Top Banner
576 PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA ________ Oleh: Loebby Loqman, S.H. _______ _ Pendahuluan Masalah Pemidanaan, ' terutama di [ndonesia, jarang ditemui pembahasan- nya dalam kepustakaan berbahasa [n- donesia, bahkan masalah pemidanaan ini seolah-olah dianggap suatu yang betjalan dengan sendirinya, yakni suatu tugas Hakim dalam menjalan- kan sebahagian dari tugas keseluruhan- nya, yang di dalam hal ini adalah di- berikan pula suatu wewenang khu- sus yang disebut Judex Pactie. Akan tetapi di dalam kehidupan peradilan pidana sehari-hari sering tim- bur permasalahan dari penjatuhan pi- dana ini; umpama saja dalam kasus 'Robby Cahyadi', di mana ada selisih yang tajam antara penjatuhan hukum- an yang diberikan oleh P'engadilan Ne- geri (yakni dengan pidana penjara se- lama tujuh setengah tahun ditambah sejumlah denda) sedangkan oleh Peng- adilan Tinggi dijatuhkan dua setengah tahun penjara ditambah sejumlah den- da. Hal inilah salah satu masalah yang timbul di dalam praktek peradilan pi- dana, di sam ping juga rasa keadilan yang dirasakan kurang dipenuhi terha- dap pemidanaan yang relatif tidak se- " imbang bagi seorang koruptor dan se- orang pencuri biasa. Bahkan perihal disparitas inipun menjadi permasalah- an di Amerika Serikat. Masalah lain yang berhubungan de- ngan pemidanaan ini adalah suatu mas- alah pemidanaan yang dihubungkan dengan tujuan daripada pemidanaan itu sendiri. Sejauh mana seorang Ha- kim mendapatkan masukan ten tang terdakwa sehingga dia dapat menja- tuhkan suatu hukuman yang sesuai de- ngan keadaan terdakwa tersebut, baik dilihat dari kesalahan at'as perbuatan terdakwa maupun tujuan dari pemida- naan bagi diri terdakwa di sam ping juga rnemperhatikan pengaruhnya ter- hadap masyarakat di mana terdakwa melakukan tindak pidana tersebut. Permasalahan tersebut di atas akan membawa kita kepada suatu persoal- an lainyakni apakah memang benar suatu putusan ten tang berat ringan- nya pidana - karena Judex Pactie terse but di atas - tidak dimintakan suatu kasasi ke Mahkamah Agung. Penjatuhan Pidana Atas Dasar Penemuan Hukum Apabila kita perhatikan sistem yang dipergunakan dalam KUHP kita, maka penjatuhan pidana adalah atas dasar penemuan hukum, yakni Hakim dibe- rikan suatu kebebasan untuk menen- tukan suatu pidana di antara pidana minima sampai pidana maxima, yakni penjatuhan pidana yang dapat dipilih , antara satu hari sampai dengan lima belas tahun untuk pidana maxima umum, sedangkan untuk maxima pi- dana khusus adalah sesuai dengan yang
7

PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

Nov 23, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

576 •

PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA

________ Oleh: Loebby Loqman, S.H. _______ _

Pendahuluan

Masalah Pemidanaan, ' terutama di [ndonesia, jarang ditemui pembahasan­nya dalam kepustakaan berbahasa [n­donesia, bahkan masalah pemidanaan ini seolah-olah dianggap suatu yang betjalan dengan sendirinya, yakni suatu tugas Hakim dalam menjalan­kan sebahagian dari tugas keseluruhan­nya, yang di dalam hal ini adalah di­berikan pula suatu wewenang khu­sus yang disebut Judex Pactie.

Akan tetapi di dalam kehidupan peradilan pidana sehari-hari sering tim­bur permasalahan dari penjatuhan pi­dana ini; umpama saja dalam kasus 'Robby Cahyadi', di mana ada selisih yang tajam antara penjatuhan hukum­an yang diberikan oleh P'engadilan Ne­geri (yakni dengan pidana penjara se­lama tujuh setengah tahun ditambah sejumlah denda) sedangkan oleh Peng­adilan Tinggi dijatuhkan dua setengah tahun penjara ditambah sejumlah den­da.

Hal inilah salah satu masalah yang timbul di dalam praktek peradilan pi­dana, di sam ping juga rasa keadilan yang dirasakan kurang dipenuhi terha­dap pemidanaan yang relatif tidak se-

" imbang bagi seorang koruptor dan se-orang pencuri biasa. Bahkan perihal disparitas inipun menjadi permasalah­an di Amerika Serikat.

Masalah lain yang berhubungan de­ngan pemidanaan ini adalah suatu mas-

alah pemidanaan yang dihubungkan dengan tujuan daripada pemidanaan itu sendiri. Sejauh mana seorang Ha­kim mendapatkan masukan ten tang terdakwa sehingga dia dapat menja­tuhkan suatu hukuman yang sesuai de­ngan keadaan terdakwa tersebut, baik dilihat dari kesalahan at'as perbuatan terdakwa maupun tujuan dari pemida­naan bagi diri terdakwa di sam ping juga rnemperhatikan pengaruhnya ter­hadap masyarakat di mana terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.

Permasalahan tersebut di atas akan membawa kita kepada suatu persoal­an lainyakni apakah memang benar suatu putusan ten tang berat ringan­nya pidana - karena Judex Pactie terse but di atas - tidak dimintakan suatu kasasi ke Mahkamah Agung.

Penjatuhan Pidana Atas Dasar Penemuan Hukum

Apabila kita perhatikan sistem yang dipergunakan dalam KUHP kita, maka

penjatuhan pidana adalah atas dasar penemuan hukum, yakni Hakim dibe­rikan suatu kebebasan untuk menen­tukan suatu pidana di antara pidana minima sampai pidana maxima, yakni penjatuhan pidana yang dapat dipilih

, antara satu hari sampai dengan lima belas tahun untuk pidana maxima umum, sedangkan untuk maxima pi­dana khusus adalah sesuai dengan yang

Page 2: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

Pemidanaan

tercantum dalam pasal-pasal masing­masing sebagai ancaman pidana per­buatan terse but tertinggi.

Seorang Hakim harus dapat mene­mukan hukum dalam setiap perkara,

• sehingga dia dapat menentukan pida-nanya yang sesuai dengan perbuatan serta keadaan ' siterdakwa tersebut.

Di dalam kehidupan peradilan pi­dana sehari-hari, kesempatan untuk menemukan hukum ini kurang diper­gunakan sebaik-baiknya bagi seorang hakim, dan dengan dasar seperti yang diterakan dalam Hukum Acara Pidana, di mana hakim dalam menjatuhkan suatu putusan/pidana haruslah melihat hal-hal yang meringankan dan membe­ratkan, biasanya hanyalah dilihat se~

mata-mata apa yang terjadi di depan sidang belaka; umpamanya, perihal yang meringankan adalah bahwa siter­dakwa lancar dalam pemeriksaan, ma­sih muda, belum pernah dihukum, dan di dalam sidang terse but menyatakan penyesalannya. Sedangkan perihal yang memberatkan, memberikan ja­waban yang berbelit-belit, sudah per­nah melakukan tindak pidana sebe­lumnya dan .tidak tampak rasa menye­sal atas perbuatannya di dalam p.eme­riksaan terse but.

Suatu jarak yang diberikan oleh undang-undang antara pidana minima dan pidana maxima, adalah suatu ja­rak yang sebenarnya dapat diperguna­kan oleh seorang hakim dalam mene­mukan suatu hukum pada tiap-tiap peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidaklah akan merupakan suatu hal yang harus dijatuhkan sarna, meskipun atas sarna-sarna seorang pencuri, di ma­na pencuri yang satu bermotifkan akan kelaparan, sedangkan pencuri yang lain bermotivasi ingin menikmati hid up le­bih senang.

Pada tahap banding, perihal penja­tuhan pidana ini masihlah dapat dila-

577

kukan suatu peninjauan, akan tetapi tidak untuk kasasi di Mahkamah Agung.

Akan tetapi perkembangan di Hooge Raad di N egeri Belanda, rupanya ter­hadap berat ringannya pidana ini telah dimungkinkan untuk dimintakan kasa­si, yakni apabila terdapat suatu kesa­lahan penerapan hukum, sehingga mengakibatkan kesalahan dalam penja­tuhan pidana tersebut.

. Sebenarnya perihal kasus 'Robby Cahyadi' Kejaksaan mempunyai ke­sempatan untuk melakukan suatu pembaharuan hukum dengan meminta kasasi ke Mahkamah · Agung, dengan alasan adanya pertimbangan yang di­anggap salah oleh putusan yang dija­tuhkan Pengadilan Tinggi. Sayana sekali hal tersebut tidak terjadi.

Atas Dasar Preseden

Penjatuhan pidana dengan dasat presen ini - umumnya dilakukan di Peradilan negara-negara Anglo Saxon - adalah dengan melihat putusan-pu-

• tusan Hakim yang terdahulu terhadap suatu perkara yang dianggap sarna.

Dilihat secara sepintas, maka penja­tuhan pidana dengan cara preseden ini tidak akan menimbulkan suatu mas­alah. Akan tetapi ternyata bahwa ba­nyak pula rilasalah-masalah yang tim­buI, seperti yang termuat dalam buku Sanford H. Kadish.

Sehingga dengan terjadinya kasus­kasus tertentu, maka timbullah mas­alah penjatuhan pidana yang bagai­mana yang dapat dimintakan suatu peninjauan kern bali.

Oleh karena itu dapat dipakai seba­gai rekomendasi atas penjatuhan pida­na yang bagaimanakah yang memung­kinkan untuk dilakukan suatu penin· jauan, ialah:

I. Suatu putusan penjatuhan ' pidana yang berlebihan.

Page 3: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

578

2. Rasionalitas daripada penjatuhan pidana.

3. Respek terhadap sistem.

4. Fokus daripada pertimbangan pen-jatuhan pidana.

Masalah diperkenankan melakukan suatu peninjauan terhadap penjatuhan hukuman inipun membawa suatu mas­alah lain yakni:

1. Kemungkinan diperkenankannya terhadap penjatuhan pidana dalam perkara terse but dilakukan suatu

• • penm]auan.

2. Pengadilan yang berwenang untuk melakukan peninjauan. • •

3. Substansi perkara yang dimajukan •

ke depan pengadilan yang menin-jau penjatuhan pidana tersebut.

4. Kewenangan dari Pengadilan yang diberikan hak untuk meninjau kem­bali tersebut.

Ternyata bahwa meskipun cara pen­jatuhan pidana dengan dasar preseden

ini masihlah terdapat permasalahan, yakni apabila terjadi suatu yang dirasa­kan sebagai penyimpangan dari putus­an-putusan hakim terdahulu. Dan peri­hal penyimpangan untuk penjatuhan pidana ini mungkin saja terjadi, apa­bila Hakim mempunyai alasan yang kuat untuk tidak lagi menuruti putus­an sebelumnya.

TugasHakim Tugas seorang hakim dalam suatu

peradilan pidana dapat dikatagorikan menjadi dua tahap yang besar.

Tahap yang pertama ini terdiri dari beberapa tingkat pemeriksaan:

1. Apakah perbuatan itu dilakukan ~

oleh terdakwa.

2. Apabila benar, apakah perbuatan terse but melanggar suatu undang­undang. Hal di atas adalah merupakan fase apakah memang telah dilakukan

Hukum dan Pembangunan

suatu tindak pidana (memirut isti­lah Prof. Mulyatno, apakah orang terse but t elah melakukan perbuatan pidana) . Sedangkan apabila memang telah dipenuhi unsur-unsur dari pasal-pa­sal oleh orang yang didakwa terse­but, barulah dilakukan pemeriksaan yang selanjutnya , yakni:

3. Apakah siterdakwa dapat dipertang­gungjawabkan dan dapat dipersalah­kan atas perbuatannya terse but.

Apabila keseluruhan tahap pemeriksa­an ini dipenuhi maka sampailah hakim menentukan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada siterdakwa terse­but, dan ' inilah yang dimaksudkan dengan Tugas Hakim pada tahap ke-dua . '

Pentahapan inipun juga terjadi pada sistem peradilan di Anglo Saxon, yakni setelah seorang diperiksa oleh Peradil­an Juri dan dia ' dinyatakan bersalah, maka tahap s~lanjutnya Hakim akan menjatuhkan suatu pidana terhadap terdakwa terse but.

Melihat pentingnya tahap yang ke­dua dari tugas hakim ini, maka ada pendapat yang menghendaki adanya

suatu hakim khusus yang berdiri sen-•

diri, atau pula suatu tim khusus yang terdiri dari para ahli (Psikologi, krimi­nologi, filosofi , penologi dan sosiologi) untuk melakukan penilaian terhadap

terdakwa akan dijatuhkan pidana yang bagaimana, sehingga sesuai dengan ke­adaan terdakwa tersebut.

Sebenarnya tahapan tersebut di atas dapat dibedakan akan tetapi tidak da-

pat dipisahkan , sehingga ada pula pen-dapat-pendapat yang keberatan terha­dap adanya pemisahan tahap-tahap ter­sebut.

Keberatan-keberatan terse but ada­lah sebagai berikut:

1. Apabila tahap kedua tidak bersifat terbuka - di mana justru sifat yang

Page 4: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

,

Pemidanaan

terpenting bagi penganut proses dua tahap - maka seluruh proses akan tidak mempunyai arti, sebab ini akan menyalahi azas keterbukaan dari suatu Hukum Acara Pidana.

2. Apabila menyangkut kualifikasi ter­tentu dari suatu tindak pidana, di mana harus pula diperhatikan pada tahap yang kedua, tidak akan terca­pai tujuan dari pemisahan dua ta­hap ini, apabila pada tahap yang ke­dua tidak memperhatikan kualifika­si deliknya, yakni umpamanya apa­kah ada unsur dengan rencana, atau suatu kualifikasi terhadap kinder­doorsiag .

3. Tidak terdapatnya suatu kesinam­bungan pengetahuan antara tahap pertama dan tahap kedua, di mana seharusnya tahap kedua mempu­nyai masukan at as masalah-masalah yang timbul, baik secara individual maupun faktual, yang muncul da­lam pemeriksaan tahap pertama.

4 . Apabila kita hubungkan dengan pertanggunganjawab daripada sipe­laku, yang berhubungan dengan ke­salah an maupun mampu bertang­gungjawabnya sipelaku. Karena ta­hap kedua hanya menerima kete­rangan-keterangan tertulis belaka sehingga kurang dapat melihat de­ngan teliti perihal mampu bertang­gungjawab dari sipelaku tersebut.

5. Keberatan yang lain ialah perihal tidak sinkronnya putusan yang ter­dapat dalam tahap kesatu dan tahap yang kedua, sehingga kemungkinan ini akan menyebabkan tujuan dari penjatuhan hukuman tidak akan tercapai.

Pada akhirnya dapat disimpuikan, khususnya perihal tugas hakim dalam d ua tahap ini, ialah bahwa memang benar kedua tahap terse but dapat di­bedakan, akan tetapi janganlah memi­sahkan antara pemeriksaan tahap per-

579

tama dengan penentuan penjatuhan pi­dana pada tahap yang kedua.

Hal-hal yang Harus Diperhatikan Hu­kum dalam Penjatuhan Pidana

Perihal masalah yang harus, diper­hatikan seorang hakim dalam menja­lankan tugasnya yakni menjatuhkan suatu pidana bagi terdakwa yang su­dah dinyatakan bersalah, amat erat hubungannya dengan tujuan dari pen-j atuhan pipana itu sendiri, di sam ping pengetahuaI1 atas apa yang terjadi di .

. dalam proses pemidanaan, sehingga di­harapkan seorang terpidana akan mem­punyai sikap tindak yang baik setelah menjalani pidananya . .

Seperti diketahui bahwa fungsi dari pidana adalah suatu prevensi, baik pre­vensi umum maupun prevensi khusus. Ada 4 hal yang mempunyai dampak dalam prevensi umum, yakni varia bel individu, variable delik, variabel sanksi, dan varia bel kebudayaan. Keempat va­ria bel terse but amat berpengaruh ter­hadap fungsi pidana yakni prevensi umum tersebut.

Faktor-faktor kejiwaan, biologi, so­siografie, psikologi . mempunyai arti penting dalam variabel pribadi, sedang­kan ada faktor lain dalam variable de­lik yang amat berpengaruh terhadap variabel pribadi tersebut, karena belum tentu dengan suatu ancaman pidana yang tinggi maka seseorang tidak akan melakukan suatu tindak pidana.

Juga sanksi haruslah diperhatikan dalam hubungannya dengan varia bel pribadi, terlebih penting lagi adalah variabel kebudayaan, khususnya di In­donesia ini di mana suatu kebudaya-, .

an mempunyai arti penting bagi kehl-•

dupan pribadi seseorang. Apabila kita perhatikan fungsi pre­

vensi umum ini, maka dapat merupa­kan su atu yang kontradiksi tcrhadap prevensi khusus, yakni terhadap siter­pidana itLl scndiri. Hakim dalam men-

Nopember 1984

Page 5: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

-. -

580

jatuhkan pidana dengan bertitik tolak pada prevensi umum, maka dapat saja seorang terpidana akan dirugikan.

Oleh karena itu variabel-variabel terse but di at as adalah am at penting bagi seotang hakim dalam menjatuh­kan pidana. Dengan ditinggalkan varia­. bel pribadi maka akan menim bulkan suatu ketidak adilan.

Dan perihal hal-hal yang harus di­perhatikan seorang hakim dalam pro­ses penjatuhan pidana ini dapat kita lihat kemajuannya dalam rancangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , yang mudah-mudahan dapat diterima di DPR , yakni yang meliputi 8 butir :

1. perihal kesalahan siterdakwa.

2. motivasi serta tuj uan dilakukannya tidak pidana tersebut.

3. car a siterdakwa melakukan tindak pidana terse but.

4. sikap batin terdakwa.

5 . riwayat hidup dan keadaan so sial ekonomi dari pelaku.

6. sikap tindak pembuat sesudah mela­kukan tindak pidana.

7. pengaruh pidana terse but terhadap masa depan pembuat.

8. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana terse but .

Dengan dicantumkannya hal-hal tersebut di atas , maka diharapkan hakim dapat dengan benar menjatuh­kan suatu jenis pidana, sehingga diha­rapkan pemidanaan tersebut dapat di­jalani terhukum sesuai dengan kesa­lahan yang diperbuatnya.

Dengan dicantumkannya 8 butir tersebut diatas, maka diharapkan ha­kim dapat dengan ben~r menjatuhkan suatu jenis pidana, sehingga diharap­kan pemidanaan terse but dapat dija­lani terhukum sesuai dengan kesalah­an yang diperbuatnya.

Dengan dicantumkannya 8 butir terse but diatas, maka diharapkan se-

Hukum dan Pembangunan

orang hakim dapat pula menggali nilai­nilai yang hidup di dalam masyarakat, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-undang Pokok Kekuasaan Ke­hakiman (Undang-undang No.14 tahun 1970).

Kedelapan butir hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang hakim da­lam menjatuhkan pemidanaan terse but di at as belumlah selesai permasalahan­nya karena seorang hakim bagaimana­pun masih akan dituntut untuk memi­lih filosofi dari penjatuhan pidana ter­sebut .

Seperti halnya ucapan dari Robert F . Kennedy , yang terpenting, bukan­lah kesamaan dari penjatuhan pidana­nya, akan tetapi kesepakatan dari da­sar filosofis penjatuhan pidana ter­sebut. ,

Sehingga tim bullah suatu masalah teori pemidanaan yang mana yang akan diambil oleh seorang hakim, ka­rena dalam memecahkan masalah ini, baik undang-undang maupun doktrin tidak memberikan suatu pegangan.

Pembuat . undang-undang tidak mem berikan teori pemidanaan terten­tu dalam KUHP sebagai dasar, di mana dengan demikian diberikan kebebasan kepada hakim , teori mana yang diper­gunakan .

Juga doktrin masih terdapat perse­lisihan agak besar mengenai pertanya­an teori pemidanaan mana yang seha­rusnya diikuti hakim dalam memberi­kan suatu pidana.

Hakim masih akan mencari maksud. fungsi dan letak pemidanaan dalam suatu pembalasan dendam, pencegahan

umum, pencegahan khusus, perlin­dungan masyarakat , pencegahan umum yang 'diarahkan kepencegahan khusus ataukah ada dalam hal yang lain lagi. Dalam t eori-teori terse but di atas telah • mendapat pembelaannya masing-ma-

• smg.

Page 6: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

Pemidanaan

Sehingga menarik perhatian kit a terhadap penjatuhan pidana terhadap penjahat perang yang diadili setelah 38 tahun berakhirnya perang Dunia ke-I1 , di mana dikatakan bahwa The sentence is not important, but the jus­tice is (Komentar siaran D'unia Dalam berita TVRI perihal diadilinya penja-hat perang Nazi Jerman). .

Dihubungkan pula dengan rasa ke­adilan masyarakat, maka ternyata bah­wa masih dikehendakinya suatu 'pemc

balasan' terhadap mereka yang telah melakukan suatu tindak pidana, se­hingga sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari bahwa ada rasa kurang senang dari masyarakat apabila sese­orang yang telah melakukan suatu tindak pidana masih berkeliaran di an­tara mereka, dan bahkan rasa enggan untuk melaporkan terj adinya suatu tindakpidana penyalah gunaan narko­tika oleh seorang ketua RW suatu dae­rah, disebabkan terlampau pendeknya suatu masa pidananya.

Oleh karena itu tidak dapat lain se­orang hakim akan mempergunakan ga­bungan teori-teori pemidanaan terse­but dengan juga memperhatikan 8 bu­tir terse but di ataslah maka diharapkan mendapatkan putusan yang baik dalam penjatuhan hukumannya.

Dengan adanya wewenang hakim yang diatur dalam Kitab Undang-un­dang Hukum Acara Pidana untuk mengawasi pelaksanaan pidana, sebe­narnya diharapkan agar hakim dalam arti keseluruhan tidak berlepas tangan dengan selesainya mereka menjatuh­kan suatu pidana.

Diharapkan secara menyeluruh me­reka (para hakim) dapat menilai apa­kah suatu penjatuhan pidana telah se­suai dengan terdakwa tersebut. Atau­kah ada hal-hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang di dalam dia menjatuhkan suatu pidana.

Akan tetapi hal ini di dalam prak-

581

tek membawa suatu akibat sam ping­an dengan adanya penafsiran yang ber­beda, yakni para hakim terse but ada yang sedemikian rupa menjalankan tu­gasnya terse but sampai kepada hal-hal yang detail, yakni mengenai makanan nara pidana, temp at tidurnya dan seba­gainya, sehingga mereka merupakan suatu 'Kepala' lembaga pemasyarakat­an .

Dengan diberikannya wewenang un­tuk mengawasi pelaksanaan hukum­an sebenarnya diartikan sebagai usaha

, untuk mendapatkan masukan-masukart (input) yang dapat dipergunakan un­tuk pertimbangan penjatuhan pidana baik bagi hakim itu sendiri maupun bagi hakim-hakim lainnya.

Dengan suatu pendapat bahwa Ha­kim telah selesai tugasnya dengan me­ngetuk palunya dalam suatu sidang, maka hal ini akan menyebabkan tidak adanya suatu rasa tanggungjawab ter­hadap putusan yang dijatuhkannya itu sendiri.

Para hakim mempunyai anggapan bahwa perihal pembinaan adalah terpi­sah dengan penjatuhan pidana, sehing­ga terjadilah bahwa seorang terdakwa yang hanya dipidana dalam waktu pen­dek saja dalam suatu penjara (Lembaga Pemasyarakatan) sehingga sulit bagi pegawai Lembaga Pemasyarakatari un­tuk melakukan pembinaan terhadap terpidana tersebut.

Oleh karena itulah maka pengeta­huan seorang hakim dalam memutus­kan penjatuhan pidana, tidaklah sema­ta-mata dilihat dari segi kepentingan hukumnya sendiri, akan tetapi juga harus diperhatikan hal-hal yang non yuridis, terutama perihal variabel yang disebutkan di atas. Juga dengan di­cantumkan delapan butir hal-hal yang harus diperhatikan seorang hakim da­lam menjatuhkan suatu pemidanaan, diharapkan seorang hakim akan dapat menjatuhkan suatu pidana yang 'se-

. Nopember 1984

Page 7: PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA - Universitas Indonesia

582

suai' dengan ukuran bagi terhukum tersebut.

Meskipun harus kita sadari pula bahwa hal-hal terse but belumlah sepe­nuhnya akan m enjamin bahwa orang yang dipidana terse but akan kembali ke dalam masyarakat dengan sikap tin­dak sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan keadaan dalam Lem­baga Pemasyarakatan itu sendiri meru­pakan permasalahan yang lain pula.

Seperti halnya artikel yang diutara­kan oleh Ch. W. Thomas, ada masalah dalam Lembaga Pemasyarakatan, yak­

. ni perihal Prisonization dan Resocialo­zation, di mana kedua kebudayaan ini saling berlomba untuk mencari penga­ruh.

Penutup

Perihal pemidanaan adalah suatu masalah yang harus diperhatikan sejak tahap paling dini dalam suatu sistem

Hukum .dan Pembangunan

peradilan pidana, sehingga haruslah da­pat diberikan suatu pidana yang yang benar-benar sesuai dengan keadaan ter­dakwa maupun keadaan masyarakat­nya.

Penjatuhan pidana janganlah did a-,

. sarkan sebagai suatu 'ukuran pabrik ' akan tetapi haruslah sebagai suatu tailor made, baik dengan melihat va­riabel pribadinya, variabel delik , varia­bel sanksinya maupun variable kebuda-yaan. '

Seorang Hakim tidaklah selesai tu­gasnya dengan menjatuhkan suatu pi­dana dalam suatu perkara, akan tetapi haruslah dapat mengetahui apakah me-

• mang pemidanaan yang dijatuhkan

• sesual. Sudah waktunyalah untuk memper-

, timbangkan bahwa berat ringannya suatu pidana dapat dimintakan kasasi, khususnya dengan landasan pertim­bangan-pertimbangan yang dipakai da­sar penjatuhan pidana tersebut.

'" DtUN{)(j!? S4MPA I .30 VUNI 'S'S;,;

)

) REP. SINAR HARAPAN