Top Banner
PEMIKIRAN MUHAMMAD ‘AJA<J AL-KHATI><B TENTANG HADIS (Studi Kitab Us}u> l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh) Makalah kedua Diajukan Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah HADIS KAWASAN Dosen Pengampu DR. H. Darmawan, M.Ag Oleh M. Syukrillah NIM. F08213256 PROGRAM STUDI ILMU HADIS PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2015 EDISI REVISI
19

Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

May 07, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

1

PEMIKIRAN MUHAMMAD ‘AJA<J AL-KHATI><B

TENTANG HADIS

(Studi Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh)

Makalah kedua

Diajukan Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah

HADIS KAWASAN

Dosen Pengampu

DR. H. Darmawan, M.Ag

Oleh

M. Syukrillah

NIM. F08213256

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN)

SUNAN AMPEL SURABAYA

2015

EDISI REVISI

Page 2: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian hadis memiliki posisi sentral dalam diskursus keilmuan Islam.Oleh

karena itu perhatian serius para ulama telah diberikan pada bidang kajian ini

dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan

mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, dan

mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at.1

Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya

adalah hal yang sangat penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Nawawi

rah}imahullah bahwa: “Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu

yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis

dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqat{i’, mu’d}al,

maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.” Al-Nawawi berargumen

bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’an dan sunah-sunah yang

diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena

sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat

mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunnah yang

menetapkan perincian hukumnya secara tegas dan detail (muh{kama>t). Di samping

itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang

mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama

pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis

hukum. Kenyataan ini—menurut al-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis

adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan

bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut

1 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah

al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984

M),5-6.

Page 3: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

3

menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang

paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 2

Dalam konteks ini, para ulama hadis secara khusus mengambil tanggung

jawab utama dan peran penting dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman

ke zaman. Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi

makna dan kandungan hukum dan hikmahnya.3

Dalam makalah ini akan dibahas tentang konsep pemikiran hadis salah

seorang ilmuwan hadis kontemporer yaitu Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. Dua

karya beliau yaitu Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n dan Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa

Must}ala>huh cukup populer sebagai referensi studi ilmu hadis di berbagai

perguruan tinggi Islam khususnya di Indonesia. Makalah ini akan menampilkan

profil atau biografi pribadi dan latar keilmuan Ajja>j al-Khati>b kemudian

pemikiran hadisnya yang disarikan dari salah satu karya ilmiahnya dalam bidang

ilmu must}alah al-hadi>th yaitu Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu.

B. Rumusan Masalah

1. Siapakah Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b?

2. Apa kontribusi keilmuan Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b dalam Bidang

hadis?

3. Bagaimana pemikiran Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b tentang Hadis dalam

Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu?

C. Tujuan

1. Untuk lebih mengenal tokoh-tokoh ilmuwan hadis kontemporer

khususnya Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b

2. Memahami pemikiran dan metodologi Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b

tentang hadis khususnya dalam kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa

Must}ala>huhu

2Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,

Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), 3-4 3Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-

Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr, Cet.3, 1418 H), 51-80.

Page 4: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

4

BAB II

MENGENAL MUHAMMAD ‘AJJA>J AL-KHATI>B

A. Nama dan Nasabnya.4

Beliau, Muhammad ‘Ajja>j bin Muhammad Tami>m bin S{a>lih bin ‘Abd

Allah al-Hasani> al-Ha>shimi>. Silsilah keturunan (nasab)nya sampai kepada

Rasulullah SAW melalui jalur al-Hasan bin Fa>timah, cucu Rasulullah SAW dan

sampai pula kepada kakek Rasulullah SAW melalui jalur al-Hasan bin ‘Ali> bin

Abi> T{a>lib bin ‘Abd al-Mut{allib al-Ha>shimi>.

Keluarga ‘Ajja>j al-Khati>b berasal dari Hija>z pindah ke daerah Syam dan

kemudian berdiam di Damaskus. Diberikan julukan kelurga Al-khati>b karena

keluarganya banyak yang menjadi ulama yang bertugas sebagai penyampai

khutbah (khati>b) di Masjid Bani Umayyah di Kota Damaskus. Di antara mereka

yang menjadi khatib yang populer di abad 14 Hijriyah adalah Shaikh Abd al-

Qa>dir al-Khati>b, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n, Shaikh Bashi>r, Shaikh Abu al-Farj bin

‘Abd al-Qa>dir dan Shaikh Muhammad Rashi>d Muhammad Ha>shim. Julukan al-

khati>b inilah yang membedakan mereka dengan keturunan al-Hasani> lainnya.

Adapun dari jalur ibunya, ‘Ajja>j al-Khati>b memiliki seorang kakek yang

menjadi salah seorang pejuang kemerdekaan (muja>hidi>n) di akhir abad ke 19 M

yaitu Ahmad al-Ka>shif. Keluarga al-Ka>shif ini adalah keluarga terkenal yang

sebagian tersebar di negeri Syam, sebagian lagi di Mesir.

B. Pertumbuhan dan Pendidikannya5

‘Ajja>j al-Khati>b lahir pada tahun 1350 H atau bertepatan dengan tahun 1932

M di Kota Damaskus Suriah. Bapaknya meninggal saat umurnya tujuh tahun.

4Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. al-Sirah al-dha>tiyah li Fad}i>lah al-Duktu>r Muhammad ‘Ajja>j al-

Khati>b. http://www.naseemalsham.com/ar/Pages.php?page=readTragm&pg_id=7094. Diakses 05

Juni 2015. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b,

http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D8%B9%D8%AC%D8%

A7%D8%AC_%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%B7%D9%8A%D8%A8. Diakses 05 Juni

2015. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>bhttp://shamela.ws/index.php/author/1590. Diakses 05 Juni

2015 5Ibid,.

Page 5: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

5

Beliau bersekolah di salah satu sekolah di Damaskus dan juga menghadiri

berbagai forum kajian keilmuan yang diadakah oleh ulama yang menjadi

familinya di Masjid Bani Umayyah.

‘Ajja>j al-Khati>b melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru yaitu di Da>r al-

Mu’allimi>n al-ibtida>iyyah dan lulus pada tahun 1951/1952 M kemudian praktek

mengajar. Pada tahun 1952 sampai 1959, beliau menjadi guru di sekolah

menengah Kota Damaskus. Setelah itu melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah

Universitas Damaskus dan mendpatkan gelar sarjana syari’ah pada tahun

1958/1959. Kemudian beliau mengajar studi Islam dan Bahasa Arab di sekolah

menengah atas di Propinsi al-Jaula>n.

Pada tahun 1960 M, ‘Ajja>j al-Khati>b diutus oleh Departemen Pendidikan

(wiza>rah tarbiyyah) mengikuti program beasiswa pascasarjana di Kuliyyah Da>r

al-‘Ulu>m Universitas Kairo. Setelah meraih gelar magister dengan predikat cum

laude (imtiya>z) pada tahun 1962 M, ‘Ajja>j al-Khati>b melanjutkan studinya ke

program doktoral studi Islam dengan konsentrasi ilmu hadis hingga selesai pada

penghujung tahun 1960 dengan predikat martabah al-sharf al-u>la>.

‘Ajja>j al-Khati>b kembali ke negerinya pada permulaan tahun 1966 saat

ditunjuk sebagai dosen di program studi ilmu al-Quran dan sunnah pada Fakultas

Syari’ah Universitas Damaskus. Tugas ini diembannya hingga tahun 1969 M

karena ‘Ajja>j al-Khati>b kemudian “dipinjam” oleh Fakultas Syari’ah di Riyad

Arab Saudi untuk menjadi dosen di sana dari tahun 1970 hingga 1973. Setelah

kembali ke kampus asalnya, ‘Ajja>j al-Khati>b menjadi dosen di Fakultas syari’ah,

tarbiyah, dan adab Universitas Damaskus sampai akhir tahun 1980 M. ‘Ajja>j al-

Khati>b pernah menjadi professor tamu di Universitas Ummul Quro Makkah al-

Mukarramah selama satu semester di tahun akademik 1979. Juga atas undangan

dari Fad}i>lah al-Shaikh ‘Abd al-‘Azi>z bin Ba>z rahimahullah, ‘Ajja>j al-Khati>b

menjadi anggota lajnah al-tau’iyah al-Isla>miyah pada musim haji 1399 H/1979

M. Pada tahun akademik 1980 M/1981 M, ‘Ajja>j al-Khati>b “dipinjam tugas”kan

di Universitas Uni Emirat Arab dan menjadi guru besar al-hadi>th wa ‘ulu>muhu

Page 6: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

6

(ilmu-ilmu hadis) dan mengajar di program pascasarjananya hingga 31 Agustus

1997 M.

‘Ajja>j al-Khati>b kemudian pindah tugas di Universitas al-Sha>riqah

sebagai dekan fakultas syari’ah dan studi Islam dari 1 September 1997 hingga 25

Januari 2000 dan menjadi guru besar di sana pada bidang studi Islam sampai 31

Agustus 2002 M. Kemudian menjadi guru besar di Universitas ‘Ujma>n sampai 31

Agustus 2003 saat umur pensiunnya. ‘Ajja>j al-Khati>b akhirnya kembali ke

Damaskus.

C. Guru-gurunya6

Sejak usia mudanya, ‘Ajja>j al-Khati>b belajar kepada para ulama senior

Kota Damaskus, di antaranya Shaikh Ha>shim al-Khatib, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n

al-Khati>b, Shaikh ‘Abd al-Wahha>b al-Ha>fiz}, Shaikh Sa’i>d al-Burha>ni>, Shaikh

Rafi>q al-Siba>’i>, Shaikh DR. Muhammad Ami>n al-Mis}ri>, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n

al-Ba>ni> yang saat itu menjadi guru pendidikan Agama Islam dan metode

mengajar di Da>r al-Mu’allimi>n, dan lain-lain.

Pada level perguruan tinggi, saat kuliah di Universitas Damaskus, ‘Ajja>j

al-Khati>b mempelajari ilmu-ilmu keislaman kepada Prof. DR. Must{afa> al-Siba>’i>,

Prof. DR. Must{afa> al-Zarqa>, Prof. DR. Ma’ru>f al-Dawa>li>bi>, Shaikh al-‘Allamah

Bahjat al-Bait}a>r, Prof. DR. Sa’a>d Jala>l, Prof. Mus}tafa> Khan, al-Qa>d}i> al-Shaikh

‘Ali> al-T{ant{a>wi>, Prof, DR. Muhammad Fawzi> Faid} Allah, dan lain-lain.

D. Karya-karya ilmiahnya7

1. Zaid bin Tha>bit (Damaskus: 1379 H/1959 M)

2. Abu Hurairah Riwa>yah al-Isla>m (Kairo: 1382 H/1963 M)

3. Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Kairo: 1383 H/1963 M)

4. Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (Damaskus: cet ke.2 tahun 1417

H/1997 M)

5. Qabasa>t min Hady al-Nubuwwah (Damaskus: 1387 H/1967 M)

6Ibid,.

7Ibid,.

Page 7: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

7

6. Lamaha>t fi al-maktabah wa al-Baht wa al-Mas}a>dir (Riyad: 1389 H/1969

M)

7. Al-Muhaddith al-Fa>s}il bain al-Ra>wi> wa al-Wa>’i> karya al-Ra>mahurmuzi>

(studi manuskrip atas empat naskah, tahun 1391 H/1971 M)

8. Al-Waji>z fi ‘Ulu>m al-Hadi>th wa Nus}u>sih (Universitas Damaskus)

9. Al-Sunnah Hujjiyatuha> wa Maka>natuha> min al-Tashri>’ wa al-Quran al-

Kari>m wa Daf’u Ba’d} al-Shubha>t ‘anha> (2009)

10. Dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 20 buku (kita>b)

Demikian pula terdapat sejumlah artikel dan makalah ilmiah yang ditulis

oleh ‘Ajja>j al-Khati>b untuk majalah, jurnal ilmiyah, seminar dan lain-lain. Di

antara contonya adalah Ibn Shiha>b al-Zuhri> wa al-Mushtasriqu>n (Majalah Mana>r

al-Isla>m Departemen Waqaf tahun 1983 M), al-Tarbiyyah bi al-Qudwah wa

Dawruha> fi al-Tamki>n al-Usari> (Seminar Pengokohan keluarga yang diadakan

oleh Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus pada 12-13 Juli 2008).

Page 8: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

8

BAB III

PEMIKIRAN HADIS MUHAMMAD ‘AJJA>J AL-KHATI>B

DALAM KITAB US}U>L AL-HADI>TH; ‘ULU>MUH WA MUST}ALA>HUH

A. Definisi Sunnah Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, secara generik kata “sunnah “ dalam syariat

merujuk kepada apa saja yang diperintahkan dan dilarang serta dianjurkan oleh

Rasul SAW baik berupa perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu, dalam

pembahasan tentang dalil-dalil (adillah) syari’at, istilah “al-kitab dan sunnah”

maksudnya adalah “al-Quran dan al-Hadi>th”. Akan tetapi, makna secara

terminologis dari sunnah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ulama

bergantung konteks spesialisasi bidang keilmuan mereka dan orientasinya

masing-masing. Menurut ulama usul fiqh (al-us}u>liyyun).8

Dalam perspektif ulama hadis yang memposisikan Rasulullah SAW

sebagai pemimpin yang diikuti dan ditaati (al-ima>m), pemberi petunjuk (al-ha>di>)

dan pemberi nasehat (al-na>s}ih), maka segala sesuatu yang bersumber dari Beliau

adalah teladan (qudwah) dan contoh terbaik (uswah). Dengan demikian, para

ulama hadis meriwayatkan semua hal yang terkait dengan Rasulullah baik berupa

sejarah hidup dan perjuangannya (sirah), keadaan fisik dan penampilannya

(khuluq), keistimewaan pribadinya, baik dalam bentuk informasi, perkataan dan

perbuatan, baik yang mengandung konsekwensi hukum (hukman syar’iyyan) atau

tidak. 9

Adapun ulama ushul fikih mengkaji tentang Rasulullah SAW dari aspek

kedudukannya sebagai pembuat syariat (musharri’) yang akan menjadi aturan

kehidupan manusia dan peletak kaidah-kaidah bagi para mujtahid di kalangan

generasi selanjutnya. Oleh karena itu mereka berkonsentrasi pada perbuatan,

perkataan, dan taqri>r Rasulullah yang dapat dijadikan landasan penetapan hukum.

Sementara itu, dalam perspektif ulama fikih, sunnah adalah informasi dari

8Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (t.tp: Da>r al-Fikr, cet. 2,

1391 H), 18 9Ibid.,

Page 9: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

9

Rasulullah yang menunjukkan suatu hukum syari’at tertentu. Hal ini karena

lingkup kajian mereka tentang hukum syariat dalam perbuatan manusia, baik

berupa hal yang diwajibkan, diharamkan, dibolehkan, dan lain-lain.10

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, cakupan definisi sunnah yang paling luas

adalah dalam perspektif ahli hadis. Hal ini karena mereka memaksudkan sunnah

dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik perktaan, perbuatan,

persetujuan (taqri>r) dan sejarahnya (sirah) baik itu terjadi pada masa sebelum

Nabi SAW diutus (qabl al-bi’thah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’thah), baik itu

memiliki nilai bagi penetapan hukum syar’i atau tidak.11

Sebagaimana pendapat

ahli hadis, ‘Ajja>j al-Khati>b berpendapat bahwa definisi sunnah sinonim dengan

al-hadi>th. Inilah yang digunakan oleh ‘Ajja>j al-Khati>b dalam Kitab Us}ul al-

Hadi>th. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama hadis walaupun ada yang

membedakannya dengan menyatakan bahwa sunnah adalah apa saja yang

diriwayatkan dari Rasul SAW, sementara sunnah adalah bentuk perbuatan yang

teriwayatkan (al-‘amal al ma’thu>r) di masa awal Islam.12

Pendapat ‘Ajja>j al-Khati>b di atas sejalan dengan pendapat ulama lain

seperti Nu>r al-di>n ‘Itr yang menetapkan bahwa definisi yang luas menurut ahli

hadis adalah definisi yang paling tepat.13

Demikian pula pendapat Abu Shuhbah

dengan berargumen bahwa bukti dan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada

yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu>’ kepada Nabi, namun

juga hadis yang mauqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (atha>r dari tabi’i>n).14

Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis

seperti al-muwa>t}a’, al-ja>mi’ al-s}ahi>h, dan al-sunan terkandung di dalamnya hadis

nabawi, perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabi’in.

10

Ibid., 18 11

Ibid., 19 12

Ibid., 25 13

Nur al-din ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

H/1997 M), 26 14

Muhammad Abu Syuhbah, Al-WasithAbu Shuhbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403

H/1983 M), 16

Page 10: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

10

Namun demikian, ‘Ajja>j al-Khati>b juga menyebutkan bahwa sebagian

ulama terkadang memasukkan perbuatan (‘amal) sahabat Rasul SAW sebagai

sunnah, baik itu mencakup perbuatan sahabat yang terdapat rujukannya dari al-

Quran atau riwayat hadis dari Nabi atau tidak ada. Hal ini berdasar indikasi

adanya ketetapan bahwa para sahabat adalah orang-orang yang selalu berusaha

mengikuti (ittiba’) sunnah Nabi dalam amalnya atau karena indikasi bahwa

ijtihad atas amal tersebut telah disepakati oleh sebagian mereka.15

B. Posisi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muhammad ‘Aja>j al-Khati>b

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, hadis atau sunnah berfungsi untuk penjelasan

hukum syari’at dan perincian hal yang terdapat dalam Al-Quran sekaligus

penerapannya. Hadis Nabi atau sunnah dalam hal ini merupakan wahyu dari

Allah SWT atau dari ijtihad Rasul. Ijtihad Rasul dalam bimbingan Allah. Al-

Quran adalah wahyu yang dibaca (al-wahyu al-matluw) dan bernilai ibadah

membacanya, sementara sunnah adalah al-wahyu al-matluw.16 Dengan demikian,

Al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber (mas}dar) penetapan syari’at

yang saling berkaitan erat. Tidak mungkin seorang muslim memahami syari’at

tanpa merujuk kepada keduanya secara bersama.17

Di antara landasan argumen kehujahan sunnah adalah;18

1. Iman. Di antara konsekswensi keimanan kepada risalah kerasulan Nabi

Muhammad SAW adalah kewajiban untuk menerima apa saja dari urusan

agama yang bersumber dari Nabi SAW.

2. Al-Quran. Di dalam Al-Quran banyak sekali terdapat ayat-ayat yang

memerintahkan untuk taat kepada Rasulullah SAW, di antaranya QS. Al-

Nisa’ : 59, Al-Maidah: 92, Al-Nisa’ : 80, Al-Fath: 10, Al-Hasyr: 7, dll.

3. Dalil-dalil dari hadis sendiri.

4. Adanya ijma’.

15

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th, 21 16

Ibid., 34 17

Ibid., 35 18

Ibid., 36-38

Page 11: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

11

Menurut Ajja>j, dalam konteks hubungannya dengan Al-Quran, maka

sunnah memiliki tiga aspek fungsi, yaitu sebagai;19

1. Memperkuat penjelasan Al-Quran (mu’akkidan mu’ayyidan). Hal

ini jika petunjuk hadis sesuai dengan Al-Quran seperti perintah

untuk melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, larangan riba,

dan lain-lain.

2. Menjelaskan (mubayyan) dan merinci (mufassar) petunjuk yang

bersifat global (mujma>l) dalam Al-Quran. Seperti hadis

menjelaskan dan merinci tata cara sholat dari aspek waktu, jumlah

rakaat, syarat, rukun, dan lain-lain.

3. Hal yang disunnahkan oleh Nabi yang tidak disebutkan secara

tekstual dalam Al-Quran seperti haramnya makan daging keledai

jinak.

C. Hadis Sahih Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b

Menurut Ibn S{alah, hadis sahih adalah hadis yang bersanad dengan

tersambung sanadnya dengan periwayatan dari perawi yang adil dan d}a>bit dari

perawi yang ‘adil dan d}a>bit hingga akhir sanad serta terbebas dari shadh dan illat.

Sementara menurut al-Nawawi>, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya

bersambung oleh para perawi yang ‘adil dan d}a>bit} tanpa sha>dh dan ‘illat.

Merujuk kepada definisi hadis sahih menurut Ibn S}alah dan al-Nawawi>, ‘Ajja>j al-

Khati>b menyimpulkan ada lima syarat suatu hadis dinilai sebagai hadis sahih.

Syarat tersebut adalah;20

1. It}t}is}al sanad. Dengan demikian hadis munqat}i’, mu’d}al, mu’allaq,

mudallas, dan lain-lain tidak memenuhi syarat it}t}is}al ini.

2. Para perawi harus ‘adil yaitu istiqomah dalam beragama dan tidak fasik,

memiliki akhlak yang baik dan tidak cacat moral (muru>’ah).

19

Ibid., 50 20

Ibid., 304

Page 12: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

12

3. Para perawinya d}a>bit} yaitu kecermatan dan ketelitian dalam proses

mengambil riwayat hadis (tahammul), menyimpan (hifz}) dan

menyampaikannya (ada>’)

4. Riwayatnya tidak mengandung unsur shadh yaitu tidak menyelisihi

riwayat lain yang lebih kuat.

5. Bebas dari cacat atau penyakit tersembunyi yang merusak validitas hadis

(‘illat) seperti kasus irsa>l pada hadis maus}u>l, menyambungkan sanad

sampai Nabi padahal terputus (munqat}i’), dll.

Dengan demikian, pemikiran hadis ‘Ajja>j al-Khati>b tentang kosep hadis

sahih ini sama persis dengan pendapat ulama hadis pada umumnya.

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, hadis sahih juga berbeda-beda tingkatan

kualitasnya. Secara umum dibagi menjadi dua kategori yaitu hadis sahih li

dha>tihi dan hadis sahih li ghairihi>. Hadis sahih li dha>tihi merupakan hadis yang

paling tinggi tingkatan keterpenuhan syarat sahihnya. Sementara hadis sahih li

ghairihi> adalah hadis yang berstatus hasan yang memiliki sejumlah jalur riwayat

penguat sehingga naik tingkatannya ke level sahih.21

D. Hadis Hasan Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, orang pertama yang membagi klasifikasi

kualitas hadis menjadi tiga macam yaitu sahih, hasan dan d}a’i>f adalah al-Ima>m

Abu ‘I<sa> al-Tirmidhi>.22

Adapun definisi terpilih untuk hadis hasan menurut ‘Ajja>j al-Khati>b

sebagai berikut:

ف ضبطه من غي شذوذ وال علة احلسن ما اتصل سنده بعدل خ

Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tersambung dengan kualitas

perawi yang ‘adil dan kurang d{abt-nya tanpa adanya shudhu>dh dan ‘illah.

21

Ibid, 306 22

Ibid, 331

Page 13: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

13

Dengan demikian, menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, perbedaan antara hadis sahih

dan hasan adalah adanya persyaratan sifat d}abt} yang sempurna pada hadis sahih,

adapun hadis hasan hanya mensyaratkan adanya sifat d}abt{ minimal (as}l al-

d}abt}).23

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan ini dikelompokkan dalam dua

tingkat kualitas yaitu hasan li dha>tihi dan hasan li ghairihi>.Hasan li ghairihi

adalah hadis yang asalnya berkualitas d}a’i>f ringan yang kemudian naik statusnya

menjadi hasan karena adanya penguat validitasnya (al-‘a>d}id).24

E. Hadis D}a’i>f dan hukum mengamalkannya Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b

‘Ajja>j al-Khati>b mendefinisikan hadis d}a’i>f sebagai hadis yang tidak

memenuhi syarat-syarat diterimanya hadis (s}ifa>t al-qabu>l) dan mayoritas ulama

hadis mendefinisikan dengan semua hadis yang tidak memenuhi syarat hadis

sahih dan hasan. Sebab kelemahan hadis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu

pertama, disebabkan karena masalah tidak bersambungnya sanad (‘adam it}t}is}a>l

sanad ) seperti hadis mursal, munqati>’, mu’d}al, mudallas, mua’allal. Kedua,

disebabkan hal lain selain tidak bersambungnya sanad, seperti mud}a’af,

mud{tarib, maqlu>b, sha>dh, munkar, matru>k – mat}ru>h}.

Terkait hukum mengamalkan hadis d}a’i>f, ‘Ajja>j al-Khati>b menyebutkan

adanya perbedaan pendapat para ulama yang dikelompokkan dalam tiga mazhab,

yaitu:25

a. Mazhab pertama, tidak boleh beramal sama sekali (mutlak) dengan hadis

d}a’i>f baik dalam masalah keutamaan amal,maupun hukum. Ibn Sayyid al-

Na>s meriwayatkan dari pendapat Yahya bin Ma’in, juga pendapat

tersebut adalah pendapat Abu bakar Ibn al-‘Arabi>, dan yang eksplisit dari

mazhab al-Bukhari dan Muslim dari syarat hadis menurut mereka, serta

juga menjadi mazhab Ibn Hazm.

23

Ibid, 332 24

Ibid, 333 25

Ibid, 351

Page 14: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

14

b. Mazhab kedua, boleh beramal secara mutlak dengan hadis d}a’i>f. pendapat

ini dikaitkan dengan Abu Dawud dan Imam Ahmad.

c. Mazhab ketiga, hanya boleh digunakan pada masalah keutamaan amal

dan nasehat apabila memenuis sejumlah persyaratan. Ibn Hajar menyebut

syarat-syarat tersebut antara lain;

1) Kelemahan (sifat d}a’i>f) nya tidak terlalu berat sehingga hadis

yang diriwayatkan secara sendirian oleh perawi pendusta atau

tertuduh berdusta atau yang sangat sering keliru tidak

termasuk dalam hal ini.

2) Memiliki acuan hadis sahih yang dijadikan landasan amal.

3) Saat mengamalkannya tidak diyakini kebenarannya sebagai

hadis yang betul-betul (tha>bit) bersumber dari Nabi, namun

penggunaannya hanya sekedar sebagai sikap kehatian (ihtiya>t}).

Terhadap ketiga mazhab ini, ‘Ajja>j al-Khati>b berpendapat bahwa mazbab

yang pertama lebih selamat (aslam al-madha>hib). Hadis-hadis tentang keutamaan

amal (fad{a>il), motivasi dan peringatan amal (al-targhi>b wa al-tarhi>b) yang sahih

dari Nabi SAW masih cukup banyak dan melimpah, sehingga tidak dibuthkan

perdalil dengan hadis-hadis lemah dalam hal tersebut. Apalagi, masalah al-fad}a>il

dan akhlak mulia merupakan salah satu hal penting dalam Islam dan tidak perlu

dibedakan dengan masalah hukum dalam penetapannya dengan hadis-hadis sahih

atau hasan.26

Sementara itu, dalam tata cara periwayatannya, hadis d}a’if diperlakukan

secara berbeda dengan hadis sahih dan hasan. Bila hadis d}a’i>f diriwayatkan

dengan tanpa sanad maka tidak boleh menggunakan bentuk ungkapan yang

menunjukkan kepastian (sighat jazm) seperti qa>la Rasulullah SAW, tetapi

digunakan ungkapan yang mengindikasikan adanya keraguan validitasnya

(sighat tamri>d}) seperti ruwiya, ja>’a, nuqila, fi>ma> yarwi>. Adapun apabila

meriwayatkan hadis d}a’i>f yang lengkap dengan sanadnya maka tidak apa-apa

26

Ibid, 352

Page 15: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

15

menggunakan sighat jazmkalau periwayatannya untuk keperluan ulama. Namun

bila untuk keperluan orang awam, maka menggunakan sighat tamri>d}.27

F. Hadis Palsu dan Hukum Meriwayatkannya Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b

Ajja>j al-Khati>b mendefinisikan hadis palsu sebagai berikut;

اختالقا و كذبا ما مل يقلع أو ي فعله ما نسب إل الرسول صلى اهلل عليه وسلم أو يقره

Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta

tentang sesuatu yang tidak dikatakan, dilakukan atau ditetapkan oleh

Beliau SAW.

Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, pemalsuan hadis belum muncul pada masa Nabi

dan Para Sahabat.Setelah bertambah luasnya fitnah perpecahan umat Islam,

khususnya di masa tabi’in muncul keberanian untuk memalsukan hadis sebagai

alat legitimasi pendapat.Walaupun demikian, di era tabi’in, pemalsuan hadis

masih relatif sedikit dibandingkan era sesudahnya. Hal tersebut karena masih

banyaknya sahabat dan tabi’in yang terlibat dalam pewarisan dan penjagaan

sunnah dengan menjelaskan riwayat yang bermasalah (al-saqi>m) dari riwayat

yang sahih, masih dekatnya masa itu dengan masa Rasulullah dan serta masih

kuatnya sifat takwa dan sikap wara’ serta takut dosa (khashyah).

Sebab-sebab munculnya pemalsuan hadis tersebut antara lain: munculnya

kelompok-kelompok politik (ahzab siyasiyah) seperti kelompok Syi’ah dan

Khawa>rij, perbuatan musuh Islam, persaingan dan fanatisme ras, suku,

kebangsaan dan pemimpin, tukang cerita (al-qas}s}a>su>n), dorongan memberikan

motivasi beramal kebaikan oleh orang yang bodoh tentang ilmu agama,

perselisihan mazhab fikih dan teologi, cara untuk mencari kedekatan dengan

penguasa untuk mendapatkan kedudukan, dan lain-lain.28

Adapun hukum membuat hadis palsu, ‘Ajja>j al-Khati>b menyebutkan

adanya kesepakatan (ijma>’) kaum muslimin bahwa perbuatan memalsukan hadis

27

Ibid, 354 28

Ibid., 417-427

Page 16: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

16

adalah haram secara mutlak.Yang menyelesihi kesepakatan ini hanya kelompok

karamiyah.Demikian pula, ulama bersepakat tentang haramnya meriwayatkan

hadis palsu tanpa penjelasan kepalsuan dan kebatilannya. Hal ini berlaku untuk

semua jenis hadis palsu baik yang berbicara tentang hukum, fad}a>’il al-‘amal,

targhi>b wa tarhi>b, kisah cerita, dan lain-lain.29

29

Ibid., 428

Page 17: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

17

BAB III

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN HADIS ‘AJJA>J AL-KHATI>B

Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib yang dituangkan dalam

kitabnya Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu dapat dikritisi dalam

beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib lebih bersifat kompilasi

dengan mengumpulkan pendapat-pendapat ulama hadis dan menyusunnya

secara sistematis dan ringkas serta menyaring hal-hal penting dalam studi

must}alah al-hadi>th. Ada 180 referensi kitab hadis yang menjadi rujukan

Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib dalam penyusunan kitabnya tersebut.

2. Dalam Kitab tersebut, Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib masih belum banyak

pengembangan yang cukup signifikan. Namun, upaya pendalaman, kritik

dan seleksi pendapat (tarji>h) terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf) di

antara ulama hadis telah dilakukan oleh beliau. Seperti ketika Muhammad

‘Ajja>j al-Khatib membahas tentang hukum beramal dengan hadis d}a’i>f

sebagaimana telah dibahas di atas. Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-

Khatib mengikuti mazhab ahli hadis, bukan ahli fikih atau ahli us}ul. Hal

ini antara lain terbaca dalam tarji>h-nya atas pendapat ulama hadis dalam

perbedaan menentukan definisi hadis atau sunnah.30

3. Pembahasan tentang sejarah kodifikasi dan penyusunan kitab hadis lebih

banyak berkaitan dengan sejarah pada Abad pertama hingga ketiga.

Sementara keadaan hadis pada periode berikutnya tidak dibahas oleh

Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib dalam kitabnya tersebut. Hal ini bisa

dipahami karena banyaknya kritikan terhadap sejarah penulisan hadis

pada masa awal Islam baik dari orientalis maupun oleh kalangan internal

umat Islam sendiri seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dari

kalangan Sunni31

dan Sayyid Hasan al-S{adr dari kalangan Syi’ah.32

30

Lihat hal. 7-8 dalam Makalah ini. 31

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th, 207-208 32

Ibid., 209-215

Page 18: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

18

BAB IV

KESIMPULAN

1. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b adalah seorang ulama hadis kontemporer yang

mendalami studi hadis melalui instusi pendidikan formal. Beliau

mengambil spesifikasi keilmuan hadis dengan mengikuti program magister

dan doktoral ilmu hadis kemudian mengabdikan ilmunya dengan menjadi

dosen hingga mendapatkan gelar guru besar di bidang ilmu hadis.

2. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b cukup besar kontribusinya bagi perkembangan

keilmuan hadis kontemporer. Beliau cukup produktif dalam melakukan

penelitian dan menyusun karya tulis di bidang hadis. Di antara karya

tulisnya yang cukup terkenal adalah Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n dan Us}u>l

al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh.

3. Pemikiran Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b tentang hadis dalam kitabnya Us}u>l

al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh mengikuti manhaj ulama hadis pada

umumnya dalam kitab-kitab must}alah al-hadi>th. Beliau mengkompilasi

pendapat ulama dan menyeleksi pendapat yang terpilih (tarji>h) jika

terdapat perbedaan pendapat ulama tentang tema tertentu dalam ilmu

hadis.

Page 19: Pemikiran Hadis Ajjaz al-Khatib

19

DAFTAR PUSTAKA

Buku (Kitab)

Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet.

1, 1347 H/1929 M)

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (t.tp: Da>r

al-Fikr, cet. 2, 1391 H), 18

Muhammad Abu Shuhbah, Al-Wasith Abu Shuhbah, Muhammad bin

Muhammad. Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam

al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403 H/1983 M)

Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh:

Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-

Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M)

Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr,

Cet.3, 1418 H)

Referensi internet

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. al-Sirah al-dha>tiyah li Fad}i>lah al-Duktu>r Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. http://www.naseemalsham.com/ar/Pages.php?page=readTragm&pg_id=709

4. Diakses 05 Juni 2015.

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b,

http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D8

%B9%D8%AC%D8%A7%D8%AC_%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%

B7%D9%8A%D8%A8. Diakses 05 Juni 2015.

Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>bhttp://shamela.ws/index.php/author/1590.

Diakses 05 Juni 2015