PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI Siti Ramadhani KP, S.Ked Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang PENDAHULUAN Sinar Wood diciptakan pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan yang berasal dari Baltimore, Robert W. Wood ( r868 – 1955). Sinar dengan gelombang panjang yang dikenal sebagai cahaya Ultraviolet, disebut juga dengan lampu Wood. Lampu Wood telah menjadi alat praktik yang sangat berguna dalam ilmu kedokteran. 1,2 Sinar wood dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi melalui "wood’s filter" terbuat dari silikat dengan nikel oksida, yang buram terhadap semua radiasi melampaui panjang gelombang antara 320 nm dan 400 nm [ultraviolet A (UVA)], dengan puncak emisi pada 365 nm. Penggunaan pertama lampu Wood dilaporkan pada tahun 1925, yang dianjurkan untuk mendeteksi infeksi jamur di rambut. 1 Lampu Wood merupakan pemeriksaan sederhana dan mudah dalam menggunakannya. Saat ini, penggunaan lampu Wood tidak hanya dimanfaatkan untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi jamur, tetapi juga untuk evaluasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI
Siti Ramadhani KP, S.KedBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Sinar Wood diciptakan pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan yang berasal
dari Baltimore, Robert W. Wood ( r868 – 1955). Sinar dengan gelombang panjang
yang dikenal sebagai cahaya Ultraviolet, disebut juga dengan lampu Wood. Lampu
Wood telah menjadi alat praktik yang sangat berguna dalam ilmu kedokteran. 1,2
Sinar wood dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi melalui "wood’s filter"
terbuat dari silikat dengan nikel oksida, yang buram terhadap semua radiasi
melampaui panjang gelombang antara 320 nm dan 400 nm [ultraviolet A (UVA)],
dengan puncak emisi pada 365 nm. Penggunaan pertama lampu Wood dilaporkan
pada tahun 1925, yang dianjurkan untuk mendeteksi infeksi jamur di rambut.1
Lampu Wood merupakan pemeriksaan sederhana dan mudah dalam
menggunakannya. Saat ini, penggunaan lampu Wood tidak hanya dimanfaatkan
untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi jamur, tetapi juga untuk evaluasi
klinis berbagai jenis penyakit kulit seperti kelainan pigmen, infeksi kulit akibat
bakteri, dan porfiria.2 Agar lebih mudah untuk diaplikasikan dalam praktik sehari-
hari maka perlu pengetahuan dalam mempergunakan lampu Wood.
Tujuan penulisan referat ini untuk menjelaskan tentang teknik, aplikasi dan
fungsi dari lampu Wood untuk dapat membantu dokter lebih mengerti tentang
lampu Wood untuk menunjang penentuan diagnosis dan memberikan terapi yang
tepat.
LAMPU WOOD
gambar 1. Lampu wood.
Lampu Wood merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat
memberikan fluoresensi tertentu. Fluoresensi merupakan pancaran cahaya ketika
terpapar cahaya. Lampu Wood dapat memberikan fluoresensi dengan cara sinar
yang diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolit organisme penyebab sehingga menimbulkan indeks bias berbeda yang
dapat menghasilkan pendaran warna tertentu. Emisi gelombang panjang dari
lampu Wood dihasilkan oleh merkuri bertekanan tinggi yang cocok dengan filter
yang sudah dicampurkan oleh barium silikat dan 9 % nikel oksida yang diberi
nama filter Wood. Filter ini tidak tembus cahaya kecuali untuk cahaya ukuran 320
dan 400 nm dengan puncaknya pada 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika
cahaya dari panjang gelombang lebih pendek. dalam hal ini 340-400 nm, awalnya
dipancarkan oleh lampu wood, diserap dan radiasi dari panjang gelombang cahaya
biasanya terlihat dan dipancarkan.
Output pada lampu wood biasanya rendah, lampu wood yang khas
mempunyai output kurang dari 1 mW/cm2. Sementara itu kedua melanin
epidermal dan dermal menyerap dalam gelombang, yaitu adalah kolagen dalam
dermis yang dimana sesaat setelah absorbsi fluoresensi dapat terlihat pada batas
biru. Namun harus diingat dalam general fluoresensi pada kulit sangat buruk untuk
dikarakteristikan. Spektra fluoresensi pada kulit manusia seringkali berubah pada
paparan kronik dari sinar matahari, mungkin disebabkan oleh alterasi pada elastin
dermal.4
Gambar 2. Struktur fisika lampu wood
TEKNIK PEMERIKSAAN LAMPU WOOD
Penggunaan lampu Wood tidak memerlukan keahlian khusus. Namun,
beberapa hal praktis yang harus diingat untuk menghindari hasil positif palsu,
yaitu menegakkan diagnosis yang salah akibat salah mengelompokkan individu
kedalam suatu penyakit3:
1. lampu sebaiknya dipanaskan dahulu selama lima menit.
2. Ruangan pemeriksaan harus sepenuhnya gelap (ruangan tanpa jendela)
3. Pemeriksa harus beradaptasi pada kegelapan agar dapat melihat kontras
dengan jelas.
4. Kurang akurat pada orang kulit hitam.
5. Obat topikal, kassa, dan residu sabun harus dibersihkan karena dapat
menimbulkan fluoresensi.
6. Sumber cahaya berjarak 4 – 5 inci dari lesi.
7. Tidak membersihkan daerah yang akan diperiksa karena dapat
menimbulkan negatif palsu akibat dilusi pigmen.
Aplikasi Sinar Wood
Pemeriksaan sinar wood pertama kali ditemukan untuk kepentingan medis
dimanfaatkan untuk mendeteksi infeksi jamur. Pemeriksaan sinar wood bisa
digunakan pada beberapa kondisi dibawah ini:
1. Deteksi tinea capitis
Tabel 1. Karakteristik fluoresensi pada tinea kapitis.5
Organisme Warna Fluoresens
Microsporum audonii
Microsporum canis
Microsporum ferrugineum
Microsporum distortum
Microsporum gypseum
Trichophyton schoenleinii
Biru-hijau
Biru-hijau
Biru-hijau
Biru-hijau
Kuning-tidak mengkilat
Biru-tidak mengkilat
Dermatofita yang zoofilik dan geofilik dari genus Microsporum,
menghasilkan pigmen pteridine yang berfluoresensi di bawah sinar wood.6,7
2. Deteksi infeksi jamur lainnya
Tinea versicolor yang disebabkan oleh pytirosporum orbiculare
memperlihatkan warna kuning keemasan.5,7
3. Deteksi infeksi bakteri
Erythrasma, infeksi intertriginosa disebabkan Corynebacterium
minutissimum. Fluoresensi kerang merah terang (coral red) atau pink
orange disebabkan oleh Coproporphyrin III yang dihasilkan oleh C.
minutissimum.6,7 Porphyrin merupakan substansi yang larut dalam air, oleh
karena itu tidak akan terlihat jika sebelum dilakukan pemeriksaan sudah
dibersihkan dengan air.6
Gambar 1. Fluoresensi coral merah muda dari erythrasma di lipatan
pangkal paha, dilihat dengan sinar wood.6
Infeksi Pseudomonas aeruginosa mengeluarkan fluoresensi kuning
kehijauan akibat piosianin.6
4. Gambaran kelainan pigmentasi
Long-wave ultraviolet light (UVL) di transmisikan ke lapisan
dermis, maka akan memperlihatkan fluoresensi berwarna putih hingga
putih kebiruan. Melanin yang terdapat pada lapisan epidermis (bukan pada
lapisan dermis) bekerja untuk mengabsorbsi long-wave UVL dan dengan
demikian dapat menghalangi warna putih tersebut. Dibawah sinar wood,
bermacam-macam pigmentasi epidermal (freckles, vitiligo, melasma) dapat
dilihat lebih jelas, sedangkan pada pigmentasi dermis (Mongolian spot,
beberapa contoh hiperpigmentasi pasca inflamasi) tidak terlihat jelas atau
tidak terlihat perubahan warna yang jelas dibandingkan dengan sinar yang
visible. Sinar wood memperjelas antara kulit yang pigmentasi dan non
pigmentasi tetapi yang lebih utama adalah untuk membedakan
hipopigmentasi dari area amelanotic total. Sinar wood juga digunakan
untuk memeriksa pasien dengan vitiligo, albinisme, leprosy, dan gangguan
hipopigmentasi lainnya.7
Gambar 2. Fluresensi hipopigmentasi yang terlihat pada pemeriksaan
lampu wood.5
Hipermelanosis
Lampu wood bisa digunakan untuk membedakan kedalaman
melanin pada kulit. Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang
sering dijumpai, bersifat didapat dengan distribusi simetris pada daerah
yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya ditemui pada wanita
dengan usia reproduksi. Etiologi melasma masih belum dimengerti.
Adapun faktor- faktor yang berperan dalam patogenesisnya seperti faktor
endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV dan faktor-faktor
lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang
terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat
fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan
yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut terlibat dalam
patogenesis melasma. Patogenesis melasma selalu digunakan dalam
pelaksanaan proses diagnosis maupun proses pengobatan 4,5.
Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan dengan
biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi kulit,
baik ditingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga berhubungan
langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa mekanisme yang
bersifat spesifik 5.
Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma
a). Faktor Endokrin
Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain :
Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan