LAPORAN HASIL DISKUSIMODUL HEMATOLOGI DAN ONKOLOGIPEMICU 2
KELOMPOK DISKUSI 71. Yohanes MalindoI11110362. M. Erwan
SyuryajaI111110733. Ivo Afiani I111120174. Quratul Aini I111120215.
Ridha RahmataniaI111120276. Eko Kunaryagi I111120367. Hendri
Saputra I111120438. Elsa Restiana I111120579. Yehuda Lutfi Wibowo
I1111206610. Riko KuswaraI1111206811. Anatria Amyrra
IqlimaI1111207812. Dea EricaI11112081
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS
TANJUNGPURA PONTIANAK2015
A. Pemicu 2Seorang pria Tn. HO berusia 50 tahun, datang ke UGD
suatu RS dengan keluhan lemah, lekas lelah/capek, kulit tampak
pucat dan kadang mengalami keringat dingin malam hari. Pria
tersebut juga merasakan perut mulai terasa penuh membesar sejak 4
bulan sebelum berobat ke Rumah Sakit. Ia juga mengeluhkan napas
kadang sering terasa sesak, terutama saat posisi bersujud. Selain
itu, kadang di dapatkan rasa nyeri pada ibu jari tangan sejak 1
bulan yang lalu. Sejak 5 kubulan yang lalu, badan dirasakan sering
lemas, cepat lelah dan nafsu makan menurun. Menurut pengakuannya
berat badan turun 15 kg dalam setengah tahun terakhir.
Pemeriksaan FisikTD 100/70 mmHg, Nadi 96x/menit, respirasi
32x/menit, suhu 36,8oC.BB: 65 kg TB: 166 cm, kesadaran compos
mentis. Tampak sakit sedang.Mata: refleks pupil (+), isokor,
konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterikJantung: bunyi jantung
I-II normal, tidak terdapat murmur maupun gallopParu: sonor, suara
vesikuler, tidak terdapat rhonki maupun wheezingAbdomen: hepar
teraba 2 cm di bawah arcus costa. Lien teraba Schuffner
VIEkstermitas : akral hangat, tidak terdapat edema tungkai maupun
paresis
B. Definisi dan KlarifikasiSchuffner adalah garis yang
menghubungkan SIAS kanan melewati umbilicus sampai arkus aorta
sinistra (digunakan untuk mengukur pembesaran spleen/lien)
C. Kata Kunci Laki-laki 50 th Lemah, mudah lelah/capek Keringat
dingin malam hari Hepatosplenomegali Nyeri ibu jari tangan
Penurunan berat badan
D. Rumusan MasalahLaki-laki 50 tahun dengan penurunan berat
badan drastic mengeluh lemah, cepat lelah/capek, kulit tampak pucat
dan kadang mengalami keringat dingin malam hari serta pada
pemeriksaan fisik ditemukan hepatosplenomegali.
E. Analisis Masalah
Laki-laki 50 th
Pem. FisikAnamnesis
Mata: normalJantung: normalParu: normalAbdomen:
hepatosplenomegaliEkstermitas: normalPerut terasa penuh,
membesarNyeri pada ibu jariSesak saat sujudNafsumakan
menurunLemahcepat capek/lelahKulit tampak pucatKeringat malam
hariPenurunan berat badan
DD:LGK (CML)MyelofibrosisLeukemia limfositik kronikPolisitemia
VeraAnemia aplastikAnemia hemolitik
Pem. Penunjang
Tatalaksana
F. HipotesisLaki-laki 50 tahun mengalami leukemia granulositik
kronik (LGK).
G. Pertanyaan Diskusi1. Leukemia 2. Keganasan Hematologi 3.
Jelaskan mengenai leukemia granulositik kronik4. Jelaskan mengenai
myelofibrosis dengan metaplasia myeloid5. Jelaskan mengenai
polisitemia vera6. Jelaskan mengenai anemia aplastik dan hemolitik
7. Bagaimana pemeriksaan lien? 8. Mengapa pada pasien mengalami
sesak nafas saat sujud? 9. Mengapa ada pasien mengalami penurunan
BB? 10. Apa yang menyebabkan nyeri pada ibu jari?11. Mengapa pasien
mengalami hepatosplenomegali? 12. Bagaimana interpretasi hasil
pemeriksaan pada pasien? H. Pembahasan
Leukemia1,2,3DefinisiLeukimia adalah suatu penyakit yang dikenal
dengan adanya proliferasi neoplasitik dari sel-sel organ
hemopoietik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal
(stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukimia. Leukemia
adalah keganasan yang ditandau dengan proliferasi sel imatur (sel
leukemik) di sumsum tulang, darah tepi dengan infiltrasi organ
hati, limpa, dan kelenjar limfe. Proliferasi sel imatur
mengakibatkan penumpukan sel leukemik di dalam sumsum tulang dengan
akibat fungsi hematopoesis dan trombopoesis tertekan. Proliferasi
sel imatur biasanya disertai dengan penurunan apoptosis.
KlasifikasiSecara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan
berdasarkan maturasi sel dan tipe sel asal yaitu :
Leukemia Akut Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum
tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh
komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran
ke organ-organ lain.32 Leukemia akut memiliki perjalanan klinis
yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata
dalam 4-6 bulan.a. Leukemia Limfositik Akut (LLA) LLA merupakan
jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan
akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang
mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan
kegagalan organ. LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%)
daripada umur dewasa (18%).21 Insiden LLA akan mencapai puncaknya
pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup
2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan
dari sumsum tulang.b. Leukemia Mielositik Akut (LMA) LMA merupakan
leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan
berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi. LMA atau Leukemia
Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada orang dewasa
(85%) dibandingkan anak-anak (15%).20 Permulaannya mendadak dan
progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang
singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6 bulan.
Leukemia Kronik Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang
ditandai proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang
berlangsung atau terjadi karena keganasan hematologi.a. Leukemia
Limfositik Kronis (LLK) LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit
B (jarang pada limfosit T). Perjalanan penyakit ini biasanya
perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat dari
limfosit kecil yang berumur panjang. LLK cenderung dikenal sebagai
kelainan ringan yang menyerang individu yang berusia 50 sampai 70
tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki.
b. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK) LGK/LMK
adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi
berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang
dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita
LGK/LMK. Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah
memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa
mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit dan
sel darah merah yang amat kurang.
Gejala KlinisGejala leukemia bergantung pada jumlah sel leukemia
dan dimana sel leukemia tersebut terkumpul dalam tubuh. Orang
dengan leukemia kronik dapat tidak memiliki gejala. Seorang dokter
sering menemukan penyakit tersebut dalam pemeriksaan darah rutin
secara tidak sengaja. Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya
berbeda diantara penderita, namun demikian secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:1. Anemia. Penderita akan menampakkan
cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah merah dibawah
normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya penderita
bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam
tubuh).
2. PerdarahanKetika Platelet (sel pembeku darah) tidak
terproduksi dengan wajar karena didominasi oleh sel darah putih,
maka penderita akan mengalami perdarahan salah satunya di jaringan
kulit (banyaknya bintik merah lebar/kecil dijaringan kulit).3.
Terserang Infeksi. Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya
tahan tubuh, terutama melawan penyakit infeksi. Pada Penderita
Leukemia, sel darah putih yang dibentuk tidak normal (abnormal)
sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si penderita
rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan
menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari hidung
(meler) dan batuk.4. Nyeri Tulang dan Persendian. Hal ini
disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) didesak
padat oleh sel darah putih.5. Nyeri Perut. Nyeri perut juga
merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel leukemia
dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan
pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri
perut ini dapat berdampak hilangnya nafsu makan penderita
leukemia.6. Pembengkakan Kelenjar Limfe. Penderita kemungkinan
besar mengalami pembengkakan pada kelenjar limfe, baik itu yang
dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar limfe bertugas
menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan
menyebabkan pembengkakan.7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea). Penderita
mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada,
apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan
medis.
Keganasan Hematologi4Klasifikasi1. Proposed WHO classification
of Myeloid Neoplasms-Myeloproliferative
Disease-Myelodysplastic/myeloproliferative Diseases-Myelodysplastic
Syndromes-Acute Myeloid Leukemia-Acute Biphenotypic Leukemias2.
Proposed WHO classification of Lymphoid Neoplasms -B-Cell
Neoplasms-Precursor B-cell neoplasm-Mature (peripheral) B-cell
neoplasms-T and NK-Cell Neoplasms-Precursor T-cell neoplasm-Mature
(peripheral) T-cell neoplasms-Hodgkins Lymphoma (Hodgkins
Disease)3. Mast Cell Diseases4. Histiocytic and Dendritic-Cell
Neoplasms-Macrophage/histiocytic neoplasm-Dendritic-Cell
Neoplasms5. Plasma Cell Disorders : Subtypes and Variants6.
Immunosecretory Disorders (Clinical Manifestations of Diverse
Lymphoid Neoplasms)
Leukemia Granulositik Kronik2,3,5,6,7DefinisiLGK/LMK adalah
gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan
sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang. LGK/LMK mencakup
20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia
pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang dinamakan
kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita LGK/LMK.
Bentuk leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan
tidak teratur dari sel myeloid didalam sumsum tulang dan
terakumulasi di dalam darah. Tipe penyakit myeloidproliferasi yang
dihubungkan dengan adanya translokasi kromosom 9 dan 22.
EpidemiologiLGK menyumbang 20% dari semua leukemia mempengaruhi
orang dewasa. Leukemiajenis ini sering menyerang individu setengah
baya. Penyakit ini jarang terjadi pada individu yang lebih muda.
Pasien yang lebih fase akselerasi atau krisis blast. Leukemia
jenisini dapat muncul sebagai penyakit onset baru pada orang tua.
Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan wanita yaitu 1.4:1. Usia
rata-rata pasien dengan CML adalah 66 tahun. Namun, sebagian besar
pasien yang dirawat studi terapi medis yang berusia 50 sampai 60
tahun (median: sekitar 53 tahun). Pasien transplantasi sumsum
tulang (BMT) studi biasanya lebih muda (median usia: sekitar 40
tahun).
PatofisiologiLGK dianggap sebagai suatu gangguan
mieloproliferatif karena sumsum tulang hiperselular dengan
proliferasi pada semua garis diferensasi sel. Julah granulosit
umumnya lebih dari 30.000/mm. Walaupun pematangannya terganggu,
sebagian besar sel tetap menjadi matang dan berfungsi. Pada 85%
kasus, terdapat kelaianan kromosom yang disebut kromosom
philadelphia. Kromosom philadelphia merupakan suatu translokasi
dari lengan panjang kromosom 22 ke kromosom 9. Kelainan kromosom
ini mempengaruhi sel induk hematopoetik dan karena terdapat pada
garis sel mieloid, serta beberapa garis limfoid.
Gejala KlinisPasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan
kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan laboratorium rutin.
Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak
terlalu signifikan, gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan
trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun kenaikan jumlah
trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK).
Splenomegali seringkali terjadi.LGK dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Biasanya pada
fase kronis LGK ditemukan secara kebetulan, mis pada saat persiapan
operasi. Ditemukannya leukositosis hebat tanpa gejala infeksi. Pada
fase kronis, terjadi pembesaran limpa, sehingga pasien sering
mengeluh kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Timbul
nyeri diperut kanan atas. Keluhan lain yaitu rasa cepat lelah,
lemah badan, demam yg tidak tinggi, keringat malam. Penurunan BB
(terjd stlah penyakit berlangsung lama), keluhan ini akibat dari
hipermetabolisme akbat prolierasi sel2 leukimia. Setelah 2-3 tahun,
penyakitnya menjadi progresif atau akselerasi dengan tanda
leukositosis yg sulit dikontrol oleh obat2 mielosuprsif, mieloblas
di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit 50 x
109 /L dan kadang kadang >500 x 109/L.b. Meningkatnya jumlah
basofil dalam darah.c. Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum
lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil,
dengan komponen paling menonjol ialah segmen netrofil dan mielosit.
Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel
blast kurang dari 5%.d. Anemia mula mula ringan menjadi progresif
pada fase lanjut, bersifat normokromik normositer.e. Trombosit bisa
meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.f. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline
phosphatase [NAP] score) selalu rendah2. Sumsum Tulang.Hiperseluler
dengan sistem granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan
darah tepi. Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal atau
meningkat.3. Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1)
chromosome pada kasus 95% kasus.4. Vitamin B12 serum dan B12
binding capacity meningkat.5. Pemeriksaan PCR (polymerase chain
reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr abl pada 99%
kasus.6. Kadar asam urat serum meningkat.
Pemeriksaan PenunjangHapusan Darah TepiPada CML, peningkatan
granulosit matang dan jumlah limfosit normal (persentase rendah
karena dilusi dalam hitungan diferensial) menghasilkan jumlah
leukosit total 20,000-60,000 sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil
dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih menonjol selama masa
transisi ke leukemia akut. Proses apoptosis neutrofil
matang/granulosit mengalami penurunan (kematian sel terprogram),
mengakibatkan akumulasi sel berumur panjang dengan enzim yang
rendah atau tidak ada, seperti alkalin fosfatase (ALP). Akibatnya,
pada pengecatan alkali fosfatase leukosit sangat rendah bahkan
tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan skor rendah.Darah
perifer pada pasien dengan CML menunjukkan gambaran darah khas
leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum tulang
(Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Hapusan Darah Tepi Pasien CML. Fillm blood pada
perbesaran 400x menunjukkan leukositosis dengan kehadiran sel-sel
prekursor dari garis keturunan myeloid. Selain itu, basophilia,
eosinofilia, dan trombositosis dapat dilihat.
Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan
respon terhadap terapi obat myelosuppressive, munculnya sel-sel
blast perifer (15%), promyelocytes ( 30%), basofil ( 20%), dan
penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000 sel/uL.
Promyelocytes dan basofil ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Transisi. Film
Blood pada perbesaran 1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil,
dan basofil
Gambar 2.5 Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Blast Film Blood
pada perbesaran 1000X menunjukkan garis keturunan granulocytic
keseluruhan, termasuk eosinofil dan basofil a. Courtesy of U.
Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan
CML adalah penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau
interferon, meningkatnya sel blast dalam darah tepi dengan
basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi,
kelainan sitogenetika baru, dan meningkatnya splenomegali dan
myelofibrosis. Di sekitar dua pertiga kasus, sel blast yang
ditemukan adalah myeloid. Namun, pada sepertiga kasus sisanya, sel
blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe limfoid, bukti lebih
lanjut dari sifat sel induk penyakit asli. Kelainan kromosom
tambahan biasanya ditemukan pada saat fase blast krisis, termasuk
tambahan Ph translokasi kromosom atau lainnya. Sel myeloid awal
seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes, dan berinti sel
darah merah yang biasa hadir dalam hapusan darah, meniru temuan di
sumsum tulang. Kehadiran sel-sel progenitor yang berbeda midstage
membedakan CML dari leukemia myelogenous akut, di mana leukemic gap
(maturation arrest) atau hiatus ada dan menunjukkan adanya sel-sel
ini. Anemia ringan sampai anemia sedang sangat umum pada saat
diagnosis dan biasanya normokromik normositik dan. Jumlah trombosit
pada diagnosis bisa rendah, normal, atau bahkan meningkat pada
beberapa pasien (> 1 juta pada beberapa).
Analisis Sumsum TulangSumsum tulang bersifat hypercellular,
dengan perluasan lini sel myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil,
basofil) dan sel progenitornya. Megakaryocytes (lihat gambar di
bawah) yang menonjol dan dapat ditingkatkan. Fibrosis ringan sering
terlihat pada pengecatan reticulin.
Gambar 2.6 Hapusan Sumsum Tulang Pasien CML. Sumsum tulang Film
pada perbesaran 400x menunjukkan dominasi jelas granulopoiesis.
Jumlah eosinofil dan megakaryocytes meningkat.
Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum tulang, dan darah bahkan
perifer, harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang merupakan
translokasi resiprokal antara kromosom dari bahan kromosom 9 dan 22
(lihat gambar di bawah). Ini adalah ciri khas CML, ditemukan di
hampir semua pasien dengan penyakit dan terdapat sepanjang
perjalanan klinis seluruh CML.
Gambar 2.7 Philadelphia kromosom. Kromosom Philadelphia, yang
merupakan kelainan karyotypic diagnostik untuk leukemia myelogenous
kronis, akan ditampilkan dalam gambar ini dari kromosom banded 9
dan 22. Yang ditampilkan adalah hasil dari translokasi resiprokal
22q ke lengan bawah 9 dan 9q (c-ABL pada wilayah klaster breakpoint
tertentu [bcr] kromosom 22 ditandai dengan panah). Selain itu, BCR
chimeric / ABL messenger RNA (mRNA) yang menjadi ciri khas CML
dapat dideteksi oleh polymerase chain reaction (PCR). Ini adalah
tes sensitif yang hanya memerlukan beberapa sel dan berguna dalam
memantau penyakit sisa minimal (MRD) untuk menentukan efektivitas
terapi. BCR-ABL transkrip mRNA juga dapat diukur dalam darah
perifer.Analisis karyotypic sel sumsum tulang memerlukan keberadaan
sel yang membelah tanpa kehilangan viabilitas karena bahan
mensyaratkan bahwa sel masuk ke mitosis untuk mendapatkan kromosom
individu untuk identifikasi setelah banding. Proses pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang memerlukan keahlian analis.Teknik baru
fluoresensi hibridisasi in situ (IKAN) menggunakan probe yang
berlabel hibridisasi baik kromosom metafase atau inti interfase,
dan probe hibridisasi terdeteksi dengan fluorochromes. Teknik ini
merupakan cara yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi kelainan
struktural numerik dan berulang. (Lihat gambar di bawah.)
Gambar 2.8 Fluoresensi hibridisasi in situ menggunakan
unik-urutan, DNA probe ganda fusi untuk bcr(22q11.2) dengan warna
merah dan c-ABL (9q34) gen daerah di hijau. Para bcr normal / ABL
fusi hadir di Philadelphia kromosom-positif sel-sel dalam kuning
(kanan panel) dibandingkan dengan kontrol (panel kiri).
Dua bentuk mutasi BCR / ABL telah diidentifikasi. Ini bervariasi
sesuai dengan lokasi dari daerah mereka bergabung pada domain bcr
3'.Sekitar 70% pasien yang memiliki 5 'breakpoint DNA memiliki
pesan RNA b2a2, dan 30% pasien memiliki 3' breakpoint DNA dan pesan
RNA b3a2. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fase kronis lebih
pendek, kelangsungan hidup lebih pendek, dan trombositosis. CML
harus dibedakan dari Ph1-negatif dengan hasil PCR negatif untuk BCR
/ ABL mRNA. Penyakit ini termasuk gangguan myeloproliferative lain
dan leukemia myelomonocytic kronis, yang sekarang diklasifikasikan
dengan sindrom myelodysplastic.Kelainan kromosom tambahan, seperti
kromosom Ph1-positif tambahan atau ganda atau trisomi 8, 9, 19,
atau 21, 17 isochromosome, atau penghapusan kromosom Y, telah
digambarkan sebagai pasien memasuki sebuah bentuk transisi atau
fase percepatan krisis blast.Pasien dengan kondisi selain CML,
seperti yang baru didiagnosis leukemia limfositik akut (ALL) atau
leukemia nonlymphocytic, mungkin juga mempunyai kromosom Ph1.
Beberapa menganggap pasien ini ada dalam fase blastic CML tanpa
fase kronis. Kromosom ini jarang ditemukan pada pasien dengan
gangguan myeloproliferative lain, seperti polisitemia vera atau
thrombocythemia esensial, tetapi ini mungkin kondisi misdiagnosis
leukemia myelogenous kronis (CML). Hal ini jarang diamati dalam
sindrom myelodysplasticTatalaksanaSebagian besar pengobatan tidak
menyembuhkan penyakit, tetapi hanya memperlambat perkembangan
penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila jumlah sel darah
putih dapat diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter darah.
Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan semua
sel leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan
pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika
dilakukan pada stadium awal dan kurang efektif jika dilakukan pada
fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa bisa
menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi.
Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling
banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi
karena memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak
boleh terlalu lama. Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu
mengurangi jumlah sel leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui
pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi rasa tidak nyaman di
perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi kemungkinan
dilakukannya tranfusi.
KomplikasiLeukemia granulositik kronik (LGK) dapat menyebabkan
berbagai komplikasi, diantaranya yaitu: Kelelahan (fatigue). Jika
leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah merah, maka anemia
dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan anemia
tersebut. Proses terapi LGK juga dapat meyebabkan penurunan jumlah
sel darah merah. Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit
dalam darah (trombositopenia) pada keadaan LGK dapat mengganggu
proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami
epistaksis, pendarahan dari gusi, ptechiae, dan hematom. Rasa sakit
(pain). Rasa sakit pada LGK dapat timbul dari tulang atau sendi.
Keadaan ini disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan leukosit
abnormal yang berkembang pesat. Pembesaran Limpa (splenomegali).
Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat keadaan LGK sebagian
berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah besar,
bahkan beresiko untuk pecah. Stroke atau clotting yang berlebihan
(excess clotting). Beberapa pasien dengan kasus LGK memproduksi
trombosit secara berlebihan. Jika tidak dikendalikan, kadar
trombosit yang berlebihan dalam darah (trombositosis) dapat
menyebabkan clot yang abnormal dan mengakibatkan stroke. Infeksi.
Leukosit yang diproduksi saat keadaan LGK adalah abnormal, tidak
menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan LGK
juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah,
sehingga sistem imun tidak efektif. Kematian.Myelofibrosis dengan
Metaplasia Myeloid8-18PatofisiologiPada tahun 1951, Dameshak
mengelompokkan mielofibrosis dalam CMPD bersama dengan CML, PV, dan
ET karena klinis dan morfologi yang hampir sama. Semua
memperlihatkan adanya hiperplasia sumsum tulang, hematopoiesis yang
tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan
konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum
tulang, dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut. Semua
gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi somatik sel stem
hematopoiesis pluripoten.Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor
pencetus yang menghasilkan hemopatia klonal pada mielofibrosis.
Kelainan kromosom seperti 9p, 20q-, 13q-, trisomi 8 atau 9, atau
trisomi parsial 1q dapat ditemukan pada pasien mielofibrosis,
tetapi tidak terdapat abnormalitas sitogenetik yang spesifik
terhadap penyakit ini. Perubahan tingkat molekular terjadinya
mielofibrosis belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian.
Perkembangan mielofibrosis mungkin berhubungan dengan abnormalitas
gen p53 atau gen ras. Pada sekitar 45% pasien mielofibrosis
memperlihatkan mutasi JAK2 V617F. Mielofibrosis merupakan reaksi
sekunder terhadap hemopatia klonal.Beberapa Kondisi yang
Memungkinkan Terjadinya Mielofibrosis
Kondisi Neoplastik Acute leukemiaChronic myelogenous
leukemiaHairy cell leukemiaHodgkin diseaseLymphomaMultiple
myelomaMyelodysplasiaMetastatic carcinomaPolycythemia veraSystemic
mastocytosisKondisi Non Neoplastik HIV
infectionHyperparathyroidismRenal
osteodystrophySLETuberculosisVitamin D deficiencyThorium dioxide
exposureGray platelet syndrome
Sel fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi. Sel ini
normal dan bersifat poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin
yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel
hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis
kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi prokolagen (hasil
pemecahan kolagen) merupakan petanda sintesis kolagen baru yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun
dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum tulang.
4 dari 5 tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3
merupakan komponen fibrosis utama pada mielofibrosis. Timbunan
kolagen meningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada
mielofibrosis, vaskularisasi meningkat. Luasnya neovaskularisasi
ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan mungkin hal ini penting
terhadap timbulnya fibrosis. Transforming Growth Factor (TGF)-
sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada
mielofibrosis. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel
endotel seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF- juga
stimulus yang poten terhadap angiogenesis.Peningkatan vaskularisasi
ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor
angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik
tersebut adalah basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dan Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel
untuk migrasi, proliferasi, dan membentuk jaringan pembuluh darah
pada tempat tersebut. Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada
mielofibrosis melibatkan liver dan limpa. Ruangan ekstramedular
ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis.
DiagnosisSalah satu petunjuk awal untuk diagnosis mielofibrosis
dengan metaplasia myeloid adalah myelophthisis darah, suatu kondisi
yang ditandai oleh adanya leukoerythroblasts (granulosit matang dan
sel darah merah berinti) dan sel darah merah tetesan air mata
berbentuk. Penyebab yang mendasari dari leukoerythroblastosis dan
produksi sel darah merah berbentuk teardrop mungkin terkait dengan
hematopoiesis sinusoidal intramedulla di sumsum tulang dan
metaplasia myeloid dari limpa. Dalam kasus apapun, myelophthisis
juga dapat terjadi pada gangguan lain yang mungkin atau mungkin
tidak berhubungan dengan fibrosis sumsum tulang. Ini termasuk
leukemia myeloid kronis, sindrom myelodysplastic, kanker
metastatik, limfoma, penyakit Hodgkin, dan diskrasia sel
plasma.Oleh karena itu, pemeriksaan sumsum tulang dengan metode
sitogenetika sangat penting dalam kasus myelophthisis untuk
mengecualikan ini diagnosis alternatif. Pada pasien dengan
mielofibrosis dengan metaplasia myeloid, sumsum tulang tidak mudah
disedot (sering mengakibatkan keran kering). Temuan yang khas dalam
spesimen biopsi inti fibrosis medula, hiperplasia
dysplasticmegakaryocyte, osteosclerosis, dan dilatasi sinusoid
sumsum disertai dengan hematopoiesis intravaskular. Fibrosis
kolagen mungkin lebih baik diperkirakan dengan impregnasi perak
atau pewarnaan trichrome. Pemeriksaan morfologi hati dari sumsum
tulang diperlukan untuk menyingkirkan, antara diagnosis lain,
sindrom myelodysplastic dengan mielofibrosis dan mielofibrosis
akut.
TatalaksanaPenatalaksanaan penderita terdiri dari terapi medis,
transplantasi sumsum tulang, splenektomi dan terapi radiasi. Terapi
medis sebaiknya tidak diberikan sampai penderita mengalami gejala
oleh karena tidak memperbaiki angka kelangsungan hidup penderita.
Bentuk terapi medis yang dimaksud adalah pemberian transfusi packed
red cell/PRC, preparat androgen (dengan fluoxymesterone atau
danazol), glukokortikoid (prednison), asam folat, eritropoitin,
kemoterapi (dengan hidroksiurea dosis rendah, busulfan atau
6-tioguanin) dan thalidomide.Transplantasi sumsum tulang sebaiknya
dipertimbangkan untuk penderita berusia 36 ml / kg, perempuan >
32 ml / kg 2. Saturasi Oksigen > 92 % 3. Splenomegali1.
Trombositosis > 400.000 / mm3 2. Lekositosis > 12.000 / mm3
3. Aktivasi Alkali fosfatase lekosit >100 ( tanpa ada demam /
infeksi ) 4. B 12 serum > 900 pg / ml atau UBBC (Unsaturated B12
Binding Capasity ) > 2200 pg / ml
DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA 1. 3 kriteria mayor, atau 2. 2. 2
kriteria mayor pertama + 2 kriteria minor
Beberapa kriteria (alkali fosfatase lekosit, B12 serum,UBBC)
dianggap kurang sensitif, sehingga dilakukan revisi kriteria
diagnostik Polisitemia Vera sebagai berikutKriteria kategori A :
A1. Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25 % diatas rata-rata
angka normal. A2. Tidak ada penyebab polisitemia sekunder. A3.
Splenomegali A4. Petanda klon abnormal (Kariotipe abnormal ).
Kriteria kategori B : B1. Trombositosis : 400.000/mm3 B2.
Leukositosis : 12.000/mm 3 (tidak ada infeksi). B3. Splenomegali
pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi B4. Penurunan
serum eritropoitin.
Diagnosis Polisitemia Vera : Kategori A1 +A2 dan A3 atau A4 atau
Kategori A1 + A2 dan 2 kriteria kategori B.
Sejak ditemukan mutasi JAK2V617F tahun 2005, maka diusulkan
pemeriksaan JAK2 sebagai kriteria diagnosis Polisitemia Vera.
KomplikasiBerdasarkan pengalaman 50% dari pasien yang tidak
dirawat meninggal dalam 18 bulan setelah serangan awal dari gejala,
terutama yang berasal dari trombosis. Insiden trombosis vaskular
yang tinggi pada kelainan ini ditandai dengan peningkatan volume
darah peningkatan viskositas darah dan peningkatan jumlah platelet.
Trombosis arteri atau vena dapat terlihat dalam frekuensi yang sama
pada serebral, koronaria, mesentrik atau trombosis pulmonari dan
juga dijumpai pada pembuluh darah kecil di kaki, retina dan vena
portal. Selain itu juga terjadi perdarahan, perdarahan yg terjadi
dari perdarahan intrakranial, gastrointestinal dan yang telah
terjadi setelah menjalani berbagai prosedur pembedahan. Adanya
ekimosis yang meluas, epitaksis dan perdarahan setelah prosedur
teknik bedah minor juga dapat meinimbulkan masalah yang ekstrim.
Dengan plebotomi saja angka harapan hidup lebih dari 12 tahun, tapi
dengan terapi plebotomi saja akan meningkatkan terjadinya trombosis
dalam 3 tahun pertama terapi, karena buruknya komplikasi plebotomi,
peningkatan splenomegali, lekosit dan trombosit sebaiknya
dipertimbangkan untuk diberikan terapi sitoreduksi yaitu
Klorambusil dan 32P, walaupun dengan terapi sitoreduksi ini akan
meningkatkan kejadian leukemia akut, sehingga PVSG menyarankan
terapi dengan Hidroksiurea plus plebotomi untuk menurunkan kejadian
trombosis dan leukemia akut.
Anemia Aplastik Dan Hemolitik3,27,28,29Anemia aplastik
definisikan sebagai kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi
komponen sel-sel darah. Anemia aplastik adalah Anemia yang disertai
oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan kelainan primer
pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang.
Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala
manifestasinya.Gejala-gejala yang timbul akan sesuai dengan jenis
sel-sel darah yang mengalami penurunan. Jika eritrosit yang menurun
maka akan menimbulkan gejala anemia dari ringan sampai berat,
antara lain lemah, letih, lesu, pucat, pusing, sesak nafas,
penurunan nafsu makan dan palpitasi. Bila terjadi leukositopenia
maka terjadi peningkatan resiko infeksi, penampakan klinis yang
paling sering nampak adalah demam dan nyeri. Dan bila terjadi
trombositopenia maka akan mudah mengalami pendarahan seperti
perdarahangusi, epistaksis, petekia, ekimosa dan lain-lain. Anemia
hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Gambaran klinis pasien
memperlihatkan kepucatan membran mukosa, ikterus ringan yang
berfluktuasi, dan splenomegali.Pemeriksaan Lien30Dalam menentukan
pembesaran limpa secara palpasi, teknik pemeriksaannya tidak banyak
berbeda dengan palpasi hati. Pada keadaan normal limpa tidak
teraba. Limpa membesar mulai dari lengkung iga kiri, melewati
umbilikus sampai regio iliaka kanan. Seperti halnya hati, limpa
juga bergerak sesuai dengan gerakan pernapasan. Palpasi dimulai
dari regio iliaka kanan, melewati umbilikus di garis tengah
abdomen, menuju ke lengkungiga kiri. Pembesaran limpa diukur dengan
menggunakan garis Schuffner (disingkat denganS), yaitu garis yang
dimulai dari titik lengkung iga kiri menuju ke umbilikus dan
diteruskan sampai ke spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan.
Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian yang sama yaitu S1 sampai
dengan S8. Palpasi limpa dapat dipermudah dengan cara memiringkan
penderita 450 ke arah kanan (ke arah pemeriksa). Setelah tepi bawah
limpa teraba, kemudian dilakukan deskripsi pembesarannya. Untuk
meyakinkan bahwa yang teraba tersebut adalah limpa, maka harus
diusahakan meraba insisuranya.Letakkan tangan kiri anda dibawah
dari arkus kostarum kiri pasien, dorong dan tekan kearah depan.
Dengan tangan kanan dibawah pinggir costa, tekan kearah limpa.
Mulailah palpasi pada posisi limpa yang membesar. Suruh pasien
nafas dalam kemudian usahakan meraba puncak atau pinggir dari limpa
karena limpa turun mengenai ujung jari. Catatlah adanya nyeri
tekan, nilai contour dari limpa dan ukur jarak antara titik
terendah dari limpa dengan pinggir costa kiri.
Sesak Nafas Saat SujudPenderita sesak dapat disebabkan hal-hal
berikut2: jumlah eritrosit dibawah normal sehingga kadar oksigen
dalam tubuh berkurang adanya splenomegali sehingga dapat mendesak
rongga dada jumlah leukosit yang sangat tinggi (> 100 ribu/mm3)
sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang
menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri.gejala yang
sering dijumpai pada keadaan leukostasis diantaranya yaitu sesak
napas, nyeri dada, gangguan kesadaran dan priapismus.
Penurunan BBBanyak pasien kanker menderita penyusutan progresif
lemak tubuh dan massa tubuh nonlemak, disertai melemahnya tubuh
secara mencolok, anoreksia, dan anemia. Sindrom mengurusnya tubuh
ini disebut kskeksia. Perburukan yang lambai ini biasanya diakhiri
oleh timbulnya infeksi. Secara umum terdapat korelasi antara ukuran
dan luas penyebaran kanker dengan keparahan kakeksia.Penyebab
kakeksia pada kanker beragam. Anoreksia merupakan masalah yang
sering ditemukan pada pasien kanker, bahkan pada mereka yang tidak
menderita tumor di saluran cerna. Menurunnya asupan makanan
dilaporkan berkaitan dengan kelainan pengecapan dan pada kontrol
pusat nafsu makan, tetapi penurunan asupan kalori saja belum cukup
untuk menjelaskan kakeksia pada keganasan. Pada pasien kanker,
pengeluaran kalori tetap tinggi, dan laju metabolisme basal
meningkat, walaupun asupan makanan berkurang. Hal ini berbeda
dengan penurunan laju metabolisme yang terjadi sebagai respons
adaptasi terhadap kelaparan. Dasar dari berbagai kelainan metabolik
ini masih belum sepenuhnya dipahami. Faktor tertentu di dalam darah
misalnya TNF dan IL-1, yang dikeluarkan oleh makrof ag aktif,
mungkin berperan. TNF menekan nafsu makan dan menghambat kerja
lipoprotein lipase, yang menghambat pembebasan asam lemak bebas
dari lipoprotein. Suatu faktor pemobilisasi protein yang
menyebabkan terurainya protein otot rangka melalui jalur
ubikuitin-proteosom pernah ditemukan dalam serum pasien kanker.
Pada hewan sehat, penyuntikan zat ini menyebabkan penurunan berat
akut tanpa menimbulkan anoreksia. Molekul lain dengan efek
lipolitik juga dapat ditemukan. Belum ada pengobatan yang memuaskan
bagi kakeksia kanker selain menghilangkan penyebab yang mendasari,
yaitu tumornya.31
Nyeri Pada Ibu Jari32Nyeri pada ibu jari kemungkinan disebabkan
adanya Gout. Gout merupakan gejala klinis yang dapat muncul pada
leukemia granulositik kronik. Gout disebabkan oleh hiperurisemia
akibat pemecahan purin yang
berlebihan.Hepatosplenomegali2,7,5Splenomegali terjadi karena
peningkatan fungsi limpa untuk menyaring sel darah dan
menyingkirkan sel yang abnormal dan teradinya infiltrasi sel-sel
ganas. Splenomegali dapat disebabkan oleh kongesti vascular akibat
peningkatan tekanan vena, histiofagositik hyperplasia, infiltrasi
seluler yang lain atau karena adanya sel darah merah yang tidak
normal seperti sickle cell atau antibody-coated red cells pada
anemia hemolitik autoimun yang tidak dapat difagosit oleh sel-sel
mononuklear seperti pada limpa yang normal.Pembesaran limpa ini
akan mendesak lambung sehingga menyebabkan penderita mengeluh cepat
kenyang dan mual. Hepatomegali dan splenomegali didapatkan dari
seluruh jenis leukemia baik akut maupun kronik. Organomegali ini
disebabkan adanya infiltrasi sel blast ke lien atau hepar, sehingga
terjadi perbesaran. Harus dilakukan pemeriksaan lanjutan jika ingin
mengetahui diagnosis sebenarnya. Namun, bila ditemukan terjadi
hepatomegali, perlu dihubungkan pula dengan kemungkinan pembesaran
hati karena penyakit lain, seperti pada hepatitis.Hepatomegali.
Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2)
akibat anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam
kasus ini, kaitan yang paling mungkin adalah hepatomegali terjadi
akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan hepar.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan
I. Daftar Pustaka1. Simon, Sumanto, dr. Sp.PK. Neoplasma Sistem
Hematopoietik: Leukemia. Jakarta:Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya Jakarta; 2003.2. Sudoyo, W. A.dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Keempat, EGC. Jakarta; 2006.3. Hoffbrand AV, Pettit
JE, Moss PAH. Leukemia. Dalam Buku Hematologi.Edisi 4.Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta; 20024. WHO. International Classification
of Disease for Oncology. Third Edition; 20135. Price, A Sylvia dan
Lorraine, M Wilson. Pathophysiology: clinical concepts of disease
processes. EGC: Jakarta; 2005.6. Hehlmann R, Hochhaus A, Baccarani
M; European LeukemiaNet Chronic myeloid leukaemia;20077. Fadjari H.
Leukemia Granulositik Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 2.Edisi 4.FKUI: Jakarta; 20078. Casciato DA.
Myeloproliferative disorder. In: Casciato DA, editor. Manual of
clinical oncology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004.p.496-513.9. Vardiman JW. The World Health
Organization (WHO) classification of the myeloid neoplasms. Blood;
2002;100:2292-302.10. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other
Myeloproliferative Diseases. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principles of
Internal Medicine volume I. 17th edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2008. p. 674-5.11. Clark AD, Williams WL.
Myelofibrosis. Wintrobes Clinical Hematology. 11th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.2273-84.12.
Spivak JL. Polycythemia vera and other mieloproliferative diseases.
In: Kasper DL et al, editors. Harrisons principles of internal
medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division; 2005.p.626-31.13. Greer JP et al. Acute Myeloid Leukemia
in Adults. In Wintrobes Clinical Hematology. 11th ed. Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkin, 2096-142.14. DiBella, N.J.,
Silverstein, M.N. & Hoagland, H.C. Effect of splenectomy on
teardrop shaped erythrocytes in agnogenic myeloid metaplasia. Arch
Intern Med; 1997: 137:380-1.15. Casciato DA. Myeloproliferative
disorder. In: Casciato DA, editor. Manual of clinical oncology. 5th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2004.p.496-513.16. Clark AD, Williams WL. Myelofibrosis. Wintrobes
Clinical Hematology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2004.p.2273-84.17. Leblond, P.F., Weed, R.I. The
peripheral blood in polycythemia vera and myelofibrosis. Clinical
Haematology; 1995: 4:353-71.18. Manoharan, A., Hargrave, M. and
Gordan, S. Effect of chemotherapy on tear drop poikilocytes and
other peripheral blood findings on myelofibrosis. Pathology; 1998:
20:7-9.19. Supandiman I, Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman
diagnosis dan terapi Hematologi Onkologi Medik; 2003: 83 - 90 20.
Stuart B J,Viera AJ.Polycythemia Vera.Polycythemia :primary and
Secundary.Practical diagnosis of hematologyc disordrers;
2000:3;221-227 Mazza, Joseph J.Classification. Myeloproliferative
Diseases. Manual of Clinical Hematology; 2002:3;93-98.21. Prenggono
D.Polisitemia vera. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi
IV. Penerbit IPD FKUI; 2006:702-705.22. Altman arnold J.
Polycytemia vera. http//www.emedecine.google.com. emedicine jurnal
volume 2 number 9; 200123. Mazza, Joseph J.Polycythemia Vera.
Myeloproliferative Diseases. Manual of Clinical Hematology; 2002:
3; 137-142.24. Tefferi A. Polycythemia Vera : A Comprehensive
Review and Clinical Recommendations. Mayo Clin Proc; 2003 :78 :174
19425. Campbell PJ,Green AR.Management of Polycythemia Vera and
Essential Thrombocythemia. American Society of Hematology;
2005;201-208.26. Supandiman I,Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman
diagnosis dan terapi Hematologi Onkologi Medik; 2003:83-90.27.
Alkhouri, Nabiel and Solveig G Ericson. Aplastic Anemia : Review
of28. Etiology and Treatment. Hospital Physician; 1999. P;46-52.29.
Bakta, I Made Prof,dr. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC
;2006 : 97-107.30. Lynn. S. Bickley; Bates Guide to Physical
Examination and History taking, 8 th Edition, Lippincott; 200331.
Robbins, Kumar, dan Cotran. Buku Ajar Patologi: Neoplasma. Volume
1. Jakarta: EGC, 2007. h. 185-237.32. Junqueira, L. C., Carneiro,
J., Kelley, R.O., 1998. Histologi Dasar. Edisi 8. EGC. Jakarta