WORKING PAPER PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI): STUDI KASUS INDONESIA Shinta R. I. Soekro Triono Widodo (Konsultan) Desember, 2015 WP/12/2015 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
95
Embed
pemetaan dan determinan intra-asean foreign direct investment (fdi)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
WORKING PAPER
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI):
STUDI KASUS INDONESIA
Shinta R. I. Soekro
Triono Widodo (Konsultan)
Desember, 2015
WP/12/2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
1
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN
DIRECT INVESTMENT (FDI): STUDI KASUS INDONESIA
Shinta R.I. Soekro* dan Triono Widodo (Konsultan)
Abstrak
Sebagai salah satu pilar dari KEA, aliran modal diharapkan akan semakin masif antarnegara ASEAN dengan diimplementasikannya KEA akhir 2015. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia merupakan penerima terbesar foreign direct investment (FDI) dari kawasan.
Investasi tersebut diharapkan tidak hanya untuk memperluas pasar dan mencari sumber daya, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan FDI yang berasal dari ASEAN-5 ke Indonesia dan mengidentifikasi determinan FDI tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis perilaku outward FDI Indonesia ke ASEAN-5 serta melihat bagaimana pergeseran pola FDI ke sektor ekonomi yang lebih memiliki teknologi tinggi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel dinamis dengan Generalized Method of Moments (GMM) dan analisis structural breaks Bai dan Perron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan inward FDI intra-ASEAN ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB negara asal, jarak, produktivitas relatif, sumber daya alam, infrastruktur jalan, perdagangan bilateral, dan volume ekspor. Sementara itu determinan outward FDI Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral,
dan karakteristik negara Singapura. FDI yang masuk ke Indonesia cenderung berorientasi mengejar pasar lokal, seperti halnya outward FDI Indonesia. Dalam hal pergeseran inward FDI Indonesia ke sektor yang berteknologi lebih tinggi, ditemukan bahwa tidak terjadi pergeseran yang berkelanjutan ke arah tersebut. Hasil penelitian menemukan bahwa FDI intra-ASEAN ke Indonesia cenderung bergeser ke arah sektor tersier.
Key words : FDI, intra-ASEAN, pasar lokal, data panel dinamis,
structural breaks
JEL Classification : F23, F00, C33
* Penulis mengucapkan apreasiasi kepada R. Aga Nugraha (BI Institute), Lutzardo Tobing (BI
Institute) dan Sandy Juli Maulana (Asisten Peneliti).
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) diyakini
merupakan salah satu sumber penting pembiayaan bagi suatu negara, khususnya
negara-negara berkembang. FDI yang merupakan arus masuk modal jangka
panjang dan relatif tidak rentan terhadap gejolak perekonomian sangat diharapkan
untuk membantu mendorong pertumbuhan investasi yang berkesinambungan
(sustainable) di negara-negara emerging, termasuk Indonesia. Dengan pertimbangan
arus investasi asing langsung yang berkesinambungan merupakan bagian penting
dalam strategi pembangunan jangka panjang suatu negara, negara-negara anggota
ASEAN sepakat untuk memasukkan investasi sebagai salah satu elemen dari pilar
single market and production base yang merupakan satu dari empat pilar ASEAN
Economic Community.
Salah satu perwujudan komitmen negara ASEAN dalam kerja sama regional
adalah disepakatinya ASEAN Vision 2020 di Kuala Lumpur, Malaysia pada
Desember 1997 pada ASEAN Summit. Visi tersebut mengarah pada perwujudan
suatu komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang berlandaskan pada tiga pilar,
yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Political and Security Community
(ASPC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Ketiga pilar tersebut secara
paralel akan mengarah pada terbentuknya suatu ASEAN Community pada tahun
2020. Selanjutnya pada ASEAN Summit di Cebu, Filipina bulan Januari 2007
disepakati bahwa pembentukan komunitas ASEAN tersebut akan dipercepat
menjadi tahun 2015. Percepatan pencapaian visi tersebut dilatarbelakangi oleh
upaya negara-negara ASEAN untuk mengurangi risiko berpindahnya arus modal
asing di tengah meningkatnya persaingan ekonomi regional seiring dengan pesatnya
pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India serta untuk mendorong ekonomi negara
ASEAN agar lebih efisien dan tumbuh lebih cepat (Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri,
2007). Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) tersebut akan efektif dan resmi dimulai
pada tanggal 31 Desember 2015.
3
Gambar 1. ASEAN Economic Community
Secara konseptual pembentukan KEA dilakukan melalui empat kerangka
kerja strategis (pilar) yang dituangkan dalam cetak biru KEA2 (Gambar 1). Salah satu
konsep yang digagas adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis
produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang (free flow of goods), aliran
bebas jasa (free flow of services), aliran bebas investasi (free flow of investment), dan
aliran lebih bebas arus modal (freer flow of capital), serta aliran bebas tenaga kerja
terampil (free movement of skilled labour). Keempat kerangka kerja strategis tersebut
diharapkan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara
ASEAN.
Meski disadari bahwa KEA sebagai salah satu wadah kerja sama kawasan
akan memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya, tidak dapat dipungkiri
bahwa kerja sama kawasan ini pada kenyataannya menimbulkan perdebatan, baik
di antara kaum birokrat, teknokrat, maupun akademisi. Bagi mereka yang
mendukung, kerja sama kawasan dianggap sebagai building block karena bentuk
2 Dicuplik dari buku Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di
Tengah Kompetisi Global, Bank Indonesia (2008)
4
kerja sama itu akan mendorong mempercepat proses integrasi ekonomi global.
Sementara itu, mereka yang kurang sependapat menganggap bahwa kerja sama
kawasan merupakan stumbling block. Hal itu disebabkan terbentuknya kerja sama
kawasan umumnya akan diikuti oleh berbagai regulasi yang berbeda bagi negara
anggota dengan non-anggota sehingga dikhawatirkan akan menghambat integrasi
ekonomi global3.
Pada dasarnya dua elemen dalam pilar pasar tunggal dan basis produksi,
yaitu perdagangan (arus barang dan jasa) dan investasi (arus modal), memiliki
hubungan yang sangat erat. Perdagangan antardua negara atau lebih yang semakin
meningkat akan mendorong investor untuk mulai membuka fasilitas produksi di
negara tempat ekspor ke negara tersebut tinggi, yaitu berupa investasi asing
langsung (foreign direct investment–FDI). Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi
berbagai hambatan yang dialami ketika akan melakukan perdagangan antarnegara,
seperti hambatan tarif dan nontarif.
Bagi perusahaan multinasional, FDI memberikan peluang menekan biaya
produksi sekaligus meningkatkan pangsa pasar. Di sisi lain, FDI diyakini
memberikan manfaat kepada negara penerima, antara lain berupa pertumbuhan
ekonomi, pemasukan modal dan teknologi baru, serta peningkatan penyerapan
tenaga kerja
Untuk menarik FDI, setiap negara melakukan langkah yang berbeda-beda,
tergantung pada karakteristik negara tersebut, seperti infrastruktur, rezim
perdagangan yang dianut, ketersediaan tenaga terampil, dan kualitas kelembagaan.
Beberapa negara ASEAN menawarkan insentif khusus kepada investor asing seperti
tax holiday, import duty exemption, dan peningkatan ketersediaan infrastruktur.
Di Indonesia, tren perkembangan FDI mengalami peningkatan selama kurun
waktu lebih dari 40 tahun (1970–2014) dan mulai meningkat secara signifikan sejak
tahun 2001 (Grafik.1). Demikian pula dengan tren perkembangan perdagangan
Indonesia yang juga terus meningkat selama kurun waktu 30 tahun lebih (Grafik 2).
Apabila dilihat lebih jauh per kawasan, tampak bahwa perkembangan FDI intra-
ASEAN Indonesia terus menguat, sementara perdagangan intra-ASEAN Indonesia
mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan FDI setelah
3 Dicuplik dari Kompasiana Perdebatan Seputar Keberadaan Regionalism Ekonomi, 29
Oktober 2013.
5
tahun 2012 cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan
perdagangan.
Sumber : UNCTAD
Grafik 1. Perkembangan FDI Indonesia (1970–2014)
Grafik 2. Perkembangan Perdagangan Indonesia (1981–2013)
Seiring dengan terus meningkatnya arus FDI ke Indonesia dan pertumbuhan
FDI lebih tinggi dari pertumbuhan perdagangan internasional yang selama 3 tahun
terakhir cenderung menurun (Grafik 3), dipandang perlu pengkajian mengenai
karakteristik FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke empat
negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina) serta faktor-faktor yang
menarik FDI masuk ke Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
arah perkembangan produk FDI selain ingin mengetahui apakah investasi asing
bergerak menghasilkan produk yang lebih canggih (sophisticated) atau justru
sebaliknya. FDI yang lebih canggih umumnya cenderung memiliki produk ekspor
dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Bukti empiris menunjukkan bahwa dengan
produk ekspor yang lebih canggih, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi dalam
jangka panjang (Jarreau dan Poncety, 2009). Salah satu faktor yang memengaruhi
tingkat kecanggihan dari produk ekspor adalah spillover perusahaan FDI atau dalam
hal ini perusahaan multinasional (Iwamoto dan Nabeshima, 2012). Dengan
memasukkan aspek arah perkembangan FDI ke produk yang lebih canggih,
penelitian ini diharapkan dapat menangkap secara utuh fenomena FDI yang terjadi
di Indonesia.
145
(4,550)
22,580
(10,000)
(5,000)
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
19
70
19
73
19
76
19
79
19
82
19
85
19
88
19
91
19
94
199
7
20
00
20
03
20
06
20
09
20
12
juta
USD
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
198
1
19
83
19
85
19
87
19
89
19
91
19
93
19
95
19
97
19
99
20
01
20
03
20
05
20
07
20
09
20
11
20
13
juta
USD
1
Sumber: ASEAN Stat, UNCTAD, SEKI, diolah
Grafik 3. Pertumbuhan FDI dan Perdagangan Internasional Indonesia
1.2 Tujuan Penelitian
Dengan latar belakang pentingnya FDI sebagai salah satu sumber
pembiayaan bagi pembangunan suatu negara karena (i) sifatnya yang tidak volatile,
menetap lebih lama, dan sengaja diundang pemerintah untuk menciptakan
lapangan kerja, meningkatan kapasitas produksi, transfer teknologi, dan mengatasi
kesenjangan tabungan investasi (S-I gap); (ii) tidak ada kewajiban pembayaran
pokok bagi FDI yang berbentuk penyertaan di satu sisi; serta (iii)
mempertimbangkan FDI merupakan salah satu elemen penting dalam KEA yang
akan mulai diimplementasikan pada akhir 2015 di sisi lain, dipandang penting
pemahaman lebih jauh terhadap faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan
FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke negara ASEAN-5
serta pemahaman karakteristiknya.
Hipotesis awal menunjukkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia mengalami
pergeseran ke arah FDI yang memproduksi barang-barang yang lebih canggih.
Meskipun begitu, FDI di Indonesia diduga masih tetap didominasi oleh aktivitas
produksi untuk mendekati pasar lokal dan bukan untuk menjadikan Indonesia,
dalam hal ini adalah host-country, sebagai negara basis produksi untuk ekspor.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Memetakan FDI yang masuk ke Indonesia (negara asal, sektor, komoditas, dan
aspek kebijakannya) yang berasal dari empat negara ASEAN (Malaysia,
Singapura¸ Thailand, dan Filipina) atau ASEAN-5.
(20.0)
(10.0)
-
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
2011 2012 2013 2014
pers
en
Trade ASEAN FDI dari ASEAN
2
2. Mengidentifikasi inward factors (push-and-pull factors) atas FDI yang masuk ke
Indonesia dari negara ASEAN-5 dan outward factors (push-and-pull factors) dari
Indonesia ke ASEAN-5.
3. Mengidentifikasi karakteristik tujuan dari inward FDI ke Indonesia dari negara
ASEAN-5 dan outward FDI dari Indonesia ke negara ASEAN-5. Apakah
perusahaan yang melakukan FDI di Indonesia bertujuan mengekspor kembali
atau untuk menjualnya di pasar dalam negeri (export oriented vs local market).
4. Mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pergeseran (changing landscape) atas
FDI di Indonesia ke arah FDI yang lebih canggih.
3
II. TINJAUAN LITERATUR
2.1 Tinjauan Teori FDI
Pada dasarnya FDI dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu inward FDI
dan outward FDI. Definisi dari inward FDI adalah ketika suatu perusahaan
berinvestasi atau memulai operasional perusahaannya di negara (host-country) yang
berbeda dengan negara asalnya (home-country). Sementara itu, outward FDI adalah
ketika perusahaan domestik berekspansi dan melakukan operasional
perusahaannya di negara lain, baik dalam bentuk investasi baru (greenfield
investment), penggabungan dan pengambilalihan usaha (merger and acquisition),
atau bentuk ekspansi usaha lain yang memanfaatkan fasilitas di negara tujuan
(host-country).
Penelitian ini mengacu pada teori dan model yang menjelaskan kehadiran FDI
dan faktor-faktor yang menentukannya. Pertama, teori O-L-I (ownership-location-
internalization) yang menjelaskan alasan mengapa suatu perusahaan melakukan
FDI. Kedua, model gravitasi (gravity model). Model ini digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penarik FDI (push-and-pull factors).
2.1.1 Teori O-L-I (Ownership-Location-Internalization)
Teori O-L-I merupakan suatu pendekatan eklektik yang menjelaskan
keberadaan FDI di suatu negara (Dunning, 2001; Petri, 2012; Masron, 2013). Teori
O-L-I disebut pendekatan eklektik karena teori ini menerangkan alasan mengapa
suatu perusahaan memilih FDI di antara berbagai alternatif pilihan lain.
Selanjutnya Xaypanya, Rangkakulnuwat, dan Paweenawat (2015) menjelaskan
setiap elemen teori O-L-I tersebut. Pertama, ownership-specific menjelaskan
keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang mendorong
perusahaan tersebut untuk terlibat dalam produksi di luar negara asalnya.
Keunggulan tersebut termasuk permodalan, teknologi, pemasaran, kemampuan
manajerial dan organisasi, serta keunggulan dalam hal skala ekonomis. Kedua,
location-specific menjelaskan bahwa keunggulan spesifik yang dimiliki suatu negara
menciptakan daya tarik bagi suatu perusahaan di luar negara tersebut untuk
masuk ke negara bersangkutan (host country). Keunggulan tersebut misalnya adalah
resources endowment, potensi pasar yang besar, infrastruktur yang mendukung,
kondisi pasar tenaga kerja, tingkat upah yang bersaing, dan fasilitas investasi lain
4
yang diberikan oleh pemerintah kepada investor asing. Ketiga, internalization-
specific menjelaskan keunggulan yang dimiliki perusahaan apabila memilih untuk
membuka fasilitas produksi daripada alternatif lain, seperti mengekspor atau
melakukan joint-venture.
Paradigma O-L-I tersebut dapat diturunkan menjadi motivasi bagi
perusahaan multinasional untuk memilih lokasi berinvestasi. Terdapat empat
motivasi yang dapat diturunkan dari paradigma O-L-I tersebut, yaitu resource
seeking, market seeking, efficiency seeking, dan strategic asset seeking (Franco, et
Dari studi tersebut disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal FDI
(home country) merupakan salah satu faktor pendorong (push factors) FDI karena
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara asal akan memperluas akses
pendanaan untuk berekspansi ke luar negeri. Selain itu, perdagangan bilateral juga
berperan sebagai pendorong FDI karena semakin baik dan semakin eratnya kerja
sama perdagangan antara negara asal FDI dan Thailand, akan semakin deras arus
FDI ke Thailand dari negara bersangkutan. Sementara itu, faktor penarik (pull
factors) FDI ke Thailand adalah iklim investasi, stabilitas makroekonomi domestik,
dan kondisi kelembagaan. Kebijakan pemberian insentif investasi seperti tax holiday
terbukti mampu menarik FDI ke Thailand.
Studi lain terkait determinan FDI di ASEAN yang menganalisis berdasarkan
motivasi berupa market seeking, resource seeking, atau efficiency seeking dilakukan
oleh Masron (2013). Dalam studinya Masron menganalisis dampak adanya ASEAN
Investment Area (AIA) dan AFTA terhadap FDI di ASEAN guna melihat apakah FDI
intra-ASEAN merupakan pelengkap dari FDI yang berasal dari negara maju. Studi
ini menggunakan data arus FDI intra-ASEAN selama periode 1998–2009. Metode
analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis yang diestimasi dengan
menggunakan fully modified OLS (FMOLS) untuk mengatasi masalah endogenitas
yang terjadi. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa investasi di ASEAN yang
berasal dari intra-ASEAN bersifat resource seeking atau efficiency seeking. Selain itu,
studi ini juga menemukan bahwa faktor biaya tenaga kerja (labor cost) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap FDI intra-ASEAN. Selain biaya tenaga kerja, variabel
lain yang juga berpengaruh adalah risiko politik. FDI intra-ASEAN lebih tertarik
pada negara yang memiliki dinamika politik yang lebih stabil.
Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Hoang (2012) menganalisis FDI
inward ke negara ASEAN-6 yang dikaitkan dengan fenomena krisis keuangan Asia
1997. Periode analisis dalam studi tersebut adalah 1991–2009 dan ditemukan
bahwa krisis keuangan Asia 1997 berpengaruh terhadap masuknya FDI ke ASEAN.
Hasil studi menunjukkan bahwa potensi pasar menjadi faktor yang cukup penting
sebagai daya tarik bagi FDI yang masuk ke ASEAN. Simpulan empiris lain dari studi
ini adalah bahwa faktor infrastruktur, tingkat keterbukaan, stabilitas politik, dan
tingkat upah juga menjadi faktor penting yang memengaruhi FDI berinvestasi di
ASEAN. Khusus untuk variabel tingkat upah, Hoang menggunakan beberapa variasi
tingkat upah, yaitu tingkat upah nominal, tingkat upah relatif terhadap
12
produktivitas, dan interaksi tingkat upah dengan produktivitas. Ditemukan bahwa
meskipun tingkat upah nominal tinggi, investor cenderung lebih memperhatikan
masalah produktivitas dan tingkat keterampilan tenaga kerja. Dengan kata lain,
biaya tenaga kerja yang sedikit mahal bukan merupakan hambatan bagi investor
untuk melakukan investasi sepanjang dikompensasi dengan tingkat produktivitas
yang tinggi. Sementara itu, dari hasil uji stabilitas parameter, perilaku FDI ini tidak
berubah, baik sebelum maupun sesudah krisis Asia 1997.
Terdapat beberapa studi lain yang mengaitkan determinan FDI dengan
hubungan perdagangan bilateral antara negara asal (home country) dan negara
tujuan FDI (host country) sebagaimana yang dilakukan oleh Cho (2013) dan Blonigen
(2005). Dalam studinya, Cho (2013) menganalisis hubungan perdagangan yang
dilakukan India dengan delapan negara maju, yaitu dengan Korea, Jepang,
Singapura, Tiongkok, US, Inggris, Jerman, dan Belanda. Dalam hal ini ingin
diketahui apakah hubungan perdagangan internasional memengaruhi arus FDI dari
delapan mitra dagang tersebut ke India. Data yang digunakan adalah data
triwulanan selama periode 2004–2012 dan diestimasi dengan menggunakan metode
vector autoregression (VAR) granger causality test. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI antara India dan empat
negara Asia Timur, yaitu Korea, Jepang, Singapura, dan Tiongkok terbukti tidak
signifikan. Sebaliknya, terdapat kausalitas antara perdagangan bilateral yang
dilakukan dan arus FDI antara India dan US, Inggris, Jerman, dan Belanda, baik
hubungan dua arah (two-way) maupun satu arah (one-way). Hal ini membuktikan
bahwa hubungan kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI akan
tumbuh apabila telah terbangun hubungan dagang kedua negara yang cukup lama
mengingat sejarah hubungan dagang India dengan keempat negara barat itu lebih
lama jika dibandingkan dengan keempat negara Asia Timur.
Sementara itu, Blonigen (2005) melakukan literature review terhadap
sejumlah penelitian yang dilakukan selama periode awal 1990-an hingga
pertengahan 2000-an yang menganalisis hubungan antara keputusan perusahaan
multinasional (Multinational Enterprises/MNEs) untuk melakukan FDI dan lokasi
yang dipilih untuk melakukan FDI tersebut. Blonigen menyimpulkan bahwa
keterkaitan FDI dengan perdagangan bilateral berhubungan dengan bagaimana
hubungan antarperusahaan secara vertikal, misalnya perusahaan penyedia input
dengan perusahaan manufaktur. Salah satu contoh yang disebutnya adalah
kelompok konglomerat asal Jepang yang lazim disebut Keiretsu. Dikemukakan
13
bahwa terdapat pengaruh kuat dari para anggota Keiretsu terhadap keputusan
lokasi FDI yang akan dipilih.
Selain itu, Blonigen juga menemukan bahwa terdapat hubungan negatif atau
positif antara keberadaan FDI dan perdagangan bilateral kedua negara. FDI dan
perdagangan bilateral akan berhubungan negatif atau memiliki efek substitusi
apabila FDI dikategorikan sebagai FDI horizontal atau market seeking. Dalam hal ini
FDI menggantikan impor barang dari negara asal FDI dengan barang yang
diproduksi secara domestik dari hasil investasi langsung tersebut. Sementara itu,
FDI dan perdagangan bilateral memiliki hubungan positif atau memiliki efek
komplementer jika FDI dikategorikan sebagai FDI vertikal atau efficiency seeking
sehingga FDI akan meningkatkan impor sekaligus ekspor. Barang yang diimpor
adalah bahan baku yang akan diolah oleh FDI untuk selanjutnya diekspor kembali
dalam bentuk barang yang telah diolah.
Analisis determinan FDI lainnya adalah dengan menggunakan pendekatan
sektoral maupun institusional seperti yang dilakukan oleh Walsh dan Yu (2010).
Kedua peneliti tersebut melakukan studi terhadap 27 negara yang masuk kategori
negara maju (advanced economies) dan negara emerging markets. Data yang
digunakan adalah data tahunan arus FDI selama kurun waktu 1985–2008. Data
FDI tersebut selanjutnya diperinci secara sektoral menjadi tiga sektor utama, yaitu
sektor primer, sekunder, dan tersier yang diestimasi menggunakan metode dinamis
generalized method of moments (GMM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan determinan FDI pada setiap sektor ekonomi. Determinan FDI pada sektor
pertanian tidak memiliki keterkaitan dengan stabilitas makroekonomi, tingkat
pembangunan, atau kualitas kelembagaan. Determinan utama FDI pada sektor
primer ini adalah lokasi bahan baku atau sumber daya alam (resources), misalnya
pertambangan mineral dan minyak bumi.
Sebaliknya, FDI di sektor sekunder dan tersier dipengaruhi oleh stabilitas
makroekonomi dan kualitas kelembagaan meskipun dengan derajat dan intensitas
yang berbeda. Kondisi stabilitas makroekonomi, misalnya, lebih kuat memengaruhi
sektor tersier daripada sektor sekunder. Dalam hal terjadi depresiasi nilai tukar
secara mendalam pada mata uang negara tujuan, hal ini akan mendorong lebih
banyak FDI pada sektor sekunder dan secara bersamaan mengurangi FDI pada
sektor tersier. Arus FDI di sektor tersier akan meningkat jika terjadi peningkatan
yang pesat pada pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, kualitas kelembagaan juga
memengaruhi kedua sektor tersebut secara signifikan. Dalam hal terdapat pasar
14
tenaga kerja fleksibel dan pasar keuangan yang maju, hal itu akan mendorong arus
FDI pada sektor sekunder. Sementara, jika terdapat infrastruktur yang maju dan
lembaga hukum yang lebih independen, hal itu akan mendorong peningkatan arus
FDI pada sektor tersier.
Cadarajat dan Yanfitri (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
kausalitas antara FDI dan perdagangan internasional serta struktur industri dan
motif penanaman FDI investor asing yang memengaruhi hubungan antara FDI dan
perdagangan internasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
FDI sektoral yang dilakukan oleh tiga investor utama di Indonesia, yaitu Jepang,
USA, dan UK dari tahun 1990–2006. Metodologi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji kausalitas Granger pada data panel, baik secara bivariate maupun
multivariate. Hasil estimasi terhadap data FDI outflows 17 negara OECD ke
Indonesia dan data ekspor-impor Indonesia terkait negara tersebut menunjukkan
adanya kausalitas dua arah antara impor dan FDI, yaitu impor berpengaruh positif
terhadap FDI, tetapi FDI berpengaruh negatif terhadap impor. Selain itu, terdapat
kausalitas dua arah antara FDI inflows dari Jepang dan impor Indonesia dari
Jepang. Hal tersebut diduga terkait dengan dua hipotesis, yaitu lebih kuatnya motif
market seeking jika dibandingkan dengan motif efficiency seeking dari FDI Jepang
dan/atau terjadi pengalihan tujuan ekspor dari FDI Jepang ke negara lain.
Sebagaimana halnya FDI dari Jepang, FDI dari Amerika bersifat substitusi terhadap
impor. Selain itu, FDI dari Amerika berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia
ke Amerika. Hal tersebut diduga terkait struktur FDI dari Amerika yang sebagian
besar terjadi pada sektor pertambangan dan sektor nonmanufaktur. Sementara itu,
FDI dari Inggris mempunyai kausalitas dua arah dengan ekspor dan impor sehingga
mengarah pada hubungan yang komplementer antara FDI dan perdagangan cross-
border antara Indonesia dan Inggris.
Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri (2007) melakukan studi untuk mengetahui
faktor-faktor determinan masuknya aliran modal FDI di Asia dan di Indonesia serta
menguji dampak investasi yang masuk ke Tiongkok terhadap FDI yang masuk ke
Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Dunning dan
model gravitasi dengan estimasi dilakukan secara panel dan OLS. Negara yang
menjadi sampel dalam melakukan pengolahan meliputi Tiongkok, Filipina, India,
Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Periode waktu yang
digunakan adalah antara tahun 1990–2005 dengan jenis data tahunan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menentukan masuknya FDI ke
15
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok, dan India adalah pertumbuhan
ekonomi, upah buruh, infrastruktur, nilai tukar efektif, dan perjanjian bilateral.
III. DATA DAN METODE PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data panel bilateral inward foreign direct
investment (FDI) sektoral Indonesia dari empat negara ASEAN (Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Filipina) dengan periode waktu tahunan dari 2000 s.d. 2013.
16
Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data sesuai dengan variabel yang
digunakan. Deskripsi lengkap tentang variabel, indikator, dan sumber data terdapat
pada Tabel 1.
Data FDI yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. Sementara itu, data outward
FDI yang digunakan bersumber dari ASEAN Secretariat. Data FDI tersebut
merupakan data bilateral, yaitu arus investasi dari empat negara ASEAN untuk tiap
sektor pada titik waktu tertentu, misalnya FDI dari Malaysia untuk sektor pertanian
pada tahun 2009, atau FDI dari Thailand untuk sektor jasa lainnya. Data tersebut
merupakan data net inflow, yaitu data yang sudah memperhitungkan asset dan
liabilities-nya.
Data PDB yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Sementara itu, data PDB untuk negara ASEAN
diperoleh dari database CEIC dan World Bank. Kedua data tersebut menggunakan
perhitungan harga konstan (PDB riil).
Data jarak diperoleh dari perhitungan penulis menggunakan website Global
Distance Calculator4. Jarak tersebut merupakan jarak fisik garis lurus yang
menghubungkan dua titik, yaitu antara ibu kota negara asal investasi (home country)
dan ibu kota negara tujuan investasi (host country). Jarak tersebut dihitung dalam
satuan kilometer (km). Data jarak tersebut selanjutnya dikali dengan harga minyak
dunia (brent) untuk melihat pergerakan biaya angkut setiap tahun yang
diasumsikan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Data productivity yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari publikasi ESCAP, Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 20145.
Produktivitas diperoleh dengan membagi nilai tambah bruto ekonomi total (gross
value added/GVA) dengan jumlah orang yang bekerja di suatu negara. Untuk
membandingkan produktivitas dengan negara asal (produktivitas relatif), variabel
produktivitas yang digunakan adalah rasio produktivitas antara Indonesia dan
negara asal.
Resource endowment (sumber daya alam) dihitung dengan rasio PDB riil
sektor primer terhadap total PDB riil. PDB sektor primer mencakup PDB sektor
4 distancecalculator.globefeed.com/world_distance_calculator.asp 5 (The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP),
2014)
17
pertanian (dalam arti luas) dan PDB sektor pertambangan dan galian. Data yang
diambil bersumber dari CEIC Database.
Data infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Kedua infrastruktur tersebut
penting bagi operasi bisnis suatu perusahaan. Infrastruktur jalan dalam hal ini
adalah data road paved, yaitu data panjang jalan yang permukaannya minimal
berbatu atau sudah beraspal terhadap total jalan. Data road paved diperoleh dari
World Development Indicator (WDI) World Bank. Khusus untuk data tahun 2012–
2013 merupakan data ekstrapolasi karena terkait masalah ketersediaan data.
Sementara itu, data infrastruktur listrik merupakan rasio kapasitas listrik per
kapita yang bersumber dari data Asian Development Bank (ADB).
Dua variabel lain yang terkait perdagangan adalah volume ekspor dan
perdagangan bilateral. Volume ekspor menunjukkan bagaimana ketertarikan
perusahaan asing terhadap potensi ekspor dari Indonesia. Data yang digunakan
adalah data total volume ekspor Indonesia ke seluruh partner dagang. Data tersebut
bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia.
Data perdagangan bilateral merupakan data perdagangan antara dua negara pada
titik tahun tertentu. Data tersebut mencakup ekspor negara asal FDI ke negara
tujuan FDI dan impor negara asal FDI dari negara tujuan FDI. Data tersebut
diperoleh dari UN Comtrade.
Tabel 1. Penjelasan Variabel Model
No. Variabel Definisi Perhitungan Sumber
Data Expected
Sign
1. Inward FDI Indonesia Intra-ASEAN Sektoral
Net inflow FDI sektoral dari 4 negara ASEAN
Total net inflow FDI per sektor
SEKI/BI +
Tabel 1. (lanjutan)
No. Variabel Definisi Perhitungan Sumber
Data Expected
Sign
2. Outward FDI FDI Bilateral Outward Indonesia ke negara ASEAN-4
Net flow outward FDI Indonesia ke negara ASEAN-4
ASEAN Secretariat
+
18
3. PDB Indonesia
Total PDB Indonesia dengan harga konstan
Total PDB Indonesia dengan harga konstan
SEKI/BI +
4. PDB negara asal investasi
Total PDB negara asal FDI dengan harga konstan
Total PDB negara asal FDI dengan harga konstan
CEIC, World Bank.
+
5. Jarak Jarak fisik antara Indonesia
dengan negara asal FDI dengan denominator harga minyak Brent
Jarak Antara Jakarta dengan negara asal FDI
x harga minyak Brent rata-rata setahun
Global Calculator Distance;
Bloomberg
-
6. Produktivitas Relatif
Rasio produktivitas tenaga kerja total Indonesia terhadap produktivitas tenaga kerja total negara asal FDI
Produktivitas Indonesia/ Produktivitas negara asal FDI; Produktivitas: total nilai tambah bruto/jumlah tenaga kerja
Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2014, ESCAP Statistics Division
+
7. Pangsa Sektor Primer terhadap PDB (natural resource)
Kontribusi sektor primer (pertanian dan pertambangan) terhadap total PDB harga konstan
((Total PDB sektor Pertanian+ Total PDB sektor pertambangan)/ total PDB)x100
CEIC Database
+
8. Infrastruktur jalan
Rasio panjang jalan yang berbatu, kerikil, dan aspal terhadap panjang jalan keseluruhan
((Jumlah jalan yang berbatu+ jumlah jalan kerikil+jumlah jalan beraspal)/ panjang jalan keseluruhan) x 100
World Development Index
+
Tabel 1. (lanjutan)
No. Variabel Definisi Perhitungan Sumber
Data Expected
Sign
9. Infrastruktur listrik
Rasio kapasitas listrik per kapita
Kapasitas produksi listrik dibagi jumlah penduduk
ADB +
19
11. Volume Ekspor
Volume ekspor Indonesia ke seluruh negara partner dagang
Total volume ekspor
SEKI/BI +
12. Perdagangan Bilateral
Total perdagangan negara Indonesia dengan negara asal FDI
(Ekspor Indonesia dengan negara asal FDI+Impor Indonesia dengan negara asal FDI)
UN Comtrade
+
Variabel-variabel yang digunakan sebagaimana dipaparkan di atas
menggunakan data makro, sedangkan FDI yang sesungguhnya merupakan
perusahaan individual. Penggunaan data makro dalam penelitian ini
dilatarbelakangi oleh ketidakmudahan memperoleh data individual FDI atau firm
level (data mikro), terutama data firm level dari ASEAN-5.
3.2 Metode Analisis
Setiap tujuan dalam penelitian ini memiliki metode analisis tersendiri.
Adapun metode yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Metode analisis untuk tujuan pertama adalah metode statistik deskriptif.
Metode tersebut terkait pemetaan arus inward FDI ke Indonesia dari ASEAN-
5 (negara asal, sektor, komoditas, dan aspek kebijakan).
b) Metode analisis untuk mengidentifikasi push factor dan pull factor adalah
metode analisis regresi data panel dinamis (dynamic panel data).
c) Metode analisis untuk mengidentifikasi karakteristik arus FDI antarnegara
ASEAN-5 (export base atau local market) dengan analisis regresi data panel
dinamis (dynamic panel data).
d) Metode analisis untuk mengidentifikasi pergeseran arus FDI antarnegara
ASEAN-5 ke arah yang lebih sophisticated dengan menggunakan regresi
multiple structural breaks (Bai dan Perron, 1998).
3.2.1 Metode Data Panel Dinamis dan GMM
Metode data panel dinamis merupakan pengembangan analisis data panel
standar yang mengadopsi model dinamis data time-series. Data panel yang
20
dimaksud adalah data yang memiliki struktur gabungan cross-section dan time-
series, sedangkan model dinamis yang dimaksud adalah adanya lag variabel
dependen (autoregressive; AR) pada sisi kanan (variabel independen). Oleh karena
itu, data panel dinamis merupakan model yang memiliki struktur data panel dan
memiliki autoregressive untuk variabel dependennya.
Salah satu keunggulan data panel adalah mampu menangkap dinamika
perekonomian daripada data pure cross-section atau time-series (Gudjarati dan
Porter, 2009; Verbeek, 2004). Salah satu model pengembangan data panel adalah
model data panel dinamis. Model data panel dinamis merupakan model data panel
yang memiliki komponen lag variabel dependen (AR1) atau distributed lag dalam
modelnya. Seperti halnya dalam model dynamic time-series, penggunaan lag dalam
data panel terkait perilaku-perilaku dinamika antarvariabel yang berhubungan
dengan adjustment, persistence, atau perilaku hubungan jangka pendek-jangka
panjang antara dua variabel. Model data panel dinamis merupakan model yang
menspesifikasi variabel lag dengan variabel individual spesifik (Wawro, 2002).
Salah satu masalah dalam model data panel autoregressive adalah metode
estimasinya. Pada kasus model data statik, pemilihan antara POLS (pooled OLS),
fixed effect (FE), dan random effect (RE) GLS (generalized least square) dapat
ditentukan berdasarkan bagaimana perilaku parameter dan asumsi mengenai
korelasi antara regressor dan error. Dalam model panel statik, POLS dapat bias
karena terdapat heterogenitas antarunit individu. Untuk menanggulangi bias
tersebut, digunakan fixed effect atau random effect. Selanjutnya, pilihan antara
keduanya bergantung pada bagaimana asumsi mengenai korelasi antara regressor
dan error-nya.
Pada kasus data panel dinamis, terdapat perlakukan khusus karena
munculnya AR1. AR1 tersebut secara konstruksi memiliki keterkaitan dengan
individual effect. Hal itu melanggar asumsi dalam least square yang mengharuskan
kovarians antara regresor dan error sama dengan nol. Ilustrasi model AR1 pada
random effect model data panel adalah sebagai berikut.
𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑥𝑖,𝑡 + 𝑒𝑖,𝑡 (5)
𝑒𝑖,𝑡 = 𝛼𝑖 + 휀𝑖,𝑡 (6)
Dalam random effect model, komponen e terbagi menjadi dua, yaitu individual
spesifik dan error. Dalam model tersebut, asumsi bahwa regressor independen
terhadap error tidak terpenuhi. Hal tersebut terjadi karena 𝑦𝑖,𝑡 berhubungan dengan
21
𝛼𝑖 (variabel individual spefisik berpengaruh terhadap variabel dependen). Oleh
karena itu, 𝑦𝑖,𝑡−1 berhubungan pula dengan variabel spesifik. Baltagi (2005)
menyebut bahwa random effect GLS bias karena variabel quasi-demeaning dalam
GLS berkorelasi dengan error-nya.
Sementara itu, untuk fixed effect model, Baltagi (2005) menyebut bahwa
within estimator yang diperoleh dari demeaning-form memang menghilangkan
masalah korelasi antara individual spesifik dan AR1. Akan tetapi, bentuk AR1 hasil
demeaning-transformation tersebut berkorelasi dengan error yang juga
ditransformasi demeaning (Verbeek, 2004), kecuali jika jumlah N (cross section) dan
T (time series-nya) tak terhingga.
Fixed effect estimator untuk transformasi first difference juga bias dan
inkonsisten karena terdapat pula hubungan antara AR1 dan error yang telah
menjadi first difference. Ilustasinya adalah sebagai berikut.
232, 221, dan 37). Produk FDI yang cenderung besar pangsa ekspornya adalah
barang-barang yang di Indonesia memiliki sumber dayanya seperti furnitur serta
pengolahan dan penggergajian kayu. Selain itu, FDI di Indonesia juga banyak
mengekspor beberapa barang berteknologi tinggi seperti alat kontrol listrik, alat optik,
dan beberapa mesin.
55
Meskipun Indonesia bergantung pada ekspor komoditas, seperti karet dan
sawit, FDI Indonesia untuk barang tersebut termasuk dalam networked FDI karena
porsi ekspor tidak sebesar furnitur. Kecenderungan dalam hal jumlah adalah bahwa
networked FDI merupakan jumlah komoditi terbanyak berdasarkan ISIC digit 3.
Sementara itu, industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang di Indonesia
memiliki keunggulan, cenderung mengejar potensi pasar lokal meskipun sebagian
dari hasil output-nya diekspor pula.
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 2006; diolah
Gambar 4. Keterkaitan Antara Pemasaran Lokal (Local Sales) dan Masukan Lokal (Local Input) untuk Perusahaan FDI (ISIC Digit 3)
Tabel 12 menunjukkan tingkatan FDI berdasarkan orientasinya, dalam hal ini
apakah semakin mengarah pada market seeking. Semakin tua warna pada Tabel 12,
kecenderungannya adalah bahwa FDI untuk produk tersebut banyak mengejar
potensi pasar. Namun, jika warna pada kolom terang, bahkan putih,
kecenderungannya adalah bahwa FDI pada produk tersebut berorientasi ekspor
(export oriented). Misalnya produk-produk furnitur yang memiliki pangsa pasar lokal
hanya sebesar 18 persen.
Pure
Horizontal
Resource
Extraction
Local
Assembly
Pure
outward
processing
151
152
153
154
155160
171
172
173
181
191
192
201
202
210
221
222
231232
241
242243
251
252
26271
272
273
281
289
291
292
293
300
311
312
313 314
315
319
321
322
323
331
332
341
342
343
351
352359
361
369
372
020
40
60
80
10
0
Lo
cal S
ale
s (
%)
0 20 40 60 80 100Local Input (%)
56
Tabel 12. Subsektor Ekonomi dan Pangsa Penjualan Pasar Lokal dan Input yang Diimpor
Market Seeking
ISIC Industri Local Sales (%)
ISIC Industri Local Sales (%)
151 Production, processing and preservation of meat, fish, fruit, vegetables, oils and fats
39,18 273 Casting of metals 99,90
152 Manufacture of dairy products
99,93 281 Manufacture of structural metal products, tanks, reservoirs and steam generators
50,16
153 Manufacture of grain mill products, starches and starch products, and prepared animal feeds
64,86 289 Manufacture of other fabricated metal products; metal working service activities
45,96
154 Manufacture of other food products
81,68 291 Manufacture of general purpose machinery
59,29
155 Manufacture of beverages
97,82 292 Manufacture of special purpose machinery
63,75
160 Manufacture of tobacco products
99,54 293 Manufacture of domestic appliances n.e.c
76,02
171 Spinning, weaving and finishing of textiles
61,29 300 Manufacture of office, accounting and computing machinery
18,43
172 Manufacture of other textiles
93,26 311 Manufacture of electric motors, generators and transformers
65,28
Tabel 12. (lanjutan)
57
ISIC Industri Local Sales (%)
ISIC Industri Local Sales (%)
173 Manufacture of knitted and crocheted fabrics and articles
59,70 312 Manufacture of electricity distribution and control apparatus
8,07
181 Manufacture of wearing apparel, except fur apparel
41,89 313 Manufacture of insulated wire and cable
52,85
191 Tanning and dressing of leather; manufacture of luggage, handbags, saddlery and harness
27,20 314 Manufacture of accumulators, primary cells and primary batteries
52,93
192 Manufacture of footwear
69,15 315 Manufacture of electric lamps and lighting equipment
71,46
201 Sawmilling and planing of wood
15,52 319 Manufacture of other electrical equipment n.e.c.
58,05
202 Manufacture of products of wood, cork, straw and plaiting materials
21,39 321 Manufacture of electronic valves and tubes and other electronic components
25,25
210 Manufacture of paper and paper products
38,47 322 Manufacture of television
and radio transmitters
and apparatus for line
telephony and line
telegraphy
40,35
221 Publishing 100,00 323 Manufacture of television and radio receivers, sound or video recording or reproducing apparatus, and associated goods
55,16
222 Printing and service activities related to printing
28,52 331 Manufacture of medical appliances and instruments and appliances for measuring, checking, testing, navigating and other purposes, except optical instruments
48,82
Tabel 12. (lanjutan)
58
ISIC Industri Local Sales (%)
ISIC Industri Local Sales (%)
231 Manufacture of coke oven products
100,00 332 Manufacture of optical instruments and photographic equipment
32,63
232 Manufacture of refined petroleum products
98,21 341 Manufacture of motor vehicles
89,14
241 Manufacture of basic chemicals
70,76 342 Manufacture of bodies (coachwork) for motor vehicles; manufacture of trailers and semitrailers
100,00
242 Manufacture of other chemical products
81,69 343 Manufacture of parts and accessories for motor vehicles and their engines
77,22
243 Manufacture of man made fibres
81,29 351 Building and repairing of ships and boats
9,37
251 Manufacture of rubber products
50,13 352 Manufacture of railway and tramway locomotives and rolling stock
100,00
252 Manufacture of plastics products
77,40 359 Manufacture of transport equipment n.e.c.
97,86
26 Manufacture of non metallic mineral products
64,07 361 Manufacture of furniture 18,37
271 Manufacture of basic iron and steel
63,11 369 Manufacturing n.e.c. 10,62
272 Manufacture of basic precious and nonferrous metals
30,65 37 Recycling 77,58
59
BOKS 1
Gambaran Umum FDI di Singapura
Menurut Global Investment Report 2014 yang disusun oleh UNCTAD
disebutkan bahwa Singapura merupakan negara kelima penerima terbesar FDI di
dunia serta negara ketiga terbesar di Asia Timur dan Asia Tenggara. Investor asing
yang datang ke Singapura terutama berasal dari US, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Sektor utama yang diminati investor di Singapura adalah sektor jasa keuangan
dan asuransi, manufaktur, perdagangan besar dan eceran, profesional dan teknikal,
jasa administratif dan pendukung, transportasi dan pergudangan, serta sektor
properti. Meskipun berbagai sektor ekonomi dibuka pada investor asing, terdapat
beberapa sektor yang masih didominasi oleh negara tersebut, yaitu jasa keuangan,
jasa profesional, media, dan telekomunikasi.
Pemerintah Singapura memberikan preferensi untuk berinvestasi pada sektor
manufaktur dan jasa yang memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi sebagai
bagian strategi untuk menggantikan aktivitas yang memiliki labor-intensive dan value
added yang rendah yang telah bergeser ke negara lain, khususnya ke Tiongkok.
Berdasarkan ease of doing business yang disusun World Bank, Singapura
merupakan negara yang paling mudah untuk melakukan bisnis. Faktor-faktor yang
menjadikan Singapura sebagai negara tujuan berinvestasi yang menarik adalah
kemudahan memberikan pinjaman kepada investor asing; sistem regulasi (regulatory
system) yang sederhana; sistem pajak yang menarik, yaitu pemberian insentif pajak
berupa keringanan pajak; kualitas industri properti yang sangat baik; politik yang
stabil; dan ketiadaan korupsi. Singapura merupakan satu dari negara yang paling
sejahtera (kaya) dan stabil di kawasan Asia.
Regulasi dan peraturan oleh pemerintah Singapura memberikan level-playing
field yang sama, baik bagi investor asing maupun bagi investor dalam negeri karena
tidak dibatasinya kepemilikan asing dan ketiadaan kontrol devisa (no foreign exchange
controls). Dalam salah satu studi dikemukakan bahwa sistem pajak dan iklim regulasi
(regulatory environment) yang favourable di Singapura telah membantu negara
tersebut menarik FDI melebihi negara lainnya di dunia dalam kurun waktu lima
tahun sejak krisis keuangan global. Selama kurun waktu tersebut, Singapura telah
berhasil menarik FDI ekuivalen 74% dari GDP-nya atau sebesar 203 miliar USD
secara keseluruhan. Kondisi yang kondusif tersebut telah mendorong perusahan-
60
perusahaan asing seperti Yahoo, Google, Apple, PayPal, and LinkedIn untuk
membangun kantor regional Asia di negara tersebut. Terdapat lebih dari 7.000
perusahaan multinasional (MNCs) dan sekitar 10.000 UKM asing yang telah
membangun basis di Singapura.
Di samping fasilitas keringanan pajak yang diberikan, Singapura juga memiliki
tenaga kerja yang sangat berpendidikan, infrastruktur yang sangat memadai, dan
ekosistem yang canggih yang umumnya diperlukan perusahaan multinasional pada
saat mereka memutuskan untuk membangun usahanya di luar negeri.
Dalam rangka melindungi investasi asing, Singapura melakukan langkah-
langkah antara lain sebagai berikut.
1. Penandatanganan investment promotion and protection agreements dengan
sejumlah negara yang bertujuan melindungi perusahaan di kedua negara
terhadap perang dan risiko nonkomersial berupa expropriation dan
nasionalisasi untuk 15 tahun atau lebih.
2. Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk
mengalihkan kepemilikan kepada pihak lokal sehingga tidak ada dispute yang
masih di-pending di UNCTAD.
3. Memperkenankan asing untuk membeli properti di Singapura. Dalam hal ini,
Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk
mengalihkan kepemilikan ke lokal serta tidak memiliki expropriated terhadap
properti.
Posisi Singapura dalam arus FDI global adalah sebagai hub (penghubung)
untuk investasi asing (Haigh, 2006; Kelkar, 2011). Sumber FDI dibedakan menjadi
ultimate source dan intermediate source. Ultimate source adalah negara asal
perusahaan multinasional tersebut berada, sedangkan intermediate source adalah
suatu negara tempat perusahaan multinasional membuka cabangnya di negara
tersebut sebelum berinvestasi ke negara lain.
BOKS 2
61
Gambaran Umum Keterkaitan UKM dengan FDI
A. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Thailand9
UKM atau small medium enterprises (SME) di Thailand didefinisikan sebagai
perusahaan yang memiliki usaha kurang dari 200 pekerja dan modal tetap sebanyak
5,6 juta USD dan memberikan kontribusi dalam PDB sektor manufaktur sebesar ± 33
persen. Sektor UKM yang banyak ditemui di Thailand adalah makanan dan minuman,
furnitur, serta kimia dan produk kimia.
Sebelum tahun 2000 Thailand tidak memiliki aturan dasar mengenai UKM
yang memberikan arahan bagi pengembangan UKM jangka panjang. Kebijakan
mengenai UKM tercantum dalam rencana pembangunan nasional secara umum dan
dilakukan secara umum di berbagai kementerian dan biro. Karena kedua alasan
tersebut yang diperburuk dengan tidak adanya koordinasi antarlembaga yang
menangani masalah tersebut, pengembangan UKM di Thailand selama periode
sebelum 2000 tidak memberikan hasil yang optimal.
Krisis keuangan 1997/1998 menyadarkan pemerintah Thailand akan
pentingnya UKM sebagai agen penting dalam perekonomian. Oleh karena itu,
diperlukan kebijakan khusus untuk mempromosikannya. Berangkat dari
argumentasi tersebut, pada tahun 2000 pemerintah Thailand mengeluarkan SME
Promotion Act dan pada tahun yang sama dibentuk pula Kantor Promosi UKM (SME
Promotion Office) sebagai lembaga koordinasi antar-agen pemerintahan yang
bertujuan untuk mengembangkan UKM di Thailand. Tugas-tugas SME Promotion
Office antara lain adalah sebagai berikut:
1. memformulasikan master plan dan kebijakan untuk pengembangan UKM;
2. mempersiapkan rencana aksi untuk pengembangan UKM regional dan sektoral;
3. menyediakan pusat informasi UKM dan menjadi organisasi sentral yang
melakukan penelitian dan pengkajian mengenai UKM, termasuk early warning
system;
4. mengembangkan sistem informasi dan networks untuk mendukung kegiatan
operasi UKM; dan
9 Sumber: Punyasavatsut, C. (2008), ‘SMEs in the Thai Manufacturing Industry: Linking with
MNES’, in Lim, H. (ed.), SME in Asia and Globalization, ERIA Research Project Report 2007-
5, pp.287-321. Available at: http://www.eria.org/SMEs%20in%20The%20Thai%20
Manufacturing%20Industry_Linking%20with%20MEs.pdf
62
5. mengadministrasikan venture capital fund untuk UKM (fasilitasi permodalan).
Selanjutnya di bawah rezim Thaksin (2001–2006) diterapkan dual track system
dalam pembangunan ekonomi Thailand, yaitu mendorong industri menjadi
pengekspor, mendorong terciptanya permintaan, dan mendorong pengembangan
UKM. Di bawah rezim Thaksin diciptakan ukuran kemajuan UKM serta diberikan
dukungan finansial. Berbagai kebijakan UKM yang diperkenalkan Thaksin antara lain
adalah dana desa, bank rakyat, dan One-TAMBON-One-Product (OTOP). OTOP
merupakan proyek yang bertujuan untuk mendukung komunitas paling bawah (grass
root) untuk menggunakan pengetahuan lokalnya dalam mengembangkan produk
dengan bantuan teknis dari pemerintah.
First SME Promotion Plan (2002–2006) bertujuan untuk mengembangkan
wirausahawan dan mendorong UKM untuk mencapai standar internasional. Untuk
mencapai tujuan tersebut, beberapa kebijakan ditempuh seperti (i) managerial and
technological upgrading; (ii) pengembangan SDM; (iii) ekspansi pasar; (iv) penguatan
kapabilitas keuangan; (v) perbaikan iklim usaha; (vi) pemajuan bisnis skala kecil dan
komunitas bisnis grass root; dan (vii) pembangunan jejaring perusahaan. Fokus
kebijakan diarahkan pada tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Promosi investasi UKM, yaitu dengan membentuk board investment promotion
(BOI).
2. Financial assistance, yaitu dengan mendirikan SME Development Bank of Thailand
dan mengarahkan Krung Thai Bank dan Siam City Bank untuk menyediakan
pendanaan bagi UKM, serta mendirikan venture capital fund untuk UKM.
3. Technical and management consultancy, yaitu dengan menyusun new
entrepreneurs creation program (NEC) di bawah Kementerian Perindustrian untuk
menyediakan konsultasi teknis dan manajerial ketika UKM mengalami masalah.
Second SME Promotion Plan (2007–2011). Rencana promosi ini adalah untuk
melanjutkan pembangunan UKM agar dapat kuat dan berkelanjutan dalam hal (i)
pengetahuan dan keterampilan perbaikan kualitas produk; (ii) pembangunan
incubator bisnis di daerah; (iii) trade fair; (iv) pembangunan exhibition centers untuk
promosi UKM ke seluruh wilayah; (v) perbaikan jalur distribusi dan logistik; dan (vi)
pembentukan klaster dan jaringan industri. Tiga hal yang mendorong kemajuan
UKM-MNE (multinational enterprises) di Thailand ialah sebagai berikut.
63
1. Globalisasi dan perubahan teknologi (ICT) telah mendorong MNE untuk
beroperasi dengan cara subkontrak. Hal itu memberi peluang bagi UKM di
Thailand untuk ambil bagian dalam bekerja sama dengan MNE.
2. Kebijakan yang diterbitkan tahun 1978 perihal kewajiban menggunakan konten
lokal (local content) dipandang sebagai cikal bakal tumbuhnya industri
komponen di Thailand. Kebijakan itu telah mendorong MNE untuk bekerja sama
dengan UKM dalam bentuk kerja sama subkontrak pemasok. Hal tersebut
memberi peluang perusahaan lokal untuk tumbuh dan membangun industri
pendukung MNE. Selanjutnya, setelah munculnya UKM yang memproduksi
parts dan komponen, banyak perusahaan otomotif mulai tertarik untuk
membangun perusahaannya di Jepang dengan memanfaatkan UKM pemasok di
Thailand tersebut pada era 1990.
Kebijakan konten lokal (local content) yang dihapuskan pada awal tahun 2000,
sebagaimana rencana awal, semakin mendorong lebih jauh ekspansi
perusahaan otomotif Thailand ke luar negeri. Kebijakan kewajiban
menggunakan konten lokal (local content) ditambah dengan sistem dan jaringan
procurement dalam sektor otomotif yang dibangun menjadikan UKM dan MNE di
Thailand terintegrasi. Ciri khusus dari UKM pemasok otomotif di Thailand
adalah pelayanan yang tidak hanya pada satu konsumen saja, tetapi banyak
MNE sehingga tercapai skala ekonomis dan menghasilkan efek spillover.
3. Tumbuhnya jaringan industri yang diinisiasi, baik oleh pemerintah maupun oleh
MNE telah mendorong terciptanya berbagai pengetahuan (knowledge sharing)
antara UKM dan MNE dan antarUKM itu sendiri. Salah satu contoh adalah yang
diinisiasi Toyota, yaitu Toyota Corporation Club (TCC) yang merupakan forum
pemasok Toyota. Forum tersebut melakukan berbagai kegiatan, termasuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan teknis serta manajerial. Untuk tujuan itu,
Toyota kemudian membangun Toyota Production System (TPS) untuk menangani
sistem produksi yang melibatkan banyak pemasok.
Kebijakan pengintegrasian UKM-MNE di Thailand dilakukan dengan cara
mendirikan Bureau of Supporting Industries Development (BSID) di bawah
Kementerian Perindustrian yang bertujuan mendorong perusahaan Jepang untuk
membantu berkembangnya industri pendukung di Thailand. Industri pendukung
tersebut mencakup berbagai jenis, mulai dari produksi barang dan penyediaan jasa.
Para pelaku industri pendukung tersebut banyak yang merupakan pengusaha kecil,
tetapi berinteraksi dengan perusahaan besar seperti Toyota. Kebijakan yang
64
dilakukan pemerintah di bawah BSID adalah (i) menyediakan bantuan teknis dan
pelatihan untuk industri pendukung; (ii) merancang dan mengembangkan produk
prototype; dan (iii) mengembangkan sistem subkontrak, misalnya mengorganisasi
buyer’s village.
BUILD (BOI Unit for 314 Industrial Linkage Development) adalah pelayanan
berorientasi pasar di bawah naungan BOI (Board of Investment of Thailand) sejak
tahun 1992. Program itu dirancang untuk mendorong perusahaan besar agar
mengambil/membeli bahan dari pemasok lokal dan sekaligus membantu pemasok
lokal untuk memperbaiki kualitas barang, melakukan efisiensi produk, serta
meningkatkan produktivitas. Kebijakan yang dikeluarkan oleh BUILD tidak tertuju
pada insentif pajak, tetapi lebih pada insentif jasa pelayanan. BUILD juga membentuk
Vendors Meet Customers Program (VMC) dalam rangka membantu UKM melaksanakan
subkontrak dengan perusahaan asing.
B. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Malaysia
Latar belakang kebijakan pengembangan industri kecil menengah (IKM) di
Malaysia adalah perkembangan manufaktur di Malaysia, terutama yang didorong oleh
FDI dari Jepang dengan memanfaatkan zona bebas. Perusahaan Jepang menjadikan
Malaysia sebagai export platform. Namun, perusahaan Jepang tersebut tidak
menggunakan perusahaan lokal untuk industri pendukungnya. Perusahaan Jepang
cenderung menggunakan perusahaan Jepang di Malaysia yang terafiliasi atau
perusahaan yang berada di Jepang. Hal itu menjadikan lemahnya integrasi antara
FDI dan perusahaan lokal. Manfaat yang didapat Malaysia hanyalah dari penciptaan
lapangan kerja.
Seiring dengan mulai aktifnya negara ASEAN menarik FDI, Malaysia menjadi
tersaingi sebagai negara tujuan FDI. Hal itu menyadarkan Malaysia untuk
menciptakan keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan negara ASEAN
lainnya, yaitu dengan mengembangkan IKM yang berperan sebagai supporting
industry dalam industrialisasi.
Hadirnya perusahaan Jepang di Malaysia menciptakan pasar bagi IKM untuk
memasok kebutuhan pendukung perusahaan Jepang tersebut. Pada awalnya, barang
pendukung di-supply oleh perusahaan Jepang yang terafiliasi di Malaysia atau
dikirim dari Jepang. Namun, seiring berjalannya waktu perusahaan Jepang tersebut
ingin meningkatkan pasokan barang pendukung dari dalam negeri (Malaysia),
65
terutama dari pengusaha lokal. Hal itu dilakukan untuk mengurangi biaya impor
barang dan mengurangi waktu pengiriman. Namun, perusahaan lokal Malaysia tidak
mampu memenuhi ekspektasi perusahaan Jepang, terutama dalam hal kualitas. Hal
itu menjadikan perusahaan Jepang mengundang perusahaan-perusahaan produk
pendukung di Jepang untuk membuka anak perusahaan di Malaysia agar dapat
memenuhi ekspektasi perusahaan. Setelah tahun 1980 banyak IKM dari Jepang yang
membuka anak perusahaan di Malaysia dalam rangka memasok kebutuhan
perusahaan ekspor Jepang di Malaysia.
Pemerintah Malaysia berharap kehadiran IKM dari Jepang akan terjadi transfer
teknologi ke IKM lokal sehingga Pemerintah Malaysia sangat aktif untuk menarik IKM
dari luar negeri.
Pada dasarnya perusahaan Jepang tidak terlalu concern dengan perolehan
pasokan barang, apakah dari IKM Jepang atau IKM lokal. Namun, banyak IKM lokal
tidak mampu memenuhi kriteria yang diinginkan. Meskipun IKM lokal memiliki
keunggulan dalam hal harga yang rendah, kualitas produk mereka pun juga rendah.
Alhasil, IKM lokal hanya memasok barang-barang bernilai tambah rendah, seperti
bahan plastik atau kemasan. Pengusaha Jepang mengeluhkan bahwa IKM lokal tidak
dapat memenuhi ekspektasi dalam hal kualitas, waktu pengiriman (delivery time), dan
attitudes management. IKM lokal tersebut kebanyakan tidak lolos tes untuk menjadi
subkontraktor perusahaan Jepang.
Terdapat dualisme dalam status perkembangan IKM di Malaysia. IKM yang
dimiliki oleh perusahaan Jepang menjadi subkontraktor untuk pekerjaan yang
membutuhkan keahlian teknologi tinggi, sedangkan IKM lokal hanya mengerjakan
pekerjaan yang sederhana saja. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan (gap)
kemampuan teknologi dan manajerial antara IKM lokal dan IKM dari Jepang.
Pemerintah menyadari bahwa tumbuhnya sektor manufaktur di Malaysia yang
ditopang oleh perusahaan Jepang memunculkan potensi pasar bagi industri
pendukung, khususnya IKM. Di sisi lain, IKM lokal tidak mampu mengoptimalkan
potensi tersebut karena terhalang masalah kapabilitas sehingga disusun kebijakan
untuk mendorong IKM lokal agar menjadi industri pendukung melalui vendor
development programs (VDP) yang dikeluarkan tahun 1988. Program itu bertujuan
menghubungkan perusahaan besar yang ditunjuk oleh pemerintah untuk membina
IKM secara manajerial dan teknis. Perusahaan anchor yang ditunjuk pemerintah
tersebut diharuskan untuk menerima barang dari IKM yang dibina. Contoh
66
perusahaan anchor adalah Proton (perusahaan anchor pertama), Sapura Holding,
Sony, General Lumber Furniture, Perbadanan Group, JVC Group, dan Matsuhita.
IKM tersebut akan memperoleh bantuan finansial dari pemerintah. Dalam hal
ini, IKM akan memperoleh pinjaman bebas bunga selama lima tahun di bawah
pengawasan Kementerian Industri dan Perdagangan (MITI). Bantuan keuangan
diberikan dalam bentuk soft loan, bukan hibah. Pemerintah, dalam hal ini, berperan
sebagai perantara antara bank dan perusahaan anchor.
Evaluasi terhadap kebijakan VDP di kalangan IKM menunjukkan pihaknya
sangat senang bekerja sama dengan perusahaan anchor. Dengan bekerja sama
subkontrak, bisnis IKM secara keseluruhan menjadi lebih stabil. Mereka juga mampu
meningkatkan kemampuan manajerial dan teknis dari bekerja sama dengan
perusahaan besar. Sementara itu, evaluasi dari sisi perusahaan anchor justru
sebaliknya. Mereka merasa bahwa bisnis IKM terlalu bergantung pada perusahaan
anchor, baik dari sisi dukungan keahlian manajerial, teknis, hingga penjualan.
Perusahaan anchor merasa bahwa belum terjadi peningkatan kemampuan pada IKM
sehingga MNC Jepang akhirnya kembali untuk bekerja sama dengan IKM dari Jepang
seperti sebelumnya. MNC Jepang juga ingin meningkatkan jumlah aktivitas dengan
IKM lokal yang sudah ada sebagai subkontraktor, tetapi pemerintah Malaysia
menghendaki MNC Jepang meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak IKM lokal.
Dalam konteks ini, VDP dapat dinilai kurang berhasil mencapai tujuan yang
dikehendaki.
Selanjutnya muncul kebijakan baru di bawah kerangka Industrial Linkage
Program (ILP). Tujuannya adalah agar industri pendukung di Malaysia dapat lebih
efisien dan berdaya saing internasional. Pada dasarnya ILP merupakan perbaikan dari
VDP. Program itu berada di bawah naungan SMIDEC (Small and Medium Industries
Developing Cooperation). Peran SMIDEC dalam ILP adalah sebagai manajer proyek dan
koordinator, sedangkan pemasok teknologinya dapat dilakukan oleh MNC yang
bersangkutan atau lembaga riset independen. Perbedaannya dengan VDP adalah
bahwa selain IKM yang dioperasikan Bumiputera, IKM yang dimiliki oleh non-
Bumiputera juga dapat berpartisipasi sebagai subkontraktor level kedua. Selain itu,
terdapat berbagai insentif bagi perusahaan anchor.
67
IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS
5.1 Hasil Estimasi dan Analisis
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pangsa FDI intra-ASEAN ke
Indonesia terhadap total ASEAN cukup besar (55,2 persen), tetapi berdasarkan ease
of doing business yang disusun oleh World Bank, peringkat iklim usaha di Indonesia
lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5, bahkan di bawah Vietnam.
Dengan latar belakang tersebut, dipandang penting untuk mengetahui determinan
inward FDI intra-ASEAN Indonesia sehingga diketahui faktor-faktor apa saja yang
dapat menarik investasi langsung asing sehingga diharapkan akan membantu dalam
merumuskan kebijakan terkait FDI di Indonesia. Analisis lebih lanjut dilakukan
dengan menggunakan pendekatan ekonometrika sebagaimana dibahas di bawah ini.
Untuk keperluan analisis tersebut, sistematika penulisan dibagi menjadi (i)
hasil estimasi inward, (ii) hasil analisis inward, (iii) hasil estimasi dan analisis
outward, dan (iv) changing landscape.
Berdasarkan pengujian empiris model panel dinamis dengan menggunakan
metode GMM, diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 13. Hasil uji
spesifikasi validitas instrument menunjukkan bahwa model yang digunakan valid.
Demikian pula, autokorelasi pada orde kedua dan hasil over-indentifying sargan test
menunjukkan bahwa model valid. Pengujian autokorelasi dengan metode Arellano-
Bond yang hipotesis null-nya adalah tidak terdapat autokorelasi menunjukkan bahwa
hipotesis null tidak ditolak. Artinya, tidak terdapat autokorelasi pada orde kedua
sehingga dapat dilanjutkan pada interpretasi koefisien.
5.1.1 Hasil Estimasi Inward FDI
Hasil estimasi model pada persamaan 11 ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Inward FDI Indonesia dari
ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina) (GMM System)
68
Variabel Expected Sign Koefisien
FDI Tahun Sebelumnya (t-1) + 0,8954***
(532,19)
GDP Indonesia + 0,2870***
(12,96)
GDP Negara Asal + 0,1635***
(20,03)
Jarak (Indonesia-Source) - -0,0174***
(-13,61)
Produktivitas Relatif + 0,0750***
(6,82)
Sumber Daya Alam + 0,0397***
(13,11)
Infrastruktur Listrik + -0,1733
(-14,93)
Infrastruktur Jalan + 0,0005*
(1,91)
Perdagangan Bilateral + 0,0524***
(20,20)
Volume Ekspor Indonesia + 0,0418***
(9,64)
Konstanta + -6,5898
(-14,60)
Sargan Test 44,497
Prob, (Sargan Test) 0,251
Autocorrelation (1) -2,137
Prob, (Auto 1) 0,033
Autocorrelation (2) -1,478
Prob, (Auto 2) 0,140
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. *** signifikan
pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, * signifikan pada
level 10 persen; semua variabel dalam bentuk logaritma natural (ln),
kecuali Sumber daya alam dan jalan.
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap inward FDI ke Indonesia pada
level 1 persen adalah FDI Indonesia tahun sebelumnya (0,8954), PDB Indonesia (host
country) (0,2879), PDB negara asal (home country) (0,1635), produktivitas relatif
69
(0,0750), perdagangan bilateral (0,0524), volume perdagangan (0.0418), sumber daya
alam (0,0397), dan jarak (-0,0174). Sementar itu, infrastruktur jalan berpengaruh
pada level 10 persen (0,0005). PDB Indonesia, produktivitas relatif, volume
perdagangan, dan infrastruktur jalan merupakan pull factor terjadinya FDI di
Indonesia. Sementara itu, PDB negara asal dan sumber daya alam merupakan push
factor. Infrastruktur listrik merupakan satu-satunya variabel dalam persamaan yang
tidak signifikan mempengaruhi inward FDI Indonesia.
Pengaruh PDB Indonesia terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,29.
Hal itu berarti setiap pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 1 persen akan
meningkatkan inward FDI ke Indonesia dari ASEAN sebesar 0,29 persen. Sementara
itu, pengaruh PDB negara asal terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,16.
Hal tersebut berarti setiap pertumbuhan 1 persen PDB di negara asal investor akan
mendorong peningkatan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,16 persen, sedangkan
koefisien jarak antara negara asal FDI dan Indonesia bertanda negatif dan signifikan
Hal itu.yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak suatu negara dengan Indonesia
semakin rendah minat negara tersebut untuk melakukan investasi di Indonesia jika
dibandingkan dengan negara yang lebih dekat.
Nilai koefisien variabel produktivitas relatif adalah positif dan signifikan. Hal
itu brarti bahwa setiap peningkatan rasio produktivitas Indonesia terhadap negara
asal investor sebesar 1 persen akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar
0,075 persen. Demikian pula dengan koefisien sumber daya alam bertanda positif dan
signifikan. Hal itu berarti setiap peningkatan 1 persen produksi sumber daya alam di
negara tersebut akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,04 persen.
Nilai koefisien infrastruktur listrik terhadap inward FDI ke Indonesia berbeda
dengan expected sign-nya. Dengan demikian, infrastruktur listrik tidak berpengaruh
terhadap inward FDI ke Indonesia. Sementara itu, nilai koefisien infrastruktur jalan
adalah positif dan signifikan terhadap inward FDI, tetapi dengan tingkat kepercayaan
yang lebih rendah dan dengan nilai koefisien yang cukup rendah. Setiap peningkatan
jalan yang dibangun sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan inward FDI ke
Indonesia sebesar 0,0005 persen.
Variabel perdagangan bilateral memiliki tanda positif dan signifikan. Hal itu
menunjukkan bahwa setiap peningkatan intensitas perdagangan bilateral antara
negara asal FDI (source country) dan Indonesia sebesar 1 persen akan meningkatkan
inward FDI ke Indonesia sebesar 0,05 persen. Sementara itu, peningkatan volume
70
ekspor Indonesia ke partner dagang Indonesia akan meningkatkan inward FDI ke
Indonesia sebesar 0,042 persen.
Selisih antara koefisien variabel potensi pasar (PDB Indonesia) dan variabel
basis ekspor (volume ekspor) adalah sebesar 0,24 (t-stat 23,0704). Perbedaan tersebut
signifikan pada level 5 persen. Hal itu menunjukkan bahwa pengaruh variabel potensi
pasar secara statistik lebih besar jika dibandingkan dengan variabel basis ekspor.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inward FDI dari ASEAN-5 berorientasi
pasar di Indonesia.
5.1.2 Hasil Analisis Determinan Inward FDI Indonesia
Sebagaimana disinggung pada subbab sebelumnya bahwa hasil estimasi
menunjukkan variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap arus FDI dari
negara ASEAN-5 ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB
negara asal, produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume perdagangan,
sumber daya alam (resource), jarak, dan infrastruktur jalan. Sementara itu,
infrastruktur listrik tidak berpengaruh terhadap inward FDI.
PDB Indonesia (host country) berpengaruh paling besar terhadap arus FDI dari
negara ASEAN-5. Hal itu mengindikasikan bahwa FDI yang berasal dari negara
ASEAN-5 umumnya berjenis horizontal platform dan memiliki motif market seeking.
FDI tersebut cenderung mengejar potensi pasar domestik Indonesia yang besar jika
dibandingkan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor (export base). Hasil
penelitian itu sejalan dengan penelitian Thangavelu dan Narjoko (2014) dan Hoang
(2012) untuk FDI di ASEAN. Perkembangan positif ekonomi Indonesia pascakrisis
keuangan Asia 1997/1998 ditengarai telah mendorong investor asing cenderung
menjadikan Indonesia sebagai market-based daripada export-base untuk FDI-nya.
Selama tahun 2004–2014, perekonomian Indonesia tumbuh pesat dengan rata-rata
5,6 persen dan ditunjang oleh populasi yang produktif lebih dari 65 persen (World
Development Indicators, 2015). Di samping itu, tumbuhnya populasi middle income
class dari 37,7 persen pada tahun 2003 menjadi 56,5 persen pada tahun 2010 turut
serta mendorong Indonesia sebagai pasar yang potensial, terutama untuk produk
keuangan, asuransi, dan properti sebagai salah satu bidang usaha yang diminati
investor ASEAN-5, bahkan diproyeksikan pada tahun 2020, lebih dari 60 juta orang
akan masuk dalam middle income class, yaitu ketika mereka akan menerima
pendapatan sekitar Rp2.000.000,00 s.d. Rp3.000.000,00 di atas pendapatan yang
71
diterima tahun 2012, yaitu kurang dari 1,5 juta rupiah (Grafik 21). Kondisi itu perlu
diwaspadai karena akan semakin menjadikan Indonesia sebagai basis pasar lokal.
Sumber: Adaptasi dari www.bcgperspectives.com
Grafik 21. Proyeksi Pertumbuhan Kelas Menengah pada Tahun 2012–2020
PDB negara asal (home country) berpengaruh terhadap inward FDI intra-
ASEAN Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal
(home country) menjadi pendorong bagi masuknya arus FDI ke Indonesia. Dalam
ASEAN Investment Report 2012 disebutkan bahwa motivasi yang mendorong
perusahaan-perusahaan ASEAN termasuk Indonesia berinvestasi di intra-ASEAN
adalah keterbatasan pasar domestik untuk berekspansi. Perusahaan domestik di
setiap negara ASEAN berkembang menjadi kampiun di negaranya sehingga secara
alamiah perusahaan tersebut akan berekspansi ke luar negeri untuk meraih
keunggulan kompetitif (ASEAN, 2012). Dengan demikian, banyak perusahaan di
ASEAN menjadi pemain regional ASEAN karena keunggulan kompetitif yang mereka
miliki. Hal itu dimungkinkan terjadi ketika mereka telah memperoleh keunggulan
kompetitif di negara asalnya. Keunggulan kompetitif yang mereka miliki tersebut pada
dasarnya tidak terlepas dari perkembangan perekonomian di negara asal FDI
tersebut.
Produktivitas berpengaruh terhadap masuknya FDI dari intra-ASEAN ke
Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi produktivitas tenaga kerja
Indonesia relatif dibandingkan dengan produktivitas negara asal akan meningkatkan
minat investor untuk menempatkan modalnya di Indonesia. Produktivitas yang tinggi
akan meningkatkan keuntungan bagi investor asing karena dengan biaya dan jumlah
0 20 40 60 80
>7,5 Juta
5-7,5 Juta
3-5 Juta
2-3 Juta
1-2 Juta
1-1,5 Juta
<1 Juta
Juta orang
2012
2020
72
input yang sama, perusahaan asing tersebut akan memproduksi lebih banyak.
Penelitian ini sejalan dengan temuan Artige dan Nicolini (2006) di Eropa bahwa
produktivitas merupakan determinan inward FDI.
Sumber : ESCAP, 2015
Grafik 22. Perkembangan Produktivitas Beberapa Negara Asia
Perbandingan relatif produktivitas di negara Asia ditunjukkan pada Grafik 22.
Berdasarkan data, Singapura memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, bahkan lebih tinggi daripada
Tiongkok (Grafik 22). Namun, meskipun Tiongkok memiliki tingkat produktivitas
tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, tren tingkat
produktivitas tenaga kerja di Tiongkok mengalami peningkatan yang cukup pesat,
tercatat meningkat dari USD3,210.87 pada tahun 1991 menjadi USD5,561.08 pada
tahun 2000 dan secara signifikan meningkat menjadi USD19,654.10 pada tahun
2014.
Apabila diamati lebih jauh, tingkat produktivitas tertinggi di kawasan ASEAN
adalah Singapura diikuti dengan Malaysia dan Thailand. Sementara itu, tingkat
produktivitas Indonesia hampir sama dengan Filipina dengan pergerakan yang
kurang lebih sama. Meskipun hampir sama dengan Filipina, tingkat produktivitas
tenaga kerja Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat
produktivitas tenaga kerja India. Rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia
menuntut perhatian akan perlunya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas
tenaga kerja Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lainnya.
Menurut hasil estimasi model inward FDI, keberadaan FDI di Indonesia
kemungkinan dimulai dari perdagangan (ekspor dan impor) antarkedua negara secara
terus-menerus (perdagangan bilateral) baru selanjutnya investor asing melakukan
73
investasi di Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh variabel perdagangan bilateral yang
signifikan dan berpengaruh positif yang mengindikasikan bahwa FDI yang masuk ke
Indonesia pada dasarnya bersifat horizontal platform, dalam arti investor asing yang
semula melakukan ekspor-impor bergeser operasinya dengan membuka fasilitas
produksi di Indonesia. Hal yang melatarbelakangi pergeseran tersebut kemungkinan
disebabkan untuk mengurangi biaya perdagangan antarnegara (trade cost) dan/atau
meningkatkan efisiensi.
Volume perdagangan merupakan salah satu determinan inward FDI ke
Indonesia dari ASEAN-5. Volume perdagangan yang berkembang menunjukkan
kapasitas negara tersebut untuk mengekspor barang ke pasar dunia. Hal itu menjadi
determinan FDI yang ingin menjadikan negara tersebut basis ekspor karena
mengharapkan akan ikut berpartisipasi dalam perdagangan internasional pula.
Variabel sumber daya alam (pangsa sektor primer terhadap PDB) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap arus FDI dari ASEAN-5. Hal itu menunjukkan minat
investor ASEAN-5 untuk berinvestasi di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sumber
daya alam Indonesia (pull factor). Hasil sumber daya alam itu selanjutnya akan
diekspor dan diproses lebih lanjut. Sebagai contoh, dalam ASEAN Investment Report
2014 (ASEAN, 2014) disebutkan bahwa dalam supply chain produk perawatan rambut
di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran sebagai pemasok bahan baku mentah
dan bahan packaging yang selanjutnya diekspor ke Malaysia untuk diolah menjadi
oleo-chemicals yang kemudian diekspor ke Thailand untuk dijadikan barang
konsumsi akhir (Gambar 5). Hal yang menarik adalah investor asing yang memasok
bahan baku dari Indonesia dalam regional value chain produk tersebut merupakan
salah satu perusahaan yang berasal dari ASEAN-5, yaitu Singapura.
74
Sumber: ASEAN Secretariat
Gambar 5. Global Supply Chain ASEAN untuk Produk Perawatan Rambut
Variabel jarak negara asal FDI dengan Indonesia juga berpengaruh terhadap
masuknya FDI ke Indonesia. Hal itu sesuai dengan prediksi model gravitasi yang
menyebutkan bahwa arus perdagangan dan investasi antara dua daerah akan
dipengaruhi oleh jarak. Akan tetapi, pada kasus inward FDI Indonesia nilai
koefisiennya cukup kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak
terlalu besar dalam keputusan berinvestasi di suatu negara. Hal itu dilatarbelakangi
oleh semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang menyebabkan jarak
yang merepresentasikan biaya untuk mengontrol investasi semakin kecil.
Kondisi infrastruktur jalan di Indonesia berpengaruh, tetapi dengan koefisien
yang cukup kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rehman et al. (2011)
yang menyatakan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif dalam menarik
investasi langsung-asing dalam jangka pendek dan panjang di Pakistan. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Thorbecke dan Salike (2013) juga mengemukakan bahwa
kualitas infrastruktur suatu negara memainkan peran penting dalam kemampuan
negara tersebut menarik FDI.
Hasil kajian Susanto (2012) mengemukakan bahwa infrastruktur jalan tahun
sebelumnya berpengaruh positif terhadap PMA langsung. Temuan itu mendukung
hipotesis bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di negara-negara ASEAN merupakan
faktor penentu bagi masuknya PMA langsung ke wilayah tersebut. Sementara itu,
Fitriandi, Kakinaka, dan Kotani (2014) mengemukakan bahwa pengembangan
infrastruktur akan meningkatkan investasi asing langsung. Alat ukur yang digunakan
75
dalam penelitian ini meliputi distribusi listrik per area, panjang jalan per area,
distribusi air per penduduk, dan kapasitas air per penduduk. Namun, dikemukakan
bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membangun infrastruktur, tetapi
masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5 lain. Infrastruktur
berupa listrik, jalan, dan rel kereta tampaknya masih belum memadai.
Global Competitiveness Index 2014–2015 yang disusun oleh World Bank
mengonfirmasikan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia belum memadai sehingga
Indonesia berada pada posisi/peringkat 56 dari 143 negara (Tabel 14). Posisi
Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dalam indepth interview dengan akademisi dan praktisi dikemukakan bahwa
pada dasarnya infrastruktur bukan merupakan faktor yang mendorong investor asing
untuk melakukan investasi langsung ke Indonesia. Dalam hal infrastruktur belum
tersedia, investor asing bersedia untuk membangun prasarana dan sarana untuk
kebutuhan pembangunan proyek (investasi langsung asing).
Tabel 14. Global Competitiveness Index 2014–2015
No. Negara/Ekonomi
Infrastruktur
2014 2015
Peringkat Nilai Peringkat Nilai
1 Singapura 2 6,41 2 6,54
2 Malaysia 29 5,19 25 5,46
3 China 48 4,51 46 4,66
4 Thailand 47 4,53 48 4,58
5 Brunei Darussalam 58 4,29 N/A N/A
6 Indonesia 61 4,17 56 4,37
7 Vietnam 82 3,69 81 3,74
8 India 85 3,65 87 3,58
9 Filipina 96 3,4 91 3,49
10 Laos 84 3,66 94 3,38
11 Cambodia 101 3,26 107 3,05
12 Myanmar 141 2,01 137 2,05
Sumber: Global Competitiveness Index 2014--2015, World Bank
76
5.2 Hasil Analisis Outward FDI Indonesia
Selain memberikan dampak pada negara tujuan (host country), FDI juga
memiliki pengaruh pada negara asal (home country). Dari sisi negara asal, arus keluar
investasi asing (FDI) tersebut dikategorikan sebagai outward FDI. Seperti halnya
manfaat yang diterima oleh suatu negara yang menerima inward FDI, FDI yang
beroperasi di luar negeri juga akan memperoleh keuntungan dari kegiatan
investasinya.
Perusahaan yang berinvestasi di luar negeri (outward FDI) akan menciptakan
spillover productivity di negara asal (home country). Perusahaan FDI akan
mendapatkan keterampilan (skill) yang lebih superior dari pengalaman beroperasi di
luar negeri dan akan mentransfer keterampilan (skill) tersebut ke usaha dalam negeri
melalui mobilitas tenaga kerja (Tang and Altshuler, 2015). Hal itu disebabkan
perusahaan FDI tersebut menginvestasikan modalnya ke luar negeri untuk
memperoleh akses teknologi dan kemampuan manajerial yang lebih baik, selain
untuk memperoleh potongan pajak, potensi pasar yang besar, dan tenaga kerja yang
lebih berkualitas dan ekonomis. Perusahaan di negara asal (home country) juga akan
belajar melalui observasi dan imitasi dari pengalaman outward FDI tersebut.
Manfaat outward FDI terhadap perekonomian negara asal (home country) dapat
dibagi menjadi dua, yaitu manfaat bagi perusahaan itu sendiri dan manfaat terhadap
perusahaan lain di negara asal (home country) dan perekonomian negara asal secara
umum (Vahter and Masso, 2006). Perusahaan FDI menjadi lebih kompetitif dengan
belajar dari tekanan kompetisi internasional, seperti halnya pada learning-by-
exporting. Suatu anak perusahaan yang menempatkan operasi perusahaannya di
suatu negara lain yang knowledge-intensive akan memberikan manfaat pada
perusahaan induknya dari sisi adopsi teknologi. Outward FDI juga akan memperbaiki
produktivitas dengan memfasilitasi peningkatan spesialisasi dan alokasi sumber daya
yang lebih baik. Di samping itu, perusahaan juga dapat mengimpor bahan baku yang
lebih murah dari perusahan afiliasinya di negara tempat FDI didirikan (Hsu et al.,
2011).
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa perusahaan yang paling produktif
akan berekspansi ke luar negeri melalui outward FDI. Sementara itu, perusahaan
yang agak kurang produktif akan berekspansi ke luar melalui perdagangan
internasional (ekspor), sedangkan perusahaan yang tidak kompetitif hanya akan
beroperasi dan menjual barang di dalam negeri saja. Oleh karena itu, analisis
77
mengenai bagaimana perilaku outward FDI penting untuk dilakukan, terutama untuk
Indonesia yang akan menghadapi persaingan dalam KEA 2015.
Tabel 15. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Outward FDI Indonesia (Sistem
GMM)
Variabel Expected Sign Koefisien
FDI tahun sebelumnya (t-1) + 0,155
(1,300)
GDP negara tujuan + 0,991***
(2,630)
GDP Indonesia + -1,697
(-2,190)
Jarak (Host–Indonesia) - 0,077
(1,100)
Produktivitas relatif + -0,503
(-5,000)
Sumber daya alam + -0,010
(-0,440)
Infrastruktur listrik + -0,191
(-0,550)
Perdagangan bilateral + 0,342*
(1,740)
Dummy Singapura +/- 3,385***
(4,000)
Konstanta + 14,565
(1,340)
Sargan Test 40,435
Prob. (Sargan Test) (0,407)
Autocorrelation (1) -1,376
Prob. (Auto 1) 0,169
Autocorrelation (2) -0,785
Prob. (Auto 2) 0,433
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. *** signifikan pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, *
signifikan pada level 10 persen
78
Tabel 15 menunjukkan hasil estimasi model outward FDI Indonesia ke intra-
ASEAN 5. Variabel yang signifikan berpengaruh terhadap keputusan outward FDI
Indonesia adalah GDP negara tujuan, perdagangan bilateral, dan dummy Singapura.
GDP Indonesia dan perdagangan bilateral berpengaruh positif terhadap outward FDI
Indonesia.
GDP negara tujuan memiliki koefisien bertanda positif dan bernilai sebesar
0,99. Hal itu berarti jika GDP negara tujuan tumbuh 1 persen, maka akan
meningkatkan outward FDI ke negara tersebut sebesar 0,99 persen. Koefisien
perdagangan bilateral bertanda positif dan memiliki nilai 0,34. Hal itu berarti bahwa
setiap peningkatan perdagangan bilateral sebesar 1 persen akan meningkatkan
outward FDI sebesar 0,34 persen.
Pada model outward FDI, penelitian ini memasukkan variabel dummy
Singapura. Adapun alasan yang melatarbelakangi penggunaan dummy variable
khusus untuk outward FDI (dan tidak digunakan dalam inward FDI Indonesia) adalah
Singapura merupakan negara yang menjadi intermediate source bagi FDI dan share
outward FDI Indonesia ke Singapura lebih dari 90 persen. Hasil analisis menunjukkan
koefisien untuk dummy Singapura bertanda positif dan bernilai 3,39. Hal itu berarti
bahwa dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus), rata-rata outward FDI
Indonesia ke Singapura lebih tinggi 3,39 persen daripada ke negara lain. Besarnya
koefisien itu menunjukkan bahwa karakteristik khas yang dimiliki oleh Singapura—
jika dibandingkan negara lain—menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi investor dari
negara lain untuk berinvestasi di Singapura. Karakteristik tersebut mencakup
regulasi yang diberikan Singapura, karakteristik negaranya sebagai intermediate
source, dan karakteristik lainnya (lihat Boks 1).
Faktor pendorong (push factor) yang diharapkan berpengaruh terhadap
outward FDI Indonesia tidak terbukti secara statistik signifikan. Hal tersebut dapat
diduga karena pasar Indonesia sendiri belum jenuh. Adapun faktor yang mendorong
perusahaan untuk ekspansi ke luar negeri lebih disebabkan oleh faktor internal
perusahan FDI itu sendiri untuk memperoleh return yang lebih tinggi. Hasil itu
konsisten dengan hasil analisis empiris pada determinan inward FDI intra-ASEAN
dan juga sejalan dengan hasil temuan Hatari et al. (2010).
Selain itu, Ismail et al. (2009) mengemukakan bahwa pengaruh PDB negara
asal (home country) terhadap outward FDI berkaitan erat dengan tingkat
pembangunan ekonomi suatu negara (stage of development), antara lain
ketidaksiapan bisnis untuk bersaing di luar negeri, cenderung fokus pada pasar
79
dalam negeri, dan kurangnya kebijakan yang mendorong ekspansi ke luar negeri. Hal
tersebut menjadi faktor lain yang tidak mendorong terciptanya outward FDI.
Dalam penelitian ini disadari bahwa keterbatasan data menyebabkan hasil
estimasi menjadi kurang robust dan beberapa tanda koefisien tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Meskipun begitu, hasil estimasi dengan menggunakan model pada
persamaan 11 dapat menambah kazhanah penelitian terkait outward FDI intra-
ASEAN untuk Indonesia.
5.3 Changing Landscape FDI Sektor Manufaktur
Subbab ini mengulas perkembangan tingkat teknologi perusahaan
multinasional pada sektor manufaktur yang masuk ke Indonesia melalui FDI, baik
yang intra-ASEAN maupun yang ekstra-ASEAN. Pada subbab ini akan dianalisis
pergeseran kontribusi FDI untuk sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologi
yang digunakan. Perkembangan tingkat teknologi yang digunakan mengacu pada
Changwatchai (2010) yang menggunakan klasifikasi ekonomi FDI dari Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD)10. Klasifikasi tersebut terdiri atas
empat tingkat, yaitu low, medium low, medium high, dan high. Klasifikasi tersebut
berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economic Activities
(ISIC) versi 3. Selanjutnya dilakukan penyelerasan dengan data yang dikeluarkan oleh
BKPM yang tidak berbentuk ISIC, tetapi terdapat kesamaan dalam hal jenis subsektor
dan terdiri atas tingkat produk.
Untuk melihat secara detail periode ketika terjadi pergeseran struktural,
digunakan metode multiple structural breaks dari Bai dan Perron (1996). Metode
tersebut mendasarkan pada analisis regresi linear dengan menggunakan tren waktu
dan melihat apakah terjadi structural break pada beberapa titik waktu. Penentuan
structural breaks tidak seperti pada uji Chow, yaitu periode atau titik break ditentukan
secara a priori. Dalam metode Bai dan Perron, penentuan periode breaks dilakukan
berdasarkan data yang ada.
10 Selain Changwatchai (2010) terdapat pula klasifikasi lain berdasarkan Rahmaddi dan
Ichihashi (2013) yang diadaptasi dari klasifikasi Aswicahyono dan Pangestu (2000).
80
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC
Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 23. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi
(1990–2013)
Secara umum terdapat kecenderungan yang berkebalikan dari hipotesis awal.
Hasil penelitian menunjukkan inward FDI Indonesia justru meningkat porsinya
untuk level low dan medium low technology (Grafik 23). Sementara itu, penurunan
paling besar terjadi pada tingkat medium high karena pada tahun 1990 FDI pada
tingkat teknologi tersebut mendominasi total FDI di Indonesia. Pada tahun 1990
inward FDI Indonesia untuk medium high sebesar 59,04 persen dan untuk tingkat
high sebesar 1,95 persen. Persentase tersebut menurun menjadi 21,71 persen
(medium high) dan 0,42 persen (high) pada tahun 2013. Secara total inward FDI
dengan tingkat teknologi tinggi turun dari 61 persen (1990) menjadi 22 persen (2013).
Apabila diamati lebih lanjut, sesungguhnya inward FDI ke Indonesia pernah
mengalami pergeseran tingkat teknologi ke arah yang lebih maju, yaitu pada periode
1990–1997 (Grafik 24 dan Grafik 25). Tampak dalam grafik bahwa pangsa inward FDI
Indonesia terhadap total inward FDI untuk medium high dan high level of technology
terus meningkat. Namun, setelah tahun 1998 inward FDI jenis ini justru stagnan,
bahkan mengalami penurunan drastis sejak tahun 2009. Sebaliknya, yang terjadi
adalah inward FDI untuk tingkat teknologi yang low dan medium low justru semakin
meningkat.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Low Medium Low Medium High High
81
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 24. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi
(1990–2013)
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC
Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 25. Smoothing Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi (1990–2013)
Selanjutnya untuk melihat periode ketika terjadi pergeseran struktur FDI,
analisis multiple structural breaks diaplikasikan. Data yang digunakan dikelompokan
menjadi teknologi tinggi dan rendah. Teknologi tinggi mencakup pangsa FDI pada
kelompok medium high dan high, sedangkan teknologi rendah mencakup FDI
kelompok low dan medium low. Hasil estimasi sebagaima tampak pada Tabel 16 dan
digambarkan dalam Grafik 26. Hasil estimasi tersebut menunjukkan pada periode
kapan saja pergeseran struktur inward FDI per kelompok tingkat teknologi signifikan.
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Medium High and High
Low and Medium Low
Era Sebelumkrisis 1997-1998
Semakin timpangnya FDI Low dan Med Low dengan Med High dan
High
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Medium High and High Low and Medium Low
Era Sebelumkrisis 1997-1998 Semakin timpangnya FDI
Low dan Med Low dengan Med High dan High
82
Hasil analisis menunjukan bahwa periode inward FDI pada kedua kelompok, baik
teknologi tinggi dan rendah, terjadi pada empat periode yang berbeda.
Tabel 16. Periode Multiple Structural Breaks FDI Inward Indonesia
Berdasarkan Tingkat Teknologi
Low dan Medium Low Medium High dan High Periode (tahun)
1990–1990 1990–1990 1
1991–1993 1991–1993 3
1994–2009 1994–2009 16
2010–2013 2010–2013 4
Hasil estimasi multiple structural breaks menunjukkan bahwa pergeseran
struktur dari teknologi tinggi dan teknologi rendah terjadi pada periode 199–1993.
Pada periode 1994–2009 inward FDI kelompok teknologi tinggi cenderung stagnan
karena tidak ada perubahan struktur yang berarti. Selanjutnya, setelah tahun 2009
inward FDI kelompok teknologi tinggi justru menurun pangsanya terhadap total
inward FDI. Dari hasil pengamatan itu dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
pergeseran FDI ke industri yang berteknologi tinggi, bahkan kecenderungan yang
terjadi adalah adanya pergeseran FDI ke arah FDI yang berteknologi rendah seperti
sebelum tahun 1990.
-15
-10
-5
0
5
10
15
30
40
50
60
70
80
90
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10 12
Residual Actual Fitted
Low and Medium Low Technology
-15
-10
-5
0
5
10
15
10
20
30
40
50
60
70
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10 12
Residual Actual Fitted
Medium High and High Technology
Grafik 26. Multiple Structural Breaks FDI Sektor Manufaktur Indonesia
83
V. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Dari uraian sebelumnya khususnya hasil analisis, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut.
1. FDI Indonesia lebih banyak bersumber dari ekstra-ASEAN daripada intra-
ASEAN. Meskipun begitu, share FDI Indonesia dari negara ASEAN trennya
terus meningkat.
2. Determinan FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia (inward FDI) adalah FDI tahun
sebelumnya, PDB Indonesia (host country), PDB negara asal (home country),
produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume pedagangan, sumber daya
alam, jarak, dan infrastruktur jalan. Untuk determinan outward FDI intra-
ASEAN untuk Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral, dan
karakteristik Singapura.
3. FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia lebih berorientasi pada pasar lokal
daripada sebagai basis ekspor. Hal itu dikhawatirkan akan menekan neraca
pembayaran dari sisi transaksi berjalan.
4. Secara sektoral, inward FDI intra-ASEAN cenderung mengarah pada sektor
tersier yang diikuti sektor manufaktur.
5. Pada sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologinya, FDI ke Indonesia
sudah mulai bergeser ke teknologi tinggi pada era 1990-an, tetapi berbalik arah
sejak tahun 2009 ke arah tingkat teknologi rendah.
6. Inward FDI intra-ASEAN untuk Indonesia yang mengejar pasar lokal daripada
basis ekspor memerlukan perhatian khusus oleh pemerintah mengingat tujuan
KEA menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dikhawatirkan tidak dapat
dinikmati oleh Indonesia.
6.2 Saran
Untuk mendorong inward FDI yang berorientasi ekspor, dipandang perlu
peningkatan peran lembaga/institusi terkait seperti berikut.
84
a. Pemerintah
1. Indonesia diharapkan mampu menarik lebih banyak FDI intra-ASEAN pada saat
KEA diimplementasikan, terutama diarahkan untuk investasi yang berorientasi
ekspor selain pasar lokal. Apabila hal ini tidak diperhatikan dalam jangka
panjang, neraca pembayaran Indonesia akan semakin berat.Untuk itu,
pemerintah dapat menerapkan persentase ekspor tertentu dari produksi yang
wajib diekspor dan dijual ke pasar dalam negeri.
2. Pemberian insentif kepada industri yang berorientasi ekspor dan menciptakan
iklim investasi yang baik sehingga FDI di Indonesia menjadi basis ekspor dan
sejalan dengan kecenderungan yang sekarang terjadi agar menjadi bagian dari
global supply chain.
3. Peningkatan domestic absorption capacity dengan mendorong kebijakan prioritas
nasional yang mengarahkan kegiatan UKM agar terintegrasi dengan PMA dan
PMDN yang berorientasi ekspor.
4. Keberlangsungan investasi di sektor pengolah komoditas primer dengan
berakhirnya era commodity boom perlu diperhatikan..
b. Bank Indonesia
1. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk dapat mengadopsi teknik dalam
proses high tech sehingga mampu menarik FDI manufaktur, terutama pada
bidang usaha yang memiliki teknologi tinggi untuk memproses lebih lanjut hasil
produksi sektor primer. Untuk itu, Bank Indonesia harus dapat melakukan (i)
peningkatan pendampingan kepada pelaku-pelaku klaster melalui penguatan
KPwDN sehingga dapat meningkatkan keterampilan yang akan meningkatkan
produktivitas, (ii) penggunaan teknologi untuk penambahan value-added, dan
(iii) pemberian informasi (market access) sehingga dapat berpartisipasi dalam
global value chain.
2. Menyempurnakan pencatatan FDI dengan melihat secara detail FDI yang
bersumber dari intermediate dan ultimate source country (caveat) untuk melihat
bagaimana FDI tersebut sesungguhnya berasal.
3. Mengekstrak data ekspor-impor sehingga dapat menyajikan informasi yang lebih
detail mengenai potential buyer (nama perusahaan, negara asal, alamat, sektor
85
ekonomi, contact person, dan lain-lain) untuk kepentingan KPwDN dalam rangka
pendampingan.
Further Research (caveat):
Dari pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa area penelitian yang perlu
dieksplor (diteliti) lebih lanjut agar dapat memberikan sumbangan berarti bagi
penelitian terkait FDI di Indonesia. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah
sebagai berikut.
1. Diperlukan analisis mengenai ultimate dan intermediate source country dalam
hal FDI intra-ASEAN karena salah satu negara penerima dan pengirim FDI
terbesar di ASEAN, yaitu Singapura, diduga merupakan intermediate source
country.
2. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai determinan dan perilaku FDI secara
khusus per komponen, misalnya reinvested earning, karena komponen itu
dapat meningkatkan FDI di Indonesia.
3. Diperlukan analisis pengaruh FDI terhadap ekspor perlu di-breakdown ke unit
analisis yang lebih kecil, misalnya subsektor, kelompok atau level perusahaan
(firm level). Analisis dapat dilakukan dengan melihat komponen produksi
antara yang dijual oleh perusahaan multinasional ke pasar lokal dan ekspor.
4. Diperlukan penyempurnaan secara detail pencatatan outward FDI untuk
kebutuhan analisis studi perilaku outward FDI yang lebih baik.
5. Diperlukan studi mengenai pengaruh FDI terhadap export sophistication dan
diversification.
6. Diperlukan studi mengenai keterkaitan UKM dengan MNC dalam konteks
production network dan supply chain.
DAFTAR PUSTAKA
86
Anderson, J.E. (2010). “The Gravity Model”. NBER Working Paper.
Aswicahyono, H. and Pangestu, M. (2000). “Indonesia’s Recovery: Exports and Regaining Competitiveness”. The Developing Economies, 38: 454–489.
Atkis, F. J. (2002). “Multiple Structural Breaks in the Nominal Interest Rate and Inflation in Canada and the United States”. Department of Economics Discussion Paper 2002–2007.
Bai, J., & Perron, P. (1998). “Estimating and Testing Linear Moels with Multiple Structural Changes”. Econometrica, 47--78.
Balassa, B. (1961). “The Theory of Economic Integration”. Routledge.
Baltagi, B. H. (2005). “Econometric Analysis of Panel Data”. Wiley.
Bellak, C., Leibrecht, M., & Riedl, A. (2008). “Labour Costs and FDI Flows into Central and Eastern European Countries: A Survey of the Literature and Empirical Evidence”. Structural Change and Economic Dynamics Vol. 19.
Blonigen, B. A. (2005). “A Review of the Empirical Literature on FDI Determinants”. Dalam Atlantic Economic Journal Vol. 33.
Bond, S. (2002). “Dynamic Panel Data Models: A Guide to Micro Data Methods and Practice”. CEMMAP Working Paper.
Cadarajat dan Yanfitri (2008). “FDI vs Trade: Komplemen atau Subtitusi?”. Working Paper (16/2008).
Calderón, C., Loayza, N., & Servén, L. (2004). “Greenfield Foreign Direct Investment and Mergers and Acquisitions: Feedback and Macroeconomic Effects”. World Bank Policy Research Working Paper 3192.
Chan, M. L., Hou, K., Li, X., & Mountain, D. C. (2013). “Foreign Direct Investment and Its Determinants: A Regional Panel Causality Analysis”. The Quarterly Review of Economics and Finance.
Changwatchai, Piyaphan. (2010). “The Determinants of Fdi Inflows By Industry To Asean (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, And Vietnam)”. Dissertation, Department of Economics The University of Utah.
Cheng, L., & Kwan, Y. K. (2000). “The Location of Foreign Direct Investment in Chinese Regions Further Analysis of Labor Quality.” The Role of Foreign Direct Investment in East Asian Economic Development, NBER-EASE Volume 9.
Cho, C. (2013). “The Causal Relationship between Trade and FDI: Implication for India and East Asian Countries”. KIEP Working Paper 1 3--06.
Damuri, Yose Rizal. 2015. “ASEAN’s FDI in Indonesia: A Framework of Thinking”.
Denisia, V. (2010, December). “Foreign Direct Investment Theories: An Overview of the Main FDI Theories”. Dalam European Journal of Interdicplinary Studies, 2(2).
Dornbusch, R., Fischer, S., & Startz, R. (1998). Macroeconomics. New York: McGraw-Hill.
Dunning, J.H. (1998). “Location and the Multinational Enterprise: A Neglected Factor”. Dalam Journal of International Business Studies, 45--66.
87
Dunning, J. H. (2000). “The Eclectic Paradigm as an Envelope for Economics and Business Theories of MNE Activity”. International Business Review, 163--190.
Dunning, J. H. (2001). “The Eclectic (OLI) Paradigm of International Production: Past, Present and Future”. Dalam International Journal of the Economics of Business, 173--190.
Fontagné, L. (1999). “Foreign Direct Investment and International Trade: Complements or Substitutes? OECD Science, Technology, and Industry”. Working Papers 1999/03, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/788565713012.
Franco, C., Renticchini, F., & Marzetti, G. V. (2010). “Why do firms invest abroad? An analysis of the motives underlying Foreign Direct Investments”. Dalam Icfai University Journal of International Business Law, 42--65.
Greene, W. H. (2007). “Econometrics Analysis”. Prentice Hall.
Gudjarati, D., & Porter, D. (2009). Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill Education.
Guesmi, K., Kaabia, O., & Kazi, I. (2013). “Does Shift Contagion Exist Between OECD Stock Markets During the Financial Crisis?” Dalam International Journal of Applied Business Research Vol 29 (3).
Haigh, M. (2006). “Ultimate sources and destinations of New Zealand‟s direct
investment”. Statistics New Zealand, 85, Wellington, New Zealand. Hoang, H. H. (2012). Foreign Direct Investment in Southeast Asia: Determinants and Spatial Distribution. Depocen Working Paper.
Hsu, W.-C., Gao, X., Zhang, J., & Lin, H. M. (2011). “The Effects of Outward FDI on Home Country Productivity”. Dalam Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies, Vol. 4 Iss 2 , 99–116.
Iwamoto, Manabu & Nabeshima, Kaoru. (2012). "Can FDI promote export diversification and sophistication of host countries? : dynamic panel system GMM analysis," IDE Discussion Papers 347, Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organization(JETRO).
Kahouli, B., & Maktou, S. (2014). “The Determinants of FDI and the Impact of the Economic Crisis on The Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.” International Business Review.
Kelkar, Mallika, and Statistics New Zealand Skills. (2011) "The Ultimate Sources of Foreign Direct Investment." New Zealand Association of Economists Conference, Wellington.
Kurniati, Prasmuko, Yanfitri. (2007). “Determinan FDI (Faktor-faktor yang Menentukan Investasi Asing Langsung)”.Working Paper (WP/06/2007)
Kusluvan, S. (1998). “A Review of Theories of Multinational Enterprises”. D.E.U.I.I.B.F. Dergisi, 13(1), 163--180.
Lecraw, Donald (1977) “Direct Investment by Firms from Less Developed Countries”. Oxford Economic Papers,
Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2011). “Foreign direct investment and growth in East Asia: lessons for Indonesia”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 47(1).
88
Lopes, T. d. (2010). “Using History to Help Refine International Business Theory: Ownership Advantages and The Eclectic Paradigm”. The York Management School Working Paper, 1–19.
Masron, T. A. (2013). “Promoting Intra-ASEAN FDI: The role of AFTA and AIA”. Economic Modelling Vol. 31 .
Miroudot, S., & Ragoussis, A. (2008). “Vertical Trade, Trade Cost, and FDI”. OECD Trade Policy Working Paper No. 89.
Mukhtar, A., Ahmad, M., Waheed, M., Kaleen, U., & Inam, H. (2014). “Determinants of Foreign Direct Investment Flow in Developing Countries”. Dalam International Journal of Academic Research in Applied Science Vol. 3 (3).
Narula, R. (2010). “Keeping the Eclectic Paradigm Simple: A Brief Commentary and Implications for Ownership Advantages”. Multinational Business Review, 3--23.
Nayak, D., & Choudhury, R. N. (2014). “A Selective Review of Foreign Direct Investment Theories”. ARTNet Working Paper Series (143).
Okamoto, Y., & Sjoholm, F. (2005). “FDI and the Dynamics of Productivity in Indonesian Manufacturing”. Dalam Journal of Development Studies Vol 41 (1).
Onel, G. (2005). “Testing for multiple structural breaks: an application of Bai-Perron test to the nominal interest rates and inflation in Turkey”. D. E. Ü. İİ. B. F.
Dergisi, 20 (2), 81–93.
Petri, P.A. (2012). “The determinants of bilateral FDI: Is Asia different?” Dalam Journal of Asian Economics, Vol 12 (3).
Rahmaddi, R., & Ichihashi, M. (2013). “The role of foreign direct investment in Indonesia's manufacturing exports”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies,49 (3), 329--354.
Rehman, A., Ilyas, M., Alam, H. M., & Akram, M. (2011). “The Impact of Infrastructure on Foreign Direct Investment: The Case of Pakistan”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol 6, No 5 (2011).
Rooadman, D. (2009). “How to do xtabond2: An introduction to difference and system GMM in Stata”. Centre for Global Development Working Paper.
Rowley, A. H. (2006). “Foreign Firms Put Their Funds Into The 'New Economy'”. Dalam Wall Street Journal, p. A17.
Rowley, A. H. (2006). “New Government Aims to Accelerate Inward Investment”. Dalam Asian Wall Street Journal, p. 8.
Rugman, A.M. (2010). “Reconciling Internalization Theory and The Eclectic Paradigm”. Multinational Business Review, 1–12.
Stefanovic, S. (2008). “Analytical Framework of FDI Determinants: Implementation of the OLI Model”. Economics and Organization, 5 (3), 239–249.
Susanto, J. (2012). “Determinan Penanaman Modal Langsung di ASEAN”. Dalam Jurnal Riset Manajemen & Bisnis Vol 07, Nomor 01, Tahun 2012.
Tang, J., & Altshuler, R. (2015). “Spillover Effects of Outward Foreign Direct Investment on Home COuntries: Evidence from the United States”. (January 4, 2015). Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2545129.
Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct Investment Flows Into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics, 65–76.
89
Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct Investment Flows into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics Vol. 35.
The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). (2014). “Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2014”.
Thorbecke, W., & Salike, N. (2013). “Foreign Direct Investment in East Asia”. RIETI Policy Discussion Paper Series 13-P-003 March 2013.
Vahter, P., & Masso, J. (2006). “Home Versus Host Country Effects of FDI: Searching for New Evidence of Productivity Spillovers”. William Davidson Institute Working Paper No. 820.
Verbeek, M. (2004). A Guide to Modern Econometrics. Wiley.
Wadhwa, K., & Reddy, S. (2011). “Foreign Direct Investment into Developing Asian Countries: The Role of Market Seeking, Resource Seeking and Efficiency Seeking Factors”. Dalam International Journal of Business and Management Vol. 6(11).
Walsh, J. P., & Yu, J. (2010). “Determinants of Foreign Direct Investment: A Sectoral and Institutional Approach”. IMF Working Paper.
Wattanadumrong, B., Collins, A., & Snell, M. C. (2014). “Taking the Thai trail: Attracting FDI via macro-level policy”. Dalam Journal of Policy Modelling Vol. 36.
Wawro, G. (2002). “Estimating Dynamic Panel Data Models in Political Science”. Political Analysis.
Xaypanya, P., Rangkakulnuwat, P., & Paweenawat, S. W. (2015). “The Determinants of Foreign Direct Investment in ASEAN: The First Differencing Panel Data Analysis”. Dalam International Journal of Social Economics Vol.42.
Zarotiadis, G. (2008). “FDI and International Trade Relations: A Theoretical Approach”. International Trade and Finance Asso ciation Working Papers 2008.