimbang: Pertama,
proses islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 berada dalam suasana di mana
perkembangan hukum Islam mengalami stagnasi dan pada puncaknya pintu
ijtihad dinyatakan tertutup, meskipun kemudian pada fase selanjutnya banyak
ulama dan pemikir yang menentang kondisi tersebut. Pada masa ini ulama dan
para pemikir tidak berani berpikir secara bebas dan kreatif tapi lebih membatasi
diri pada upaya pemikiran yang cenderung mendukung mazhabnya masing-
masing. Kedua, secara kebutulan para penyebar Islam pertama yang aktif dalam
9Muhammadong, “Dinamika Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan Tantangannya”,
Jurnal Sulesana, Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2013, h. 79. 10Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris…, h. 49
24
islamisasi di Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh sejarawah, adalah mereka
yang bermazhab syafi’i, walaupun pada perkembangan berikutnya tidak semua
umat Islam Indonesia menyandarkan aktivitas keagamaannya pada kerangka
pimikiran fiqih Imam al-Syafi’i, terutama pada awal abad ke 20 ketika marak
gerakan pembaruan.11
Pada abad 19 M Indonesia melahirkan banyak pemikir yang beberapa di
antaranya mempunyai reputasi dunia. Masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa
terjadinya pergeseran pusat pemikiran ke-Islaman dari Luar Jawa (Sumatra dan
Kalimantan) ke Jawa. Pada masa ini banyak bermunculan tokoh-tokoh ulama dan
pemikir yang melahirkan banyak karya di bidang keagmaan Islam, termasuk di
dalamnya hukum Islam.
Hanya saja tidak ada pemikiran dan tawaran konsep besar yang telah
dihasilkan oleh ulama dan pemikir pada masa tersebut. Mereka bahkan
menegaskan pentingnya berpegang pada mazhab hukum yang telah ada, yang
dalam dataran tertentu bisa dinilai telah mematikan proses kreativitas dalam
menetapkan hukum. Sedangkan secara aplikatif, pemikiran yang bisa dinilai
penting adalah lahirnya fatwa jihad terhadap Belanda. Hal ini cukup kreatif,
mengingat Indonesia bukan negara Islam, dan sangat riskan jika seseorang
mengeluarkan fatwa seperti itu.12
11Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 114 12Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia …, h. 48.
25
Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaruan hukum banyak pula
diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kaum kolonial untuk
dijadikan hukum nasional, dan hukum Islam dijadikan sebagai salah satu unsur
hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan hukum
nasional tersebut. Dalam upaya tersebut kecenderungan kepada salah satu mazhab
(khususnya mazhab Syafi'i) mulai dikesampingkan, dan lebih ditekankan kepada
kemaslahatan, dan bahkan telah dilakukan suatu reforrnasi hukum.
Pemikiran hukum Islam di Indonesia pada abad 20 mengalami dinamika
yang sedemikian pesat. Pada masa muncul tiga model pemikiran: 1) Tradisional,
yaitu pemikiran yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan
fiqih dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqih dianggap telah mapan dan
sempurna sehingga perlu dikembangkan dan disosialisasikan; 2) Modernisme,
yang menawarkan agar fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat; dan 3) Reformasi, yang melontarkan gagasan
bahwa fiqih yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang
muncul konsekuensi dari perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Oleh
karena itu diperlukan fiqih baru, yang menafsikrkan nash secara kontekstual.13
Pemikiran hukum Islam di Indonesia mengemuka kembali secara meluas
pada era tahun 1970-an, cendekiawan muslim mencanangkan pembaruan yang
terfokus pada rasionalilasi Islam yang dimotori Nurcholis Madjid. Selanjutnya
13Taufiq Andan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan 1993), h. 107-110.
26
pada era 1980-an, Munawir Sjadzali mewacanakan pembaruan dengan tema
Reaktualisasi Ajaran Islam. Diantara pemikiran yang dikemukakan adalah
masalah reaktualisasai hukum waris dalam Islam. Tema reaktualisasi seperti ini
tentu saja mengagetkan banyak orang pihak yang sudah menganggap bahwa nash
tentang waris merupakan nash yang qath’i al-dalalah (penunjukan terhadap
hukum sudah jelas) yang tidak mungkin ada interpretasi selain yang tertera dalam
nash (tekstual).14
Upaya reaktualisasi ajaran Islam di hidang hukum juga merupakan
bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam, terutama dalam konteks zaman
modern dewasa iru. Dari upaya demikian diharapkan terwujudnya suatu solusi
hukum yang dapat mengayomi mayarakat. sehingga apa yang mereka terapkan
daiam kehidupan sehari-hari akan senantiasa berjalan di atas dasar hukum yang
luwes dan adil. Obyek pemikiran hukum Islam pun semakin meluas, dikarenakan
adanya pandangan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam fiqih sudah tidak
mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah baru yang pada waktu
fiqih ditulis oleh para fuqaha masalah-masalah baru itu belum terjadi atau belum
ada, termasuk di dalamnya masalah hukum kewarisan dalam Islam.
14Tobibatussaadah, “Pembatuan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi Terhadap
Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali Serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia, Istinbath: Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1 Tahun 2014, h. 58
27
B. Pemikiran Hukum Kewarisan dalam Islam di Indonesia
Hukum waris merupakan bagian dari hukum keluarga yang
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat serta
menjadi ciri khas umat Islam, namun dalam prakteknya sering menimbulkan
polemik dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang
plural. Permasalahan tersebut disebabkan sistem kekeluargaan dalam suatu
masyarakat, dimana banyak peraturan adat yang telah berlaku secara turun
temurun memiliki perbedaan dengan hukum Islam. Sumber persoalan tersebut
bukan timbul dari al-Qur’an, melainkan interpretasi dan perbedaan pendapat di
kalangan masyarakat itu sendiri.
Sistem kewarisan yang telah ada selama ini dalam batas-batas tertentu
ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan dan tidak dapat membumi
dengan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan antara lain karena hukum waris
merupakan ekspresi langsung dari nash (al-Qur’an dan Hadits) sehingga dianggap
sebagai hukum yang berlaku mutlak dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan
penafsiran ulang, sedangkan kondisi sosial masyarakat membutuhkan suatu
bentuk hukum yang dapat mengakomodasikan semua persoalan yang berkembang
dalam masyarakat yang terjadi sedemikian pesat. Ketika dilakukan penelusuran
ulang terhadap teks-teks ayat kewarisan yang selama ini dianggap sudah baku,
dengan penafsiran yang tidak terikat dan tanpa memaksakan diri menganut pola
tertentu, ternyata ditemukan banyak permasalahan yang belum terselesaikan
dalam hukum kewarisan.
28
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan terdahulu bahwa
Di Indonesia telah terjadi pembaruan terhadap ketentuan hukum Islam yang telah
disesuaikan dengan konteks keindonesiaan. Khusus dalam bidang hukum
kewarisan, ide dan pemikiran pembaharuan belum banyak memengaruhi praktek
kewarisan dalam masyarakat akibat masih kuatnya pengaruh hukum adat dan
mazhab syafi’iyah yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia.
Meskipun demikian dalam praktek implementasi hukum masih terjadi
keanekaragaman penggunaan materi hukum, hal ini dipengaruhi oleh keaneka-
ragaman suku bangsa di Indonesia dengan hukum adat yang berbeda-beda dan
juga agama yang berbeda.15
Pandangan dan tanggapan umat Islam terhadap wacana pembaharuan
hukum waris terpecah menjadi dua yaitu mereka yang setuju terhadap pembaruan
tersebut dan mereka yang tetap mempertahankan formulasi hukum waris yang
telah ada. Mereka yang setuju terhadap ide-ide tersebut adalah dari kalangan
modernis yang cenderung menggunakan pendekatan rasional dan menganggap
bahwa hukum waris sebagaimana terdapat dalam fiqh tradisional sudah tidak
relevan dengan kondisi dan konteks kehidupan modern. Sedangkan mereka yang
tetap mempertahankan hukum waris tradisional cenderung melihatnya secara
normatif dan menganggap bahwa ketentuan waris tersebut merupakan ketentuan
Allah kepada umatnya yang tidak boleh dirubah sampai kapanpun.
15Azwarfajri, “Ijtihad Tentang Kewarisan Cucu dalam Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Islam Futura, Vol. XI, No. 2, Februari 2012, h. 104.
29
Berkaitan dengan hal di atas Edi Riadi menyatakan bahwa:
Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh masehi
sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami perubahan dan
senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu karena hukum waris Islam
dianggap hukum Allah yang berlaku sepanjang masa dan tidak menerima
perubahan. Para fuqaha (ahli di bidang hukum Islam) berpendapat hukum
waris Islam dan begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan
perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa reserve
sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum ta’abbudi (wajib diikuti
sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah swt.), bukan hukum ta’aqulli yaitu
hukum yang dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan sosial
dan budaya masyarakatnya.16
Persepsi para fuqaha mengenai hukum waris Islam yang seperti itu
berdampak pada stagnasi hukum Islam itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem
hukum lain yang senantiasa mengalami perubahan. Padahal sepanjang sejarah
perjalanannya, mulai dari masa awal Islam hingga saat ini, hukum waris Islam
sebenarnya berjalan beriringan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,
keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan inovasi luar biasa
yang merombak sistem pewarisan harta era Pra-Islam. Diakui atau tidak, berbagai
upaya inovasi tersebut menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam
konteks perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak berlebihan
kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan salah satu contoh terbaik
dari evoluasi hukum Islam.17
16Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam Problematika Hukum
Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds., (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 59 17Muhammad Adib, “Halangan Menerima Warisan”, dalam Problematika Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds., (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2012), h. 162
30
Dalam sejarah hukum di Indonesia, dapat diketahui bahwa sistem hukum
waris adat telah ada terlebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum waris
yang lain. Hal ini dikarenakan hukum ada, termasuk hukum warisnya, merupakan
hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga
serta terinternalisasi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang
lain.18
Sementara itu hukum waris Islam hadir bersamaan dengan masuknya
Islam ke Indonesia. Kedatangan Islam dengan hukum warisnya tidak serta merta
menggantikan hukum adat yang sudah ada terlebih dahulu. Dalam hal ini
Mohammad Yasir Fuzi menyatakan:
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi ‘kontak yang
akrab’ antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah
di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre,
lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai-
pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat
suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda,
syara’ mengati adat memakai artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling
topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Di
Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa to syaraa, syaraa
hula-hulaa to adat (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat). Hubungan
antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan
oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan. Pengaruh hukum waris Islam
pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem pembagian warisan
yang disebut dengan sapikulsagendong.19
18Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, dalam Ijtima’iyya
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 9, No. 2, Agustus 2016, h. 66 19Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, …, h. 66.
31
Pada masa kolonial terjadi kodifikasi hukum waris Islam. Hal ini lahir
bersamaan dengan perintah VOC pada tanggal 25 Mei 1760 untuk menerbitkan
peraturan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer yang memuat hukum Perkawinan Islam dan Kewarisan Islam
dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh fuqaha masa itu. Kitab hukum tersebut
secara resmi diterima oleh pemerintah VOC tahun 1706 dan dipergunakan oleh
Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di
daerah kekuasaan VOC.20 Kitab hukum tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk
kodifikasi hukum waris Islam yang disusun oleh ulama/fuqaha berdasarkan
pemahaman mereka terhadap kitab-kitab fiqih klasik.
Di samping hukum adat dan hukum waris Islam, masyarakat Indonesia
juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW. Pada
masa penjajahan Belanda, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk
golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi
orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur Asing
bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta
benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku
hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.21
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami
perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat
20A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013), h. 9. 21Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2010), h.10-14.
32
relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya
tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu.Hukum waris adat berkembang
melalui berbagai macam peraturan ataupun perundang-undangan. Yang agaknya
berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan
pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini
dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).22
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil loka karya para fuqaha
Indonesia dan menjadi fakta keberadaan fiqh madzhab Sunni. Namun demikian,
harus diakui, bahwa pada bagian tertentu dalam KHI masih ditemukan ruang
berbagai masalah kewarisan yang memerlukan refleksi pemikiran baru dalam
rangka penyesuaian dengan kondisi-kondisi di Indonesia antara lain tentang ahli
waris pengganti dan persoalan wasiat wajibah yang sebelumnya tidak dimuat
dalam kitab-kitab klasik.
Sebelum terbentuknya KHI telah muncul berbagai pemikiran tentang
hukum waris Islam yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh pemikir Indonesia
sebagai otokritik terhadap ketetapan hukum waris Islam dalam kitab-kitab fiqih
klasik. Setidaknya ada dua ahli yang tercatat mengemukakan ide pembaharuan
dalam hukum waris Islam yaitu:
22Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, …, h. 70.
33
1. Hazairin.
Pokok pemikiran Hazairin dalam kewarisan Islam meliputi:
a. Kewarisan Bilateral
Dalam literatur hukum adat Indonesia, pada dasamya sistern atau
bentuk kekerabatan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia terdiri
atas sistem patrilineal (garis ayah), matrilineal (garis ibu), dan parental atau
bilateral (garis ayah-ibu seimbang). Sistem ketiga inilah yang merupakan
isu sentral pemikiran Hazairin. Bilateral menurut Hazairin adalah setiap
orang dapat menarik garis kerurunannya ke atas melalui ayahnya atau pun
melalui ibunya; demikian pula yang dilakukan oleh ayahnya dan ibunya,
yang demikian itu tedadi terus-menerus. Lebih lanjut, pokok dasar
pemikiran Hazairin adalah konsepnya mengenai kewarisan bilateral. Yaitu
hak kewarisan yang berlaku dalam dua garis keturunan atau kekerabatan,
baik dari garis ayah atau ibu. Masyarakat bilateral inilah yang paling
dominan di Indonesia. 23
Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan.
Menurutnya sistem kemasyarakatan yang terkandung di dalam al-Qur’an
adalah sistem bilateral, dan karenanya sistem kemasyarakatannya pun
bercorak bilateral juga. Ia merujuk dan menyimpulkan ini berdasarkan
23Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, Volume 4 Nomor 1 Juni 2007, h. 43.
34
pada surat an-Nisa (4) ayat 23-24.24
Inti dari kedua ayat tersebut
menetapkan larangan-larangan perkawinan, dan selain yang disebutkan
halal untuk dilangsungkan. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut
menuntukkan bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang,
baik cross-cousins25
maupun parallel cousins.26
Sebagai contoh
kongkritnya adalah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah al-
Zahra. Keduanya sama-sama dari satu klan dan dibenarkan oleh syariat.
Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti gugurlah syarat
exogami27
yang menjadi benteng bagi sistem klan dalam masyarakat yang
patrilineal dan matrilineal.
Berdasarkan pengandaian pernikahan Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah al-Zahra tersebut berimplikasi pada sistem kewarisannya. Harta
yang ditinggalkan oleh orang yang masih hidup juga harus diatur menurut
hukum kewarisan bilateral. Dalam ranah antropologi, hukum kewarisan itu
adalah kelanjutan dari hukum perkawinan, dan hukum perkawinan tidak
boleh berbeda dengan hukum kewarisan.28
24Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, (Jakarta: Tinatamas,
1982), h. 1-2. 25Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk, manakala bapak dari pihak yang satu merupakan saudara dari ibu pihak yang lain. Lebih
konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini
bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. 26Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik
persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung. 27Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-klan, atau dengan kata lain
keharusan kawin dengan orang di luar klan. 28Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 19-25.
35
b. Ahli Waris Pengganti
Dalam konsep ahli waris pengganti atau mawali, Hazairin
mengatakan bahwa pemakaian kata “ahli waris pengganti” sebagai
padanan mawali, sesungguhnya tidak begitu tepat. Namun, istilah itu
digunakan juga karena perkataan “ahli waris pengganti” terdapat dalam
hukum adat.29
Konsep ahli waris pengganti ini beranjak dari ayat 33 surat an-
Nisa, di mana tafsiran Hazairin terhadap ayat ini mengenai mawali
dipahami sebagai pewaris pegganti atau Plaatsvervulling dalam Burgerlijk
Weetboek. Mawali adalah orang-orang yang menjadi ahli waris karena
tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, dan menurutnya
ia jiga termasuk dalam pengertian aqrabun.30
Yaitu firman Allah:
{33\1\الـنساء}“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada)
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.” (Q.S. an-Nisa/4: 33)
29Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 25 30Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 32
36
Ayat di atas dimaknai sebagai berikut:
Dan untuk setiap orang itu Allah telah mengadakan mawali
bagi harta peninggalan ayah dan mak (ibu) dan bagi harta peninggalan
keluarga dekat, demikian juga harta peningggalan bagi tolan
seperjanjianmu, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya.
Dan Allah menyaksiakan segala sesuatu.31
Berdasarkan pemaknaan seperti di atas, maka kata mawali atau
ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang
digantikan. Mengenai mawali ini, Hazairin berprinsip bahwa al-Qur’an
meletakkan hubungan kewarisan atas dasar pertalian darah antara yang
mati dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu
pengganti oleh waris yang sebenarnya harus mempunyai penghubung
dengan orang yang digantikan itu, di mana ia adalah seorang yang
seharusnya menerima warisan ketika ia masih hidup, tetapi dalam kasus
yang bersangkutan telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan mawali berupa hubungan
darah ke garis bawah, atau ke garis sisi, atau ke garis atas.32
Penafsiran Hazairin terhadap kata mawali menggunakan
pendekatan gramatikal yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
fuqaha dan mufassir awal. Konsep ahli waris pengganti dalam pandangan
Hazairin tidak semata karena adanya ketidaksesuaian pada landasan sosio
31Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 32 32Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 46-47
37
historis, melainkan karena adanya kesalahan interpretasi terhadap kata
mawali itu sendiri. Maka menurutnya makna mawali dalam al-Qur’an
semestinya diartikan ahli waris yang menggantikan seseorang dalam
memperoleh bagian peninggalan orang tua dan kerabatnya.
Pendapat Hazairin tentang ahli waris ini muncul dikarenakan
adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang selama ini terjadi,
yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapatkan harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan
kakeknya. Dalam masalah ini, ulama Ahlus Sunnah dan juga Syi’ah,
sepakat bahwa anak laki-laki menghijab (menutup) cucu laki-laki dan
perempuan. Oleh karenanya, cucu yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapatkan hak waris, meskipun sangat berjasa dalam mengurus
kakeknya, karena anak kakek (saudara ayah/anak laki-laki) menghijabnya,
meskipun tidak pernah berjasa mengurus ayahnya.33
c. Dzawil Furudh, Dzawil Qarabah, dan Mawali
Dari segi hak kewarisan, Hazairin membagi tiga golongan ahli
waris menurut ajaran yang ia sebut sebagai ajaran kewarisan bilateral.
Keetiga golongan tersebut adalah dzawil furudh, dzawil qarabah, dan
mawali. Hal ini berbeda dengan konsep ulama sunni pada umumnya, di
33Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 48
38
mana mereka membagi golongan yang menerima ahli waris yaitu: dzawil
furudh, ashabah, dan dzawil arham.
Perbedaan di atas berpangkal dari pendapat Hazairin yang tidak
menerima konsep usbah atau ashabah. Menurut Hazairin konsep usbah
terdapat dalam masyarakat unilateral (patrilineal atau matrilineal),
sedangkan dalam masyarakat bilateral (parental) tidak mengenal istilah
tersebut.
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan
tertentu dalam keadaan tertentu, seperti anak perempuan, ayah, saudara
laki-laki atau perempuan. Adapun dzawil furudh terdiri atas:
1) Anak perempuan yang tidak bersama-sama dengan anak laki-laki atau
mawali bagi mendiang anak laki-laki, maka anak perempuan tersebut
bagiannya (fard)nya adalah ½ dan 2/3 jika 2 orang atau lebih.
2) Ayah mendapat fard 1/6 jika pewaris berketurunan.
3) Ibu mendapat fard 1/3 jika pewaris tdak berketurunan dan 1/6 jika
pewaris berketurunan.
4) Seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan, bagi
mereka masing-masing 1/6 bagian harta jika pewaris mati punah, dan
jika saudaranya adalah berbilang beberapa saudara, baik semuanya
laki-laki, atau perempuan, atau bercampur antara laki-laki dan
perempuan, maka mereka semua mendapatkan bagian 1/3 dari harta
peninggalan.
5) Jika si mayit kalalah/punah mempunyai 1 saudara perempuan saja,
maka ia memperoleh ½ dari harta peninggalan, dan jika si mayit
(kalalah) mempunyai 2 orang saudara perempuan (atau lebih) maka
bagiannya 2/3 dari harta peninggalan bersama-sama.
6) Suami mendapat ½ jika isteri meninggal tanpa keturunan dan ¼ fard
jika isteri berketurunan.
7) Isteri mendapat ¼ jika suaminya yang meninggal tidak berketurunan,
dan 1/8 fard jika memiliki keturunan.
39
8) Mawali dengan bagian masing-masing sebagai pengganti.34
Dzawil qarabah adalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan si pewaris dapat melalui garis wanita serentak tidak
terpisah. Hubungan garis keturunan yang demikian inilah oleh Hazairin
disebut dengan garis keturunan bilateral. Dzawil qarabah dikelompokkan
atas:
1) Anak laki-laki dan perempuan yang bersamanya anak laki-laki atau
keturunannya. Mereka mendapatkan bagian menurut ketentuan nilai
bagian yang telah ditetapkan sebagai dzawil furudh sekaligus adkan
mengambil sisa harta jika ada sisa, di mana ia sekaligus sebagai dzawil
qarabah.
2) Ayah, apabila pewaris mati punah.
3) Saudara laki-laki dan saudara perempuan yang bersamanya saudara
laki-laki atau keturunannya jika pewaris mati punah (kalalah).
4) Kakek dan nenek.35
Dalam dzawil qarabah hijab dan mahjub antara para ahli waris
akan mempengaruhi system ini, di mana apabila bertemu masing-masing
orang yang berhak sebagai dzawil qarabah maka akan terjadi dua
kemungkinan. Pertama, masing-masing zawil qarabah akan memperoleh
radd secara berimabang menurut bagian masing-masing. Kemungkinan
kedua, akan ditentukan bagiannya, karena begitu dekatnya derajat salah
satu ahli waris. Seperti, apabila berkumpul ayah, ibu, dan anak laki-laki.
Maka anak laki-lakilah sebagai dzawil qarabah. Hal ini terjadi karena
34A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Wasris Islam Tranformatif, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 45-46. 35A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Wasris Islam Tranformatif, h. 46
40
kemampuan anak mempengaruhi perolehan ayah dan ibu sehingga mereka
hanya memperoleh apa yang ditentukan saja tidak boleh yang lain.36
Mawali, sebagaimana telah diuraikan dalam bahasa sebelumnya
bahwa mawali atau ahli waris pengganti ini adalah ahli waris yang
menggantilan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya
akan diperoleh orang yang digantikan. Baik berupa hubungan darah ke
garis bawah atau garis sisi, atau ke garis atas.
d. Kalalah
Hazairin berpendapat bahwa kalalah adalah seorang meninggal
dunia tidak meninggakan anak (walad), tanpa disyaratkan ayah harus
meninggal dahulu (tidak ada ayah). Adapun yang dimaksud walad di sini
adalah anak secara umum baik laki-laki maupun perempuan. Pengertian
anak di sini masih diperluas lagi dengan keturunan, yaitu orang digaris
bawah baik melalui laki-laki maupun perempuan.37
Dengan demikian
kalalah yang dimaksud oleh Hazairin adalah orang yang mati punah tidak
berketurunan. Dengan pendapat ini maka saudara tidak dibedakan antara
saudara sekandung, seayah, dan seibu, mereka dapat mewaris selama tidak
ada anak (keturunan).
36Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 52 37Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 54
41
2. Munawir Sjadzali.
Isu sentral pemikiran hukum Munawir Sjadzali adalah melakukan apa
yang disebutnya reaktualisasi hukum waris, khususnya dalam hal pembagian
waris 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, di seluruh dunia
Islam, termasuk di Indonesia sistem waris yang diberlakukan baik dalam versi
sunni, syi‘ah maupun negara-negara Islam yang telah mengupayakan
kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap mempertahankan
sistem kalkulasi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Cara seperti ini
didukung langsung oleh QS. an-Nisa‘: 11 yang dengan jelas menyatakan
bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
{33\1\الـنساء} Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan (QS. An-Nisa/4: 11).
Walau demikian, bagi Munawir, konsep tersebut tidak memberikan
rasa adil‖ bagi masyarakat yang kaum perempuannya memiliki peran. Hal ini
berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam
praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa tentang ketetapan
hukum waris sesuai dengan fara‘id Islam yang didalamnya menetapkan
kalkulasi bagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1 tapi dalam
pelaksanaannya kerapkali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa ketetapan
42
hakim Pengadilan Agama tersebut. Malah mereka melakukan pembagian yang
tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu 1:1 antara anak laki-laki
dengan anak perempuan. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang
awam saja tapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi yang cukup
menguasai ilmu-ilmu keislaman.38
Melihat realitas yang telah dipaparkan di atas, Munawir menawarkan
bagaimana kalau ketentuan pembagian waris itu dikodifikasi menjadi sama
rata yaitu bagian anak laki-laki 1:1 dengan bagian anak perempuan dengan
syarat anak perempuan memiliki peran. Untuk memperkuat pendapatnya
tersebut, Munawir menampilkan sejumlah ulama yang telah melakukan
pemahaman secara kontekstual terhadap nash al-Qur‘an. Diantaranya
pendapat Abu Yusuf al-Hanafi yang mengatakan bahwa bila nash terdahulu
dasarnya adat dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum
atau petunjuk yang terkandung dalam nash itu, dan Ibnu Qoyyim al-Jauziah
menjelaskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena
perbedaan zaman, tempat, dan adat istiadat.39
Jadi nash al-Qur‘an yang telah menegaskan bagian anak laki-laki dua
kali lipat dari bagian anak perempuan adaah pembagian yang didasarkan pada
tradisi yang berlaku pada saat itu, bahwa status laki-laki dalam keluarga
adalah pemimpin, pelindung, dan penanggungjawab perempuan. Melihat
38Syukri Abu Bakar, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris di Indonesia”,
Jurnal Schemata, Volume 3, No. 2, Desember 2014, h. 134 39Syukri Abu Bakar, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris …, h. 135.
43
realitas kehidupan zaman modern sekarang ini bahwa kaum perempuan
melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh perempuan Arab zaman dahulu.
Sekarang banyak kaum perempuan yang menduduki pos-pos penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sekarang sedang gencar-
gencarnya kaum perempuan menuntut persamaan hak dan persamaan derajat
dengan kaum laki-laki di segala bidang. Maka dengan menggunakan teori Abu
Yusuf tersebut, bahwa kaum perempuan pada saat sekarang berbeda adat
kebiasaannya dengan kaum perempuan pada saat ayat itu diturunkan, maka
menurut Munawir sangat relevan sekali apabila bagian waris anak perempuan
sekarang yang memiliki peran ditingkatkan agar sama dengan bagian waris
anak laki-laki.
C. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Hukum Kewarisan dalam Islam
Pembaruan hukum Islam merupakan suatu keharusan untuk tetap
mempertahankan eksistensi hukum Islam. namun, dalam melakukan pembaruan
hukum Islam, tetap harus memperhatikan sebagai ajaran yang kekal dari Allah
swt. sehingga tidak boleh melakukan pembaruan dengan semena-mena, karena
justru akan menjauhkan dari tujuan syariah tersebut (maqaaṣhid al-syarīah).
Bahkan pembaruan tanpa metode yang benar dan tindakan yang semena-mena
justru dapat menghancurkan sendi-sendi ajaran agama.
Secara umum, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:
44
1. Mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat
terhadap hukum masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk
diterapkan.
2. Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan
hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada
aturan hukumnya.
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang
kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para
mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, terutama hal-
hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.40
Adapun faktor-faktor yang dipandang mempengaruhi pemikiran hukum
kewarisan Islam dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Pandangan tentang hukum ideal dan realistis.
Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan dan bermuatan rasa
keadilan universal. Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan
dengan cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah
masyarakat dan bermuatan keadilan lokal dan temporal. Hukum ideal tidak
mungkin diberlakukan ditengah masyarakat tertentu dalam kurun waktu
tertentu tanpa mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada
masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan hukum yang
berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis merupakan suatu
keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan rasa keadilan masyarakat.
Karakteristik hukum realistis hanya berlaku dalam masyarakat pada masa
tertentu, dan belum tentu dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam
40Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006), h. 154.
45
kurun waktu yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan
masyarakatnya berbeda. Hukum waris yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih
adalah hukum realistis untuk masyarakat dimana penulis kitab tersebut hidup,
dan oleh karenanya mungkin banyak kaidah hukum waris di dalamnya yang
sudah tidak relevan untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini. Dalam hal
inilah diperlukan pembaharuan hukum yang berkesinambungan paralel
dengan tuntutan keadilan lokal sebagai akibat perubahan sosio-kultural
masyarakat. Ayat dan hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan
dalil qath’i, sedangkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bermuatan keadilan
lokal dan temporal merupakan dalil zhanni.41
2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.
Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap teks Al-
Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para sahabat berkreasi
memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sesuai tingkat keluasan dan kedalaman
pengetahuannya. Zaid bin Tsabit merupakan orang yang luas pengetahuannya
dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab, sehingga ia lebih mampu
memahami teks Al-Qur’an dan Hadits tentang kewarisan yang bersinergi
dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu
Abbas hanya memiliki kemampuan memahami teks al-Qur’an dan Hadits
tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan dengan hukum
adat masyarakat Arab.
41Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, …, h. 62-64
46
Tafsir Zaid bin Tsabit tentang waris merupakan mainstream sehingga
banyak diikuti para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan
sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu Abbas
banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan keadilan lokal,
sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Arab
pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan
pada masa kini.42
3. Keadilan
Salah satu subsistem hukum syariat yang sampai saat ini tetap
diragukan, digugat dan bahkan kadang-kadang dihujat sebagian orang adalah
yang terutama terkait dengan kekurangadilan hukum kewarisan. Khususnya
yang berhubungan dengan aturan bagian 2:1 dengan maksud dua bagian untuk
ahli waris laki-laki dan satu bagian untuk ahli waris perempuan. Ketetapan
hukum tersebut dianggap sudah tidak lagi relevan. Pemikiran ini merujuk
kepada pikiran-pikiran sosiologis, empiris, dan pragmatis kekinian yang
menunjukkan bahwa pada kenyataan banyak kasus perempuan berprofesi dan
bergaji lebih tinggi tapi harus menghadapi ketetapan ilmu faraid tentang
aturan bagian 2:1 untuk laki-laki dan perempuan.43
42Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, …, h. 64-65 43Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
konteks, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2013), h. 7.
47
Persoalan perbandingan 2:1 ini memang agak rumit karena
menyangkut persoalan qath’i dan dzanni.44
Dalam ilmu ushul fiqh pengertian
qath’i menunjukkan kepada makna yang pemahaman makna itu telah tertentu
dan tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna
lainnya. Dengan kata lain, mengandung makna yang meyakinkan, pasti dan
absolut. Sedangkan pengertian zhanni menunjukkan atas suatu makna, akan
tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna
ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya, dengan kata lain mengandung
sesuatu yang relatif, dugaan, dan tidak meyakinkan substansi hukum waris
adalah keadilan karena sebelum hukum waris Islam datang dalam hal
pembagian harta waris.45
Perempuan pada saat itu tidak pernah diberi bagian harta warisan
sedikitpun, bahkan justru dijadikan harta warisan yang dapat dibagi-bagi.
Upaya untuk merekonstruksi bukan merupakan hal yang tabu, sebab latar
belakang sejarah dan sosial turunnya teks tersebut sudah berbeda dengan masa
sekarang. Budaya berbeda ini sudah ada sejak masa awal Islam ketika Al-
Qur‘an turun, terlebih lagi kondisi sekarang di mana setiap generasi
menghadapi situasi berbeda akibat perbedaan waktu dan geografi.
tertinggi pada mata kuliah insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah
satu-satunya mahasiswa yang pertama dari Indonesia dan mahasiswa asing yang
berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum. Setelah menjalani
masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, ia pun kembali ke
tanah air pada Oktober tahun 1930 M.13
.
C. Gerakan Pembaharuan Mahmud Yunus
Mahmud Yunus adalah salah seorang ulama yang menjadi tokoh
pembaharuan di Indonesia. Hal ini didorong oleh semangat untuk maju serta
melakukan pembaharuan di berbagai aspeknya dalam rangka kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia pada masa itu amatlah tinggi dan mengalir
dengan cukup deras. Terlebih lagi ketika itu bangsa Indonesia sedang dijajah oleh
Belanda dan Jepang. Bahkan setelah merdeka, Indonesia dalam situasi dan kondisi
yang relatif belum aman dari tekanan dan gangguan penjajah. Begitu juga, pada
masa selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan, secara bertahap upaya-upaya
pembaruan telah dilakukan oleh Mahmud Yunus dalam rangka memajukan
bangsa dan negara Indonesia.
Mahmud Yunus mulai terlibat di gerakan pembaruan saat berlangsung
rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Dia diminta untuk
mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pola pemikiran pembaharuannya, terutama berkat pandangan-
13Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 138
61
pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaru seperti Abdullah Ahmad
serta Abdul Karim Amrullah.14
Gerakan dan pembaharuan Mahmud Yunus dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa bidang, yaitu:
1. Bidang Pendidikan
Pendidikan, bisa dikatakan, merupakan bidang yang digeluti Mahmud
Yunus sepanjang hidupnya. Betapa tidak, profesinya sebagai guru atau
pendidik telah digeluti semenjak dia menjadi pelajar di surau Tanjuh Pauh.
Kemampuannya sebagai guru semakin menonjol sekembalinya dari Mesir ke
Tanah Air. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin
berbagai lembaga pendidikan, yaitu:
a. Al Jami‟ah al Islamiyah Batusangkar pada tahun1931 – 1932
b. Kuliyah Muallimin Islamiyah Normal Islam Padang pada tahun 1932 –
1946
c. Akademi Pamong Praja di Bukittinggi pada tahun 1948 – 1949
d. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta pada tahun 1957 –1980
e. Menjadi Dekan dan Guru Besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 1960 – 1963
f. Rektor IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 1966 – 1971.15
Atas jasa-jasanya di bidang pendidikan ini, maka pada tanggal 15
Oktober 1977, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahi Mahmud
Yunus Doctor Honoris Causa dalam ilmu tarbiyah.
14M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 4 15Asnawan, “Kontribusi Pemikiran Mahmud Yunus dalam Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia”, Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 1 Maret 2011, h. 20
62
Di samping berjasa mendirikan, memimpin, dan mengajar di lembaga-
lembaga-lembaga pendidikan diatas, Mahmud Yunus dikenal pula sebagai
pendiri organisasi Sumatra Thawalib dan penerbit majalah Islam al Basyir
(1920); turut mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI); sebagai
anggota Minangkabau Raad (1938 – 1942) dalam hal ini ia berhasil
memasukkan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah; sebagai
Anggota Komite Nasional Sumatra Barat (1945 – 1946) dan sekaligus menjadi
anggota Pemeriksa Anggota pada jawatan Pengajaran Agama Sumatra Barat.
Selain itu, ia juga sebagai kepala Bagian Islam pada jawatan agama propinsi
Sumatra di Pemantang Siantar pada tahun 1946 – 1949, ia juga ikut
mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi MIT
Sumatra pada tahun 1946; sebagai inspektur Agama pada jawatan P & K
propinsi Sumatra yang berkedudukan di Bukit Tinggi pada tahun 1947 dan
kemudian pernah pula dipercaya sebagai sekretaris menteri Agama PDRI pada
tahun 1949.16
Selain pembaharuan di bidang pendidikan yang bersifat kelembagaan,
Mahmud Yunus adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam yang pertama kali
memelopori adanya kurikulum yang bersifat integrated, yaitu kurikulum yang
memadukan ilmu agama dan ilmu umum di lembaga pendidikan Islam. Dialah
yang pertama kali memasukkan mata pelajaran umum ke dalam madrasah, ia
pula yang pertama kali membuat laboratorium fisika.. Mahmud Yunus juga
16Asnawan, “Kontribusi Pemikiran Mahmud Yunus dalam Pemabaharuan…, h. 21
63
orang yang pertama kali berusaha memasukkan pendidikan agama pada
kurikulum pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan
Nasional. Dialah tokoh yang menekankan pentingnya akhlak yang mulia
melalui lembaga pendidikan.17
Mahmud Yunus adalah peletak dasar pengajaran dalam bahasa Arab.
Ia lebih menekankan pengajaran bahasa Arab karena bahasa ini adalah pintu
masuk untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti al-Qur’an, hadits, dan
kitab-kitab fiqih. Ia merombak pemikiran lama yang lebih menekankan pada
pendalaman kitab-kitab fiqih dengan dituntun oleh guru dari pada memberi
ilmu alat dan selanjutnya para murid akan melaksanakannya. Mahmud Yunus
bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara
mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab.18
Gagasan ini diperoleh
dari pengalamannya selama menempuh pendidikan di Darul Ulum, di mana
bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab, serta kenyataan yang
dihadapi bahwa bahasa pengantar di sekolah-sekolah Belanda menggunakan
bahasa Belanda dan siswa diajak aktif dalam menggunakan bahasa tersebut.
Mahmud Yunus mempunyai perhatian dan komitmen yang tinggi
terhadap upaya membangun, meningkatkan dan pengembangan pendidikan
agama Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang
17Abuddin Natta, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada, 2005), h. 56. 18Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 87
64
diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama
Islam. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara
keseluruhan bersifat strategis dan merupakan perintis, dalam arti belum pernah
dilakukan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya.
2. Bidang Sosial Politik
Dalam bidang sosial politik, Mahmud Yunus merupakan anggota
Syarikat Islam (SI) Cabang Minangkabau. Dia belajar untuk menjadi kritis,
khususnya dalam merespon secara bijak terhadap berbagai regulasi yang
dikeluarkan pemerintahan kolonial dan dianggap merugikan masyarakat
Minangkabau. Mahmud Yunus memilih untuk mengemukakan ide-idenya
melalui tulisan di media massa yang diterbitkan di Minangkabau, yang
mengkaji masalah dan keterbelakangan yang dihadapi oleh masyarakat dan
dan berusaha untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang faktor-faktor
utama yang menjadi penyebabnya.19
Ketokoham Mahmud Yunus juga diakui sebagai seorang pemimpin
dan ahli politik yang dinamis. Beliau turut serta dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1943 beliau
telah dipilih sebagai Penasihat Residen dan mewakili Majlis Islam Tinggi.
19Yeti Rochwulaningsih, “Mahmud Yunus” Islamic Religious Intruction in The Public
School”, Rosnani Hashim (ed), Reclaiming The Conversation Islamic Intellectual Tradition in The
Malay Archipelago, (Kuala Lumpur: The Other Press, 2010), h. 174
65
Pada tahun yang sama juga beliau menjadi anggota Chu Sangi Kai juga
sebagai Penasihat Residen.20
Setelah Indonesia merdeka Mahmud Yunus pernah dipercaya menjalan
tugas kenegaraan, antara lain: 1) Sebagai Anggota Pengurus Komite Nasional
Sumatera Barat; 2) Anggota Komite Nasional Sumatera: 3) Ketua Mahkamah
Syar’iyyah Propinsi Sumatera; 4) Sekretaris Menteri Agama Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI); dan 5) Pimpinan di berbagai jabatan yang
strategis pada Kementerian Agama.21
3. Bidang Tafsir
Pembaruan yang dilakukan Mahmud Yunus dalam bidang tafsir
sangatlah jelas dengan adanya karya monumnetal beliau Tafsir Qur’an Karim
yang merupakan hasil pengkajian selama kurang lebih 53 tahun, yaitu sejak
berusia 20 tahun hingga 73 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama ini,
reaksi keras dan protes terus bermunculan, baik dari kalangan umat Islam
secara umum maupun dari kalangan ulama terkemuka sekalipun. Hal ini
disebabkan kegiatan penfsiran ketika itu dianggap sebagai perbuatan langka
yang diharamkan. Ada dua ulama besar yang masing-masing dari Yogyakarta
dan Jatinegara yang pernah melakukan protes tertulis agar apa yang
diupayakan Mahmud Yunus dihentikan.22
20Khadher Ahmad, dkk, “Ketokohan Mahmud Yunus…, h. 200 21Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 139 22M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 7
66
Penulisan Tafsir Qur’an Karim dimulai pada tahun 1922 dan berhasil
diterbitkan untuk juz pertama, kedua dan ketiga. Pada tahun 1924, Usaha
penulisan untuk sementara waktu berhenti karena penulisnya memutuskan
melanjutkan pendidikan ke al-Azhar, Mesir. Setelah Mahmud Yunus telah
menempuh pendidikan di al-Azhar dan Darr al-Ulum, ia pulang ke Indonesia
dan kembali melanjutkan usahanya untuk menafsirkan al-Quran. Kegiatan
penafsiran tersebut diterbitkan 1 juz tiap 2 bulan. Adapun dalam
menerjemahkan juz 7 sampai juz 18 dibantu oleh AlMarhum H.M.K. Bakry.
Pada bulan april 1938 tammatlah 30 juz.23
4. Bidang Hukum Islam/Fiqih
Ketokohan Mahmud Yunus dalam bidang hukum Islam atau Fiqih
nampak jelas dari berbagai karyanya di bidang tersebut yang hingga kini
menjadi rujukan di berbagai madrasah, pondok pesantren, dan bahkan di
perguruan tinggi. Kelebihan sebagai seorang yang menguasai hukum
Islam/fiqih, Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri Sidang Majlis A’la
Istishariyy Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah pada bulan April 1962 atas
undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di
Jakarta. Beliau aktif mengikuti Mu’tamar Majma’ Buhuts al-Islamiyyah di
Universiti Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali berturut-
turut yaitu pada tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967. Dalam Muktamar tahun
23M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 7
67
1967, Mahmud Yunus menyajikan makalah yang berjudul Al-Israiliyyat fi al-
Tafsir wa al-Hadith yang mendapat sambutan dan perhatian dari peserta.24
Pada tahun 1969 M, Mahmud Yunus kembali diundang untuk
menghadiri Majlis A’la Istishariyy Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah
Munawwarah. Kegiatan Mahmud Yunus di pertemuan internasional itu telah
menjadikannya semakin menonjol sebagai salah seorang tokoh Islam yang
popular di Indonesia karena didukung oleh pengalaman-pengalaman
internasional yang diperolehinya dari kegiatan-kegiatan tersebut.
D. Karya Tulis Mahmud Yunus
Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang penulis yang
produktif. Aktifitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari
aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud Yunus lebih
banyak di kenal lewat karangan-karangan, karena buku-bukunya tersebar di setiap
jenjang pendidikan khususnya di Indonesia.
Buku-buku Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat
kecerdasan. Karangan-karangannya bervariasi mulai dari buku-buku untuk
konsumsi anak-anak dan masayarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga
merupakan literature pada perguruan tinggi. Pada perjalanan hidupnya, ia telah
mengahasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buku. Dari jumlah itu
24Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 140
68
Mahmud Yunus membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian besar dalah
bidang-bidang ilmu agama Islam.
Berikut ini di antara buku-buku karya Mahmud Yunus:25
a. Bidang Pendidikan Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Pendidikan di Negara negara Islam dan Intisari
Pendidikan Barat, Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik: Methodik Khusus
Pendidikan Agama, Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia; Pokok-
pokok Pendidikan dan Pengajaran, dan Al-Tarbiyah wal Ta’lim (Pendidikan
dan Pengajaran).
b. Bidang Bahasa Arab
Pelajaran Bahasa Arab I - IV, Methodik Khusus Bahasa Arab, Kamus Arab
Indonesia, Muthala’ah wa Mahfuzhath, Darus Al-Lughat al-’Arabiyah I-III,
Muhadatsat Al-Arabiyah, dan Al-Mukhtarat Lil Muthala’ah wal Mahfuzhat.
3. Bidang Fiqh (Hukum Islam)
Marilah Sembahyang I – II, Puasa dan Zakat, Haji ke Mekkah, Hukum
Warisan dalam Islam, Hukum Perkawinan dalam Islam 4 Mazhab, Pelajaran
Sembahyang untuk Orang Dewasa, Soal jawab Hukum Islam, Al-Fiqh Al-
Wadhih I – III, Mabadi’ al- Fiqh Al-Tsanawiy, Tarikh Al-Fiqh Al-Islamiy, dan
Al-Masail Al-Fiqhiyah ’ala MadzahibAl-Arab’ah.
25M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 8-10
seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah, atau
paman kandung masih hidup.
m. Anak laki-laki paman kandung terhalang memperoleh harta warisan jika
anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau
seayah, atau paman kandung atau seayah masih hidup.
n. Anak laki-laki paman seayah terhalang memperoleh harta warisan jika
anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau
seayah, atau paman kandung atau seayah masih hidup.
o. Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang memperoleh harta warisan
oleh anak laki-laki, juga jika ada dua orang anak perempuan, jika cucu
perempuan tidak bersaudara laki-laki yang akan menjadikannya ashabah.
79
4. Ashabah (bagian yang tidak ditentukan)
Di antara ahli waris ada yang ditentukan bagian yang diperolehnya dari
harta warisan. Bagian yang telah ditentukan tersebut disebut faridhah. Di
antara ahli waris ada yang tidak ditentukan bagian yang diterimanya dari harta
waris, bahkan mereka mendapat seberapa siswa harta warisan setelah
dibagikan kepada ahli waris yang ditentukan bagiannya, dan jika tidak ada ahli
waris lain selain dirinya maka ia menerima semua harta warisan yang
ditinggalkan mayit. Bagian yang diterima ahli waris tanpa melalui penentuan
yang telah ditetapkan dalam hukum waris Islam disebut ashabah.
Di antara ahli waris tersebut ada yang menjadi ashabah bagi
saudaranya yang perempuan dengan ketentuan pembagian hak laki-laki dua
kali dari hak perempuan, yaitu:
a. Anak laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang perempuan.
b. Cucu laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang perempuan.
c. Saudara kandung laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang
perempuan.
d. Saudara laki-laki seayah menjadi ashabah bagi saudaranya yang
perempuan.
Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah apabila dia mewaris
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan. Saudara perempuan
seayah ashabah apabila dia mewaris bersama dengan anak perempuan atau
cucu perempuan.
80
Adapun yang menjadi ashabah bukan karena tertarik oleh ahli waris
yang lain atau bersamaan dengan ahli waris yang lain, tetapi asalnya memang
sudah menjadi ashabah adalah: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak llaki-
laki dan terus kebawah, ayah, kakek dari pihak ayah dan terus keatas, saudara
laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki
sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman yang sekandung dengan
ayah, paman yang seayah dengan ayah, anak laki-laki paman yang sekandung
dengan ayah, dan anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
Jika tidak ada ashabah sama sekali, maka harta warisan diserahkan
kepada kas negara (bait al-maal). Akan tetapi menurut pendapat sebagian
ulama harta warisan tersebut diberikan kepada zawil arham yaitu kerabat
mayit yang jauh dan bukan ahli waris, seperti kemenakan (anak dari saudara
perempuan, dan sebagainya), dan jika tidak ada barulah diserahkan ke kas
negara (bait al-maal). 5
5. Bagian yang diterima ahli waris
Begitu bagian yang diterima ahli waris:6
a. Anak kandung
1) Anak laki-laki memperoleh semua harta warisan jika tidak ada ahli
waris lain selain dirinya.
5Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 13-14 6Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 14-23
81
2) Anak laki-laki dan anak perempuan, untuk anak laki-laki dua bagian
dari anak perempuan.
3) Satu orang anak perempuan mendapat ½ bagian dari harta waris. Dua
orang anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 jika tidak ada anak laki-
laki yang menjadikannya ashabah.
b. Cucu
1) Cucu laki-laki mendapatkan bagian harta warisan seperti anak kandung
jika anak kandung telah wafat, dan seterusnya ke bawah.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
Mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada anak,serta
tidak ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ashabah.
Mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang atau lebih dan
tidak ada anak, serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya
menjadi ashabah
Mendapat 1/6 bagian apabila mewaris bersama dengan seorang
anak perempuan,yakni untuk menggenapi bagian 2/3 bagian
Tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki
Terhalang oleh anak laki-laki,atau dua anak perempuan atau lebih
c. Suami dan istri
Suami mendapat ¼ bagian apabila bersama-sama anak atau cucu dari
anak laki-laki
82
Suami mendapat ½ bagian apabila tidak ada anak/cucu dari anak laki-
laki
Istri mendapat 1/8 bagian apabila bersama-sama dengan anak atau cucu
dari anak laki-laki
Istri mendapat ¼ bagian apabila tidak ada anak atau cucu dari anak
laki-laki
d. Ibu dan ayah
Ibu nendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu
dari anak laki-laki,atau bersama dengan dua orang saudara atau
lebih,baik saudara kandung,seayah,atau seibu
Ibu mendapat 1/3 bagian apabila tidak ada anak,atau cucu dai anak
laki-laki,atau tidak dua orang saudara atau lebih.
Ibu mendapat 1/3 sisa apabila bersama-sama dengan ayah beserta
suami atau istri.
Ayah mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak laki-laki
atau cucu laki- laki dari anak laki-laki
Ayah mendapat bagian 1/6 dan ashabah apabila bersama-sama dengan
anak peempuan atau cucu perempuan dan anak laki-laki
Ayah menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-
laki
83
e. Saudara kandung atau seayah
Saudara kandung laki-laki menjadi ashabah jika tidak ada anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, dan kakek
Saudara laki-laki dan perempuan menjadi ashabah dengan pembagian
laki-laki mendapat 2 bagian dari perempuan.
Saudara perempuan kandung mendapat ½ bagian apabila hanya
seorang,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yng
menariknya menjadi ashabah.
Saudara perempuan kandung mendapat 2/3 bagian apabila dua orang
atau lebih,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yang
menariknya menjadi ashabah
Saudara perempuan seayah mendapat ½ bagian,apabila hanya seorang,
tidak ada anak, cucu, saudara kandung, ayah,sera tidak ada yang
menariknya menadi ashabah
Saudara perempuan seayah mendapat 2/3 bagian apabila dua orang
atau lebih dengan syarat sebagaimana diatas
f. Saudara seibu
Saudara seibu laki-laki atau perempuan mendapat 1/6 bagian apabila hanya
seorang dan 2/3 jika dua orang atau lebih dengan bagian yang sama
banyak.
84
g. Kakek dan nenek
Bagian kakek sama dengan bagian ayah jika ayah telah meninggal.
Mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah (jika nenek dari pihak ayah) dan
tidak ada ibu (jika nenek dari pihak ibu).
6. Pengahalang menerima harta warisan
Hal-hal yang menghalangi seseorang untuk menerima harta warisan
adalah:
a. Karena berbeda agama antara mayit dengan ahli waris.
b. Karena membunuh, maka anak yang membunuh orang tuanya tidak
mendapatkan harta warisan dari orang tua yang dibunuhnya.
c. Karena hamba sahaya, maka seorang hamba sahaya tidak mewarisi harta
warisan tuannya.
d. Jika anak dan ayah wafat dalam waktu yang bersamaan.7
7. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun,
pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung
dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci
sebelumnya. Orang yang termasuk dzawil arham ialah:8
a. Anak (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.
b. Ayah dan ibu.
7Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 32-33 8Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 65-66
85
c. Ibu dari ayahnya ibu.
d. Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan.
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
f. Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara ibu.
g. Paman (saudara laki-laki dari ayah ) seibu.
h. Saudara perempuan dari ayah.
i. Anak perempuan dari paman.
j. Saudara laki-laki dari ibu.
k. Saudara perempuan dari ibu.
Keseluruhan dari ahli waris dzawil arham ini dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok keturunan, yaitu :
1) Anak (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan dan seterusnya
kebawah.
2) Anak (laki-laki atau perempuan) dari cucu perempuan dan seterusnya
kebawah.
b. Kelompok orang yang menurunkan:
1) Ayah dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan seterusnya ke atas.
2) Ibu dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah ibu dan seterusnya ke atas.
c. Kelompok anak dari keturunan saudara:
1) Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan, baik
sekandung seayah atau seibu, serta keturunannya kebawah.
86
2) Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, seibu atau seayah dan
seterusnya kebawah.
3) Anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki kandung seayah
atau seibu dan seterunya kebawah.
4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya kebawah.
d. Kelompok anak keturunan kakek dan nenek :
1) Paman (saudara laki-laki dari ayah).
2) Saudara perempuan dari ayah baik kandung, seayah atau seibu dan
seterusnya kebawah.
3) Anak perempuan dari paman baik sekandung, seayah atau seibu dan
seterusnya kebawah.
4) Saudara laki-laki dari ibu baik sekandung, seayah ataupun seibu dan
keturunannya kebawah.
5) Saudara perempuan dari ibu baik kandung, seayah atau seibu dan
keturunannya ke bawah.
Disamping memaparkan aspek-aspek dasar dari hukum waris Islam
sebagaimana tersebut di atas, Mahmud Yunus juga memaparkan beberapa hal
mendasar berkaitan dengan penghitungan harta warisan, seperi pembahasan
tentang: asal masalah,9 tashih,
10 ‘aul,
11 dan rad.
12 Dalam karya tersebut juga
9Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 51 10
Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 52 11Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 55 12Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 58
87
dikaji berbagai permasalahn yang muncul dalam pembagian waris seperti masalah
waris bagi bayi dalam kandungan.13
B. Corak Pemikiran Mahmud Yunus dalam Hukum Waris Islam
Berdasarkan analisis terhadap konsep hukum waris Islam yang
dikemukakan Mahmud Yunus dalam karyanya, dapat dijelaskan beberapa corak
atau karakteristik pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum Islam, khususnya yang
berkaitan dengan hukum waris Islam, sebagai berikut:
1. Moderat dan terbuka terhadap perbedaan mazhab.
Dalam menganalisis kajian dan pembahasan berbagai permasalahan
hukum Islam (fiqih), Mahmud Yunus berupaya untuk merujuk dan
mengemukakan pendapat dan pandangan dari berbagai mazhab fiqih yang
popular dalam Islam, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang
dikenal dengan sebutan mazhab empat atau mazhab-mazhab dalam aliran
sunni. Tidak hanya terbatas pada pengungkapan mazhab empat, terkadang
Mahmud Yunus dalam kajian dan analisisnya merujuk dan membandingkan
dengan pendapat dari mazhab lain (non sunni) dan lebih dari itu beliau kerap
mengemukakan pandangan-pandangan ulama kontemporer seperti Syekh
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, al-Syaukani, dan lain
sebagainya.14
13Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 75-76 14Eficandra Masril, et. al., Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus,…, h. 14.
88
Sebagai contoh dalam pembahasan tentang dzawil arham Mahmud
Yunus mengemukakan dua pendapat tentang cara pembagian harta waris
untuk dzawil arham, yaitu:
a. Mazhab Ahl al-Tanzil, yaitu mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Mazhab
ini berpendapat bahwa dzawil arham ditempatkan pada tempat asalnya,
yaitu ahli waris yang digantikannya, contohnya cucu perempuan
ditempatkan pada posisi anak perempuan, karenanya dia mendapatkan ½
seperti bagian yang ditentukan untuk anak perempuan.
b. Mazhab Ahl al-Qirabah, yaitu mazhab Hanafi. Mazhab ini berpendapat
untuk mendahulukan dzahil arham yang terdekat kepada mayit dari pada
yang kurang dekat. Oleh sebab itu didahulukan kelompok (golongan)
pertama dari pada kelompok (golongan) kedua; dan kelompok (golongan)
kedua dari pada kelompok (golongan) ketiga; dan kelompok (golongan)
ketiga dari pada kelompok (golongan) keempat.15
Sehingga jika kelompok
yang terdekat dengan masih ada maka kelompok berikutnya belum berhak
mendapatkan harta warisan. Sebagai contoh: kalau mayit meninggalkan
anak perempuan dari anak perempuan dan anank perempuan dari saudara
perempuan, maka yang berhak mendapatkan harta warisan adalah anak
perempuan dari anak perempuan, sedangkan anak perempuan dari saudara
perempuan tidak mendapatkannya.16
15Lihat halaman 85-87 skripsi ini 16Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 72
89
Berdasarkan uraian contoh di atas, dapat dikatakan bahwa pemikiran
fiqh Mahmud Yunus cenderung bersifat moderat dan terbuka terhadap
perbedaan mazhab serta menunjukkan keluasan ilmunya. Artinya, Mahmud
Yunus memandang perbedan pendapat dan pandangan terhadap suatu masalah
fiqih adalah suatu hal yang lumrah dan biasa saja, sebab semuanya adalah
hasil ijtihad yang kebenarannya bersifat relatif dan termasuk dalam masalah
yang bersifat zanni. Tindakan dan keputusan yang akan diambil diserahkan
sepenuhnya kepada masing-masing individu sesuai dengan kecenderungan dan
keyakinannya. Bagi Mahmaud Yunus tidak boleh ada pemaksaan kepada
orang lain untuk menerima pendapat dan pandangan suatu mazhab tertentu.
Tidak boleh pula seseorang menyalahkan pendapat dan pandangan orang lain
yang berbeda dengannya serta menganggap suatu pendapat dan mazhab
tertentu kolot/tidak moden atau merendahkannya. Namun demikian dalam
kajiannya, Mahmud Yunus tetap juga melakukan analisis-analisis dalam
konteks perbedaan pendapat dan mazhab tersebut dengan mempertimbangkan
situasi dan keadaan sosial masyarakat pada masa itu serta dalam usaha
mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.
Di antara pendapat hukum waris Islam Mahmud Yunus yang
mempertimbangkan situasi dan keadaan sosial masyarakat adalah
pandangannya bahwa harta pusaka dalam tradisi adat Minangkabau bukanlah
bagian dari harta mayit yang dapat diwariskan dalam pembagian waris.
Menimbang bahwa harta pusaka tersebut adalah miliki bersama yang tidak
90
bisa dihibahkan, dijual, ataupun digadaikan kecuali atas kesepakatan semua
ahli waris yang ada. Demikian juga halnya dengan pemberian catatan tentang
pembebasan budak sebagai aktivitas yang tidak ada di Indonesia, menurut
hemat penulis, merupakan sikap adaptatif Mahmud Yunus dalam berpendapat
meskipun tetap menyebutkan pembebasan budak (hamba sahaya) dalam
pendapatnya, seperti mu’tiq sebagai personel yang menerima harwa warisan
dan status hamba sahaya sebagai penghalang mendapatkan harta warisan.
2. Penggunaan qaidah fiqhiyyah
Pemakaian qaidah fiqhiyyah yang relevan dan mu’tabar juga menjadi
perhatian serius bagi Mahmud Yunus dalam usaha memberikan landasan bagi
pemikiran dan perbahasan fiqih yang dikemukakannya. Pemakaian qaidah
fiqhiyyah berfungsi sebagai usaha mengkorelasikan dan mendekatkan hukum
yang sama dalam usaha memudahkan pemahaman fiqih. Pengkorelasian dan
pendekatan hukum yang sama tersebut terhadap perbuatan mukallaf akan
berlaku pada sebahagian besar (aghlabiyyah) terhadap juz’iyyah-nya. Di
samping itu, penggunaan qaidah fiqhiyyah akan dapat juga memperkuat
hukum yang ada serta menjaga perbedaan pendapat dan tindakan yang
berkaitan dengan hukum Islam. Terkadang bisa dipahami juga bahwa
penggunaan qaidah fiqhiyyah akan dapat memberikan kepuasan kepada
91
seseorang yang bertanya ketika membahas dan mengkaji suatu masalah dan
bidang fiqih.17
C. Pembaharuan Pemikiran Mahmud Yunus dalam Hukum Waris Islam
Mahmud Yunus yang merupakan sosok penting bagi pembangunan
dan kebangkitan Islam di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tipologi
gerakan modernis.18 Sebagai modernis Islam, Mahmud Yunus meyakini bahwa
mayoritas masyarakat Indoenesia tidak memahami ajaran Islam yang
sebenarnya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW. Dalam kenyataannya ada kecenderungan pada mereka
untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilat tradisi lokal dan
keyakinan yang dipandang lazim sebelum datangnya ajaran Islam tentang
bid’ah dan khurafat.19
Pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum waris Islam
muncul dalam sebuah seminar di Padang pada tahun 1978 dengan judul
makalah “Harta Tua dan Harta Tinggi Minangkabau”. Buaya Hamka menilai
bahwa gagasan yang dilontarkan Mahmud Yunus dalam seminar itu agar
masyarakat Minagkabau yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi (orang
17Eficandra Masril, et. al., Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus,…, h. 15 18Dalam konteks hukum Islam gerakan modernis dapat diartikan sebagai gerakan yang
menawarkan agar hukum Islam/fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat. Lihat: Taufiq Andan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 107 19Yeti Rochwulaningsih, “Mahmud Yunus” Islamic Religious Intruction…, h. 168
92
kaya) hendaknya memberikan wasiat perihal hartanya untuk menambah harta
pusaka agar tidak habis karena semakin banyaknya anak keturunan mereka.20
Pemikiran Mahmud Yunus dalam seminar itu, merupakan suatu bentuk
pembaharuan (tajdid) dalam pemikiran fiqh/hukum Islam pada saat itu bersifat
moden yang sejalan dengan kemaslahatan dalam Islam. Dengan bertambahnya
anggota keluarga atau kerabat dalam sistem kekerabatan matrilineal di
Minangkabau, maka sangat dibutuhkan harta tua atau harta pusaka tinggi yang
besar untuk menopang kebutuhan anggota keluarga tersebut, sebagaimana tujuan
utama harta pusaka dalam sistem dan struktur adat Minangkabau. Oleh itu,
Mahmud Yunus menganjurkan bagi orang-orang yang memiliki banyak harta
untuk melakukan wasiat dalam rangka menambah dan memperbanyak harta tua
atau harta pusaka tinggi di Minangkabau.
Pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum waris Islam yang penulis
anggap merupakan pemikiran pembaruan dalam bidang tersebut pada masanya
dan bahkan sangat relevan untuk dikaji pada sat ini adalah pendapatnya yang
mensyaratkan bahwa harta yang akan diwariskan oleh mayit kepada ahli warisnya
adalah harta waris yang sepenuhnya miliki mayit diperoleh melalui uasha, hasil
jerih payah bekerja, hasil hibah, sedekah dan lain sebagainya,21
merupakan
pendapat yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak yang terlibat dalam
20Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 138 21Lihat halaman 72 skripsi ini
93
pembagian harta warisan, yaitu investasi asal muasal harta waris adalah unsur
yang pertama harus dilakukan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab I Ketentuan Umum butir d dan e
disebutkan:
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai