BAB I PENDAHULUAN M enurut Per.Men.Kes.RI Nomor 113 tahun 1979 tentang PENYELENGGARAAN OPTIKAL yang dimaksud pemeriksaan refraksi adalah pemeriksaan mata untuk mencari ukuran yang sesuai. Pengertian luas tentang pemeriksaan refraksi ini sebenarnya tidak hanya sekedar mencari ukuran lensa yang sesuai, melainkan melakukan pemeriksaan mata dasar, juga melakukan tindakan investigasi untuk mengetahui apakah gangguan pengelihatan yang sedang dihadapi oleh penderita itu disebabkan oleh karena kelainan refraksi anomali, presbyopia, kelainan organis, atau hanya sekedar simulasi. Uji visus dilakukan secara monokuler, yang artinya harus dilakukan mata satu persatu dengan mata yang lainnya ditutup. Bila penderita tidak dapat mengenali atau membaca huruf yang paling besar pada kartu snellen, maka dilakukan uji hitung jari. Orang dengan visus mata yang normal mampu melihat jari kita secara terpisah pada jarak 60 meter. Sebagai contoh, bila sesorang hanya dapat melihat jari kita pada jarak 3 meter, maka dikatakan orang tersebut mempunyai visus 3/60, yang artinya orang emetrop mampu melihat pada jarak 60 meter, tetapi si penderita hanya mampu melihat dengan jarak 3 meter. Pada uji hitung jari ini, hanya dapat dinilai sampai dengan 1/60, yang artinya seseorang hanya dapat menghitung jari kita dengan jarak 1 meter. Bila sesorang tidak mampu melihat jari kita pada jarak 1 meter, maka dilakukan uji dengan goyangan tangan. Dengan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Per.Men.Kes.RI Nomor 113 tahun 1979 tentang PENYELENGGARAAN
OPTIKAL yang dimaksud pemeriksaan refraksi adalah pemeriksaan mata untuk mencari
ukuran yang sesuai. Pengertian luas tentang pemeriksaan refraksi ini sebenarnya tidak
hanya sekedar mencari ukuran lensa yang sesuai, melainkan melakukan pemeriksaan mata
dasar, juga melakukan tindakan investigasi untuk mengetahui apakah gangguan
pengelihatan yang sedang dihadapi oleh penderita itu disebabkan oleh karena kelainan
refraksi anomali, presbyopia, kelainan organis, atau hanya sekedar simulasi.
Uji visus dilakukan secara monokuler, yang artinya harus dilakukan mata satu persatu
dengan mata yang lainnya ditutup. Bila penderita tidak dapat mengenali atau membaca
huruf yang paling besar pada kartu snellen, maka dilakukan uji hitung jari. Orang dengan
visus mata yang normal mampu melihat jari kita secara terpisah pada jarak 60 meter.
Sebagai contoh, bila sesorang hanya dapat melihat jari kita pada jarak 3 meter, maka
dikatakan orang tersebut mempunyai visus 3/60, yang artinya orang emetrop mampu
melihat pada jarak 60 meter, tetapi si penderita hanya mampu melihat dengan jarak 3
meter. Pada uji hitung jari ini, hanya dapat dinilai sampai dengan 1/60, yang artinya
seseorang hanya dapat menghitung jari kita dengan jarak 1 meter.
Bila sesorang tidak mampu melihat jari kita pada jarak 1 meter, maka dilakukan
uji dengan goyangan tangan. Dengan uji goyangan tangan, maka dapat dikatakan visus
penderita lebih buruk dari 1/60.
Orang dengan mata normal mampu melihat arah gerakan atau lambaian tangan
pada jarak 300 meter. Berarti, bila mata penderita hanya mampu mengenali arah goyangan
tangan pada jarak 1 meter, maka dikatakan orang tersebut memiliki visus 1/300.
Dengan kartu Snellen standar, maka seseorang dapat dinilai atau ditentukan visus
jauhnya seperti yang tertera pada kartu snellen tersebut. Bila sesorang hanya mampu
membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 30, berarti visus penderita 6/30. Bila
penderita hanya mampu membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 50, bertarti
tajam pemglihatan penderita adalah 6/50.
1
Faktor penyulit pada pemeriksaan subyektif adalah faktor kebohongan penderita
(simulasi). Untuk itu diperlukan kejelian dan pengalaman dalam menguji visus secara
subyektif ini.Pada pemeriksaan refraksi dikenal ada dua macam yaitu pemeriksaan refraksi
subyektif dan obyektif. Pemeriksaan refraksi subyektif hasil pemeriksaannya sangat
ditentukan oleh respon penderita, sehingga diperlukan suatu tindakan kerja sama
komunikasi antara pemeriksa dan penderita.
Lain halnya dengan pemeriksaan refraksi obyektif, hasil pemeriksaan ditentukan
obyektifitas pemeriksa, sehingga tindakan kerja sama antara pemeriksa dan penderita tidak
mutlak diperlukan. Misalnya pemeriksaan dengan streak retinoscopy atau
autorefraktometer.
Pada pemeriksaan refraksi subyektif ada estimasi-estimasi tertentu untuk
mempercepat waktu pemeriksaan, misalnya seseorang dihadapkan dengan kartu snellen,
dan ditanya pada baris yang menunjukkan angka tertentu memberi response kabur, maka
oleh penguji mengambil diagnose sementara bahwa orang yang kita periksa adalah
hypermetropia, atau myopia, astigmatis, atau hanya sekedar simulasi, disamping kelainan
organik. Dapat juga si penderita mengalami gangguan gabungan dari probabilitas di atas.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PEMERIKSAAN VISUS
I.1.DEFINISI
Pemeriksaan visus atau pemeriksaan ketajaman penglihatan adalah pemeriksaan fungsi
mata untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam
penglihatan.1
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu snellen
dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan
kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari) atau proyeksi sinar.1
Kemampuan mata melihat benda atau secara rinci sebuah objek secara kuantitatif
ditentukan dengan 2 cara :1
1. Sebanding dengan sudut resolusi minimum (dalam busur menit). Ini merupakan
tajam penglihatan resolusi. Disebut juga resolusi minimum tajam penglihatan.
2. Dengan fraksi snellen. Ini ditentukan dengan mempergunakan huruf atau cincin
Landolt atau objek ekuivalen lainnya.
I.2. INDIKASI
Tajam penglihatan seseorang dapat berkurang pada keadaan berikut :1
1. Kelainan refraksi seperti miopia (rabun jauh), rabun dekat (hipermetropia), astigmat
atau silendris.
2. Kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan badan yang kaca