PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares) Oleh: MUSFIQ AMIRULDIN F 34103109 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN
DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
Oleh:
MUSFIQ AMIRULDIN
F 34103109
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
“Bacalah!! dengan menyebut nama
Tuhanmu, Yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah!!! Dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah. Yang telah mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia telah
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al ‘Alaq: 1 – 5)
“Sebuah karya untuk kedua orangtuaku dan orang-orang yang menyayangiku!!!”
Musfiq Amiruldin. F 34103109. Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev dan Drs. Tazwir. 2007
RINGKASAN
Gelatin merupakan suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen hewan. Limbah tulang ikan tuna (Thunnus albacares) selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, padahal di dalam tulang ikan mengandung kolagen yang dapat diekstraksi menjadi gelatin. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik ekstraksi gelatin dari tulang ikan tuna dan mempelajari pengaruh perendaman tulang dengan konsentrasi basa (NaOH) yang berbeda sebelum perendaman asam (HCl) terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna serta mengkaji karakteristik gelatin dari tulang ikan tuna yang meliputi sifat fisik, sifat kimia, dan kandungan mikrobiologi.
Proses penghilangan lemak dan protein non kolagen pada tulang ikan dapat menaikkan mutu gelatin. Pembuatan gelatin dari tulang ikan yang paling baik menggunakan asam klorida (HCl). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan perendaman tulang sebelum perendaman asam klorida (HCl) yaitu tanpa perendaman NaOH, perendaman NaOH 0.4% dan 0.8%. Pengamatan yang dilakukan meliputi rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin.
Gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki rendemen berkisar antara 5.76 – 8.37%, pH berkisar antara 4.15 – 5.54, viskositas berkisar antara 3.23 – 5.57 cP, dan kekuatan gel berkisar antara 104.6 – 151.8 gr bloom. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi NaOH berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan. Dari Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan sebelum perendaman HCl yang menghasilkan gelatin terbaik adalah perendaman tulang dengan NaOH 0.4% sebelum perendaman HCl.
Karakteristik fisikokimia gelatin dari perlakuan terbaik (perendaman tulang dengan NaOH 0.4% sebelum perendaman HCl) dihasilkan kadar air 6.08%, kadar abu 1.02%, kadar protein 88.53%, kadar lemak 1.02%, kekuatan gel 151.8 gr bloom, viskositas 5.57 cP, pH 5.01, titik gel 9.000C, titik leleh 25.300C, titik isoelektrik 7.67, derajat putih 33.7%, kandungan Pb 0.55 ppm, kandungan Hg tidak terdeteksi, komposisi asam amino glisin 18.703%, prolin 10.65% dan hidroksiprolin 8.22%, total mikroba 4,5 x 104 unit koloni/gram, kandungan E.coli dan Salmonella negatif.
Musfiq Amiruldin. F 34103109. Processing and Characteristic Analysis of Gelatin from Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) Bones. Supervised By Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev and Drs. Tazwir. 2007
SUMMARY
Gelatin is one of protein extraction from animal kolagen tissues. The waste of Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) bones has not been used optimally, in fact in fish bones contain collagen which can be extracted for gelatin. This research was aimed to get extraction method of gelatin from Yellow Fin Tuna bones, and to know the influences of different concentration alkali (NaOH) before soaking in clorid acid (HCl) to yield, pH, viscocity, and gel strength gelatin from Yellow Fin Tuna, also to know the characteristic of the physical, chemical property and microbiology of gelatin.
Degreasing and lost non collagen protein process from fish bone can be to increase gelatin quality. The best gelatin process from fish bone using clorid acid (HCl). Experimental design used complete random design with three treatments are without soaking in NaOH, soaking in 0.4% and 0.8% NaOH before soaking in clorid acid (HCl). Observation in this research contain yield, pH, viscosity, and gel strength of gelatin.
Gelatin as the result of this researce has yield ranging from 5.76% to 8.37%, pH 4.15 – 5.54, viscocity is 3.23 cP until 5.57 cP, and gel strength ranging from 104.6 gr bloom to 151.8 gr bloom. From ANOVA analysis showed different concentration NaOH significantly influences to yield, pH, viscocity, and gel strength of gelatin. Based on Duncan test result showed that the best gelatin resulted from soaking in 0.4% NaOH before soaking in clorid acid (HCl).
The fisicochemistry characteristic of gelatin for the best treatment (0.4% NaOH) resulted 6.08% of moisture content; 1.02% of ash content; 88.53% of protein content; 1.02% of lipid content; 151.8 gr bloom of gel strength; 5.57 cP of viscocity; pH 5.01; 9.000C of gelling point; 25.300C of melting point; 7.67 of isoelectric point; 33.7% of white degree; 0.55 ppm of Pb content; undetected of Hg content; 18.703% of glisine amino acid, 10.65% of proline and 8.22% of hidroksiproline; 4,5 x 104 unite coloni/gram of total microbe, negative for E.coli and Salmonella content.
PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN
DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
Oleh:
MUSFIQ AMIRULDIN
F 34103109
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN DARI
TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
MUSFIQ AMIRULDIN
F 34103109
Lahir di Jakarta, 11 Februari 1985
Tanggal lulus: 8 Agustus 2007
Menyetujui,
Bogor, 8 Agustus 2007
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev Drs. Tazwir Dosen Pembimbing I Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
“Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna
(Thunnus albacares)” merupakan hasil karya asli saya sendiri dengan arahan
dosen pembimbing akademik kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 8 Agustus 2007
Yang Membuat Pernyataan
MUSFIQ AMIRULDIN
F34103109
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Februari
1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Abdullah dan Mursinah. Penulis menempuh pendidikan di
SDN 05 Meruya Utara (1991-1997), SLTPN 134 Jakarta
(1997-2000), SMUN 65 Jakarta (2000-2003). Pada akhir
pendidikan SMU, penulis berkesempatan untuk mengikuti
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2003 penulis
menjadi mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis melakukan Praktek Lapangan di PT Indofood Sukses Makmur
Bogasari Flour Mills, Jakarta dengan judul “ Mempelajari Proses Produksi
Tepung Terigu”. Penulis menulis skripsi berjudul “Pembuatan dan Analisis
Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)”
bekerjasama dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi
Kelautan Dan Perikanan, Slipi, Jakarta.
Judul skripsi : Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)
Nama : Musfiq Amiruldin NRP : F34103109 Departemen : Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA Dev Dosen Pembimbing I
Drs. Tazwir Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Pembimbing II Dosen Penguji
Mengetahui,
Dr. Ir. M. Romli, MSc Ketua Jurusan
Tanggal Lulus: 8 Agustus 2007
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan skripsi dalam rangka memenuhi tugas akhir di
Departemen Teknologi Industri Pertanian. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya
Skripsi yang berjudul “Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin
Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)” disusun berdasarkan penelitian
yang telah penulis laksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2007. Suatu karunia
bagi penulis dapat melaksanakan sebuah penelitian yang dibiayai oleh Balai Besar
Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, Slipi,
Jakarta Tahun Anggaran 2007.
Pada kesempatan kali ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada
para personalia di bawah ini:
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA.Dev sebagai dosen pembimbing pertama
yang telah memberi bimbingan dan pengarahan yang baik serta sumber
inspirasi untuk terus melakukan yang terbaik.
Drs. Tazwir sebagai pembimbing kedua yang memberi bimbingan, arahan dan
perhatian yang besar selama ini.
Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi
saran dan kritikan yang membangun dalam ujian dan penyusunan skripsi ini.
Dr. Rosmawaty Peranginangin yang telah memberikan banyak masukan dalam
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Ayahanda H. Abdullah dan Ibunda tercinta Hj. Mursinah yang telah
mencurahkan kasih sayang, do’a dan dukungan tanpa akhir.
Adik-adikku Aynal Fuadi dan Rizki Nur Faizi yang telah memberikan
keceriaan dan hari-hari yang indah.
ii
Tiska Lestari, Eko Wahyudi Apriantoro dan Rizki Ika selaku Tim Gelatin
yang telah berbagi suka, duka dan juga ilmu selama menjalani penelitian.
Seluruh Staf Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi
Kelautan Dan Perikanan, Jakarta.
Teman-teman TIN’40, terima kasih atas dukungan dan pengalaman terindah
yeng telah kita jalani bersama.
Ayu Sinta Saputri yang telah memberikan semangat dan perhatian yang tulus.
Semua pihak lain yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan
skripsi ini.
Akhirnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, maka segala kritik dan
saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, 8 Agustus 2007
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
C. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
D. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5
A. Ikan Tuna .................................................................................................... 5
B. Tulang Ikan .................................................................................................. 6
C. Kolagen ....................................................................................................... 8
D. Gelatin ........................................................................................................ 10
E. Proses Pembuatan Gelatin .......................................................................... 16
F. Analisis Karakteristik Gelatin ..................................................................... 20
III. METODA PENELITIAN ............................................................................. 25
A. Bahan dan Alat ........................................................................................... 25
B. Metode Penelitian ....................................................................................... 25
1. Penelitian Tahap I ................................................................................... 25
2. Penelitian Tahap II .................................................................................. 28
C. Rancangan Percobaan ................................................................................. 28
D. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 30
A. Penelitian Tahap I....................................................................................... 30
1. Rendemen Gelatin ................................................................................... 34
2. Derajat Keasaman (pH) Gelatin .............................................................. 37
3. Viskositas Gelatin ................................................................................... 40
iv
Halaman
4. Kekuatan Gel Gelatin .............................................................................. 43
B. Penelitian Tahap II ..................................................................................... 47
1. Analisis Komposisi Kimia Gelatin ......................................................... 48
2. Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin .......................................................... 52
3. Analisis Logam Berat Gelatin ................................................................. 57
4. Komposisi Asam Amino Gelatin ............................................................ 59
5. Analisis Mikrobiologi Gelatin ................................................................ 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................................ 64
B. Saran ........................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 66
LAMPIRAN ........................................................................................................ 70
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data Impor Gelatin Indonesia Tahun 2001-2005 ................................ 2
Tabel 2. Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna .................................................... 6
Tabel 3. Komposisi Asam Amino Gelatin ........................................................ 11
Tabel 4. Sifat Gelatin Berdasarkan Jenisnya..................................................... 13
Tabel 5. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun1995
dan British Standard: 757 Tahun 1975............................................... 14
Tabel 6. Standar Gelatin Pangan ....................................................................... 15
Tabel 7. Spesifikasi Gelatin Farmasi ................................................................ 16
Tabel 8. Hasil Analisis Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna ........................... 31
Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Rendemen Gelatin Tulang
Ikan Tuna ............................................................................................ 37
Tabel 10. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai pH Gelatin Tulang Ikan
Tuna .................................................................................................... 40
Tabel 11. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Viskositas Gelatin Tulang
Ikan Tuna ............................................................................................ 43
Tabel 12. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Kekuatan Gel Gelatin
Tulang Ikan Tuna ................................................................................ 46
Tabel 13. Hasil Pengukuran Mutu Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin
Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium .................................... 48
Tabel 14. Hasil Analisis Komposisi Kimia Gelatin ............................................ 49
Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin ............................................. 53
Tabel 16. Hasil Analisis Logam Berat Gelatin Tulang Ikan Tuna,
Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium........................ 58
Tabel 17. Komposisi Asam Amino Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin
Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium .................................... 60
Tabel 18. Hasil Analisis Mikrobiologi Gelatin Tulang Ikan Tuna,
Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium ........................ 62
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Gambar Penampakan Ikan Tuna (Thunnus albacares) .................... 5
Gambar 2. Susunan Molekul Kolagen .............................................................. 8
Gambar 3. Struktur Kimia Gelatin .................................................................... 12
Gambar 4. Diagram alir Proses Pembuatan Gelatin Dengan Cara Asam
(Tipe A) dan Cara Basa (Tipe B) ................................................... 19
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Tuna.... 27
Gambar 6. Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares) .......................................... 30
Gambar 7. Gelatin Tulang Tuna dan Gelatin Komersial .................................. 35
Gambar 8. Grafik Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna .................................. 35
Gambar 9. Grafik nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna ...................................... 38
Gambar 10. Grafik Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna .................................. 41
Gambar 11. Grafik Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna ............................. 44
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisa Data .................................................................... 71
Lampiran 2. Hasil Analisa Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna ........................ 78
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Rendemen, Viskositas, Kekuatan Gel,
dan pH Gelatin dari Tulang Ikan Tuna ........................................... 78
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Rendemen Gelatin ...................................... 79
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam pH Gelatin ................................................... 80
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Viskositas Gelatin ....................................... 81
Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Kekuatan Gel Gelatin ................................. 82
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gelatin merupakan suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan
kolagen hewan. Pada hewan, kolagen terdapat pada tulang, tulang rawan,
kulit, dan jaringan ikat. Gelatin diperoleh dengan cara denaturasi panas dari
kolagen (Geltech, 2007).
Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin meluas, baik untuk produk
pangan maupun non pangan. Untuk produk pangan gelatin dapat dimanfaatkan
sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat
(binder), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive),
whipping agent, dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan
(edible coating). Industri pangan yang membutuhkan gelatin antara lain
industri konfeksioneri, produk jelly, industri daging, industri susu, produk law
fat, dan industri food supplement (Raharja, 2004). Gelatin juga digunakan
dalam industri non pangan seperti industri pembuatan film, industri farmasi
(seperti produksi kapsul lunak, cangkang kapsul dan tablet), industri teknik
(sebagai bahan pembuat lem, kertas, cat, dan bahan perekat), dan juga
digunakan dalam industri kosmetika (seperti pemerah bibir, shampo dan
sabun) (Poppe, 1992).
Gelatin disebut miracle food, karena gelatin memiliki fungsi yang
masih sulit digantikan dalam industri makanan maupun farmasi (LPPOM
MUI, 2001). Penggunaan gelatin untuk kebutuhan sahari-hari tidak dapat
dihindari, karena lebih dari 60% total produksi gelatin digunakan oleh industri
pangan, sekitar 20% industri fotografi dan 10% oleh industri farmasi dan
kosmetik (Peranginangin, 2006).
Kebutuhan industri akan gelatin selama ini dipenuhi dengan jalan
mengimpornya dari Prancis, Jerman, Jepang, dan India. Impor gelatin yang
tercatat dalam data BPS (2006) dapat dilihat pada Tabel 1. Penggunaan gelatin
impor terutama dari negara-negara non muslim menimbulkan pertanyaan bagi
2
masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satu bahan baku gelatin
berasal dari kulit dan tulang babi.
Tabel 1. Data Impor Gelatin Indonesia Tahun 2002-2006
Tahun Bobot (Kg) Nilai (US$)
Jan-Mei 2006 1.213.111 4.215.779
2005 2.630.692 8.063.802
2004 2.145,916 8.001.714
2003 2.144.372 6.801.882
2002 4.291.579 10.749.199
Sumber : BPS (2006)
Sumber utama lain yang sangat potensial sebagai bahan baku gelatin
adalah kolagen yang berasal dari ikan. Tulang dan kulit ikan sangat potensial
sebagai sumber gelatin karena mencakup 10-20% dari total bobot tubuh ikan.
Kandungan kolagen pada tulang ikan keras (teleostei) berkisar 15 – 17%,
sedangkan pada tulang ikan rawan (elasmobranch) berkisar 22 – 24%
(Purwadi, 1999).
Produk gelatin yang berbahan baku ikan umumnya memiliki masalah
Fishy odor atau bau amis dan tidak sedap, yaitu berasal dari urea yang mudah
terurai menjadi amonia. Fishy odor tersebut sangat tidak disukai konsumen
dan merupakan penyebab belum dimasukkannya gelatin ikan ke dalam GRAS
(Generally Recognized as Safe). Untuk itu diperlukan metode dan teknologi
pembuatan gelatin ikan yang dapat mengurangi atau meminimalisasi fishy
odor, menghasilkan rendemen yang tinggi serta memiliki sifat fisik, kimia dan
fungsional yang menunjang sebagai bahan baku industri, baik industri pangan
maupun non pangan (Surono, 1995).
Ikan tuna (Thunnus albacares) merupakan salah satu ikan ekonomis
penting yang dihasilkan perairan Indonesia. Total ekspor dari perusahaan
pengolahan ikan yang berada di Bali saja dari bulan Februari hingga Juli 2004
adalah 3.353 ton. Ikan tuna biasanya diekspor dalam bentuk loin, steak dan
fillet, sementara ekor, kulit, insang, kepala, tulang, dan isi perut dibuang atau
kalaupun dimanfaatkan hanya untuk bahan tambahan pada pakan ternak dan
ikan. Limbah ikan mencapai 50% dari total bobot ikan (Purwadi, 1999).
3
Untuk penggunaan dalam bahan pangan dan non pangan, kekuatan gel,
viskositas dan titik leleh merupakan sifat khas gelatin yang sangat penting.
Sifat-sifat di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi larutan
gelatin, waktu pemanasan gel, pH dan kandungan asam. Selain itu, teknik
ekstraksi seperti tingkat keasaman, jenis larutan perendaman, lama
perendaman dan suhu ekstraksi diduga mempengaruhi sifat-sifat gelatin
tersebut (Norland, 1990).
Beberapa penelitian mengenai gelatin yang diekstrak dari ikan yang
telah dilakukan adalah dari ikan kakap putih, kakap merah, cucut, pari, paus
dan patin (Dahlia, 2004; Chasanah, 2000; Yustika, 2000; Indrialaksmi, 2000;
Gomes-Gulien dan Montero, 2001; Astawan et al., 2002; Aviana, 2002;
Sopian, 2002; Rusli, 2004). Penelitian gelatin dari ikan tuna baru
memanfaatkan kulitnya saja (Fahrul, 2005; Roswita, 2006). Oleh karena itu
perlu dilakukan pengkajian pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna serta
karakteristisasi gelatin yang diperoleh.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik
ekstraksi gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus albacares). Secara khusus
penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mempelajari pengaruh perendaman tulang dengan konsentrasi basa
(NaOH) yang berbeda sebelum perendaman asam (HCl) terhadap
rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna
(Thunnus albacares).
2. Mengkaji karakteristik gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus albacares)
yang meliputi sifat fisik, sifat kimia dan kandungan mikrobiologi.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah tulang ikan tuna
menjadi gelatin sehingga dapat memacu tumbuhnya industri pengolahan
gelatin di Indonesia yang akhirnya dapat mengurangi ketergantungan akan
gelatin impor.
4
D. Hipotesis Penelitian
Proses pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna tanpa perendaman
dalam larutan NaOH dan dengan perendaman dalam larutan NaOH sebelum
perendaman asam berpengaruh terhadap mutu fisikokimia gelatin yang
dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Tuna
Ikan tuna (Thunnus albacares) termasuk dalam keluarga Scombridae,
dengan tubuh seperti cerutu, mempunyai kulit yang licin dengan sirip dada
melengkung dengan ujung yang lurus dan pangkal yang lebar (Bykov, 1983).
Gambar penampakan Ikan tuna (Thunnus albacares) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Ikan Tuna (Thunnus albacares) (Wikipedia, 2007)
Klasifikasi ikan tuna (Thunnus albacares) menurut Subardja (1989)
adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Sub Kelas : Actioopterygii
Ordo : Perciformes
Sub Ordo : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus albacares
Genus Thunnus terdiri atas beberapa spesies antara lain Thunnus
albacares yang paling banyak didapati di perairan Indonesia. Jenis di atas
dikenal dengan sebutan madidihang atau yellow fin tuna. Thunnus albacares
memiliki ciri-ciri: badan memanjang, bulat seperti cerutu, panjang tubuhnya
6
mencapai 195 cm, namun umumnya 50-150 cm, memiliki dua sirip punggung,
sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, pada bagian
punggung berwarna biru kehitaman dan berwarna keputih-putihan pada bagian
perut. Spesies ini termasuk jenis ikan buas, bersifat predator, hidup
bergerombol kecil pada waktu mencari makan. Ikan tuna adalah jenis ikan
dengan kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah.
Ikan tuna mengandung protein antara 22,6-26,2%. Disamping itu ikan tuna
mengandung mineral ( kalsium, fosfor, besi, sodium ), vitamin A dan vitamin
B (Bykov, 1983).
B. Tulang Ikan
Tulang adalah organ keras yang merupakan bentuk bagian pada
endoskleton vertebrata. Menurut Lagler (1977) tulang berfungsi sebagai
berikut :
1. Melindungi tubuh, dimana tulang dapat melindungi organ-organ internal
dari pengaruh luar tubuh. 2. Membentuk tubuh.
3. Memproduksi sel darah.
4. Tempat penyimpanan mineral.
5. Untuk pergerakan tubuh.
6. Pada beberapa ikan, tulang bermodifikasi menjadi sirip mempercepat
penempatan sperma pada saluran reproduksi pada ikan betina.
Skleton pada ikan terdiri dari : notochord, jaringan penghubung,
tulang, kartilago, sisik, dan gigi (termasuk enamel dan dentin), neuralgia, dan
sirip. Ikan memiliki rangka dalam yang terdiri dari tulang sejati (tulang keras),
dan tulang rawan (kartilago). Dari kenampakan fisik, secara mudah terlihat
bahwa tulang rawan lebih transparan (bening, tembus cahaya) dan lentur
dibandingkan dengan tulang sejati (Lagler, 1977). Komposisi kimia tulang
ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2.
7
Tabel 2. Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna
Parameter Persentase Bobot Kering (%) Persentase Bobot Basah (%)
Air
Abu
Protein
Lemak
-
39,19
52,54
23,06
56,11
17,20
7,56
3,32
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (1983)
Perkembangan dari embrio pada tulang adalah sebagai berikut:
kartilago dihasilkan oleh sel-sel masenkim, sesudah kartilago terbentuk rongga
yang ada didalamnya akan terisi oleh osteoblast, yaitu sel-sel pembentuk
tulang. Osteoblast juga menempati jaringan pengikat disekelilingnya dan
membentuk sel-sel tulang. Jaringan utama pada tulang jaringan osseous relatif
keras dan terdapat mineral, dimana yang terbesar adalah kalsium fosfat
sehingga menyebabkan tulang bersifat keras. Tulang umumnya memiliki
matriks berupa hialin yang homogen dan jernih. Matriks yang berserabut lebih
banyak mengandung kolagen yaitu semacam zat perekat tulang, dimana
didalam tulang, kolagen memberikan elastisitas dan juga berkontribusi dalam
resistensi fraktur (Wikipedia, 2007).
Pemanfaatan kulit, tulang dan gelembung renang ikan secara komersial
dapat sebagai bahan baku industri gelatin, dimana selama ini hanya
merupakan limbah. Pemanfaatan tersebut dapat menambah penghasilan secara
ekonomi dan memberi keuntungan bagi pengelolaan limbah industri perikanan
karena bahan tersebut dihasilkan dalam jumlah yang banyak (Choi dan
Regenstein, 2000). Menurut Surono (1994) bahwa tulang dan kulit ikan sangat
potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena
tulang dan kulit mencakup 10 – 20% dari total bobot tubuh ikan.
8
C. Kolagen
Kolagen adalah protein berbentuk serabut (fibril) yang mempunyai
fungsi fisiologis yang unik. Kolagen merupakan komponen struktural utama
dari jaringan pengikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir
30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan invertebrata
(Poppe, 1992). Kolagen merupakan salah satu protein terpanjang dengan
jumlah paling banyak pada tubuh vertebrata. Kolagen merupakan bahan baku
utama yang banyak terdapat pada kulit, urat, pembuluh darah tulang dan
tulang rawan. Serat kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang saling
berhubungan, masing-masing tersusun dalam jenis khusus heliks berputar.
Kolagen merupakan protein yang mengandung 35% glisin dan sekitar 11%
alanin serta kandungan prolin yang cukup tinggi (Lehninger, 1990).
Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut
tropokolagen yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor.
Tropokolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi
tiga untai tambang. Tiap rantai polipeptida dalam tropokolagen juga
merupakan suatu heliks (Lehninger, 1990). Susunan molekul kolagen dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Susunan Molekul Kolagen (Lehninger, 1990)
9
Kolagen merupakan bahan baku gelatin yang banyak terdapat pada
kulit, urat, tulang rawan, dan tulang pada hewan. Kolagen adalah serabut
protein yang mempunyai fungsi biologis yang unik. Kolagen tersusun oleh
unit struktural tropokolagen yang berbentuk batang dengan panjang 3000Å
dengan diameter 15Å, yang mengandung tiga unit polipeptida yang saling
berpilin membentuk struktur triple helix (Wong, 1989).
Protein (kolagen) dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh panas,
reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab lainnya.
Selain itu protein juga dapat mengalami degradasi, yaitu pemecahan molekul
kompleks menjadi molekul sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim
(Winarno, 2002). Perlakuan basa atau alkali dapat menyebabkan kolagen
mengembang dan menyebar. Salah satu alkali yang dapat digunakan sebagai
pelarut kolagen adalah NaOH (Christianto, 2001). Selain pelarut alkali,
kolagen juga larut dalam pelarut asam seperti HCl (Artadana, 2001). Konversi kolagen yang bersifat tidak larut air menjadi gelatin yang
larut air merupakan transformasi esensial dalam pembuatan gelatin. Kolagen
harus diberi perlakuan awal untuk mengubahnya menjadi bentuk yang sesuai
sehingga dapat diekstraksi. Ekstraksi ini dapat menyebabkan pemutusan ikatan
hidrogen diantara ketiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan dan satu
rantai bebas, dan tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1992). Serat
kolagen akan mengembang dengan baik tetapi tidak larut bila direndam dalam
larutan alkali atau larutan garam netral dan nonelektrolit. Kolagen akan
terputus jika terkena asam kuat atau basa kuat dan akan mengalami
transformasi dari bentuk untaian larut dan tidak tercerna menjadi gelatin yang
larut air (Lehninger, 1990).
Kolagen yang terdapat pada kulit dan tulang ikan mempunyai
kemampuan untuk membentuk gel setelah dipanaskan. Kemampuan
pembentukan gel tergantung pada karakteristik spesies ikan dan kolagen dari
kulit ikan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan kolagen
dari tulang ikan. Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap
kekuatan gel kolagen dari kulit ikan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap
kemampuan gel kolagen dari tulang (Montero dan Borderias, 1991).
10
Pada ikan terdapat tiga tipe protein, yaitu myofibril (65-75%),
sarkoplasma (20-30%), dan stromata (1-3%). Protein stromata merupakan
jaringan ikat yang terdiri dari komponen kolagen dan elastin (Suzuki, 1981).
Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia. Di samping
pelarutnya, kolagen ikan mempunyai kandungan asam amino yang lebih
rendah dibandingkan dengan kolagen mamalia sehingga suhu denaturasi
proteinnya menjadi rendah (Ward dan Courts, 1977).
Menurut De Man (1997) proses pengubahan kolagen menjadi gelatin
melibatkan tiga perubahan, sebagai berikut:
1. Pemutusan sejumlah terbatas ikatan peptida untuk memperpendek rantai.
2. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan samping antar rantai.
3. Perubahan konfigurasi rantai.
Perubahan konfigurasi rantai merupakan satu-satunya perubahan penting
untuk pengubahan kolagen menjadi gelatin. Kondisi yang digunakan selama
proses produksi gelatin menentukan sifat-sifatnya. Pada produksi normal, kulit
atau tulang mula-mula diekstraksi dahulu pada kondisi nisbi lunak, dilanjutkan
dengan ekstraksi berturut-turut pada kondisi lebih berat. Ekstraksi pertama
menghasilkan gelatin dengan mutu baik, sedangkan ekstraksi selanjutnya
menghasilkan gelatin dengan mutu tidak sebaik ekstraksi pertama.
D. Gelatin
Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh
dari hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit,
dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah. Gelatin
mempunyai titik leleh 35oC, di bawah suhu tubuh manusia. Titik leleh inilah
yang membuat produk gelatin mempunyai karakteristik yang unik bila
dibandingkan dengan bahan pembentuk gel lainnya seperti pati, alginat,
pektin, agar-agar dan karaginan yang merupakan senyawa karbohidrat (Gomez
dan Montero, 2001). Secara fisik dan kimia, gelatin berwarna kuning cerah
atau transparan, berbentuk serpihan atau tepung, berbau dan berasa, larut
dalam air panas, gliserol dan asam asetat serta pelarut organik lainnya. Gelatin
dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya (Raharja, 2004).
11
Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen
(Geltech, 2007). Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan
struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan
konformasi larutan kolagen sensitif terhadap perubahan suhu yang dapat
menghancurkan makro molekulnya (Wong, 1989).
Gelatin merupakan molekul besar dan kompleks yang mempunyai nilai
rata-rata bobot molekul berkisar 15.000 – 25.000. Komposisi kimia gelatin
terdiri dari 50.5% karbon, 6.8% hidrogen, 17% nitrogen dan 25.5% oksigen.
Untuk sampel yang lebih murni kandungan nitrogennya berkisar antara 18.2%
sampai 18.4%. Gelatin yang diperoleh dari proses alkali lebih kaya
hidroksiprolin dan rendah tirosin dibandingkan dengan gelatin yang diperoleh
melalui proses asam (Smith, 1992).
Senyawa gelatin merupakan suatu polimer linier asam-asam amino.
Pada umumnya rantai polimer tersebut merupakan perulangan dari asam
amino glisin-prolin-prolin atau glisin-prolin-hidroksiprolin. Dalam gelatin
tidak terdapat asam amino triptofan, sehingga gelatin tidak dapat digolongkan
sebagai protein yang lengkap (Gelatin Food Science, 2007). Gelatin tersusun
atas 18 asam amino yang saling terikat dan dihubungkan dengan ikatan
peptida membentuk rantai polimer yang panjang (Eastoe dan Leach, 1977).
Secara lengkap komposisi asam amino gelatin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Asam Amino Gelatin
Asam Amino Jumlah (%) Asam Amino Jumlah (%)
Alanin 11,0 Lisin 4,5
Arginin 8,8 Metionin 0,9
Asam aspartat 6,7 Prolin 16,4
Asam glutamat 11,4 Serin 4,2
Genilalanin 2,2 Sistin 0,07
Glisin 27,5 Theorin 2,2
Histidin 0,78 Tirosin 0,3
Hidroksiprolin 14,1 Valin 2,6
Leusin dan iso Leusin 5,1 Phenilalanin 1,9
Sumber: Eastoe dan Leach (1977)
12
Penurunan komposisi asam amino tergantung pada metode
pembuatannya. Pembuatan dengan proses alkali umumnya lebih banyak
mengandung hidroksiprolin dan lebih sedikit tirosin dibandingkan dengan
proses asam (Ward dan Courts, 1977). Struktur kimia gelatin dapat dilihat
pada Gambar 3.
CH2 CHOH CH2 CH2 CH2 CH2
CH2 N CH NH CH2 NH N CH
CO-NH CO CO CH-CO-NH CO CH-CO CO R R
Glisin Prolin Glisin Hidroksiprolin
Gambar 3. Struktur Kimia Gelatin (Poppe, 1992)
Berdasarkan proses pembuatannya terdapat dua jenis gelatin yaitu Tipe
A dan Tipe B. Gelatin Tipe A diproduksi melalui proses asam sedangkan Tipe
B diproduksi melalui proses basa. Pada proses pembuatan gelatin Tipe A
melalui proses asam, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan
asam organik seperti asam klorida, asam sulfat, asam sulfit atau asam fosfat,
sedangkan proses produksi gelatin Tipe B melalui proses basa, perlakuan yang
diberikan adalah perendaman dalam air kapur, proses ini sering dikenal
sebagai proses alkali (Utama, 1997).
Gelatin Tipe A biasanya berasal dari kulit babi, sedangkan gelatin Tipe
B terutama berasal dari kulit dan tulang ruminansia (Imeson, 1992). Menurut
Wiyono (2001), gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Sifat gelatin
berdasarkan tipenya disajikan pada Tabel 4.
13
Tabel 4. Sifat Gelatin Berdasarkan Jenisnya
Sifat Tipe A Tipe B
Kekuatan gel (bloom) 50,0 – 300,0 50,0 – 300,0
Viskositas (cP) 1,50 – 7,50 2,00 – 7,50
Kadar abu (%) 0,30 – 2,00 0,50 – 2,00
pH 3,80 – 6,00 5,00 – 7,10
Titik Isoelektrik 7,00 – 9,00 4,70 – 5,40
Sumber: GMIA (2007)
Gelatin tipe A dihasilkan dari proses asam, yang umumnya dihasilkan
dari kulit babi, dimana molekul kolagennya muda, sedangkan gelatin tipe B
dihasilkan dari proses asam dan basa, yang umumnya diperoleh dari tulang
dan kulit sapi, dimana molekul kolagen helix ulir tiga (triple helix) lebih tua,
ikatan silangnya lebih padat dan kompleks. Pada umumnya proses asam
digunakan untuk bahan baku yang relatif lunak, sedangkan proses alkali
diterapkan pada bahan baku yang relatif keras (GMAP, 2007).
Asam mampu mengubah serat kolagen triple helix menjadi rantai
tunggal, sedangkan larutan perendaman basa hanya mampu menghasilkan
rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen
yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena
itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menghidrolisis kolagen (Ward and Court, 1977).
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol,
propilen glykol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton,
karbon tetra klorida, benzene, petroleum eter dan pelarut organik lainnya.
Pada kondisi tertentu juga larut dalam campuran aseton-air dan alkohol-air
(Viro, 1992).
Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk sol
ke gel, atau sebaliknya, juga dapat membengkak atau mengembang dalam air
dingin. Sifat-sifat yang dimiliki gelatin lebih disukai dibandingkan bahan-
bahan semisal dengannya seperti gum xantan, karagenan, dan pektin (Utama,
1997).
14
Salah satu sifat fisik gelatin yang menentukan mutu gelatin adalah
kemampuannya untuk membentuk gel yang disebut kekuatan gel. Kekuatan
gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit dan non elektrolit serta
bahan tambahan lainnya. Sifat fisik lainnya adalah titik pembuatan gel, warna,
kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Ditambahkan oleh
Poppe (1992) sifat fisik penting lainnya adalah viskositas. Viskositas terutama
dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik antar molekul gelatin, selain
dipengaruhi suhu, pH dan konsentrasi. Standar mutu gelatin untuk industri
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun1995 dan British
Standard: 757 Tahun 1975
Karakteristik SNI No. 06-3735a British Standard 757b
Warna Tidak berwarna sampai kekuningan Kuning pucat
Bau, rasa Normal -
Kadar abu Maksimum 16% -
Kadar air Maksimum 3,25% -
Kekuatan gel - 50-300 bloom
Viskositas - 15-70 mps atau 1,5-7 cP
pH - 4,5-6,5
Logam berat Maksimum 50 mg/kg -
Arsen Maksimum 2 mg/kg -
Tembaga Maksimum 30 mg/kg -
Seng Maksimum 100 mg/kg -
Sulfit Maksimum 1000 mg/kg -
Sumber: a) Dewan Standarisasi Nasional (SNI 06.3735-1995)(1995)
b) British Standard: 757 (1975)
Kegunaan gelatin terutama adalah untuk mengubah cairan menjadi
padatan yang elastis, atau mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi
pembentukan gel oleh gelatin bersifat reversible karena bila dipanaskan akan
terbentuk sol dan sewaktu didinginkan akan terbentuk gel lagi. Keadaan ini
15
pula yang membedakannya dengan gel dari pektin, alginat dan pati yang
bentuk gelnya “irreversible” (Parker, 1982). Gelatin mempunyai banyak
fungsi dan sangat aplikatif di berbagai industri. Penggunaan gelatin dalam
pengolahan pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik dan kimia yang khas
daripada nilai gizinya sebagai sumber protein (Gelatin Food Science, 2007).
Standar mutu gelatin pangan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Standar Gelatin Pangan
Parameter Grade A Grade B Grade C Kekuatan Gel (Bloom) ≥ Viskositas (cP) ≥ Kecerahan (mm) ≥ pH Bahan yang tidak larut dalam air (%) ≤ Kadar abu (%) ≤ Sulfit (%) ≤ Kadar air (%) ≤ Arsen (ppm) ≤ Logam berat (ppm) ≤ TPC ≤ Coliform (koloni/100gr) ≤ Salmonella E. coli
220 4.5 300
5.5-7 0.2 1.0
0.004 14
0.0001 0.005 1000 30
Negatif Negatif
180 3.5 150
5.5-7 0.2 2.0 0.01 14
0.0001 0.005 5000 30
Negatif Negatif
100 2.5 50
5.5-7 0.2 2.0
0.015 14
0.0001 0.005 10000 150
Negatif Negatif
Sumber: Norland Product (2003)
Dalam industri pangan gelatin dapat berfungsi sebagai pembentuk gel,
pemantap emulsi, pengental, pengikat air, pelapis, dan pengemulsi. Gelatin
sebagai pelindung koloid dapat berguna dalam industri fotografi dan pelapisan
logam dalam industri electroplating (Wiyono, 2001).
Dalam penggunaan gelatin pada berbagai jenis industri, terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin, yang harus
diperhatikan yaitu konsentrasi, bobot molekul, suhu, pH dan penambahan
senyawa lain (Meyer, 1982). Dalam air gelatin dapat membentuk larutan
kental, karena sifat ini gelatin dapat digunakan sebagai bahan perekat dalam
pembuatan tablet. Selain itu gelatin juga berfungsi mempertahankan
kandungan zat pada tablet menjadi lebih awet, membantu penguraian obat
16
setelah ditelan dan dapat mempercepat pelepasan zat-zat obat yang aktif
sehingga dapat segera diserap tubuh (Utama, 1997). Standar mutu gelatin
untuk industri farmasi disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Spesifikasi Gelatin Farmasi
Parameter Kelas Khusus Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Kadar air (%) 14.0 14.0 14.0 14.0
Kekuatan gel (Bloom.g) 240 200 160 140
Viskositas (cP) 20 20 20 20
Kadar abu (%) 1.0 1.0 2.0 2.0
pH 5.5-7.0 5.5-7.0 5.5-7.0 5.5-7.0
Arsen (Ppm) 0.8 0.8 0.8 0.8
Logam Berat (Ppm) 50 50 50 50
Mikrobiologi (Per gr) 1000 1000 1000 1000
E. coli (Per 100g) Neg Neg Neg Neg
Salmonella Neg Neg Neg Neg
Sumber: Norland Product (2003)
E. Proses Pembuatan Gelatin
Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini
terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen
silang dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun
basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisa, pH dan suhu
akan berbeda-beda (Pelu, 1998).
Penggunaan asam lebih menguntungkan untuk produksi gelatin bila
dilihat dari segi waktu perendaman yang lebih singkat dan biaya lebih murah.
Hal ini diakibatkan karena pada perendaman asam yang singkat sudah dapat
melakukan pemutusan ikatan dan struktur koil kolagen dengan lebih baik
sehingga jumlah kolagen yang terekstrak hampir mendekati jumlah kolagen
untuk proses basa pada perendaman tulang selama delapan minggu (Astawan,
2002).
17
Proses produksi utama gelatin dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
persiapan bahan baku, konversi kolagen menjadi gelatin dan yang terakhir
perolehan gelatin dalam bentuk kering. Persiapan dilakukan dengan pencucian
pada tulang ikan. Tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging dan kotoran lain
yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan
pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih
selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang disebut
degreasing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi
albumin tulang yaitu antara 320C – 800C sehingga dihasilkan kelarutan lemak
yang optimum. Konversi kolagen menjadi gelatin biasanya didasarkan pada
pengaturan suhu ekstraksi, yaitu untuk mencegah kerusakan protein pada suhu
tinggi. Kisaran suhu yang digunakan antara 500C dan 1000C atau lebih rendah,
pada selang pH dapat bervariasi untuk tiap metode (Hinterwaldner, 1977).
Pada proses pembuatan gelatin berbahan baku tulang dan kulit,
terdapat proses yeng penting dilakukan pada bahan sebelum diproses menjadi
gelatin, yaitu proses liming dan degreasing. Proses degreasing bertujuan untuk
menghilangkan lemak-lemak yang masih terdapat dalam jaringan kulit dan
tulang dengan proses pemasakan. Penghilangan lemak pada kulit dan tulang
yang paling efektif dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu
koagulasi protein, yaitu sekitar 28 – 320C. Liming bertujuan untuk melarutkan
komponen non-kolagen dan untuk melunakkan kulit dan tulang dengan
perendaman larutan basa, selain itu bertujuan pula untuk merusak atau
memutuskan akatan kimia tertentu yang masih ada dalam kolagen dan untuk
menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti
protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi
sabun-sabun basa terlarut (LP POM-MUI, 2001).
Menurut Hinterwaldner (1977), kalsium dalam tulang terutama dalam
kalsium fosfat dalam larutan HCl terurai menjadi Ca2+ dan asam fosfat,
reaksinya adalah sebagai berikut:
Ca2(PO4) + 6 HCl 3 CaCl2 + 2 H3PO4
Tahap pengembangan kulit (swelling) adalah tahap yang bertujuan
untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi
18
gelatin (Surono, 1994). Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan
larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat,
suksinat, tartarat, dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung.
Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat,
fosfat, klorida, dan sulfat (Grossman dan Bergman, 1991).
Metode pengkonversian kolagen menjadi gelatin adalah dengan
denaturasi kolagen. Proses denaturasi terjadi dengan pemanasan kolagen pada
suhu 400C atau lebih dengan penambahan senyawa pemecah ikatan hidrogen
pada suhu kamar atau lebih rendah, berupa pemecahan struktur koil kolagen
menjadi satu, dua atau tiga rantai polipeptida secara acak (Gomez dan
Montero, 2001).
Konversi kolagen menjadi gelatin terjadi dalam tiga tahap, yaitu
hidrolisis lateral, hidrolisis ikatan polipeptida terutama glisin, dan
penghancuran struktur kolagen (Ward dan Courts, 1977). Menurut Hadiwiyoto
(1983) produksi gelatin meliputi tahap-tahap pengecilan ukuran bahan baku,
perendaman, pencucian, pemanasan, pemekatan, pendinginan, dan
pengeringan. Pengecilan ukuran disini menurutnya diperlukan untuk lebih
memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat
dan sempurna.
Ekstraksi adalah proses denaturasi untuk mengubah kolagen menjadi
gelatin dengan penambahan senyawa pemecah ikatan hidrogen pada suhu
kamar atau suhu yang lebih rendah. Ekstraksi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan air panas, dimana pada proses ini terjadi denaturasi,
peningkatan hidrolisis dan kelarutan gelatin. Waktu yang diperlukan untuk
ekstraksi adalah 4-8 jam dengan suhu antara 55-1000C. Setelah diperoleh
ekstrak bersih, dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air sebanyak
85-90%. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum
dengan suhu 43-450C dan dilanjutkan dengan menggunakan freeze dryer atau
oven pada suhu antara 30-600C (Viro, 1992).
Larutan gelatin yang diperoleh selanjutnya mengalami proses
pendinginan untuk memadatkan larutan gelatin. Selanjutnya adalah
pengeringan gelatin pekat yang telah padat dengan sinar matahari atau
19
menggunakan mesin pengering yang bersuhu 32– 600C, sampai diperoleh
gelatin kering. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari tulang dan kulit
dengan cara asam dan cara basa dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir Proses Pembuatan Gelatin Dengan Cara Asam (Tipe A) dan Cara Basa (Tipe B) (Fahrul, 2005)
Tulang / Kulit Ikan
Perendaman dalam Larutan Asam
Pencucian
Gelatin Kering Tipe A
Pencucian dan Pembersihan
Perendaman dalam Larutan Basa
Pencucian
Ekstraksi
Penyaringan
Larutan Gelatin
Pengeringan
Ekstraksi
Penyaringan
Larutan Gelatin
Pengeringan
Gelatin Kering Tipe B
20
F. Analisis Karakteristik Gelatin
1. Kadar Air
Kadar air merupakan persentase air yang terikat oleh suatu bahan
terhadap bobot kering ovennya. Penentuan kadar air dilakukan untuk
mengetahui banyaknya air yang terikat oleh komponen padatan bahan
tersebut. Kandungan air dalam suatu bahan dapat menentukan penampakan,
tekstur dan kemampuan bertahan bahan tersebut terhadap serangan
mikroorganisme yang dinyatakan dalam aw, yaitu jumlah air bebas yang
dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya
(Sudarmadji, 1995).
2. Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat
dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang
tersisa selama proses pembakaran tinggi (suhu sekitar 6000C) selama dua
jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion anorganik yang terdapat
dalam bahan selama proses berlangsung (Rahayuningsih, 2004).
3. Kadar Lemak
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kemungkinan daya
simpan produk, karena lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama
penyimpanan. Lemak berhubungan dengan mutu dimana kerusakan lemak
dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau
(Winarno, 2002).
4. Kadar Protein
Menurut Sudarmadji (1995) kadar protein yang dianalisa dengan cara
Kjeldahl disebut sebagai kadar protein kasar dengan menentukan jumlah
nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dasar perhitungan penentuan
protein menurut Kjeldahl menyatakan bahwa umumnya protein alamiah
mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Faktor perkalian
yang telah diketahui adalah 5,5 untuk gelatin (kolagen terlarut). Kadar
protein dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
21
Destruksi merupakan proses pemanasan gelatin dengan asam sulfat pekat
ditambah katalis yang berguna untuk mempercepat reaksi. Senyawa karbon
dan hidrogen yang terdapat dalam rantai polipeptida teroksidasi menjadi
CO, CO2 dan H2O, sedangkan senyawa nitrogennya akan berubah menjadi
(NH4)2SO4. Destilasi merupakan proses dimana (NH4)2SO4 dipecah menjadi
ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH 33% dan dipanaskan.
Ammonia yang dibebaskan selanjutnya ditangkap oleh H3BO3 0.02 N dan
dengan penambahan indikator mengsel, larutan yang diperoleh berwarna
keunguan. Larutan tersebut dititrasi dengan H2SO4 0.02 N dimana NaOH
bereaksi dengan H3BO3 bebas (tidak berikatan dengan ammonium). Titrasi
dihentikan ketika indikator berwarna kehijauan.
5. Derajat Keasaman
Pengukuran pH dilakukan untuk menentukan kondisi dan jenis
muatan yang terdapat pada gelatin. Gelatin merupakan rantai polipeptida
yang terdiri atas berbagai macam asam amino. Asam amino mempunyai
sifat zwitterion atau dipolar karena dalam struktur kimianya mempunyai
gugus fungsi negatif (COO-) dan gugus fungsi positif (NH3+). Asam amino
juga bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam, netral atau basa sesuai
dengan kondisi lingkungannya (Winarno, 2002).
6. Kekuatan Gel
Kekuatan gel gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang
diperlukan oleh probe untuk menekan gel setinggi empat mm sampai gel
pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan gel yang dihasilkan dari suatu
konsentrasi tertentu disebut derajat bloom (Hermanianto, 2000). Salah satu
sifat fisik yang penting pada gelatin adalah kekuatan untuk membentuk gel
yang disebut sebagai kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH,
adanya komponen elektrolit dan non-elektrolit serta bahan tambahan
lainnya (Glicksman, 1969).
Pembentukan gel (gelasi) merupakan suatu fenomena penggabungan
atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan tiga dimensi
yang kontinyu, sehingga dapat menangkap air di dalamnya menjadi suatu
22
struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah
tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendingin, konsistensinya menjadi
lebih kental, dan selanjutnya akan berbentuk gel. Mekanisme yang tepat
tentang pembentukan gel dari sol gelatin masih belum diketahui. Molekul-
molekul secara individu bergabung dalam lebih dari satu bentuk kristalin
membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan dan berikatan silang
secara kuat sehingga menyebabkan terbentuknya gel (Fardiaz, 1989).
Menurut Wijaya (1998) kekuatan gel dari gelatin komersial bervariasi
antara 50 – 300 gr bloom. Berdasarkan kekuatan gelnya gelatin dibagi
menjadi tiga kategori di bawah ini:
i. Gelatin dengan Bloom tinggi (250 – 300 gr bloom)
ii. Gelatin dengan Bloom sedang (150 – 250 gr bloom)
iii. Gelatin dengan Bloom rendah (50 – 150 gr bloom).
7. Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik dalam
air, cairan organik sederhana dan suspensi serta emulsi encer (De Man,
1997). Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang sangat penting setelah
kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang
lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas
gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan
titik leleh, dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju
pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang
viskositasnya rendah. Untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas
yang tinggi (Leiner, 2006). Viskositas dipengaruhi antara lain oleh interaksi
hidrodinamik antar molekul gelatin, suhu, pH, dan konsentrasi (Poppe,
1992).
8. Titik Jendal dan Titik Leleh
Titik jendal adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi
tertentu mulai membentuk gel. Titik leleh merupakan kebalikan dari titik
jendal yaitu suhu dimana larutan gelatin mulai mencair (Baker, 1994).
23
9. Titik Isoelektrik
Titik isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki
jumlah muatan ion positif dan ion negatif yang sama. Pada titik
isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan
atau pengendapan protein. Dengan demikian titik isoelektrik gelatin penting
diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai
produk, terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin (Baker, 1994).
10. Derajat Putih
Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin.
Umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati 100%, karena gelatin
yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya
lebih luas (Budavari, 1996). Derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan
baku, metode pembuatan dan ekstraksi (Poppe, 1992).
11. Komposisi Asam Amino
Gelatin mengandung 19 jenis asam amino yang dihubungkan dengan
ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang. Komposisi asam
amino dalam gelatin sangat bervariasi tergantung pada sumber kolagen
tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen (Ward dan Courts,
1977).
12. Logam Berat
Logam berat merupakan jenis logam seperti merkuri, krom, cadmium,
arsen, dan timbal dengan berat molekul yang tinggi. Logam berat
terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup yang mengakibatkan kadarnya
lebih besar daripada kadarnya dalam lingkungan dan akan meningkat
seiring dengan meningkatnya posisi organisme pada rantai makanan.
Analisis logam berat sangat penting bagi produk seperti gelatin, antara lain
untuk menentukan apakah gelatin tersebut aman digunakan atau dikonsumsi
terutama dalam produk farmasi (obat-obatan) dan produk pangan (De Man,
1997).
24
13. Kandungan Mikrobiologi
Uji kuantitatif mikrobiologi penting dilakukan untuk mengetahui mutu
bahan pangan. Apabila suatu bahan tercemar oleh mikroba yang berasal dari
kotoran manusia atau hewan maka bahan tersebut positif mengandung
bakteri E.coli. Adanya E.coli dalam suatu bahan merupakan indikator
kontaminasi kotoran, sedangkan Salmonella sp merupakan bakteri pathogen
yang berbahaya. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan perut, demam
tifus dan paratifus (Fardiaz, 1989).
III. METODA PENELITIAN
A. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ikan
tuna yang merupakan sisa proses pengolahan fillet ikan tuna di Muara Baru,
Jakarta. Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida, natrium oksida,
resin ion exchange, dan akuades.
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian dan analisa adalah pisau,
ember, kompor gas, panci perebus, talenan, timbangan, neraca analitik Chyo
JP-160, sikat, water bath, gelas beaker, sendok, oven, refrigrator (kulkas),
blender, TA-XT plus Textur analyzer, thermometer digital Hanna, pH-meter
Accument 900-Fisher Scientific, High performance liquid chromatography
(HPLC) Water Associates, peralatan mikro Kjheldahl, peralatan soxhlet, kasha
mesh size 250, sentryfuse, standart bloom jars, brookfield syncro-lectric
viscometer, Absorbsi Atom Spektrofotometer (AAS), Kett digital whiteness
powder C-100, Quebec Colony Counter,dan lain-lain.
B. Metode Penelitian
1. Penelitian Tahap I
Terhadap tulang ikan tuna yang merupakan bahan baku pembuatan
gelatin terlebih dahulu dilakukan analisa komposisi kimia. Analisa yang
dilakukan meliputi kadar air (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995),
kadar protein (AOAC, 1995), dan kadar lemak (Apriyantono, 1989).
Proses pembuatan gelatin tulang ikan tuna dengan metode asam
yang digunakan meliputi persiapan bahan baku, pencucian, degreasing,
pencucian dan pembersihan, pemotongan, perendaman dengan larutan basa,
pencucian, perendaman dengan larutan asam, pencucian, ekstraksi, filtrasi,
pengeringan, dan penggilingan. Bahan baku berupa tulang ikan tuna yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu dicuci sampai bersih dari sisa-sisa
kotoran dan darah yang masih menempel pada tulang.
26
Degreasing dilakukan untuk menghilangkan lemak yang terdapat
pada tulang. Proses degreasing tersebut dilakukan dengan merebus tulang
ikan tuna selama 25-30 menit pada suhu 700C. Proses selanjutnya adalah
pemotongan tulang ikan tuna yang telah mengalami degreasing sebesar 2-4
cm. Selanjutnya perlakuan pertama dilanjutkan dengan perendaman asam
dan perlakuan kedua dan ketiga dilakukan perendaman basa terlebih dahulu
yaitu dengan NaOH 0,4% dan 0,8% selama tiga hari untuk menghilangkan
lemak yang masih penempel dan protein non-kolagen yang terdapat pada
tulang ikan tuna. Tulang kemudian dicuci dengan air mengalir sampai pH
netral (6-7).
Proses demineralisasi adalah proses perendaman dalam larutan asam
untuk melanjutkan pembengkakkan tulang. Tujuannya adalah untuk
menceraikan serabut-serabut kolagen menjadi serat-serat atau fibril-fibril,
sehingga tulang menjadi lebih mudah untuk diekstraksi. Proses perendaman
dalam larutan asam klorida dengan konsentrasi 5% dilakukan selama dua
hari (sampai menjadi ossein), setiap hari larutan asam klorida diganti
dengan yang baru. Perbandingan tulang dengan larutan asam klorida adalah
1:6. Tulang ikan tuna yang telah menjadi ossein dicuci dengan air mengalir
hingga pH netral.
Langkah selanjutnya adalah ekstraksi gelatin selama ± enam jam
dengan suhu 60-650C. Filtrat yang diperoleh dari proses ekstraksi disaring
dengan menggunakan saringan 200 – 250 mesh. Larutan gelatin yang
diperoleh kemudian dilakukan ion exchange untuk menghilangkan ion Na+
dan Cl- yang banyak digunakan pada proses sebelumnya. Larutan gelatin
yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 40 -500C
selama ± dua hari. Gelatin yang telah kering kemudian digiling sehingga
diperoleh gelatin kering dalam bentuk butiran-butiran halus (bubuk).
Diagram alir proses pembuatan gelatin disajikan pada Gambar 5.
27
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Tuna (modifikasi dari Poppe, 1992)
Dicuci sampai pH netral (6-7)
Ekstraksi Pemasakan ossein pada suhu 60-650C, ± enam jam
Filtrasi Saringan 200-250 mesh
Pengeringan Oven 40-500C, ±dua hari
Penghalusan
Gelatin Kering Bubuk
Ion Exchange
Ossein
Perendaman Asam HCl 5% sampai menjadi ossein
Dicuci sampai pH netral (6-7)
Pencucian
Degreasing Perebusan Tulang pada suhu 700C, 25-30 menit
Pengecilan Ukuran Dipotong-potong sebesar 2-4 cm
Tulang Ikan Tuna
Perlakuan II: Perendaman NaOH 0,4% selama tiga hari
Perlakuan III. Perendaman NaOH 0,8% selama tiga hari
Perlakuan I. Tidak dilakukan perendaman NaOH
28
2. Penelitian Tahap II
Penelitian tahap kedua ini bertujuan mengkaji karakteristik gelatin
tulang ikan Tuna yang dihasilkan dengan perlakuan terbaik meliputi sifat
fisik, sifat kimia dan kandungan mikrobiologi. Pada tahap ini dilakukan
pembuatan gelatin dengan teknik ekstraksi terbaik yang diperoleh dari
penelitian tahap pertama dengan tiga kali ulangan. Gelatin yang dihasilkan
kemudian dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium (terbuat dari
ikan cod) dan gelatin komersial (terbuat dari tulang sapi).
Pengamatan dilakukan terhadap parameter yang menjadi indikator
mutu gelatin yang meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar protein,
kadar lemak, pH, kekuatan gel, viskositas, titik leleh, titik jendal, titik
isoelektrik, komposisi asam amino, derajat putih, logam berat, dan uji
mikrobiologi yang meliputi Total Plate Count (TPC), Escherichia coli dan
Salmonella. Untuk penelitian tahap kedua, data hasil pengamatan
dibandingkan secara deskriptif.
C. Rancangan Percobaan
Pada penelitian tahap pertama yaitu pembuatan gelatin dari tulang ikan
Tuna menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan
yaitu perlakuan pertama tanpa perendaman NaOH, perlakuan kedua dan ketiga
dilakukan perendaman dengan larutan NaOH 0,4% dan 0,8%. Metode
rancangan yang digunakan untuk penelitian tahap pertama adalah sebagai
berikut :
Yi = μ + Ai + Σi
(Steel dan Torrie, 1993)
Keterangan :
Yi = Nilai hasil pengamatan
μ = Rataan umum
Ai = Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3)
Σi = faktor galat
29
Data yang diperoleh, jika berupa data parametrik maka dianalisis
menggunakan analisis keragaman dan jika berbeda nyata maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan (Gaspersz, 1994). Semua data pada penelitian ini
diolah menggunakan program SPSS 12.0
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni
2007. Tempat penelitian adalah di Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan
Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, Jalan K.S. Tubun Petamburan VI,
Slipi, Jakarta dan Balai Pasca Panen Hasil Pertanian, Jalan Tentara Pelajar
12A, Cimanggu, Bogor.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Tahap I
Pada penelitian tahap pertama dilakukan persiapan bahan baku yang
digunakan untuk pembuatan gelatin, analisis komposisi kimia tulang ikan
tuna, serta pencarian metode ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan gelatin
tulang ikan tuna yang dilihat dari rendemen, kekuatan gel, viskositas, dan
derajat keasaman (pH). Bahan baku yang digunakan adalah limbah tulang ikan
tuna yang berasal dari produksi fillet ikan tuna di daerah Muara Baru, Jakarta.
Bahan baku gelatin tulang ikan tuna (Thunnus albacares) dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)
Persiapan bahan baku meliputi pemisahan tulang dari daging yang
menempel dengan cara direbus pada suhu 700C selama 25 – 30 menit,
dilanjutkan dengan pembersihan tulang dari sisa-sisa daging dan lemak yang
menempel, setelah itu tulang ikan dipotong-potong 2 – 4 cm. Untuk analisis
komposisi kimia, tulang ikan tuna yang telah dipotong-potong kemudian
dihancurkan sampai homogen. Hasil analisis komposisi kimia tulang ikan tuna
yang sudah dibersihkan disajikan pada Tabel 8.
31
Tabel 8. Hasil Analisis Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna
Parameter Kandungan (%)
Kadar Air 28,57
Kadar Abu 28,97
Kadar Protein 23,64
Kadar Lemak 15,49
Tulang ikan yang digunakan untuk pembuatan gelatin harus dalam
keadaan masih segar. Kesegaran bahan baku mempengaruhi kualitas ossein
dan gelatin yang dihasilkan. Menurut Hinterwaldner (1977) semakin segar
bahan baku maka kualitas gelatin akan semakin tinggi. Kadar air yang
dikandung oleh tulang tuna adalah 28,57%, menandakan bahwa tulang tuna
yang akan digunakan untuk pembuatan gelatin umumnya masih dalam
keadaan masih segar.
Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat dalam
bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa selama
proses pembakaran tinggi (± 6000C) selama dua jam. Jumlah abu dipengaruhi
oleh jumlah ion-ion anorganik yang terdapat dalam bahan selama proses
berlangsung (Rahayuningsih, 2004). Kadar abu dalam tulang ikan tuna adalah
28,90%.
Kandungan protein yang terdapat dalam tulang ikan tuna adalah
23,64%, sehingga tulang ikan tuna dapat digunakan dalam pembuatan gelatin.
De Man (1997), menyatakan bahwa kolagen menyusun hampir sepertiga total
massa protein pada vertebrata, yang terdapat pada jaringan ikat dalam otot,
kulit, tulang, tulang rawan, gigi dan tendon.
Kadar lemak yang terkandung pada tulang ikan tuna yaitu sebesar
15,49% akan berpengaruh pada proses ekstraksi gelatin. Kadar lemak yang
terdapat pada tulang ikan tuna dapat membuat gelatin yang dihasilkan akan
berwarna coklat kehitaman. Untuk itu proses degreasing sangat penting
diperhatikan.
32
Pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dilakukan dengan proses asam
dan akan menghasilkan gelatin tipe A. Menurut Wiyono (2001) pertimbangan
dilakukannya proses asam karena senyawa asam dapat memutuskan ikatan
hidrogen struktur koil kolagen lebih baik dalam waktu yang relatif singkat.
Menurut Utama (1997) penggunaan asam dalam proses pembuatan gelatin
mempunyai kelebihan yaitu mampu mengubah serat kolagen triple heliks
menjadi rantai tunggal dalam waktu singkat, sedangkan larutan basa hanya
mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang
sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak
daripada larutan basa.
Proses awal dari pembuatan gelatin adalah degreasing. Degreasing
adalah proses penghilangan daging, kotoran dan lemak yang masih menempel
pada tulang. Pada penelitian ini degreasing dilakukan dengan cara merebus
tulang ikan tuna pada suhu 700C selama 25 – 30 menit. Suhu tersebut sesuai
dengan titik kelarutan lemak dan titik koagulasi albumin tulang yang berkisar
antara 32 – 800C, jika suhu yang digunakan lebih dari itu maka akan merusak
dan mengurangi banyaknya kolagen yang akan dihasilkan. Menurut
Hinterwaldner (1977) degreasing yang dilakukan selama 30 menit merupakan
waktu yang optimum untuk mengurangi jumlah lemak dalam ossein dan
menghasilkan kolagen yang berkualitas baik.
Tulang ikan tuna yang telah mengalami proses degreasing dilanjutkan
dengan proses pembersihan, pencucian dengan air mengalir dan pemotongan
tulang menjadi 2 – 4 cm. Pencucian tulang yang baik akan menghasilkan
kadar lemak yang kecil, sehingga akan mempermudah proses selanjutnya.
Menurut Nurilmala (2004) pemotongan tulang bertujuan untuk memperluas
permukaan tulang sehingga pada proses selanjutnya yaitu demineralisasi dan
ekstraksi, reaksi berlangsung lebih cepat dan sempurna.
Tulang yang telah dipotong-potong kemudian dilakukan proses
demineralisasi untuk perlakuan pertama atau perendaman dalam larutan
NaOH selama ± tiga hari terlebih dahulu untuk perlakuan kedua dan ketiga.
Menurut Nagai dan Suzuki (1999) perendaman kulit dan tulang ikan dalam
NaOH 0,1 N bertujuan untuk menghilangkan protein non-kolagen dan
33
menghilangkan lemak yang masih terkandung dalam tulang. Konsentrasi
larutan larutan NaOH yang digunakan adalah 0,4% dan 0,8%. Demineralisasi
yaitu proses menghilangkan kalsium dan garam di dalam tulang, sehingga
dihasilkan tulang lunak yang disebut ossein dimana terdapat kolagen
didalamnya. Ossein adalah tulang lunak yang mengandung kolagen,
mukopolisakarida dan sejenis kecil protein lainnya (Hinterwaldner, 1977).
Proses demineralisasi dilakukan dengan merendam tulang dalam
larutan asam klorida 5% selama dua hari (sampai menjadi ossein) dan larutan
asam klorida diganti setiap harinya. Penggantian asam klorida ini
dimaksudkan untuk mempercepat proses demineralisasi dan mengurangi
kadar lemak yang terlarut dalam larutan gelatin. Menurut Utama (1997) jenis
asam yang digunakan berpengaruh terhadap jumlah gelatin yang dihasilkan
dan sifat-sifatnya. Asam klorida merupakan jenis asam yang paling tepat
digunakan dalam proses ekstraksi, walaupun rendemen yang diperoleh lebih
rendah dibanding dengan asam sulfat, tetapi harga asam klorida lebih murah,
residu abunya lebih rendah (karena bobot molekulnya lebih rendah) dan asam
klorida bersifat kurang korosif jika dibandingkan asam sulfat.
Pada tahap demineralisasi, tulang diselimuti larutan asam klorida
sehingga terjadi reaksi antara kalsium fosfat pada tulang dengan asam klorida
menghasilkan garam kalsium yang larut sehingga tulang menjadi lunak.
Menurut Hinterwaldner (1977), kalsium dalam tulang terutama dalam kalsium
fosfat dalam larutan HCl terurai menjadi Ca2+ dan asam fosfat, reaksinya
adalah sebagai berikut:
Ca3(PO4)2 + 6HCl 3CaCl2 + 2H3PO4
Tulang yang telah menjadi ossein selanjutnya dicuci dengan air
mengalir yang bertujuan untuk menetralkan pH (6,5-7) dan mencegah
terjadinya hidrolisis lanjutan. Proses pencucian tersebut sangat mempengaruhi
mutu gelatin dari nilai derajat keasaman dan seberapa besar sisa-sisa lemak
yang masih menempel sesudah proses demineralisasi.
Tahap selanjutnya adalah konversi kolagen menjadi gelatin, dalam
tahap ini ossein diekstraksi menggunakan akuades, perbandingan antara ossein
dan akuades adalah 1:2, dengan menggunakan suhu 60-650C selama enam
34
jam. Suhu 60-800C merupakan suhu perubahan kolagen menjadi gelatin.
Waktu ekstraksi enam jam merupakan waktu yang optimum karena jika
dilanjutkan ossein akan hancur dan larut bersama akuades.
Pada proses ekstraksi dilakukan pengambilan minyak yang berwarna
coklat dan berbau tengik. Minyak warna coklat dan berbau tengik merupakan
hasil dari auto oksidasi lemak dan reaksi maillard. Menurut De Man (1997)
reaksi maillard adalah reaksi pencoklatan non-enzim pada protein yang
menyebabkan penguraian beberapa asam amino tertentu, reaksi maillard ini
terjadi setelah bahan baku dipanaskan saat degreasing. Pengambilan minyak
tersebut perlu dilakukan karena sangat berpengaruh terhadap kualitas gelatin
yang dihasilkan.
Proses ekstraksi ditandai dengan mengembangnya ossein pada proses
perebusan. Tahap selanjutnya adalah penyaringan dengan saringan berukuran
200 – 250 mesh. Larutan gelatin yang telah disaring kemudian dilakukan
proses ion exchange dengan memakai resin kation dan resin anion. Resin yang
dipakai pada penelitian ini adalah purolite. Proses ion exchange diharapkan
dapat mengikat ion Cl- dan Na+ sehingga gelatin yang dihasilkan lebih murni.
Larutan gelatin yang sudah di ion exchange selanjutnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 40 – 500C selama dua hari. Penggunaan suhu ini
disesuaikan dengan suhu matahari pada siang hari yaitu berkisar antara 40 –
550C. Gelatin yang sudah kering dan berbentuk lembaran dihancurkan dengan
menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Gelatin tulang ikan tuna yang
dihasilkan pada perlakuan pertama, kedua dan ketiga dibandingkan
berdasarkan rendemen, kekuatan gel, viskositas, dan derajat keasaman. Hasil
perbandingan tersebut untuk menentukan perlakuan ekstraksi yang terbaik
untuk mendapatkan gelatin dari tulang ikan tuna. Gelatin tulang tuna yang
dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
35
Gambar 7. Gelatin Tulang Tuna dan Gelatin Komersial
1. Rendemen Gelatin
Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting dalam
menilai efektif tidaknya proses produksi gelatin. Efisien dan efektifnya
proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan gelatin dapat dilihat dari nilai
rendemen yang dihasilkan. Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka
semakin efisien perlakuan yang diberikan. Rendemen dihitung berdasarkan
perbandingan antara gelatin serbuk yang dihasilkan dengan bobot tulang
ikan tuna sebagai bahan baku. Hasil rendemen gelatin tulang ikan tuna yang
dibuat dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 8.
Rendemen
8.37 8.05
5.76
0123456789
Tanpa PerendamanNaOH
Perendaman NaOH0,4%
Perendaman NaOH0,8%
Perlakuan
Ren
dem
en (%
)
Gambar 8. Grafik Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna
36
Dari hasil penelitian diperoleh nilai rendemen gelatin berkisar antara
5,76% sampai 8,37%. Nilai rendemen terbesar diperoleh pada perlakuan
pertama yaitu tanpa perendaman NaOH terlebih dahulu sebelum
perendaman asam yaitu sebesar 8,37%, sedangkan nilai rendemen terkecil
dihasilkan pada perlakuan ketiga yaitu dengan perendaman NaOH 0,8%
sebelum perendaman asam yaitu sebesar 5,76%. Dari hasil penelitian
terlihat kecenderungan semakin kecil konsentrasi larutan NaOH yang
digunakan maka nilai rendemen yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini
diduga karena proses pencucian setelah tulang mengalami perendaman
NaOH tidak sempurna, sehingga masih ada larutan NaOH yang terikat pada
tulang dan tulang mengalami hidrolisis awal pada saat perendaman larutan
NaOH. Larutan NaOH yang terikat pada tulang ini kemudian akan
mengalami reaksi dengan HCl pada waktu perendaman asam. Reaksi antara
NaOH dengan HCl mengakibatkan reaksi hidrolisis kolagen berjalan kurang
sempurna.
Semakin tingginya konsentrasi larutan NaOH yang digunakan
cenderung mengakibatkan NaOH yang terikat dengan tulang semakin
banyak dan akan mempengaruhi hidrolisis tulang menjadi ossein yang
mengandung kolagen. Banyaknya NaOH yang terikat pada tulang
mempengaruhi proses demineralisasi karena kondisi asam yang diperlukan
tidak tercapai. Menurut Utama (1997) kondisi asam yang digunakan akan
cenderung mengakibatkan menurunnya kandungan protein awal, sehingga
hanya sedikit protein yang dapat dipecah menjadi asam amino. Selain itu
penambahan asam klorida juga dapat merusak asam amino tertentu.
Nilai rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh proses
penirisan air pada waktu pencucian kurang sempurna yang mengakibatkan
kandungan air pada tulang menjadi tinggi sehingga pada saat penimbangan
bobot yang terhitung bukan bobot murni tulang. Kandungan air yang tinggi
pada tulang setelah proses pencucian dapat mempengaruhi proses
perendaman asam, karena sifat dari air dapat mengencerkan konsentrasi
larutan asam yang digunakan sehingga proses perendaman asam menjadi
kurang efektif.
37
Protein akan rusak terdenaturasi tidak hanya oleh panas, tetapi juga
oleh pengaruh pH, yaitu terjadi perubahan struktur utama rantai peptida
pada protein. Jika protein terdenaturasi susunan ikatan rantai polipeptida
terganggu dan molekul protein terbuka menjadi struktur acak dan
selanjutnya terkoagulasi, sehingga jumlah kolagen yang terekstraksi lebih
rendah. Konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh pH, jenis bahan
pelarut, suhu, dan pengkonsentrasian. Peningkatan lama pemasakan
(ekstraksi) atau pemanasan dalam air akan meningkatkan kelarutan kolagen
sehingga rendemen gelatin akan meningkat (Lehninger, 1997).
Ward dan Courts (1977) menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi asam dan lama perendaman akan menyebabkan semakin
banyaknya pemecahan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang
merupakan ikatan penstabil pada triple heliks menjadi komponen α, β, γ
sehingga lebih mudah dan lebih banyak yang terkonversi menjadi gelatin.
Namun apabila proses perendaman terlalu lama akan mengakibatkan
terjadinya kelarutan kolagen sehingga rendemen menurun. Hasil rendemen
gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna
Perlakuan Rendemen (%) ± Standar Deviasi
HCl 5% (1) 8,37 ± 0,34 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2) 8,05 ± 0,46 a
NaOH 0,8%; HCl 5% (3) 5,75 ± 0,25 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05)
Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap
perlakuan berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa
perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH 0,4% dan
0,8% berpengaruh terhadap rendemen gelatin yang dihasilkan.
Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada
perlakuan tanpa perendaman NaOH dengan perendaman NaOH 0,4%
mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan
38
dengan perendaman NaOH 0,8% hasilnya berbeda nyata. Dari persentase
rendemen yang dihasilkan berarti perlakuan tanpa perendaman NaOH dan
dengan perendaman NaOH adalah dua perlakuan terbaik yang terlalu tidak
berbeda.
Rendemen yang cukup tinggi pada perlakuan tanpa perendaman
NaOH tersebut diakibatkan oleh proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin
pada perlakuan tersebut berlangsung cukup baik. Perlakuan ini merupakan
yang terbaik dilihat dari rendemen yang dihasilkan.
2. Derajat Keasaman (pH) Gelatin
Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena nilai
pH larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin lainnya seperti
viskositas dan kekuatan gel. Gelatin dengan pH netral akan bersifat stabil
dan penggunaannya akan menjadi lebih luas (Astawan, 2002).
Nilai pH gelatin berhubungan dengan proses yang digunakan untuk
membuatnya. Proses asam cenderung menghasilkan pH rendah, sedangkan
proses basa akan memiliki kecenderungan menghasilkan pH yang tinggi.
Gelatin dengan nilai pH netral cenderung lebih disukai, sehingga proses
penetralan memiliki peran penting untuk menetralkan sisa-sisa asam
maupun sisa-sisa basa setelah dilakukan perendaman (liming)
(Hinterwaldner, 1977). Nilai rataan pH gelatin dengan perlakuan berbeda
yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 9.
pH
4.155.03
5.54
0
1
2
3
4
5
6
Tanpa PerendamanNaOH
Perendaman NaOH0,4%
Perendaman NaOH0,8%
Perlakuan
pH
Gambar 9. Grafik nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna
39
Berdasarkan hasil pengukuran pH gelatin didapatkan bahwa pH
gelatin berkisar antara 4,15 sampai dengan 5,54. Nilai ini masih memenuhi
standar gelatin tipe A disyaratkan Tourtellote (1980) yaitu berkisar antara
3,8 – 6,0. Nilai pH yang paling mendekati kondisi netral (pH 7) dimiliki
oleh perlakuan tulang dengan perendaman NaOH 0,8% sebelum
perendaman asam yaitu sebesar 5,54 dan nilai pH yang paling menjauhi
kondisi netral dimiliki oleh perlakuan tanpa perendaman NaOH yaitu
sebesar 4,15.
Dari grafik dapat diketahui bahwa semakin besar konsentrasi NaOH
yang digunakan untuk perendaman awal sebelum perendaman HCl maka
nilai pH yang dihasilkan akan mendekati pH netral. Hal ini diduga karena
pada perendaman NaOH, sisa-sisa pencucian NaOH masih ada yang
tertinggal di dalam tulang dan akan bereaksi dengan HCl pada proses
perendaman asam sehingga nilai pH gelatin yang dihasilkan lebih tinggi
daripada nilai pH gelatin tanpa perendaman NaOH. Konsentrasi asam yang
semakin tinggi akan berpengaruh terhadap pH gelatin karena semakin tinggi
konsentrasi HCl maka akan semakin banyak kandungan asam yang
terperangkap dalam tulang sehingga pH semakin rendah. Nilai pH gelatin
juga disebabkan oleh HCl yang digunakan ketika proses demineralisasi
diduga masih terbawa ketika dilakukan proses ekstraksi, sehingga
mempengaruhi tingkat keasaman gelatin yang dihasilkan.
Nilai pH ini sangat bergantung pada proses pencucian setelah proses
demineralisasi. Proses pencucian yang baik akan menyebabkan kandungan
asam yang terperangkap di dalam ossein semakin sedikit, sehingga nilai pH
akan semakin mendekati pH netral (Hinterwaldner, 1977). Hasil
pengukuran nilai pH gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 10.
40
Tabel 10. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna
Perlakuan pH ± Standar Deviasi
HCl 5% (1) 4,16 ± 0,20 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2) 5,03 ± 0,08 b
NaOH 0,8%; HCl 5% (3) 5,54 ± 0,27 c
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05)
Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap
perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti
bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH
0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh terhadap pH
gelatin yang dihasilkan. Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui
bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, perlakuan perendaman NaOH
0,4% dan perendaman NaOH 0,8% mempunyai hasil yang berbeda nyata,
sehingga masing-masing perlakuan ini akan menghasilkan nilai pH yang
berbeda.
Dari nilai pH yang dihasilkan, perlakuan dengan perendaman NaOH
0,8% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan gelatin dari tulang
ikan tuna karena paling mendekati kondisi pH netral.Nilai pH pada gelatin
tulang ikan tuna masih tergolong asam, hal ini disebabkan selain pembuatan
menggunakan asam kuat (HCl) juga disebabkan oleh kurang optimalnya
proses pencucian ossein, sehingga HCl yang digunakan ketika proses
demineralisasi diduga masih terbawa ketika dilakukan proses ekstraksi.
Nilai pH dari perlakuan terbaik yaitu dengan perlakuan perendaman
NaOH 0,8% yaitu sebesar 5,54 telah memenuhi standar gelatin tipe A yaitu
3,80 – 6,00 (GMIA, 2007). Gelatin yang dihasilkan pada perlakuan dengan
perendaman NaOH 0,8% dapat digunakan untuk pangan dan farmasi karena
memenuhi standar gelatin pangan dan farmasi yang dikeluarkan oleh
Norland (2003) yaitu sebesar 5,5 – 7,0.
41
3. Viskositas Gelatin
Viskositas merupakan salah satu sifat fisik gelatin yang cukup
penting. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan.
Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin
sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas gelatin
biasanya diukur pada suhu 600C dengan konsentrasi 6,67% (b/b) (Leiner,
2006).
Viskositas larutan gelatin terutama tergantung pada tingkat
hidrodinamik antara molekul-molekul gelatin itu sendiri. Disamping itu
juga, viskositas tergantung pada temperatur (di atas 400C viskositas
menurun secara eksponensial dengan naiknya suhu), pH (viskositas
terendah pada titik isoelektrik) dan konsentrasi dari larutan gelatin (Ward
dan Courts, 1977).
Nilai rataan viskositas gelatin yang diperoleh pada penelitian ini
berkisar antara 3,23 cP sampai dengan 5,57 cP. Hasil dari pengukuran
viskositas gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 10.
Viskositas
3.23
5.57 5.33
0
1
2
3
4
5
6
Tanpa PerendamanNaOH
Perendaman NaOH0,4%
Perendaman NaOH0,8%
Perlakuan
Vis
kosi
tas
(cP
)
Gambar 10. Grafik Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna
42
Nilai viskositas yang dihasilkan berkisar antara 3,23 cP – 5,57 cP
telah memenuhi persyaratan yang dikemukakan Tourtellote (1980) yaitu 2,0
cP – 7,5 cP. Nilai viskositas tertinggi terdapat pada perlakuan kedua yaitu
perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% selama tiga hari dan dilanjutkan
dengan perendaman HCl 5% selama dua hari dengan nilai sebesar 5,57 cP.
Nilai viskositas terendah terdapat pada perlakuan pertama yaitu perlakuan
tanpa perendaman NaOH terlebih dahulu dengan nilai sebesar 3,23 cP.
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa perendaman tulang dengan
larutan NaOH akan mengakibatkan nilai viskositas larutan gelatin yang
dihasilkan semakin tinggi sampai konsentrasi larutan NaOH tertentu,
kemudian akan turun kembali nilai viskositas gelatin tersebut. Hal ini
diduga karena dengan perendaman tulang dalam larutan NaOH terlebih
dahulu sebelum perendaman tulang dalam larutan asam akan menyebabkan
pemotongan rantai-rantai asam amino semakin sedikit sehingga dihasilkan
rantai yang lebih panjang yang berakibat tingginya nilai viskositas.
Viskositas berhubungan dengan bobot molekul rata-rata gelatin dan
distribusi molekul, sedangkan bobot molekul gelatin berhubungan langsung
dengan panjang rantai asam aminonya. Berarti semakin panjang rantai asam
amino maka nilai viskositas akan semakin tinggi. Konsentrasi larutan asam
yang berbeda berpengaruh terhadap bobot molekul yang dihasilkan (Ward
dan Courts, 1977). Gudmunsson dan Hafsteinsson (1997) menyatakan
bahwa adanya perbedaan viskositas gelatin, bisa jadi merupakan hasil dari
adanya perbedaan rata-rata bobot molekul dan distribusi molekulernya.
Bobot molekul yang lebih tinggi akan meningkatkan viskositas.
Menurut Glicksman (1969), residu mineral yang tertinggal dalam
gelatin dapat mempengaruhi karakteristik gelatin tersebut. Aldehyde yang
mempertahankan ikatan silang (cross-ling) dalam molekul gelatin akan
membentuk polyaldehyde dengan residu mineral tersebut, sehingga
menurunkan kelarutan dalam air dan meningkatkan viskositasnya.
Viskositas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsenterasi,
suhu, tingkat dispersi dan teknik perlakuan. Viskositas larutan gelatin akan
meningkat dengan peningkatan konsenterasi gelatin dan penurunan suhu.
43
Hasil pengukuran viskositas gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Viskositas Gelatin Tulang Ikan
Tuna
Perlakuan Viskositas (cP) ± Standar Deviasi
Tanpa Perendaman NaOH 3,23 ± 0,25 a
Perendaman NaOH 0,4% 5,56 ± 0,40 b
Perendaman NaOH 0,8% 5,33 ± 0,28 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05)
Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa perbedaan
setiap perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini
berarti bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman
NaOH 0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh
terhadap viskositas gelatin yang dihasilkan.
Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada
perlakuan perendaman NaOH 0,4% dengan perendaman NaOH 0,8%
mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa perendaman NaOH hasilnya berbeda nyata. Dari
tingginya nilai viskositas yang dihasilkan berarti perlakuan dengan
perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% merupakan dua perlakuan terbaik untuk
menghasilkan gelatin dari tulang ikan tuna dan kedua perlakuan ini tidak
terlalu berbeda.
Viskositas dari perlakuan terbaik yaitu dengan perlakuan
perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% yaitu sebesar 5,57 cP dan 5,33 cP telah
memenuhi standar gelatin tipe A yaitu 1,50 cP – 7,50 cP (GMIA, 2007).
Nilai viskositas yang tinggi diperlukan untuk pembentukan gel pada larutan
gelatin.
44
4. Kekuatan Gel Gelatin
Gelatin merupakan hidrokoloid yang terkait fungsinya untuk
meningkatkan kekentalan dan membentuk gel dalam berbagai produk
pangan. Gelatin sangat efektif dalam membentuk gel. Satu bagian gelatin
dapat mengikat 99 bagian air untuk membentuk gel. Efektifitas gelatin
sebagai pembentuk gel berasal dari susunan asam aminonya yang unik
(Fardiaz, 1989).
Kekuatan gel sangat penting dalam penentuan perlakuan yang
terbaik dalam proses ekstraksi gelatin, karena salah satu sifat penting gelatin
adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol
menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan
gelatin sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan, farmasi,
maupun bidang-bidang lainnya.
Kekuatan gel adalah salah satu dari tekstur suatu bahan dan
merupakan gaya untuk menghasilkan deformasi tertentu. Kekuatan gel
gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe
untuk menekan gel sedalam empat mm sampai gel pecah. Satuan untuk
menunjukkan kekuatan suatu gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi
tertentu disebut bloom (Lachman, 1994). Hasil pengukuran kekuatan gel
gelatin pada perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 11.
Kekuatan Gel
104.6
151.8140.5
020406080
100120140160
Tanpa PerendamanNaOH
Perendaman NaOH0,4%
Perendaman NaOH0,8%
Perlakuan
Kek
uata
n G
el (g
r bl
oom
)
Gambar 11. Grafik Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna
45
Kekuatan gel yang dihasilkan pada penelitian pembuatan gelatin
dari tulang ikan tuna berkisar antara 104,6 gr bloom sampai 151,8 gr bloom.
Nilai ini masih memenuhi nilai yang disyaratkan Tourtellote (1980) yaitu
berkisar antara 75 – 300 gr bloom. Kekuatan gel tertinggi dimiliki oleh
perlakuan tulang dengan perendaman NaOH 0,4% sebelum perendaman
asam yaitu sebesar 151,8 gr bloom dan nilai kekuatan gel terendah dimiliki
oleh perlakuan tanpa perendaman NaOH yaitu sebesar 104,6 gr bloom.
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa perendaman tulang dengan
larutan NaOH mengakibatkan nilai kekuatan gel gelatin yang dihasilkan
semakin tinggi sampai konsentrasi larutan NaOH tertentu, kemudian akan
turun kembali nilai kekuatan gel gelatin tersebut. Hal ini diduga karena
dengan perendaman tulang dalam larutan NaOH terlebih dahulu sebelum
perendaman tulang dalam larutan asam akan menyebabkan pemotongan
rantai-rantai asam amino semakin sedikit dan dapat mencegah terjadinya
hidrolisis lanjutan pada kolagen yang sudah terkonversi menjadi gelatin
sehingga dihasilkan rantai asam amino yang lebih panjang yang berakibat
tingginya nilai kekuatan gel.
Menurut Ward dan Courts (1977) kekuatan gel tergantung dari
panjang rantai asam aminonya. Jika kondisi kolagennya telah terhidrolisa
secara sempurna, maka kekuatan gel dapat meningkat. Hal ini terjadi karena
kolagen yang telah terhidrolisa dapat menghasilkan rantai polipeptida yang
panjang. Gel gelatin dapat stabil dengan adanya tekanan dari luar ikatan
kovalen yaitu ikatan hidrogen, karena ikatan kovalen mempercepat gel
mencair.
Menurut Glicksman (1969) kekuatan gel dipengaruhi oleh asam,
alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak
terbentuk. Pembentukan dan kekuatan gel yang dihasilkan tergantung pada
kandungan rantai α dan distribusi bobot molekul. Penurunan kekuatan gel
seiring dengan peningkatan bobot molekul gelatin. Gelatin dengan molekul
yang lebih besar mempunyai rantai yang dihubungkan dengan ikatan
kovalen. Ikatan kovalen antar rantai mengurangi jumlah ikatan hidrogen
(ikatan non-kovalen) sehingga jaringan ikat antar molekul lemah. Hasil
46
pengukuran kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Kekuatan Gel Gelatin Tulang
Ikan Tuna
Perlakuan Kekuatan Gel (gr bloom) ± Standar Deviasi
HCl 5% (1) 104,63 ± 5,38 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2) 151,53 ± 3,44 b
NaOH 0,8%; HCl 5% (3) 140,53 ± 8,44 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05)
Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap
perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti
bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH
0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh terhadap
kekuatan gel gelatin yang dihasilkan.
Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada
perlakuan perendaman NaOH 0,4% dengan perendaman NaOH 0,8%
mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa perendaman NaOH hasilnya berbeda nyata. Dari
tingginya nilai kekuatan gel yang dihasilkan berarti perlakuan dengan
perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% merupakan dua perlakuan terbaik untuk
menghasilkan gelatin dari tulang ikan tuna dan kedua perlakuan tersebut
tidak terlalu berbeda.
Kekuatan gel yang cukup tinggi pada perlakuan dengan perendaman
NaOH 0,4% dan 0,8% ini diakibatkan oleh proses hidrolisis kolagen
menjadi gelatin pada perlakuan tersebut berlangsung cukup baik. Perlakuan
ini merupakan yang terbaik dilihat dari kekuatan gel yang dihasilkan.
Kekuatan gel dari perlakuan terbaik yaitu dengan perlakuan perendaman
NaOH 0,4% dan 0,8% yaitu sebesar 151,8 gr bloom dan 140,5 gr bloom
telah memenuhi standar gelatin tipe A (GMIA, 2007) yaitu 50,0 gr bloom –
300,0 gr bloom.
47
Jika ditinjau dari nilai kekuatan gel gelatin yaitu sebesar 151,8 gr
bloom, gelatin hasil penelitian ini memenuhi standar pangan yang
dikeluarkan oleh Norland product yaitu 100 – 220 gr bloom, selain itu
gelatin terbaik hasil penelitian ini dapat diaplikasikan pada produk pangan
berbahan dasar daging karena mempunyai kekuatan gel lebih dari 150 gr
bloom (Weishardt, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya kecenderungan
hubungan antara nilai pH, viskositas dan kekuatan gel. Apabila nilai pH
tinggi maka viskositas dan kekuatan gel pun tinggi. Hal ini diduga karena
pH tinggi tidak menyebabkan hidrolisis lanjutan dan kerusakan pada gelatin
sehingga viskositas dan kekuatan gel tinggi juga.
Berdasarkan kriteria gelatin yang telah disyaratkan pada standar
gelatin komersial, maka diambil perlakuan terbaik yaitu perendaman dalam
NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5%, karena perlakuan
tersebut menghasilkan kekuatan gel,viskositas dan pH yang tinggi.
Pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian lebih lanjut pada
gelatin yang diperoleh dari perlakuan terbaik yaitu perendaman dalam
NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5% yang selanjutnya
dibandingkan dengan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium.
C. Penelitian Tahap II
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, dimana hasil dari
perlakuan terbaik untuk memperoleh gelatin dari tulang ikan tuna adalah
perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan
perendaman HCl 5%. Gelatin yang dihasilkan dari perlakuan ini kemudian
diuji lebih lanjut yang meliputi: analisis komposisi kimia gelatin, kekuatan
gel, viskositas, nilai pH, titik gel, titik leleh, titik isoelektrik protein, derajat
putih, logam berat, analisis komposisi asam amino dan pengujian mikrobilogi
yang dibandingkan dengan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium.
Hasil pengukuran terhadap sifat fisika kimia, uji logam berat dan uji
mikrobiologi gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar
laboratorium disajikan pada Tabel 13.
48
Tabel 13. Hasil Pengukuran Mutu Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial
dan Gelatin Standar Laboratorium.
Parameter Gelatin Tulang
Ikan Tuna
Gelatin
Komersial
Gelatin Standar
Laboratorium*)
pH
Viskositas (cP)
Kekuatan Gel (gr bloom)
Titik Gel (0C)
Titik Leleh (0C)
Titik Isoelektrik Protein
Derajat Putih (%)
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Protein (%)
Kadar Lemak (%)
Pb
Hg
Total Plate Count (TPC)
E.coli
Salmonella
5,01
5,57
151,80
9,00
25,30
7,67
33,70
6,08
1,02
88,53
1,02
0,55
Ttd
4,5 x 104
Negatif
Negatif
5,90
5,90
178,90
16,20
29,70
7,00
38,20
11,66
1,66
85,99
0,23
Ttd
Ttd
5,7 x 103
Negatif
Negatif
5,00
7,00
-
1,20
16,30
8,00
35,89
11,45
0,52
87,26
0,25
Ttd
Ttd
4 x 103
Negatif
Negatif
*) Fahrul (2004).
1. Analisa Komposisi Kimia Gelatin
Gelatin merupakan suatu bahan tambahan makanan, berupa protein
murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas.
Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia gelatin tulang ikan tuna dan
gelatin komersial dapat dilihat bahwa protein merupakan kandungan yang
tertinggi di dalam gelatin. Hasil analisis komposisi kimia pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 14.
49
Tabel 14. Hasil Analisis Komposisi Kimia Gelatin
Parameter Gelatin Tulang
Ikan Tuna
Gelatin
Komersial
Gelatin Standar
Laboratorium*)
Kadar Air (%) 6,08 11,66 11,45
Kadar Abu (%) 1,02 1,66 0,52
Kadar Protein (%) 88,53 85,99 87,26
Kadar Lemak (%) 1,02 0,23 0,25
*) Fahrul (2004).
Hasil pengukuran komposisi kimia akan dibahas lebih lanjut sebagai
berikut:
a. Kadar Air
Kadar air adalah kandungan air bahan yang dapat dinyatakan
berdasarkan bobot basah dan bobot kering. Kadar air merupakan
parameter penting dari suatu produk pangan, karena kandungan air dalam
makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, penampakan, tekstur,
citarasa, dan mutu bahan pangan serta daya tahan bahan (Winarno, 2002).
Air merupakan kandungan penting dalam suatu bahan pangan. Air
dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dari suatu produk. Peranan
air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan
aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non-
enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan
nilai gizinya (De Man, 1997).
Berdasarkan hasil pengukuran kadar air dapat diketahui bahwa
kadar air gelatin tulang ikan tuna adalah 6,08%, kandungan air tersebut
lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin komersial yang sebesar
11,66% dan juga lebih rendah dari gelatin standar laboratorium yang
kadar airnya sebesar 11,45%. Rendahnya kadar air gelatin tulang ikan
tuna diduga karena pengaruh pengeringan yang terlalu lama dan tidak
merata serta alat pengering yang masih menggunakan oven. Pengeringan
gelatin komersial biasanya menggunakan freeze dryer, sehingga pada
proses pengeringan gelatin tulang ikan tuna banyak air yang menguap.
50
Kadar air gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan masih
memenuhi standar SNI (1995) yaitu maksimum 16% dan Norland
Product (2003) yaitu maksimum 14%. Kadar air yang rendah akan
mempengaruhi mutu gelatin terutama pada ketengikan gelatin dan warna
yang kurang cerah.
b. Kadar Abu
Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya
jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut
(Apriyantono, 1989). Abu adalah zat anorganik yang tidak ikut terbakar
dalam proses pembakaran zat organik. Zat tersebut adalah kalsium,
kalium, natrium, besi, magnesium dan mangan (Desrosier, 1988).
Hasil penelitian kadar abu gelatin tulang ikan tuna adalah 1,02%,
kandungan abu tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin
komersial yang bernilai 1,66% dan lebih rendah jika dibandingkan kadar
abu gelatin standar laboratorium yang sebesar 0,52%. Tingginya
kandungan mineral yang dimiliki gelatin komersial dibandingkan gelatin
tulang ikan tuna dan gelatin standar laboratorium disebabkan karena
gelatin komersial bahan bakunya dari tulang sapi, dimana kandungan
mineral pada tulang sapi lebih besar daripada tulang ikan. Tingginya
kadar abu pada gelatin tulang ikan tuna bila dibandingkan dengan gelatin
standar laboratorium diduga akibat kurang maksimalnya proses
demineralisasi, sehingga masih banyak mineral yang belum
terdemineralisasi dan juga dapat dikarenakan serbuk ossein masih banyak
yang terbawa pada saat penyaringan. Menurut Ward dan Courts (1977)
kadar abu dalam gelatin diindikasikan merupakan kalsium. Tingginya
kalsium mengakibatkan warna gelatin dalam larutan menjadi keruh.
Kadar abu gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan telah
memenuhi syarat SNI (1995) yaitu maksimum 3,25% dan Norland
Product (2003) yaitu maksimum 2,0%. Rendahnya kandungan kadar abu
di dalam gelatin tulang ikan tuna maka gelatin tersebut dapat
diaplikasikan kedalam produk pangan.
51
c. Kadar Protein
Protein merupakan kandungan yang tertinggi di dalam gelatin.
Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui
proses hidrolisis kolagen, pada dasarnya memiliki kadar protein yang
tinggi. Gelatin merupakan suatu bahan makanan tambahan, berupa
protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan
menggunakan panas (Raharja, 2004).
Kadar protein gelatin tulang ikan tuna hasil penelitian ini adalah
88,53%, kadar tersebut lebih tinggi dari gelatin komersial yang berjumlah
85,99% dan gelatin standar dengan 87,26%. Tingginya kadar protein
pada gelatin tulang ikan tuna, namun tidak jauh berbeda, diduga
diakibatkan oleh bahan baku yang berasal dari tulang ikan, yang
diketahui bahwa akan memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein
yang terdapat di dalam tulang ikan merupakan protein bentuk serat.
Kadar protein pada gelatin dipengaruhi oleh baik tidaknya
kualitas ossein yang dihasilkan pada proses demineralisasi. Kesegaran
bahan baku juga mempengaruhi kualitas ossein yang dihasilkan, sehingga
kadar protein gelatin dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku tulang ikan
tuna.
d. Kadar Lemak
Kadar lamak berpengaruh terhadap perubahan mutu produk
pangan selama penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama diakibatkan
oleh proses oksidasi sehingga timbaul bau busuk dan rasa tengik, yang
disebut proses ketengikan. Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan
memiliki kandungan lemak yang rendah bahkan diharapkan tidak
mengandung lemak. Kadar lemak yang tidak melebihi batas 5%
merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin. Rendahnya kadar
lemak ini memungkinkan tepung gelatin dapat disimpan dalam waktu
relatif lama tanpa menimbulkan bau dan rasa tengik (De Man, 1997).
52
Kadar lemak gelatin tulang ikan tuna adalah 1,02%. Nilai ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan gelatin komersial yang berjumlah 0,23%
dan gelatin standar laboratorium yang kadar lemaknya sebesar 0,25%.
Kadar lemak gelatin tulang ikan tuna yang cukup tinggi ini kurang
memungkinkan untuk menyimpan gelatin dalam waktu relatif lama tanpa
menimbulkan perubahan mutu yang berarti.
Tingginya kadar lemak tersebut diduga diakibatkan oleh lemak
yang terdapat di dalam bahan baku tulang ikan masih terbawa ketika
proses pembuatan gelatin. Selain itu kandungan lemak yang tinggi juga
disebabkan kurang optimalnya proses pencucian dan pengambilan lemak
saat proses ekstraksi berlangsung
Pengurangan kadar lemak dalam gelatin dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya dengan penyimpanan cairan hasil ekstraksi ke
dalam suhu 100C, sehingga larutan lemak menggumpal dan berada diatas,
kemudian dilakukan pembuangan lemak dengan cara memotong bagian
atas yang mengandung lemak.
Kadar lemak pada gelatin sangat bergantung pada perlakuan
selama proses pembuatan gelatin, baik pada tahap pembersihan tulang
maupun proses degreasing hingga pada tahap penyaringan filtrat hasil
ekstraksi, dimana setiap perlakuan yang baik akan mengurangi
kandungan lemak yang ada dalam bahan baku sehingga produk yang
dihasilkan memiliki kadar lemak yang rendah.
2. Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin
Sifat fungsional gelatin merupakan sifat fisikokimia yang sangat
mempengaruhi perilaku gelatin dalam sistem makanan selama proses
penyimpanan, penyiapan, dan pengkonsumsian (De Man, 1997). Hasil
analisis sifat fisikokimia gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan
gelatin standar laboratorium dapat dilihat pada Tabel 15.
53
Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin
Parameter Gelatin Tulang
Ikan Tuna
Gelatin
Komersial
Gelatin Standar
Laboratorium*)
Kekuatan Gel (gr bloom) 151,8 178,90 -
Viskositas (cP) 5,57 5,90 7,00
pH 5,01 5,90 5,00
Titik Gel (0C) 9,00 16,20 1,20
Titik Leleh (0C) 25,30 29,70 16,30
Titik Isoelektrik Protein 7,67 7,00 8,00
Derajat Putih (%) 33,7 38,2 35,89
*) Fahrul (2004).
Hasil analisis sifat fisikokimia gelatin dibahas lebih lanjut di bawah ini:
a. Kekuatan Gel
Kekuatan gel adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut
sebagai kekuatan gel, karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan
gelatin dalam pembentukan gel. Oleh karena itu kekuatan gel merupakan
salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin (Glicksman, 1969).
Menurut Ward dan Courts (1977) pembentukan gel terjadi karena
pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan
membuka ikatan-ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula
bebas mengalir menjadi larutan kental. Larutan tersebut akan membentuk
gel secara sempurna jika disimpan pada suhu dingin (100C) selama 17 ±
2 jam.
Hasil pengukuran kekuatan gel dapat diketahui bahwa kekuatan
gel gelatin tulang ikan tuna adalah 151,8 gr bloom, nilai tersebut lebih
rendah dari gelatin komersial yang bernilai 178,90 gr bloom. Pada gelatin
standar laboratorium tidak membentuk gel setelah disimpan pada suhu
100C selama 17 jam sehingga tidak diperoleh nilai kekuatan gel dari
gelatin tersebut. Gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel
kemungkinan dikarenakan berdasarkan keterangan dari produk tersebut
bahwa fungsi dari gelatin ini bukan sebagai bahan pembentuk gel (gelling
54
agent) tetapi hanya sebagai bahan pemblok (blocking agent) saja
sehingga kekuatan gel tidak begitu penting untuk produk di atas. Menurut
Glicksman (1969) kekuatan gel dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas
yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak terbentuk. Menurut
Geltech (2000) kekuatan gelatin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
gelatin, pH, suhu, dan waktu inkubasi.
Lebih rendahnya kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna dari gelatin
komersial dikarenakan bahan baku yang berbeda dimana gelatin
komersial berasal dari tulang sapi. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan
tuna yaitu sebesar 151,8 gr bloom, gelatin hasil penelitian ini memenuhi
gelatin standar pangan dan farmasi yang dikeluarkan oleh Norland
Product yaitu 140 – 240 gr bloom dan standar gelatin yang dikeluarkan
oleh British Standard (1975) yaitu 50 – 300 gr bloom.
b. Viskositas Gelatin
Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang penting setelah
kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang
lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas
gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan
titik leleh. Dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju
pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin
yang viskositasnya rendah, dan untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan
viskositas yang tinggi (Leiner, 2006).
Dari hasil pengukuran dapat diketahui bahwa viskositas gelatin
tulang ikan tuna adalah 5,57 cP. Nilai tersebut lebih rendah dari gelatin
komersial yang bernilai 5,90 cP dan viskositas gelatin standar
laboratorium yang nilainya 7,00 cP . Hal ini diakibatkan oleh penguraian
kolagen menjadi gelatin belum optimal bila dibandingkan pada proses
pembuatan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium sehingga
rantai amino yang terbentuk tidak cukup panjang dan viskositasnya
menjadi rendah (Lehninger, 1997).
Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna adalah 5,57 cP, nilai
viskositas tersebut memenuhi gelatin standar pangan (Norland Product,
55
2003) yaitu lebih besar dari 2,5 cP dan standar mutu gelatin (British
Standard, 1975) yaitu 1,5 – 7 cP. Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna
yang lebih rendah dari gelatin komersial (sapi) tidak sesuai, karena
menurut Leuenberger (1991) bahwa pada dasarnya gelatin ikan dapat
dibedakan dari gelatin sapi dan babi berdasarkan sifat fisiknya yaitu
viskositas larutan yang tinggi, titik leleh yang rendah dan suhu
pembentukan gel (titik gel) yang rendah.
c. Titik Gel dan Titik Leleh Gelatin
Titik gel adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi
tertentu mulai membentuk gel. Titik leleh gelatin adalah suhu ketika
gelatin yang membentuk gel mencair ketika dipanaskan perlahan-lahan
(Baker, 1994).
Dari hasil pengukuran titik gel dan titik leleh gelatin dapat
diketahui bahwa titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna adalah
9,000C dan 25,300C, suhu tersebut lebih rendah dari titik gel dan titik
leleh gelatin komersial yaitu 16,200C dan 29,700C, tetapi lebih tinggi dari
titik gel dan titik leleh gelatin standar sebesar 1,200C dan 16,300C. Hasil
pengukuran tersebut juga menunjukkan bahwa suhu titik gel berbanding
lurus dengan suhu titik leleh, dimana jika titik gelnya rendah maka titik
lelehnya juga rendah, demikian pula sebaliknya.
Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan
gelatin standar laboratorium disebabkan karena gelatin komersial bahan
bakunya berasal dari tulang sapi, dimana gelatin yang diperoleh dari sapi
dan babi memiliki titik jendal dan titik leleh yang lebih tinggi
dibandingkan gelatin dari ikan (Poppe, 1992). Gelatin dari tulang sapi
atau babi mempunyai keunggulan dibandingkan dari hewan lainnya.
Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan gelatin
standar diakibatkan oleh rendahnya kandungan asam amino glisin dan
hidroksiprolin di dalam gelatin, yang mengakibatkan hilangnya ikatan
hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan (Utama, 1997).
56
Titik gel gelatin tulang ikan tuna yang sebesar 9,000C sesuai
menurut Food Chemical Codex (1996) yang menyatakan bahwa gelatin
yang diekstrak dari ikan memiliki titik gel pada kisaran 5 – 100C.
Berbeda dengan gelatin standar yang juga bahan bakunya ikan, titik
gelnya jauh dibawah kisaran titik jendal gelatin ikan secara umum.
Makanya pada pengukuran kekuatan gel gelatin standar tidak membentuk
gel karena suhu inkubasinya hanya berkisar ±100C. Titik leleh gelatin
tulang ikan tuna yang sebesar 25,300C, masih termasuk dalam kisaran
standar suhu titik leleh gelatin secara umum. Sebagaimana menurut Food
Chemical Codex (1996) bahwa produk gelatin adalah produk yang pada
suhu < 350C sudah mengalami pelelehan dan dapat mencair dalam mulut.
d. Titik Isoelektrik Gelatin
Titik Isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki
jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama (Lehninger, 1997). Pada
titik isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi
penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik
isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada
penggunaannya dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan
tingkat kelarutan gelatin. Menurut Baker (1994) pada bahan pangan, titik
isoelektrik sangat penting karena pada titik ini beberapa bahan bersifat
maksimum dan minimum, sebagai contoh kelarutan protein selalu
minimum pada titik isoelektriknya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa titik
isoelektrik gelatin tulang ikan tuna adalah 7,67. Nilai tersebut lebih tinggi
dari pada gelatin komersial yang bernilai 7,00 dan lebih rendah dari
gelatin standar yang bernilai 8,00. Titik isoelektrik yang lebih tinggi dari
pada titik isoelektrik gelatin komersial karena proses pembuatannya
menggunakan metode asam, sedangkan gelatin komersial yang berasal
dari tulang sapi biasanya menggunakan metode basa. Menurut Poppe
(1992) titik isoelektrik protein dapat bervariasi tergantung jumlah gugus
karboksil amida pada gelatin. Apabila titik isoelektrik protein tinggi
(9,4), maka tidak ada modifikasi terhadap gugus amida dan apabila titik
57
isoelektriknya rendah (4,8) maka 90 – 95% protein dari gelatin
merupakan gugus karboksil. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4,8 –
9,4, dimana gelatin yang dihasilkan dengan proses asam mempunyai titik
isoelektrik yang lebih tinggi dibanding gelatin yang dihasilkan dari
proses basa.
Seperti sifat protein lainnya, gelatin bersifat amfoter, sehinga
gelatin dapat digunakan pada kondisi asam maupun basa. Pada larutan
asam, gelatin akan berperan sebagai alkali atau bermuatan positif,
sedangkan dalam larutan basa gelatin akan berperan sebagai asam atau
bermuatan negatif (Lehninger, 1997). Kemampuan gelatin yang dapat
bereaksi sebagai asam maupun basa ini, maka gelatin disebut sebagai
protein ampoterik (Budavari, 1996). Oleh karena itu pada titik
isoelektriknya protein memiliki tingkat kelarutan yang rendah, maka
hendaknya dalam melarutkan gelatin tulang ikan tuna dilakukan di atas
atau di bawah pH 7,67.
Titik isoelektrik gelatin juga erat kaitannya dengan viskositas
gelatin itu sendiri, dimana viskositas gelatin terendah diperoleh pada pH
titik isoelektriknya (Poppe,1992). Oleh karena itu untuk mendapatkan
viskositas larutan gelatin yang tinggi, maka larutan yang digunakan untuk
melarutkan gelatin tersebut hendaknya lebih besar atau lebih rendah dari
pH isoelektriknya.
e. Derajat Putih
Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna
gelatin, dimana umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati
derajat putih blanko sebesar 85,4%. Gelatin yang bermutu tinggi biasanya
tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas. Menurut
Budavari (1996) salah satu sifat fisik gelatin adalah tidak berwarna atau
agak berwarna kuning dan transparan.
Dari hasil pengukuran ini derajat putih dapat diketahui bahwa
derajat putih gelatin tulang ikan tuna adalah 33,7%, nilai ini lebih rendah
dari nilai derajat putih gelatin komersial yang bernilai 38,2% dan gelatin
standar yang bernilai 35,89%. Rendahnya nilai derajat putih pada gelatin
58
tulang ikan tuna disebabkan oleh kualitas bahan baku yang mengalami
proses pemanasan pada saat degreasing sehingga terjadi proses
pencoklatan non-enzim atau reaksi maillard yang menyebabkan
terjadinya pigmen coklat atau melanoidin. Poppe (1992) menyatakan
bahwa derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode
pembuatan dan ekstraksi.
Teknik pengeringan gelatin juga berpengaruh terhadap nilai
derajat putih. Hasil penelitian Sopian (2002) menunjukkan bahwa derajat
putih gelatin kulit ikan pari dengan perlakuan pengering oven lebih
rendah dibandingkan pada perlakuan pengering freeze dryer. Dengan
demikian dapat diduga bahwa gelatin komersial dan gelatin standar
kemungkinan besar tidak menggunakan pengering oven seperti pada
gelatin tulang ikan tuna.
3. Analisis Logam Berat Gelatin
Logam berat merupakan jenis logam seperti merkuri, krom,
cadmium, arsen, dan timbal dengan bobot molekul yang tinggi. Logam
berat terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup yang mengakibatkan
kadarnya lebih besar daripada kadarnya dalam lingkungan dan akan
meningkat seiring dengan meningkatnya posisi organisme pada rantai
makanan (Fahrul, 2005).
Analisis logam berat sangat penting bagi produk seperti gelatin,
antara lain untuk menentukan apakah gelatin tersebut aman digunakan atau
dikonsumsi terutama dalam produksi farmasi (obat-obatan) dan produk
pangan. Hasil analisis logam berat disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Logam Berat Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin
Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium
Parameter Gelatin Tulang Ikan
Tuna
Gelatin
Komersial
Gelatin Standar
Laboratorium*)
Pb 0,55 Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
Hg Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
*) Fahrul (2004)
59
Timbal (Pb) merupakan kontaminan yang berbahaya bagi manusia
jika melebihi batas yang ditetapkan. Adanya Pb dalam gelatin dapat
diakibatkan oleh pencemaran lingkungan atau penyerapan logam dari
peralatan (De Man, 1997). Dari hasil analisis Pb, dapat diketahui bahwa
kandungan timbal pada gelatin tulang ikan tuna terdeteksi 0,55 ppm. Pada
gelatin komersial dan gelatin standar tidak terdeteksi. Kandungan timbal
pada gelatin tulang ikan tuna masih tergolong sangat kecil jika
dibandingkan dengan kriteria gelatin standar SNI. Adapun syarat yang
ditetapkan oleh SNI (1995) maksimum adalah 30 ppm.
Merkuri (Hg) dalam gelatin perlu diketahui karena dimungkinkan
adanya pencemaran merkuri dalam bahan baku sehingga terkontaminasi
pada gelatin. Menurut (De Man, 1997) senyawa merkuri yang ada didalam
sedimen sungai atau laut diubah menjadi metal merkuri yang sangat
beracun.
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa kandungan merkuri
di dalam gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar
laboratorium tidak terdeteksi. Menurut De Man (1997) kandungan merkuri
yang tidak terdeteksi pada gelatin tulang ikan tuna menunjukkan bahwa
gelatin tersebut masih memenuhi syarat yang ditetapkan yaitu maksimum
0,5 ppm.
4. Komposisi Asam Amino Gelatin
Analisis asam amino ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan
komposisi asam amino gelatin tulang ikan tuna yang dibandingkan dengan
gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Asam amino merupakan
struktur yang membentuk protein. Hasil pengujian komposisi asam amino
dapat dilihat pada Tabel 17.
60
Tabel 17. Komposisi Asam Amino Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial
dan Gelatin Standar Laboratorium
Asam Amino Gelatin Tulang
Ikan Tuna (%)
Gelatin
Komersial (%)
Gelatin Standar
Laboratorium (%)*)
Asam Aspartat
Asam Glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Theorin
Alanin
Prolin
Hidroksiprolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoeleusin
Leusin
Phenilalanin
Lisin
4,958
8,015
1,406
18,703
1,183
6,230
2,359
4,293
10,65
8,220
2,144
3,755
1,402
0,731
2,346
4,703
2,159
3,541
4,93
9,43
2,18
23,01
0,03
8,95
2,87
10,24
12,34
8,74
0,15
1,60
0,55
0,07
1,13
-
1,92
2,86
5,15
9,47
1,97
23,18
0,02
8,12
2,93
10,07
12,54
8,85
0,11
1,25
0,42
1,10
1,03
-
1,96
1,53
*) Fahrul (2004)
Berdasarkan hasil pengujian komposisi asam amino menunjukkan
bahwa komposisi umum asam amino gelatin tulang ikan tuna umumnya
lebih rendah dibandingkan gelatin komersial dan gelatin standar
laboratorium, namun nilainya tidak jauh berbeda. Menurut Astawan (2004)
rendahnya kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin pada gelatin
tulang ikan dapat mengakibatkan rendahnya titik leleh gelatin.
Perbedaan komposisi asam amino tersebut disebabkan karena bahan
baku ketiga jenis gelatin berbeda. Wards dan Courts (1977) menyatakan
bahwa gelatin mengandung 19 jenis asam amino yang dihubungkan dengan
61
ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang. Komposisi asam
amino dalam gelatin bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut,
spesies hewan penghasil dan jenis kolagen.
Hasil pengujian komposisi asam amino menunjukkan bahwa ketiga
jenis gelatin mengandung glisin dan prolin yang cukup tinggi dibanding
asam amino lainnya, dimana asam amino tersebut merupakan asam amino
penyusun gelatin. Charley (1982) menyatakan bahwa susunan asam amino
gelatin hampir sama dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino
utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3
asam amino yang tersisa diisi prolin dan hidroksiprolin.
Pada ketiga jenis gelatin yang diuji tidak ditemukan adanya asam
amino triptopan yang merupakan asam amino esensial, dan hal inilah yang
menyebabkan gelatin dikatakan sebagai protein yang kandungan gizinya
tidak lengkap. Triptopan merupakan salah satu asam amino esensial yang
dibutuhkan oleh tubuh (Glicksman, 1969). Oleh karena itu penggunaannya
sebagai bahan baku industri pangan, gelatin tulang ikan tuna hendaknya
dikombinasikan dengan bahan pangan yang banyak mengandung triptopan,
sehingga kekurangan asam amino tersebut dapat tertutupi.
Muchtadi (1993) menyatakan bahwa data mengenai komposisi
asam-asam amino (esensial) suatu protein bahan pangan sangat berguna
untuk meningkatkan nilai gizinya, yaitu dengan cara menambahkan
(suplementasi) asam amino esensial yang efisien, atau dengan cara
mencampurkan protein tersebut dengan protein lain (komplementasi),
sehingga akan diperoleh protein campuran dengan komposisi asam amino
esensial yang baik, karena kekurangan masing-masing saling tertutupi.
5. Analisis Mikrobiologi Gelatin
Analisis mikrobiologi gelatin meliputi Total Plate Count (TPC),
E.coli dan Salmonella sp yang merupakan parameter mikrobiologi yang
kritis pada produk gelatin. Gelatin merupakan nutrien yang sangat baik
untuk berkembak biak bakteri, karenanya dalam proses pengolahannya
harus secara hati-hati untuk menghindari kontaminasi.
62
Uji kuantitatif mikrobiologi penting dilakukan untuk mengetahui
mutu bahan pangan. Apabila suatu bahan tercemar oleh mikroba yang
berasal dari kotoran manusia atau hewan maka bahan tersebut positif
mengandung bakteri E.coli. Adanya E.coli dalam suatu bahan merupakan
indicator kontaminasi kotoran, sedangkan Salmonella sp merupakan bakteri
pathogen yang berbahaya. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan
perut, demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1989).Hasil analisis mikrobiologi
gelatin dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Analisis Mikrobiologi Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin
Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium
Parameter Gelatin Tulang
Ikan Tuna
Gelatin
Komersial
Gelatin Standar
Lab*)
Total Plate Count 4,5 x 104 5,7 x 103 4 x 103
E.coli Negatif Negatif Negatif
Salmonella Negatif Negatif Negatif
Sumber: *) Fahrul (2004)
TPC merupakan metode pendugaan jumlah mikroba secara
keseluruhan dalam suatu bahan. Dengan demikian nilai TPC gelatin
menunjukkan gambaran jumlah koloni bakteri yang ada pada produk
tersebut.
Berdasarkan hasil analisa TPC dapat dilihat bahwa total mikroba
yang dihitung berdasarkan Standart Plate Count (SPC) dengan tiga kali
ulangan pada gelatin tulang ikan tuna adalah 4,5 x 104 unit koloni/gr.
Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
mikroorganisme pada gelatin komersial yang berjumlah 5,7 x 103 unit
koloni/gr dan gelatin standar laboratorium yang berjumlah 4 x 103 unit
koloni/gr. Kandungan total mikroba pada gelatin tulang ikan tuna hasil
penelitian tidak memenuhi syarat yang ditetapkan Norland (2003) yaitu
lebih dari 1 x 104 unit koloni/gr. Tingginya jumlah koloni bakteri yang
ditemukan pada gelatin tulang ikan tuna diduga disebabkan oleh terjadinya
63
kontaminasi pada produk tersebut terutama pada saat pengeringan,
penimbangan, penggilingan dan penyimpanan.
Diketahui juga bahwa kandungan E.coli dan Salmonella sp pada
gelatin tulang ikan Tuna dan gelatin komersial adalah negatif. Hal ini sesuai
dengan yang disyaratkan oleh Norland (2003) yaitu negatif. E.coli jika
terdapat di dalam makanan akan menyebabkan keracunan yang ditandai
dengan gejala-gejala sakit perut, pusing, muntah-muntah, berak-berak,
demam, dan sakit kepala. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan
perut, demam tifus dan para tifus (Fardiaz, 1989).
Beberapa negara mempunyai spesifikasi tertentu mengenai
kandungan mikrobiologi gelatin, tetapi biasanya hal itu tidak begitu
berbeda. Total Plate Count untuk mesophyllic yang berlaku secara umum
adalah 1000, dimana beberapa negara membatasi kehadiran Coliform,
E.coli, Salmonella, spora Clostridium, Staphylococcus, dan Pseudomonas
(Gelatin Food Science, 2002).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tulang ikan tuna merupakan limbah non-ekonomis, dapat digunakan
sebagai alternatif bahan baku pembuatan gelatin sehingga diharapkan dapat
mengurangi impor gelatin. Gelatin yang dihasilkan dari tulang ikan tuna
merupakan gelatin halal yang dapat dikonsumsi oleh umat islam.
Perbedaan perlakuan sebelum perendaman asam berpengaruh nyata
terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin yang dihasilkan.
Dari hasil penelitian diketahui rendemen gelatin terbesar terdapat perlakuan
tanpa perendaman NaOH yaitu 8,37%, nilai pH terbaik terdapat pada
perlakuan perendaman NaOH 0,8% sebesar 5,54, viskositas dan kekuatan gel
terbesar terdapat pada perlakuan perendaman NaOH 0,4% yaitu berturut-turut
5,57 cP dan 151,8 gr bloom. Perlakuan dengan perendaman tulang dalam
NaOH 0,4% sebelum perendaman HCl merupakan perlakuan terbaik yang
didasarkan pada persentase rendemen sebesar 8,05%, pH sebesar 5,03,
viskositas sebesar 5,57 cP dan kekuatan gel sebesar 151,8 gr bloom.
Sifat fisik dan kimia gelatin tulang ikan tuna dengan perlakuan
perendaman NaOH 0,4% yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut: kadar air 6,08%; kadar abu 1,02%; kadar protein 88,53%; kadar
lemak 1,02%, nilai pH 5,01; viskositas 5,57 cP; kekuatan gel 151,8 gr bloom;
titik gel 9,00C; titik leleh 25,300C; titik isoelektrik protein 7,67; derajat putih
33,70%; kandungan Pb 0,55 ppm; kandungan Hg tidak terdeteksi; TPC
4,5x104 unit koloni/gr; kandungan E.coli dan Salmonella negatif. Komposisi
utama asam amino gelatin tulang ikan tuna adalah sebagai berikut: glisin
18,703%; prolin 10,650%; dan hidroksiprolin 8,220%.
Sifat fisik dan kimia gelatin tulang tuna cenderung lebih rendah
dibanding gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Secara umum
sifat fisik dan sifat kimia gelatin tulang ikan tuna telah memenuhi standar
mutu gelatin pangan dan farmasi.
65
B. Saran
1. Untuk memperbaiki penampakan gelatin tulang tuna, maka perlu
dilakukan penelitian pembuatan gelatin tulang tuna dengan berbagai teknik
pengeringan.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai optimasi konsentrasi NaOH dan lama
perendaman NaOH pada pembuatan gelatin tulang tuna.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pembuatan gelatin dari tulang ikan
tuna dalam skala pilot plan dan industri.
DAFTAR PUSTAKA Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., Budiyanto, S. 1989.
Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Association of Official Agricultural Chemist (AOAC). 1995. Official Methods of
Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Washington, DC.
Astawan, M., Hariyadi, P., Mulyani, A. 2002. Analisis Sifat Reologi Gelatin dari
Kulit Ikan Cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Badan Pusat Statistik. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negri Impor.
Jakarta. Baker, R.C., Hahn, P.W., Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food
Product Development. Elsevier ScienceB. V., New York. British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di Dalam Imeson.
1992. Thikcening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New York.
Budavari, S. 1996. Merck Index 12th ed. Whitehouse Station. NJ, Merck. Bykov, V. P. 1983. Marine Fishes Chemical Compotition and Processing
Properties. American Pub. Co. PVF. Ltd, New Delhi. Charley, H. 1982. Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol. 2. John
Wiley and Sons, New York. Hal. 1183-8. Choi, S.S., Regenstein, J.M. 2000. Physicochemical and Sensory Characteristic of
Fish Gelatin. J. Food Sci. 65 (2): 194 – 199. Christianto, A. M. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe B Berbahan Baku
Kulit Sapi (Hide) Hasil Samping Industri Penyamakan Kulit. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. Penerjemahkan Padmawinata, K. ITB Press,
Bandung. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji M. UI
Press, Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 1983. Buku Petunjuk Teknis Pengalengan
Ikan Seri I Ikan Tuna. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan. Eastoe, JE. dan Leach AA. 1977. Chemical Constitution of Gelatin. In: Ward AG,
Courts A, editors. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York.
67
Fahrul. 2004. Kajian Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus alalunga) dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Baku Industri Farmasi. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Food and Nutrion Board, National Academy of Science. 1996. Food Chemicals
Codex 4th ed. National Academy Press, Washington DC.. Gelatin Food Science. 2007. http://www.gelatin.co.za/gltn1.html. Gelatin Manufactures Association of Asia Pacipic (GMAP). 2007. How is
Gelatin Made. http://www.gmap-gelatin.com/howmade.html. Gelatin Manufactures Institute of America (GMIA). 2007. Raw Materials and
Production. Gelatin Manufactures Institute of America. http://www.gelatin-gmia.com/html/rawmaterials.html.
Geltech. 2007. What is Gelatin. http://www.Geltech.com/whatisgelatin.html. Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, New
York. Gomez, G. M. C dan Montero. P. 2001. Extraction of gelatin from megrim
(Lepidorhombus boscii) skins with several organic acids. J. Food Sci. 66 (2): 213-216.
Grossman, S., dan Bergman, M. 1991. Process for The Production of Gelatin from
Fish Skins. European Paten Aplication 0436266 A1. Gudmunsson, M., dan Hafsteinsson H. 1997. Gelatin from Cod Skin as Affected
by Chemical Treatmens. J. Food Sci. 62 (1): 37-39, 47. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty,
Yogyakarta. Hermanianto, J., B. Satiwiharja, dan A. Apriyantono. 2000. Teknologi dan
Manajemen Pangan Halal. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Hinterwalder, R. 1977. Raw Material. Di dalam Ward, A. G. Dan A. Courts. The
Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Imeson, A. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New
York. Lachman, L., Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri
Edisi III. Penerjemah Siti Suyatmi. Penerbit UI Press, Jakarta. Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R., Passino, D.R.M. 1977. Ichthyology 2nd
ed. John Wiley and Sons. New York : 59-60.
68
Lehninger, A.L. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I. Thenawijaya M, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Biochemistry.
Leiner, P.B. 2006. The Physical and Chemical Properties of Gelatin.
http:///www.pbgelatin.com. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM-MUI). 2001. Gelatin Halal dan Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM MUI No. 36 hal 26-27.
Leuenberger, B.H. 1991. Investigation of The Viscocity and Gelatin Properties of
Different Mammalian and Fish Gelatin. Food Hydrocolloids 5:353-361. Meyer, L. H. 1982. Food Chemistry. AVI Publishing Co. Inc. Westport,
Connenticut. Montero, P dan Borderias J. 1991. Emulsifyng Capacity of Collagenous Material
from Muscle and Skin of Hake (Merluccius merluccius) and Trout (Salmo irideus Gibb): Effect of pH and NaCl Concentration. Food Chem.
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu
Pangan. IPB, Bogor. Nagai, T., Suzuki, N. 1999. Isolation of Collagen from Fish Waste Material- Skin,
Bone and Fins. Elsevier Food Chemistry Vol 68 : 277-281. Norland, R.E. 1990. Fish Gelatin. Di dalam Voight, M.N., Botta, J.K (ed.).
Advances in Fisheries Technology and Biotechnology for Increased Profitability. Lancaster, Pa.: Technomic Pub. Co.
Norland Product. 2003. Fish Gelatin. http://www.norlandprod.com/techrpts.html. Nurilmala. 2004. Kajian Potensi Limbah Tulang Ikan Keras (Teleostei) Sebagai
Sumber Gelatin Dan Analisis Karakteristiknya. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Parker, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher Inc., Sparkas
Maryland. Pelu, H., Harwanti, S., Chasanah, E. 1998. Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna
Melalui Proses Asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. No. 4 (2): 66–74. BPTP. Jakarta.
Peranginangin, R. 2006. Menghasilkan Rupiah Melalui Gelatin. Di dalam
www.Bisnis.com.html. Poppe, J. 1992. Gelatin. Di dalam A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent
for Food. Academic Press, New York. Purwadi, T. 1999. Pengkajian Mutu dan Tekno-Ekonomi Perekat dari Tulang
Ikan. Tesis . Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
69
Raharja, K. 2004. Manfaat Gelatin Tulang Pari (1). Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Smith, C.R. 1992. Journal of American Society 43. 1350 (21). Di dalam Y. H.
Hui. Encyclopedia of Food Science and Technology Vol 2. John Wiley and sons, Inc., Canada.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06.3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin.
Dewan Standarnisasi Nasional. Jakarta. Subardja, D., Rahardjo, R., Affandi, R., dan Brojo, M. 1989. Sistematika Ikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Bogor.
Sudarmadji, S. 1995. Prosedur Analisa Bahan Makanan Pertanian. Liberty,
Yogyakarta. Surono., Djazuli, N., Budiyanto, D., Widarto., Ratnawati., Aji, U.S., Suyuni,
A.M., Sugiran. 1994. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari Ikan Cucut. Laporan BBMHP. Jakarta.
Tourtellote, P. 1980. Gelatin. Di dalam Mc. Graw Hill. Encyclopedia of Science
and Technology. Mc. Graw Hill Book Co., New York. Utama, H. 1997. Gelatin Bikin Heboh. Jurnal Halal LPPOM-MUI No. 18: 10–12. Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science
Publisher, Ltd, London Viro, F. 1992. Encyclopedia of Science and Technology. Mc Graw Hill, New
York. Ward, A.G., Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic
Press, New York. Weishardt International. 2005. Principle Food Use. Perancis. Wijaya, I Made. 1998. The Effect of Protein Concentration and pH on The Bloom
Strength of Gelatin. Gitayana. Majalah Ilmiah Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Wikipedia. 2007.Thunnus albacares. http://.wikipedia.org/wiki/Thunnusalbacares. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Umum,
Jakarta. Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM-MUI No.
36: 26 – 37. Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book,
Van Nostrand Reinhold, New York.
LAMPIRAN
71
Lampiran 1. Prosedur Analisa
1. Rendemen (AOAC, 1995)
Rendemen yang diperoleh dari perbandingan bobot kering gelatin yang
dihasilkan dengan bobot kering kulit yang diekstrak.
Bobot kering gelatin
Rendemen = x 100% Bobot kering kulit
2. Kekuatan Gel (British Standard 757, 1975)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades (7
gram gelatin ditambah akuades 105 ml). Larutan diaduk menggunakan
magnetic stirrer sampai homogen kemudian dipanaskan sampai suhu 600 C
selama 15 menit. Tuang larutan dalam Standart Bloom jars (botol dengan
diameter 58-60 mm, tinggi 85 mm) tutup dan diamkan selam 2 menit .
Inkubasikan pada suhu 100 C selam 17 ± 2 jam. Selanjutnya diukur
menggunakan alat TA-XT plus texture analyzer pada kecepatan probe 0,5 mm/s
dengan kedalaman 4 mm. Kekuatan gel dinyatakan dalam satuan gram bloom.
3. Viskositas (British Standard 757, 1975)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan
akuades, kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan alat brookfield
syncro-lectric viscometer. Pengukuran dilakukan pada suhu 600C dengan laju
geser 60 rpm menggunakan spindel 1. Hasil pengukuran dikalikan dengan
faktor konversi, dimana untuk spindel 1 faktor konversinya adalah 1. Nilai
viskositas dinyatakan dalam satuan centipoise (cP).
4. Derajat Keasaman (pH) (British Standard 757, 1975)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan
akuades. Larutan sampel dipanaskan pada suhu 700C dan dihomogenkan
dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu
kamar dengan pH meter.
72
5. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Contoh yang akan
ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 2 gram. Cawan yang telah berisi
contoh dimasukkan dalam oven bersuhu 1050C sampai bobotnya konstan.
Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut:
B – A
Kadar air = x 100% bobot contoh
Keterangan: A = Bobot cawan + contoh kering (g)
B = Bobot cawan + contoh basah (g)
6. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu
6000C. Sebelumnya bobot cawan kering dan bobot contoh telah diketahui.
Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abu-
abu, kemudian ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:
bobot abu
Kadar abu = x 100% bobot contoh
7. Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl) (AOAC, 1995)
Sejumlah 0.02-0.05 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml
kemudian ditambah 2-3 gram katalis (1.2 gram Na2SO4 dan 1 gram CuSO4) dan
2-3 ml H2SO4 pekat, lalu dilakukan destruksi hingga larutan menjadi jernih.
Setelah itu didinginkan kemudian sampel didestilasi dan ditambah 35 ml
akuades dan 10 ml NaOH 50%. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer
berisi 5 ml H3BO3 dan indikator metil merah dan metil biru kemudian dititrasi
dengan HCl 0.02N.
Kadar protein dihitung dengan rumus
Kadar nitrogen (%) = ( ) 100% x contoh mg
14.007 x HCl normalitas x blanko ml - HCl ml
Protein kasar (%) = kadar nitrogen x 5.46 (Leach dan Eastoe, 1977)
73
8. Kadar Lemak (Apriyantono et al., 1989)
Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan
dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven,
dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum
eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu yang berisi hasil reflux
dipanaskan dalam oven dengan suhu 1050C. Setelah itu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
berat lemak
Kadar Lemak (%) = x 100% berat sampel
9. Derajat Putih (Manual Kett digital whiteness powder C-100, 2005)
Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Kett digital whiteness
powder C-100. Sampel dalam bentuk tepung dimasukkan dalam cawan sampel,
selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam alat. Nilai dapat langsung
dibaca pada layar dan dinyatakan dalam persentase derajat putih. Standar
derajat putih blanko adalah 85,4%.
10. Titik Isoelektrik (Wainewright, 1977)
Sebanyak 0,2 gram sampel ditambah dengan 40 ml akuades sebagai
pelarut dengan kisaran pH 4,5-10,5 (interval 0,5). Pengaturan pH dilakukan
dengan menambahkan NaOH 0,5 N untuk menaikkan pH dan HCl 0,5 N untuk
menurunkan pH. Setelah kondisi pH tercapai, dilanjutkan dengan pengadukan
selama 30 menit untuk menyempurnakan ekstraksi. Larutan yang dihasilkan
dipisahkan dengan bagian yang tidak larut dengan cara disentrifuse, kemudian
disaring dengan kertas saring whatman 41. Filtrat dianalisa kadar nitrogennya
dengan metode mikro Kjeldahl. Kadar nitrogen terlarut yang paling rendah
ditentukan sebagai daerah titik isoelektrik (pI).
11. Logam Berat
Kandungan logam berat yang ingin dianalisa adalah Hg, Pb, Zn, Cu, dan
As menggunakan Absorbsi Atom Spektrofotometer (AAS). Sebanyak 5-6 ml
HCl 6 N ditambahkan ke dalam cawan berisi abu hasil pengabuan kering,
kemudian dipanaskan di atas hot plate dengan pemanasan rendah sampai
74
kering. Setelah itu ditambahkan 15 ml HCl 3 N, lalu cawan dipanaskan di atas
pemanas sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan dan disaring, filtrat
dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan air sampai tanda tera.
Blanko disiapkan menggunakan pereaksi yang sama. Alat AAS diset sesuai
interuksi dalam manual alat tersebut. Larutan standar logam, blanko dan
sampel diukur. Selama penetapan sampel, dilakukan pemeriksaan apakah nilai
standar tetap konstan. Kemudian dibuat kurva standar untuk masing-masing
logam (nilai absorbsi/emisi vs konsentrasi logam dalam µg/ml).
12. Asam Amino (Muchtadi, 1992)
Sebanyak 0,2 gram sampel disiapkan dalam tabung reaksi tertutup dan
ditambahkan sebayak 5 ml HCl 6 N. Sampel dimasukkan dalam oven dengan
suhu 1000C selama 18-24 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas
saring whatman 40. Hasil hidrolisis dipipet sebanyak 10 μl dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 30 μl larutan pengering, lalu
dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 torr. Sampel yang telah
dikeringkan ditambahkan larutan derivat sebanyak 30 μl dan dibiarkan selama
± 20 menit. Sampel selanjutnya diencerkan dengan 200 μl larutan pengencer
natrium asetat 1 M. Sampel siap dianalisis dengan menggunakan HPLC
Waters Associates. Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis:
- Temperatur kolom : 380C
- Kolom : pico tag 3,9 x 150 nm coulomb
- Kecepatan alir : sistem linier gradien
- Batas Tekanan : 3000 psi
- Program : gradien
- Fase gerak : - Asetonitril 60%
- Buffer Natrium asetat 1 M, pH 5,75
- Detektor : UV, panjang gelombang 254 nm
Konsentrasi asam amino dihitung dengan rumus: Ac Bs x BM x Fp
Konsentrasi asam amino (%) = x x 100% As Bc
75
Keterangan: Ac = Luas area sampel
As = Luas area standar
Bc = Berat sampel (μg)
Bs = Berat standar (μg)
BM = Berat molekul masing-masing asam amino
Fp = Faktor pengencer (15)
13. Titik Jendal (Suryaningrum dan Utomo, 2002)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan
akuades, dan disiapkan dalam tabung reaksi volume 15 ml yang dihubungkan
dengan sensor thermometer digital Hanna. Sampel diturunkan suhunya secara
perlahan-lahan dengan cara menempatkan pada wadah yang telah diberi
pecahan es. Titik jendal ditentukan tepat pada saat sensor dapat mengangkat
gel dalam tabung reaksi.
14. Titik Leleh (Suryaningrum dan Utomo, 2002)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan
akuades. Sampel diinkubasi pada suhu 100C selama 17 ± 2 jam. Pengukuran
titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel gelatin damal water batch.
Di atas gel gelatin tersebut diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh ke dasar gel
gelatin maka suhu tersebut ditentukan sebagai titik leleh gelatin.
15. Penentuan Total Plate Count (SNI 01-2339, 1991)
Gelatin sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam blender jars dan
ditambahkan 90 ml NaCl 0,9%, kemudian diblender selama beberapa detik
dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua
menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 10-1. Selanjutnya larutan
tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril,
dan 1 ml lagi ke dalam cawan petri yang lain sebagai duplo. Kemudian
disiapkan larutan sampel dengan pengenceran 10-2 dan dimasukkan ke dalam
9 ml larutan NaCl 0,9% lalu dikocok sampai homogen. Larutan 10-2 ini dipipet
dan dimasukkan ke dalam cawan petri dan dilakukan secara duplo.
76
Selanjutnya dengan cara yang sama dilakukan inokulasi sampel sampai
pengenceran 10-8.
Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan sampel,
dituangkan media tumbuh Plate Count Agar (PCA) dengan suhu 450C
sebanyak 15 ml dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agarnya memadat.
Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dengan posisi terbalik selama 48 jam.
Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya
dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml larutan pepton 1%.
Perhitungan dilakukan sesuai dengan Standart Plate Count (SPC).
16. Penentuan Escherichia coli (SNI 01-2332, 1991)
Sebanyak 10 gram gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan
diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan
dengan kecepatan tinggi selama dua menit. Selanjutnya dengan menggunakan
pipet steril, disiapkan larutan sampel dengan pengenceran 10-1 sampai 10-3,
aduk sampai homogen. Inokulasikan pada media Lauryl Sulfate tryptose
(LST) broth masing-masing 3 tabung dengan 1 ml larutan sampel. Tabung-
tabung tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 350C. Tabung yang
membentuk gas adalah positif untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan
tes konfirmasi bakteri E. coli.
Tabung-tabung LST positif dikocok secara perlahan-lahan, lalu
dipindahkan ke tabung-tabung EC broth menggunakan jarum inokulasi steril
berdiameter 3 mm dan dihindari terjadinya selaput. Tabung-tabung EC broth
diinkubasi pada water batch bersirkulasi dengan suhu 45,50C selama 48 jam.
Tabung-tabung yang mengandung gas adalah tabung-tabung positif. Tabung-
tabung EC positif dikocok perlahan-lahan, lalu ditumbuhkan pada media
Levine’s Eosine Methylene Blue (L-EMB) broth dengan cara goresan
menggunakan jarum inokulasi berdiameter 5 mm, dan dihindari terjadinya
selaput. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Jika terjadi
pertumbuhan pada media berarti positif E. coli.
77
17. Penentuan Salmonella (SNI 01-2335, 1991)
Sebanyak 10 gram gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan
ditambahkan 90 ml lactose broth, kemudian diblender selama beberapa detik
dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua
menit. Sampel dipindahkan secara aseptis ke dalam botol steril yang bertutup.
Ke dalam larutan sampel ditambahkan NaOH 1 N untuk mencapai pH 7, lalu
diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Setelah inkubasi botol sampel
dikocok secara perlahan-lahan kemudian diambil 1 ml dan dipindahkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media Selenite Cystine Broth (SCB).
Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Selesai inkubasi,
ditumbuhkan pada tiga macam media yaitu Bismuth Sulphite Agar (BSA),
Salmonella Shiggella Agar (SSA), dan Brilliant Green Agar (BGA), dengan
cara goresan. Kemudian diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Setelah
inkubasi, diamati adanya koloni Salmonella dengan cici-ciri sebagai berikut:
- Pada media BGA, tidak berwarna, merah muda, tidak jelas atau kabur
dengan media sekeliling berwarna merah muda sampai merah;
- Pada media SSA, tidak berwarna, merah muda yang pucat, bening,
kabur, ada titik hitam pada bagian tengah sel;
- Pada BSA, berwarna coklat, hitam kadang-kadang memberi cahaya
metalik, sekeliling media berwarna coklat pada mulanya berubah
menjadi hitam dengan semakin lamanya inkubasi, koloni berwarna
hijau dengan sedikit atau tanpa terjadinya warna gelap disekeliling
media.
Apabila pada agar-agar tersebut tidak ditemukan koloni tersangka maka
diinkubasikan kembali selama 24 jam.
Setiap koloni tersangka Salmonella dipindahkan ke agar miring Triple
Sugar Iron Agar (TSIA) dengan cara menggoreskannya, lalu diinkubasikan
pada suhu 350C selama 24 jam. TSIA yang tersangka ditumbuhi Salmonella
akan menunjukkan terbentuknya warna merah dengan atau tidak disertai
timbulnya H2S yang berwarna hitam.
78
Lampiran 2. Hasil Analisa Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna
Parameter I II III Rerata
Kadar Air (%) 28,24 29,10 28,39 28,57
Kadar Abu (%) 29,30 28,90 28,70 28,97
Kadar Protein (%) 23,72 23,25 23,95 23,64
Kadar Lemak (%) 15,66 15,45 15,38 15,49
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Rendemen, Viskositas, Kekuatan Gel, dan pH Gelatin dari Tulang Ikan Tuna
Perlakuan Rendemen (%)
Rerata Viscositas (cP)
Rerata
Kekuatan gel (gr bloom) Rerata
pH rerata
I II III I II III I II III I II III
1. Tanpa perendaman
NaOH 8,76 8,11 8,25 8,37 3,0 3,2 3,5 3,23 98,8 105,7 109,4 104,6 4,37 4,13 3,97 4,15
2. Perendaman NaOH 0,4%
8,21 7,53 8,41 8,05 5,2 6,0 5,5 5,57 147,6 154,8 153,0 151,8 4,97 5,01 5,12 5,03
3. Perendaman NaOH 0,8%
5,53 5,71 6,03 5,76 5 5,5 5,5 5,33 130,8 145,8 145,0 140,5 5,23 5,70 5,71 5,54
79
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Rendemen Gelatin
Descriptives
Rendemen
3 8.3733 .34210 8.11 8.763 8.0500 .46130 7.53 8.413 5.7567 .25325 5.53 6.039 7.3933 1.27470 5.53 8.76
123Total
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
ANOVA
Rendemen
12.211 2 6.105 46.492 .000.788 6 .131
12.999 8
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Rendemen
Duncan a
3 5.75673 8.05003 8.3733
1.000 .316
Rendemen321Sig.
N 1 2Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
80
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam pH Gelatin
Descriptives
pH
3 4.1567 .20133 3.97 4.373 5.0333 .07767 4.97 5.123 5.5467 .27429 5.23 5.719 4.9122 .63322 3.97 5.71
123Total
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
ANOVA
pH
2.964 2 1.482 36.504 .000.244 6 .041
3.208 8
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
pH
Duncan a
3 4.15673 5.03333 5.5467
1.000 1.000 1.000
pH Gelatin123Sig.
N 1 2 3Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
81
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Viskositas Gelatin
Descriptives
Viskositas
3 3.2333 .25166 3.00 3.503 5.5667 .40415 5.20 6.003 5.3333 .28868 5.00 5.509 4.7111 1.14722 3.00 6.00
123Total
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
ANOVA
Viskositas
9.909 2 4.954 47.946 .000.620 6 .103
10.529 8
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Viskositas
Duncan a
3 3.23333 5.33333 5.5667
1.000 .408
Viskositas132Sig.
N 1 2Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
82
Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Kekuatan Gel Gelatin
Descriptives
GelStrength
3 104.6333 5.37990 98.80 109.403 151.5333 3.44287 147.60 154.003 140.5333 8.43880 130.80 145.809 132.2333 21.89018 98.80 154.00
123Total
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
ANOVA
GelStrength
3609.420 2 1804.710 48.336 .000224.020 6 37.337
3833.440 8
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
GelStrength
Duncan a
3 104.63333 140.53333 151.5333
1.000 .070
Gel Strength132Sig.
N 1 2Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.