PEMERINTAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH 2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan ketatanegaraan, Republik Indonesia telah
beberapa kali berganti sistem pemerintahan termasuk sistem
pemerintahan daerah dimana ketika dulu masih menggunakan sistem
sentrasilasi, sekarang Indonesia telah menggunakan sistem
desentralisasi. Dengan dipraktikannya desentralsasi maka seluruh
tanggung jawab pengelolaan rumah tangga daerah diserahkan kepada
daerah itu sendiri kecuali atas beberapa kewenangan yang masih dimiliki
untuk dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Agar daerah otonom dapat melaksanakan seluruh tanggung jawab
pengelolaan rumah tangganya sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya maka pengelolan sumber daya yang baik dan terpadu menjadi
salah satu kunci penting keberhasilannya. Pengelolaan ini mencakup
keseluruhan sumber daya yang dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah
daerah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada,
semakin baik dan terpadu pengelolaan sumber daya yang dimiliki akan
semakin meningkatkan pendapatan daerah yang pada akhirnya akan
digunakan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
meningkatkan pembangunan masyarakat daerah baik dalam sisi ekonomi
maupun kedewasaan spiritual.
2
Agar pendapatan daerah yang diperoleh tersebut kemudian dapat
dimanfaatkan dengan baik untuk sebesar besar kemakmuran rakyat,
harus juga diatur prosedur dan mekanisme pengelolaannya, dengan
demikian adanya pengaturan mengenai tata kelola keuangan daerah
menjadi suatu keharusan bagi daerah dalam melaksanakan seluruh
kewenangannya.
Pada dasarnya kekuasaan pengelolaan keuangan negara merupakan
bagian dari kekuasaan pemerintahan pusat karena kewenangan
pengelolaan perbendaharaan dan kas negara berada pada Presiden
sebagai kepala negara kemudian sebagai implikasi adanya desentralisasi
menyerahkan pengelolaannya kepada daerah otonom dalam hal ini
kepada kepada daerah sehingga kemudian kepala daerah memiliki
otoritas dan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah.
Tanggung jawab pengelolaan keuangan tersebut dilaksanakan oleh
daerah untuk membiayai berbagai kewenangannya sebagaimana diatur
dalam Undang-undang yaitu kewenangan konkuren yang dibagi atas:
Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum & penataan ruang;
4. perumahan rakyat & Kawasan pemukiman;
5. ketentraman & ketertiban umum serta perlindungan masyarakat;
6. sosial.
3
Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar:
1. tenaga kerja;
2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3. pangan;
4. pertanahan;
5. lingkungan hidup;
6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7. pemberdayaan masyarakat dan desa;
8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9. perhubungan;
10. komunikasi dan informatika;
11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12. penanaman modal;
13. kepemudaan dan olah raga;
14. statistik;
15. persandian;
16. kebudayaan;
17. perpustakaan; dan
18. kearsipan.
Urusan pilihan:
1. kelautan dan perikanan;
2. pariwisata;
3. pertanian;
4
4. kehutanan;
5. energi dan Sumberdaya mineral;
6. perdagangan;
7. perindustrian; dan
8. transmigrasi
Banyaknya tugas yang harus dilaksanakan berkaitan dengan
kewenangan yang diberikan tersebut mengharuskan pemerintah daerah
untuk menyediakan dana yang cukup yang hanya bisa tercapai apabila
pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan baik.
Untuk dapat melaksanakan pengelolaan keuangan daerah yang baik,
masih ada beberapa masalah yang sering muncul sehingga perlu untuk
dicarikan jalan keluarnya, salah satunya adalah adanya kewenangan
yang besar dari DPRD Kabupaten untuk melakukan intervensi terhadap
perencanaan keuangan daerah melalui pelaksanaan hak budgeting yang
dimilikinya. Pada dasarnya, pelaksanaan program pemerintahan pada
masyarakat daerah dilaksanakan berdasarkan musrenbang yaitu
kegiatan musyawarah untuk meminta usulan masyarakat terkait
penyusunan program pemerintahan daerah agar sesuai dengan
kebutuhan yang ada akan tetapi DPRD juga memiliki program reses yang
tujuannya serupa dengan musrenbang sehingga ketika musrenbang
sudah dilakukan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan reses akan
berakibat pada banyaknya perubahan pada program yang sudah disusun
oleh pemerintah daerah, jika penyesuaian program ini dilaksanakan atas
5
kepentingan masyarakat maka kedua kegiatan ini dianggap akan saling
melengkapi, akan tetapi jika usulan perubahan atau penambahan
program ini dilakukan karena ada motif politis agar memperoleh
dukungan dari pemilhnya atau sekedar menggenapi janji kampanye atau
bahkan didasarkan pada motif ekonomi yaitu untuk memberikan
keuntungan pada diri sendiri atau pada pendukungnya pada saat
pencalonan melalui campur tangan dalam pengadaan barang atau
pelaksanaan kegiatan di daerah maka tentu akan sangat merugikan
masyarakat yang membutuhkan kebijakan tersebut untuk mengatasi
masalah yang ada di sekitarnya, meskipun tidak juga menutup
kemungkinan motif ekonomi tersebut muncul dari pihak pemerintah.
Penyusunan kegiatan pemerintahan yang didasari dengan motif tertentu
ini tentu akan berakibat pada panjangnya penyusunan RAPBD karena
perlu pembahasan dan negosiasi yang panjang antara pemerintah daerah
dengan DPRD.
Masalah selanjutnya adalah dalam perencanaan pembangunan
daerah melalui proses musrenbang, partisipasi masyarakat masih sering
dinomor duakan, bahkan dalam penyusunan kebijakan daerah masih
didominasi oleh kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, dan program
perangkat daerah. Musrenbang dilaksanakan karena dianggap sebagai
salah satu tahapan yang harus dilaksanakan dalam proses penyusunan
RAPBD sedangkan hasilnya sebagian masih dibiarkan atau tidak
dimasukan dalam hasil yang menjadi dasar penyusunan kebijakan yang
6
tertuang dalam dokumen keuangan dan pembangunan daerah, akibatnya
adalah munculnya beberapa program pemerintahan yang masih kurang
menyentuh masalah yang belum terselesaikan di masyarakat.
Praktik musrenbang sebagai aktualisasi partisipasi masyarakat
dalam penyusunan program pemerintahan juga memiliki kekurangan
karena pelaksanaan musrenbang yang masih terpisah dengan
penganggaran atau informasi mengenai ketersedian anggaran tidak
tersedia ketika pelaksanaan musrenbang, dengan demikian kegiatan
musrenbang menjadi kegiatan mengumpulkan daftar kegiatan sebanyak-
banyaknya agar semakin besar peluang kegiatan yang diusulkan untuk
dapat diterima sebagai program yang akan dilaksanakan, dampak
negatifnya adalah kegiatan yang seharusnya dilaksanakan karena
menjadi solusi atas masalah yang timbul di masyarakat ternyata tidak
diakomodir sebagai kegiatan yang perlu dilaksanakan, yang diakomodir
adalah kegiatan yang diusulkan yang memberikan keuntungan bagi pihak
tertentu. Akibat dari terpisahnya kegiatan musrenbang dan penganggaran
juga dapat berkibat pada keterlambatan tersedianya dana untuk
pelaksanaan kegiatan, karena seharusnya pelaksanaan kegiatan
pemerintahan apalagi yang berkaitan dengan pelayanan dasar harus
sudah tersedia mulai tanggal 1 januari karena APBD ditetapkan pada
bulan desember tahun sebelumnya akan tetapi masih didapati beberapa
kasus, dana belum tersedia sampai beberapa bulan dari tanggal
seharusnya dana tersedia.
7
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga sering ditemui
kasus tidak sinkronnya dokumen RPJPD dengan RPJMD dan RPJMD
dengan RKPD padahal seharusnya penyusunan RKPD harus mengacu
pada RPJMD dan selanjutnya penyusunan RPJMD mengacu pada RPJPD.
Hal ini pada umumnya disebabkan karena kurangnya tenaga perencana
pada perangkat daerah sehingga dokumen perencanaan dibuat oleh
penggunan anggaran dan bendahara ataupun pihak lain yang kurang
berkompeten tanpa melibatkan perencana akibatnya banyak ditemui
usulan kegiatan yang hanya disalin dan tempel dari kegiatan yang lalu
dan tidak melihat perkembangan daerah kedepan. Karena dokumen
perencanaan yang dibentuk seperti itu, ditemui indikator capaian yang
tidak jelas dan sulit diukur karena hanya menggunakan kata-kata yang
indah serta dasar asumsi yang kurang valid dan analisis yang tidak
dilakukan secara mendalam yang seharusnya mengarah pada bagaimana
cara mencapai tujuan.
Dalam perencanaan juga sering terjadi masalah yaitu setiap
perangkat daerah yang ada ingin menjadi yang terdepan dalam program
dan rencana kerja perangkat daerah. Bukannya hal tersebut buruk, akan
tetapi kadang hal tersebut akan menjurus pada keinginan perangkat
daerah untuk diutamakan dalam penganggaran karena programnya,
contohnya adanya keinginan tugas pokoknya untuk menjadi arus utama
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik pengarus utamaan
gender, pengarus utamaan pemberantasan kemiskinan, pengarus
8
utamaan penganan bencana, dan sebagainya, sehingga menganggap
tugasnya lebih bermanfaat dan layak diprioritaskan dalam penganggaran.
Selain itu, ego sektoral perangkat daerah masih sering muncul dan
berakibat pada berkurangnya koordinasi antar perangkat daerah
sehingga program kerja yang ada kadang bertabrakan, contohnya
program dinas pertanian yang menciptakan program pembukaan lahan
untuk pertanian tapi di dinas perumahan dan permukiman membuat
program pembukaan lahan untuk permukiman di lokasi yang sama
dengan lokasi yang menjadi program dinas pertanian.
Eksekusi program pemerintah daerah juga kadang menjadi masalah
karena pendekatan masalah yang dilakukan hanya melihat akar masalah
dan berpotensi menimbulkan bias dalam persoalannya. Contohnya
adalah ketika dinas perpustakaan melaksanakan pemetaan masalah dan
menemukan bahwa di suatu desa ada masalah rendahnya pengetahuan
rata-rata masyarakat, dinas kemudian membuat program pendirian
perpustakaan desa tetapi kemudian setelah beberapa tahun
pendiriannya, gedung tersebut sepi pengunjung dan akhirnya berubah
menjadi gedung yang digunakan untuk olahraga bulutangkis. Hal ini
terjadi karena solusi yang diambil hanya dari satu segi dan hanya melihat
akar masalah saja tanpa melakukan kajian lebih lanjut dimana mungkin
permasalahan utama yang harus dijawab adalah peningkatan minat baca
dulu baru kemudian penyediaan gedung, dari contoh tersebut dapat
dilihat bahwa yang perlu dilakukan dalam pengelolaan keuangan adalah
9
adanya kajian yang komperhensif terhadap suatu masalah yang ada
sehingga dapat menemukan solusi yang tepat yang menghasilkan
penggunaan dana yang efisien. Selain itu perlu juga diubah pola pikir
pelaksana kegiatan dari orientasi proyek yaitu orientasi jangka pendek
dan berkonotasi pada keuntungan semata menjadi orientasi program
yaitu orientasi jangka panjang dan berkonotasi pada pemajuan
pembangunan daerah.
Dengan banyaknya permasalahan pengelolaan keuangan, maka
dapat dilihat bahwa politik anggaran di daerah masih kurang berpihak
pada rakyat. Sebagian besar anggaran masih digunakan untuk
membiayai birokrasi pemerintahan daerah sedangkan dana pelayanan
publik maupun investasi pemerintah daerah untuk pemajuan
perekonomian masyarakat.
Tantangan lain yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan daerah
adalah daya serap anggaran pemerintah daerah yang belum tinggi
sehingga ada ditemui dana yang menganggur, hal ini bukan disebabkan
karena daerah memilliki uang berlebih atau hasil penghematan anggaran
akan tetapi hal ini terjadi lebih karena buruknya sistem perencanaan
keuangan daerah, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa di
daerah, maupun karena orientasi sempit pada PAD yang berharap pada
hasil penyertaan modal yang dilakukan pada perusahaan daerah.
Selanjutnya yang menjadi tantangan dalam pengelolaan keuangan
daerah adalah administrasi pengelolaan keuangan di daerah menyangkut
10
akuntansi dan tata pembukuan di daerah serta desain politik kebijakan
dan komitmen penegakan tata pemerintahan yang baik di daerah.
Sebagai lembaga eksaminator, BPK merupakan lembaga yang
berwenang penuh melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan
keuangan di daerah dimana hasilnya akan dilaporkan pada masyarakat
umum bagaimana keadaan pengelolaan keuangan di daerah. Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara sendiri telah 3 kali meraih opini wajar tanpa
pengecualian
12
Berita diambil dari bolmora.com, 27 Mei 2019.
Keberhasilan meraih opini wajar tanpa pengecualian untuk ketiga
kalinya secara berturut-turut tentu menandakan bahwa pengelolaan
keuangan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sudah dilaksanakan
dengan baik, tetapi opini wajar tanpa pengecualian untuk ketiga kalinya
tersebut juga meninggalkan tugas agar pegelolaan keuangan yang baik
yang sudah dilaksanakan di daerah perlu dipertahankan bahkan
ditingkatkan.
Berbagai permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus
diatasi dalam kegiatan pengelolaan keuangan daerah khususnya yang
dilakukan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sebagai daerah
13
otonom yang menyelenggarakan tugas pemerintahan sebagai implikasi
sistem desentralisasi yang diterapkan pemerintah.
Salah satu kekurangan sistem desentralisasi adalah masing-masing
daerah akan memegang kewenangan penuh dalam melakukan
pengelolaan keuangan yang mengakibatkan munculnya beragam cara
dalam proses pengelolaan keuangan, dengan kata lain tiap daerah otonom
akan punya cara masing-masing untuk melakukan penngelolaan
keuangan daerah, bahkan pada daerah otonom yang berada di provinsi
yang sama. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam pengelolaan
keuangan negara secara makro karena negara akan sulit melakukan
pengawasan dan evaluasi di daerah.
Sulitnya negara melakukan pengawasan dan evaluasi di daerah
terkait pengelolaan keuangan akan menambah banyak pekerjaan pada
pemerintah pusat sehingga memperpanjang proses pengelolaan keuangan
negara yang dapat berakibat pada terhambatnya pemberian dana bagi
pemerintah daerah, dengan demikian akan menghambat juga
pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat daerah.
Cara yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan yang
menjadi pedoman bagi daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan
yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
14
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dibentuknya kedua Peraturan ini menjadi pedoman utama bagi
Pemerintah Daerah dalam melakukan kegiatan pengelolaan, bahkan
ketentuan Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah memberikan delegasi bagi
Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang mengatur
mengenai pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian pembentukan
Peraturan Daerah yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah ini oleh
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dilakukan degan tujuan
mempermudah kegiatannya dan mengatasi masalah yang dikemukakan
diatas.
B. Identifikasi Masalah
Dari hasil pengumpulan dan inventarisasi permasalahan berkaitan
dengan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, maka didapatkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai
berikut:
15
1. Agar daerah otonom dapat melaksanakan seluruh tanggung jawab
pengelolaan rumah tangganya sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya maka pengelolan sumber daya yang baik dan terpadu
menjadi wajib untuk dilaksanakan.
2. Perlu ada pengaturan mengenai prosedur dan mekanisme pengelolaan
pendapatan daerah yang didalamnya termasuk keuangan daerah,
dengan demikian adanya pengaturan mengenai tata kelola keuangan
daerah menjadi suatu keharusan bagi daerah dalam melaksanakan
seluruh kewenangannya.
3. Banyaknya tugas yang harus dilaksanakan berkaitan dengan
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah mengharuskan
pemerintah daerah untuk menyediakan dana yang cukup yang hanya
bisa tercapai apabila pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan
baik.
4. Adanya kewenangan yang besar dari DPRD Kabupaten untuk
melakukan intervensi terhadap perencanaan keuangan daerah melalui
pelaksanaan hak budgeting yang dimilikinya sehingga perlu ada
koordinasi yang baik dalam pelaksanaan musrenbang dan reses
DPRD.
5. Dalam perencanaan pembangunan daerah melalui proses
musrenbang, partisipasi masyarakat masih sering dinomor duakan,
bahkan dalam penyusunan kebijakan daerah masih didominasi oleh
16
kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, dan program perangkat
daerah.
6. Praktik musrenbang sebagai aktualisasi partisipasi masyarakat dalam
penyusunan program pemerintahan juga memiliki kekurangan karena
pelaksanaan musrenbang yang masih terpisah dengan penganggaran
atau informasi mengenai ketersedian anggaran tidak tersedia ketika
pelaksanaan musrenbang hasilnya kegiatan yang seharusnya
dilaksanakan karena menjadi solusi atas masalah yang timbul di
masyarakat ternyata tidak diakomodir sebagai kegiatan yang perlu
dilaksanakan, yang diakomodir adalah kegiatan yang diusulkan yang
memberikan keuntungan bagi pihak tertentu
7. Tidak sinkronnya dokumen RPJPD dengan RPJMD dan RPJMD
dengan RKPD padahal seharusnya penyusunan RKPD harus mengacu
pada RPJMD dan selanjutnya penyusunan RPJMD mengacu pada
RPJPD
8. Kurangnya tenaga perencana pada perangkat daerah sehingga
dokumen perencanaan dibuat oleh penggunan anggaran dan
bendahara ataupun pihak lain yang kurang berkompeten tanpa
melibatkan perencana akibatnya banyak ditemui usulan kegiatan
yang hanya disalin dan tempel dari kegiatan yang lalu dan tidak
melihat perkembangan daerah kedepan.
9. Setiap perangkat daerah yang ada ingin menjadi yang terdepan dalam
program dan rencana kerja perangkat daerah, hal tersebut akan
17
menjurus pada keinginan perangkat daerah untuk diutamakan dalam
penganggaran karena programnya yang berakibat pada kurng
harmonisnya pelaksanaan pemerintahan daerah.
10. Eksekusi program pemerintah daerah kadang menjadi masalah
karena pendekatan masalah yang dilakukan hanya melihat akar
masalah dan berpotensi menimbulkan bias dalam persoalannya.
11. Politik anggaran di daerah masih kurang berpihak pada rakyat.
Sebagian besar anggaran masih digunakan untuk membiayai
birokrasi pemerintahan daerah sedangkan dana pelayanan publik
maupun investasi pemerintah daerah untuk pemajuan perekonomian
masyarakat.
12. Daya serap anggaran pemerintah daerah yang belum tinggi sehingga
ada ditemui dana yang menganggur, hal ini bukan disebabkan karena
daerah memilliki uang berlebih atau hasil penghematan anggaran
akan tetapi hal ini terjadi lebih karena buruknya sistem perencanaan
keuangan daerah, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa di
daerah, maupun karena orientasi sempit pada PAD yang berharap
pada hasil penyertaan modal yang dilakukan pada perusahaan
daerah.
13. Keberhasilan meraih opini wajar tanpa pengecualian untuk ketiga
kalinya secara berturut-turut selain menandakan bahwa pengelolaan
keuangan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sudah
dilaksanakan dengan baik, tetapi juga perlu dimaknai sebagai
18
landasan agar pengelolaan keuangan yang baik yang sudah
dilaksanakan di daerah perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan.
14. Adanya ketentuan Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah memberikan
delegasi bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah
yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan daerah.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusuanan Naskah Akademik
1. Tujuan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang
pengelolaan keuangan daerah merupakan sebuah sebuah landasan
yang memberikan pemahaman tentang pentingnya pengaturan
mengenai pemenuhan kebutuhan hukum yang muncul atas kegiatan
pengelolaan keuangan daerah di wilayah kabupaten bolaang
mongondow utara, yang nantinya akan dituangkan dalam Rancangan
Peraturan Daerah. Secara umum tujuan yang diharapkan dengan
dibuatnya suatu Peraturan Daerah ini, yaitu terbentuknya suatu
pedoman dalam melakukan pengelolaan keuaangan daerah yang baik.
Sehingga akan berdampak pada meningkatnya kesejahteran
masyarakat daerah.
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukanan di atas, secara rinci tujuan penyusunan naskah
akademik ini adalah:
19
a) Merumuskan permasalahan yang ada, terutama dalam hal
pengaturan mengenai pengelolaan keungan daerah dan
selanjutnya menemukan jawaban sebagai solusi bagi
permasalahan yang ada.
b) Menyamakan persepsi antara Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan di daerah.
c) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis yang menjadi dasar pertimbangan dalam pembuatan
Rancangan Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan
daerah, sehingga ketika diberlakukan Peraturan Daerah
tersebut dapat diterima, baik oleh seluruh pemangku
kepentingan maupun masyarakat.
d) Mengkaji peraturan perundang-undangan yang memiliki
keterkaitan dengan pengaturan dalam rancangan peraturan
daerah yang akan dibuat, sehingga norma yang diatur dalam
peraturan daerah nantinya tidak akan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis sejajar
atau berada di atasnya. Pengkajian peraturan perundang-
undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan dalam
rancangan Peraturan daerah juga menjadi perlu dilakukan agar
dalam perumusan norma nantinya dapat melihat hal yang
20
belum termasuk dalam cakupan peraturan perundang-
undangan yang lain sehingga peraturan daerah yang akan
dibuat nantinya dapat menjawab kebutuhan hukum yang ada.
e) Menentukan Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup
Materi Muatan Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan
di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
2. Kegunaan
Kegunanaan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
tentang pengelolaan keuangan daerah adalah:
a) Sebagai acuan atau referensi dan dokumen resmi yang menyatu
dengan konsep Rencangan Peraturan Daerah yang akan diajukan
dalam pembahasan penetapan Peraturan daerah.
b) Sebagai pertanggung jawaban secara ilmiah mengenai konsepsi dan
kemanfaatan dari penetapan peraturan daerah.
c) Mempermudah perumusan asas-asas dan tujuan serta materi
muatan juga pasal-pasal dalam menentukan norma dalam
Rancangan Peraturan Daerah.
D. Metode
Penulisan naskah akademik ini dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis. Data dan informasi diperoleh dari literatur,
peraturan perundang-undangan, hasil kajian, survey dan penelitian,
dideskripsikan secara terstruktur dan sistematis. Selanjutnya akan
21
dilakukan analisa dari data dan informasi yang disajikan. Analisa akan
menyangkut isi dari data dan informasi yang disajikan serta
keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada
level yang sama maupun peraturan perundang-undangan yang berada di
atasnya.
Data dan informasi yang diperoleh digolongkan dalam 2 jenis yaitu
data primer dan data sekunder. Metode penelitian yang dipergunakan
adalah Penelitian Yuridis Normatif atau Penelitian Hukum Doktrinal
yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.
Data sekunder ialah data yang diperoleh dari bahan bacaan bukan
diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan
hukum primer ialah bahan-bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang
membantu menganalisis bahan hukum primer seperti buku-buku
literatur hukum, dan sebagainya. Bahan hukum tertier ialah bahan
hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.
22
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Menciptakan negara yang makmur merupakan impian semua negara.
Kemakmuran itu sendiri dapat tercipta apabila seluruh kegiatan dalam
negara berjalan dengan benar dan teratur. Pemerintah dan warga negara
harus bekerja sama untuk mewujudkan impian tersebut. Karena hal ini
merupakan tujuan bersama dan bukan hanya menjadi tanggungjawab
salah satu pihak saja. Tujuan ini tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Unndang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Agar tujuan ini bisa terlaksana maka perlu ditopang dengan
keuangan negara sebagai sumber pembiayaannya. Keuangan menjadi
salah satu tolak ukur kemakmuran suatu negara yang akan menggerakan
seluruh aktivitas dalam negara. Oleh karena itu diperlukan suatu tata
kelola keuangan yang baik dan bersih agar mampu menjadi alat pendorong
percepatan kemakmuran negara.
1. Teori tentang keuangan negara
Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam Undang – Undang
maupun pendapat para ahli. Keuangan negara menurut Undang – Undang
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
23
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. 1 dalam pengertian ini terdapat dua makna yang ditinjau dalam
arti luas dan arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas meliputi hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan
barang milik negara yang tidak tercakup dalam anggaran negara.
Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya terbatas pada
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang
dan barang milik negara yang tercantum dalam anggaran negara untuk
tahun yang bersangkutan. Tujuan diadakannya pemisahan secara tegas
substansi keuangan negara dalam arti luas dan sempit agar ada
keseragaman pemahaman dengan manfaat terhadap pihak – pihak yang
berwenang melakukan pengelolaan keuangan negara sehingga tidak
melakukan perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum keuangan
negara. Pengertian selanjutnya keuangan negara sebagai substansi
hukum ditinjau dari dua aspek, keuangan negara dalam arti luas dan
keuangan negara dalam arti sempit. Hal ini dilakukan untuk memberi
pemahaman secara yuridis terhadap keuangan negara agar mudah
dipahami sehingga dapat dibedakan secara prinsipil. Penentuan
keberadaan keuangan negara dalam arti luas didasarkan pendekatan yang
digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Undang – Undang Keuangan Negara sebagai
berikut :
1 Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara.
24
1. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiscal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
2. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
seluruh objek sebagaimana yang dimiliki oleh negara, dan/atau
dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan
negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek dimulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Pendekatan sebagaimana tersebut melahirkan tolak ukur untuk
menetapkan substansi keuangan negara dalam arti luas.
Keuangan negara dalam arti luas meliputi satu kesatuan yang tak
25
terpisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara,
anggaran pendapatan dan belanja daerah, keuangan negara pada
Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
Dengan demikian, keuangan negara dalam arti luas mengandung
substansi tidak terbatas hanya pada anggaran pendapatan dan
belanja negara saja.
Keuangan negara dalam arti sempit merupakan bagian dari
keuangan negara dalam arti luas. Dalam hubungan dengan
negara, keuangan negara dalam arti sempit merupakan anggaran
pendapatan dan belanja negara atau anggaran negara. Substansi
keuangan negara dalam arti sempit berbeda dengan substansi
keuangan negara dalam arti luas sehingga keduanya tidak boleh
dipersamakan secara yuridis. Dengan demikian, substansi
keuangan negara dalam arti sempit hanya tertuju pada anggaran
pendapatan dan belanja negara yang ditetapkan setiap tahun
dalam bentuk Undang – Undang. 2
Ruang lingkup keuangan negara menurut Undang – Undang
meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2 Prof.Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H,.M.H. Hukum Keuangan Negara Teori dan Praktik.
26
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak
ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau
kepentingan umum.
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah. 3
3 Pasal 2 Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
27
Ruang lingkup keuangan negara dikelompokan dalam tiga
bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi
pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun
pengelompokan pengelolaan keuangan negara sebagai berikut :
1. Bidang pengelolaan pajak ;
2. Bidang pengelolaan moneter ;
3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Kemauan negara untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, hanya akan menjadi cita – cita hukum ketika tidak
didukung oleh keuangan negara yang bersumber dari pedapatan
negara yang pemungutannya berdasarkan peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Dalam arti pendapatan negara
merupakan sumber keuangan negara yang digunakan untuk
membiayai pelaksanaan tugas pemerintah dalam rangka
pencapaian tujuan negara yang tergantung dari pendapatan
negara sebagai sumber keuangan negara yang diperuntukkan
untuk membiayai pelaksanaan tugas tersebut. Adapun jenis
pendapatan negara sebagai sumber keuangan negara sebagai
berikut :
1. Pajak negara yang terdiri dari :
a. Pajak penghasilan ;
b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa
c. Pajak penjualan atas barang mewah ; dan
28
d. Bea materai.
2. Bea dan cukai yang terdiri dari :
a. Bea masuk ;
b. Cukai gula ; dan
c. Cukai tembakau.
3. Penerimaan negara bukan pajak terdiri dari :
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana
pemerintah ;
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam ;
c. Penerimaan dari hasil – hasil pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan ;
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh pemerintah ;
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan
yang berasal dari pengenaan denda administrasi ;
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak
pemerintah ; dan
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang –
Undang tersendiri.
Sumber keuangan negara dalam bentuk pendapatan
negara tersebut, setiap saat dapat mengalami
perubahan, baik dalam bentuk penambahan jenis
pendapatan negara maupun dalam bentuk
29
pengurangan jenis penerimaan negara. Ketika terjadi
penambahan atau pengurangan jenis penerimaan
negara wajib diatur dengan Undang – Undang sebagai
konsekuensi dari negara hukum. Dalam arti, walaupun
Presiden sebagai pengelola keuangan negara tetapi
tidak mudah melakukan penambahan atau
pengurangan jenis penerimaan negara kecuali
dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini dimaksudkan agar keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukumtetap ada dalam penambahan atau
pengurangan jenis penerimaan negara tersebut.
Pengelolaan keuangan negara merupakan bagian dari
pelaksanaan pemerintahan negara. Pengelolaan
keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat
pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan
dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pertanggungjawaban, dan
pemeriksaan keuangan negara. Ruang lingkupnya
meliputi :
a. Perencanaan keuangan negara ;
b. Pelaksanaan keuangan negara ;
c. Pengawasan keuangan negara ;
30
d. Pertanggungjawaban keuangan negara. 4
2. Hubungan antara Keuangan Negara dan Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal jika penyelenggara urusan pemerintahan diikuti dengan pencarian
sumber – sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan
mengacu pada Undang – Undang tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang besarnya disesuaikan dan
diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dan
daerah. Hubungan antara keuangan negara dan keuangan daerah
diuraikan sebagai berikut :
1. Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan negara yang merupakan bagian kekuasaan pemerintah.
2. Presiden kemudian menyerahkan kekuasaan tersebut kepada
pemerintah daerah (gubernur/bupati/walikota) selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerahnya dan
mewakili pemerintah daerah dalam pemilikan kekayaan yang
terpisah.
3. Hubungan antara pusat dan daerah menyangkut hubungan
pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaan (expenditure),
baik untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan
daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang
berkualitas, responsibel, dan akuntabel.
4 Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H,.M.H. Hukum Keuangan Negara Teori dan
Praktek..
31
4. Konsep hubungan antara pusat dan daerah adalah hubungan
administrasi dan hubungan kewilayahan.
5. Hubungan tersebut diatur sedemikian rupa melalui kewajiban
pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada
pemerintah daerah.
Hubungan antara pengelolaan keuangan negara dengan keuangan
daerah dalam hal ini dilihat dari dua sisi, yakni dari hukum keuangan
negara dan dari sisi hukum pemerintahan daerah. Penyerahan pengelolaan
keuangan daerah kepada Kepala Daerah selaku kepala pemerintahan
daerah berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yakni
bahwa gubernur/walikota/bupati bertanggungjawab atas pengelolaan
keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah
sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan pengelolaan keuangan
daerah melekat pada bagian pengaturan pemerintahan daerah dan
sekaligus merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan
negara dengan bertitik tolak pada prinsip pembagian sumber keuangan,
yaitu prinsip uang mengikuti fungsi (money follow function). Oleh sebab
itu, hubungan keuangan daerah dengan pusat dalam hal ini menyangkut
pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure), baik
untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah
dalam rangka memberikan pelayanan publik dengan mengacu pada
Undang – Undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Hubungan hukum antara negara,
32
pemerintah pusat/pemerintah daerah, dan keuangan/daerah ialah negara
memiliki hak atas kekayaan negara/daerah dalam batas kewenangan.
Kekayaan negara/daerah memberikan suatu nilai yang kemudian diatur
melalui pengelolaan keuangan negara dan pihak yang mewakili negara
dalam pengelolaan keuangan negara tersebut adalah pemerintah melalui
suatu mekanisme pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya pemerintah
menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah
untuk dikelola oleh pemerintah daerah. 5
3. Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian terkecil dari
pengelolaan keuangan negara. Untuk memahami pengelolaan keuangan
daerah perlu melihat pengertian tentang penggelolaan terlebih daulu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pengelolaan adalah proses
yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. 6 Pengelolaan ini
terkait dengan keuangan daerah. Oleh karena itu menjadi penting juga
untuk melihat pengertian tentang keuangan daerah. Menurut Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan
5 Muhammad Djumhana, 2007, OP.cit,.hlm 5. 6 KBBI.
33
milik daerah berhubung dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. 7
Pengertian lain tentang keuangan daerah menurut para ahli antara lain
menurut Drs. Tjahja Supriatna, definisi keuangan daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah untuk mengawasi daerah untuk mengelola
mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan
mengevaluasi berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenangannya
dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas
pembantuan di daerah yang diwujudkan dalam bentuk anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Jaya, berpendapat bahwa keuangan
daerah merupakan seluruh tatanan, perangkat kelembagaan, dan
kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan serta belanja
negara. 8 Keuangan daerah meliputi :
1) hak Daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta
melakukan pinjaman;
2) kewajiban Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan Daerah;
4) Pengeluaran Daerah;
5) kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa :
i. uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak lain yang
dapat
7 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. 8 http://pengertianmenurutahli.blogspot.com/2013/03/definisi-keuangan-daerah.html
34
ii. dinilai dengan uang, termasuk kekayaan daerah yang
dipisahkan;
iii. dan/atau
6) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dalam
i. rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan Daerah
dan/atau
ii. kepentingan umum. 9
Berdasarkan pengertian tersebut maka menurut Pasal 1 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, memberikan pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah
adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungiawaban, dan
pengawasan Keuangan Daerah. 10 Tentunya setelah memahami pengertian
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah perlu dipahami juga bahwa semua
rangkaian kegiatan dalam pengelolaan tersebut mulai dari perencanaan
sampai kepada pertanggungjawaban dan pengawasan harus terlaksana
sebaik mungkin agar penyalahgunaan terhadap keuangan daerah dapat
diminimalisir. Pentingnya pengelolaan yang baik dan benar akan
mempengaruhi stabilitas keuangan suatu daerah. J. Wajong menyatakan
mengenai pentingnya pengelolaan keuangan daerah, sebagai berikut :
9 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. 10 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
35
1. bahwa pengendalian keuangan mempunyai pengaruh yang
begitu besar pada hari kemudian penduduk sedaerah,
sehingga kebijaksanaan yang ditempuh pada melakukan
kegiatan itu dapat menyebabkan kemakmuran atau
kelemahan, kejayaan atau kejatuhan penduduk daerah itu;
2. bahwa kepandaian mengendalikan daerah tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan dan abadi, tanpa cara
pengendalian keuangan yang baik, terlebih lagi tanpa
kemampuan melihat ke muka dengan penuh kebijaksanaan,
yang harus diarahkan pada melindungi dan memperbesar
harta daerah, dengan mana semua kepentingan masyarakat
sedaerah sangat berhubungan erat;
3. bahwa anggaran adalah alat utama pada pengendalian
keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang di
perhadapkan pada DPRD haruslah tepat dalam bentuk dan
susunannya dengan memuat rancangan yang dibuat
berdasarkan keahlian dengan pandangan kemuka yang
bijaksana. 11
4. Otonomi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
Menjadi perlu juga untuk melihat otonomi daerah yang dikaitkan
dengan pengelolaan keuangan. Otonomi yang diberikan kepada daerah
11 http://sappilpil.blogspot.com/2015/12/keuangan-daerah.html
36
kabupaten dan kota dilakukan dengan memberikan kewenangan atau
diskresi yang luas, nyata, an bertanggungjawab kepada pemerintah
daerah secara proposional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan
diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal –
hal mendasar dalam Undang – Undang tersebut adalah kuatnya upaya
untuk mendorong pemberdaaan masyarakat, pengembangan prakarsa
dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan
peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Undang –
Undang tersebut juga memberikan otonomi secara utuh kepada daerah
kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, sekarang daerah
sudah diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk merencanakan,
melaksanakan, mengawasi, dan mengendalikan, serta mengevaluasi
kebijakan – kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi
masyarakat ini, desentralisasi dan otonomi daerah kemudian akan
mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satu
aspek pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati – hati adalah
masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran
daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang
(rupiah) dalam suatu periode tertentu (satu tahun). Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah atau APBD merupakan salah satu instrument
kebijakan yang utama bagi pemerintahan daerah. Sebagai instrument
37
kebijakan anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.
Anggaran daerah digunakan untuk menentukan besarnya pendapatan
dan belanja, membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, otorisasi belanja atau pengeluaran – pengeluaran dimasa
datang, penentuan ukuran – ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat
untuk memotivasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan
pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk
mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas
dan preferensi daerah yang bersangkutan. Dalam upaya pemberdayaan
pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan
dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerh antara lain
adalah :
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan
public (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya
porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan public, tetapi juga
terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan keuangan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
38
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran pada
partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD,
kepala daerah, sekretaris daerah, dan perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan atau
pendanaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan
kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi, dan
akuntabilitas.
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah, dan
PNS daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja,
dan anggaran tahun jamak.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih
professional.
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran
DPRD, dan auditor/pemeriksa dalam pengawasan, pemberian opini
atas laporan keuangan dan peringkat kinerja anggaran, dan
transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek Pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan
pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna
pengembangan profesionalisme aparatur pemerintah daerah.
10. Pengembangan system informasi keuangan daerah untuk
menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan
komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi
39
sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta
mempermudah mendapatkan informasi. 12
Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga
bidang analisis yang saling terkait satu dengan lainnya. Ketiga aspek
tersebut meliputi :
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan
pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang
potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan
pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-
biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang
menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara
pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang
diproyeksikan untuk masa depan.
Pengelolaan keuangan daerah juga harus memiliki tujuan yang
jelas, menurut Brian Binder tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk pertanggungjawaban
pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas
keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang
syah. Unsur-unsur dari tanggung jawab tersebut adalah : keabsahan,
setiap transaksi keuangan harus berpangkal pada wewenang hukum
12 Prof. Dr. Mardiasmo, MBA.,Ak.,CA.,Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.
40
tertentu; dan pengawasan, tata cara yang efektif untuk menjaga
kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan dan
penyelewengan, dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-
benar terpungut, jelas sumbernya dan tepat penggunaannya.
2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu
melunasi semua ikatan keuangan, jangka pendek dan jangka panjang
(termasuk pinjaman jangka panjang).
3. Kejujuran
urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur, dan
kesempatan untuk berbuat curang diperkecil.
4. Hasil guna dan Daya guna kegiatan daerah
tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa
sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan
biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.
5. Pengendalian
petugas keuangan pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar
semua tujuan tersebut di atas tercapai; mereka harus mengusahakan
agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran dan untuk
41
membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan rencana dan
sasaran.
Pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya sekedar
meningkatkan pendapatan asli daerah dalam menyelenggarakan
pembangunan, tetapi juga bagaimana suatu daerah mengelola keuangan
dengan cara efektif, efisien, transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena
itu menjadi penting juga untuk melihat sedikit teori tentang
pemerintahan daerah agar dapat mengetahui kewenangan – kewenangan
apa saja yang dimiliki oleh daerah dalam hal Pengelolaan terhadap
Keuangan Daerah yang dapat dilaksanakan oleh daerah dan sejauh
mana hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah.
Pemerintah pusat memiliki hubungan keuangan dengan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan atau
ditugaskan kepada daerah, hubungan tersebut sebagaimana tercantum
dalam Pasal 279 ayat (2) melliputi :
1. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah
dan retribusi daerah;
2. pemberian dana bersumber dari perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
3. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk
Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang; dan
42
4. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan
insentif (fiskal). 13
Dalam mengelola keuangan daerah pemerintah daerah juga
mempunyai kewajiban antara lain :
1. mengelola dana secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel;
2. menyinkronkan pencapaian sasaran program Daerah dalam
APBD dengan program Pemerintah Pusat; dan
3. melaporkan realisasi pendanaan Urusan Pemerintahan yang
ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.
Kewajiban ini harus dipenuhi oleh pemerintah daerah sebagai
bentuk tanggungjawab kepada masyarakat dan daerah serta merupakan
amanat dari undang – undang yang harus ditaati.
Selanjutnya berbicara tentang keuangan daerah pasti berbicara
tentang manajemennya mulai dari pendapatan sampai kepada pengeluaran
terdapat definisi dari manajemen itu sendiri, diantaranya :
1. Menurut Rue dan Byars Manajemen berasal dari kata kerja “to
manage” yang artinya mengelola.
2. Frenklin mengemukakan pendapatnya tentang manajemen sebgai
Berikut menitikberatkan pada proses yang berbeda yang terdiri
dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan
13 Pasal 279 ayat (2) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
43
pengawasan yang dilakukan untuk mencapai saasaran yang telah
ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya
lainnya. Dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan proses
pencapaian tujuan dengan menggunakan sumber daya melalui
perencanaan, pembagaian tugas, pelaksanaan dan pengawasan.
3. Menurut Darise tentang pengelolaan keuangan, menyatakan
bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat
dari seberapa besar daerah akan memperoleh sumber pendapatan
termasuk dana perimbangan, tetapi hal tersebut harus diimbangi
dengan sejauh mana instrument atau sistem pengelolaan
keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen
keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan
bertanggung jawab. 14
Dapat disimpulkan manajemen keuangan daerah merupakan proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian
terhadap semua hak dan kewajiban daerah penyelenggaraan pemerintah
yang ada yang segalanya dinilai dengan uang, dan masuk dalam kekayaan
yang berhubungan dengan hak serta kewajiban daerah dalam rangka
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga
bidang analisis yang saling terkait satu dengan lainnya. Ketiga aspek
tersebut meliputi :
14 http://sappilpil.blogspot.com/2015/12/keuangan-daerah.html
44
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan
pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang
potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan
pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar
biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang
menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara
pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan
untuk masa depan.
5. Kewenangan Pengelolaan Keuangan Daerah
Setelah melihat teori dan pendapat – pendapat tentang keuangan
negara, keuangan daerah, dan Pengelolaan keuangan daerah perlu
melngetahui kewenangan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan daerah dan siapa saja pemegang kewenangan tersebut. Menurut
Undang – Undang pemegang kewenangan pengelolaan keuangan daerah
adalah Kepala Daerah. Akan tetapi Kepala Daerah melimpahkan sebagian
atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta
pengawasan keuangan daerah kepada Pejabat Perangkat Daerah yaitu :
1) Sekretaris daerah selaku koordinator Pengelolaan Keuangan
Daerah;
45
2) Kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat
pengelola keuangan daerah; dan
3) Kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku
pengguna anggaran.
Adapun kewenangan pengelola keuangan daerah sebagai berikut :
a. Menyusun rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda
tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ;
b. Mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan
Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda
tentang pertanggungiawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD untuk dibahas bersama;
c. Menetapkan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang
perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. Menetapkan kebijakan terkait Pengelolaan Keuangan
Daerah;
e. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak
terkait Pengelolaan Keuangan Daerah yang sangat
dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;
f. Menetapkan kebijakan pengelolaan APBD;
g. Menetapkan KPA;
46
h. Menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara
Pengeluaran;
i. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah;
j. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan
Utang dan Piutang Daerah;
k. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian
atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
l. Menetapkan pejabat lainnya dalam rangka Pengelolaan
Keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
m. Melaksanakan kewenangan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 15
6. Penerimaan dan Pengeluaran Daerah
Pengelolaan penerimaan daerah harus dilakukan secara cermat, tepat,
dan hati – hati. Pemerintah daerah hendaknya dapat menjamin bahwa
semua potensi penerimaan telah terkumpul dan dicatat kedalam sistem
akuntansi pemerintah daerah. Pemeritah daerah perlu meneliti adakah
penerimaan yang tidak disetor kedalam kas pemerintah daerah dan
disalahgunakan oleh petugas di lapangan. Penerimaan daerah terdiri dari
15 Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
47
pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan Daerah sebagaimana
diatur dalam Undang – Undang bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah
sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD
bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah (hasil
penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan atau pengadaan barang atau jasa oleh daerah).
b. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan
48
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan
terdiri dari :
1) Dana Bagi Hasil
Bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil
yang bersumber dari pajak terdiri dari pajak bumi dan
bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB), dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21.
Sedangkan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya
alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
2) Dana alokasi umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang harus
dialokasikan Pemerintah Pusat kepada setiap Daerah Otonom
(Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya
sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu
komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu
komponen pendapatan pada APBD. Dana Alokasi Umum (DAU)
dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota. Jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto dan ditetapkan dalam APBN.
49
Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari
perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal
penentuan proporsi dimaksud belum dapat dihitung secara
kuantitatif, maka proporsi DAU antara provinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.16
3) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
DAK termasuk di dalam Dana Perimbangan, di samping Dana
Alokasi Umum (DAU). 17
c. Lain – lain Pendapatan
Lain – lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan
pendapatan dana darurat.
Pembiayaan bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
16 https://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Umum. 17 https://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Khusus.
50
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. 18
Selanjutnya pengeluaran daerah, pengeluaran daerah berkaitan dengan
semua uang yang keluar dari kas daerah. Pengeluaran daerah terdiri dari
belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah. Belanja daerah terdiri
atas : belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil
dan bantuan keuangan, dan belanja tidak tersangka.
1. Belanja Aparatur Daerah
Belanja aparatur daerah terdiri atas:
a. Belanja administrasi umum; terdiri atas belanja pegawai, belanja
barang dan jasa, dan belanja perjalanan dinas.
b. Belanja operasi dan pemeliharaan; terdiri atas belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja
pemeliharaan.
c. Belanja modal; adalah belanja yang dikeluarkan untuk membeli
modal seperti tanah, mobil, atau alat-alat lainnya.
Pengeluaran pembiayaan daerah terdiri dari :
1) Pembayaran pinjaman yang jatuh tempo.
2) Penyertaan modal pemerintah.
3) Pemberian pinjaman daerah. 19
18 Pasal 5 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 19 https://sobatmateri.com/sumber-pendapatan-dan-pengeluaran-daerah/
51
7. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Oleh karena setiap penerimaan dan pengeluaran daerah dalam bentuk
uang dianggarkan melalui APBD, maka perlu untuk mengetahui fungsi
APBD dalam pengelolaan keuangan negara. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah atau APBD merupakan rencana keuangan tahunan
Daerah yang ditetapkan dengan Perda. 20 APBD memiliki fungsi yang
strategis untuk mewujudkan cita – cita kesejahteraan rakyat. Fungsi
penting dari APBD sebagai berikut :
1) APBD memiliki fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa
anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2) APBD memiliki fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa
anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3) APBD memiliki fungsi pengawasan, mengandung arti bahwa
anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4) APBD memiliki fungsi alokasi, mengandung arti bahwa
anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan
20 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
52
lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
5) APBD memiliki fungsi distribusi, mengandung arti bahwa
kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
6) APBD memiliki fungsi stabilisasi, mengandung arti bahwa
anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian daerah. 21
Dengan memperhatikan fungsi APBD tersebut, maka pengelolaan APBD
(penganggaran dan pembelanjaan) yang tidak sesuai dengan fungsi
tersebut, termasuk praktik pergeseran anggaran dan penggunaan
anggaran mendahului perubahan, merupakan bentuk pembobolan
keuangan daerah yang termasuk dalam jenis korupsi. Pemerintah daerah
memiliki kewenangan menguasai karena perintah undang – undang.
Kewenangan menguasai bukan kewenangan dalam kesewenang –
wenangan melainkan kewenangan yang terukur, tertib, dan
bertanggungjawab. Kewenangan tersebut masuk dalam lingkup
kewenangan untuk mengelola. Bersinggungan dengan kewenangan
pemerintah daerah untuk mengelola APBD, maka APBD yang ditetapkan
21 Dr. Hendra Karianga, S.H,.M.H. Carut Marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era
Otonomi Daerah.
53
setiap tahun oleh pemerintah daerah dan DPRD sebagai alat stabilitas
pembangunan daerahharus dapat mengatasi tiga hal pokok, yakni :
1. APBD dikelola dan berororientasi pada pertumbuhan (pro growth);
2. APBD dikelola dan harus dapat membuka lapangan kerja (pro job);
dan
3. APBD dikelola dan harus dapat mengatasi kemiskinan (pro poor). 22
Teori – teoari dan pendapat yang dikemukakan serta dikaji dalam bagian
pertama bab ini memberikan gambaran betapa pentingnya suatu
pengelolaan keuangan daerah yang baik oleh karena itu diperlukan suatu
regulasi yang mengatur agar dapat tercipta suatu tatanan pengelolaan
keuangan daerah yang bersih, dan teratur di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma
Asas merupakan prinsip atau dasar yang menjadi acuan berpikir. Asas
dijadikan pegangan dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah agar
tujuan kesejahteraan yang ingin dicapai dalam pengelolaan keuangan
daerah khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dapat terpenuhi.
Sebagaimana asas dalam Undang – Undang keuangan menjadi acuan dalam
pengelolaan keuangan negara, maka asas – asas yang samapun digunakan
dalam pengelolaan keuangan daerah. Asas tersebut terdiri dari :
1. Akuntabilitas berorientasi pada hasil
22 Dr. Hendra Karianga, S.H,.M.H. Carut Marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era
Otonomi Daerah.
54
Merupakan prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa
proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan
pelaksanaan harus benar – benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat tersebut,
tetapi berhak untuk menuntut pertanggingjawaban atas rencana
ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
2. Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
pengelola keuangan.
3. Proporsionalitas
4. Asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang pengelolaan keuangan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara
6. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri
Merupakan asas yang memberikan kebebasan bagi badan pemeriksa
keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun. 23
23 Ibid, hal 22.
55
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang
tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi
acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, juga menjadi acuan
dalam rancangan peraturan daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara memiliki luas wilayah 1.856,86 kilometer bujur sangkar,
berpopulasi 79.366 jiwa penduduk ditahun 2020. Sebagai Kabupaten yang
sedang berusaha untuk menata pemerintahannya agar menjadi lebih baik,
tentunya bukan sesuatu yang mudah. Banyak hal yang dilalui oleh
pemerintah daerah dalam mempertahankan ekonomi dan pertumbuhan
daerah menuju masyarakat yang sejahtera. Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah dikelola sejak tahun 2008 oleh pemerintah daerah dimulai dari
angka 280 miliar, sekarang semakin bertambah hingga 721 miliar ditahun
2017. Pengelolaan keuangan daerah terus diperbaiki hingga beberapa kali
meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. Produk hukum daerah mulai dibenahi disetiap
tahunnya untuk mencapai puncak kepatuhan dan disiplin. Tetapi, ditahun
2017 Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kelemahan Peraturan
Daerah tentang Hak dan Keuangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
56
Daerah yang masih membutuhkan revisi peraturan bupati yang disesuaikan
dengan asas kepatuhan, disiplin dan disesuaikan dengan pendapatan
daerah. Selama empat puluh sembilan hari audit Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia atas Laporan Hasil Pemeriksaan Bupati
Tahun 2017 pada pengelolaan pertanggungjawaban keuangan daerah dan
telah menghasilkan opini wajar tanpa pengecualian. tetapi, dibalik dari opini
implikasiwajar tanpa pengecualian BPK menemukan Tuntutan Ganti Rugi
sebesar lima ratus tujuh puluh dua milliar pada lintas satuan kerja
perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dan
satu koma dua miliar atas kelemahan asas kepatuhan, asas kesesuaian
pendapatan daerah, asas disiplin pada hak dan keuangan anggota dewan
perwakilan rakyat daerah Bolaang Mongondow Utara. Hasil audit Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesi pada LHP Bupati tahun 2017
menemukan Tuntutan Ganti Rugi sebesar Rp 572 miliar disejumlah satuan
kerja perangkat daerah yang masing – masing sekertariat DPRD senilai Rp
480 juta dan Rp 92 juta di SKPD lainnya. Serta Rp 1,2 miliar pada hak dan
keuangan anggota DPRD Bolmut yang direkomendasikan BPK harus
disesuaikan dengan pendapatan keuangan daerah.24 Ditahun 2019
Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara kembali juga memperoleh
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI. Opini WTP ini merupakan ketiga kalinya yang diterima
Pemerintah Daerah Bolmut berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan (LHP)
24 Ihttp://sulutdaily.com/menuju-60-hari-rekomendasi-bpk-atas-temuan-pada-lhp-
bupati-2017/
57
atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bolmut
tahun anggaran 2019.25 Hal ini tidak berarti bahwa terbebas dari
permasalahan. Berkaca dari pengalaman tahun 2017 maka tentunya
pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara merasa perlu untuk
menuangkan semua perubahan sistem lewat suatu regulasi yang akan
mampu mengatur dan menata keuangan daerah. Hal ini dikarenakan
pemerintah dan DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tidak akan
kecolongan lagi seperti pada tahun – tahun sebelumnya. Permasalahan
keuangan yang terjadi membuat pemerintah bersikap lebih hati – hati dan
lebih bijak menyikapinya.
Pemerintah daerah bersama DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara tidak menginginkan terjadi kebocoran – kebocoran dalam pengelolaan
keuangan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap keuangan daerah
dan membuat pelayanan kepada masyarakat tersendat. Banyak contoh juga
yang terjadi didaerah lain dimana ketika keuangan daerah tidak diawasi
dengan benar pengelolaanya maka menyebabkan kerugian besar terhadap
daerahnya. Oleh karena itu, pemerintah menupayakan regulasi entang
pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara ini
dapat segera ditetapkan, guna mencegah permasalahan yang sama terulang
kembali.
25 https://www.trendingpublik.com/ketua-dprd-berharap-pemda-bolmut-tindak-
lanjuti-hasil-temuan-bpk-ri-perwakilan-sulut/
58
D. Kajian terhadap implikasi penerapan Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap beban keuangan
daerah.
Keuangan merupakan salah satu aspek terpenting untuk mengukur
apakah suatu daerah dikatakan sejahtera atau tidak. Oleh karena itu
diperlukan suatu pengaturan yang berfungsi sebagai payung hukum untuk
mengawasi apakah pengelolaan keuangan mulai dari pemasukan sampai
kepada pengeluaran dapat berjalan semestinya, dan para pemegang
kewenangan mampu menjalankan proses tersebut dengan benar.
Dalam regulasi yang akan ditetapkan ini, akan mengatur lebih
komprehensif mengenai perencanaan, kelembagaan, pengawasan yang akan
dilakukan, serta pengelolaan keuangan yang lebih bertanggungjawab
sehingga regulasi ini benar – benar akan memberikan dampak terhadap
pengelolaan keuangan di daerah.
Pengaturan dalam Rancangan Peraturan daerah kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ini akan
berdampak bagi kehidupan masyarakat. Pertama, dengan semakin tertibnya
pengelolaan keuangan daerah, akan meminimalisir terjadinya kebocoran
atau pencurian terhadan keuangan daerah sehingga diharapkan seluruh
pendapatan daerah akan memberikan dampak positif dan pemberian
pelayanan terhadap masyarakat akan meningkat. karena apabila keuangan
dapat diatur dengan baik maka otomatis dampaknya terhadap pelayanan
publik. Akan terjadi peningkatan pelayanan dan fasilitas – fasilitas
59
terhadap masyarakat. Kedua, penggunaan anggaran akan tepat pada
sasaran dan tujuan, tidak akan terjadi kesewenang – wenangan dalam
pengelolaan keuangan. Semua akan berjalan dengan baik sehingga
masyarakat akan merasakan kesejahteraan oleh karena semua kebutuhan
masyarakat dapat diperhatikan oleh pemerintah. Ketiga, kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah ataupun pengelola keuangan di daerah
akan terbangun dengan baik. Karena masyarakat melihat kinerja yang baik
dari pengelola keuangan.
Secara teoritis, Pengaturan mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah
di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara ini tidak akan membebani
Anggara Pendapatan Belanja Daerah, karena hanya mengatur tentang
sistem. Tidak ada pembebanan pada keuangan daerah. Dampak yang baik
juga akan sangat terasa, pengelolaan keuangan daerah yang dahulu
menemui banyak permasalahan akan menjadi lebih baik sehingga akan
terwujud suatu pengelolaan keuangan yang lebih transparan, akuntabel dan
professional.
60
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pembentukan Perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting
dalam pembangunan hukum di daerah, tujuan dilakukannya evaluasi dan
analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan materi
suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan termasuk di dalamnya
Rancangan Peraturan Daerah hakikatnya adalah memperoleh kondisi hukum
yang ada. Kegiatan mengevaluasi dan menganalisis peraturan perundang-
undangan yang terkait adalah untuk menilai apakah materi dari suatu
Rancangan Undang-undang sudah sesuai atau tidak dengan aspirasi hukum
yang berkembang dalam masyarakat terutama untuk menegakan supremasi
hukum dalam kehidupan masyarakat serta mengetahui kondisi hukum atau
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi materi
yang akan diatur. Dengan adanya kajian ini akan diketahui posisi dari
Rancangan Peraturan Daerah dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tentang Pengelolaan keuangan Daerah.
Untuk itu dengan adanya analisis yang dilakukan dapat
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-
undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah
61
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan yang ada dalam
Rancangan Peraturan Daerah tersebut. Hasil dari penjelasan atau uraian ini
menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang akan dibentuk.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan
dengan pengaturan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang perlu
diperhatikan dan dijadikan acuan serta dasar dalam pembentukan secara
substansi mengatur materi yang berkaitan erat dengan Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta yang
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah untuk membentuk
Peraturan Daerah, yaitu:
Adapun beberapa Peraturan Perundang-undangan yang dianalisis
tersebut yaitu :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan” telah memberikan dasar untuk membentuk suatu
62
peraturan yang berlaku di daerahnya yang disebut dengan peraturan
daerah yang keberadaannya diakui oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjalankan tugas-tugas
pemerintahan daerah untuk mengatur dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat di daerahnya sebagai daerah otonom yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan ini telah memberikan dasar konstitusional bagi daerah
dalam pembentukan Peraturan Daerah serta menjamin terciptanya
kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom.
Dengan demikian daerah memiliki keleleluasaan bertindak yang dijamin
dengan adanya kepastian hukum untuk mengusahakan cabang-cabang
produksi yang penting di wilayahnya dalam rangka meningkatkan
pendapatan daerah untuk digunakan dalam melakukan pelayanan
kepada masyarakat. Tidak terkecuali pengelolaan keuangan daerah dalam
rangka untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
penyelenggaraan pemerintah daerah yang efektif dan efisien serta
pelayanan yang optimal sehingga perlu diatur pelaksanaannya dalam
bentuk Peraturan Daerah sebagai kewenangan asli daerah yang diberikan
oleh Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
63
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Nomor 3861);
Dalam Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada
para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga
Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri,
Gubernur, Hakim, Pejabat Negara, dan atau pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2).
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-
cita perjuangan bangsa terutama terkait dalam hal pengelolaan keuangan
negara yang berimplikasi pula kepada penyelenggaraan pemerintahan di
daerah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum
penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib
penyeienggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan,
asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Untuk
itu di dalam undang-undang telah diatur mengenai kewajiban para
Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
64
Dalam penjelasan pasal 3 angka 4 UU No 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang baik dan bersih dari KKN, 'Transparansi'
adalah "asas membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif, tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan hak
asasi pribadi, golongan dan rahasia negara". Artinya, keterbukaan
informasi merupakan sebuah keniscayaan, supaya dapat mempersempit
ruang gerak terjadinya sebuah KKN yang merugikan uang rakyat.
Semangat pemberantasan KKN secara undang-undang maupun dalam
bentuk peraturan pemerintah sudah sangat baik, banyak sekali dalam
peraturan perundang-undangan yang menuntut setiap penyelenggara
pemerintahan, untuk menciptakan sebuah transparansi birokrasi guna
terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih.
Dengan demikian dalam pengaturan mengenai pengelolaan
keuangan daerah dalam peraturan daerah perlu menerapkan asas
tansparansi birokrasi disetiap Lembaga negara maupun pemerintah
daerah, baik dalam perencanaan, pengelolaan maupun penggunaannya
sehingga penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah dapat dikelola
secara transparan..
65
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286)
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara menyebutkan bahwa Keuangan Negara adalah semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa
anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata
uang ditetapkan dengan undang-undang
Melalui batasan pengertian tersebut menunjukan bahwa pengelolaan
keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan Negara.
Hal ini dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 2 yang mengatur
mengenai ruang lingkup keuangan negara yang meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
66
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Ketentuan Pasal 2 huruf g di atas menunjukan bahwa uang yang
dimiliki oleh daerah termasuk dalam lingkup keuangan negara.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang ini disebutkan
Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan
memperhatikan batasan pengertian keuangan Negara sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya berarti bahwa pengelolaan keuangan daerah pun
demikian cara pengelolaannya. Sehingga metode pengelolaan yang akan
ditetapkan melalui penormaan dalam peraturan daerah perlu menunjukan
adanya pengelolaan keuangan daerah secara tertib, taat pada peraturan
67
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan
Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang
mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing tingkat
pemerintahan. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan
Daerah. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan diatas
maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni
fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi
68
dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan
oleh Pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang
lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.
Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam
penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,
pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara
nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas.
Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara
efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak
tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur
pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD,
sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat
yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada
69
Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka
Tugas Pembantuan. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan
Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang
bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lainlain Pendapatan
Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan
kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi
daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber
dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain
dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya,
juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen
Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah
serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu.
Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan
70
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan
mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor
pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi
yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-
Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah
ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang
merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi
Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali
mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi
DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal
kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang
potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh
alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan
fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
71
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan
khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana
dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar
tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.
Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari
pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga
internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau
perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk
barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak
perlu dibayar kembali.
Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga
mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana
nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi
dengan dana APBD. Di samping itu, Pemerintah juga dapat memberikan
Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu
Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat,
Pemerintah dapat memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut
setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang
bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan
72
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang
bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta
stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman
Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi
Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang
melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber
dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan
mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar
terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan
fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman Daerah tidak
hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang
menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek
pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan
penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka
pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah
Daerah. Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah
dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih
maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah.
Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi
Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
73
Untuk itu dalam Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan
Daerah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara hal ini sangat jelas
diatur dalam pasal 82, dimana pengelolaan keuangan dilakukan secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para
pemangku kepentingan yang sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua
penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBD. Dalam pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, Perubahan
APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Surplus APBD digunakan untuk
membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk
Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam Perusahaan Daerah. Dalam
hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut.
Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin
tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang
dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas
Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah.
74
Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian
Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui
mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi
mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan
pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif,
efisien, transparan, dan akuntabel.
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi
berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya
dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini khususnya dalam pasal 101 pemerintah
menyelenggarakan system informasi keuangan daerah secara nasional
dengan tujuan:
a. Merumuskan kebijakan dan pengendalian fiscal nasional
b. Menyajikan informasi keuangan Daerah secara nasional
c. Merumuskan kebijakan keuangan Daerah, seperti Dana
perimbangan, pinjaman daerah dan pengendalian deficit anggaran
d. Melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan
Desentralisasi, Dekonsentrasi, tugas pembantuan, pinjaman
daerah dan deficit anggaran
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-
pokok muatan UndangUndang ini adalah sebagai berikut:
75
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;
b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan
Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21;
c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam
komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah,
termasuk Obligasi Daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini
dipertegas dengan pemberian sanksi.
76
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4285,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355)
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 4). Sesuai dengan pengertian tersebut, dalam Undang-
undang Perbendaharaan Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum
perbendaharaan negara, kewenangan pejabat perbendaharaan negara,
pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang
negara/daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah,
pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan
pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah,
penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan
layanan umum. Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam
pengelolaan keuangan negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini
menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas
spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran. Asas
universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa
berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas
mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas
77
peruntukannya. Demikian pula Undang-undang Perbendaharaan Negara
ini memuat ketentuan yang mendorong profesionalitas, serta menjamin
keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran. Ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini
dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan
kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk
menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut
dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu
dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini selain menjadi landasan hukum dalam
pelaksanaan reformasi pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat
pemerintahan pusat, berfungsi pula untuk memperkokoh landasan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya di dalam Pasal 3 UU ini penyelengaraan perbendaharaan
negara harus memperhatikan asas dan prinsip umum yang diatur dalam
undang-undang perbendaharaan negara yaitu bahwa:
1. Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat
untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara.
78
2. Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah
Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
3. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran
atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran
tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
4. Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang
sesuai dengan program pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN.
5. semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang
sesuai dengan program pemerintah daerah, dibiayai dengan APBD.
6. Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak
dan/atau tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran tersendiri yang
selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.
7. Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan APBN/APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda
dan/atau bunga.
Di dalam penyelenggaraan perbendaharaan Negara tentunya
memiliki Pejabat Perbendaharaan Negara, dimana dalam pasal 4 sampai
dengan Pasal 6 undang-undang ini menyebutkan Pejabat Perbendaharaaan
Negara adalah Menteri/pimpinana Lembaga Gubernur/bupati/walikota
selaku Kepala Daerah, serta kepala satuan kerja perangkat daerah, dimana
semuanya pejabat perbendaharaan negara yang merupakan pengguna
Anggaran/Pengguna Barang yang memiliki kewenangan dan bertanggung
79
jawab atas pengelolaan keuangan Negara/Daerah, adapun bunyi dari Pasal
4 sampai dengan Pasal 6 yaitu:
Pasal 4
(1) Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
(2) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berwenang :
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan negara;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang
dan piutang;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan
perintah pembayaran;
g. menggunakan barang milik negara;
h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang
milik negara;
80
i. mengawasi pelaksanaan anggaran;
j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan;
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
Pasal 5
Gubernur/bupati/walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah :
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan
dan/atau Bendahara Pengeluaran;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
daerah;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan
piutang daerah;
e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik
daerah;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan
dan memerintahkan pembayaran.
Pasal 6
81
(1) Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang bagi satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya.
(2) Kepala satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan tugasnya
selaku pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban
anggaran belanja;
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan
pembayaran;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang dan piutang;
f. menggunakan barang milik daerah;
g. mengawasi pelaksanaan anggaran;
h. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan
Dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini juga diatur prinsip-
prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas,
perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan
82
investasi serta barang milik negara/daerah yang selama ini belum
mendapat perhatian yang memadai.
Dalam rangka pengelolaan uang negara/daerah, dalam Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini ditegaskan kewenangan Menteri Keuangan
untuk mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah, menyimpan
uang negara dalam rekening kas umum negara pada bank sentral, serta
ketentuan yang mengharuskan dilakukannya optimalisasi pemanfaatan
dana pemerintah. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan piutang negara/daerah, diatur kewenangan penyelesaian
piutang negara dan daerah. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan
pembiayaan ditetapkan pejabat yang diberi kuasa untuk mengadakan
utang negara/daerah. Demikian pula, dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik
negara/daerah dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur
pula ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan investasi serta
kewenangan mengelola dan menggunakan barang milik negara/daerah,
dan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah
disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi
pemerintahan. Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan yang
mengatur mengenai hal-hal tersebut agar
-Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi;
83
-Laporan keuangan pemerintah disajikan sesuai dengan standar akuntansi
keuangan pemerintahan, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran
(LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas disertai dengan catatan atas laporan
keuangan;
-Laporan keuangan disajikan sebagai wujud pertanggungjawaban setiap
entitas pelaporan yang meliputi laporan keuangan pemerintah pusat,
laporan keuangan kementerian negara/lembaga, dan laporan keuangan
pemerintah daerah;
-Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambat-lambatnya
6 (enam) bulan setelah tahun anggaran yang bersangkutan berakhir;
-Laporan keuangan pemerintah diaudit oleh lembaga pemeriksa ekstern
yang independen dan profesional sebelum disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat;
-Laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan
yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government
Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis
kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan
antarnegara (cross country studies), kegiatan pemerintahan, dan penyajian
statistik keuangan pemerintah.
84
Selanjutnya dalam Bab XI Undang-undang Perbendaharaan Negara ini
juga diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.
Oleh karena itu, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini
ditegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh
tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh
pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut
negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.
Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementerian negara/
lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera melakukan
tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi
kerugian. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan pengenaan ganti
kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana apabila terbukti melakukan
pelanggaran administratif dan/atau pidana.
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Bolang Mongondow Utara di Propinsi Sulawesi Utara
85
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Agar suatu daerah dapat melaksanakan seluruh tugas pemerintahan
daerah yang dimilikinya maka sebelumnya perlu memperoleh pengakuan
secara hukum bahwa daerah tersebut telah sah berdiri sebagai suatu
daerah yang mandiri. Pengakuan tersebut datang dari Undang-Undang
Pendirian suatu daerah sebagai daerah otonom.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara di Propinsi
Sulawesi Utara, Untuk dapat menjalankan segala kewenangan yang
diberikan tersebut, pemerintah daerah otonom harus membentuk
instrumen hukum yang berlaku di wilayahnya sendiri. Dengan
dibentuknya sebuah instrumen hukum itu, maka akan melegalkan
semua tindakan pemerintah daerah dalam melaksanakan segala
kewenangannya.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka instrumen
hukum tersebut bernama Peraturan Daerah sebagai instrumen hukum
utama daerah yang ditunjang dengan Peraturan Kepala Daerah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, dengan berdirinya Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2007 tentang Pembentukan kabupaten Bolaang Mongondow Utara di
86
Propinsi Sulawesi Utara, maka untuk menjalankan segala kewenangan
Pemerintahan Daerah perlu membentuk Peraturan Daerah sebagai
dasar hukum pelaksanaannya.
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan
pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai
salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban
kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Berkaitan dengan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ini, telah
ditetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.yang diharapkan dapat lebih
87
mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian
daerah.Setelah adanya perubahan dalam pengaturan pajak daerah melalui
Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, ada beberapa perubahan yang cukup signifikan yang berpengaruh
pada hubungan keuangan pusat dan daerah, salah satunya adalah tentang
pengalihan pajak sebelumnya dipungut pusat menjadi pajak daerah, yaitu
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB (Bea
Pengalihan Hak Atas tanah dan Bangunan). Dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, memberikan ruang yang lebih jelas bagi daerah dalam hal
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Akan tetapi, sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah itu sendiri bahwa daerah tidak dapat begitu
saja menjalankan kewenangannya untuk memungut pajak daerah atau
retribusi daerah. Dengan demikian, sesungguhnya pemberlakukan
Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah membawa implikasi bagi daerah. Implikasi tersebut terutama
berkaitan dengan jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat
dipungut serta mekanisme hukum pemungutan yang harus disiapkan
daerah. Adapun di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat Penambahan jenis pajak
daerah yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota.
88
Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak
daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2
(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
89
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang ini. Jenis
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak
dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan
dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sedangkan pengaturan mengenai retribusi diatur dalam Bab VI
undang-undang Nomor 28 tahun 2009 yang didalamnya mengatur tentang
jenis-jenis retribusi yaitu:
Pasal 110
(1) Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
90
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
Pasal 127
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
91
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi Rumah Potong Hewan;
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
Pasal 141
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan
92
Selanjutnya dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Tata Cara
pemungutan retribusi yaitu diatur dalam Pasal 160 yaitu:
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada
waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(4) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
didahului dengan Surat Teguran.
(5) Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Daerah
Untuk itu dengan adanya perluasan basis pajak dan retribusi yang
disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut,
jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam
Undang-Undang, selanjutnya untuk Retribusi, dengan peraturan
pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi
selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang
memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
93
Dengan demikian dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas
pengawasan pungutan Daerah, maka setiap Peraturan Daerah tentang
Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang
menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana
alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Setelah mencermati beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah maka Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sudah
memiliki pedoman dan dasar hukum dalam membuat Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
94
2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6398)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur tata cara pembentukan setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan. Adapun dalam Pasal 7 diatur mengenai hierarkhi Peraturan
Perundang-undangan yaitu:
(1) Jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
e. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Pearturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarkhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dalam membentuk
Peraturan Daerah, Pemerintahan Daerah harus menaati setiap ketentuan
95
yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan yang berada pada
kedudukan yang lebih tinggi.
Dalam Pasal 14 diatur mengenai materi muatan yang dapat diatur
dalam peraturan daerah. Ketentuan Pasal 14 yang berbunyi “Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”
memberikan penjelasan yang lebih lanjut atas materi muatan Peraturan
Daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan ini semakin jelas
disebutkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan merupakan ruang lingkup yang dapat diatur dalam peraturan
daerah, penyelenggaraan otonomi daerah harus menyesuaikan dengan
kewenangan-kewenangan daerah otonom yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan dan selanjutnya dituangkan dalam Peraturan
Daerah yang hanya berlaku di daerah otonom tersebut. Selanjutnya dalam
Pasal 14 ini membuka substansi baru yang dapat diatur dalam Peraturan
Daerah yaitu untuk menampung kondisi khusus daerah, ketentuan ini
memberikan kewenangan kepada daerah untuk bebas membentuk suatu
peraturan daerah yang sesuai dengan karakteristik khusus yang ada di
daerah tersebut, hal ini dimaksudkan agar peraturan daerah sebagai
bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
96
dapat langsung menyentuh pusat permasalahan dalam daerah tersebut
yang belum tentu sama dengan daerah lain sehingga efektifitas hukum
yang coba diberikan oleh Peraturan Daerah yang dibentuk akan tercapai
sepenuhnya. Selain kondisi khusus daerah, dalam Peraturan Daerah juga
dapat memuat penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi hal ini dimuat sebagai suatu bagian dalam materi muatan
Peraturan Daerah karena banyaknya delegasi yang diberikan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang berada pada hierarkhi lebih tinggi
kepada Peraturan Daerah terhadap suatu penyelenggaraan pemerintahan
negara, yang kemudian agar dapat diterapkan di setiap daerah harus
disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat setempat, sehingga
jalan yang paling baik agar Perundang-undangan tersebut dapat diterima
dan dijalankan oleh masyarakat di daerah harus dimuat dalam Peraturan
Daerah yang sudah melalui berbagai kajian.
Demi menjamin terciptanya suatu Peraturan Daerah yang baik maka
perlu melalui beberapa tahapan pembentukan. Dalam Undang-undang ini
diatur mengenai beberapa tahapan yang harus dilalui dalam membentuk
suatu produk Peraturan Perundang-undangan yaitu perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Adanya berbagai tahapan ini dimaksudkan agar Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk tidak hanya asal jadi melainkan
memiliki proses dan kajian yang matang sehingga ketika akan diterapkan
97
nanti dapat berlaku efektif sesuai dengan harapan pemerintah yang
membentuknya.
Sebelum membentuk Peraturan Daerah yang memuat pasal-pasal
pengaturan yang mengikat setiap subjek yang diatur didalamnya, perlu
disusun sebuah dokumen yang memuat alasan-alasan ilmiah mengenai
pentingnya Peraturan Daerah tersebut dibuat, dokumen tersebut
merupakan Naskah Akademik yang dibuat dalam tahapan penyusunan
Peraturan Daerah. Dasar hukum pembuatan Naskah Akademik yang
mendampingi Peraturan Daerah diatur dalam Pasal 56 ayat (2) yang
berbunyi “Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah
Akademik”. Ketentuan ini berlaku juga terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang sebagaimana diatur dalam Pasal 63 yaitu
“ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
98
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan pedoman penyelenggaraan
pemerintahan daerah di setiap daerah otonom yang ada.
Daerah otonom berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan kewenangan untuk
membentuk Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sendiri dalam Undang-
undang ini diatur dalam BAB XI, ketentuannya dimuat dalam Pasal 236
yaitu :
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
99
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda
dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Fungsi utama Peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 236
diatas adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dimana peraturan daerah tersebut dibetuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala daerah dengan materi muatan yang
sudah diatur dan dibatasi kewenangannya. Hal ini berarti daerah dapat
dengan bebas membentuk Peraturan Daerah akan tetapi materi
muatannya harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 237 disebutkan :
Pasal 237
(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada
ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam pembentukan Perda.
100
(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
secara efektif dan efisien.
Dalam membentuk Peraturan Daerah, perlu memperhatikan
ketentuan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat hal ini dikarenakan posisi dari
peraturan daerah yang berada pada hierarkhi yang paling bawah dalam
sistem hukum nasional yang mewajibkan kepatuhan substansi oleh
peraturan daerah atas peraturan perundang-undangan di atasnya, selain
itu karena peraturan daerah itu berlaku secara lokal maka harus
memperhatikan asas-asas hukum yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat sehingga masyarakat dapat dengan mudah menerima dan
menjalankan Peraturan Daerah tersebut.
Alur pembentukan Peraturan Daerah diatur jelas dalam Undang-
Undang Pemerintahan Daerah ini diatur dalam Pasal 239 sampai Pasal
244
Paragraf 2
Perencanaan
Pasal 239
(1) Perencanaan penyusunan Perda dilakukan dalam program
pembentukan Perda.
101
(2) Program pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh DPRD dan kepala daerah untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan Perda.
(3) Program pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan DPRD.
(4) Penyusunan dan penetapan program pembentukan Perda dilakukan
setiap tahun sebelum penetapan rancangan Perda tentang APBD.
(5) Dalam program pembentukan Perda dapat dimuat daftar kumulatif
terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. APBD.
(6) Selain daftar kumulatif terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dalam program pembentukan Perda Kabupaten/Kota dapat
memuat daftar kumulatif terbuka mengenai:
a. penataan Kecamatan; dan
b. penataan Desa.
(7) Dalam keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat
mengajukan rancangan Perda di luar program pembentukan Perda
karena alasan:
102
a. mengatasi keadaan luar biasa, keadaaan konflik, atau bencana
alam;
b. menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
c. mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi atas suatu rancangan Perda yang dapat disetujui
bersama oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang pembentukan Perda dan unit yang menangani bidang
hukum pada Pemerintah Daerah;
d. akibat pembatalan oleh Menteri untuk Perda Provinsi dan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk Perda
Kabupaten/Kota; dan
e. perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi setelah program pembentukan Perda ditetapkan.
Paragraf 3
Penyusunan
Pasal 240
(1) Penyusunan rancangan Perda dilakukan berdasarkan program
pembentukan Perda.
103
(2) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah.
(3) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang
undangan.
Paragraf 4
Pembahasan
Pasal 241
(1) Pembahasan rancangan Perda dilakukan oleh DPRD bersama kepala
Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tingkat pembicaraan.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5
Penetapan
Pasal 242
104
(1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala
daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.
(2) Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.
(3) Gubernur wajib menyampaikan rancangan Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri paling lama 3
(tiga) Hari terhitung sejak menerima rancangan Perda Provinsi dari
pimpinan DPRD provinsi untuk mendapatkan nomor register Perda.
(4) Bupati/wali kota wajib menyampaikan rancangan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 3 (tiga) Hari
terhitung sejak menerima rancangan Perda kabupaten/kota dari
pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor register
Perda.
(5) Menteri memberikan nomor register rancangan Perda Provinsi dan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat memberikan nomor
register rancangan Perda Kabupaten/Kota paling lama 7 (tujuh) Hari
sejak rancangan Perda diterima.
105
(6) Rancangan Perda yang telah mendapat nomor register sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh kepala daerah dengan
membubuhkan tanda tangan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak
rancangan Perda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala Daerah.
(7) Dalam hal kepala Daerah tidak menandatangani rancangan Perda
yang telah mendapat nomor register sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib
diundangkan dalam lembaran daerah.
(8) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dinyatakan
sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi, “Peraturan Daerah ini
dinyatakan sah”.
(9) Pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum
pengundangan naskah Perda ke dalam lembaran daerah.
Pasal 243
(1) Rancangan Perda yang belum mendapatkan nomor register
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (5) belum dapat
ditetapkan kepala Daerah dan belum dapat diundangkan dalam
lembaran daerah.
106
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat secara berkala
menyampaikan laporan Perda Kabupaten/Kota yang telah
mendapatkan nomor register kepada Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian nomor register
Perda diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Pengundangan
Pasal 244
(1) Perda diundangkan dalam lembaran daerah.
(2) Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dilakukan oleh
sekretaris Daerah.
(3) Perda mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Perda yang
bersangkutan.
Tahapan-tahapan tersebut menjadi mutlak untuk dipatuhi oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dalam
membentuk Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pengelolaan
Keuangan Daerah, karena dengan dipenuhinya setiap tahapan
107
pembentukan ini, maka Peraturan Daerah yang dibentuk tidak cacat
formil.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4574);
Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan
yang proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas
pembagian kewenangan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Menurut PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Pasal 1 angka 9, arti dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dan antara Pemerintahan Daerah. Dana Perimbangan yang terdiri
dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi
Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi
daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis
108
penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi, hal ini telah diatur
dalam Pasal 2 PP Nomor 55 tahun 2005 .
Selanjutnya menurut PP Nomor 55 tahun 2005 mengenai dana
perimbangan khususnya dalam Pasal 1 angka 24, arti Dana Alokasi
Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya dalam
upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi
kegiatan, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
Sedangkan pengertian Dana alokasi umum Menurut PP Nomor 55
tahun 2005 tentang dana perimbangan Pasal 1 angka 23 yaitu dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan
formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, kebutuhan
fiskal, dan potensi daerah
11. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Pelayanan Umum ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4502);
109
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum merupakan landasan hukum untuk
menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Di dalam
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum, yang
selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Selanjutntya dalam Pasal 1 angka 2
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya
disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menetapkan praktek-praktek
bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada. masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini,
sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada
umumnya.
Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah khususnya BAB V telah
diatur dengan jelas mengenai pengelolaan keuangan BLU, dimana dengan
pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka
pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja,
pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan
kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta
110
kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan
kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat
dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam
pertanggungjawabannya, Dalam Peraturan Pemerintah ini, BLU wajib
menghitung harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas
yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam
pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan
anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang
telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari
menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak
menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di
mana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas
kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab
untuk menyajikan layanan yang diminta.
Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format
baru dalam pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan untuk
menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan
sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, oleh karena itu dalam pelaksanaan Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum selama ini dipandang perlu melakukan
penyempurnaan terhadap beberapa pengaturan dalam Peraturan
Pemerintah tersebut agar lebih memperlancar penerapan Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum dengan tetap memperhatikan
111
akuntabilitas kinerja dan keuangan sebagai penyeimbang dari fleksibilitas
yang telah diberikan, Sehingga mengenai detail-detail pengelolaan
keuangan daerah tersebut dalam peraturan daerah harus menyesuaikan
dengan peraturan pemerintah ini.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem
Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4576);
Dalam kehidupan bernegara yang semakin terbuka, pemerintah
selaku perumus dan pelaksanaan kebijakan APBN berkewajiban untuk
terbuka dan bertanggung jawab terhadap seluruh hasil pelaksanaan
pembangunan. Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut diwujudkan
dengan menyediakan informasi keuangan yang komprehensif kepada
masyarakat luas, termasuk Informasi Keuangan Daerah. Dengan
kemajuan tekhnologi informasi yang demikian pesat serta potensi
pemanfaatannya secara luas, hal tersebut membuka peluang bagi
berbagai pihak untuk mengakses, mengelola dan mendayagunakan
informasi secara cepat dan akurat untuk lebih mendorong terwujudnya
pemerintahan yang bersih, transparan, dan serta mampu menjawab
tuntutan perubahan secara efektif. Untuk menindaklanjuti
terselenggaranya proses pembangunan yang sejalan dengan prinsip tata
112
pemerintahan yang baik (Good Governance), Pemerintah dan Pemerintah
Daerah berkewajiban untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuan
mengelola keuangan daerah, dan menyalurkan Informasi Keuangan
Daerah kepada pelayanan publik. Pemerintah perlu mengoptimasikan
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk membangun jaringan
sistem informasi manajemen dan proses kerja yang memungkinkan
pemerintahan bekerja secara terpadu dengan menyederhanakan akses
antar unit kerja.
Sebagaimana yang telah diatur dalam PP No.56 Tahun 2005 Pasal 1
angka 15 Sistem Informasi Keuangan Daerah selanjutnya disingkat SIKD
adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan,
serta mengolah data pengelolaan keuangan daerah dan data terkait
lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai
bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan,
dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah daerah.
Penyelenggaran SIPKD dilaksanakan baik di pusat maupun di daerah.
Sebagaimana yang telah diatur dalam BAB III Peraturan Pemerintah No. 56
Tahun 2005 bahwa SIKD regional diselenggarakan oleh masing-masing
pemerintahan daerah selama ini dikenal oleh masyarakat dengan nama
Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) .Untuk itu
Perumusan materi muatan yang nantinya akan diatur dalam peraturan
Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tentang pengelolaan
113
Keuangan Daerah perlu memperhatikan pokok-pokok pengaturan yang
sebelumnya telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut,
13. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Didalam Peraturan Pemerintah ini menjabarkan lebih rinci
komponen Laporan Keuangan yang wajib disusun dan disampaikan oleh
setiap tingkatan Pengguna Anggaran, pengelola perbendaharaan, serta
pemerintah pusat/daerah. Selain itu, diatur pula hierarkhi kegiatan
akuntansi mulai dari tingkat satuan kerja pelaksana sampai tersusunnya
Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah dengan ketentuan jadwal
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, dalam rangka memperkuat
akuntabilitas pengelolaan anggaran dan perbendaharaan, setiap pejabat
yang menyajikan Laporan Keuangan diharuskan memberi pernyataan
tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang bersangkutan.
Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah harus secara jelas menyatakan bahwa Laporan
Keuangan telah disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang
memadai dan informasi yang termuat pada Laporan Keuangan telah
disajikan sesuai dengan SAP.
114
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah khususnya dalam BAB II diatur mengenai pelaporan
Keuangan dan Kinerja yaitu:
Pasal 2
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap
Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan:
a. Laporan Keuangan; dan
b. Laporan Kinerja.
Pasal 3
(1) Entitas Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari:
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah daerah;
c. Kementerian Negara/Lembaga; dan
d. Bendahara Umum Negara.
(2) Entitas Pelaporan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
115
Pasal 4
(1) Setiap kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan suatu Kementerian
Negara/Lembaga merupakan Entitas Akuntansi.
(2) Bendahara Umum Daerah dan setiap Pengguna Anggaran di
lingkungan pemerintah daerah merupakan Entitas Akuntansi.
Dengan demikian Peraturan Pemerintah ini merupakan landasan
bagi penyelenggaraan kegiatan akuntansi mulai dari satuan kerja
Pengguna Anggaran, penyusunan Laporan Keuangan oleh Entitas
Pelaporan dan penyajiannya kepada BPK untuk diaudit, hingga
penyampaian rancangan undang-undang atau rancangan peraturan
daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD. Namun,
segala hal yang berhubungan dengan pembahasan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD oleh legislatif atau
penggunaan laporan tersebut oleh pihak-pihak terkait tidak dicakup
pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah ini.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5165);
Dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntasi Pemerintahan, maka Standar akuntansi
pemerintahan tersebut disusun oleh Komite Standar Akuntansi
116
Pemerintahan yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan
Pemeriksa Keuangan. Dalam ketentuan umum khususnya dalam Pasal 1
angka 3 menyebutkan bahwa Standar Akuntansi Pemerintahan, yang
selanjutnya disingkat SAP, adalah prinsip-prinsip akuntansi yang
diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan
pemerintah. Dalam Penyusunan SAP Berbasis Akrual dilakukan oleh
KSAP melalui proses baku penyusunan (due process).
Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini meliputi SAP
Berbasis Akrual dan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual. SAP Berbasis
Akrual terdapat pada Lampiran I dan berlaku sejak tanggal ditetapkan
dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas. SAP Berbasis Kas
Menuju Akrual pada Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi
entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual.
Selanjutnya dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini khususnya
dalam BAB II telah diatur juga tentang Penerapan Standar Akuntasi
yaitu:
BAB II
PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Pasal 4
(1) Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual.
(2) SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam bentuk PSAP.
117
(3) SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.
(4) PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 5
(1) Dalam hal diperlukan perubahan terhadap PSAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), perubahan tersebut diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari
Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Rancangan perubahan PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh KSAP sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam
penyusunan SAP.
(3) Rancangan perubahan PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh KSAP kepada Menteri Keuangan.
(4) Menteri Keuangan menyampaikan usulan rancangan perubahan
PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Badan Pemeriksa
Keuangan untuk mendapat pertimbangan.
118
Pasal 6
(1) Pemerintah menyusun Sistem Akuntansi Pemerintahan yang mengacu
pada SAP.
(2) Sistem Akuntansi Pemerintahan pada Pemerintah Pusat diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengacu pada pedoman
umum Sistem Akuntansi Pemerintahan.
(3) Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah daerah diatur
dengan peraturan gubernur/bupati/walikota yang mengacu pada
pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan.
(4) Pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 7
(1) Penerapan SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP
Berbasis Kas Menuju Akrual menjadi penerapan SAP Berbasis
Akrual.
119
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual
secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual
secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 8
(1) SAP Berbasis Kas Menuju Akrual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dinyatakan dalam bentuk PSAP.
(2) SAP Berbasis Kas Menuju Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.
(3) PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Dengan melihat ketentuan diatas maka Penyusunan PSAP
dilandasi oleh Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan, yang
merupakan konsep dasar penyusunan dan pengembangan Standar
Akuntansi Pemerintahan, dan merupakan acuan bagi Komite Standar
120
Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, pemeriksa, dan
pengguna laporan keuangan dalam mencari pemecahan atas sesuatu
masalah yang belum diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan. Untuk itu laporan keuangan yang dihasilkan dari
penerapan SAP Berbasis Akrual dimaksudkan untuk memberi manfaat
lebih baik bagi para pemangku kepentingan, baik para pengguna
maupun pemeriksa laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan
biaya yang dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip
akuntansi yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan sebanding dengan
manfaat yang diperoleh.
15. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5272:
Hibah Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas
sesuatu dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau
sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan
dilakukan melalui perjanjian (Pasal 1 angka 10).
Melalui Peraturan Pemerintah ini, kebijakan Hibah Daerah yang
mencakup hibah kepada Pemerintah Daerah dan hibah dari Pemerintah
Daerah, diharapkan dapat dikelola dan dilaksanakan sesuai dengan
prinsip pengelolaan keuangan yang baik sehingga Hibah Daerah harus
dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-
121
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal ini telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah
dimana dalam Pasal 2 yang menyebutkan Hibah Daerah meliputi:
a. Hibah kepada Pemerintah Daerah;
b. Hibah dari Pemerintah Daerah.
Selanjutnya dalam pengaturan tentang Bentuk dan Sumber Hibah juga
telah diatur dengan jelas dalam Pasal 3 yaitu Hibah Daerah dapat
berbentuk uang, barang, dan/atau jasa.
Sebagaimana yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
maka pelaksanaan kebijakan Hibah Daerah merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari penyelenggaraan asas desentralisasi dan otonomi
Daerah. Pemberian hibah oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan suatu
sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis,
adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan
kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut,
termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
122
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS
A. LANDASAN FILOSOFIS
Dasar filosofis berkaitan dengan cita-cita hukum dimana semua
masyarakat mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum,
misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya.
Cita hukum atau rechtsidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka
mengenai baik atau buruk, pandangan terhadap hubungan individu dan
kemasyarakatan, tentang kebendaan, dan sebagainya.
Semuanya itu bersifat filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai
hakikat sesuatu.Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik
sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini
ada yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum
atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali
akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Akan tetapi
adakalanya sistem nilai tersebut telah terangkum dengan baik berupa teori-
teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin resmi (Pancasila).
Dalam tataran filsafat hukum, pemahaman mengenai pemberlakuan
moral bangsa ke dalam hukum (termasuk peraturan perundang-undangan
dan Peraturan Daerah) ini dimasukan dalam pengertian yang disebut dengan
rechtsidee yaitu apa yang diharapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin
keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya yang tumbuh dari sistem
123
nilai masyarakat (bangsa) mengenai baik dan buruk, pandangan mengenai
hubungan individu dan masyarakat, tentang kebendaan, tentang kedudukan
wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya.
Landasan filosofis merupakan pandangan atau sikap batin dari
masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan daerah lebih khusus dalam
hal pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tercantum tujuan negara dapat dibagi atas 3 tujuan pokok yaitu :
1. Memajukan kesejahteraan umum
2. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
Dengan demikian sudah menjadi tugas dan kewajiban negara termasuk
pada tingkat pemerintahan daerah untuk melakukan pengembangan dan
penataan sumber daya yang dimiliki yang didalamnya termasuk pengelolaan
keuangan yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis dapat diartikan pencerminan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat, dengan harapan peraturan perundang-undangan
(termasuk peraturan daerah didalamnya) tersebut akan diterima oleh
masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan
124
yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak
begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.
Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang hidup
dalam masyarakat harus termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan
harapan-harapan masyarakat.Tanpa memasukan faktor-faktor kecenderungan
dan harapan, maka peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam
seketika. Keadaan seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan
hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarakat. Bahkan peraturan
perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah
pengukuhan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari
peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan
perkembangan masyarakat.
Pada saat ini di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara terdapat berbagai
masalah yang muncul dalam pengelolaan keuangan sebagaimana sudah
digambarkan sebelumnya. seluruh permasalahan ini harus dicari jalan
keluarnya dan diatur dalam Peraturan Daerah yang akan dibentuk.
C. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis adalah landasan yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan daerah ini
merupakan pelaksanaan delegasi dari Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
125
Selain itu, beberapa ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
menjadi dasar dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan daerah
adalah :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara di Provinsi Sulawesi Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4686);
3. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234), sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
126
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor …) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 310);
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 157);
127
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Sasaran yang akan diwujudkan dalam Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
Sasaran yang ingin dicapai dalam pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang mengatur mengenai
pengelolaan Keuangan Daerah adalah agar terciptanya administrasi dan
pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel,
meningkatkan disiplin dalam penganggaran, pelaksanaan dan
penatausahaan keuangan, tersedianya sumber daya aparatur yang
handal dan kompeten serta tersedianya standar operasional dan
prosedur masing masing-masing bagian serta adanya standar pelayanan
minimal untuk meningkatkan pelayanan, dan tersedianya Analisa
Standar Belanja sebagai acuan dalam penganggaran belanja daerah, dan
tersedianya Laporan Keuangan Pemda yang akuntabel, transparan dan
tepat waktu berbasis teknologi informasi dengan memperhatikan rasa
keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat serta taat pada
ketentuaan peraturan perundang-undangan
128
B. Jangkauan dan arah pengaturan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mencakup
pengaturan mengenai Pengelola Keuangan Daerah, APBD, penyusunan
rancangan APBD, penetapan APBD, pelaksanaan dan penatausahaan,
laporan realisasi semester pertama APBD dan perubahan APBD,
akuntansi dan pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah, penyusunan
rancangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, kekayaan Daerah
dan Utang Daerah, BLUD, penyelesaian kerugian Keuangan Daerah, dan
informasi Keuangan Daerah. Pengaturan mengenai keseluruhan
mekanisme ini sangat penting agar Pemerintah Daerah diharapkan
mampu menciptakan sistem Pengelolaan Keuangan Daerah yang sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan setempat dengan tetap menaati
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta meninjau sistem
tersebut secara terus menerus dengan tujuan mewujudkan Pengelolaan
Keuangan Daerah yang efektif, efisien, dan transparan.
Untuk itu jangkauan dan arah pengaturan yang ada dalam
naskah akademik akan menjadi ruang lingkup dalam penormaan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
129
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Ruang lingkup materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tentang
Pengelolaan Keuangan daerah merupakan materi yang tidak akan
terpisahkan dengan sasaran, arah dan jangkauan yang telah diuraikan
diatas, sehingga dalam menentukan luasnya pengaturan dan norma
dalam rancangan peraturan daerah ini tidak akan keluar dari materi
tersebut.
Pokok-pokok materi muatan yang diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah mencakup:
Seperti yang termuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2019 dan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
bahwa BAB I Ketentuan adalah :
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
2. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
130
Kesatuan Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Bupati adalah Bupati Bolaang Mongondow Utara.
5. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat
Daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
7. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
8. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban
Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala
bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah
berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah
tersebut.
9. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran,
131
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan Keuangan
Daerah.
10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas
Daerah.
12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas
Daerah.
13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran berkenaan.
14. Dana Transfer Umum adalah dana yang dialokasikan
dalam APBN kepada Daerah untuk digunakan sesuai
dengan kewenangan Daerah guna mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
15. Dana Transfer Khusus adalah dana yang dialokasikan
dalam APBN kepada Daerah dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik
maupun nonfisik yang merupakan urusan Daerah.
16. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH
adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu
APBN yang dialokasikan kepada Daerah penghasil
berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
17. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
132
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.
18. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
19. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Pemerintah
Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan.
20. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran
berkenaan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
21. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang
mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau
menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali.
22. Utang Daerah yang selanjutnya disebut Utang adalah
jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah
dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat
dinilai dengan uang berdasarkan peraturan
perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan
sebab lainnya yang sah.
23. Pemberian Pinjaman Daerah adalah bentuk investasi
133
Pemerintah Daerah pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah lainnya, badan layanan umum
daerah milik Pemerintah Daerah lainnya, badan usaha
milik negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi,
dan masyarakat dengan hak memperoleh bunga dan
pengembalian pokok pinjaman.
24. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk
mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan
sarana Daerah yang tidak dapat dibebankan dalam 1
(satu) tahun anggaran.
25. Beban adalah penurunan manfaat ekonomi atau
potensi jasa dalam periode pelaporan yang
menurunkan ekuitas atau nilai kekayaan bersih yang
dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau
timbulnya kewajiban.
26. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen
perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
27. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah
dan yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen
perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
28. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat
KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan serta asumsi
yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
29. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang
selanjutnya disingkat PPAS adalah program prioritas
dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada
perangkat Daerah untuk setiap program dan kegiatan
134
sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan
anggaran satuan kerja perangkat daerah.
30. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah, yang selanjutnya disingkat RKA SKPD adalah
dokumen yang memuat rencana pendapatan dan
belanja SKPD atau dokumen yang memuat rencana
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan SKPD yang
melaksanakan fungsi bendahara umum daerah yang
digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan
APBD.
31. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah
pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan
dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan
tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari 1 (satu)
tahun anggaran dan mempertimbangkan implikasi
biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada
tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan
maju.
32. Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang
berisi 1 (satu) atau lebih Kegiatan yang dilaksanakan
oleh satuan kerja perangkat daerah atau masyarakat
yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah untuk
mencapai sasaran dan tujuan pembangunan Daerah.
33. Kegiatan adalah bagian dari Program yang
dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja
perangkat daerah sebagai bagian dari pencapaian
sasaran terukur pada suatu Program dan terdiri dari
sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik
yang berupa personil atau sumber daya manusia,
barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana,
135
atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis
sumber daya tersebut, sebagai masukan untuk
menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.
34. Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang
dianggarkan dan dilaksanakan untuk masa lebih dari
1 (satu) tahun anggaran yang pekerjaannya dilakukan
melalui kontrak tahun jamak.
35. Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh
Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan Program dan
kebijakan.
36. Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya Keluaran dari Kegiatan dalam 1 (satu)
Program.
37. Sasaran adalah Hasil yang diharapkan dari suatu
Program atau Keluaran yang diharapkan dari suatu
Kegiatan.
38. Kinerja adalah Keluaran/Hasil dari Program/Kegiatan
yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur.
39. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang
Daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk
menampung seluruh Penerimaan Daerah dan
membayar seluruh Pengeluaran Daerah.
40. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat
penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh
Bupati untuk menampung seluruh Penerimaan
Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah
pada bank yang ditetapkan.
136
41. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat DPA
SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan dan
belanja SKPD atau dokumen yang memuat
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan SKPD yang
melaksanakan fungsi bendahara umum daerah yang
digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh
pengguna anggaran.
42. Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat
SPD adalah dokumen yang menyatakan tersedianya
dana sebagai dasar penerbitan surat permintaan
pembayaran atas pelaksanaan APBD.
43. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya
disingkat SPP adalah dokumen yang digunakan untuk
mengajukan permintaan pembayaran.
44. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah
uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang
diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk
membiayai Kegiatan operasional pada satuan kerja
perangkat daerah/unit satuan kerja perangkat daerah
dan/atau untuk membiayai pengeluaran yang
menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan
melalui mekanisme pembayaran langsung.
45. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat LS
adalah Pembayaran Langsung kepada bendahara
pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar
perjanjian kerja, surat tugas, dan/atau surat perintah
kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah
membayar langsung.
46. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut
137
TU adalah tambahan uang muka yang diberikan
kepada bendahara pengeluaran/bendahara
pengeluaran pembantu untuk membiayai pengeluaran
atas pelaksanaan APBD yang tidak cukup didanai dari
UP dengan batas waktu dalam 1 (satu) bulan.
47. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat
SPM adalah dokumen yang digunakan untuk
penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban
pengeluaran DPA SKPD.
48. Surat Perintah Membayar UP yang selanjutnya
disingkat SPM-UP adalah dokumen yang digunakan
untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas
Beban pengeluaran DPA SKPD yang dipergunakan
sebagai UP untuk mendanai Kegiatan.
49. Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang
selanjutnya disingkat SPM-GU adalah dokumen yang
digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan
dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD yang
dananya dipergunakan untuk mengganti UP yang
telah dibelanjakan.
50. Surat Perintah Membayar TU yang selanjutnya
disingkat SPM-TU adalah dokumen yang digunakan
untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas
Beban pengeluaran DPA SKPD, karena kebutuhan
dananya tidak dapat menggunakan LS dan UP.
51. Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya
disebut SPM-LS adalah dokumen yang digunakan
untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas
Beban pengeluaran DPA SKPD kepada pihak ketiga.
52. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya
138
disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan
sebagai dasar pencairan dana atas Beban APBD.
53. Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
Beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang
sah.
54. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya
disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu)
periode anggaran.
55. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib
dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak
Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang
sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau akibat lainnya yang sah.
56. Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama Bupati.
57. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan
pemerintahaan yang menjadi kewenangan Presiden
yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah
untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan
menyejahterakan masyarakat.
58. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan
Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua
Daerah.
59. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan
Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
139
60. Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk
memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
61. Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan
mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang
merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak
diperoleh setiap warga negara secara minimal.
62. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya
disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh
satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja
perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan
keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan
Pengelolaan Keuangan Daerah pada umumnya.
63. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya
disingkat SKPD adalah unsur perangkat daerah pada
Pemerintah Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan Daerah.
64. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang
selanjutnya disingkat SKPKD adalah unsur penunjang
Urusan Pemerintahan pada Pemerintah Daerah yang
melaksanakan Pengelolaan Keuangan Daerah.
65. Unit SKPD adalah bagian SKPD yang melaksanakan 1
(satu) atau beberapa Program.
66. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA
adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsi SKPD
yang dipimpinnya.
67. Kuasa PA yang selanjutnya disingkat KPA adalah
pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan
140
sebagian kewenangan PA dalam melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi SKPD.
68. Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya
disingkat TAPD adalah tim yang bertugas menyiapkan
dan melaksanakan kebijakan Bupati dalam rangka
penyusunan APBD.
69. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya
disingkat PPKD adalah kepala SKPKD yang
mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD
dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
70. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat
BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas
sebagai BUD.
71. Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk
melaksanakan tugas BUD.
72. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya
disingkat PPTK adalah pejabat pada Unit SKPD yang
melaksanakan 1 (satu) atau beberapa Kegiatan dari
suatu Program sesuai dengan bidang tugasnya.
73. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PPK
SKPD adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata
usaha keuangan pada SKPD.
74. Pejabat Penatausahaan Keuangan Unit SKPD yang
selanjutnya disebut PPK Unit SKPD adalah pejabat
yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada
unit SKPD.
75. Bendahara Penerimaan adalah pejabat yang ditunjuk
untuk menerima, menyimpan, menyetorkan,
menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
uang Pendapatan Daerah dalam rangka pelaksanaan
141
APBD pada SKPD.
76. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat yang ditunjuk
menerima, menyimpan, membayarkan,
menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
uang untuk keperluan Belanja Daerah dalam rangka
pelaksanaan APBD pada SKPD.
77. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan
atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
78. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat
BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
79. Anggaran Kas adalah perkiraan arus kas masuk yang
bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas
keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup
guna mendanai pelaksanaan APBD dalam setiap
periode.
80. Standar Akuntansi Pemerintahan yang selanjutnya
disingkat SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang
diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan
keuangan pemerintah.
81. Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah adalah
prinsip, dasar, konvensi, aturan dan praktik spesifik
yang dipilih oleh Pemerintah Daerah sebagai pedoman
dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan
Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan
142
pengguna laporan keuangan dalam rangka
meningkatkan keterbandingan laporan keuangan
terhadap anggaran, antar periode maupun antar
entitas.
82. Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah yang
selanjutnya disingkat SAPD adalah rangkaian
sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan
dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi
sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan
keuangan di lingkungan organisasi Pemerintahan
Daerah.
83. Bagan Akun Standar yang selanjutnya disingkat BAS
adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait
transaksi keuangan yang disusun secara sistematis
sebagai pedoman dalam pelaksanaan anggaran dan
pelaporan keuangan Pemerintah Daerah.
84. Hari adalah hari kerja.
➢ Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah.
Berdasarkan BAB II Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah maka telah diatur mengenai
ruang lingkup Pengelolaan keuangan daerah yang terdiri atas:
a. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah;
b. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah;
143
c. PPKD;
d. PA;
e. KPA;
f. PPTK SKPD;
g. PPK SKPD;
h. PPK Unit SKPD;
i. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran; dan
j. TAPD.
Untuk itu dalam pengaturan pengelolaan keuangan daerah perlu
dirumuskan dalam peraturan daerah dengan memperhatikan ruang
lingkup yang telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12
tahun 2019 khususnya dalam BAB II.
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam peraturan daerah yang nantinya akan diatur tentang pengelolaan
keuangan daerah perlu ditentukan bahwa, Bupati merupakan pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah beserta dengan kewenangan
apa saja yang dimiliki kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah
tersebut. Pengaturan mengenai kewenangan tersebut dimaksudkan agar
Bupati sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dapat memiliki dasar yang standar dalam melaksanakan fungsinya. Di
sisi lain juga dimaksudkan agar terdapat pembagian yang jelas dalam
hal kewenangan dari masing-masing unsur yang terlibat dalam
144
pengelolaan keuangan daerah. Penentuan kewenangan bupati sebagai
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat didasarkan
pada kewenangan yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Pasal 5 ayat (2) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Dimana dalam ketentuan
kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa Pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Daerah berwenang dan bertanggung jawab:
a. menyusun rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, rancangan
Peraturan Daerah tentang perubahan APBD, dan rancangan
Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD;
b. mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD,
rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan APBD, dan
rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
c. menetapkan Peraturan Daerah tentang APBD, rancangan
Peraturan Daerah tentang perubahan APBD, dan rancangan
Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menetapkan kebijakan terkait Pengelolaan Keuangan Daerah;
e. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak terkait
Pengelolaan Keuangan Daerah yang sangat dibutuhkan oleh
Daerah dan/atau masyarakat;
145
f. menetapkan kebijakan pengelolaan APBD;
g. menetapkan KPA;
h. menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran;
i. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah;
j. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan Utang
dan Piutang Daerah;
k. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas
tagihan dan memerintahkan pembayaran;
l. menetapkan pejabat lainnya dalam rangka Pengelolaan Keuangan
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
m. melaksanakan kewenangan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Untuk itu sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik
daerah, maka bupati perlu dibantu oleh pejabat-pejabat yang secara
teknis akan melaksanakan pengelolaan dalam hal menguji dan
menerima atau mengeluarkan uang sebagaimana dimaksud. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam Pasal 4 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor
12 tahun 2019 dan Pasal 5 ayat 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pelaksana teknis
pengelolaan keuangan daerah yang akan membantu Bupati (Kepala
Daerah) dalam melaksanakan kewenangannya yaitu:
146
a. koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah;
b. PPKD; dan
c. PA.
Hal tersebut diatas merupakan pedoman dalam peraturan pemerintah
dan peraturan menteri dalam negeri dimana telah diatur rincian
kewenangan dan tanggung jawab masing-masing unsur yang telah
disebutkan di atas. Sehingga dalam peraturan daerah penormaannya
dapat mengikuti pengaturan tersebut.
Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Sekertaris Daerah selaku Koordinator pengelolaan keuangan daerah
merupakan salah satu pejabat perangkat daerah yang membantu tugas
kepala daerah, berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 tahun 2006 telah diatur koordinator pengelolaan
keuangan daerah beserta tugasnya yaitu:
(1) Sekretaris Daerah adalah Koordinator Pengelolaan Keuangan
Daerah
(2) Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah memiliki tugas:
a. koordinasi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah;
b. koordinasi di bidang penyusunan rancangan APBD, rancangan
perubahan APBD, dan rancangan pertanggungjawaban
147
pelaksanaan APBD;
c. koordinasi penyiapan pedoman pelaksanaan APBD;
d. memberikan persetujuan pengesahan DPA SKPD;
e. koordinasi pelaksanaan tugas lainnya di bidang Pengelolaan
Keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
f. memimpin TAPD.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya koordinator Pengelolaan Keuangan
Daerah bertanggung jawab kepada Bupati.
Melihat ketentuan yang telah diatur diatas maka dalam penyusunan
peraturan daerah perlu diatur mengenai tugas tugas dari kooordinator
pengelolaan keuangan daerah.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
PPKD yang merupakan Bendahara Umum Daerah yang memiliki tugas
dan kewenangan yang diberikan oleh kepala daerah, hal tersebut sangat
jelas diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019
dan Pasal 7 dimana:
(1) PPKD mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan Pengelolaan Keuangan
Daerah;
b. menyusun rancangan Peraturan Daerah tentang APBD,
148
rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan
Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD;
c. melaksanakan pemungutan Pendapatan Daerah yang telah
diatur dalam Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi BUD; dan
e. melaksanakan tugas lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang:
a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan DPA SKPD;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan
dan pengeluaran kas umum daerah;
e. melaksanakan pemungutan pajak Daerah;
f. menetapkan SPD;
g. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan
atas nama Pemerintah Daerah;
h. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan Keuangan
Daerah;
i. menyajikan informasi Keuangan Daerah; dan
j. melakukan pencatatan dan pengesahan dalam hal penerimaan
dan Pengeluaran Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
149
perundang- undangan, tidak dilakukan melalui Rekening Kas
Umum Daerah.
Sebagai pengaturan lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
mengatur lebih rinci lagi mengenai unsur-unsur yang secara langsung
terlibat dalam pengelolaan Keuangan daerah sebagaimana
dimaksudkan. Selain pejabat sebagaimana disebutkan di atas, dalam
Peraturan Pemerintah dan peraturan menteri dalam negeri dimaksud
menambahkan PPKD selaku BUD mengusulkan lebih dari 1 pejabat
kepada Bupati sebagai kuasa BUD yang bertanggung jawab kepada
PPKD selaku BUD di lingkungan SKPKD dengan pertimbangan besaran
jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang
kendali yang meiliki tugas:
a. menyiapkan Anggaran Kas;
b. menyiapkan SPD;
c. menerbitkan SP2D;
d. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh
bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;
e. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan APBD;
f. menyimpan uang Daerah;
g. melaksanakan penempatan uang Daerah dan mengelola/
menatausahakan investasi;
150
h. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan PA/KPA atas
Beban APBD;
i. melaksanakan Pemberian Pinjaman Daerah atas nama Pemerintah
Daerah;
j. melakukan pengelolaan Utang dan Piutang Daerah; dan
k. melakukan penagihan Piutang Daerah.
Sebagai pedoman, dalam peraturan pemerintah dan peraturan
menteri dalam negeri ini telah diatur rincian kewenangan dan tanggung
jawab masing-masing unsur yang disebutkan di atas. Sehingga dalam
peraturan daerah penormaannya dapat mengikuti pengaturan tersebut.
Pengguna Anggaran
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 12 tahun 2019 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 bahwa Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna
Anggaran mempunyai tugas menyusun RKA SKPD, menyusun DPA
SKPD, melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas
Beban anggaran belanja, melaksanakan anggaran SKPD yang
dipimpinnya, melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan
pembayaran, melaksanakan pemungutan retribusi daerah, mengadakan
ikatan/perjanjian kerja sama dengan pihak lain dalam batas anggaran
yang telah ditetapkan, menandatangani SPM, mengelola Utang dan
Piutang Daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya,
151
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang
dipimpinnya, mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang
dipimpinnya, menetapkan PPTK dan PPK SKPD, menetapkan pejabat
lainnya dalam SKPD yang dipimpinnya dalam rangka Pengelolaan
Keuangan Daerah, dan melaksanakan tugas lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan PA bertanggung jawab
atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada Bupati melalui
Sekretaris Daerah
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dari Pengguna Anggaran
tersebut diatas maka dalam rancangan peraturan daerah harus
mengatur tentang tugas dan kewajibannya dari pejabat pengguna
anggaran mengacu pada peraturan yang berlaku.
Kuasa Pengguna Anggaran
Dalam pelaksanaan tugas pejabat PA dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada kepala Unit SKPD selaku KPA berdasarkan
pertimbangan besaran anggaran kegiatan, lokasi, dan/atau rentang
kendali yang ditetapkan oleh Bupati atas usul kepala SKPD.
Berdasarkan Pasal 11 ayat 2 PP nomor 12 Tahun 2019 Pelimpahan
kewenangan tersebut meliputi:
a. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas Beban
anggaran belanja;
b. melaksanakan anggaran Unit SKPD yang dipimpinnya;
152
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan
pembayaran;
d. mengadakan ikatan/perjanjian kerja sama dengan pihak lain
dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;
e. melaksanakan pemungutan retribusi daerah;
f. mengawasi pelaksanaan anggaran yang menjadi tanggung
jawabnya; dan
g. melaksanakan tugas KPA lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(PPTK SKPD)
Dalam rancangan peraturan daerah Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara tentang pengelolaan keuangan daerah sangat perlu diatur
mengenai PPTK SKPD sebagaimana yang telah diatur dalam PP Nomor
12 tahun 2019 Pasal 12 dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 Pasal
12 untuk membantu tugas dan wewenang PA/KPA, dimana PPTK ini
merupakan Pegawai ASN yang menduduki jabatan structural atau
sesuai dengan tugas dan fungsinya pejabat fungsional umum selaku
PPTK yang kriterianya ditetapkan Bupati
PPK SKPD
153
Dalam melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD, maka
kepala SKPD selaku PA menetapkan PPK SKPD/ unit SKPD yang tidak
merangkap sebagai pejabat dan pegawai yang bertugas melakukan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, Bendahara Penerimaan,
Bendahara Pengeluaran, dan/atau PPTK yang mempunyai tugas dan
wewenang sebagai berikut:
a. melakukan verifikasi SPP-UP, SPP-GU, SPP-TU, dan SPP-LS beserta
bukti kelengkapannya yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran;
b. menyiapkan SPM, dan SPM-LS, berdasarkan SPP-TU dan SPP-LS
yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran pembantu; dan;
c. melakukan verifikasi laporan pertanggungjawaban Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran;
d. melaksanakan fungsi akuntansi pada SKPD; dan
e. menyusun laporan keuangan SKPD
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang dari PPK SKPD
diatas telah diatur dalam Pasal 14 ayat 2, Pasal 15 ayat 2 PP Nomor 12
tahun 2019 dan Pasal 13 ayat 2 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Dalam melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran pendapatan pada SKPD atas usul PPKD selaku BUD maka
Bupati menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
yang masing-masing memiliki tugas dan wewenangnya sebagaimana
154
yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat 2 PP Nomor 12 Tahun 2019
bahwa Bendahara Penerima memiliki tugas dan wewenang menerima,
menyimpan, menyetor ke Rekening Kas Umum Daerah,
menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan Pendapatan Daerah
yang diterimanya. Sedangkan Tugas dan wewenang dari Bandahara
Penerima menurut Pasal 19 ayat 2 PP Nomor 12 Tahun 2019 yaitu:
a. mengajukan permintaan pembayaran menggunakan SPP UP, SPP
GU, SPP TU, dan SPP LS;
b. menerima dan menyimpan UP, GU, dan TU;
c. melaksanakan pembayaran dari UP, GU, dan TU yang dikelolanya;
d. menolak perintah bayar dari PA yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan;
e. meneliti kelengkapan dokumen pembayaran;
f. membuat laporan pertanggungjawaban secara administratif kepada
PA dan laporan pertanggungjawaban secara fungsional kepada BUD
secara periodik; dan
g. memungut dan menyetorkan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bendahara
Penerima dan Bendahara Pengeluaran mengusulkan kepada Kepala
SKPD dapat menetapkan pegawai yang bertugas membantu Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran untuk meningkatkan efektifitas
pengelolaan Pendapatan Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 PP
155
Nomor 12 Tahun 2019 menegaskan bahwa Bendahara Penerimaan dan
Bendahara Pengeluaran dilarang:
a. melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan, dan
penjualan jasa;
b. bertindak sebagai penjamin atas kegiatan, pekerjaan, dan/atau
penjualan jasa; dan
c. menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya
atas nama pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
TAPD
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2019 bahwa dalam proses penyusunan APBD, Kepala Daerah
dibantu oleh TAPD yang dipimpin oleh sekretaris daerah yang terdiri
atas Pejabat Perencana Daerah, PPKD, dan pejabat lain sesuai dengan
kebutuhan yang memiliki tugas membahas kebijakan Pengelolaan
Keuangan Daerah, menyusun dan membahas rancangan KUA dan
rancangan perubahan KUA, menyusun dan membahas rancangan PPAS
dan rancangan perubahan PPAS, melakukan verifikasi RKA SKPD,
membahas rancangan APBD, rancangan perubahan APBD, dan
rancangan pertanggungjawaban APBD, membahas hasil evaluasi APBD,
perubahan APBD, dan Pertanggungjawaban APBD, melakukan verifikasi
rancangan DPA SKPD dan rancangan perubahan DPA SKPD,
menyiapkan surat edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan
156
RKA, melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
➢ APBD
Sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 23 sampai
dengan Pasal 26 PP Nomor 12 Tahun 2019 bahwa pada dasarnya
seluruh APBD yang merupakan dasar Pengelolaan Keuangan Daerah
yang disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan Daerah yang menjadi kewenangan Daerah dan
kemampuan Pendapatan Daerah dengan mempedomani KUA PPAS yang
didasarkan pada RKPD yang memiliki fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Sehingga APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan. Selanjutnya dalam setiap anggaran
APBD menggunakan mata uang rupiah untuk setiap penerimaaan
daerah dan pengeluaran daerah. Dimana penerimaan daerah sendiri
terdiri atas pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah
yang merupakan rencana Penerimaan Daerah yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber Penerimaan Daerah
dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan,
sedangkan untuk pengeluaran daerah yang dianggarkan dalam APBD
terdiri atas belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah yang
157
merupakan rencana Pengeluaran Daerah sesuai dengan kepastian
tersedianya dana atas Penerimaan Daerah dalam jumlah yang cukup
serta harus memiliki dasar hukum yang melandasinya.
Struktur APBD
Dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya dalam menyusun
APBD diperlukan struktur APBD dimana APBD merupakan satu
kesatuan yang terdiri atas:
1. Pendapatan Daerah yang meliputi semua penerimaan uang melalui
Rekening Kas Umum Daerah yang tidak perlu dibayar kembali oleh
Daerah dan penerimaan lainnya yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan diakui sebagai penambah ekuitas
yang merupakan hak daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
2. Belanja Daerah yang meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas
Umum Daerah yang tidak perlu diterima kembali oleh Daerah dan
pengeluaran lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan diakui sebagai pengurang ekuitas yang
merupakan kewajiban Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
3. dan Pembiayaan daerah yang meliputi semua penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali,
baik pada tahun anggaran berkenaan maupun pada tahun anggaran
berikutnya.
Semuanya diklasifikasikan menurut Urusan Pemerintahan Daerah
dan organisasi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
158
perundang-undangan dan kebutuhan daerah. Hal tersebut sangat
jelas telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 PP Nomor 12 Tahun
2019 dan juga telah diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
khususnya dalam Pasal 22 dan Pasal 23
Pendapatan Daerah
Berdasarkan ketentuan PP Nomor 12 tahun 2019 mengatur mengenai
Pendapatan daerah yang dirinci menurut Urusan Pemerintahan Daerah,
organisasi, jenis, obyek, dan rincian obyek Pendapatan Daerah. Untuk
itu dalam rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan
daerah sangat perlu diatur mengenai pendapatan daerah, dimana
pendapatan daerah yang diatur dalam PP ini meliputi:
1. Pendapatan asli Daerah yang terdiri atas :
a. pajak daerah dan retribusi daerah yang meliputi pendapatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah
b. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang
merupakan Penerimaan Daerah atas hasil penyertaan modal
daerah dan
c. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang terdiri atas:
- hasil penjualan BMD yang tidak dipisahkan;
- hasil pemanfaatan BMD yang tidak dipisahkan;
- hasil kerja sama daerah
159
- jasa giro;
- hasil pengelolaan dana bergulir;
- pendapatan bunga;
- penerimaan atas tuntutan ganti kerugian Keuangan Daerah;
- penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat
penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi, dan/atau pengadaan
barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai
akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil
pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya merupakan
Pendapatan Daerah;
- penerimaan keuntungan dan selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing;
- pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
- pendapatan denda pajak daerah;
- pendapatan denda retribusi daerah;
- pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
- pendapatan dari pengembalian;
- pendapatan dan BLUD; dan
- pendapatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Pendapatan transfer yang meliputi:
a. transfer Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
- dana perimbangan yang didalamnya terdiri atas
160
(1) Dana transfer umum yang meliputi DBH dan DAU,
(2) Dana Transfer Khusus yang meliputi DAK khusus dan DAK
Non khusus
- dana insentif Daerah dan dana desa
b. Transfer antar-daerah terdiri atas pendapatan bagi hasil dan
bantuan keuangan.
3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah meliputi:
a. hibah;
b. dana darurat; dan/atau
c. lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang
berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain, masyarakat,
dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat
untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan Dana darurat merupakan dana yang
diberikan kepada Daerah pada tahap pasca bencana untuk mendanai
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana yang tidak
mampu ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber
APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belanja Daerah
161
Belanja daerah yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b PP
Nomor 12 Tahun 2019 untuk mendanai pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib yang terdiri juga atas terkait Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan
Dasar, dan juga Urusan Pemerintahan Pilihan sesuai dengan potensi
yang dimiliki daerah yang berpedoman pada analisis standar belanja,
dan/atau standar teknis yaitu standar harga satuan regional yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka
untuk menyusun rencana kerja dan anggaran dalam penyusunan
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Untuk itu Urusan
Pemerintahan Daerah harus diselaraskan dan dipadukan dengan
belanja negara yang diklasifikasikan menurut fungsi yang antara lain
terdiri atas:
a. pelayanan umum;
b. ketertiban dan keamanan;
c. ekonomi;
d. perlindungan lingkungan hidup;
e. perumahan dan fasilitas umum;
f. kesehatan;
g. pariwisata;
h. pendidikan; dan
i. perlindungan sosial.
162
Di dalam Belanja daerah menurut program dan kegiatan rinciannya
paling sedikit mencakup target dan Sasaran, indikator capaian
Keluaran, indikator capaian Hasil. Nomenklatur Program dalam Belanja
Daerah serta indikator capaian Hasil dan indikator capaian Keluaran
yang didasarkan pada prioritas nasional disusun berdasarkan
nomenklatur Program dan pedoman penentuan indikator Hasil dan
indikator Keluaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya dalam peraturan daerah yang nantinya akan dibuat perlu
diatur mengenai klasifikasi belanja daerah sebagaiman yang telah diatur
dalam PP Nomor 12 Tahun 2019 yang terdiri atas:
a. belanja operasi yang merupakan pengeluaran anggaran untuk
Kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat
jangka pendek.
b. belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan
aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari 1 (satu)
periode akuntansi
c. belanja tidak terduga merupakan pengeluaran anggaran atas Beban
APBD untuk keperluan darurat termasuk keperluan mendesak yang
tidak dapat diprediksi sebelumnya
d. belanja transfer merupakan pengeluaran uang dari Pemerintah
Daerah kepada pemerintah daerah lainnya dan/atau dari Pemerintah
Daerah kepada pemerintah desa
163
Sedangkan untuk Belanja operasi dapat dirinci atas jenis:
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa;
c. belanja bunga;
d. belanja subsidi;
e. belanja hibah; dan
f. belanja bantuan sosial.
Belanja transfer dirinci atas jenis:
a. belanja bagi hasil; dan
b. belanja bantuan keuangan.
Dalam Belanja pegawai digunakan untuk menganggarkan
kompensasi yang diberikan kepada Bupati/Wakil Bupati,
pimpinan/anggota DPRD, dan Pegawai ASN, dan untuk Belanja
Pegawai ASN dianggarkan pada belanja SKPD. Oleh karena itu
Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada
Pegawai ASN Daerah dengan memperhatikan kemampuan Keuangan
Daerah dan memperoleh persetujuan DPRD, untuk Tambahan
penghasilan diberikan berdasarkan pertimbangan beban kerja, tempat
bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau
pertimbangan objektif lainnya. Hasl tersebut diatas diatur dengan
Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Belanja barang dan jasa digunakan untuk menganggarkan
164
pengadaan barang/jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua
belas) bulan, termasuk barang/jasa yang akan diserahkan atau dijual
kepada masyarakat/pihak ketiga dalam rangka melaksanakan Program
dan Kegiatan Pemerintahan Daerah.
Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga Utang yang dihitung atas kewajiban pokok Utang berdasarkan
perjanjian pinjaman.
Belanja subsidi digunakan agar harga jual produksi atau jasa
yang dihasilkan oleh badan usaha milik negara, BUMD dan/atau
badan usaha milik swasta yang merupakan badan yang menghasilkan
produk atau jasa Pelayanan Dasar masyarakat yang nantinya akan
diberikan subsidi terlebih dahulu dilakukan audit keuangan oleh
kantor akuntan publik sesuai untuk menjadi bahan pertimbangan
untuk memberikan subsidi. Untuk itu dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, penerima subsidi wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi
kepada Bupati. Sehingga Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian dan pertanggungjawaban subsidi diatur dalam Peraturan
Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belanja hibah diberikan kepada Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau badan
dan lembaga, serta organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,
165
bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus
menerus setiap tahun anggaran. Selanjutnya dalam Pemberian hibah
ditujukan untuk menunjang pencapaian Sasaran Program dan
Kegiatan Pemerintah Daerah sesuai kepentingan Daerah dalam
mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat. Untuk Belanja hibah
dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan Keuangan
Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali
ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan
pemberian bantuan berupa uang dan/atau barang kepada individu,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara
terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial, kecuali dalam keadaan tertentu
dimana bantuan sosial dapat diberikan setiap tahun anggaran sampai
penerima bantuan telah lepas dari resiko sosial dapat berkelanjutan.
Untuk belanja bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan
kemampuan Keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan,
kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
166
perundang-undangan.
Didalam klasifikasi belanja daerah yang didalamnya terdapat
belanja modal untuk menganggarkan pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pengadaan aset tetap dan aset lainnya.Untuk kriteria
pengadaan aset tetap terdiri atas:
a. mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;
b. digunakan dalam Kegiatan Pemerintahan Daerah; dan
c. batas minimal kapitalisasi aset.
Yang selanjutnya Aset tetap dianggarkan dalam belanja modal sebesar
harga beli atau bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait
dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset siap digunakan
dan diatur dalam Peraturan Bupati.
Untuk pengaturan mengenai Belanja modal sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 65 dapat berupa:
a. belanja tanah, digunakan untuk menganggarkan tanah yang diperoleh
dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional Pemerintah
Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;
b. belanja peralatan dan mesin, digunakan untuk menganggarkan
peralatan dan mesin mencakup mesin dan kendaraan bermotor, alat
elektronik, inventaris kantor, dan peralatan lainnya yang nilainya
signifikan dan masa manfaatnya lebih dan 12 (dua belas) bulan dan
dalam kondisi siap pakai;
167
c. belanja bangunan dan gedung, digunakan untuk menganggarkan
gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang
diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;
d. belanja jalan, irigasi, dan jaringan, digunakan untuk menganggarkan
jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan, irigasi, dan jaringan yang
dibangun oleh Pemerintah Daerah serta dimiliki dan/atau dikuasai
oleh Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;
e. belanja aset tetap lainnya, digunakan untuk menganggarkan aset tetap
lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok aset tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf d, yang diperoleh dan dimanfaatkan untuk
kegiatan operasional Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap
dipakai; dan
f. belanja aset lainnya, digunakan untuk menganggarkan aset tetap yang
tidak digunakan untuk keperluan operasional Pemerintah Daerah,
tidak memenuhi definisi aset tetap, dan harus disajikan di pos aset
lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya. Belanja tanah yang
dimaksudkan digunakan untuk menganggarkan tanah yang diperoleh
dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional Pemerintah
Daerah dan dalam kondisi siap Untuk itu dalam Belanja bantuan
keuangan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 67 diberikan
kepada daerah lain dalam rangka kerja sama daerah, pemerataan
168
peningkatan kemampuan keuangan, dan/atau tujuan tertentu lainnya
dan dapat dianggarkan sesuai kemampuan Keuangan Daerah setelah
memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan serta alokasi belanja yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana badan
keuangan terdiri atas:
a. bantuan keuangan kepada Daerah kabupaten/kota lain;
b. bantuan Keuangan ke Daerah Provinsi Sulawesi Utara dan/atau Daerah
provinsi lainnya; dan/atau
c. bantuan Keuangan Daerah kepada desa.
Bantuan keuangan yang dimaksud diatas bersifat umum atau khusus dan
untuk Peruntukan dan pengelolaan bantuan keuangan yang bersifat umum
diserahkan kepada pemerintah daerah penerima bantuan, sedangkan
Peruntukan bantuan keuangan yang bersifat khusus ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dan pengelolaannya diserahkan kepada penerima bantuan
yang dapat mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau
anggaran pendapatan dan belanja desa penerima bantuan.
Berdasarkan PAsal 68 maka perlu diatur mengenai Belanja tidak terduga yang
merupakan pengeluaran anggaran atas Beban APBD untuk keadaan darurat
termasuk keperluan mendesak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan serta pengembalian atas kelebihan pembayaran atas Penerimaan
169
Daerah tahun-tahun sebelumnya. Dan apabila dalam hal belanja tidak terduga
tidak mencukupi, dapat menggunakan
a. dana dari hasil penjadwalan ulang capaian Program dan Kegiatan
lainnya serta pengeluaran Pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan;
dan/atau
b. kas yang tersedia.
Untuk Penjadwalan ulang capaian Program dan Kegiatan diformulasikan
terlebih dahulu dalam Perubahan DPA SKPD.
Selanjutnya berdasarkan PAsal 69, maka dalam pengaturan Belanja tidak
terduga yang digunakan dalam keadaan darurat meliputi:
a. bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial dan/atau kejadian
luar biasa;
b. pelaksanaan operasi pencarian dan pertolongan; dan/atau
c. kerusakan sarana/prasarana yang dapat mengganggu kegiatan
pelayanan publik.
Sedangkan untuk Keperluan mendesak meliputi:
a. kebutuhan Daerah dalam rangka Pelayanan Dasar masyarakat yang
anggarannya belum tersedia dalam tahun anggaran berjalan;
b. Belanja Daerah yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib;
c. Pengeluaran Daerah yang berada diluar kendali Pemerintah Daerah dan
tidak dapat diprediksikan sebelumnya, serta amanat peraturan
perundang- undangan; dan/atau
d. Pengeluaran Daerah lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan
170
kerugian yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan/atau
masyarakat.
Untuk itu Kriteria keadaan darurat dan keperluan mendesak ditetapkan
dalam Peraturan Daerah tentang APBD tahun berkenaan. Sehingga
Pengeluaran untuk mendanai keadaan darurat yang belum tersedia
anggarannya, diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA SKPD, kecuali
untuk kebutuhan tanggap darurat bencana, konflik sosial, dan/atau
kejadian luar biasa. Dalam hal ini Belanja untuk kebutuhan tanggap darurat
bencana, konflik sosial, dan/atau kejadian luar biasa yang digunakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Dan untuk Pengeluaran
untuk mendanai keperluan mendesak yang belum tersedia anggarannya
dan/atau tidak cukup tersedia anggarannya, diformulasikan terlebih dahulu
dalam RKA SKPD dan/atau Perubahan DPA SKPD.
Dengan demikian dalam pengaturan mengenai Belanja Daerah yang
telah disebutkan diatas , hal yang perlu diatur yakni berkaitan dengan
pendanaan dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah. Hal ini telah
dipedomani pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2019 sehingga untuk penormaan dalam peraturan daerah dapat disesuaikan.
Pembiayaan Daerah
Berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 70 maka pembiayaan
daerah perlu diatur dalam rancangan peraturan daerah ini, dimana
pembiayaan daerah terdiri atas:
171
a. penerimaan Pembiayaan; dan
b. pengeluaran Pembiayaan.
Dalam Pembiayaan daerah dapat dirinci menurut Urusan Pemerintahan
daerah, organisasi, jenis, obyek, dan rincian obyek Pembiayaan daerah. Untuk
Penerimaan Pembiayaan daerah bersumber dari:
a. SiLPA;
b. pencairan Dana Cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan Pinjaman Daerah;
e. penerimaan kembali Pemberian Pinjaman Daerah; dan/atau
f. penerimaan Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan dapat digunakan untuk
Pembiayaan: a. pembayaran cicilan pokok Utang yang jatuh tempo;
b. penyertaan modal daerah;
c. pembentukan Dana Cadangan;
d. Pemberian Pinjaman Daerah; dan/atau
e. pengeluaran Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
SElanjutnya Pembiayaan neto merupakan selisih penerimaan Pembiayaan
terhadap pengeluaran Pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit
anggaran
172
Penerimaaan Pembiayaan
Penerimaan pembiayaan yang dimuat dalam peraturan daerah perlu
menyesuaikan pada ketentuan yang ada dalam PP Nomor 12 tahun 2019 dan
juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Dimana SiLPA
merupakan penerimaan pembiayaan daerah yang bersumber dari:
a. pelampauan penerimaan PAD;
b. pelampauan penerimaan pendapatan transfer;
c. pelampauan penerimaan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah;
d. pelampauan penerimaan Pembiayaan;
e. penghematan belanja;
f. kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum
terselesaikan; dan/atau
g. sisa dana akibat tidak tercapainya capaian target Kinerja dan sisa dana
pengeluaran Pembiayaan
Dalam hal Pencairan Dana Cadangan yang bersumber dari penerimaan
pembiayaan daerah digunakan untuk menganggarkan pencairan Dana
Cadangan dari rekening Dana Cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah
yang penerimaan Pembiayaan APBD dalam tahun anggaran berkenaan.
Selanjutnya Dana Cadangan belum digunakan sesuai dengan peruntukannya,
dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil
tetap dengan risiko rendah, dimana Posisi Dana Cadangan dilaporkan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggungjawaban APBD, untuk
itu Penggunaan atas Dana Cadangan yang dicairkan dari rekening Dana
173
Cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah dianggarkan dalam SKPD
pengguna Dana Cadangan bersangkutan, kecuali ditentukan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan yang telah
disebutkan diatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, maka Penerimaan atas hasil penjualan kekayaan daerah harus
dicatat berdasarkan bukti penerimaan yang sah. Sehingga Penerimaan
Pinjaman Daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam
tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian
pinjaman bersangkutan.
Selanjutnya untuk Penerimaan kembali Pemberian Pinjaman Daerah
digunakan untuk menganggarkan penerimaan kembali pinjaman yang
diberikan kepada pihak penerima pinjaman, dan untuk Penerimaan
Pembiayaan lainnya digunakan untuk menganggarkan penerimaan
Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pengeluaran Pembiayaan
Berdasarkan Pasal 77 dalam PP Niomor 12 tahun 2019 Pengeluaran
pembiayaan merupakan Pembayaran cicilan pokok utang digunakan untuk
menganggarkan pembayaran pokok Utang yang didasarkan pada jumlah yang
harus dibayarkan sesuai dengan perjanjian pinjaman dan pelaksanaannya
merupakan prioritas utama dan seluruh kewajiban Pemerintah Daerah yang
harus diselesaikan dalam tahun anggaran berkenaan berdasarkan perjanjian
174
pinjaman.Dalam pelaksanaan pengeluaran pembiayaan Daerah dapat
melakukan penyertaan modal pada BUMD dan/atau badan usaha milik
negara dan juga dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan
dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam Perda mengenai
penyertaan modal daerah bersangkutan, yang ditetapkan sebelum persetujuan
bersama antara Kepala Daerah dan DPRD atas rancangan Perda tentang APBD
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dimana Pemenuhan penyertaan modal pada tahun sebelumnya tidak
diterbitkan Perda tersendiri sepanjang jumlah anggaran penyertaan modal
tersebut tidak melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan
dengan Perda mengenai penyertaan modal bersangkutan. Dalam hal
Pemerintah Daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi
jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dengan Perda mengenai
penyertaan modal, Pemerintah Daerah melakukan perubahan Perda mengenai
penyertaan modal yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya untuk dana cadangan penggunaannya diprioritaskan untuk
mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana Daerah yang tidak
dapat dibebankan dalam 1 (satu) tahun anggaran, dan juga untuk mendanai
kebutuhan lainnya. Sedangkan untuk dana cadangan tersebut bersumber dan
penyisihan atas Penerimaan Daerah kecuali dari DAK, Pinjaman Daerah, dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan untuk
175
dana cadangan ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas
Umum Daerah, maka dalam Pembentukan Dana Cadangan ditetapkan dalam
Perda tentang pembentukan Dana Cadangan yang ditetapkan sebelum
persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD atas rancangan Perda
tentang APBD.
Selanjutnya dalam Pemberian Pinjaman Daerah digunakan untuk
menganggarkan Pemberian Pinjaman Daerah yang diberikan kepada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, BUMD, badan usaha milik
negara, koperasi, dan/atau masyarakat yang dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan DPRD dan kemudian menjadi bagian yang disepakati dalam KUA
dan PPAS. Untuk itu dalam Ketentuan mengenai tata cara Pemberian
Pinjaman Daerah perlu diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Surplus dan Defisit
Berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2019 Pasal 84 sampai dengan Pasal 88
dalam pengelolaan keuangan tentunya secara otomatis terdapat Selisih antara
anggaran Pendapatan Daerah dengan anggaran Belanja Daerah
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD untuk itu APBD dapat
digunakan untuk pengeluaran Pembiayaan Daerah dan juga penerimaan
pembiayaan daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Penggunaan surplus APBD diutamakan untuk:
a. pembayaran cicilan pokok Utang yang jatuh tempo;
176
b. penyertaan modal Daerah;
c. pembentukan Dana Cadangan;
d. Pemberian Pinjaman Daerah; dan/atau
e. pengeluaran Pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Sedangkan untuk Defisit APBD harus dapat ditutup dari Pembiayaan neto
yang merupakan selisih antara penerimaan Pembiayaan dengan pengeluaran
Pembiayaan. Dengan demikian Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi
surplus atau defisit APBD kepada Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan setiap semester
dalam tahun anggaran berkenaan.
Penyusunan Rancangan APBD
Dalam pelaksanaan penyusunan rancangan APBD sangat jelas dimuat dalam
PP Nomor 12 Tahun 2019 khususnya dalam BAB IV. Untuk itu dalam
pelaksanaan penyusunan rancangan APBD kepala daerah menyusun
rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD dengan mengacu
pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perencanaan pembangunan nasional dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Dimana dalam
Rancangan KUA tersebut memuat:
a. kondisi ekonomi makro daerah;
177
b. asumsi penyusunan APBD;
c. kebijakan Pendapatan Daerah;
d. kebijakan Belanja Daerah;
e. kebijakan Pembiayaan Daerah; dan
f. strategi pencapaian.
Selanjutnya untuk Rancangan PPAS disusun dengan tahapan:
a. menentukan skala prioritas pembangunan daerah;
b. menentukan prioritas Program dan Kegiatan untuk masing-masing urusan
yang disinkronkan dengan prioritas dan program nasional yang tercantum
dalam rencana kerja Pemerintah Pusat setiap tahun; dan
c. menyusun capaian Kinerja, Sasaran, dan plafon anggaran sementara untuk
masing-masing Program dan Kegiatan.
Dalam menyampaikan rancangan KUA dan rancangan PPAS kepala daerah
harus menyampaikan kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan Juli
untuk dibahas dan disepakati bersama antara Kepala Daerah dan DPRD,
setelah disepakati ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pimpinan DPRD
paling lambat minggu kedua bulan juli sehingga bisa menjadi pedoman bagi
perangkat daerah dalam menyusun RKA SKPD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam menentukan prioritas Program dan Kegiatan untuk
masing-masing urusan yang disinkronkan dengan prioritas dan program
nasional yang tercantum dalam rencana kerja Pemerintah Pusat setiap tahun
dalam hal rancangan PPAS maka kegiatan tersebut dapat dianggarkan untuk
178
1 (satu) tahun anggaran atau lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dalam bentuk
Kegiatan Tahun Jamak berdasarkan persetujuan Bersama antara Kepala
daerah dan DPRD yang kemudian ditandatangani Bersamaan dengan
penandatanganan KUA dan PPAS . Untuk Kegiatan Tahun Jamak harus
memenuhi kriteria paling sedikit:
a. pekerjaan konstruksi atas pelaksanaan Kegiatan yang secara teknis
merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan 1 (satu) Keluaran yang
memerlukan waktu penyelesaian lebih dan 12 (dua belas) bulan; atau
b. pekerjaan atas pelaksanaan Kegiatan yang menurut sifatnya harus tetap
berlangsung pada pergantian tahun anggaran.
Dalam persetujuan Bersama diatas paling sedikit memuat:
a. nama Kegiatan;
b. jangka waktu pelaksanaan Kegiatan;
c. jumlah anggaran; dan
d. alokasi anggaran per tahun.
Dengan demikian untuk Jangka waktu penganggaran pelaksanaan Kegiatan
Tahun Jamak tidak melampaui akhir tahun masa jabatan Kepala Daerah
berakhir, kecuali Kegiatan Tahun Jamak dimaksud merupakan prioritas
nasional dan/atau kepentingan strategis nasional sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
179
Berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2019 khususnya dalam Pasal 93 sampai
dengan Pasal 100 mengatur tentang RKA SKPD, untuk itu dalam pelaksanaan
RKA SKPD kepala SKPD menyusun RKA SKPD berdasarkan KUA dan PPAS
dengan menggunakan pendekatan :
a. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Daerah;
b. penganggaran terpadu; dan
c. penganggaran berdasarkan Kinerja
yang kemudian disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan
rancangan Perda tentang APBD sesuai dengan jadwal dan tahapan yang diatur
dalam Peraturan Menteri tentang pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan
setiap tahun. Dan apabila terdapat penambahan kebutuhan pengeluaran
akibat keadaan darurat termasuk belanja untuk keperluan mendesak, kepala
SKPD dapat menyusun RKA SKPD diluar KUA dan PPAS.
Dalam penyusunan RKA SKPD yang menggunakan pendekatan kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah Daerah dilaksanakan dengan menyusun
prakiraan maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk Program dan
Kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun
anggaran yang direncanakan dengan memadukan seluruh proses perencanaan
dan penganggaran di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen
rencana kerja dan anggaran. Untuk itu Pendekatan penganggaran
berdasarkan Kinerja dilakukan dengan memperhatikan:
a. keterkaitan antara pendanaan dengan Keluaran yang diharapkan dari
Kegiatan; b. Hasil dan manfaat yang diharapkan; dan
180
c. efisiensi dalam pencapaian Hasil dan Keluaran.
Maka Untuk terlaksananya penyusunan RKA SKPD berdasarkan pendekatan
akan terciptanya kesinambungan RKA SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil
pelaksanaan Program dan Kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya
sampai dengan semester pertama tahun anggaran berjalan. yang bertujuan
untuk menilai Program dan Kegiatan yang belum dapat dilaksanakan atau
belum diselesaikan tahun sebelumnya untuk dilaksanakan atau diselesaikan
pada tahun yang direncanakan atau 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun
yang direncanakan. Dalam hal Program dan Kegiatan merupakan tahun
terakhir untuk pencapaian prestasi kerja yang ditetapkan, kebutuhan
dananya harus dianggarkan pada tahun yang direncanakan.
Selanjutnya dalam Penyusunan RKA SKPD dengan menggunakan pendekatan
penganggaran berdasarkan Kinerja sebagaimana yang telah disebutkan diatas
harus berpedoman pada:
a. indikator Kinerja;
b. tolok ukur dan Sasaran Kinerja sesuai analisis standar belanja;
c. standar harga satuan;
d. rencana kebutuhan BMD; dan
e. Standar Pelayanan Minimal.
Untuk Indikator Kinerja yang merupakan ukuran keberhasilan yang akan
dicapai dari Program dan Kegiatan yang direncanakan meliputi masukan,
Keluaran, dan Hasil. kemudian untuk Tolok ukur Kinerja yang merupakan
ukuran prestasi kerja yang akan dicapai dan keadaan semula dengan
181
mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, efisiensi, dan efektivitas
pelaksanaan dan setiap Program dan Kegiatan. Dan untuk Sasaran Kinerja
merupakan Hasil yang diharapkan dari suatu Program atau Keluaran yang
diharapkan dan suatu Kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan
dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Dan untuk Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas
beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu Kegiatan.
Sedangkan Standar harga satuan merupakan harga satuan barang dan jasa
yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah dengan
mempertimbangkan standar harga satuan regional dimana standar Pelayanan
Minimal merupakan tolok ukur Kinerja dalam menentukan capaian jenis dan
mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang
berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Untuk itu di dalam penyusunan RKA SKPD harus memuat rencana
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan untuk tahun yang direncanakan serta
prakiraan maju untuk tahun berikutnya yang dirinci sampai dengan rincian
obyek pendapatan daerah . Dan juga memuat informasi mengenai Urusan
Pemerintahan daerah, organisasi, standar harga satuan, dan Kinerja yang
akan dicapai dari Program dan Kegiatan memuat Urusan Pemerintahan
daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek Pendapatan
Daerah. Dimana dalam Rencana pendapatan diterima oleh SKPD sesuai
dengan tugas dan fungsinya serta ditetapkan sesuai dengan ketentuan
182
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Rencana Pembiayaan
memuat kelompok yang terdiri atas:
a. penerimaan Pembiayaan yang dapat digunakan untuk menutup defisit
APBD; dan
b. pengeluaran Pembiayaan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan
surplus APBD, yang masing-masing diuraikan menurut jenis, obyek, dan
rincian obyek Pembiayaan.
Maka dalam pengaturan urusan Pemerintahan daerah memuat Urusan
Pemerintahan daerah yang dikelola sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD
mengenai tata cara penyusunan RKA SKPD diatur dalam Perda mengenai
Pengelolaan Keuangan Daerah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah
Dalam penyiapan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, perle menyesuaikan dengan PP Nomor 12 Tahun 2019
khususnya dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 103, dimana dalam
penyusunan RKA SKPD yang telah disusun oleh kepala SKPD disampaikan
kepada TAPD melalui PPKD untuk diverifikasi yang dilakukan oleh TAPD
untuk menelaah kesesuaian antara RKA SKPD dengan:
a. KUA dan PPAS;
b. Prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya;
183
c. dokumen perencanaan lainnya;
d. capaian Kinerja;
e. indikator Kinerja;
f. analisis standar belanja;
g. standar harga satuan;
h. perencanaan kebutuhan BMD;
i. Standar Pelayanan Minimal;
j. proyeksi perkiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya; dan
k. Program dan Kegiatan antar RKA SKPD.
Jika dalam hal hasil verifikasi TAPD diatas terdapat ketidaksesuaian, kepala
SKPD melakukan penyempurnaan.
Untuk itu dalam menyusun rancangan Perda tentang APBD dan dokumen
pendukung berdasarkan RKA SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala
SKPD. harus memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
a. ringkasan APBD yang diklasifikasi menurut kelompok dan jenis
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
b. ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program,
Kegiatan, kelompok, jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja dan kesesuaian menurut Urusan Pemerintahan daerah,
organisasi, Program, dan Kegiatan;
184
e. rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan
Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan
negara;
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar Piutang Daerah; h. daftar penyertaan modal daerah dan investasi
daerah lainnya;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. daftar Kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran yang direncanakan;
l. daftar Dana Cadangan; dan
m. daftar Pinjaman Daerah.
Dan untuk Dokumen pendukung terdiri atas nota keuangan dan rancangan
Perkada tentang penjabaran APBD. Dengan demikian Rancangan Perkada
tentang penjabaran APBD juga harus memuat lampiran paling sedikit terdiri
atas:
a. ringkasan penjabaran APBD yang diklasifikasi menurut kelompok, jenis,
obyek, dan rincian obyek Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan;
b. penjabaran APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi,
Program, Kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja,
dan Pembiayaan;
c. daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran hibah; dan d. daftar
nama penerima, alamat penerima, dan besaran bantuan sosial.
185
Oleh karena itu di dalam Rancangan Perda tentang APBD yang nantinya akan
disusun oleh PPKD disampaikan kepada Kepala Daerah berdasarkan
peraturan yang berlaku.
➢ Penetapan APBD
Dalam ketentuan BAB V PP Nomor 12 tahun 2019 untuk penetapan APBD
harus dilakukan Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam hal ini Kepala
Daerah yang mengajukan Ranperda tentang APBD disertai penjelasan dan
dokumen pendukung kepada DPRD paling lambat 60 (enam puluh) hari
sebelum 1 (satu) bulan tahun anggaran berakhir untuk memperoleh
persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD, dan apabila Kepala
Daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah melakukan pengajuan maka dilakukan pembahasan ancangan Perda
tentang APBD dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD setelah Kepala
Daerah menyampaikan rancangan Perda tentang APBD beserta penjelasan dan
dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berpedoman pada RKPD, KUA, dan PPAS.
Persetujuan Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah
186
Mekanisme dalam Pembuatan Ranperda setelah melakukan pembahasan
maka kepala Daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda
tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun
anggaran setiap tahun dan berdasarkan persetujuan bersama Kepala Daerah
menyiapkan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD. Dan apabila DPRD
dan Kepala Daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang
APBD dalam 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun
akan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dan jika mengalami keterlambatan penetapan APBD
karena Kepala Daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang
APBD kepada DPRD dari jadwal sanksi sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD.
Dan selanjutnya jika Kepala Daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan
bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak disampaikan rancangan
Perda tentang APBD oleh Kepala Daerah kepada DPRD, Kepala Daerah
menyusun rancangan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka
APBD tahun anggaran sebelumnya. Rancangan Perkada tentang APBD
tersebut diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang
bersifat wajib. Dan untuk Angka APBD tahun anggaran sebelumnya dapat
dilampaui apabila terdapat:
a. kebijakan Pemerintah Pusat yang mengakibatkan tambahan pembebanan
pada APBD; dan/atau
187
b. keadaan darurat termasuk keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Untuk itu dalam Rancangan Perkada tentang APBD harus memuat lampiran
yang terdiri atas:
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan penjabaran APBD sampai dengan rincian obyek;
c. ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
d. rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program,
Kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja, dan
Pembiayaan;
e. rekapitulasi dan kesesuaian belanja menurut Urusan Pemerintahan daerah,
organisasi, Program, dan Kegiatan;
f. rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan
Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan
negara;
g. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
h. daftar Piutang Daerah;
i. daftar penyertaan modal daerah dan investasi daerah lainnya;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
k. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
l. daftar Kegiatan tahun anggaran diselesaikan dan dianggarkan anggaran ini;
m. daftar Dana Cadangan;
n. daftar Pinjaman Daerah;
188
o. daftar nama penerima, hibah; dan
p. daftar nama penerima, bantuan sosial.
Dan setelah membuat lampiran dalam Rancangan Perkada dapat ditetapkan
menjadi Perkada setelah memperoleh pengesahan dari Menteri bagi Daerah
provinsi dan dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat bagi Daerah
kabupaten/kota dan untuk memperoleh pengesahan rancangan Perkada
tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas)
hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan
Kepala Daerah terhadap rancangan Perda tentang APBD dan Apabila dalam
batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri atau gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat tidak mengesahkan rancangan Perkada maka Kepala
Daerah menetapkan rancangan Perkada menjadi Perkada.
Dan jika dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan, Kepala Daerah
melaksanakan pengeluaran setiap bulan paling tinggi sebesar seperduabelas
jumlah pengeluaran APBD tahun anggaran sebelumnya dan dibatasi hanya
untuk mendanai keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah
Berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2019 maka Evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Peraturan
189
Kepala Daerah tentang Penjabaran Rancangan Anggaran dan Pendapatan
Belanja Daerah perlu dilakukan mengingat Rancangan Perda provinsi tentang
APBD yang telah disetujui bersama antara Kepala Daerah dan DPRD dan
rancangan Perkada tentang penjabaran APBD harus disampaikan kepada
Menteri paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal persetujuan rancangan Perda
provinsi tentang APBD untuk dievaluasi sebelum ditetapkan oleh gubernur. Di
dalam Rancangan Perda provinsi tentang APBD dan Perkada tentang
penjabaran APBD tersebut disertai dengan RKPD, KUA, dan PPAS yang
disepakati antara Kepala Daerah dan DPRD. Kemudian dalam melakukan
evaluasi Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan. Untuk pelaksanaan Evaluasi
dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda provinsi tentang APBD
dan rancangan Perkada provinsi tentang penjabaran APBD dengan:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. kepentingan umum;
c. RKPD, KUA, dan PPAS; dan
d. RPJMD.
Yang kemudian hasil evaluasi tersebut ditetapkan dengan keputusan Menteri
yang disampaikan kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak rancangan Perda provinsi tentang APBD dan rancangan
Perkada tentang Penjabaran APBD yang dimaksud diterima. Dan selanjutnya
Menteri, setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan, menyatakan hasil evaluasi rancangan
190
Perda provinsi tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran
APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA, PPAS, dan RPJMD, gubernur
menetapkan rancangan Perda provinsi tentang APBD menjadi Perda dan
rancangan Perkada tentang penjabaran APBD menjadi Perkada sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan apabila setelah berkoordinasi
terjadi ketidaksesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA, PPAS, dan RPJMD,
gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh)
hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima. Dan hasil evaluasi tersebut tidak
ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur menetapkan
rancangan Perda provinsi tentang APBD menjadi Perda dan rancangan
Perkada tentang penjabaran APBD menjadi Perkada, Menteri mengusulkan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan untuk melakukan penundaan dan/atau pemotongan Dana Transfer
Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Selanjutnya di dalam Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang
telah disetujui bersama dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD
disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lambat 3
(tiga) hari sejak tanggal persetujuan rancangan Perda kabupaten/kota tentang
APBD untuk dievaluasi sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota yang
kemudian Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan
Perkada tentang penjabaran APBD tersebut harus disertai dengan RKPD, KUA,
191
dan PPAS yang disepakati antara Kepala Daerah dan DPRD. Dan dalam
melakukan evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD
sebaimana yang disebutkan di atas maka gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Gubernur. Evaluasi
tersebut dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran
APBD dengan:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. kepentingan umum;
c. RKPD, KUA, dan PPAS; dan
d. RPJMD.
Berdasarkan Keputusan gubernur maka gubernur yang merupakan wakil
Pemerintah Pusat menyampaikan kepada bupati/wali kota paling lambat 15
(lima belas) hari terhitung sejak rancangan Perda kabupaten/kota tentang
APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD diterima.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepentingan umum,
RKPD, KUA, PPAS, dan RPJMD, bupati/wali kota menetapkan rancangan
Perda kabupaten/kota tentang APBD menjadi Perda dan rancangan Perkada
tentang penjabaran APBD menjadi Perkada sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dan apabila gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
192
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran
APBD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kepentingan umum, RKPD, KUA, PPAS, dan RPJMD, bupati/wali kota bersama
DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak hasil
evaluasi diterima maka hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh bupati/wali
kota dan DPRD, dan bupati/wali kota menetapkan rancangan Perda
kabupaten/kota tentang APBD menjadi Perda dan rancangan Perkada tentang
penjabaran APBD menjadi Perkada, gubernur mengusulkan kepada Menteri,
selanjutnya Menteri mengusulkan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk melakukan penundaan
dan/atau pemotongan Dana Transfer Umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dan selanjutnya jika dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
tidak melaksanakan evaluasi maka Menteri mengambil alih pelaksanaan
evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
pelaksanaannya Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Dan dalam
penyampaian hasil evaluasi Gubernur kepada Menteri paling lambat 3 (tiga)
hari sejak ditetapkannya keputusan gubernur tentang hasil evaluasi
rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan Perkada tentang
penjabaran APBD, dan sesudah itu dilakukan penyempurnaan hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Kepala Daerah melalui TAPD bersama dengan DPRD
melalui badan anggaran yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD
193
untuk dijadikan dasar penetapan Perda tentang APBD dan kemudian
dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya untuk disampaikan kepada
Menteri untuk APBD provinsi dan kepada gubernur untuk APBD
kabupaten/kota paling lambat 3 (tiga) hari setelah keputusan tersebut
ditetapkan.
Penetapan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
Berdasarkan Pasal 117 PP Nomor 12 Tahun 2019 maka dalam Rancangan
Perda tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD yang
telah dievaluasi ditetapkan oleh Kepala Daerah menjadi Perda tentang APBD
dan Perkada tentang penjabaran APBD, dan selanjutnya dalam Penetapan
rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran
APBD dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun sebelumnya
setelah itu kepala Daerah menyampaikan Perda tentang APBD dan Perkada
tentang penjabaran APBD kepada Menteri bagi Daerah provinsi dan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat bagi Daerah kabupaten/kota paling lambat 7
(tujuh) hari setelah Perda dan Perkada ditetapkan. Dan apabila Kepala Daerah
berhalangan, pejabat yang berwenang menetapkan Perda tentang APBD dan
Perkada tentang penjabaran APBD.
➢ PELAKSANAAN DAN PENATAUSAHAAN
194
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan BAB VI PP
Nomor 12 Tahun 2019 maka semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah
dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah
yang dikelola oleh BUD. Akan tetapi dalam hal Penerimaan dan Pengeluaran
Daerah sebagaimana yang disebutkan diatas maka sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Daerah, BUD melakukan pencatatan dan pengesahan Penerimaan dan
Pengeluaran Daerah tersebut.
Selanjutnya dalam PA/KPA, Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran,
dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/kekayaan daerah
wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan Pejabat yang menandatangani dan/atau
mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi
dasar penerimaan atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung
jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan
surat bukti dimaksud. Yang dimkasud dengan Kebenaran material tersebut
merupakan kebenaran atas penggunaan anggaran dan Hasil yang dicapai atas
Beban APBD sesuai dengan kewenangan pejabat yang bersangkutan. Untuk
itu Kepala Daerah dan perangkat daerah dilarang melakukan pungutan selain
dari yang diatur dalam Perda, selanjutnya dalam Penerimaan SKPD yang
merupakan Penerimaan Daerah tidak dapat dipergunakan langsung untuk
pengeluaran, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk itu Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan
195
yang berakibat pengeluaran atas Beban APBD apabila anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia ,
karena Setiap pengeluaran atas Beban APBD didasarkan atas DPA dan SPD
atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.
Didalam pelaksanaan APBD berdasarkan Pasal 125 PP Nomor 12 Tahun 2019
maka kepala Daerah dalam hal ini Bupati harus menetapkan:
a. pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD;
b. pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPM;
c. pejabat yang diberi wewenang mengesahkan surat pertanggungjawaban;
d. pejabat yang diberi wewenang menandatangani SP2D;
e. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran;
f. Bendahara Penerimaan pembantu dan Bendahara Pengeluaran pembantu;
dan g. Pejabat lainnya dalam rangka pelaksanaan APBD
Dan untuk Keputusan Kepala Daerah tentang penetapan pejabat dilakukan
sebelum dimulainya tahun anggaran berkenaan
Pelaksanaan dan Penatausahaan Kas Umum Daerah
Dalam rangka pengelolaan uang daerah, PPKD selaku BUD membuka
Rekening Kas Umum Daerah pada bank umum yang sehat ditetapkan oleh
Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
dimuat dalam perjanjian antara BUD dengan bank umum yang bersangkutan.
Maka dalam pelaksanaan operasional Penerimaan Daerah dan Pengeluaran
Daerah, BUD dapat membuka rekening penerimaan dan rekening pengeluaran
196
pada bank yang ditetapkan oleh Kepala Daerah yang nantinya akan
digunakan untuk menampung Penerimaan Daerah setiap hari dan
dioperasikan sebagai rekening bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya
dipindahbukukan ke Rekening Kas Umum Daerah sekurangkurangnya sekali
sehari pada akhir hari. Dan untuk kewajiban pemindahbukuan yang
dimaksud secara teknis belum dapat dilakukan setiap hari, sehingga
pemindahbukuan dapat dilakukan secara berkala yang ditetapkan dalam
Perkada. Dan untuk Rekening pengeluaran yang dimaksud diatas
dioperasikan sebagai rekening yang menampung pagu dana untuk membiayai
Kegiatan Pemerintah Daerah sesuai rencana pengeluaran, yang besarannya
ditetapkan dengan Perkada. Dan kemudian untuk Pemindahbukuan dana dari
rekening penerimaan dan/atau rekening pengeluaran pada bank umum ke
Rekening Kas Umum Daerah dilakukan atas perintah BUD. Yang nantinya
Kepala Daerah dapat memberi izin kepada kepala SKPD untuk membuka
rekening penerimaan dan rekening pengeluaran melalui BUD yang ditetapkan
oleh Kepala Daerah pada bank umum untuk menampung UP. Dengan
demikian Pemerintah Daerah berhak memperoleh bunga, jasa giro, dan/atau
imbalan lainnya atas dana yang disimpan pada bank berdasarkan tingkat
suku bunga dan/atau jasa giro yang berlaku sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dan untuk Biaya yang timbul sehubungan
dengan pelayanan yang diberikan oleh bank didasarkan pada ketentuan yang
berlaku pada bank yang bersangkutan dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
197
Selanjutnya dalam rangka manajemen kas, Pemerintah Daerah dapat
mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka pendek atas uang milik
Daerah yang sementara belum digunakan sepanjang tidak mengganggu
likuiditas Keuangan Daerah, tugas daerah, dan kualitas pelayanan publik.
Deposito dan/atau investasi jangka pendek sebagaimana yang dimaksud
diatas harus disetor ke Rekening Kas Umum Daerah paling lambat per 31
Desember.
Penyiapan DPA SKPD
Berdasarkan ketentuan PP Nomor 12 tahun 2019 dalam Penyiapan Dokumen
Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, maka PPKD
memberitahukan kepada kepala SKPD agar menyusun dan menyampaikan
rancangan DPA SKPD paling lambat 3 (tiga) hari setelah Perkada tentang
penjabaran APBD ditetapkan. Untuk Rancangan DPA SKPD yang dimaksud
memuat Sasaran yang hendak dicapai, fungsi, Program, Kegiatan, anggaran
yang disediakan untuk mencapai Sasaran, rencana penerimaan dana, dan
rencana penarikan dana setiap satuan kerja serta pendapatan yang
diperkirakan. Yang selanjutnya Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA
SKPD yang telah disusun kepada PPKD paling lambat 6 (enam) hari setelah
pemberitahuan disampaikan. Dan Kemudian TAPD melakukan verifikasi
rancangan DPA SKPD bersama dengan kepala SKPD yang bersangkutan dan
diselesaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditetapkannya Perkada
tentang penjabaran APBD dan berdasarkan hasil verifikasi PPKD
198
mengesahkan rancangan DPA SKPD setelah mendapatkan persetujuan dari
sekretaris daerah. Dan apabila dalam hasil tidak sesuai dengan Perkada
tentang penjabaran APBD, maka SKPD melakukan penyempurnaan rancangan
DPA SKPD untuk disahkan oleh PPKD dengan persetujuan sekretaris daerah.
Setelah mendapat pengesahan, selanjutnya disampaikan kepala SKPD yang
bersangkutan kepada satuan kerja yang secara fungsional melakukan
pengawasan daerah paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal disahkan. Yang
kemudian digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD
selaku PA.
Anggaran Kas dan SPD
Di dalam pelaksanaan penyusunan Anggaran Kas dan SPD, PPKD selaku BUD
menyusun Anggaran Kas Pemerintah Daerah untuk mengatur ketersediaan
dana dalam mendanai pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana
yang tercantum dalam DPA SKPD. Di Dalam penyusunan Anggaran Kas
sebagaimana yang disebutkan diatas memuat perkiraan arus kas masuk yang
bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan
untuk mendanai Pengeluaran Daerah dalam setiap periode.
Untuk itu dalam rangka manajemen kas, maka PPKD menerbitkan SPD
dengan mempertimbangkan:
a. Anggaran Kas Pemerintah Daerah;
b. ketersediaan dana di Kas Umum Daerah; dan
199
c. penjadwalan pembayaran pelaksanaan anggaran yang tercantum dalam
DPA SKPD.
Untuk SPD tersebut disiapkan oleh Kuasa BUD untuk ditandatangani oleh
PPKD.
Yang kemudian nantinya akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Bupati
mengenai tata cara penyusunan Anggaran Kas dan SPD
Pelaksanaan dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Di dalam Pelaksanaan dan Penatausahaan Pendapatan Daerah Bendahara
Penerimaan wajib menyetor seluruh penerimaannya ke Rekening Kas Umum
Daerah paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari. Dan setiap penerimaan harus
didukung oleh bukti yang lengkap dan sah atas setoran, untuk Bukti yang
dimaksud yaitu bukti dokumen elektronik. Sedangkan untuk Penyetoran
penerimaan pendapatan menggunakan surat tanda setoran yang dilakukan
secara tunai dan/atau nontunai dan penyetoran ini dianggap sah setelah
Kuasa BUD menerima nota kredit atau dokumen lain yang dipersamakan.
Dengan demikian Bendahara Penerimaan dilarang menyimpan uang, cek, atau
surat berharga yang dalam penguasaannya:
a. lebih dan 1 (satu) hari,
b. atas nama pribadi.
Untuk itu Bendahara Penerimaan pada SKPD wajib menyelenggarakan
pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan
yang menjadi tanggung jawabnya dan wajib menyampaikan laporan
200
pertanggungjawaban penerimaan kepada PA melalui PPK SKPD paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya. Setelah itu PPKD melakukan verifikasi, evaluasi,
dan analisis atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dalam rangka
rekonsiliasi penerimaan.
Dan apabila ada pengembalian atas kelebihan Penerimaan Daerah yang
sifatnya berulang dan tidak terulang dan terjadi pada tahun yang sama
maupun tahun sebelumnya dilakukan dengan membebankan pada rekening
penerimaan yang bersangkutan dan belanja tidak terduga.
Pelaksanaan dan Penatausahaan Belanja Daerah
Sebagaimana yang telah diatur dalam PP Nomor 12 tahun 2019 mengenai
Pelaksanaan dan Penatausahaan Belanja Daerah, maka Setiap pengeluaran
harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh
pihak yang menagih. Untuk itu Pengeluaran kas yang mengakibatkan Beban
APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan Perda tentang APBD
ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran daerah. Dimana Pengeluaran
kas tersebut tidak termasuk pengeluaran keadaan darurat dan/atau
keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Belanja Daerah, Bendahara Pengeluaran
mengajukan SPP kepada PA melalui PPK SKPD berdasarkan SPD atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Dalam Pengajuan SPP kepada
KPA harus berdasarkan pertimbangan besaran SKPD, lokasi, serta besaran
201
anggaran kegiatan dari SKPD yang kemudian disampaikan Bendahara
Pengeluaran pembantu melalui PPK Unit SKPD berdasarkan SPD atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Untuk itu SPP yang diajukan
oleh Bendahara pengeluaran kepada PA sebagaimana yang dimaksud diatas
terdiri atas:
a. SPP UP;
b. SPP GU;
c. SPP TU; dan
d. SPP LS
Sedangkan untuk pengajuan SPP kepada KPA terdiri atas:
a. SPP TU; dan
b. SPP LS.
Kemudian dilakukan Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP UP dilakukan
oleh Bendahara Pengeluaran dalam rangka pengisian UP dan mengganti UP.
Dan mengenai besaran UP dan GU selanjutnya akan ditetapkan dengan
keputusan Kepala Daerah. Dan mengenai Pengajuan SPP UP diajukan dengan
melampirkan keputusan Kepala Daerah tentang besaran UP sebagaimana
yang telah disebutkan diatas dan kemudian dilampiri dengan dokumen asli
pertanggungjawaban penggunaan UP.
Dengan demikian Bendahara Pengeluaran atau Bendahara Pengeluaran
pembantu mengajukan SPP TU untuk melaksanakan Kegiatan yang bersifat
mendesak dan tidak dapat menggunakan SPP LS dan/atau SPP UP/GU
dengan Batas jumlah pengajuan SPP TU yang harus mendapat persetujuan
202
dan PPKD dengan memperhatikan rincian kebutuhan dan waktu
penggunaannya ditetapkan dengan Perkada. Selanjutnya dalam hal sisa TU
tidak habis digunakan dalam 1 (satu) bulan,maka sisa TU disetor ke Rekening
Kas Umum Daerah. Berdasarkan Ketentuan batas waktu penyetoran sisa TU
sebagaimana dimaksud diatas dikecualikan untuk:
a. Kegiatan yang pelaksanaannya melebihi 1 (satu) bulan; dan/atau
b. Kegiatan yang mengalami perubahan jadwal dan yang telah ditetapkan
sebelumnya akibat peristiwa di luar kendali PA/KPA.
Sehingga dalam melakukan Pengajuan SPP TU harus dilampirkan dengan
daftar rincian rencana penggunaan dana.
Ketentuan mengenai Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP LS dilakukan
oleh Bendahara Pengeluaran untuk pembayaran:
a. gaji dan tunjangan;
b. kepada pihak ketiga atas pengadaan barang dan jasa; dan
c. kepada pihak ketiga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Di dalam Pengajuan dokumen SPP LS untuk pembayaran pengadaan barang
dan jasa dapat juga dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran pembantu dalam
hal PA melimpahkan sebagian kewenangannya kepada KPA paling lambat 3
(tiga) hari sejak diterimanya tagihan dan pihak ketiga melalui PPTK dan
dilampiri dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
203
Untuk itu berdasarkan pengajuan SPP UP diatas, maka PA mengajukan
permintaan UP kepada Kuasa BUD dengan menerbitkan SPM UP dan PA
mengajukan penggantian UP yang telah digunakan kepada Kuasa BUD dengan
menerbitkan SPM GU, setelah itu PA/KPA mengajukan permintaan TU kepada
Kuasa BUD dengan menerbitkan SPM TU.
Selanjutnya SPP LS yang diajukan oleh Bendahara
Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran pembantu sebagaimana yang
disebutkan diatas maka PPK SKPD/PPK Unit SKPD melakukan verifikasi atas:
a. kebenaran material surat bukti mengenai hak pihak penagih;
b. kelengkapan dokumen yang menjadi persyaratan/sehubungan dengan
ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa; dan
c. ketersediaan dana yang bersangkutan.
Untuk itu berdasarkan hasil verifikasi diatas PA/KPA memerintahkan
pembayaran atas Beban APBD melalui penerbitan SPM LS kepada Kuasa BUD.
Dan apabila dalam hal hasil verifikasi tidak memenuhi syarat, PA/KPA tidak
menerbitkan SPM LS maka PA/KPA mengembalikan dokumen SPP LS dalam
hal hasil verifikasi tidak memenuhi syarat paling lambat 1 (satu) hari terhitung
sejak diterimanya SPP.
Selanjutnya dalam Kuasa BUD menerbitkan SP2D berdasarkan SPM yang
diterima dan PA/KPA yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerjanya,
yang dilakukan paling lama 2 (dua) hari sejak SPM diterima sehingga Kuasa
BUD berkewajiban untuk:
204
a. meneliti kelengkapan SPM yang diterbitkan oleh PA/KPA berupa Surat
Pernyataan Tanggung Jawab PA/KPA;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas Beban APBD yang tercantum
dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana Kegiatan yang bersangkutan; dan
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar Pengeluaran Daerah.
Dan apabila tidak dilengkapi Surat Pernyataan Tanggung Jawab PA/KPA;
dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu Kuasa maka BUD tidak
menerbitkan SP2D yang diajukan PA/KPA serta mengembalikan dokumen
SPM paling lambat 1 (satu) hari terhitung sejak diterimanya SPM. Untuk itu
Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran pembantu melaksanakan
pembayaran setelah:
a. meneliti kelengkapan dokumen pembayaran yang diterbitkan oleh PA/KPA
beserta bukti transaksinya;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam dokumen
pembayaran; dan
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran pembantu wajib juga
menolak melakukan pembayaran dan PA/KPA apabila tidak memenuhi
persyaratan hal ini dikarenakan Bendahara Pengeluaran/Bendahara
Pengeluaran pembantu bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran
yang dilaksanakannya.
205
Untuk itu Bendahara Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran pembantu sebagai
wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya wajib menyetorkan
seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke Rekening Kas
Umum Negara.
Dan begitu juga dengan PA/KPA dilarang menerbitkan SPM yang membebani
tahun anggaran berkenaan setelah tahun anggaran berakhir.
Dengan demikian Bendahara Pengeluaran secara administratif wajib
mempertanggungjawabkan penggunaan UP/GU/TU/LS kepada PA melalui
PPK SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Dan Bendahara
Pengeluaran/Bendahara Pengeluaran pembantu pada SKPD juga wajib
mempertanggungjawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang
menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya dan dilaksanakan setelah diterbitkan surat
pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran oleh PA/KPA. Dan untuk tertib
laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran,
pertanggungjawaban pengeluaran dana bulan Desember disampaikan paling
lambat tanggal 31 Desember. Untuk itu pengaturan tentang Ketentuan batas
waktu penerbitan surat pengesahan laporan pertanggungjawaban pengeluaran
dan sanksi keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban
ditetapkan dalam Perkada.
Pelaksanaan dan Penatausahaan Pembiayaan Daerah
206
Dalam Pelaksanaan dan penatausahaan penerimaan dan pengeluaran
Pembiayaan Daerah Menurut PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 154 dilakukan
oleh kepala SKPKD melalui Rekening Kas Umum Daerah. Dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dilakukan melalui Rekening
Kas Umum Daerah, untuk itu BUD melakukan pencatatan dan pengesahan
penerimaan dan pengeluaran Pembiayaan Daerah tersebut. Dan apabila
keadaan Pelaksanaan dan Penatausahaan Pembiayaan Daerah yang
menyebabkan SiLPA tahun sebelumnya, maka dapat digunakan dalam tahun
anggaran berjalan untuk:
a. menutupi defisit anggaran;
b. mendanai kewajiban Pemerintah Daerah yang belum tersedia anggarannya;
c. membayar bunga dan pokok Utang dan/atau obligasi daerah yang
melampaui anggaran yang tersedia mendahului perubahan APBD;
d. melunasi kewajiban bunga dan pokok Utang;
e. mendanai kenaikan gaji dan tunjangan Pegawai ASN akibat adanya
kebijakan Pemerintah;
f. mendanai Program dan Kegiatan yang belum tersedia anggarannya;
dan/atau
g. mendanai Kegiatan yang capaian Sasaran Kinerjanya ditingkatkan dari yang
telah ditetapkan dalam DPA SKPD tahun anggaran berjalan, yang dapat
diselesaikan sampai dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam
tahun anggaran berjalan.
207
Untuk itu Pemindahbukuan dari rekening Dana Cadangan ke Rekening Kas
Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana penggunaan Dana Cadangan
sesuai peruntukannya dan juga dilakukan setelah jumlah Dana Cadangan
yang ditetapkan berdasarkan Perda tentang pembentukan Dana Cadangan
yang bersangkutan mencukupi, dan untuk Pemindahbukuan tersebut
dilakukan paling tinggi sejumlah pagu Dana Cadangan yang akan digunakan
sesuai peruntukannya pada tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang
ditetapkan dengan Perda tentang pembentukan Dana Cadangan dan juga
dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh Kuasa BUD atas
persetujuan PPKD, Sedangkan Pengalokasian anggaran untuk pembentukan
Dana Cadangan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan jumlah yang
ditetapkan dalam Perda tentang pembentukan Dana Cadangan. Oleh karena
itu Alokasi anggaran dipindahbukukan dari Rekening Kas Umum Daerah ke
rekening Dana Cadangan yang dilakukan dengan surat perintah Kuasa BUD
atas persetujuan PPKD.
Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran Pembiayaan, Kuasa BUD
berkewajiban untuk:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh kepala
SKPKD; b. menguji kebenaran perhitungan pengeluaran Pembiayaan yang
tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan; dan
208
d. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran atas pengeluaran
Pembiayaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapk
Dengan demikian pengelolaan Barang Milik Daerah berdasarkan Pasal 159 PP
Nomor 12 tahun 2019 merupakan keseluruhan Kegiatan yang meliputi
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan,
pemusnahan, penghapusan, penatausahaan dan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
➢ LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PERUBAHAN
APBD
Dalam pelaksanaan Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan Pasal 160 PP Nomor 12
tahun 2019 maka Pemerintah Daerah menyusun laporan realisasi
semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Dan kemudian Laporan tersebut disampaikan kepada DPRD paling
lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran berkenaan.
Dasar Perubahan APBD
Berdasarkan Pasal 161 PP Nomor 12 Tahun 2019 Laporan realisasi semester
pertama APBD menjadi dasar dalam perubahan APBD untuk itu perubahan
APBD dapat dilakukan jika terjadi:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
209
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar
jenis belanja;
c. keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus
digunakan dalam tahun anggaran berjalan;
d. keadaan darurat; dan/atau
e. keadaan luar biasa.
Perubahan KUA dan Perubahan PPAS
Dalam perubahan KUA dan Perubahan PPAS menurut Pasal 162 PP NOmor 12
Tahun 2019 apabila terjadi Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi
KUA dalam perubahan APBD yang berupa pelampauan atau tidak tercapainya
proyeksi Pendapatan Daerah, pelampauan atau tidak terealisasinya alokasi
Belanja Daerah dan/atau perubahan sumber dan penggunaan Pembiayaan
daerah. Maka Kepala Daerah memformulasikan perkembangan yang tidak
sesuai dengan asumsi KUA kedalam rancangan perubahan KUA serta
perubahan PPAS berdasarkan perubahan RKPD yang disertai penjelasan
mengenai perbedaan asumsi dengan KUA yang ditetapkan sebelumnya,
Penjelasan tersebut terdiri atas:
a. Program dan Kegiatan yang dapat diusulkan untuk ditampung dalam
perubahan APBD dengan mempertimbangkan sisa waktu pelaksanaan APBD
tahun anggaran berjalan;
210
b. capaian Sasaran Kinerja Program dan Kegiatan yang harus dikurangi dalam
perubahan APBD apabila asumsi KUA tidak tercapai; dan
c. capaian Sasaran Kinerja Program dan Kegiatan yang harus ditingkatkan
dalam perubahan APBD apabila melampaui asumsi KUA.
Pergeseran Anggaran
Di dalam perubahan Perda APBD dapat dilakukan apabila Pergeseran
anggaran antar yang dilakukan antar organisasi, antar unit organisasi, antar
Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja. Sedangkan untuk
Pergeseran anggaran antar obyek belanja dan/atau antar rincian obyek
belanja dilakukan melalui perubahan Perkada tentang Penjabaran APBD.
Dengan demikian kedua pergeseran tersebut dapat diformulasikan dalam
Perubahan DPA SKPD yang selanjutnya perubahan perkada tentang
penjabaran APBD akan dituangkan dalam rancangan Perda tentang
perubahan APBD atau ditampung dalam laporan realisasi anggaran. Apabila
Perubahan Perkada tentang penjabaran APBD tidak melakukan perubahan
APBD; atau pergeseran dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang
perubahan APBD Untuk itu Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pergeseran anggaran diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penggunaan SiLPA Tahun Sebelumnya Dalam Perubahan APBD
211
Dalam Penggunaan SiLPA Tahun Sebelumnya Dalam Perubahan APBD yang
menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam
tahun anggaran berjalan untuk pendanaan pengeluaran, harus
diformulasikan terlebih dahulu kedalam Perubahan DPA SKPD dan/atau RKA
SKPD
Pendanaan Keadaan Darurat
Berdasarkan Pasal 166 PP Nomor 12 tahun 2019 Pemerintah Daerah
mengusulkan pengeluaran untuk mendanai keadaan darurat yang belum
tersedia anggarannya dalam rancangan perubahan APBD. Dan apabila setelah
dilakukan perubahan APBD atau dalam hal Pemerintah Daerah tidak
melakukan perubahan APBD maka pengeluaran tersebut disampaikan dalam
laporan realisasi anggaran.
Pendanaan Keadaan Luar Biasa
Menurut ketentuan Pasal 167 dan Pasal 168 PP Nomor 12 tahun 2019 Untuk
pendanaan keadaan luar biasa dapat dilakukan Perubahan APBD hanya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran. Dimana keadaan luar biasa
merupakan keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau
pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar
dari 50% (lima puluh persen). Untuk itu kenaikan lebih dari 50 % yang
dimaksud dalam perubahan anggaran dapat dilakukan melalui penambahan
Kegiatan baru dan/atau peningkatan capaian Sasaran Kinerja Program dan
212
Kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan, sedangkan untuk penurunan
lebih dari 50 % yang dimaksud dalam perubahan anggaran dapat dilakukan
melalui penjadwalan ulang dan/atau pengurangan capaian Sasaran Kinerja
Program dan Kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berkenaan.
Dengan demikian Ketentuan mengenai perubahan APBD akibat keadaan luar
biasa akan diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyusunan Perubahan APBD
Dalam penyusunan perubahan APBD menurut PP Nomor 12 tahun 2019 maka
semua Rancangan perubahan KUA dan rancangan perubahan PPAS
disampaikan kepada DPRD paling lambat minggu pertama bulan Agustus
dalam tahun anggaran berkenaan, Dan kemudian dibahas bersama dan
disepakati menjadi perubahan KUA dan perubahan PPAS paling lambat
minggu kedua bulan Agustus dalam tahun anggaran berkenaan dan
perubahan tersebut akan menjadi pedoman perangkat daerah dalam
menyusun RKA SKPD yang kemudian Perubahan KUA dan perubahan PPAS
tersebut akan disampaikan kepada perangkat daerah disertai dengan:
a. Program dan Kegiatan baru;
b. kriteria DPA SKPD yang dapat diubah;
c. batas waktu penyampaian RKA SKPD kepada PPKD; dan/atau
d. dokumen sebagai lampiran meliputi kode rekening perubahan APBD, format
RKA SKPD, analisis standar belanja, standar harga satuan dan perencanaan
213
kebutuhan BMD serta dokumen lain yang dibutuhkan. Dan Penyampaian
tersebut dilakukan paling lambat minggu ketiga bulan Agustus tahun
anggaran berkenaan.
elanjutnya untuk menyusun RKA SKPD berdasarkan perubahan KUA dan
perubahan PPAS dapat dilakukan oleh Kepala SKPD yang kemudian
disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan Perda
tentang perubahan APBD. Dengan demikian Ketentuan mengenai tata cara
penyusunan RKA SKPD sebagaimana yang disebutkan diatas berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan RKA SKPD pada perubahan APBD.
Menurut ketentuan PP Nomor 12 tahun 2019 Pasal 173 DPA SKPD yang dapat
diubah berupa peningkatan atau pengurangan capaian Sasaran Kinerja
Program dan Kegiatan dari yang telah ditetapkan semula yang kemudian akan
diformulasikan dalam perubahan DPA SKPD, dimana Perubahan DPA SKPD
tersebut memuat capaian Sasaran Kinerja, kelompok, jenis, obyek, rincian
obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan baik sebelum dilakukan
perubahan maupun setelah perubahan.
Dan selanjutnya berdasarkan Pasal 174 RKA SKPD yang memuat Program
dan Kegiatan baru dan perubahan DPA SKPD yang akan dianggarkan dalam
perubahan APBD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada TAPD
melalui PPKD untuk diverifikasi yang dilakukan oleh TAPD untuk menelaah
kesesuaian antara RKA SKPD dan perubahan DPA SKPD dengan:
a. perubahan KUA dan perubahan PPAS;
b. prakiraan maju yang telah disetujui;
214
c. dokumen perencanaan lainnya;
d. capaian Kinerja;
e. indikator Kinerja;
f. analisis standar belanja;
g. standar harga satuan;
h. perencanaan kebutuhan BMD;
i. Standar Pelayanan Minimal; dan
j. Program dan Kegiatan antar RKA SKPD dan perubahan DPA SKPD.
Dan apabila dalam hal hasil verifikasi TAPD terdapat ketidaksesuaian maka
kepala SKPD melakukan penyempurnaan.
Untuk itu PPKD menyusun rancangan Perda tentang perubahan APBD dan
dokumen pendukung berdasarkan RKA SKPD dan perubahan DPA SKPD yang
telah disempurnakan oleh kepala SKPD dan disampaikan kepada kepala
daerah yang memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
a. ringkasan APBD yang diklasifikasi menurut kelompok dan jenis
pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
b. ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program,
Kegiatan, kelompok, jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
d. rekapitulasi Belanja Daerah dan kesesuaian menurut Urusan Pemerintahan
daerah, organisasi, Program, dan Kegiatan;
215
e. rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan
Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan
negara;
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar Piutang Daerah;
h. daftar penyertaan modal daerah dan investasi daerah lainnya;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. daftar Kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran berkenaan;
l. daftar Dana Cadangan daerah; dan
m. daftar Pinjaman Daerah.
Selanjutnya yang dimaksud dalam dokumen pendukung terdiri atas nota
keuangan dan rancangan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD.
Sedangkan dalam Rancangan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD
yang disebutkan diatas memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
a. ringkasan penjabaran perubahan APBD yang diklasifikasi menurut jenis,
obyek, dan rincian obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
b. penjabaran perubahan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah,
organisasi, Program, Kegiatan, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan,
belanja, dan Pembiayaan;
c. daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran hibah; dan
d. daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bantuan sosial.
216
Penetapan Perubahan APBD
Dalam penetapan perubahan APBD sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor
12 Tahun 2019 maka Kepala Daerah wajib menyampaikan rancangan Perda
tentang perubahan APBD kepada DPRD disertai penjelasan dan dokumen
pendukung untuk dibahas dalam rangka memperoleh persetujuan bersama
paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran berkenaan.
Dan untuk pelaksanaan Pembahasan rancangan Perda tentang perubahan
APBD dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD setelah Kepala Daerah
menyampaikan rancangan Perda tentang perubahan APBD beserta penjelasan
dan dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan pembahasan tersebut berpedoman pada perubahan RKPD,
perubahan KUA, dan perubahan PPAS.
Persetujuan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 179 PP Nomor 12 Tahun 2019
Persetujuan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
dilakukan oleh DPRD bersama Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum tahun anggaran berkenaan berakhir, dan apabila dalam jangka
waktu yang ditentukan tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala
Daerah terhadap rancangan Perda tentang perubahan APBD, maka Kepala
Daerah dapat melaksanakan pengeluaran yang telah dianggarkan dalam APBD
tahun anggaran berkenaan. Untuk itu Penetapan rancangan Perda tentang
217
perubahan APBD dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun sebelumnya.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD dan
Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD
Dalam pelaksanaan perubahan APBD sebelum ditetapkan oleh Kepala daerah,
maka dalam rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan APBD yang
telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan kepala daerah tentang
penjabaran perubahan APBD dievaluasi yang disertai dengan perubahan
RKPD perubahan KUA, dan perubahan PPAS yang disepakati antara Kepala
Daerah dan DPRD berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, perubahan RKPD, perubahan KUA,
perubahan PPAS, dan RPJMD, dan kemudian Kepala daerah menetapkan
rancangan tersebut menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan kepala daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. dan apabila hasil
evaluasi rancangan peraturan daerah yang dsebutkan diatas tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, perubahan RKPD, perubahan KUA, perubahan PPAS, dan
RPJMD, kepala daerah bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling
lama 7 (tujuh) hari sejak hasil evaluasi diterima. Dan penyempurnaan hasil
evaluasi dilakukan kepala daerah melalui TAPD bersama dengan DPRD
melalui badan anggaran dan ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD
yang nantinya akan dijadikan dasar penetapan Peraturan Daerah tentang
218
perubahan APBD. sehingga hasil penyempurnaan yang ditetapkan Keputusan
pimpinan DPRD dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya yang kemudian
akan disampaikan kepada Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
➢ AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Di dalam pelaksanaan Akuntansi dan pelaporan keuangan Pemerintah daerah
dilaksanakan berdasarkan:
a. Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah yang meliputi kebijakan akuntansi
pelaporan keuangan dan kebijakan akuntansi akun yang memuat penjelasan
atas unsur-unsur laporan keuangan yang berfungsi sebagai panduan dalam
penyajian pelaporan keuangan dalam mengatur definisi, pengakuan,
pengukuran, penilaian, dan/atau pengungkapan transaksi atau peristiwa
sesuai dengan SAP.
b. SAPD meliputi sistem akuntansi SKPKD dan sistem akuntansi SKPD
dimana SAPD memuat pilihan prosedur dan teknik akuntansi dalam
melakukan identifikasi transaksi, pencatatan pada jurnal, posting kedalam
buku besar, penyusunan neraca saldo, dan penyajian laporan keuangan yang
paling sedikit meliputi laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo
anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan arus kas, laporan
perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan.
c. BAS untuk Daerah merupakan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam
melakukan kodefikasi akun yang menggambarkan struktur APBD dan laporan
219
keuangan secara lengkap yang bertujuan untuk mewujudkan statistik
keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan
terkonsolidasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yang
meliputi penganggaran, pelaksanaan anggaran dan laporan keuangan yang
kemudian diselaraskan dengan bagan akun standar Pemerintah Pusat, yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah
Berdasarkan ketentuan dalam PP Nomor 12 Tahun 2019 Pelaporan Keuangan
Pemerintah Daerah merupakan proses penyusunan dan penyajian laporan
keuangan Pemerintah Daerah oleh entitas pelaporan sebagai hasil konsolidasi
atas laporan keuangan SKPD selaku entitas akuntansi dan dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
➢ Penyusunan Rancangan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Dalam pelaksanaan Penyusunan Rancangan Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD khususnya dalam BAB IX PP Nomor 12 tahun 2019 kepala
daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan serta ikhtisar laporan kinerja
dan laporan keuangan BUMD paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir dan kemudian dibahas oleh Kepala Daerah bersama DPRD
untuk mendapat persetujuan Bersama yang dilakukan paling lambat 7 (tujuh)
220
bulan setelah tahun anggaran berakhir, dan atas dasar persetujuan bersama
Kepala Daerah menyiapkan rancangan Perkada tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Dan selanjutnya sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah maka rancangan
Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
penjabaran perubahan APBD dievaluasi. Dan apabila hasil evaluasi rancangan
Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan Peraturan Daerah tentang APBD,
Peraturan Daerah tentang perubahan APBD, Peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD, Peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan
APBD, dan telah menindaklanjuti temuan laporan hasil pemeriksaan instansi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
kemudian Kepala Daerah menetapkan rancangan Peraturan Daerah menjadi
Peraturan Daerah dan rancangan Peraturan Kepala Daerah menjadi Peraturan
Kepala Daerah. Dan sebaliknya Jika hasil evaluasi sebagaimana yang
disebutkan diatas saling bertentangan dan tidak menindaklanjuti temuan
laporan hasil pemeriksaan instansi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan, maka Kepala Daerah bersama DPRD melakukan penyempurnaan
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima.
➢ Kekayaan Daerah dan Utang Daerah
221
Dalam ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2019 khususnya dalam BAB X
pengeloaan piutang daerah merupakan kekayaan Daerah dan Utang Daerah,
dimana Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan,
belanja, dan kekayaan daerah wajib mengusahakan agar setiap Piutang
Daerah diselesaikan seluruhnya dengan tepat waktu dan Piutang Daerah yang
tidak dapat diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu maka Pemerintah
Daerah mempunyai hak mendahului atas piutang jenis tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga dalam penyelesaian Piutang Daerah yang mengakibatkan masalah
perdata dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali mengenai Piutang
Daerah yang cara penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk itu Piutang Daerah dapat dihapuskan secara
mutlak atau bersyarat dan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai penghapusan piutang negara
dan Daerah, kecuali mengenai Piutang Daerah yang cara penyelesaiannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 khususnya Pasal 115 untuk penghapusan piutang
daerah di tetapkan oleh:
a. kepala daerah untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah);
b. kepala daerah dengan persetujuan DPRD untuk jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
222
Untuk itu berdasarkan ketentuan Pasal 152 dan Pasal 153 Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 Kepala SKPKD melaksanakan penagihan dan
menatausahakan Piutang Daerah dengan menyiapkan bukti dan administrasi
penagihan yang kemudian setiap bulan melaporkan realisasi penerimaan
Piutang Daerah kepada Kepala daerah, untuk itu bukti pembayaran Piutang
Daerah dari pihak ketiga harus dipisahkan dengan bukti penerimaan kas atas
pendapatan pada tahun anggaran berjalan.
Pengelolaan Investasi Daerah
Berdasarkan Pasal 201 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
maka Pemerintah Daerah dapat melakukan investasi dalam rangka
memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pengelolaan Utang Daerah dan Pinjaman Daerah
Di dalam Pengelolaan Utang Daerah dan Pinjaman Daerah kepala daerah
dapat melakukan pengelolaan Utang dan juga dapat melakukan pinjaman
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan untuk Biaya
yang timbul akibat pengelolaan Utang dan Pinjaman Daerah dibebankan pada
anggaran Belanja Daerah.
➢ BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
223
Dalam ketentuan BAB XI PP Nomor 12 Tahun 2019 maka pemerintah Daerah
dapat membentuk BLUD dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,maka
dari itu Kepala Daerah dapat menetapkan kebijakan fleksibilitas BLUD dalam
Perkada yang dilaksanakan oleh pejabat pengelola BLUD yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan kebijakan fleksibilitas BLUD dalam pemberian
Kegiatan pelayanan umum terutama pada aspek manfaat dan pelayanan yang
dihasilkan.
Bentuk dari Pelayanan kepada masyarakat meliputi:
a. penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. pengelolaan dana khusus untuk meningkatkan ekonomi dan/atau layanan
kepada masyarakat; dan/atau
c. pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum.
Untuk itu BLUD yang merupakan bagian dari Pengelolaan Keuangan Daerah
Yang merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, yang dikelola untuk
menyelenggarakan Kegiatan BLUD yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyusun rencana bisnis
dan anggaran yang kemudian laporan keuangan BLUD disusun berdasarkan
SAP.
Selanjutnya dalam BLUD khususnya dalam Pembinaan keuangan BLUD
dilakukan oleh PPKD, pembinaan teknis BLUD, dan kepala SKPD yang
bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan yang bersangkutan.
224
Dengan demikian Seluruh pendapatan BLUD dapat digunakan langsung
untuk membiayai belanja BLUD yang bersangkutan yang meliputi pendapatan
yang diperoleh dari aktivitas peningkatan kualitas pelayanan BLUD sesuai
kebutuhan.
Yang kemudian Rencana bisnis dan anggaran serta laporan keuangan dan
Kinerja BLUD disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari rencana kerja dan anggaran, APBD serta laporan keuangan dan Kinerja
Pemerintah Daerah.
➢ PENYELESAIAN KERUGIAN KEUANGAN DAERAH
Setiap kerugian Keuangan Daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar
hukum atau kelalaian seseorang wajib segera diselesaikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Setiap bendahara,
Pegawai ASN bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya
melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, baik langsung atau tidak
langsung merugikan Daerah wajib mengganti kerugian dimaksud. Dengan
demikian Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian daerah berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penggantian kerugian, sehingga mengenai Tata
cara penggantian kerugian daerah harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
225
➢ INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Daerah wajib
menyediakan informasi keuangan daerah dan diumumkan kepada masyarakat
paling sedikit memuat informasi penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan
laporan keuangan. Agara supaya Informasi keuangan daerah dapat digunakan
untuk:
a. membantu Kepala Daerah dalam menyusun anggaran daerah dan laporan
Pengelolaan Keuangan Daerah;
b. membantu Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan Keuangan Daerah;
c. membantu Kepala Daerah dalam melakukan evaluasi Kinerja Keuangan
Daerah;
d. menyediakan statistik keuangan Pemerintah Daerah;
e. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat;
f. mendukung penyelenggaraan sistem informasi keuangan daerah; dan
g. melakukan evaluasi Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dengan demikian semua Informasi keuangan daerah harus mudah diakses
oleh masyarakat dan wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
➢ Ketentuan Penutup
Karena tidak ada hal yang menghalangi penerapan Peraturan Daerah ini maka
dalam ketentuan penutup menentukan berlakunya Peraturan Daerah ini
dimulai pada saat diundangkan.
226
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, mendelegasikan kepada daerah
untuk membuat peraturan daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Oleh karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupatrn Bolaang Mongondow Utara wajib untuk membentuk peraturan
trsebut. Mengingat bahwa pengelolaan keuangan sering menjadi
permasalahan serius yang dijumpai ditiap daerah yang dapat menjadi tolak
ukur berhasilkah suatu daerah untuk membangun daerahnya sendiri.
Selain itu juga, pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara masih menimbulkan masalah sehingga dibutuhkan
aturan yang lebih tegas untuk dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran
terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Regulasi ini juga nantinya berfungsi untuk mengatur tatanan
pengelolaan keuangan daerah mulai dari alur sampai kepada pemegang –
pemegang kewenangan yang nantinya akan bersinggungan dengan
penetapan APBD di daerah. Akan ada juga bagian – bagian yang akan
dimasukan dalam regulasi ini yang sebelumnya belum pernah ditetapkan
dan diatur dalam sebuah peraturan daerah.
227
B. Saran
1. Dalam rangka untuk menertibkan pengelolaan keuangan daerah di
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, maka sebaiknya peraturan
daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ini segera ditetapkan.
2. Untuk mengoptimalkan peraturan daerah tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara maka
sebaiknya perlu diadakan sosialisasi dan pendekatan kepada setiap
pengelola keuangan daerah agar semakin memahami bagaimana cara
mengelola keuangan daerah dengan baik.
228
Daftar Pustaka
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti
2007.
Karianga, Hendra. Carut Marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Otonomi
Daerah.. Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2012
Saidi, Muhammad Djafar. Hukum Keuangan Negara Teori dan Praktik. Raja
Grafindo Persada. Depok. 2008
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2008
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi Publisher.
Yogyakarta. 2018
Sumber Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara.
229
Sumber Lainnya
https://sobatmateri.com/sumber-pendapatan-dan-pengeluaran-daerah/
http://sulutdaily.com/menuju-60-hari-rekomendasi-bpk-atas-temuan-pada-
lhp-bupati-2017/
https://www.trendingpublik.com/ketua-dprd-berharap-pemda-bolmut-tindak-
lanjuti-hasil-temuan-bpk-ri-perwakilan-sulut/
http://pengertianmenurutahli.blogspot.com/2013/03/definisi-keuangan-
daerah.html
http://sappilpil.blogspot.com/2015/12/keuangan-daerah.html
http://sappilpil.blogspot.com/2015/12/keuangan-daerah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Umum.
https://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Khusus.