PEMENUHAN NAFKAH OLEH SUAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN BRUNEI DARUSSALAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Neilla Dian Fitryana NIM: 11140440000061 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
79
Embed
pemenuhan nafkah oleh suami dalam hukum keluarga di ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMENUHAN NAFKAH OLEH SUAMI DALAM
HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN BRUNEI
DARUSSALAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Neilla Dian Fitryana
NIM: 11140440000061
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
ii
PEMENUHAN NAFKAH OLEH SUAMI DALAMHUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN BRUNEI
DARUSSALAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ahdan Hukum Untuk Memenuhi SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H)
Oleh:
Neilla Dian Fitryana
NIM: 11140440000061
Pembimbing:
Dr. H. Abdul Halim M.Ag., CM
PROGRAM STUDI HUKUMKELUARGA FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM UNIVERSITASISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAHJ A K A R T A2020 M/ 1441 H
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strara 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua benar yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 14 Agustus 2020
Neilla Dian Fitryana
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Pemenuhan Hak Nafkah Oleh Suami Dalam Hukum
Keluarga Di Indonesia dan Brunei Darussalam” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Agustus 2020. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Prigram Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, Agustus 2020
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. (......................)
NIP. 197602132003122001
2. Sekretaris : Chairul Hadi, M.A. (......................)
NIP. 197205312007101002
3. Pembimbing : Dr. H Abdul Halim MA. (......................)
NIP. 196706081994031005
4. Penguji I : Dr. Hj. Azizah, MA (......................)
NIP. 196304091989022001
5. Penguji II : Hj. Hotnidah Nasution MA (......................)
NIP. 197106301997032002
v
ABSTRAK
NEILLA DIAN FITRYANA. NIM 11140440000061.PEMENUHAN NAFKAH
OLEH SUAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN BRUNEI
DARUSSALAM. Program Studi Hukum Keluarga.. Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441H/2020M
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum keluarga di
Indonesia dan Brunei Darussalam mengenai Konsep Nafkah bagi Suami menurut
Undang-undang yang berlaku yang ada di kedua negara ini, yakni Negara Indonesia
dan Brunei dengan membandingkan dengan cara menggunakan metode
perbandingan vertikal dan perbandingan horizontal dengan madzhab fiqih.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian komparatif dengan menggunakan
pendekatan normatif dan library research dengan melakukan pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan
dengan tema studi ini.
Studi ini menunjukkan bahwa bagi suami tidak mampu melaksanakan hak dan
kewajiban sebagai suami kepada isteri dan anaknya selama tiga bulan berturut-
turut, maka isteri boleh menuntut suaminya ke Pengadilan Agama untuk
menceraikan suaminya, yang tertera pada Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Lain hal dengan di Brunei Darussalam apabila suami tidak
mampu atau mempunyai tunggakan nafkah, maka isteri boleh dituntut sebagai suatu
hutang, yang tertera di dalam Perintah Darurat (Undang-undang Hukum Keluarga
Islam Brunei Tahun 1999).
Kata Kunci: nafkah suami, hukum keluarga, Brunei Darussalam,
Pembimbing : Dr. H Abdul Halim, M.Ag., CM.
Daftar Pustaka: 1998-2019
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
lipahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya
kepada penulis. Shalawat teriring salam dihaturkan kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat
manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dala
kesemptan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, III Fakultas Syariah daan Hukum.
2. Dr. Mesraini, S.H, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,
3. Dr. H. Abdul Halim., M.Ag. CM, Dosen pebimbing skripsi penulis yang
senantiasa memberikan bimbingan saran dan banyak ilmu kepada penulis
dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Hidayatullah Jakarta yang
telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan, yang
tidak penulis sebut satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Ibu dan adikku Nuke, Ziel dan sepupuku Adib dan mba Afri dan
seluruh keluarga besar yang sudah memberi dukungan dan semangat serta
doa kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini
7. Edi Yulianto sebagai kerabat dekat yang yang selalu memberi dorongan dan
penyemangat dalam penyelesaian skripsi penulis
8. Teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2014 yang tidak bisa sebut satu-
persatu yang sudah membantu dan memberi arahan kepada penulis dalam
Undang-Undang perdata sebagai bukti, yaitu adanya Undang-Undang
Muhammadn’s Law Enactmen Nomor 1 Tahaun 1911, yang khusus menangatur
masalah ibadah, nikah atau cerai bagi orag Islam, hingga tahun 1984 ketika
terjadi Revision Law of Brunei Undang-Undang inipun mengalami revisi tapi
hanya sedikit saja disamping namanya dirubah dengan Undang-Undang Majelis
Ugama dan Mahkamah Kadi yang hanya mengatur pesoalan perkawinan,
perceraian dan pembiayaan hidup/nafkah. 9
Undang-undang Hukum Keluarga Islam, 1999 Perintah Darurat Brunei
menjelaskan bahwa tunggakan nafkah yag tidak bercagar boleh boleh dituntut
sebagai suatu hutang daripada pihak yang mungkir itu dan jika tunggakan kena
dibayar sebelum suatu perintah penerimaan dibuat terhadap pihak yang mungkir
itu. Tunggakan itu terkumpul kena dibayar sebelum dia mati, tunggakan itu
hendaklah menjadi suatu hutang yang kena dibayar dari harta pustakanya,
Tunggakan nafkah yang tidak bercagar yang terkumpul yang kena dibayar
sebelum orang yang berhak terhadapnya itu mati, boleh dituntut sebuah suatu
hutang oleh wakil diri di sisi undang-undang orang itu.
Pasal 72 menyebutkan seseorang isteri boleh atas permohonannya di
mahkamah mendapatkan suatu perintah.10 Pembicaraan nafkah hanya dipakai
dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam dengan orang Islam yang lainnya.
yang termasuk kedalam ini adalah para isteri, anak sah yang belum dewasa,
orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak
diluar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim
yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah,
mahkamah kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa
dikuatkan melalui mahkamah majistret atau mahkamah kadi besar.11
9HUKUM%20KELUARGA%20ISLAM%20DI%20BRUNEI%20DARUSSALAM.pdf di
kutip pada tanggal 3 Maret 2020 Pukul 10:11 10 Perlembagaan Negara Brunei Darussalam Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga
Islam Tahun 1999 Bahagian VI tentang Nafkah Isteri, dan Anak 11 file:///H:/referensi/2638-5638-1-SM.pdf dikutip pada tangal 27 Februari 2020 Pada pukul
18:00
6
Dari kesimpulan diatas bahwa pembahasan Undang-Undang Indonesia
dan Brunei bahwa pembahasan tentang hukum keluarga tentang hak pemenuhan
nafkah oleh suami memiliki perbedaan aturan yang berbeda dalam pembahasan
nafkah sesuai imam madzhab, uniknya adalah ketika negara Indonesia dan
brunei darussalam memiliki mazhab yang sama yaitu sama-sama menganut
madzhab syafi’i. Sedangkan dalam madzhab syafi’i menyatakan bahwa apabila
suami tidak mampu dalam membayar nafkah isterinya boleh meminta fasakh.
Namun, kedua negara tersebut memiliki aturan yang berbeda dalam pemenuhan
nafkah oleh suami atau ketidakmampuan suami membayar nafkah kepada
isterinya.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas penulis mendapatkan identifikasi
masalah adalah sebagai berikut :
a. Hukum Keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam mengatur tentang
nafkah
b. Pemenuhan nafkah oleh suami di Indonesia dan Brunei
c. Pandangan Imam Mazhab tentang pemenuhan nafkah oleh suami di
Indonesia dan Brunei
C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi
masalah yang akan dibahas tentang perbandingan hukum keluarga pemenuhan
hak nafkah oleh suami di Indonesia dan Brunei khususnya ketidak-mampuan
membayar nafkah dalam pandangan imam madzhab sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan penulis.
Mengingat akan uraian di atas tentang hukum keluarga Indonesia dan
Brunei Darussalam yang mempunyai beberapa perbedaan dalam aturan-aturan
hukum keluarga maka penulis akan membatasi masalah skripsi ini bahwa yang
dimaksud nafkah adalah sesuatu harta yang dikeluarkan untuk kepentingan
istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang
7
Untuk memperjelas atas pembahasan yang tertera pada judul skripsi
penulis yaitu “Pemenuhan Nafkah Oleh Suami Dalam Hukum Keluarga di
Indonesia dan Brunei Darussalam” maka penulis membuat perumusan masalah
yang tertera di bawah ini :
D. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan nafkah bagi suami menurut Undang-Undang hukum
keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam?
2. Baagaimana Persamaan dan Perbedaan Pemenuhan Nafkah Suami di
Negara Indonesia dan Brunei Darussalam
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan penelitian dan penelitian ini akan dijelaskan
dibawah :
a. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan nafkah bagi suami menurut
Undang-Undang hukum keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam?
b. Untuk menganalisis persamaan dan perbedaan pemenuhan nafkah
suami di kedua negara tersebut?
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai referensi bagi mahasiswa Fakultas Syaria‘ah dan Hukum
khususnya bagi program studi Hukum Keluarga untuk mengetahui
beberapa perbedaan dan persamaan mengenai masalah nafkah bagi
suami di Indonesia dan Brunei
b. Bagi kalangan civitas akademi diharapkan penelitian akan menambah
khazanah keilmuan yang ada di syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Bagi masyarakat pada umumnya penelitian ini dapat menjadi ilmu
pengetahuan tambahan tentang permssalahan dalam nafkah di berbagai
negara khususnya Indonesia dan Brunei Darussalam
8
F. Metode Penelitian
Penelitian menurut Soejono Soekamto adalah suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode sistematika dan permikiran tertentu, dengan jalan
menganalisanya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan komparatif. Penelitian
komparatif (comparative study) merupakan penelitian membandingkan
kondisi yang ada di dua negara dengan dua atau sistem hukum yang ada
yang lebih baik. Skripsi ini juga bertujuan untuk menggaali lebih dalam lagi
tentang pemenuhan hak nafkah bagi suami serta perbedaan hukum keluarga
yang ada di Asia Ternggara yakni negara Indonesia dan Brunei Darussalam.
2. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan adalah normatif-yuridis.
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang menggunakan konsepsi legis
positivism. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang. Konsepsi memandang hukum sebagai suatu sistem normatif
yang bersifat mandiri, tertutup, dan terlepas dari kehidupan masyarakat
yang nyata.
3. Sumber Data dan Tekhnik Penulisan Data
Penelitian ini menggunakan dua data, yakni data primer dan data
sekunder. Adapun rincian masing-masing sumber adalah:
a. Sumber data primer adalah menggunakan Undang-Undang No 1 Tahun
1974, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Peraturan Negara Brunei Darussalam yang diatur
dalam Perintah Darurat (Undang-undang Hukum Keluarga Islam)
Tahun 1999.
b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data pendukung dalam
penelitian seperti, buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dan
lain-lain seperti pada penelitian diluar sumber primer
9
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama pengumpulan data adalah guna
memperoleh data yang diperlukan. Tekhnik pengumpulan data yang
digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian komparatif. Penelitian ini
bersifat membandingkan yani dengan membandingkan Hukum Keluarga
Indonesia dengan hukum keluarga Brunei Darussalam sudah sesuai dengan
hukum Islam belum. Teknik penulisan dalam skripsi ini berpendapat pada
buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017
G. Kajian Pustaka
1. Kajian Studi Terdahulu
Studi mengenai nafkah dalam Undang-Undang hukum keluarga di
negara-negara Muslim telah banyak menjadi perhatian para penelitian
terdahulu, namun khusus mengenai kajian nafkah suami dalam sistem
hukum keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam masih sangat terbatas,
diantaranya; Luthfah Rohmanah (2018) yang menjelaskan tentang aturan dan
proses dalam perceraian di Indonesia dan Brunei Darussalam.
Perbedaannya dari skripsi penulis adalah membahas tentang pemenuhan
hak nafkah oleh suami di negara Indonesia dan Brunei. Persamaannya
adalah landasan hukum yang sama baik landasan hukum Indonesia maupun
Brunei Darussalam.12 Fajar Devan Afrizon (2016) menjelaskan tentang
perbandingan perbedaan aturan yang dibuat di tiga negara yaitu Indonesia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam yang berisi tentang sanksi pelanggaran
dalam penanganan kasus poligami dan pencatatan perkawinan. Perbedaan
dengan skripsi penulis adalah membahas tentang perbandingan hukum
keluarga tentang pemenuhan hak nafkah oleh suami di Indonesia dan Brunei
12 Luthfah Rohmanah (2018). “Perbandingan Fikih Mazhab Dengan Hukum Keluarga Di
Indonesia dan Brunei Darussalam tentang Perceraian.” Skripsi pada Fakultas syari’ah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah Jakarta.
10
Darussalam. Persamaan nya dengan mengambil landasan hukum disetiap
negara.13
Sedangkan kajian Ade Irma Imamah (2018) perbandingan aturan
antar Indonesia dan Brunei Darussalam dalam pembahasan rujuk yang
diambil pada perspektif hukum Islam, gender dan HAM. Sedangkan skripsi
penulis membahas tentang perbandingan hukum keluarga tentang
pemenuhan hak nafkah oleh suami di Indonesia dan Brunei Darussalam
dalam perspektif Imam Madzhab.14 Ak MD Saifullah PG Sulaiman. (2015),
membahas tentang nafkah keluarga yang mencakup kewajiban suami
menafkahi isteri, kewajiban ayah bertanggungjawab atas anak, dan anak
yang sudah mampu menafkahi kedua orang tuanya. 15 Sedangkan studi ini
melakukan perbandingan hukum keluarga tentang hak pemenuhan nafkah
oleh suami di Indonesia dan Brunei Darussalam.
2. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari perbedaan pemahaman yang dimaksud dalam
tema penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa hal berikut ini;
a. Nafkah : Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya dalam
bentuk materi.
b. Hukum Keluarga merupakan keseluruhan ketentuan yang menyangkut
hubungan hukum mengenai keluarga sedarah dan keluarga karena
perkawinan, kekuasaan orang tua, dan perwalian.
c. Brunei Darussalam adalah negara yang berbentuk kerajaan dipimpin
seorang raja yang disebut dengan sultan. Negara ini menganut sistem
hukum keluarga yang merujuk pada mazhab Imam Syafi’iyah.
13 Fajar Devan Afrizon (2016), “Sanksi pelanggaran terhadap aturan poligami dan
pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan negara Brunei Darusaalam,” Skripsi pada
Fakultas syari’ah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta.
14 Ade Irma Imamah (2018), “Hak Penolakan Rujuk di Indonesia Dan Brunei Darussalam
Perspektif Hukum Islam, Gender dan HAM.” Tesis pada Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN Syarif
Hidayarullah Jakarta.
15 Ak MD Saifullah PG Sulaiman. (2015), “Nafkah Keluarga Menurut Hukum Syarak dan
Dalam Undang-Undang Keluarga Brunei Darussalam,” Tesis pada Fakultas Syari’ah dan Undang-
Undang Universitas Islam Sultan Syarif Ali Negara Brunei Darussalam.
11
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan
alur penulisan skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan dibahas dalam skripsi
ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Pada bab I pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, tekhnik penelitian, dan
sistematika penulisan
Pada bab II berisi tentang nafkah dalam pemikiran Islam yaitu tentang
pengertian dan dasar hukum nafkah, nafkah dalam pemikiran imam mazhab
yakni nafkah dalam pemikiran mazhab Hanafi, nafkah dalam pemikiran
Malikiyah, nafkah dalam pemikiran Hanabilah, dan nafkah dalam pemikiran
Syafi’iyah, nafkah dalam pemikiran ulama kontemporer di Indonesia dan
Brunei Darussalam.
Pada bab III berisi tentang hukum keluarga dalam perundang-undangan
di Indoneia dan Brunei Darussalam yaitu sejarah terbentuknya hukum keluarga
Indonesia dan brunei, pembaharuan hukum keluarga negara Indonesia dan
Brunei,sistematika peradilan Islam negara Indonesia dan Brunei Darussalam
Pada bab IV berisi tentang analisis perbandingan yaitu nafkah bagi suami
menurut Undang-undang negara Indonesia dan Brunei Darussalam. Sedangkan
Pada bab V berisi tentang penutup yaitu kesimpulan dan saran.
BAB II
NAFKAH DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Secara etimologi kata “نفقة” berasal dari bahasa arab artinya yaitu biaya,
belanja, pengeluaran uang. Kata نفقة dihubungkan dengan perkawinan maka
mengandung arti “sesuatu yang dikeluarkan nya dari hartanya untuk
kepentingan isterinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang.
Sedangkan nafkah isteri yakni termasuk kewajiban suami terhadap
isterinya memberi nafkah maksudnya ialah menyediakan segala keperluan iseri
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu dan apabila
suaminya kaya. Dengan demikian nafkah isteri berarti pemberian yang wajib
dilakukan oleh suami terhadap isterinya dalam masa perkawinannya.
Kata نفقة adalah jama’ dari kata النفقة secara etimologi berarti uang, dirham,
atau yang sejenisnya dari harta benda. Atau An-Nafaqah secara bahasa berarti
mengeluarkan dan menghabiskan harta. 16
Jadi, nafkah merupakan biaya hidup yang menjadi hak isteri baik dalam
perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian dengan ketentuan adanya
limit waktu setelah terjadinya perceraian. Seorang suami wajib memberi
nafkah17
Hukum membayar nafkah untuk isteri, baik dalam bentuk perbelanjaan,
pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena isteri
mrmbutuhkan bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul
dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan isteri.18
Setelah mengetahui pengertian dan hukum nafkah,maka perlunya
mengetahui apa yang ada di Al-Qur’an agar manusia dibumi ini tidak semena-
mena dalam memandang suatu nafkah. Dalam Al-Qur’an antara lain :
16 Sofiandi dkk, Nafkah Dalam Pandangan Islam, (Riau ,PT. Indragiri Dot Com, 2019), h.
6-7. (Selanjutnya disebut Nafkah Dalam Pandangan Islam) 17 Sofiandi dkk, Nafkah Dalam Pandangan Islam, h. 6-7. 18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, KENCANA, Cet I
2006), h. 166.
13
ا م ب ض و ع ى ب ل م ع ه عض ب ل للا ا فض م اء ب س لى الن ون ع ام و ال ق ج الر
ظ للا ف ا ح م ب ب ي غ ل ات ل ظ اف ات ح ت ان ات ق ح ال الص م ف ه ل ا و م ن أ وا م ق ف ن أ
ن وه ب اض ر ع و اج مض ن في ال وه ر ج اه ن و ظوه ع ن ف ه شوز ون ن اف خ تي ت الل و
ا19 يرا ب ا ك ي ل ان ع ك ن للا يلا إ ب ن س ه ي ل غوا ع ب ل ت م ف ك ن ع ط ن أ إ ف
Artinya ; kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan bagian mereka (laki-laki) sebagian yang
lain (wanita), dan karena merekka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, telah
ialah yang taat kepada Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka ditempat ditempat tidur mereka, dan pukullah
mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusuhkannya. Sesungguhnya Allah maha
tinggi lagi maha besar.
Ayat diatas merupakan sebab analisis logis kenapa pembebanan
pemberian nafkah tersebut diletakkan atas pundak suami. Alasannya adalah
bahwa secara naruli dan tbiatnya. Suami pada umumnya lebih kuat
dibandingkan dengan isteri. Kondisi seperti ini sangat manusiawi dan secara
fisolofis menunjukkan dengan jelas proposionalitas Islam dalam memposisikan
wanita sebagai mahluk yang harus dihormati dan diperlakukan dengan lemah
lembut sesuai dengan tabiatnya.
ن أ اد ر ن أ م ن ل ي ل ام ن ك ي ل و ن ح ه د ل و ن أ ع ض ر ات ي د ال و ال و
وف ر ع م ال ن ب ه ت و س ك ن و ه ق ز ه ر ود ل ل و م لى ال ع ة و اع ض م الر ت ي
20
Artinya : para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh. Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf
Kata wa’adal mauludi lahu menunjukan wajib nafkah bagi
seorang ayah terhadap isteri, baik pangan yang diungkapkan dengan
kata Kiswatuhunna. Namun beban kewajiban tersebut dibatasi oleh
19 Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 34 20 Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 233
14
Allah SWT dengan kata bilma’ruf yang bermakna sesuai dengan
standar umum yang berlaku dan kemampuan suami.
B. Nafkah Dalam Pemikiran Imam Mazhab
1. Nafkah dalam Pemikiran Madzhab Hanafiyah
Nafkah menurut madzhab Hanafi adalah suatu yang digunakan
memenuhi kebutuhan hidup. Yang dimaksud dengan sesuatu disini adalah
segala hal, baik itu yang bersifat pangan, sandang, maupun papan yang bisa
digunakan memenuhi kebutuhan hidup. Standar ukuran nafkah bagi Imam
Abu Hanifah yang menjadi standar ialah keutamaan kebutuhan isteri.21
2. Nafkah dalam Pemikiran Madzhab Malikiyah
Nafkah terkait dengan perkara yang berhubungan dengan kebutuhan
dasar manusia yang terpisah dari aspek pengeluaran ekonomi. Sebagian dari
ulama madzhb ini beranggapan bahwa nafkah hanya terkait dengan pangan
yang berupa bahan makanan pokok saja, namum sebagian yang lainnya juga
memasukkan kategori sandang dan sandang dan pangan serta hal lainnya.
tanpa ada pembatasan apapun juga , namun yang harus digaris bawahi disini
adalah bahwa, menurut madzhab maliki, nafkah hanya terbatas pada
pemenuhan kebutuhan dasar selain manusia. Standar ukuran nafkah yang
dimiliki madzhab Malikiyah sama dengan Imam Abu Hanifah
3. Nafkah Dalam Pndangan Madzhab Syar’iyyah (Syafi’iyah)
Nafkah hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pangan berupa
makanan pokok dan tidak termasuk didalamnya kebutuhan sandang ataupun
papan. Namun, skala pemberiannya lebih luas, tidak hanya kepada isteri,
nafkah berupa pangan ini juga harus diberikan kepada orang yang menjadi
tanggungannya didalam rumah dari adik ipar atau sepupu yang kebetulan
tinggal bersamanya (Nafkah al-Qorobah) seperti asisten rumah tangga
hingga hewan peliharaan (Nafkah al-Mulk). Standar ukuran madzhab
21 Ibid Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 170.
15
Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah
isteri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami.22
4. Nafkah Dalam Pandangan Madzhab Hanbaliyah
Jika oleh syar’iyyah nafkah dibatasi terhadap kebutuhan pangan saja,
maka kebalikannya pada madzhab hanbali. Oleh karena itu, nafkah
mencakup kebutuhan hidup secara umum, dari pangan, sandang hingga
hingga papan dan kebutuhan-kebutuhan suplementer lainnya..
pemberiannya tidak hanya pada nafkah zaujiyyah saja namun juga termasuk
nafkah al-qorobah dan al-mulk.
C. Nafkah Dalam Pemikiran Ulama Kotemporer di Indonesia dan Brunei
1. Nafkah Dalam Pandangan Ulama Kotemporer di Indonesia
Selain pengertian nafkah dari madzhab fiqih selanjutnya ada
pembahasan pengertian nafkah dari beberapa ulama kotemporer yaitu
sebagai berikut :
a. Adul Rahman Al-Jaziri mendefinisikan nafkah yaitu seseorang
mengeluarkan kebutuhan hidup kepada orang yang wajib dinafkahi
berupa roti, lauk pauk, pakalian, tempat tinggal dan hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan hidup seperti air, minyak, listrik, dan
sebagainya.
b. Al-Said Al iman Muhammad Ibnu Ismail Al Kahlani mengemukakan
definisi nafkah sesuatu yang diberikan manusia untuk kebutuhan
sendiri, maupun orang lain berupa makanan, minuman dan selain
keduanya
c. Hassan Ayyub mendefinisikan semua kebutuhan dan keperluan yang
berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah,
dan lain lain
2. Nafkah Dalam Pamdangan Ulama Kotemporer Brueni Darussalam
Brunei Darussalam memiliki buku yang berisikan fatwa yang
difatwakan oleh mufti seperti halnya Indonesia adalah Majlis Ulama
22Ibid Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 171.
16
Indonesia (MUI) yang fungsimya membuat fatwa untuk kemaslahatan
seluruh umat muslim yang ada di Indonesia, begitupun di Brunei memiliki
fatwa. Berikut fatwa tentang nafkah yang ada di buku Irsyad Hukum yang
di terbitkan oleh Jabatan Mufti Kerajaan Jabatan Perdana Menteri Negara
Brunei Darussalam sebagai berikut :
Hak-hak yang wajib ditunaikan oleh seorang suami terhadap
isterinya adalah;
a. Makanan
Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan
makanan asasi bagi sebuah negeri seperti beras di Negara
Darussalam. Bagi suami yang mampu atau kaya, dia wajib
memberi nafkah sebanyak dua mudd, yaitu bersamaan dengan 1
kilo 133.70 gram beras. Manakala suami yang tidak mampu
hanya wajib satu mudd sahaja yaitu 556.85 gram bagi setiap hari.
Adapaun bagi orang yang pertengahan, wajib membayar 1 ½
mudd yaitu bersamaan 850.275 gram.
Menurut Imam as-Syirazi Rahimahullah pula adalah harus
bagi suami memberi beras itu dengan nilaian harga jika suami
isteri setuju.
b. Pembantu bagu isteri yang biasanya mempunyai pembantu
Suami yang berkemampuan dituntut menyediakan pembantu
jika isteri daripada keluarga yang kebiasaannya mempunyai
pembantu. Dalam hal ini, suami juga wajib membayar nafkah
bagi pembantu tersebut seperti bayaran gaji, makan, minum dan
pakaiannya.
c. Pakaian
Menurut ulama, urusan menyediakan pakaian isteri tertakluk
pada kemampuan suami karena tidak ada nash yang menentukan
kadar dan jumlahnya. Akan tetapi hakim atau kadi boleh
17
menentukan kadar dan jumlahnya itu dengan
mempertimbangkan keadaan dan kemampuan suami.
Termasuk dalam kategori pakaian yang wajib disediakan itu
ialah milhafah (selimut) wisadah (bantal), labid (hamparan
permadani yang tebal atau tilam) hasyir (tikar) dan lain-lain.
Alat-alat pembersih badan dan pencuci pakaian sikat dan
sebagainya,
d. Rumah serta perkakas-perkakasnya
Suami wajib menyediakan tempat tinggal atau rumah untuk
isterinya sama ada dengan membeli, menyewa, meminjam atau
didapatkan melalui waqaf. 23
Dari sekian banyak definisi nafkah yang telah diutarakan
diatas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa nafkah merupakan
pemenuhan segala jenis kebutuhan yang dianggap subtansial
untuk menunjang kehidupan. Adapun standar yang dianggap
cukup berdasarkan kebiasaan umum yang tidak berlebihan. 24
23 Jabatan Penerangan Buku Irsyad Hukum disusun oleh Mufti Kerajaan
A. Sejarah Terbentuknya Hukum Keluarga Di Indonesia dan Brunei
1. Indonesia
Sejarah hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu
hukum keluarga pra-kemerdekaan, yang dibagi menjadi dua yaitu hukum
keluarga pra-penjajahan (pra-kolonial), dan hukum keluarga zaman
penjajahan (kolonial). Hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam
tiga yaitu hukum keluarga awal kemerdekaan, hukum keluarga ssudah
1950, dan terbentuknya Undang-undang perkawinan baru. Berikut
uraiannya.25
a. Kerajaan Islam
Hukum Islam mulai berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam di
Indonesia. Hukum Islam ada ketika pertama kali orang Islam
menginjakkan kakinya di Indonesia (abad 12-17 M). Penyelesaian
perkara masih dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam
(abritase)26
Pada abad ke-13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara
menganut hukum Islam Madzhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15
dan 16 M di pantai utara Jawa terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan
Demak,Jepara, Tuban, Gresik, dan Ngampel. Sementara itu, dibagian
timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan
juga menganut hukum Islam Madzhab Syafi’i.
25 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandar Lampung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h. 60-64. 26 Ali Sodikin, Ushul Fiqh: Sejarah Metodologi dan Implementasinya di Indonesia
(Yogyakarta, Beranda, 2012), h. 181.
19
b. Masa Penjajahan Belanda
Masa awal penjajahan Belanda hikum perkawinan yang berlaku
adalah hukum perkawinan Islam lebih khusus berasal dari kitab-kitab
fikih yang menggunakan bahasa arab dari kitab Undang-Undang yang
dibuat oleh beberapa kerajaan Islam. Undang-Undang Perkawinan
yang terpapar dalam staablad tahun 1929 menempatkan penghulu
sebagai pegawai pemerintah yang berada dibawah kontrol Bupati
Kemudian tahun 1931 keluar Undang-undang staatblad No 53,
Undang-undang ini memberikan efek yang serius bagi eksistensi
hukum Islam.
c. Masa Kemerdekaan
Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah RI telah menerapkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pentatatan Nikah,
Talak dan Rujuk dan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947
tentang Pegawai Pencatat Nikah.27 Menteri Agama membentuk Panitia
Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (NIR) yang
bertugas menjadi RUU (Rancangan Undag-Undang) yang selaras
dengan keadaan zaman.28 Pada masa orde baru inilah keinginan untuk
mewujudkan Undang-undang perwakilan bangkit kembali yang
berujung dengan diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU)
perkawinan oleh Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari
pemerintah DPR pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun demikian
ternyata darft RUU tersebut menuai banyak kecaman terlebih dari
kalangan umat Islam yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak
sesuai dengan hukum Islam. Dengan perjalanan yang berliku dan
pejuang yang keras akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU
perkawinan disahkan menjadi Undang-Undang . kehadiran UU No 1
Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana
27 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
157. 28 Ibid Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 158.
20
pertama. Peratura Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1975 yang diundangkan
tanggal 1 April 1975. Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Ketiga Petunjuk Mahkamah Agung RI.29
Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa 1.
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, 2.
Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan
secara efektif dan Undang-undang No 1 Tahun 1974. Bagi umat Islam
diatur dalam Peraturan Menteri Agama No 3 Tahun 1975 dan No. 4
Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama No 3
Tahun 1975. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan
Dalam Negeri No. 221 Tahun 1975, Tanggal 1 Oktober 975 tentang
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.
Kemudian pada tahun 1983 lahir pula PP No 10 yang mengatur izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan
pada tanggal 21 April 1983. Selanjutnya disusul dengan Undang-
undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian pada
tahun 1990 keluar PP No 45 yang berisi perubahan PP No 10 Tahun
1983. Kemudian satu tahun setelah nya telah disusun Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan, dan
perwakafan.30
Latar belakang penyusunan KHI didasarkan pada konsideran
Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama
tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 tentang Penunjukan
Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
yudisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek KHI.31Proses
29 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan dan Menteri& Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009),
h. 48. 30 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Dunia Muslim, h. 49. 31 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Akademika Presindo, 1992),
h. 15.
21
pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat dengan kondisi
hukum Islam di Indonesia selama ini. Dalam membicarakan hukum
Islam di Indonesia. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang
diperangi ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah
hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari
ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional
dan merupakan beban dalam pembinaan dan pengembangannya.32
KHI ini merupakan keberhasilan besar besar umat Islam
Indonesia pada pemerintahan orde baru. Tujuan perumusan KHI di
Indonesia adalah menyiapkan pedoman fikih yang seragam dan telah
menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa
Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini diharapkan tidak akan
terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan
Agama. Apabila tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi
kitab fikih yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasarkan situasi
dan kondisinya diamana fuqaha itu berada sebagai akibat rujukan yang
berbeda.33
2. Brunei Darussalam
Negara Brunei meruakan salah satu negara kerajaan Islam di utara
bagian utara kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan diutara dan
Serawak dibarat, dan timur. Luas :5765 km. Pendudu: 264.000. komposisi
penduduk melayu (69%) asli (5%). Cina (18%), dan bangsa-bangsa lain
(8%). Agama resmi Islam (67%) Sedang yang lainnya Budha (14%),
Kristen (9,7%) dan lainnya (12%) termasuk agama pribumi suku dayak.
Bahasa resmi Melayu. Ibukota Bandar Sribegawan. Mata uang: Dollar
Brunei (100 Cents). Sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan
32 M Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta :Rajawali Press, 1996), h. 198. 33 Asril, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” Hukum Islam vol XV, No 1 (Riau: Juni,
2015), h. 33.
22
minyak. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Asia karena
hasil minyak buminya.34
Brunei berada di bawah kekuasaan inggris selama 100 tahun, pada
tahun 1963 menolak bergabung dengan negara Malaysia dan berdiri sendiri
Dari Inggris pada tahun 1983. Brunei memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 1 Januari 1984 dengan ibukota Bandar Seri
Bengawan. Atas kemerdekaan dari penjajah Inggris, maka Brunei menjadi
sebuah Negara melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi atau
kebudayaan melayu yang memiliki unsur-unsur kebaikan dan
menguntungkan. Dengan konstitusi yang berdasar pada alliran Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i. Namun demikian, dalam
beberapa aturan hukum lainnya yang tidak diatur dalam hukum keluarga,
warga Negara Brunei tetap mempunyai hak untuk memilih atas beberapa
mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.35
Sebelum datangnya Inggris, Undang-undang yang dilaksanakan di
Brunei adalah Undang-undang Islam yang telah dikanunkan dengan
Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada Pemerintahan Sultan
Hasan (1605-1619M) yang disempurnakan oleh sultan Jalilul Jabbar (1619-
1652M). Pada tahun 1847 Inris mulai mencampuri urusan bidang
kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brueni karena itu pada tahun inilah
semakin jauh mencampuri urusan hukum. Brunei setelah diadakan
perjanjian tahun 1856. Dengan perjanjian ini Inggris merasa mempunyai
saluran untuk intervensi dalam masalah keadilan dan kehakiman
Kesultanan Brunei.36
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada
tangun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang
dari Cina Islam telah menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang
34 Asril, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” h. 33. 35 Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau, vol 2, No.,
2, 2015, h. 150. 36 Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 173.
23
Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah
(1406-1408). Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan revisi pada
beberapa hal menyangkut tata pemerintahan yaitu:
a. Menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama
dianggap memainkan peranan penting dalam memnadu Negara Brunei
Darussalam ke arah kesejahteraan.
b. Menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka
maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan
raja.
c. Menguatkan Undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang
mengandung 46 pasal dan 6 bagian.
Pada tahun 1888-1983 Negara Brunei Darussalam berada dibawah
penguasa Inggris. Kemudian Brunei memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 31 Desember 1983.37
Pemberian kekuasaan dalam bidang hukum secara penuh baru
diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya. Perjanjian pada 1888
dalam artikel VII yang membuat aturan.
a. Bidang kuasa sivil dan jenayah kepada jawatan kuasa kehakiman
Inggris untuk mengendalikan kes rakyat asing dari negara-negara
jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan
kerajaan negara mereka
b. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei
jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau
pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes itu, rakyat Brunei adalah
orang yang dituntut dan didakwa maka kes itu akan diadili oleh
Mahkamah Tempatan.
37 Ibid Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
h. 173.
24
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain
dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-undang
Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati
sultan dalam masalah agama Islam benar-benar berfungsi sebagai
pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara.38
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah
adanhya perjanjian tahun 1906. Adanya perjanjian tersebut Inggris lebih
leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tagan dalam urusan
perundang-undangan, pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara
dan pemerintah kecuali dalam perkara-perkara agama Islam. Karena
Undang-undang adat dan kedudukan hukum syara dirasa tidak begitu jelas,
Kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruhjaya British pada 2 juli
1906 yang isinya menuntut.
a. Setiap kasus yang berkaitan dengan Agama Islam diadili oleh hakim-
hakim setempat.
b. Meminta agar adat-adat undang-undang setempat tidak ditombak,
dipindah dan dilanggar selama-lamanya.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus
dirombak, seperti pada tahun 1912 Majlis Masyarakat Negeri telah
mengundangkan Undang-undang Agama Islam yang dikenal dengan
“Muhammadans Law Enactment yang disempurnakan pada tahun 1913
dengan aturan yang dikenal dengan “Muhammadan’s Marriage and
Divorce Enactment”. Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya
Undang-undang Majlis Ugama, Adata Negeri dan Mahkamah Kadi tahun
1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu
berturut-turut undang-undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun
1957, 1960, 1961, 1967.
38 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 110.
25
Ketika menjadi Revision Law of Brunei pada tahun 1984, Undang-
undang inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja di samping namanya
ditukar dengan akta ini merupakan akta yang menyatukan Undang-undang
yang ditadbir oleh Mahkamah Kadi dan juga bagi membolehkan penubuhan
institusi-institusi yang mengurus dan mentadbir perjalanan agama Islam di
Negara Brunei Darussalam antara ciri utama akta ini adalah merangkumi
Undang-undang subtantif yang berkaitan dengan keterangan, kesalahan
jenayah Syari’yah, dan lain-lain. Salah satu perkara yang penting yang perlu
dinyatakan dalam kajian ini adalah Akta Majlis Ugama Islam dan
Mahkamah-mahkamah Kadi ini wujud sebelum termaktubnya Undang-
undang perlembagaan Brunei. Akta ini kemudian telah mengalami beberapa
pindaan apabila tubuhnya Mahkamah-mahkamah Syar’iyah pada 26 Mac
2011 melalui satu akta yang dinamakan sebagai Perintah Darurat
(Mahkamah-mahkamah Syari’ah) 1998. Beberapa peruntukan yang
terkadang dalam Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-mahkamah Kadi
tersebut telah dimansuhkan dengan sebagaimananya masih lagi terpakai dan
berkuat kuasa. Antara peruntukan yang masih terpakai dan berkuat kuasa
adalah berkenaan pemelukan Islam yang kandungannya sangat ringkas dan
kurang jelas. Manakala peruntukan yang menyentuh hal-hal kekeluargaan
telah dimasukh dan diganti dengan Perintah Darurat Undang-undang
Keluarga Islam.39
Menurut Undang-undang ini didasarkan pada perundangan yang
berlaku di Negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian
dengan kondisi Brunei. Peraturn ini membuat peraturan tentang;
a. Pendahuluam (Bagian I Pasal 1-4)
b. Majlis Ugama Islam (Bagian II Pasal 5-44)
c. Mahkamah Syari’yah (Bagian III Pasal 45-96)
d. Masalah Keuangan (Bagian IV Pasal 134-122)
e. Masjid (Bagian V Pasal 123-133)
39 Saaidah binti Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-undang, (Bandar
Seri Bengawan: Pusat Da’wah Islamiah, 2012), 10-11.
26
f. Perkawinan dan Perkawinan (Bagian VI Pasal 123-156)
g. Nafkah Tanggungan (Bagian VII Pasal 157-163)
h. Mualaf (Bagian VIII Pasal 164-168)
i. Kesalahan (Bagian IX Pasal 169-195)
j. Perkara Umum (Bagian X Pasal 196-204).
Pada tahun 1999 Undang-undang telah diluluskan yaitu Perintah
Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999, yang menjadi rujukan
kepada hal ehwal yang berhubungan dengan institusi keluarga seperti
perkahwinan dan perceraian. Perintah ino juga dikenal sebagai “suatu
perintah bagi menggubal untuk hal tertentu mengenai Undang-udang
Keluarga Islam berkaitan dengan perkawinan, perceraian, nafkah,
penjagaan, dan perkara-perkara lain berhubungan dengan kehidupan
keluarga”. Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999
mweupakan Undang-undang Keluarga yang mempunyai peruntukan yang
lebih kemas dan menyeluruh. Perintah ini tidak memansukhkan peruntukan
dalam Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi yang berurusan
dengan orang muslim di Brunei.40
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999 ini
mengandung sepuluh bahagian, yaitu sebagai berikut:
a. Gerakan dan Tafsiran (bab 1- bab 7)
b. Perkahwinan dan orang yang boleh mengakad nikahkan perkahwinan
(bab 8- bab 23)
c. Pendaftaran Perkahwinan (bab 24-bab 32)
d. Hukuman dan Peruntukan rapaian berhubungan dengan akad nikah dan
pendaftaran perkahwinan (bab 33- bab 39)
e. Pembubaran Perkahwinan (bab 40- 60)
f. Nafkah, Isteri, dan Anak (bab 61-87)
g. Penjagaan (bab 88- bab 94)
h. Rampaian (bab 113- bab 122)
40 Saaidah binti Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-undang, h.11-12.
27
i. Hukuman (bab 123- bab 139)
j. Perkara-perkara AM (bab 140- bab 147).
Perkara am adalah membetulkan kesilapan-kesilapan, pemeriksaan
daftar dan indeks, bukti, kuasa untuk membuat aturan Hukum Syara’
hendaklah dikenakan jika tiada peruntukan, pengecualian, pemansukhan
dan pidanaan bab 5 dari penggal 124.
B. Pembaharuan Hukum Keluarga Indonesia dan Brunei
Pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim, terutama terjadi
terjadisetelah ada persentuhan antara Islam dan barat, ketika masa kolonialisme.
Sehingga pasca-kolonialiasme pembaharuan inipun terjadi di beberapa negara
muslim yang baru merdeka. Tanggapan dan respon umat Islam terhadap
baratpun terkait dengan kemajuan barat dan kemunduran umat Islam berbrda-
beda. Pertama, ada yang menolak barat, sehingga pembaharuan mereka adalah
purifikasi Islam. Menurut barat, umat Islam mundur karena telah meninggalkan
Islam yang murni. Sehingga untuk mendapatkan kemajuannya umat Islam harus
kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Pembaharuan hukum Islam memiliki konsep dan metode yakni ada tiga
macam metode yaitu Intra-doctrinal Reform yang berprinsip tetap merajuk pada
konsep fiqih dengan cara Tahyir (memilih pandangan salah satu ulama fiqih,
Ektra-doctrinal Reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqih
konvensional tapi merujuk pada nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
dengan menggunakan metode penafsiran ulang terhadap nash (Reinterpretasi)
dan Regulatory Reform yang perkembangan masyarakat muslim yang
bersentuhan dengan Barat.
Hingga saat ini pengaruh mazhab-mazhab fiqih ini masih kuat diberbagai
di negara Muslim. Seperti Dinasti Usmani menganut mazhab Hanafiyah:
kemudian madzhab ini menyebar di dunia Arab; dan dibawa ke Dinasti Mughal
oleh Turki Usmani, sehingga mayoritas masyarakat muslim di Afganistan,
Pakistan, dan India juga menganut madzhab ini. Masyarakat muslim di
beberapa negara Melayu menganut madzhab Syafi’i. Iran menganut mazhab
28
Ja’fari (Syi’ah). Adapun Negara-negara muslim di Afrika Utara, Algeria, Libya,
Tunisia, Maroko dan sebagainya, menganut mazhab Maliki.41
1. Indonesia
Indonesia memiliki tahap dalam pembaharuan hukum keluarga Islam
yakni sebagai berikut:
a. Periodesasi Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak
yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum
Islam bidang keluarga di Indonesia sekularisme di segala bidang
kehidupan telah diperbarui, dikembangkan selaras dengan
perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara persial,
maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX
setahap demi setahap. Perkembangan Hukum Islam bidang keluarga di
Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang-undang
Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri
memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan
hukum keluarga agar kehidupan wanita, isteri, ibu, dan anak-anak di
dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.
b. Metode Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia
Pembaharuan hukum Islam dengan metode Intra-doctrinal ini
merupakan pembaharuan hukum Islam yang didasarkan keada mazhab
hukum Islam (fiqih) yang dianut oleh mayoritas masyarakat suatu
Negara seperti di Indonesia yang menganut mazhab Sunny dan lebih
banyak mengambil dari doktrin Imam Syafi’i. Mesir pada awalnya
menganut Syafi’iyyah,kemudian setelah penyebaran melalui Dinasti
Usmani beralih kepada mazhab Hanafiyah hingga sekarang ini.
c. Konsepsi Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam.
Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan
41 Ibid
29
dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai
pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Pada
dasarnya sesuatu itu tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu
hal yang mendasarina, seperti halnya hukum keluarga Islam tidak akan
pernah ada tanpa adanya sesuatu hal yang melatar belakanginya, karena
Negara Indonesia tidak semua masyarakatnya berkeluarga dengan
beragama Islam sehingga sejarah, peristiwa dan sebab lahirnya hukum
keluarga Islam dianggap sangat kontroversial.
Hukum keluarga sangat penting kehadirannya ditengah-tengah
masyarakat muslim karena permasalahan tentang keluarga tidak bisa
disamakan dengan yang beragama selain muslim, sehingga masyarakat
menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku khusus,
apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula
sehingga dibutuhkan metode-metode untuk pembaharuan hukum.
Lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban dari keresahan,
ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi
pedoman, dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum
keluarga.
Pada zaman modern khususnya abad ke XX, bentuk-bentuk
literatur hukum Islam telah bertambah menjadi dua macam, selain
fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab-kitab fiqih. Adapun yang
pertama ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara muslim
khususnya mengenai hukum keluarga, sedangkan yang kedua adalah
KHI yang merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi,
tetapi juga bukan kitan fiqih. Sikap para ulama terhadap
diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara
muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Diantara para
ulama ada yang masih mempertahankan ketentuan hukum lama dengan
kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun
subtansi hukumnya. Dibelakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
30
1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki
peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah
keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan serta masalah wakaf).
Sementara itu ada sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada
yang mempelajari dan memahami berbagai aturan dalam kedua
Undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai
dengan apa yang tertera di dalam kitab-kitab fiqih. Tetapi, sebagian
ualama lain justru merasa bangga dengan lahirnya Undang-undang itu
karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan
pemikiran umat Islam Indonesia pada tahun 1988 yang kemudian diikuti
dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk
menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan kompilasi
terssebut.
d. Hukum Keluarga Islam di Indonesia Amtara Syari’ah dan Hukum
Sekuler
Pembaharuan hukum keluarga Islam, Indonesia cendrung
menempuh jalan kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler Hukum
keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada