Page 1
1
PEMIKIRAN MUHAMMAD ‘AJA<J AL-KHATI><B
TENTANG HADIS
(Studi Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh)
Makalah kedua
Diajukan Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah
HADIS KAWASAN
Dosen Pengampu
DR. H. Darmawan, M.Ag
Oleh
M. Syukrillah
NIM. F08213256
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN AMPEL SURABAYA
2015
EDISI REVISI
Page 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian hadis memiliki posisi sentral dalam diskursus keilmuan Islam.Oleh
karena itu perhatian serius para ulama telah diberikan pada bidang kajian ini
dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan
mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, dan
mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at.1
Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya
adalah hal yang sangat penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Nawawi
rah}imahullah bahwa: “Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu
yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis
dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqat{i’, mu’d}al,
maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.” Al-Nawawi berargumen
bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’an dan sunah-sunah yang
diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena
sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat
mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunnah yang
menetapkan perincian hukumnya secara tegas dan detail (muh{kama>t). Di samping
itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang
mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama
pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis
hukum. Kenyataan ini—menurut al-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis
adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan
bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut
1 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah
al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984
M),5-6.
Page 3
3
menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang
paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 2
Dalam konteks ini, para ulama hadis secara khusus mengambil tanggung
jawab utama dan peran penting dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman
ke zaman. Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi
makna dan kandungan hukum dan hikmahnya.3
Dalam makalah ini akan dibahas tentang konsep pemikiran hadis salah
seorang ilmuwan hadis kontemporer yaitu Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. Dua
karya beliau yaitu Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n dan Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa
Must}ala>huh cukup populer sebagai referensi studi ilmu hadis di berbagai
perguruan tinggi Islam khususnya di Indonesia. Makalah ini akan menampilkan
profil atau biografi pribadi dan latar keilmuan Ajja>j al-Khati>b kemudian
pemikiran hadisnya yang disarikan dari salah satu karya ilmiahnya dalam bidang
ilmu must}alah al-hadi>th yaitu Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b?
2. Apa kontribusi keilmuan Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b dalam Bidang
hadis?
3. Bagaimana pemikiran Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b tentang Hadis dalam
Kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu?
C. Tujuan
1. Untuk lebih mengenal tokoh-tokoh ilmuwan hadis kontemporer
khususnya Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b
2. Memahami pemikiran dan metodologi Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b
tentang hadis khususnya dalam kitab Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa
Must}ala>huhu
2Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,
Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), 3-4 3Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-
Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr, Cet.3, 1418 H), 51-80.
Page 4
4
BAB II
MENGENAL MUHAMMAD ‘AJJA>J AL-KHATI>B
A. Nama dan Nasabnya.4
Beliau, Muhammad ‘Ajja>j bin Muhammad Tami>m bin S{a>lih bin ‘Abd
Allah al-Hasani> al-Ha>shimi>. Silsilah keturunan (nasab)nya sampai kepada
Rasulullah SAW melalui jalur al-Hasan bin Fa>timah, cucu Rasulullah SAW dan
sampai pula kepada kakek Rasulullah SAW melalui jalur al-Hasan bin ‘Ali> bin
Abi> T{a>lib bin ‘Abd al-Mut{allib al-Ha>shimi>.
Keluarga ‘Ajja>j al-Khati>b berasal dari Hija>z pindah ke daerah Syam dan
kemudian berdiam di Damaskus. Diberikan julukan kelurga Al-khati>b karena
keluarganya banyak yang menjadi ulama yang bertugas sebagai penyampai
khutbah (khati>b) di Masjid Bani Umayyah di Kota Damaskus. Di antara mereka
yang menjadi khatib yang populer di abad 14 Hijriyah adalah Shaikh Abd al-
Qa>dir al-Khati>b, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n, Shaikh Bashi>r, Shaikh Abu al-Farj bin
‘Abd al-Qa>dir dan Shaikh Muhammad Rashi>d Muhammad Ha>shim. Julukan al-
khati>b inilah yang membedakan mereka dengan keturunan al-Hasani> lainnya.
Adapun dari jalur ibunya, ‘Ajja>j al-Khati>b memiliki seorang kakek yang
menjadi salah seorang pejuang kemerdekaan (muja>hidi>n) di akhir abad ke 19 M
yaitu Ahmad al-Ka>shif. Keluarga al-Ka>shif ini adalah keluarga terkenal yang
sebagian tersebar di negeri Syam, sebagian lagi di Mesir.
B. Pertumbuhan dan Pendidikannya5
‘Ajja>j al-Khati>b lahir pada tahun 1350 H atau bertepatan dengan tahun 1932
M di Kota Damaskus Suriah. Bapaknya meninggal saat umurnya tujuh tahun.
4Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. al-Sirah al-dha>tiyah li Fad}i>lah al-Duktu>r Muhammad ‘Ajja>j al-
Khati>b. http://www.naseemalsham.com/ar/Pages.php?page=readTragm&pg_id=7094. Diakses 05
Juni 2015. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b,
http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D8%B9%D8%AC%D8%
A7%D8%AC_%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%B7%D9%8A%D8%A8. Diakses 05 Juni
2015. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>bhttp://shamela.ws/index.php/author/1590. Diakses 05 Juni
2015 5Ibid,.
Page 5
5
Beliau bersekolah di salah satu sekolah di Damaskus dan juga menghadiri
berbagai forum kajian keilmuan yang diadakah oleh ulama yang menjadi
familinya di Masjid Bani Umayyah.
‘Ajja>j al-Khati>b melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru yaitu di Da>r al-
Mu’allimi>n al-ibtida>iyyah dan lulus pada tahun 1951/1952 M kemudian praktek
mengajar. Pada tahun 1952 sampai 1959, beliau menjadi guru di sekolah
menengah Kota Damaskus. Setelah itu melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah
Universitas Damaskus dan mendpatkan gelar sarjana syari’ah pada tahun
1958/1959. Kemudian beliau mengajar studi Islam dan Bahasa Arab di sekolah
menengah atas di Propinsi al-Jaula>n.
Pada tahun 1960 M, ‘Ajja>j al-Khati>b diutus oleh Departemen Pendidikan
(wiza>rah tarbiyyah) mengikuti program beasiswa pascasarjana di Kuliyyah Da>r
al-‘Ulu>m Universitas Kairo. Setelah meraih gelar magister dengan predikat cum
laude (imtiya>z) pada tahun 1962 M, ‘Ajja>j al-Khati>b melanjutkan studinya ke
program doktoral studi Islam dengan konsentrasi ilmu hadis hingga selesai pada
penghujung tahun 1960 dengan predikat martabah al-sharf al-u>la>.
‘Ajja>j al-Khati>b kembali ke negerinya pada permulaan tahun 1966 saat
ditunjuk sebagai dosen di program studi ilmu al-Quran dan sunnah pada Fakultas
Syari’ah Universitas Damaskus. Tugas ini diembannya hingga tahun 1969 M
karena ‘Ajja>j al-Khati>b kemudian “dipinjam” oleh Fakultas Syari’ah di Riyad
Arab Saudi untuk menjadi dosen di sana dari tahun 1970 hingga 1973. Setelah
kembali ke kampus asalnya, ‘Ajja>j al-Khati>b menjadi dosen di Fakultas syari’ah,
tarbiyah, dan adab Universitas Damaskus sampai akhir tahun 1980 M. ‘Ajja>j al-
Khati>b pernah menjadi professor tamu di Universitas Ummul Quro Makkah al-
Mukarramah selama satu semester di tahun akademik 1979. Juga atas undangan
dari Fad}i>lah al-Shaikh ‘Abd al-‘Azi>z bin Ba>z rahimahullah, ‘Ajja>j al-Khati>b
menjadi anggota lajnah al-tau’iyah al-Isla>miyah pada musim haji 1399 H/1979
M. Pada tahun akademik 1980 M/1981 M, ‘Ajja>j al-Khati>b “dipinjam tugas”kan
di Universitas Uni Emirat Arab dan menjadi guru besar al-hadi>th wa ‘ulu>muhu
Page 6
6
(ilmu-ilmu hadis) dan mengajar di program pascasarjananya hingga 31 Agustus
1997 M.
‘Ajja>j al-Khati>b kemudian pindah tugas di Universitas al-Sha>riqah
sebagai dekan fakultas syari’ah dan studi Islam dari 1 September 1997 hingga 25
Januari 2000 dan menjadi guru besar di sana pada bidang studi Islam sampai 31
Agustus 2002 M. Kemudian menjadi guru besar di Universitas ‘Ujma>n sampai 31
Agustus 2003 saat umur pensiunnya. ‘Ajja>j al-Khati>b akhirnya kembali ke
Damaskus.
C. Guru-gurunya6
Sejak usia mudanya, ‘Ajja>j al-Khati>b belajar kepada para ulama senior
Kota Damaskus, di antaranya Shaikh Ha>shim al-Khatib, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n
al-Khati>b, Shaikh ‘Abd al-Wahha>b al-Ha>fiz}, Shaikh Sa’i>d al-Burha>ni>, Shaikh
Rafi>q al-Siba>’i>, Shaikh DR. Muhammad Ami>n al-Mis}ri>, Shaikh ‘Abd al-Rahma>n
al-Ba>ni> yang saat itu menjadi guru pendidikan Agama Islam dan metode
mengajar di Da>r al-Mu’allimi>n, dan lain-lain.
Pada level perguruan tinggi, saat kuliah di Universitas Damaskus, ‘Ajja>j
al-Khati>b mempelajari ilmu-ilmu keislaman kepada Prof. DR. Must{afa> al-Siba>’i>,
Prof. DR. Must{afa> al-Zarqa>, Prof. DR. Ma’ru>f al-Dawa>li>bi>, Shaikh al-‘Allamah
Bahjat al-Bait}a>r, Prof. DR. Sa’a>d Jala>l, Prof. Mus}tafa> Khan, al-Qa>d}i> al-Shaikh
‘Ali> al-T{ant{a>wi>, Prof, DR. Muhammad Fawzi> Faid} Allah, dan lain-lain.
D. Karya-karya ilmiahnya7
1. Zaid bin Tha>bit (Damaskus: 1379 H/1959 M)
2. Abu Hurairah Riwa>yah al-Isla>m (Kairo: 1382 H/1963 M)
3. Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Kairo: 1383 H/1963 M)
4. Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (Damaskus: cet ke.2 tahun 1417
H/1997 M)
5. Qabasa>t min Hady al-Nubuwwah (Damaskus: 1387 H/1967 M)
6Ibid,.
7Ibid,.
Page 7
7
6. Lamaha>t fi al-maktabah wa al-Baht wa al-Mas}a>dir (Riyad: 1389 H/1969
M)
7. Al-Muhaddith al-Fa>s}il bain al-Ra>wi> wa al-Wa>’i> karya al-Ra>mahurmuzi>
(studi manuskrip atas empat naskah, tahun 1391 H/1971 M)
8. Al-Waji>z fi ‘Ulu>m al-Hadi>th wa Nus}u>sih (Universitas Damaskus)
9. Al-Sunnah Hujjiyatuha> wa Maka>natuha> min al-Tashri>’ wa al-Quran al-
Kari>m wa Daf’u Ba’d} al-Shubha>t ‘anha> (2009)
10. Dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 20 buku (kita>b)
Demikian pula terdapat sejumlah artikel dan makalah ilmiah yang ditulis
oleh ‘Ajja>j al-Khati>b untuk majalah, jurnal ilmiyah, seminar dan lain-lain. Di
antara contonya adalah Ibn Shiha>b al-Zuhri> wa al-Mushtasriqu>n (Majalah Mana>r
al-Isla>m Departemen Waqaf tahun 1983 M), al-Tarbiyyah bi al-Qudwah wa
Dawruha> fi al-Tamki>n al-Usari> (Seminar Pengokohan keluarga yang diadakan
oleh Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus pada 12-13 Juli 2008).
Page 8
8
BAB III
PEMIKIRAN HADIS MUHAMMAD ‘AJJA>J AL-KHATI>B
DALAM KITAB US}U>L AL-HADI>TH; ‘ULU>MUH WA MUST}ALA>HUH
A. Definisi Sunnah Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, secara generik kata “sunnah “ dalam syariat
merujuk kepada apa saja yang diperintahkan dan dilarang serta dianjurkan oleh
Rasul SAW baik berupa perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu, dalam
pembahasan tentang dalil-dalil (adillah) syari’at, istilah “al-kitab dan sunnah”
maksudnya adalah “al-Quran dan al-Hadi>th”. Akan tetapi, makna secara
terminologis dari sunnah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ulama
bergantung konteks spesialisasi bidang keilmuan mereka dan orientasinya
masing-masing. Menurut ulama usul fiqh (al-us}u>liyyun).8
Dalam perspektif ulama hadis yang memposisikan Rasulullah SAW
sebagai pemimpin yang diikuti dan ditaati (al-ima>m), pemberi petunjuk (al-ha>di>)
dan pemberi nasehat (al-na>s}ih), maka segala sesuatu yang bersumber dari Beliau
adalah teladan (qudwah) dan contoh terbaik (uswah). Dengan demikian, para
ulama hadis meriwayatkan semua hal yang terkait dengan Rasulullah baik berupa
sejarah hidup dan perjuangannya (sirah), keadaan fisik dan penampilannya
(khuluq), keistimewaan pribadinya, baik dalam bentuk informasi, perkataan dan
perbuatan, baik yang mengandung konsekwensi hukum (hukman syar’iyyan) atau
tidak. 9
Adapun ulama ushul fikih mengkaji tentang Rasulullah SAW dari aspek
kedudukannya sebagai pembuat syariat (musharri’) yang akan menjadi aturan
kehidupan manusia dan peletak kaidah-kaidah bagi para mujtahid di kalangan
generasi selanjutnya. Oleh karena itu mereka berkonsentrasi pada perbuatan,
perkataan, dan taqri>r Rasulullah yang dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
Sementara itu, dalam perspektif ulama fikih, sunnah adalah informasi dari
8Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (t.tp: Da>r al-Fikr, cet. 2,
1391 H), 18 9Ibid.,
Page 9
9
Rasulullah yang menunjukkan suatu hukum syari’at tertentu. Hal ini karena
lingkup kajian mereka tentang hukum syariat dalam perbuatan manusia, baik
berupa hal yang diwajibkan, diharamkan, dibolehkan, dan lain-lain.10
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, cakupan definisi sunnah yang paling luas
adalah dalam perspektif ahli hadis. Hal ini karena mereka memaksudkan sunnah
dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik perktaan, perbuatan,
persetujuan (taqri>r) dan sejarahnya (sirah) baik itu terjadi pada masa sebelum
Nabi SAW diutus (qabl al-bi’thah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’thah), baik itu
memiliki nilai bagi penetapan hukum syar’i atau tidak.11
Sebagaimana pendapat
ahli hadis, ‘Ajja>j al-Khati>b berpendapat bahwa definisi sunnah sinonim dengan
al-hadi>th. Inilah yang digunakan oleh ‘Ajja>j al-Khati>b dalam Kitab Us}ul al-
Hadi>th. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama hadis walaupun ada yang
membedakannya dengan menyatakan bahwa sunnah adalah apa saja yang
diriwayatkan dari Rasul SAW, sementara sunnah adalah bentuk perbuatan yang
teriwayatkan (al-‘amal al ma’thu>r) di masa awal Islam.12
Pendapat ‘Ajja>j al-Khati>b di atas sejalan dengan pendapat ulama lain
seperti Nu>r al-di>n ‘Itr yang menetapkan bahwa definisi yang luas menurut ahli
hadis adalah definisi yang paling tepat.13
Demikian pula pendapat Abu Shuhbah
dengan berargumen bahwa bukti dan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada
yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu>’ kepada Nabi, namun
juga hadis yang mauqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (atha>r dari tabi’i>n).14
Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis
seperti al-muwa>t}a’, al-ja>mi’ al-s}ahi>h, dan al-sunan terkandung di dalamnya hadis
nabawi, perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabi’in.
10
Ibid., 18 11
Ibid., 19 12
Ibid., 25 13
Nur al-din ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418
H/1997 M), 26 14
Muhammad Abu Syuhbah, Al-WasithAbu Shuhbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403
H/1983 M), 16
Page 10
10
Namun demikian, ‘Ajja>j al-Khati>b juga menyebutkan bahwa sebagian
ulama terkadang memasukkan perbuatan (‘amal) sahabat Rasul SAW sebagai
sunnah, baik itu mencakup perbuatan sahabat yang terdapat rujukannya dari al-
Quran atau riwayat hadis dari Nabi atau tidak ada. Hal ini berdasar indikasi
adanya ketetapan bahwa para sahabat adalah orang-orang yang selalu berusaha
mengikuti (ittiba’) sunnah Nabi dalam amalnya atau karena indikasi bahwa
ijtihad atas amal tersebut telah disepakati oleh sebagian mereka.15
B. Posisi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muhammad ‘Aja>j al-Khati>b
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, hadis atau sunnah berfungsi untuk penjelasan
hukum syari’at dan perincian hal yang terdapat dalam Al-Quran sekaligus
penerapannya. Hadis Nabi atau sunnah dalam hal ini merupakan wahyu dari
Allah SWT atau dari ijtihad Rasul. Ijtihad Rasul dalam bimbingan Allah. Al-
Quran adalah wahyu yang dibaca (al-wahyu al-matluw) dan bernilai ibadah
membacanya, sementara sunnah adalah al-wahyu al-matluw.16 Dengan demikian,
Al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber (mas}dar) penetapan syari’at
yang saling berkaitan erat. Tidak mungkin seorang muslim memahami syari’at
tanpa merujuk kepada keduanya secara bersama.17
Di antara landasan argumen kehujahan sunnah adalah;18
1. Iman. Di antara konsekswensi keimanan kepada risalah kerasulan Nabi
Muhammad SAW adalah kewajiban untuk menerima apa saja dari urusan
agama yang bersumber dari Nabi SAW.
2. Al-Quran. Di dalam Al-Quran banyak sekali terdapat ayat-ayat yang
memerintahkan untuk taat kepada Rasulullah SAW, di antaranya QS. Al-
Nisa’ : 59, Al-Maidah: 92, Al-Nisa’ : 80, Al-Fath: 10, Al-Hasyr: 7, dll.
3. Dalil-dalil dari hadis sendiri.
4. Adanya ijma’.
15
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th, 21 16
Ibid., 34 17
Ibid., 35 18
Ibid., 36-38
Page 11
11
Menurut Ajja>j, dalam konteks hubungannya dengan Al-Quran, maka
sunnah memiliki tiga aspek fungsi, yaitu sebagai;19
1. Memperkuat penjelasan Al-Quran (mu’akkidan mu’ayyidan). Hal
ini jika petunjuk hadis sesuai dengan Al-Quran seperti perintah
untuk melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, larangan riba,
dan lain-lain.
2. Menjelaskan (mubayyan) dan merinci (mufassar) petunjuk yang
bersifat global (mujma>l) dalam Al-Quran. Seperti hadis
menjelaskan dan merinci tata cara sholat dari aspek waktu, jumlah
rakaat, syarat, rukun, dan lain-lain.
3. Hal yang disunnahkan oleh Nabi yang tidak disebutkan secara
tekstual dalam Al-Quran seperti haramnya makan daging keledai
jinak.
C. Hadis Sahih Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b
Menurut Ibn S{alah, hadis sahih adalah hadis yang bersanad dengan
tersambung sanadnya dengan periwayatan dari perawi yang adil dan d}a>bit dari
perawi yang ‘adil dan d}a>bit hingga akhir sanad serta terbebas dari shadh dan illat.
Sementara menurut al-Nawawi>, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung oleh para perawi yang ‘adil dan d}a>bit} tanpa sha>dh dan ‘illat.
Merujuk kepada definisi hadis sahih menurut Ibn S}alah dan al-Nawawi>, ‘Ajja>j al-
Khati>b menyimpulkan ada lima syarat suatu hadis dinilai sebagai hadis sahih.
Syarat tersebut adalah;20
1. It}t}is}al sanad. Dengan demikian hadis munqat}i’, mu’d}al, mu’allaq,
mudallas, dan lain-lain tidak memenuhi syarat it}t}is}al ini.
2. Para perawi harus ‘adil yaitu istiqomah dalam beragama dan tidak fasik,
memiliki akhlak yang baik dan tidak cacat moral (muru>’ah).
19
Ibid., 50 20
Ibid., 304
Page 12
12
3. Para perawinya d}a>bit} yaitu kecermatan dan ketelitian dalam proses
mengambil riwayat hadis (tahammul), menyimpan (hifz}) dan
menyampaikannya (ada>’)
4. Riwayatnya tidak mengandung unsur shadh yaitu tidak menyelisihi
riwayat lain yang lebih kuat.
5. Bebas dari cacat atau penyakit tersembunyi yang merusak validitas hadis
(‘illat) seperti kasus irsa>l pada hadis maus}u>l, menyambungkan sanad
sampai Nabi padahal terputus (munqat}i’), dll.
Dengan demikian, pemikiran hadis ‘Ajja>j al-Khati>b tentang kosep hadis
sahih ini sama persis dengan pendapat ulama hadis pada umumnya.
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, hadis sahih juga berbeda-beda tingkatan
kualitasnya. Secara umum dibagi menjadi dua kategori yaitu hadis sahih li
dha>tihi dan hadis sahih li ghairihi>. Hadis sahih li dha>tihi merupakan hadis yang
paling tinggi tingkatan keterpenuhan syarat sahihnya. Sementara hadis sahih li
ghairihi> adalah hadis yang berstatus hasan yang memiliki sejumlah jalur riwayat
penguat sehingga naik tingkatannya ke level sahih.21
D. Hadis Hasan Menurut Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, orang pertama yang membagi klasifikasi
kualitas hadis menjadi tiga macam yaitu sahih, hasan dan d}a’i>f adalah al-Ima>m
Abu ‘I<sa> al-Tirmidhi>.22
Adapun definisi terpilih untuk hadis hasan menurut ‘Ajja>j al-Khati>b
sebagai berikut:
ف ضبطه من غي شذوذ وال علة احلسن ما اتصل سنده بعدل خ
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tersambung dengan kualitas
perawi yang ‘adil dan kurang d{abt-nya tanpa adanya shudhu>dh dan ‘illah.
21
Ibid, 306 22
Ibid, 331
Page 13
13
Dengan demikian, menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, perbedaan antara hadis sahih
dan hasan adalah adanya persyaratan sifat d}abt} yang sempurna pada hadis sahih,
adapun hadis hasan hanya mensyaratkan adanya sifat d}abt{ minimal (as}l al-
d}abt}).23
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan ini dikelompokkan dalam dua
tingkat kualitas yaitu hasan li dha>tihi dan hasan li ghairihi>.Hasan li ghairihi
adalah hadis yang asalnya berkualitas d}a’i>f ringan yang kemudian naik statusnya
menjadi hasan karena adanya penguat validitasnya (al-‘a>d}id).24
E. Hadis D}a’i>f dan hukum mengamalkannya Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b
‘Ajja>j al-Khati>b mendefinisikan hadis d}a’i>f sebagai hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat diterimanya hadis (s}ifa>t al-qabu>l) dan mayoritas ulama
hadis mendefinisikan dengan semua hadis yang tidak memenuhi syarat hadis
sahih dan hasan. Sebab kelemahan hadis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
pertama, disebabkan karena masalah tidak bersambungnya sanad (‘adam it}t}is}a>l
sanad ) seperti hadis mursal, munqati>’, mu’d}al, mudallas, mua’allal. Kedua,
disebabkan hal lain selain tidak bersambungnya sanad, seperti mud}a’af,
mud{tarib, maqlu>b, sha>dh, munkar, matru>k – mat}ru>h}.
Terkait hukum mengamalkan hadis d}a’i>f, ‘Ajja>j al-Khati>b menyebutkan
adanya perbedaan pendapat para ulama yang dikelompokkan dalam tiga mazhab,
yaitu:25
a. Mazhab pertama, tidak boleh beramal sama sekali (mutlak) dengan hadis
d}a’i>f baik dalam masalah keutamaan amal,maupun hukum. Ibn Sayyid al-
Na>s meriwayatkan dari pendapat Yahya bin Ma’in, juga pendapat
tersebut adalah pendapat Abu bakar Ibn al-‘Arabi>, dan yang eksplisit dari
mazhab al-Bukhari dan Muslim dari syarat hadis menurut mereka, serta
juga menjadi mazhab Ibn Hazm.
23
Ibid, 332 24
Ibid, 333 25
Ibid, 351
Page 14
14
b. Mazhab kedua, boleh beramal secara mutlak dengan hadis d}a’i>f. pendapat
ini dikaitkan dengan Abu Dawud dan Imam Ahmad.
c. Mazhab ketiga, hanya boleh digunakan pada masalah keutamaan amal
dan nasehat apabila memenuis sejumlah persyaratan. Ibn Hajar menyebut
syarat-syarat tersebut antara lain;
1) Kelemahan (sifat d}a’i>f) nya tidak terlalu berat sehingga hadis
yang diriwayatkan secara sendirian oleh perawi pendusta atau
tertuduh berdusta atau yang sangat sering keliru tidak
termasuk dalam hal ini.
2) Memiliki acuan hadis sahih yang dijadikan landasan amal.
3) Saat mengamalkannya tidak diyakini kebenarannya sebagai
hadis yang betul-betul (tha>bit) bersumber dari Nabi, namun
penggunaannya hanya sekedar sebagai sikap kehatian (ihtiya>t}).
Terhadap ketiga mazhab ini, ‘Ajja>j al-Khati>b berpendapat bahwa mazbab
yang pertama lebih selamat (aslam al-madha>hib). Hadis-hadis tentang keutamaan
amal (fad{a>il), motivasi dan peringatan amal (al-targhi>b wa al-tarhi>b) yang sahih
dari Nabi SAW masih cukup banyak dan melimpah, sehingga tidak dibuthkan
perdalil dengan hadis-hadis lemah dalam hal tersebut. Apalagi, masalah al-fad}a>il
dan akhlak mulia merupakan salah satu hal penting dalam Islam dan tidak perlu
dibedakan dengan masalah hukum dalam penetapannya dengan hadis-hadis sahih
atau hasan.26
Sementara itu, dalam tata cara periwayatannya, hadis d}a’if diperlakukan
secara berbeda dengan hadis sahih dan hasan. Bila hadis d}a’i>f diriwayatkan
dengan tanpa sanad maka tidak boleh menggunakan bentuk ungkapan yang
menunjukkan kepastian (sighat jazm) seperti qa>la Rasulullah SAW, tetapi
digunakan ungkapan yang mengindikasikan adanya keraguan validitasnya
(sighat tamri>d}) seperti ruwiya, ja>’a, nuqila, fi>ma> yarwi>. Adapun apabila
meriwayatkan hadis d}a’i>f yang lengkap dengan sanadnya maka tidak apa-apa
26
Ibid, 352
Page 15
15
menggunakan sighat jazmkalau periwayatannya untuk keperluan ulama. Namun
bila untuk keperluan orang awam, maka menggunakan sighat tamri>d}.27
F. Hadis Palsu dan Hukum Meriwayatkannya Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b
Ajja>j al-Khati>b mendefinisikan hadis palsu sebagai berikut;
اختالقا و كذبا ما مل يقلع أو ي فعله ما نسب إل الرسول صلى اهلل عليه وسلم أو يقره
Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta
tentang sesuatu yang tidak dikatakan, dilakukan atau ditetapkan oleh
Beliau SAW.
Menurut ‘Ajja>j al-Khati>b, pemalsuan hadis belum muncul pada masa Nabi
dan Para Sahabat.Setelah bertambah luasnya fitnah perpecahan umat Islam,
khususnya di masa tabi’in muncul keberanian untuk memalsukan hadis sebagai
alat legitimasi pendapat.Walaupun demikian, di era tabi’in, pemalsuan hadis
masih relatif sedikit dibandingkan era sesudahnya. Hal tersebut karena masih
banyaknya sahabat dan tabi’in yang terlibat dalam pewarisan dan penjagaan
sunnah dengan menjelaskan riwayat yang bermasalah (al-saqi>m) dari riwayat
yang sahih, masih dekatnya masa itu dengan masa Rasulullah dan serta masih
kuatnya sifat takwa dan sikap wara’ serta takut dosa (khashyah).
Sebab-sebab munculnya pemalsuan hadis tersebut antara lain: munculnya
kelompok-kelompok politik (ahzab siyasiyah) seperti kelompok Syi’ah dan
Khawa>rij, perbuatan musuh Islam, persaingan dan fanatisme ras, suku,
kebangsaan dan pemimpin, tukang cerita (al-qas}s}a>su>n), dorongan memberikan
motivasi beramal kebaikan oleh orang yang bodoh tentang ilmu agama,
perselisihan mazhab fikih dan teologi, cara untuk mencari kedekatan dengan
penguasa untuk mendapatkan kedudukan, dan lain-lain.28
Adapun hukum membuat hadis palsu, ‘Ajja>j al-Khati>b menyebutkan
adanya kesepakatan (ijma>’) kaum muslimin bahwa perbuatan memalsukan hadis
27
Ibid, 354 28
Ibid., 417-427
Page 16
16
adalah haram secara mutlak.Yang menyelesihi kesepakatan ini hanya kelompok
karamiyah.Demikian pula, ulama bersepakat tentang haramnya meriwayatkan
hadis palsu tanpa penjelasan kepalsuan dan kebatilannya. Hal ini berlaku untuk
semua jenis hadis palsu baik yang berbicara tentang hukum, fad}a>’il al-‘amal,
targhi>b wa tarhi>b, kisah cerita, dan lain-lain.29
29
Ibid., 428
Page 17
17
BAB III
KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN HADIS ‘AJJA>J AL-KHATI>B
Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib yang dituangkan dalam
kitabnya Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}ala>huhu dapat dikritisi dalam
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib lebih bersifat kompilasi
dengan mengumpulkan pendapat-pendapat ulama hadis dan menyusunnya
secara sistematis dan ringkas serta menyaring hal-hal penting dalam studi
must}alah al-hadi>th. Ada 180 referensi kitab hadis yang menjadi rujukan
Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib dalam penyusunan kitabnya tersebut.
2. Dalam Kitab tersebut, Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib masih belum banyak
pengembangan yang cukup signifikan. Namun, upaya pendalaman, kritik
dan seleksi pendapat (tarji>h) terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf) di
antara ulama hadis telah dilakukan oleh beliau. Seperti ketika Muhammad
‘Ajja>j al-Khatib membahas tentang hukum beramal dengan hadis d}a’i>f
sebagaimana telah dibahas di atas. Pemikiran hadis Muhammad ‘Ajja>j al-
Khatib mengikuti mazhab ahli hadis, bukan ahli fikih atau ahli us}ul. Hal
ini antara lain terbaca dalam tarji>h-nya atas pendapat ulama hadis dalam
perbedaan menentukan definisi hadis atau sunnah.30
3. Pembahasan tentang sejarah kodifikasi dan penyusunan kitab hadis lebih
banyak berkaitan dengan sejarah pada Abad pertama hingga ketiga.
Sementara keadaan hadis pada periode berikutnya tidak dibahas oleh
Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib dalam kitabnya tersebut. Hal ini bisa
dipahami karena banyaknya kritikan terhadap sejarah penulisan hadis
pada masa awal Islam baik dari orientalis maupun oleh kalangan internal
umat Islam sendiri seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dari
kalangan Sunni31
dan Sayyid Hasan al-S{adr dari kalangan Syi’ah.32
30
Lihat hal. 7-8 dalam Makalah ini. 31
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th, 207-208 32
Ibid., 209-215
Page 18
18
BAB IV
KESIMPULAN
1. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b adalah seorang ulama hadis kontemporer yang
mendalami studi hadis melalui instusi pendidikan formal. Beliau
mengambil spesifikasi keilmuan hadis dengan mengikuti program magister
dan doktoral ilmu hadis kemudian mengabdikan ilmunya dengan menjadi
dosen hingga mendapatkan gelar guru besar di bidang ilmu hadis.
2. Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b cukup besar kontribusinya bagi perkembangan
keilmuan hadis kontemporer. Beliau cukup produktif dalam melakukan
penelitian dan menyusun karya tulis di bidang hadis. Di antara karya
tulisnya yang cukup terkenal adalah Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n dan Us}u>l
al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh.
3. Pemikiran Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b tentang hadis dalam kitabnya Us}u>l
al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh mengikuti manhaj ulama hadis pada
umumnya dalam kitab-kitab must}alah al-hadi>th. Beliau mengkompilasi
pendapat ulama dan menyeleksi pendapat yang terpilih (tarji>h) jika
terdapat perbedaan pendapat ulama tentang tema tertentu dalam ilmu
hadis.
Page 19
19
DAFTAR PUSTAKA
Buku (Kitab)
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet.
1, 1347 H/1929 M)
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>th; ‘Ulu>muh wa Must}ala>huh (t.tp: Da>r
al-Fikr, cet. 2, 1391 H), 18
Muhammad Abu Shuhbah, Al-Wasith Abu Shuhbah, Muhammad bin
Muhammad. Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam
al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403 H/1983 M)
Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh:
Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-
Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M)
Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr,
Cet.3, 1418 H)
Referensi internet
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. al-Sirah al-dha>tiyah li Fad}i>lah al-Duktu>r Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b. http://www.naseemalsham.com/ar/Pages.php?page=readTragm&pg_id=709
4. Diakses 05 Juni 2015.
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>b,
http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D8
%B9%D8%AC%D8%A7%D8%AC_%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%
B7%D9%8A%D8%A8. Diakses 05 Juni 2015.
Muhammad ‘Ajja>j al-Khati>bhttp://shamela.ws/index.php/author/1590.
Diakses 05 Juni 2015