MEDIASI ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum (MA.Hk) Pada Shari‘ah Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD Diajukan oleh: Hifdhotul Munawaroh NIM : 12.2.00.0.01.01.0179 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode: 2013/2014
255
Embed
Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MEDIASI ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang
Hukum (MA.Hk) Pada Shari‘ah
Pembimbing
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD
Diajukan oleh:
Hifdhotul Munawaroh
NIM : 12.2.00.0.01.01.0179
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Periode: 2013/2014
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Rabb al-‘Izzah atas segala
petunjuk dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam ini bisa
terselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurah untuk baginda Nabi besar
Muhammad SAW yang memberi jalan penerangan melalui dakwah dan pendidikan.
Atas terselesainya tesis ini, penulis banyak berhutang budi kepada beberapa
pihak yang telah membantu, baik moral maupun material. Kepada mereka penulis
menyampaikan ribuan rasa terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya dan
berdo’a semoga Allah Ta’ala memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai
amal yang baik disisi-Nya.
Ucapan terimakasih dan penghargaan tersebut penulis sampaikan kepada
yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing yang
telah sabar memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Dede
Rosyada, MA dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA sebagai Rektor dan Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi yang
telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-kebijakan untuk
memacu berkembangnya suasana akademik di Sekolah Pascasarjana. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. JM. Muslimin, MA selaku ketua Program studi
Magister, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA, selaku ketua program studi doctor. Tak
lupa yang terhormat Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Swito, MA, Prof. Dr.
H. Abdul Ghani Abdullah, SH, Dr. Yusuf Rahman, Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr.
Sudarnoto Abdul Hakim, Prof. Said Agil Al Munawar, MA, Dr. Asep Saepudin
Jahar, MA, Prof. Iik Mansoor Nur, MA, Dr. Suprapto yang telah memberikan
masukan dan kritikan melalui beberapa ujian.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam membantu penyelesaian penelitian ini,
seperti petugas perpustakaan Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis
dalam mencari buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat
Sekolah Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mbak Ima, Mas
Adam, Mas Arif, serta kawan-kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi
dalam penulisan tesis ini, Nurjannah, Nurul, Rahmah, Puji, Ibu Siti Ngainur, Pak
Maimun, Pak Satiri, Khalida, serta teman-teman seangkatan lainnya yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Secara khusus, penulis menyampaikan terimakasih kepada Ketua Majelis
Adat Aceh (MAA), Prof. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, beserta jajaran,
Kepala Bidang Pengembangan Gampong dan Mukim, Bpk. Sanusi M. Syarief, MA,
beserta jajaran, Ketua Majelis Adat Bener Meriah, Bpk. H. Amin, beserta jajaran,
fungsionaris adat yang lain, dan tokoh adat perempuan di Banda Aceh, Pidie, Pidie
Jaya, dan Bener Meriah, Rekan Rahmalena, Sri Wahyuni, Ratna, Vonna Hilmi,
Faishal, Faiz, Ibu Novi, Ibu Lena, dan rekan-rekan lain yang tidak mampu penulis
iv
sebutkan satu persatu atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis
menyelesaikan tesis ini.
Terakhir namun teristimewa, ucapan terimakasih penulis kepada orangtua
penulis, Ayahanda Drs. H. A. Mahfudz Abduh, M.Si, dan Ibunda Hj. Aisyah,
penulis haturkan salam ta‘zim yang tertinggi atas semua do’a dan kesabaran serta
ridhonya hingga akhirnya penulis dapat merampungkan sekolah ini. Untuk adik-
adikku, Fadlullah Al Haqqy, Ahmad Muyassar Al Haqqy, dan Ahmad Rusydi
Niamiy Al Haqqy, semoga Allah memberikan kemudahan disetiap urusannya dan
Allah melimpahkan Rahmat dan Berkahnya kepada keluarga tersayang. Akhirnya,
tulisan ini penulis persembahkan untuk mereka semua keluarga tersayang.
Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak kekurangan
dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan penalaran penulis dan
kurangnya informasi dan refrensi. Oleh karena itu, penulis berharap ada
masukan dan kritik yang membangun dan bisa memperbaiki sehingga
penelitian ini dapat diperbaiki dan disempurnakan. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan demi kemajuan bangsa dan
negara.
Jakarta, 9 April 2015
Penulis,
Hifdhotul Munawaroh
v
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejumlah kasus sengketa yang terjadi di
Aceh telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum positif. Penyelesaian
sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan paradigma mediasi
antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu bagi
masyarakat Aceh. Adanya sifat kesukarelaan dan partisipasi aktif kedua belah pihak
dan masyarakat dalam proses menyelesaikan sengketa, fungsionaris adat yang
bersifat aktif mencari fakta, hasil akhir yang mementingkan kembalinya
kerseimbangan masyarakat yang rusak akibat pesengketaan, menjadikan
penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat ini sejalan dengan konsep
Restorative Justice. Sanksi peradilan adat disesuaikan pada pertimbangan
fungsionaris peradilan adat atas berat dan ringannya pelanggaran adat yang terjadi.
Peradilan adat juga menjadi peringatan awal bagi masyarakat yang melanggar kasus
pidana diluar kewenangan peradilan adat. Dari perspektif hukum positif, sebagian
penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia, namun sebagian tidak sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang
berlaku di Indonesia, khususnya pada kasus-kasus yang bukan menjadi kewenangan
peradilan adat. Adapun dari perspektif hukum Islam, penyelesaian sengketa adat
Aceh sebagian sesuai dengan shari>‘at Islam, pada kasus-kasus yang berhubungan
dengan pelanggaran hak-hak adami, hal ini karena diterapkannya sistem al-s}ulh dan
paradigma ta‘zi>r dalam pemberian hukuman bagi pelaku.
Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang
menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara
restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan
dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus
perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum
positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan
masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs
Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar
menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya
hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji
kepada masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan empiris normatif historis yang bersifat deskriptif analisis komparatif
dalam penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan sumber data
yang diperlukan. Adapun sumber data primer diperoleh dari dokumentasi adat,
bahan hukum primer, dan wawancara dengan instansi hukum yang terkait
menangani perkara adat seperti Majelis Adat aceh, Kepolisian serta Fungsionaris
Gampong dan Mukim, sedangkan sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen
resmi, buku dan jurnal ilmiah.
vi
ABSTRACT
This study concludes that some of the disputes case that occurred in Aceh
has been completed by custom, not by positive law. Settlement of dispute through
the custom judicial process by using paradigm of mediation between the parties
gives the positive impact specifically for Aceh society. There are of volunteerism
and active participation of both parties and society in settlement of dispute process,
customs functionaries who are actively searching for facts, the end result is
concerned with the return of the balance of society damaged by disputes, make the
settlement of dispute through mediation process and customary justice is in line
with Restorative Justice concept. Customary sanction adjusted in consideration of
customary judicial functionaries above heavy and light customs violations that
occurred. Customary justice also be an early warning for people who violate the
criminal case beyond the customary justice authority. From the positive law
perspectives, some settlement of disputes in accordance with the law and the law
applicable in Indonesia, but in one side do not accordance, especially in cases that
are not under the authority of customary justice. From islamic law perspective,
settlement of dispute Acehnese customary accordance with Shariat Islam, with the
implementation al-sulh system and ta’zir paradigm in the provision of punishment
for the actors.
This study supports previous researchers statements, stating that some
criminal and civil disputes are resolved in a restorative, in line with Chindya
Prastiti (2014) on the case law dealing with the child, Mustafa Serdar Ozbek
(2011), and Frida Errikson (2010) in civil and criminal cases, they claim that
dispute resolution through mediation and restorative justice to be a viable
alternative in the legal system because of building positive participation active
between the victim, the offender, and the community. The study rejects the opinion
of Kathleen Dally (2001), and Russ Immarigon (1998) that the punishment is
necessary to vindicate the victims, so that shows the offender determined make
amends with a penalty, dropped it in addition, restorative justice gives too many
promises to the community.
This research uses qualitative research method with historicaln ormative
empirical approach which is descriptive of comparative analysis in presentation of
the data. Methods of data collectionin this research useslibrary research, interviews,
and observation accordance with the necessary data sources. The source of primary
data was obtained from the customary documentation, the primary legal materials,
and interviews with relevant legal institutions that handling the customarycases
like the Assembly of Aceh Customary, Constabulary, Gampong Functionaries, and
Mukim. Thesecondarydata sourcesarethe official documents, books, and scholarly
journals.
vii
الملخصأن كثريا من النزاعات اليت حدثت يف أتشيو مت رفعها إىل : الدراسة إىل بعض النتائج منهاتوصلت ىذه
عن طريق احملكمة العرفية حل ادلنازعات. احملكمة العرفية وإهنائها بالقوانني العرفية بدال عن القانون الوضعيإن ىناك عناصر عديدة تساعد . باآلثار اإلجيابية للمجتمع باستخدام الوساطة بني األطراف ادلتنازعة يأيت
ادلشاركة الفعالة من جانب الطرفني واجملتمع، ومسؤولوا العادات : األطراف ادلتنازعة يف حل ادلنازعات، منهاوالتقاليد الذين يبحثون عن احلقائق، وطبيعة العمل التطوعي، واحلرص على النتيجة النهائية مع عودة التوازن
للمجتمعات اليت تضررت من النزاع، كل ىذه العوامل تساعد على إهناء ادلنازعات عن طريق الوساطة يسعى القضاة أن تكون العقوبات مناسبة جبمال . والعدالة التقليدية ادلتماشية مع مفهوم العدالة التصاحلية
تكون احملكمة العرفية دبثابة اإلنذار ادلبكر لألشخاص الذين . (الثقيلة واخلفيفة العرفية األصلية) انتهاكاتمن وجهة نظر القانون الوضعي، جيب أن يكون حل . يرتكبون اجلرائم خارج نطاق القضاء العريف وسلطتو
النزاعات وفقا للقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، ولكن معظم ىذه القوانني ال تتفق مع القانون . والقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، وال سيما يف النزاعات اليت ليست داخلة يف نظام القضاء العريفكما أنو من وجهة نظر الشريعة اإلسالمية، يكون حل ادلنازعات عن طريق القضاء العريف يف أتشيو مع
. يف القضايا ادلتعلقة حبقوق اآلدمي تطبيق مبدأ الصلح والتعزير يتفق مع روح الشريعة اإلسالمية أن :يقولون ، مما يبحث عن ىذه ادلادةما توصل إليو الباحثون السابقون بعض يؤكدىذا البحث
يف حال Chindya Prastiti (2014) :فهذا مثل قولالتصاحلية، ببعض النزاعات اجلنائية وادلدنية حلها Frida Erriksonو، Mustafa Serdar Ozbek(2011)وكذلك القانون، ب الذين يتعاملوناألطفال
ادلنازعات عن طريق الوساطة والعدالة التصاحلية أصبح حل أن مها يقوالنيف القضايا ادلدنية وجمرم، (2010)ىذا . بديال جمدا يف نظام القانون الوضعي كما بناء ادلشاركة النشطة من جانب الضحية واجلاين، واجملتمع
أن :الذان يقوالن Russs Immarigon (1998)، و,Kathleen Dally (2001)البحث يرفض على فكرةالعقاب ضروري للدفاع عن الضحايا، من أجل إظهار اجلاين يتم حتديد أن يكفروا مع اخنفاض جزاء،
. باإلضافة إىل ذلك، توفر العدالة التصاحلية الكثري من الوعود للشعب على أساليب البحث النوعي مع النهج التجرييب ادلعياري التارخيي ادلتصف تستخدم الباحثة
طرق مجع البيانات يف ىذا البحث باستخدام طريقة عرب، . بالوصفي التحليلي ادلقارن يف عرض البياناتفأما مصدر البيانات األولية . ومراجعة األدبيات، وادلقابالت، وادلالحظات وفقا دلصادر البيانات ادلطلوبة
اليت مت احلصول عليها من وثائق احملاكمة العرفية، وادلواد القانونية األولية، وادلقابالت مع ادلؤسسات القانونية ذات الصلة اليت تعاجل مسائل السكان األصليني مثل جمليس العرفية ألتشيو، والشرطة، وادلوظفني يف القرية
وأما مصادر البيانات الثانوية ىي وثائق الرمسية، والكتب واجملالت العلمية. وغريىم
viii
ix
Pedoman Transliterasi A. Huruf Arab-Latin
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s} = ص
d{ = ض
t} = ط
z{ = ظ
ع = „
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Short: a = ´ ; i = ; u =
Long: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Diphthong: ay = اي ; aw = او
Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat nakirah (indefinite)
dan ma’rifah (definite) dilambangkan dengan hukum (h).
S}ala>h صالة
Al-risa>lah الرسالة
Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat berfrasa adjektiva
(tarki>b was}fi) dilambangkan dengan huruf (h)
Al-risa>lah al-bahi>yah الرسالة البهية
Al-mar’ah al-s}a>lih}ah ادلرءة الصاحلة
x
Huruf ( ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat majemuk (tarki>b
id}a>fi) dilambangkan dengan huruf (t)
Ida>rat al-madrasah ادارة ادلدرسة
Qa>‘at al-ida>rah قاعة االدارة
B. Vokal
= a و = au --ا = a>
= i ي = ay --ي = i>
= u --و =u>
C. Kata Sandang
Al-Qamar القمر
Al-S}ubh الصبح
Wa al-‘as}r والعصر
D. Shaddah Atau Tashdi>d
Ta‘allam تعلم
Al-h}ajj احلج
Nu‘‘ima نعم
E. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf Huruf dan Tanda
<a آ
<i ي
<u و
xi
DAFTAR SINGKATAN
ACAS : Advisory Conciliation and Arbitration Service
ADR : Alternative Dispute Resolution
APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa
FKPM : Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat
HAM : Hak Asasi Manusia
JPU : Jaksa Penuntut Umum
Kapolri : Kepala Polisi Republik Indonesia
KDRT : Kekerasan dalam Rumah Tangga
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHAP :Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHAPer : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
LC : Local Council
MAA : Majelis Adat Aceh
MOU : Memorandum Of Understanding
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
Perda : Peraturan Daerah
Pergub :Peraturan Gubernur
Perkap : Peraturan Kapolri
Perma :Peraturan Mahkamah Agung
Polmas : Polisi Masyarakat
Polda : Polisi Daerah
PN : Pengadilan Negeri
RUU :Rancangan Undang-Undang
UU : Undang-Undang
UUD :Undang Undang Dasar
UNDP : United Nation Development Programme
SKB : Surat Keputusan Bersama
VOM : Victim Offender Mediation
xii
xiii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. v
Pedoman Transliterasi ................................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiii
BAB I ...................................................................................................................... 1
win solution‛, menjamin kerahasian sengketa para pihak, menghindari
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
menyelesaikan masalah secara komperhensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini umumnya disebut
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR),3
atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). Istilah tersebut di temukan dalam undang-undang Nomor 30
Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa /APS. Undang-
undang tersebut mengukuhkan urgensi lembaga APS sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa di Indonesia.4
Urgensi APS telah meruntuhkan paradigma litigasi yang dianggap tidak
mampu lagi memenuhi tuntutan penyelesaian sengketa yang lebih kooperatif,
konfidensial, dengan pola ‚win-win‛. Prosedur litigasi lebih menampilkan suatu
‚game‛ sehingga hasilnya adalah ‚win-lost‛, disamping proses maupun putusannya
terbuka untuk umum. Dampak negatif dari litigasi yang dapat melahirkan
terdistorsinya keadilan menjadi ketidakadilan juga turut mendorong kebutuhan
terhadap suatu alternatif penyelesaian sengketa.5
Salah satu APS yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah
proses mediasi yang berpangkal pada filosofi keadilan restoratif. Penggunaan
mediasi dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan
perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam penyelesaian sengketa pada
lingkup masyarakat adat secara non litigasi, karena mediasi dipraktekkan dalam
masyarakat Indonesia jauh sebelum istilah mediasi populer digunakan dalam
lingkungan Ilmu hukum.6
Mediasi membawa dampak positif untuk proses
persidangan serta dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk sadar dan
bertanggung jawab serta membebaskan pelaku dari perasaan bersalah mereka,
dengan demikian mediasi dapat menjadi ujung tombak dalam reformasi hukum di
Indonesia karena selaras dan sesuai dengan budaya Indonesia yang mengutamakan
musyawarah dan mufakat antara pihak pelaku dan korban.7
3Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2013), 5-6 4Saat ini, secara yuridis formal, APS juga telah secara khusus menjadi alternatif
penyelesaian dalam persoalan-persoalan HAM sebagaimana diatur dalam pasal 76 (1)jo.
Pasal 89(4) UU39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5R. Benny Rianto, ‚Alternatif penyelesaian Sengketa (APS)‛,
Artikel,http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf, diakses pada 15 Agustus 2014. 6Yance Arizona, ‚Kedudukan Peradilan Adat dalam Hukum Nasional‛, Makalah
disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013. (Diakses pada tanggal 15
Februari 2014, pukul 11.30) 7 Lihat: Ahmad Syaufi, dkk, Penal Mediation as an Alternative for Ther Settlement of
Criminal Case Containing Civil Law AspectIn The Indonesian Criminal Justice System,
Jurnal of Law, Policy, and Globalization, ISSN 2224-3259, Vol. 20-2013, 1, (accessed at
17/3/2014 20.00), Lihat juga: Ainal Mardiyah, Moh. Din, dan Riza Nizarli, Mediasi Penal
sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan Anak, Jurnal Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Syi’ah Kuala, Volume 1, No. 1, Agustus, 2012,
Keberadaan peradilan adat saat ini berada pada tataran sangat dibutuhkan,
karena terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada, dan
masyarakat tradisional di beberapa daerah pada dasarnya masih memiliki tradisi
hukum yang kuat berdasarkan hukum adat.12
Peradilan adat juga membawa
beberapa aspek positif, yaitu; pertama, hakim bertindak aktif mencari fakta,
meminta nasihat kepada orang tua adat dalam masyarakat, putusannya diambil
berdasarkan musyawarah untuk mufakat, sehingga dapat memuaskan masyarakat;
kedua, pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, sehingga menunjukkan adanya
toleransi yang tinggi antar pihak; ketiga, suasana rukun damai antar pihak dapat
dikembalikan, serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan.13
Perdamaian dan
keseimbangan merupakan muara akhir dari perdamaian adat, dengan musyawarah
menjadi metode untuk menemukan perdamaian.14
Masih ditegakkannya hukum adat dilingkungan masyarakat Indonesia
dijamin oleh UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,15
akan tetapi harus
memenuhi persyaratan obyektif, yaitu sesuai dengan perkembangan masyarakat,
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam
undang-undang‛.16
Dalam pasal tersebut terlihat bahwa adanya pengakuan dan
penghormatan terhadap hak–hak kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dalam
12
Tandino Bawor Purbaya, ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan
Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal 16
februari 2014, pukul 10.02) 13
Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013),195-196. Lihat juga: International Development Law
Organization, ‚Lembaga adat sebagai lembaga Penyelesaian Sengketa‛,
http://www.idlo.int/docNews/213DOC1F.pdf, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014,
pukul 11.42) 14
Trisno Raharjo, ‚Mediasi Pidana, Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 493, 6,
1235115695188/5847179-1242977239903/Full.Report.bh.pdf, (diakses pada 5 Juni 2014,
pukul 19:05, 45) 15
‚Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang‛. 16
Deny Satria, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus
Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya Pengaturannya kedalam
Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses pada 15 Februari
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan
Aceh, 2007-2008. iii
6
adat‛ dan Mesjid sebagai pencerminan pembangunan ‛nilai-nilai Islami‛.20
Hukum
adat di Aceh tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun ada
beberapa pertimbangan dan prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana
sedang diselesaikan.21
Adapun badan atau lembaga yang menyelesaikan sengketa
adat di Aceh disebut peradilan gampong (peradilan tingkat desa) dan mukim (federasi beberapa gampong). Pelaksananya adalah fungsionaris hukum adat dan
penyelesaiannya bersifat perdamaian yang dikenal dengan sistem suloh
(perdamaian) atau hukom peujroh (perbaikan).22
Pada sengketa adat yang besifat kepidanaan seperti sengketa adat yang
merugikan orang lain, (pencurian ringan, penganiayaan ringan, perusakan), ataupun
sengketa adat yang merugikan gampong, diberikan sanksi adat yang sesuai. Sanksi
adat tersebut dapat bersifat denda dan bukan denda. Sanksi adat yang bersifat
denda dimusyawarhakan sesuai dengan kerugian yang diderita oleh korban, ataupun
kerugian gampong, karena jenis denda ditentukan oleh berat atau tidaknya
pelanggaran adat yang dilakukan. Adapun sanksi adat yang bersifat bukan denda
dapat berupa permohonan maaf yang berlaku bagi seluruh sengketa, sanksi berupa
teguran dan nasihat, memberikan pekerjaan yang mendidik, serta pengucilan dan
pengasingan darigampong sebagai sanksi terberat.23
Badruzzaman Ismail mengatakan bahwa hukum adat bersifat nonstatuteir
(tidak tertulis), melainkan ingin mencapai kesepakatan bersama berasaskan damai
(equilibrium/keseimbangan), sanksi hukum mengacu kepada harkat dan martabat
keadilan yang seimbang dan sejahtera melalui pintu damai. Dasar hukum
penyelesaikan suatu sengketa didasarkan kepada adat istiadat/kebiasaan dari Tuha
adat setempat berdasarkan musyawarah mufakat. Penggunaan pola perdamaian
dengan teknis bermusyawarah dan mediasi dalam pelaksanaan peradilan adat Aceh
mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan untuk dapat tidaknya
peradilan tersebut diselenggarakan. Kasus serumit apapun memungkinkan untuk
diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan
negoisasi dengan tepat. Bermusyawarah menjadi proses dimana para pelaksana
20
Badruzzaman Ismail, ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian
dan Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal
20 September M006, h. 2 21
Dalam Qa>nu>n 09 tahun 2008, tentang pembinaan kehidupan Adat Istiadat, dalam
pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya
melalui peradilan adat aceh. (Lihat: Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat
Aceh Bersinergis Peradilan Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”,
http://www.acehinstitute.org, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 22
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 69
23Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat menyelesaikan
persoalannya yang dapat memuaskan para pihak.24
Dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pada pasal 25
ayat (1) mengatakan bahwa:
‚Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat juga pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili‛ 25
Pasal tersebut memberi isyarat, bahwa hukum tidak tertulis (hukum adat) dapat
digunakan untuk kepentingan pengadilan. Gudangnya hukum adat adalah
masyarakat. Materi hukum adat berada dalam pikiran para tokoh adat, ketika
muncul masalah, pasti disaat diperlukan (penyelesaian) hukumnya muncul satu
asas yang dijadikan pedoman ‚dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung‛, ‚lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya‛26
Perdamaian dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Al-s}ulh}27, artinya
memutus suatu persengketaan.28
Tujuannya adalah agar kebencian dari setiap pihak
yang berselisih dapat dihilangkan.29
Didalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat
yang menerangkan tentang s}ulh}, baik dalam konflik komunitas kecil seperti konflik
yang terjadi dalam hubungan suami istri, maupun dalam komunitas besar seperti
konflik yang terjadi antara dua kelompok mukmin yang bertikai. Metode al-s}ulh} dapat dikategorikan salah satu metode penyelesaian perkara di luar pengadilan
24
Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel,
Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008, 22 25
Undang-Undang Nomor 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
http://www.minerba.esdm.go.id/library/sijh/uu-04-2004.pdf, diakses pada 20 Agustus 2014 26
Maksudnya adalah Ketika berkunjung ke suatu tempat atau daerah, kita harus
menghormati budaya yang ada di tempat itu, dan Lain tempat, maka lain pula kebudayaan
mereka. 27
Sayyid Sa>biq mendefinisikannAl-s}ulh} menghentikan perselisihan,dan menurut
shari>‘at adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu perselisihan antara dua
pihak yang saling bersengketa. Sedangkan Ibnu Mandhur dalam Lisa>n Al-Arabnya diartikan
sebagai antonim dari kata فساد (kerusakan) Adapun Abd al-Qa>dir ‘Awdah mengartikan al-
s}ulh} sebagai suatu akad untuk mengakhiri pertikaian (sengketa) antara dua orang yang
terlibat dalam persengketaan. (Lihat: Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, 1977, h. 305, Lihat juga: Abd al-Qa>dir ‘Awdah, Al-Tashri>’ Al-Jina>‘i Al-Isla>mi, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘, juz 1 (Beirut: Da>r al-ka>tib al ‘azli>), tt, 773-774. Lihat
juga: Ha>mid bin ‘Abdillah, ‚al-s}ulh}‛, Maktabah Maqru’ah, Fiqih Bai’, http://go.gooh.net/alzad/article_88.shtml, (diakses pada tanggal 16 Februari 2014, pukul
20.35), Juga: Ahmad Bin Sulaiman Al’arini, ‚Al-s}ulh} ‘an al-jina>yah al-‘amdiyah ‘ala> al-nafs wama> du>naha>‚, artikel,/Syawwal, 1421 H, h. 3, http://www.shamela.ws, diakses pada
tanggal 17 februari 2014, pukul 22.00) 28
Suharjono, ‚Mediasi dalam Konsep Islam‛, http://www.pa-
Frida Errikson,‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of
Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16
Agustus 2014) 48
KUHP Turki yang baru disebut (TürkCeza Kanunu, TCK), UU No 5237, dan
KUHAP (CezaMuhakemesi Kanunu, CMK), UU No 5271, prosedur baru yang disebut
'mediasi' telah diadopsi di Turki pada sistem peradilan pidana, yang memungkinkan
penyelesaian sengketa pidana di luar sistem peradilan pidana. 49
Mustafa Serdar Ozbek, The Principle and Procedure of Penal Mediation in Turkish
Criminal Procedure Law, (Turki: Baskent University),Angkara Law Review,Vol.8 No. 2,
(4) Atas dasarkesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat
puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi
dilakukan sejak jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.3
Proses mediasi ini disampaikan kepada majelis hakim apakah perkara ini
diselesaikan secara damai atau dilanjutkan kepada proses pengadilan.
Adapun mediasi diluar pengadilan yaitu atas kehendak para pihak untuk
menyelesaikan sengketa secara damai. Kedua belah pihak kemudian
menandatangani akta perdamaian yang kemudian menjadi bukti penyelesaian
sengketa. Mediasi ini disebut juga dengan mediasi secara non litigasi, yaitu
alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan. Mediasi seperti ini biasanya
dilakukan oleh masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia untuk
menyelesaikan sengketa diantara mereka, baik sengketa perdata maupun sengketa
pidana tertentu yang dikenal dengan mediasi adat atau peradilan adat.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 1 butir
7, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. Adapun Advisory Conciliation and Arbitration
Service (ACAS), menyebutkan bahwa mediasi adalah proses dimana pihak ketiga
yang bersifat netral, membantu dua orang atau lebih yang terlibat dalam sengketa
untuk berusaha mencapai kesepakatan.4
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur
mediasi di pengadilan disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian
dengan bantuan mediator. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang
lingkup sengketa yang dapat di mediasi di peradilan adalah seluruh perkara perdata
yang menjadi kewenangan peradilan umum dan peradilan agama tingkat pertama.5
Adapun mediasi pidana sering disebut dengan berbagai istilah, antara lain:
‚mediation in criminal cases‛ atau mediation in penal matters‛, dan ‚Victim
Offender Mediation‛ karena mediasi mempertemukan antara pelaku tindak pidana
dengan korban.6
Di Indonesia, praktek mediasi terbagi kepada dua cara, yaitu melalui
lembaga peradilan dan diluar peradilan. Mediasi diluar peradilan ditangani oleh
3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan,
https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf 4Advisory, Conciliation and Arbitration Service (ACAS), ‚Mediation: An Approach
to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-to-resolving-
workplace-issues.pdf, (diakses pada tanggal 26 April 2014, Pukul 12:44) 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 Tentang
(Reglement Acara untuk daerah Luar jawa dan madura)
Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1874:52).
Pasal 377 HIR (Het Herzine Indonesich Reglement Staatsblad, 1972:227)
ketentuan tentang penyelesaian sengketa dengan juru pemisah, upaya
arbitrase.
Masa Kemerdekaan sampai sekarang
Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 65 dan 56 UU No. 7 Tahun 1989.
Pasal 115, 131, 143, dan 144 KHI, serta Pasal 32 PP No. 9 Tahun 1975
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 Tentang lembaga Penyedia
Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai
Perma No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan
Dari seluruh pengertian mediasi tersebut, terdapat beberapa persamaan,
yaitu: pertama mediasi adalah sebuah perundingan yang esensinya sama dengan
proses musyawarah atau konsensus; kedua, peran mediator dalam membantu para
pihak yang bersengketa melalui identifikasi permasalahan, mengembangkan pilihan
dan mempertimbangkan alternatif yang akan ditawarkan kepada para pihak untuk
mencapai kesepakatan; ketiga, mediator hanya memiliki kewenangan untuk
7 Teuku Ahmad Yani, ‚Kegiatan Mediasi Oleh Lembaga-Lembaga Adat Dalam
menyelesaiakan Sengketa‛, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Majalah Jeumala,
Edisi 37, Januari-Juni 2012, 21-22, Lihat juga: The Indonetian Mediation Centre, ‚Two Types of Mediation‛, http://www.pmn.or.id/en/mediation/case-types.pdf, diakses pada 26
April 2014, dan What Is Mediation?,http://www.pmn.or.id/en/mediation.html, (diakses pada
tanggal 26 April 2014). 8
Mediation And Conciliation Project Committee Supreme Court Of India,
diakses pada 7 Mei 2014, Pukul 09:48, Lihat Juga Margaret Drews, The Four Models Of Mediation, http://www.diac.ae/idias/journal/volume3no1/issue1/eng4.pdf, (diakses pada 07
Mei 2014) 15
Nadja Alexander, ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation
Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,
http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, Diakses pada 07 April 2014, 3.
pendekatan yang kurang terstruktur yang berfokus pada proses antar pribadi.
Mediator transformatif bertemu dengan pihak bersama-sama, karena hanya cara itu
mereka dapat saling memberikan pengakuan.16
Keempat, evaluative mediation dikenal sebagai mediasi normative
merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan
pada hak-hak legal dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang
diantisipasi oleh pengadilan. Mediator harus seorang yang ahli dan menguasai
bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik
mediasi, memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para pihak yang
bersengketa, dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan.
Mediator bertemu paling sering dalam pertemuan terpisah dengan para pihak dan
pengacara pihak yang bersengketa.17
Adapun Barda Nawawie, merujuk pada ‚Explanatory memorandum‛ dari
Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 Tentang ‚Mediation In Penal matters‛,
menyebutkan beberapa model mediasi penal, yaitu:18 pertama model "informal
mediation", dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dalam tugas normalnya,
yaitu dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum), tetapi, dapat dilakukan juga oleh
pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau
oleh Hakim. Para pihak diundang untuk melakukan penyelesaian informal dengan
tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Jenis intervensi
informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
Kedua, model "Traditional village or tribal moots". Model ini ada di
beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau pedalaman dan
lebih mengedepankan keuntungan bagi masyarakat luas. Masyarakat bertemu
untuk memecahkan konflik kejahatan antara mereka dengan tujuan kemaslahatan
bersama.
Ketiga, Model "victim-offender mediation". Model ini melibatkan berbagai
pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk, dari pejabat
formal atau independen atau gabungan di antara keduanya. Pelaksanaannya dapat
diadakan di setiap tahap proses kebijakan polisi, jaksa dan pemidanaan. Model ini
16
Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM.,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22.
17Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22, Lihat juga: Revy S.M Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional,36. 18
bergerak pada beberapa bentuk, pertama: kesepakatan para pihak untuk
melanjutkan perkara atau menyelesaikan secara damai; kedua, proses dalam bentuk
litigasi hukum, pidana atau diversi; ketiga kesepakatan dalam batasan hukum
pidana konvensional setelah terjadi penghukuman, yaitu kesepakatan untuk
perdamaian atau pemaafan.19
Keempat,‛Reparation negoiation programmes". Model ini digunakan untuk
menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku
tindak pidana kepada korban, yang dilakukan pada saat pemeriksaan di pengadilan.
Model ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya
berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak
pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk
membayar diyat atau kompensasi.
Kelima, model "Community panels or courts". Model ini merupakan program
untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur
masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi
atau negosiasi.
Keenam, model "Family and community group conferences". Model ini tidak
hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan
warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para
pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan
yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si
pelaku keluar dari persoalan berikutnya.
Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, tahapan pertama pramediasi,
kedua pelaksanaan mediasi, dan terakhir implementasi hasil mediasi. Pada tahapan
pertama, mediator melakukan beberapa langkah, diantaranya: membangun
kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali, memberikan informasi awal
mediasi, fokus masa depan, mengkoordinasikan pihak yang bersengketa,
mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, waktu, dan tempat,
menentukan tujuan pertemuan, menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak
untuk bertemu dan membicarakan kesepakatan mereka.20
Pada tahap kedua, tahap pelaksanaan mediasi, pihak-pihak yang bertikai
sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai proses mediasi. Dalam tahap ini,
terdapat beberapa langkah penting, antara lain; sambutan pendahuluan mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan
19
Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara Melalui Peradilan
Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,
vil_matters/l33251_en.htm, accssed at June 08 2014) 48
Shearman and Sterling LLP, ‚ The New German Mediation Act- Paving The Way
for Mediation as Established Standard in Dispute Resolution?‛, International Arbitration, http://www.shearman.com/~/media/Files/NewsInsights/Publications/2012/09/The-New-
Kutub al-‘Ilmi>yah,1994), 405. Lihat Juga: Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6 (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4330) Lihat Juga: Ima>m Abi Qa>sim Abd
al-Kari>m bin Muhammad bin ‘Abd al-Kari>m Al Rafi’iy Al Qazwini> Al Syafi’i> (w: 623 H),
84. Lihat Juga: Mans}u>r bin Yu>nus Al-Bahwat Al-Hanbali> (w:1051H), Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3 (Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1997), 455. Lihat Juga: Abi
Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah Al-Muqdasi>, al-Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar al-Khara>qi>, Jilid 4 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1994), 339. Lihat
juga: H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam
(Jakarta: Sinar Grafika) 2004, 26 59
Abu Ja’fa>r Bin Jari>r Al-T}abari> (W: 310), Tafsi>r Al-T}abari (Jami‘ al Baya>n Fi>
Allah berfirman dalam surat Al Hujurat Ayat 9 dan Juga QS Al Nisa> ayat 128.
Lihat: Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n Al-Andalu>si> (w: 745 H), Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2001), 111, ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Abd al-Rahma>n bin Ishaq A>lu Syaikh, Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2 (Kairo:
Mu’assasah Da>r al-Hila>l, 1994), 302 64
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, dan
Ibnu Hibban, dari Amr bin Auf, yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
‚Perjanjian damai antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perjanjian
damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram‛. (Lihat: Ima>m Abi>
Bakar Ahmad ibn alaHusaini bin ‘Ali al-Baihaqi (485 H), Sunan Al-Kubra, Juz 6, h. Nomor
yang terjadi sesuai jenis hak (disebut juga s}ulh}u al hat}i>t}ah). Kedua, yaitu s}ulh} yang
terjadi pada selain jenisnya (disebut juga s}ulh} al mu'a>wadlah).81
b). S}ulh} al-inka>r (Perdamaian yang disertai Pengingkaran atau penyangkalan pihak
tergugat)
Yaitu bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu materi, utang
atau manfaat, dan tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang digugatkan
kepadanya, kemudian mereka berdamai. Menurut madzhab Maliki, Hanafi, dan
Hanbali, perdamaian dalam kasus ini boleh dilakukan dengan syarat apa yang
dituduhkan itu jelas kebenarannya, dan pihak tergugat diyakini bahwasanya dia
tidak memiliki hak untuk itu. Hal ini berdasarkan atas firman Allah SWT dalam
Surat An Nisa’ ayat 128.82
Adapun Ulama mazhab Shafi’i>, menyatakan bahwa
dalam persengketaan yang gugatannya diingkari oleh tergugat tidak boleh
dilakukan perdamaian, kecuali tuduhan penggugat itu benar, dan pihak tergugat
mengakui kesalahannya serta bersedia mengembalikan hak penggugat guna
mengakhiri persengketaan. Alasan mereka adalah jika kasus seperti itu boleh
diselesaikan dengan perdamaian, maka setiap orang dapat mengklaim hak orang
lain. Menurut mereka, hal seperti ini akan bermuara kepada menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.83
c) S}ulh} al-suku>t (Perdamaian yang disertai sikap diamnya tergugat)
Pihak tergugat hanya merespon gugatan tersebut dengan sikap diam, tidak
mengakui, tidak menyangkal, dan tidak pula mengingkari gugatan tersebut.84
Perdamaian dalam kasus seperti ini diperbolehkan, kecuali ulama madzhab syafi’i
berpendapat bahwa orang yang diam secara de jure hukumnya dianggap sama
dengan orang yang ingkar, oleh karena itu, ia disikapi dengan sikap terhadap orang
yang ingkar.85
3. Perkembangan al-s}ulh}} sebagai konsep penyelesaian sengketa
Al-s}ulh}} tidak meninggalkan efek buruk pada hati pihak yang bersengketa,
dapat mencapai keadilan dan mengurangi beban pengadilan serta dapat
81
Contohnya seseorang mengakui suatu hutang atau barang, kemudian melakukan
shulh dengan mengambil ganti yang berbeda jenisnya, baik uang, barang, manfaat, atau jasa.
(Lihat: : Ima>m Al Nawa>wi>y, Raud}atu al-T}a>libi>n Wa ‘Umdatu al-Mufti>n< Jilid 4,193-196.
Lihat Juga: Abi H}asan ‘Ali> Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi> al-Bas}ri>, al-Ha>wi> al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab al-Ima>m al-Shafi>’i wa Huwa Sharh Mukhtas}ar al-Muz}ni>, Jilid 6
(Beirut: Da>r al Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1999) 367) 82
Yaitu firman Allah ( Ayat tersebut menyatakan keumuman, yaitu segala .(والصلح خري
bentuk al-s}ulh}} itu dibolehkan, kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil. Hanafiyyah
menambahkan bahwa perdamaian dibutuhkan untuk memutuskan sengketa danm
Frida Errikson, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of
Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16
Agustus 2014) 123
Mustafa Serdar Ozbek, ‚The Principle and Procedure of Penal Mediation in
Turkish Criminal Procedure Law‛, (Turki: Baskent University), Angkara Law Review,Vol.8
No. 2, 2011 124
Lihat: Reglement op het beleid der Regeering van Nederlanhsch Indie, yang
termuat dalam Staatsblad Hindia Belanda 1885 No. 2 pasal 75 ayat 2, Pasal 78 RR ayat 2,
agama yang dianut oleh seseorang. Menurutnya, orang Indonesia yang menganut
agama Islam akan menerima hukum agama Islam bagi dirinya. Oleh karen itu, ia
berkesimpulan bahwa orang Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam
secara keseluruhan dalam praktek kehidupannya. Inilah yang disebut receptio in
complexu. Maksudnya adalah apa yang diresepsi bukan hanya bagian tertentu dari
hukum Islam, akan tetapi secara keseluruhan.125
Pada zaman VOC, pemerintahan Belanda tidak menghapus secara
fundamental pemberlakuan hukum agama terhadap masyarakat pribumi. Mereka
mengakui bahwa bagi orang pribumi diberlakukan hukum agamanya, ahli hukum
Belanda berupaya membuat kitab hukum yang materinya berasal dari hukum Islam
(fiqh).126
Inilah bukti bahwa mereka menganut paham receptio in complexu.127
Keadaan hukum Islam di Indonesia sebagaimana yang telah digambarkan
dalam teori Receptie in Complexu telah menimbulkan kecurigaan dan kritikan para
pejabat pemerintah Hindia Belanda. Tokoh utama yang melancarkan kritikan
tersebut adalah Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936). C. van Vollenhoven yang merupakan pendasar hukum adat
di Indonesia, telah mengeritik dan menyerang pasal 75 dan 109 R.R. Stbl. 1885:2
itu. Pada satu sisi dia telah berbuat banyak untuk hukum adat Indonesia, melalui
tulisannya ia menentang penggantian hukum adat dengan hukum barat yang hendak
dilancarkan pemerintah Belanda tahun 1904 untuk tujuan pengkristenan penduduk
Hindia Belanda.
Snouck Hurgronje, seorang penasihat Pemerintah Hindia Belanda tentang
persoalan Islam dan anak negeri lebih terkenal lagi. Iamelahirkan anjurannya untuk
memanipulir kesetiaan masyarakat Aceh terhadap agama dengan
mempertentangkannya dengan kesetiaan mereka terhadap adat. Ia mengemukakan
jalan pikiran baru mengenai pemberlakuan hukum bagi masyarakat pribumi.
Pandangan ini dikenal dengan teori Receptie.128 Inti dari teori receptie menyatakan
125
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985)5-6, Lihat juga: Wirawan, Teori Receptie In Complexu, 21
Desember, 2008, http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, (diakses pada 10
Juni 2014.) 126
D.W Feijer menyusun buku ringkasan (compendium) mengenai hukum perkawinan
dan kewarisan Islam yang setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu
diberlakukan di daerah jajahan VOC. Pada tanggal 25 Mei 1760, VOC mengeluarkan
resolusi yang menegaskan bahwa bagi kaum Muslimin berlaku hukum agamanya. Resolusi
tersebutdikenal dengan Resolutie der Indische Regeering
Selain Compendium Freijer digunakan pula kitab Muharrar dan papakem cirebon
serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di sulawesi
Selatan. 127
Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh (Yogyakarta: Ar Ruuz
Media, 2004) 128
Kemunculan teori ini berawal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang pribumi
tidak memegang kuat ajaran agama Islam, karena dinilai tidak akan mudah dipengaruhi oleh
memimpin, panut kepada Imam (pemimpin), Jujur, amanah, berakhlaq mulia, Malei kaom135, percaya diri/kebanggaan bermartabat, cerdas dan bangga, suka damai, dan
lain-lain.136
Adapun nilai sekunder adalah yang nilai bersifat kreasi (temuan baru)
untuk memudahkan membangun kehidupan dengan menggunakan sains dan
teknologi. Nilai-nilai norma hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang itu
mengacu kepada sumber utama hukum adat, yaitu:
1. Adatullah, yaitu hukum adat yang hampir mutlak didasarkan kepada hukum
Allah
2. Adat Tunnah, yaitu: adat istiadat sebagai manifestasi dari kanun dan
reusam yang mengatur kehidupan bermasyarakat
3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasikan pada asas
musyawarah dan mufakat
4. Adat Jahiliyyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan Islam, namun masih ada anggota
masyarakat yang menggemarinya137
.
Melalui pemaparan tersebut, dapat disimbulkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui proses non litigasi khususnya mediasi dan peradilan adat dapat
menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa mereka. Konsep
perundingan dan rekonsiliasi dengan mempertemukan antara korban dan pelaku
memberikan angin segar bagi sistem hukum Indonesia, khususnya hukum Pidana
yang selama ini dinilai meresahkan masyarakat, baik proses beracaranya maupun
hasil putusan hakim yang dinilai kurang adil bagi keduabelah pihak. Nilai-nilai
134
Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001), 84, Lihat juga: Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, 186-192
135Malu diri, malu keluarga, harga diri.
136Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun
Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 94
137Badruzzaman Ismail, Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA) 2007
54
yang terkandung dalam mediasi selaras dengan nilai- nilai Islam dan leluhur bangsa
Indonesia yang mencintai perdamaian, sehingga pihak yang bersengketa dan
masyarakat pada umumnya dapat menerima mediasi menjadi bagian dari
penyelesaian sengketa demi menciptakan kehidupan yang rukun, harmonis, aman,
dan tentram.
55
BAB III
DINAMIKA HUKUM ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
Adat dalam pengertian hukum adat adalah aturan tingkah laku masyarakat
yang telah berlaku mentradisi dengan tujuan untuk membangun keseimbangan dan
kesejahteraan kehidupan masyarakat dan bila melanggar akan diberikan
sanksi/akibat hukum.1 Penyelesaian sengketa secara damai tidak terlepas dari akar
budaya masyarakat Aceh, sering disebut Peradilan Hukum Adat/Peradilan Adat.
Model-model mediasi dan damai didalam menyelesaikan sengketa di Aceh sudah
lama dikenal sebelum masyarakat Aceh mengenal hukum Indonesia.2
A. Sejarah Hukum Adat Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia, terletak pada wilayah ujung Utara bagian Barat pada 20-
60 dan 95
0-98
0
bujur Timur, dengan luas wilayah 57.365,57 KM2. Pada tahun 2002 masih memiliki
13 kabupaten/kota, namun pada tahun 2007 telah berkembang menjadi 23
kabupaten/kota, Provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten yang terdiri dari 18
kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa.3
Jumlah penduduknya kurang lebih 4.671.8744 dengan berbagai suku, diantaranya
suku Gayo, Alas, Aceh, Tamiang, Simeullue, Kluet, Aneuk, dan suku-suku lainnya
yang berasal dari berbagai daerah pendatang: Jawa, Sunda, Minang, Palembang, dan
lain-lain.5
Secara kronologis, Kerajaan Islam di Aceh dimulai oleh Kerajaan Aceh
Darussalam, berpusat di Banda Aceh, sekitar abad 16 M. Pada masa itu Aceh juga
tampil sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat perkembangan budaya dan
peradaban Asia Tenggara. Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-
1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kerajaan
Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), adapun Kerajaan Islam Aceh Darussalam
yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M,
Banda Aceh yang pada awal abad XVI M telah menjadi salah satu dari ‚Lima Besar
1
Badruzzaman Ismail, ‚Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong‛, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA)
2007,1. 2 Miftachhuddin Cut Adek, ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)
di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,
yang berdiri ditengah padang, akan tetapi rakyat seperti padang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan di permudah sekali-kali hak rakyat‛ Qa>nu>n al Asyi bersumber dari al Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas,
menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:
i. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Qad}i Malikul Adil
ii. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil
iii. Kekuasaan Qa>nu>n (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah
Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat)
iv. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa
Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi suatu negara dalam
keadaan perang.
Dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qa>nu>n al Asyi
menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (Tidak boleh jauh
atau bercerai), seperti disebutkan dalam qa>nu>n:
‚Ulama dan raja atau rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau rais, niscaya binasalah negeri. Barangsiapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggalkan Adat, maka tersalah dengan dunianya. Dan barangsiapa yang mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang.‛14 Struktur kerajaan Aceh Dalam konteks sistem pemerintahan berdasarkan
Qa>nu>n Meukuta Alam, berakar pada susunan gampong15 dan mukim16
, nanggroe17,
Sagoe18, dan langsung Kerajaan.
14
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, (Banda Aceh: MAA, 2008), 13-15.
15 Tingkat pemerintahan terendah yaitu Gampong atau kampung (Pemerintah Desa).
Pimpinan Gampong terdiri dari Keuchik dan Teungku Meunasah yang juga disebut Imam
Rawatib, dan dibantu oleh Tuha Peuet (empat orang cerdik-pandai), kira-kira seperti Badan
Pemerintah Harian (BPH). 16
Mukim merupakan federasi dari beberapa gampong, yang satu mukim minimal
terdiri dari delapan gampong. Federasi Mukim dipimpin oleh seorang lmeum Mukim dan
Qad}i Mukim. 17
Nanggroe (Negeri) dipimpin oleh seorang Uleebalang (Hulubalang) dan seorang
Qad}i Nanggroe. Uleebalang mempunyai gelar yang berbeda, menurut nanggroënya masing-
masing; umpamanya ada yang bergelar Teuku Laksamana, ada yang bergelar Teuku
Bentara, ada yang bergelar Teuku Bendahara dan sebagainya. Dalam memimpin Nanggroe,
Uleebalang dibantu oleh pembantunya, yaitu Banta atau saudara laki-laki, menggantikan
Uleebalang jika berhalangan. Selain itu, Uleebalang juga dibantu oleh Qadhi, dan
pengawalnya yang disebut Rakan. 18
Yaitu fedreasi dari beberapa nanggroe yang hanya ada di Aceh Rayeuk, banyaknya
hanya tiga sagoe, yaitu Sagoe Teungoh Lheeploh (Sagi 25), terdiri dari 25 Mukim:
Panglima Sagoenya bergelar Qad}i Malikul Alam Seri Setia Ulama dan dibantu oleh Qadhi
Sagoe Rabbul Jalil. Sagoe Duaploh Nam (Sagi 26), yang terdiri dari 26 Mukim; Panglima
58
Qa>nu>n Meukuta Alam dalam menjalankan tugas kerajaan, menetapkan empat
landasan Rukun Kerajaan, yaitu Pedang Keadilan, Qalam (kitab Undang-Undang
kerajaan), Ilmu dunia dan akhirat, dan Kalam (bahasa). Adapun sumber hukum dari
kerajaan Aceh Darussalam yaitu Al Qur’an, Hadi >th Nabawi, Ijma’ Ulama Ahl al-
Sunnah wa al-Jama>‘ah, dan Qiyas.
Adapun sistem hukum pada kesultanan Aceh, terdapat lima tingkat peradilan,
yaitu Kadhi Malikul Adil (Majelis Mahkamah Agung), Kadhi Rabbul Jalil (Balai
Mahkamah Sagoe), Kadhi Nanggroe (Balai Mahkamah Nanggroe), Kadhi Mukim
(Balai Mahkamah Mukim), dan Pengadilan Damai (Balai Mahkamah Gampong).
Sedangkan dalam melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi, Qa>nu>n Al-Asyi
menetapkan bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam, harus didirikan tiga buah
lembaga, yaitu pertama Balai Rong Sari19
, Balai Gadeng20
, dan Balai Majelis
Mahkamah21
.
Sebuah penelitian oleh Bealieu (1620-1621) dan Peter mundy (1673)
menyebutkan bahwa pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali hari jum’at di
sebuah Balai Besar dekat masjid utama Baiturrahman, diketuai oleh salah seorang
kaya yang paling berada.22
Perselisihan kecil dan kejahatan ringan yang berlangsung
antara sesama warga kampung diselesaikan oleh keuchik (kepala desa) yang
berperan sebagai hakim dan Teungku Meunasah (pimpinan mus}alla) yang dibantu
oleh cerdik pandai kampung (eureung tuha). Bila seseorang menolak perdamaian
tersebut atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa ke pengadilan
mukim, dengan Imam Mukim sebagai hakim dan dibantu oleh keuchik dan Teungku Imeum serta pemuka masyarakat. Ditingkat ini pihak yang mengajukan perkara
harus menyerahkan uang jaminan sebagai ongkos perkara.
Ketika Belanda menduduki wilayah Aceh, peradilan agama merupakan bagian
dari pengadilan adat, dimana pada tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai
oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onder
afdeeling (wilayah) ada pengadilan yang bernama "Musapat' yang dikepalai oleh
Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.
Dalam prakteknya bila perkaranya bersangkutan dengan hukum agama, seringkali
diserahkan saja kepada Qad}i Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada
sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh
Sagoenya bergelar Seri Imam Muda Orang Kaya (OK) dan dibantu oleh Qadhi Rabbul
Jalil. Sagoe Duaploh Dua (Sagi 22), yang terdiri dari 22 Mukim; Panglima Sagoenya
bergelar Panglima Polem Seri Muda Perkasa dan dibantu oleh Qadhi Rabbul Jalil. 19
Dipimpin oleh Sultan Imam Malikul Adil dan wakilnya, Kadhi Malikul Adil,
anggotanya terdiri dari hulubalang dan tujuh orang Ulama. Balai ini hampir sama dengan
Dewan Pertimbangan Agung Sistem Negara republik Indonesia. 20
Dipimpin oleh wazir Mu’azham Perdana Menteri dengan anggota-anggotanya
terdiri dari Hulubalang delapan dan Ulama tujuh orang. Balai gadeng hampir sama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 21
Anggotanya terdiri dari 73 orang. Balai ini seperti DPR RI. 22
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, 28.
59
Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qad}i Uleebalang yang
dimaksud.23
Pada masa pendudukan Jepang, Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang
mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama "Atjeh Syu Rei" (Undang-
undang Daerah Aceh) Nomor 20 Syowa 19 Yagatsu I tanggal 1 Januari 1943
tentang susunan peradilan berkedudukan di Kutaraja dengan cabang-cabangnya
pada tiap-tiap Ibukota kabupaten (Bunsyu). Disamping itu, melalui Aceh Syu Rei
No.12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Februari 1944), pemerintah militer
membentuk Mahkamah Agama Islam Syukyo Hooin yang diimplementasikan pada
tanggal 12 Februari 1944. Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding
atas putusan Kepala Qad}i dan Qad}i Son24. Tugas Qad}i Son pada saat itu mirip
dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.25
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh mendapat kedudukan
tersendiri di NKRI karena perjuangan rakyat dan bimbingan para tokoh dan Ulama
Aceh rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Kemudian keluarlah Peraturan perdana Menteri pengganti peraturan
pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan
sebagai provinsi yang berdiri sendiri.26
Kemudian pemerintah pusat memberikan
status Daerah Istimewa melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor 1/Missi/1959. Pemberian status ini merupakan jalan menuju penyelesaian
masalah Aceh secara menyeluruh. Namun karena adanya kecenderungan pemusatan
kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintah di Daerah (sentralisasi), maka penyelesaian Keistimewaan Aceh
tidak berjalan sebagaimana mestinya.27
Atas pertimbangan filosofis, historis, dan
sosiologis, lahirlah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
23
Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013),
126-130, Lihat juga: ‚Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Aceh Sebelum dan setelah
Kemerdekaan RI‛, Mahkamah Syar’iyyah Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/informasi-
Keistimewaan Aceh di bidang kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan,
dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah.28
B. Penegakkan Hukum Adat
Dalam sistem hukum adat Aceh, dikenal sejumlah asas yang pada umumnya
dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Sejauh ini ada sejumlah asas
yang telah dihimpun, sebagai berikut:
Bagan 1: Asas-Asas Peradilan Adat Aceh29
Dasar hukum berlakunya hukum adat di Aceh dapat diperhatikan pada
beberapa landasan, diantaranya narit maja yang menjadi dasar utama (kultur asli)30
,
dan peraturan pemerintah, diantaranya:
Pasal 3 a R.O Stb. 1935
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
28
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 37-38
29Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang
Maksudnya adalah oleh sebab jabatannya sebagai pejabat gampong. Maka yang
bertindak menjadi hakim adalah Keuchik, tuha peuet, atau Imam Meunasah. Wawancara
dengan Sanusi M. Syarif, MA, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan
Pelestarian gampong dan Mukim, Kamis, 15 Mei, 2014. 44
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 74.
45Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. Lihat Juga: Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 71.
63
kepada perangkat Adat lain untuk berperan dalam mengambil keputusan sesuai
dengan bidang dan kewenangannya.46
Adapun Tuha Peuet berperan memberikan nasihat dalam bidang hukum adat,
adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat. Sebagai pelaksana legislasi dalam
pemerintahan gampong, terdapat beberapa tugas tuha peuet yaitu: pertama,
melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetuajuan terhadap Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja gampong
sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja gampong; kedua,
melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan Reusam
gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja gampong, pelaksanaan
keputusan dan kebijakan lainnya dari keuchik; ketiga, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah gampong.47
Berikut adalah bagan struktur dan peran penyelenggara Peradilan adat
tingkat gampong:
Bagan 2: Struktur dan Peran Penyelenggara Peradilan Adat Tingkat Gampong48
Para penyelenggara peradilan adat tidak ditunjuk atau diangkat secara resmi,
tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah49, Tuha Peuet, dan
Ulee Jurong50 mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat.
Keanggotaan peradilan adat tidak hanya terbatas untuk kaum laki-laki saja, tetapi
juga harus melibatkan kaum perempuan. Mereka umumnya sering dilibatkan
sebagai mediatordan negoisator untuk perkara-perkara yang melibatkan perempuan
dan anak-anak.51
Pada masa sekarang, kewenangan gampong untuk menyelenggarakan
peradilan adat terdapat dalam qa>nu>n No. 5 tahun 2003 tentang pemerintahan
Gampong dalm Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keuchik memiliki kekuasaan
Mono Trias Function (Satu dalam manunggal tiga fungsi) untuk menjalankan tiga
kekuasaan yang melekat ditangannya, yaitu, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Tiga fungsi yang berjalan masing-masing akan tetapi dalam satu
pimpinan kekuasaan. Adapun perilaku mono trias function tersebut tercermin pada
perilaku Keuchik dan Teungku saat mengayomi penyelesaian masalah-masalah
yang timbul dalam masyarakat.52
Penerapan kewenangan Keuchik secara tunggal
berada dibawah kontrol Tuha Peuet Gampong.53
Dalam melaksanakan tugasnya,
peradilan adat bersifat pasif. Baik perkara yang terjadi berupa perkara bidang
pidana maupun perkara bidang perdata, peradilan tersebut tidak akan berinisiatif
untuk menyidangkan suatu perkara tanpa ada permintaan dari pihak yang
berkepentingan.54
Adapun pusat penyelenggaraan adat istiadat dan peradilan adat
dilakukan di Meunasah. b. Peradilan adat Mukim
Peradilan adat tingkat mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan
keadilan dalam juridiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa yang tidak dapat
diselesaikan pada tingkat mukim, selanjutnya akan diselesaikan oleh lembaga
Peradilan negara.55
Pada prakteknya, hanya sekitar 2% (dalam setahun) perkara
49
Lembaga adat ditingkat Gampong yang mengurus aspek hukum (maksudnya
hukum Islam), serta berkewajiban mengurus urusan fardu kifayah di gampong. 50
Pemimpin di tingkat Jurong (lorong), atau kepala dusun. 51
Majelis Adat Aceh,Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 9.
52Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,
2013),113-114. 53
Meunasah adalah sebuah tempat semacam mushalla/langgar, yang berfungsi
sebagai pusat segala kegiatan (centre of power) administrasi pemerintahan dan
kemasyarakatan. (wawancara dengan Badruzzaman isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. 54
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 73
55Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014. Lihat Juga:
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012)
65
yang diajukan ke tingkat mukim.56
Kewenangan mukim untuk menyelenggarakan
peradilan adat di tingkat mukim adalah terdapat pada qa>nu>n No. 4 Tahun 2003
tentang pemerintahan mukim dalam provinsi Aceh.57
Badan perlengkapan peradilan
adat ditingkat mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat
gampong.58
Bagan 3: Struktur dan Peran Peradilan Adat Mukim59
Pada pemerintahan Mukim, fungsionarisnya terdiri dari Imeum Mukim
sebagai ketua, dan Imeum Mesjid, Tuha Peuet, Keuchik dalam mukim yang
bersangkutan, para tokoh Ulama, dan cendikiawan duduk sebagai hakim anggota
dan sekretaris mukim sebagai panitera. Di beberapa tempat, terdapat pembagian
kewenangan dan peranan dalam pengelolaan kawasan antara mukim dan
gampong.Adapun kawasan yang berada diluar kawasan hunian, seperti blang
(sawah), laot (laut), gle (perbukitan), dan uteun rimba (hutan rimba) berada
dibawah kekuasaan mukim. 60
Untuk mengurus kawasan tersebut diatas pada
56
Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. 57
Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum
dalam hal adanya persengketaan-perengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat
(Pasal 4, butir e)
Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan
adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-
keputusan adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum
terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat (pasal 12 ayat 2). 58
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 8.
59 Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang
Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012 60
Sanusi M. Syarif, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 2.
Sekretaris Mukim
sebagai Panitera
Majelis
Adat
Sebagai
Anggota
Imeum
Chiek
sebagai
Anggota
Imeum
Mukim
sebagai
Ketua
Sidang
Tuha
Peuet
Sebagai
Anggota
Ulama,
cendikiawan,
Tokoh Adat
sebagai
Anggota
66
tingkat mukim dibentuk lembaga adat khusus. Seperti untuk mengurus kawasan
laot, dibentuk panglima laot, petua euteun untuk mengurus kawasan hutan, petua seuneubok untuk kawasan ladang atau lampoh (perkebunan), pawang gle untuk
mengurus kawasan perbukitan, dan keujruen blang untuk mengurus kawasan sawah.
Apabila terdapat permasalahan atau sengketa yang terjadi antar warga pada wilayah
diluar hunian, maka proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan lembaga yang
dimaksud.
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum adat tidak dibedakan antara kasus perdata dan pidana, tetapi
untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada beberapa
pertimbangan dan prosedur yang harus diterapkan jika kasus pidana sedang
diselesaikan. Diantara kasus-kasus yang menjadi kewenangan Peradilan adat adalah
sebagaimana hasil temuan dilapangan, dan hasil rapat koordinasi antara MAA
dengan lembaga penegak hukum terdapat dalam Qa>nu>n Aceh No. 9 tahun 2008.61
Pada perakteknya, kasus-kasus tindak pidana ringan, seperti laka lantas ringan pun
kerap diselesaikan oleh Peradilan Adat.
1. Proses Penyelesaian kasus Perdata
Pihak korban atau kedua belah pihak melaporkan kasusnya kepada Kepala
Dusun (Kadus) atau langsung kepada keuchik dimana peristiwa tersebut terjadi
(asas teritorialitas).Setelah menerima laporan dari kadus atau dari pihak korban,
keuchik membuat rapat internal dengan perangkat gampong guna menentukan
jadwal sidang.62
Sebelum persidangan digelar, keuchik dan perangkatnya
61
Pasal 13 tentang Penyelesaian sengketa /perselisihan. Diantara sengketa adat dan
adat istiadat adalah;
Perselisihan dalam rumah tangga
Sengketa antar keluarga yang berkaitan dengan faraidh
Perselisihan antar warga
Khalwat meusum
Perselisihan tentang hak milik
Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan)
Perselisihan harta sahareukat
Pencurian ringan
Pencurian ternak peliharaan
Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan
Persengketaan di laut
Persengketaan di pasar
Penganiyayaan ringan
Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat
Pelecehan, fitnah, hasud, dan pencemaran nama baik
Pencemaran lingkungan (skala ringan)
Ancam-mengancam (tergantung dari jenis ancaman)
Perselisihan lain yang melanggar adaty dan adat istiadat. 62
Pada rapat ini ditentukan mediator bagi kedua belah pihak. (pada prakteknya,
dibeberapa peradilan adat dalam beberapa kasus ringan tidak mengadakan rapat internal,
67
melakukan pendekatan dengan mediasi dan negoisasi terhadap kedua belah pihak,
yang bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus
menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Untuk kasus yang
korbannya perempuan atau anak dibawah umur, maka pendekatan dilakukan oleh
istri keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya. Jika kesepakatan penyelesaian
secara damai telah disetujui, sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi
kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah
ditetapkan.
Gambar 1: Tata Letak Sidang Peradilan Adat Gampong63
Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya
atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara. Persidangan bersifat resmi dan
terbuka yang biasanya digelar di meunasah. Persidangan berlangsung dengan penuh
khidmat dan keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk
akan tetapi keuchik langsung mendatangi orang tuha untuk memberikan mandat untuk
bermusyawarah kepada pihak yang bersengketa sebelum sidang dilaksanakan). (Wawancara
dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan
Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 63
Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012
Sekretaris Gampong
(Panitera)
Imeum Meunasah
(Anggota Sidang) Keuchik
(Ketua Sidang)
Tuha Peuet
(Anggota Sidang)
Ulama, Cendikiawan,
dan Tokoh Adat
(Anggota Sidang)
Saksi Para Pihak Saksi
Pengunjung Sidang
(masyarakat Setempat dan Sanak
Saudara Para Pihak)
68
menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera. Keuchik
mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya jika
dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah
terlebih dahulu. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyampaikan jalan
keluar terhadap kasus tersebut.
Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa
yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang
akan dijatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah
mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah
menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering
disebut surat perjanjian perdamaian.64
Apabila salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat
mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap
putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan
putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke
persidangan Mukim.
Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk
menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan
sungguh sungguh. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak,
disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim. Setelah
putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya
putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:
a. Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang
berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat
yang mereka lakukan.
b. Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan
membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung
keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).
Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka
barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara
perdamaian di Meunasah dihadapan umum, atau di tempat lain (atas persetujuan
bersama). Putusan penyelesaian sengketa itu dicatat dalam sebuah buku induk
registrasi kasus yang di dalam buku tersebut memuat Nomor, Tanggal pelaporan
dan nama pelapor, Jenis kasus, Uraian singkat pokok perkara, Tanggal
penyelesaiannya, Uraian singkat putusan perdamaian. Berikut adalah contoh
putusan dalam bentuk akta perdamaian penyelesaian sengketa perkara perdata:
64
Contoh Surat Perdamaian terdapat pada lampiran.
69
Gambar 2: Contoh Akta Perdamaian Perkara Perdata (kasus hutang-piutang)
Akta perdamaian tersebut adalah salah satu contoh surat perjanjian damai
antara kedua belah pihak yang bersengketa dalam sengketa hutang-piutang.
Perkaranya adalah sebagai berikut65
:
Pihak pertama melaporkan pihak kedua kepada Keuchik gampong terkait
sangkut-paut hutang piutang antara pihak pertama dengan ayah dari pihak
kedua. Pihak pertama menuntut haknya kepada pihak kedua untuk
membayarkan hutang ayahnya.
Pihak kedua merasa bahwa ayahnya sudah membayarkan hutangnya kepada
pihak pertama ketika beliau masih hidup, dihadapan saksi pihak ketiga.
Pihak kedua membawa sanksi pihak ketiga kepada Keuchik gampong.
Setelah pihak ketiga memberikan kesaksiannya dihadapan perangkat
gampong, maka Keuchik segera menanyai kebenarannya kepada pihak
65
Kronologi penyelesaian sengketa disarikan dari hasil wawancara dengan Keuchik
Gampong, Bpk. Bukhari Ibrahim, dan Sekretaris Gampong, Bpk. Razali Ibrahim, 1 Mei
2014.
70
pertama dan kedua. Kedua belah pihak dihadapkan bersama dan dimediasi
agar mendapatkan penyelesaian dari permasalahan hutang piutang tersebut.
Setelah proses mediasi, akhirnya pihak pertama mengakui bahwa ia telah
keliru menuduh keluarga pihak kedua atas perkara hutang-piutang yang
belum dibayarkan oleh ayahnya.
Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua dan berjanji untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Apabila ia melanggar, maka ia bersedia
dihadapkan dengan proses hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Prosedur Penyelesaian Kasus Pidana
Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan
perkara perdata, hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh
para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih
berat. Sekarang, terdapat tiga alur yang dilakukan masyarakat dalam pelaporan
sengketa pidana, yaitu ke polisi dan perangkat gampong.66
Gambar 3: Tiga Alur pelaporan sengketa bersifat kepidanaan
Alur pertama67
:
Para pihak Perangkat gampong
Alur Kedua68
:
Para Pihak
Perangkat Gampong Polisi
66
Tiga alur ini disebabkan karena beberapa faktor. pertama, karena masyarakat belum
memahami prosedur penyelesaian (hal ini terjadi biasanya jika korban/pelaku adalah
masyarakat pendatang) dan yang kedua, karena masyarakat lebih percaya kepada polisi,
daripada keuchik (penyebab hilangnya kepercayaan ini adalah karena keuchik baru
diangkat)Akan tetapi pada akhirnya penyelesaian dilakukan oleh peradilan gampong dengan
perangkat gampong (wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchikgampong
Pada beberapa kasus seperti penganiayaan, Pemantauan dan pengamanan juga
dilakukan oleh polmas setempat. (wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda
Aceh, 20 Mei 2014).
73
Gambar 4: Contoh akta damai hasil putusan peradilan adat pada kasus pidana
(Kasus Pengancaman dan Penganiayaan):
Surat pernyataan damai tersebut sudah disetujui oleh kedua belah pihak.
Adapun kronologi kasusnya adalah75
:
Pada tanggal 31 Agustus 2012 sekira pukul 21.00 WIB, pihak pertama,
Zulfikar (bukan nama asli) mendatangi pihak kedua, Ibrahim (bukan nama
asli). Pihak pertama mengancam pihak kedua akibat orangtua atau abang
ipar pihak kedua memiliki hutang kepada pihak pertama.
75
Kronologi kasus tersebut didapatkan penulis dari hasil wawancara dengan
Sekretaris gampong (Abdul Muthalib), dan keuchik gampong (Muslim Syamaun), 3 Mei
2014.
74
Pihak pertama menagih hutang tersebut kemudian mengambil barang yang
ada dirumah pihak kedua, sebagai pembayaran hutangnya
Pihak kedua tidak terima barangnya diambil dan meminta agar pihak
pertama mengembalikannya
Pihak pertama kehilangan kesabaran dan akhirnya terjadilah keributan
antara keduanya.
Keluarga pihak kedua segera melaporkan kejadian tersebut kepada keuchik
gampong.
Keuchik gampong bersama fungsionaris adat yang lain langsung
mengamankan kedua belah pihak yang bersengketa.
Keesokan harinya keuchik gampong mengadakan pendekatan kepada kedua
belah pihak terkait kasus yang sedang dialami dan menanyakan keduanya
apakah keduabelah pihak bersedia untuk menyelesaikan masalah mereka
secara damai atau tidak. Akhirnya kedua belah pihak bersedia untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.
Keesokan harinya, 02 Oktober 2014 perangkat gampong dan kedua belah
pihak bersama-sama bermusyawarah untuk mencari penyelesaian sengketa
bagi kedua belah pihak.
Setelah dimediasi akhirnya pihak pertama mengakui kesalahannya telah
mengancam dan melakukan penganiayaan, sehingga pihak kedua terluka.
Adapun hasil keputusan adalah;
Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua.
Membayar denda adat kepada pihak kedua sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu
Juta Rupiah)
Keduabelah pihak berjanji untuk tidak saling mengejek dikemudian hari
setelah terjadinya perdamaian ini. Apabila ada yang mengulanginya
dikemudian hari, maka orang yang memulai tersebut akan ditindak sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Kedua belah pihak saling memaafkan dan tidak ada rasa dendam karena
masih ada hubungan keluarga dekat sekali.
Setelah dibuatnya surat perdamaian tersebut, keduabelah pihak tidak saling
menuntut dan mereka akan rukun kembali seperti sedia kala. Surat tersebut
dilaporkan kepada Polsek Muara tiga, Pidie.
Contoh penyelesaian kasus tersebut adalah contoh kasus yang dilaporkan oleh
korban kepada fungsionaris adat, tanpa ada campur tangan kepolisian, namun
setelah kasus tersebut diselesaikan secara damai, maka hasil penyelesaiannya atau
surat perjanjian perdamaian dilaporkan kepada kepolisian sebagai bukti bahwa
kasus tersebut telah diselesaikan secara damai.
Selain kasus yang dilaporkan korban kepada fungsionaris adat secara langsung,
terdapat juga kasus yang dilaporkan korban kepada kepolisian (satpol PP dan
wilayatul hisbah). Biasanya kasus tersebut dilakukan oleh pelaku diluar
kediamannya (bukan didaerahnya).
Sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut, maka dapat dilihat
skema peran dan posisi perangkat Gampong dalam persidangan adalah dibawah
peradilan Mukim. Apabila kedua belah pihak tidak menerima hasil keputusan
75
fungsionaris adat gampong, maka pihak yang tidak menerima dapat membawanya
ke tingkat mukim, namun apabila putusan peradilan adat mukim juga tidak diterima
oleh kedua belah pihak, maka perkara akan diselesaikan sesuai dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Berikut adalah peran dan posisi peradilan adat
gampong dan mukim:
Bagan 4: Peran dan Posisi Perangkat Gampong dalam Peradilan Adat76
Badruzzaman Isma’il mengatakan: ‚Yang lemah dibimbing, yang pincang
dipapah, yang kurang ditambah, yang ganjil digenapkan, yang salah dibetulkan,
yang lupa diingatkan, yang menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, yang
keliru diingatkan‛.77
Konsep mediasi dan negoisasi yang diterapkan oleh peradilan
Adat Aceh memiliki kelebihan yaitu memberikan pendekatan yang lebih terstruktur
dengan langkah-langkah tertentu. Kasus serumit apapun punya kemungkinan untuk
diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan
76
Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat Aceh Bersinergis Peradilan
Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”, http://www.acehinstitute.org, (diakses pada
tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 77
Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013)164
negosiasi secara tepat, yaitu bagaimana cara mendamaikan para pihak yang
bersengketa, sehingga harmonisasi masyarakat bisa kembali dicapai.78
3. Pola peradilan Adat Aceh
Bertolak kepada prinsip penyelesaian sengketa ‚permasalahan yang besar
dikecilkan, dan permasalahan kecil dihilangkan‛ menjadikan peradilan adat di Aceh
mendapatkan kepercayaan yang besar bagi masyarakat Aceh,79
karena mengacu
pada nilai kultural/adat budaya Aceh yang hidup berkelanjutan dan berkembang
dalam masyarakat.80
Selain itu hasil yang diinginkan dari peradilan adat adalah
kepuasan dari kedua belah pihak yang bersengketa, rasa bertanggung jawab,
kebesaran jiwa untuk saling memaafkan, serta kembalinya harmonisasi dalam
kehidupan bermasyarakat.81
Apapun yang dimusyawarahkan haruslah berwujud
pada ‚selesainya‛ suatu masalah, bukan memperkeruh, atau bahkan menciptakan
masalah baru.82
Sistem penyelesaian sengketa melalui jalan damai oleh Mohammad Hosein
(1970) disebut Suloh83 atau Hukum peujroh84
yang berarti memperbaiki.85
Terdapat
juga pola penyelesaian di’iet86, sayam87
, dan peumat jaroe88 yang dimanfaatkan
sebagai mediasi, prosesi rekonsiliasi, bermartabat melalui kemaafan (forgiven) dan
kompensasi (barang/benda, uang)89
78
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.) 79
Hasil penelitian dari BAPPENAS dan UNDP, tahun 2012, bahwa 92% dari
masyarakat Aceh merasa puas dengan penyelesaian sengketa secara adat. (Wawancara
dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh, 29 april 2014). 80
Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
24 April 2014 81
Wawancara dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda
Aceh, 29 April 2014. 82
Teuku Raja Itam Aswar, Kasus-Kasus Penyelesaian Melalui peradilan adat:
makalah disampaikan pada pelatihan pada pelatihan adat bagi fungsionaris adat se-provinsi Nanggroe Aceh darussalam, 4-8 september 2007 di Banda Aceh (Banda Aceh:Majelis Adat
Aceh, 2007), 6 83
Suloh berasal dari bahasa arab yang berarti perdamaian, persetujuan, atau
penyelesaian. 84
Artinya hukum kebaikan 85
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 72
86Berasal dari bahasa arab, yaitu diyat
87 Berasal dari tradisi Hindu. Ajaran ini sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu,
namun sudah disaring (filter) oleh syari’at Islam. 88
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 252
89Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu
menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,
77
a). Suloh Suloh dalam bahasa Aceh berasal dari bahasa arab, yaitu al-s}ulh}}u atau islah,
yang berarti upaya perdamaian. Suloh digunakan sebagai sarana untuk menjaga
keseimbangan sosial, akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh diarahkan pada
upaya perdamaian pada kasus-kasus perdata.90
Dalam praktek negoisasi dan mediasi
untuk pola suloh keuchik dan tengku meunasah melibatkan perangkat lain, seperti
peutua seuneubok, panglima laot, dan keujreun blang. Pelibatan ini karena
merekalah yang paling memahami dan mengetahui asal usul terjadinya sengketa
dalam wilayah dan ruang lingkup kerjanya. Penyelesaian sengketa melalui suloh ini,
biasanya dapat juga diselesaiakan ditempat kejadian oleh petua adat yang
menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik.91
b). Di’iet Di’iet berasal dari bahasa arab, yaitu diyat, beararti pengganti jiwa atau
pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Yaitu kompensasi atau diyat yang
diserahkan oleh pelaku pidana kepada keluarga korban (ahli warisnya) dalam tindak
pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota tubuh. Dalam hukum pidana
Islam, diyat digunakan kepada pelaku kejahatan pembunuhan maupun
penganiayaan setelah adanya proses hukum yang berakhir dengan pemaafan. Dalam
adat Aceh, kasus pembunuhan diselesaikan dengan pola di’iet, dan kejahatan
terhadap anggota tubuh diselesaikan dengan pola sayam. Esensi di’iet terletak pada
penghormatan dan penghargaan terhadap jiwa atau anggota tubuh manusia, bukan
pada nilai kompensasi dari setiap nyawa atau anggota tubuh korban yang diganti
dengan harta. Pembayaran di’iet dimulai dengan proses hukum terhadap pelaku
tindak pidana, sehingga dapat diketahui dengan jelas pelakunya dan tingkat
kemaafan yang diberikan oleh korban atau keluarga korban.
Para fasilitator, negoisator, dan mediatormelakukan pembicaraan awal
dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya, untuk menghindari
kedendaman dibelakang hari. Mereka juga mendengar tuntutan para pihak serta
menawarkan solusi penyelesaian dengan kacamata adat dan agama. Jika para pihak
sudah sepakat untuk berdamai dan bersedia membayar sejumlah harga untuk
kompensasi, baru digelar upacara di’iet.92
Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 90
Kasus-kasus perdata yang diselesaiakan melalui institusi suloh ini, umumnya
berkaitan dengan perebutan sentra-sentra ekonomi, seperti batas tanah, tali air di sawah,
lapak tempat berjualan, daerah sungai tempat menangkap ikan, dll. 91
Penyelesaian secara suloh biasanya cukup dengan saling memaafkan, wawancara
dengan Bpk. Abdul Mutalib, sekretaris gampong Keupula, Kec. Muara Tiga, kab. Pidie,
Nanggroe Aceh Darussalam, 3 May 2014. 92
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 257
c). Sayam Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku
pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau
tidak berfungsinya anggota tubuh. Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber
dari adagium yang sudah dikenal lama, yaitu: ‚luka ta sipat darah ta sukat93‛ Sama
halnya dengan di’iet, prosesi sayam difasilitasi oleh keuchik dan tengku meunasah,
yaitu dengan melakukan negoisasi dengan para pihak yang bersengketa. Sayam,
berupa pemaafan dan kompensasi menjadi bagian dari watak hidup mayarakat Aceh
dalam membangun equilibrium/penyeimbang (DAMAI), dalam kehidupan.94
d). Peumat Jaroe Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam, dan suloh
adalah peumat jaro (berjabat tangan) dan peusijuk95. Kedua proses ini dianggap
memegang peranan yang penting dalam menjalin rasa persaudaraan antara pihak
yang bersengketa.96
Apabila dilihat dan dianalisa lebih jauh, pada hakikatnya pola suloh berlaku
juga pada di’iet dan sayam. Hakikatnya, pola suloh adalah sebuah proses
penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan di’iet dan sayam merupakan bentuk
sanksi.
4. Pelaksanaan Putusan Peradilan Adat dan Hubungannya dengan
Putusan Pengadilan Positif.
Bentuk-bentuk sanksi adat yang diterapkan di masyarakat Aceh berupa:
pergantian/kerugian materil/non materi, membayar uang adat, dan membayar
upacara kenduri selamatan. Apabila sengketa besar,97
biasanya dengan pemotongan
hewan (lembu/kambing) atau dengan membayar denda,98
dan melaksanakan
93
Luka seseorang harus diukur lebarnya dan darah yang mengalir juga harus diukur
banyaknya. 94
Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu
menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,
Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 95
Prosesi tepung tawari seseorang atau benda dengan maksud untuk mendapatkan
kesejukan hati. 96
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 266
97Contohnya adalah penganiayaan yang mengakibatkan luka berdarah dibahagian
perut ke kepala. 98
Mengenai sanksi pembayaran denda bisa jadi tidak sama disetiap Gampong. Hal ini
sesuai dengan adat dan kebiasaan serta kesepakatan bersama masyarakat gampong tersebut.
Seperti, di Gampong Dayah krako, Kec. Indrajaya, kab. Pidie, kasus penganiayaan yang
menyebabkan luka berdarah sanksinya menyembelih seekor kambing. Hal ini serupa dengan
Gampong meunasah Mancang kec. Meurah 2 Kab. Pidie Jaya. Berbeda dengan Gampong
Keupula, Kec. Muara 3, Kab. Pidie, kasus tersebut didenda membayar sejumlah uang sesuai
dengan kesepakatan keduabelah pihak. Hal ini juga serupa dengan peradilan adat di
Mei 2014, Sekretaris Gampong Keupula, Bpk. Abdul Muthalib, 3Mei 2014, Keuchik Gampong Timang gajah, Bpk. Mohammad Asngad, 11 Mei 2014, dan Keuchik Gampong
Umah Besi, Bpk. Abdul Aziz, 11 Mei 2014) 99
Pasal 16, Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008,
http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdaceh009.pdf, (diakses pada 16 Juni 2014) 100
Wawancara dengan Keuchikgampong Lampulo, Banda Aceh, Alta Zaini, Senin, 19
Mei 2014. 101
In kracht berasal dari bahasa Belanda, Kracht berarti kekuatan, maksudnya
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan tetap, artinya segera setelah terhadap
keputusan itu tidak lagi terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga
untuk mengubah keputusan itu, seperti perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama
perkara itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu
keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap. Keputusan itu menjadi tetap dalam
hal setelah baik terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka masing-masing
menerima keputusan itu. (Lihat: Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
231 http://www.deskripsi.com/hukum/kracht, diakses pada 26 Januari 2014)
hukum adat di Aceh dilaksanakan dengan tertib. Pembekalan dan penerapan hukum
adat di Aceh dalam konteks kerjasama dengan aparat Polda Aceh telah dimulai
sejak tahun 2003. Hampir seluruh kabupaten melaksanakan peran peradilan adat.
Majelis Adat Aceh (MAA) bekerjasama dengan UNDP, telah memberikan
pembekala/simulasi, pengelolaan, dan adm inistrasi peradilan adat kepada
perangkat gampong, termasuk Tokoh-Tokoh adat perempuan. Pelaksanaan
peradilan adat juga bekerjasama dengan Polda Aceh/Polres bersama IOM dalam
hubungan POLMAS.
Ada beberapa pertimbangan mengapa peradilan adat harus berjalan
berdampingan dengan hukum positif, yaitu: pertama, salah satu persoalan besar di
bidang kesejahteraan rakyat pada level bawah, terutama di desa-desa adalah fakir
miskin, dan sulit mendapatkan akses keadilan dari adanya lembaga-lembaga
peradilan (khususnya dengan putusan yang adil, murah, cepat, dan sederhana);
kedua, mekanisme dan prosedur berat ringannya penanganan perkara beserta
jalannya prosesi penyelesaian di depan pengadilan, berdasarkan hukum
positif/formal menghabiskan waktu lama, mulai Pengadilan Pertama, Pengadilan
Tinggi, sampai Mahkamah Agung; ketiga, Adat istiadat Aceh telah membudaya,
bila ada sengketa dalam masyarakat dapat diselesaikan di gampong (desa) oleh
perangkat gampong; keempat, Peradilan adat disebut juga Peradilan Damai
bertujuan membangun keadilan; kelima, penerapan peradilan adat sangat
bersesuaian dengan nilai-nilai idealis falsafah Pancasila dan struktural UUD 1945
serta perjalanan historis kultur masyarakat dan Pemerintah Aceh, karena itu dalam
pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari Polda Aceh melalui Polmas dengan
kegiatan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dengan Masyarakat).114
D. Hambatan dan Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan
Adat
Secara regulasi, Aceh sudah memiliki syarat yang cukup untuk menerapkan
peradilan adat Gampong dan Mukim, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, yaitu pada UU Nomor 11 Tahun 2006, pasal 98 ayat 2, Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun 2008, bahkan Surat Keputusan bersama (SKB) antara Gubernur
Aceh, kapolda, dan Ketua MAA tentang penyelenggaraan Peradilan Adat gampong
dan Mukim. Meskipun peradilan adat telah diakui sebagai salah satu instrumen
114
Dalam peraturan kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2008 tanggal 13 oktober 2008
memberikan keleluasaan kepada masing-masing Polda untuk mengimplimentasikan Polmas
dengan pendekatan budaya setempat, maka Polda Aceh menyepakati pengintegrasian
Polmas dengan pendekatan budaya Aceh, khususnya melalui penitipan peran FKPM
kedalam Tuha peuet, Sarak Opat di Gayo dan Majelis Duduk Sekitar Kampung (MDSK) di
Aceh Tamiang atau nama lain. Lihat: Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia (Banda Aceh: Majelis Adat
Aceh), 2013, 150-152
85
memperoleh keadilan, namun banyak hambatan dalam implementasinya, antara
lain:115
Peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga professional yang
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim, akan tetapi dijalankan
oleh orang-orang tertentu yang di pandang memahami adat di dalam masyarakat
yang juga memiliki profesi/pekerjaannya sendiri-sendiri. Seorang hakim atau
pelaksana peradilan adat bukan orang yang menggantungkan hidupnya pada
bekerjanya peradilan adat, melainkan karena tanggungjawabnya di dalam
masyarakat. Hal ini dapat menghindari terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus
di peradilan adat. Untuk itu, pemerintah haruslah memperhatikan kesejahteraan
para pemangku adat, dan dana operasional pelaksanaan peradilan adat (acara
peradilan adat), karena peradilan adat dan lembaga adat sudah menjadi bagian dari
peradilan yang formal di Aceh, selain itu segala macam sarana dan prasarana yang
mendukung tegaknya peradilan adat juga harus diperhatikan116
Pada perakteknya,
pemerintah kurang memperhatikan dengan serius dalam mendukung tegak dan
berjalannya hukum adat. Hal tersebut terlihat bahwa di beberapa gampong di
pelosok Aceh belum mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, baik dukungan
moril dan materil dari pemerintah.
Kendala selanjutnya adalah tingkat pemahaman para tokoh adat terhadap
hukum adat masih kurang, hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya
pergantian kepala desa (keuchik gampong) menyebabkan pengangkatan keuchik
gampong baru dan belum faham secara detail tentang peradilan adat, khususnya
wewenang peradilan adat dalam menyelesaian sengketa, dan tata cara dan prosedur
yang sudah ditetapkan oleh Majelis Adat. pada satu sisi pemangku adat tersebut
tidak dapat disalahkan, karena itu sudah menjadi tanggungjawab bersama, bukan
hanya pemangku adat yang bersangkutan, akan tetapi juga tanggungjawab
pemerintah dalam membina, membimbing, dan mengawal para pemangku adat
dalam menjalankan tugasnya.
Kendala selanjutnya yaitu masyarakat masih ada yang belum memahami
tentang hukum adat itu sendiri, padahal kedudukan hukum adat sudah jelas
kedudukannya baik didalam undang-undang maupun didalam Qa>nu>n Aceh. Pada
kenyataannya beberapa masyarakat masih melaporkan perkara-perkara yang
menjadi wewenang peradilan adat Gampong kepada polisi setempat, hal tersebut
tidak lain adalah karena kurangnya kepercayaan mereka kepada pemangku adat
yang baru. Peradilan adat Aceh yang sudah dilegal formalkan dengan adanya
Peraturan Daerah (Perda/Qa>nu>n) merupakan salah satu bukti pengakuan hukum
adat dan lembaga adat. Peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan
115
Hambatan dan kendala tersebut adalah intisari dari wawancara dengan pemerintah
Adat, baik Pusat (Provinsi), maupun tingkat Gampong 116
Yance Arizona, ‚Kedudukan PeradilanAdat Dalam Sistem Hukum Nasional‛,
Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan
Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013,
Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
29 april 2014. Lihat juga: Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012), 23
mediator dicari atas dasar relasi hubungan (kekerabatan sosial) atau pengaruh
(ulama atau ureung tuha).119
Berikut adalah tahapan mediasi:
Bagan 5: Tahapan Mediasi120
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Pertemuan dengan Pertemuan dengan
pihak 1 Pihak 2
Penjelasan diatas adalah dasar dan tahapan mediasi secara prosedural.
Adapun pada kenyataannya tahapan mediasi yang terjadi di beberapa gampong
adalah proses mediasi dilakukan pada dua alur, yaitu: pertama mediasi oleh kepala
dusun (kadus) dan kedua oleh perangkat gampong.121
Alur tersebut dirumuskan
dalam bagan sebagai berikut:
119
Pembagian tugas tidak berbasis instruksi, akan tetapi berbasis kepada tawaran
peran dengan mempertimbangkan kepentingan satu gampong. (Wawancara dengan Sanusi
M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong
dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 120
Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012)
121Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014).
Pertemuan bersama dalam rangka menciptakan kesepakatan bersama yang telah dicapai dalam
tahap 1 dan 2
88
Bagan 6: Alur Mediasi
Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir
semua kasus dibawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus
terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan
jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri
korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian
untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan.122
Adapun
122
Hal ini sesuai dengan Program FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat)
dalam upaya memecahkan masalah untuk mencegah kejahatan yang terjadi di Gampong.
Lihat: Kesepakatan Bersama antara Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur Aceh,
Para Tokoh
(Mediasi)
Para Pihak
Yang
Bersengketa
Mediasi
Kepala Dusun 1
Keuchik
Majelis
Mediasi
Mufakat
Putusan
2
Para Pihak
Para Pihak
Perjanjian
3
Keterangan:
1. Apabila kepala dusun berhasil memediasi pihak yang
bersengketa, maka perkara tidak dibawa kepada keuchik
(biasanya perkara ringan)
2. Apabila keucik berhasil memediasi sendiri, maka
perkara tidak dibawa ke majelis bersama pemangku adat
(biasanya perkara ringan)
3. Apabila keuchik tidak berhasil mediasi, maka keuchik
mengadakan rapat internal dengan perangkat gampong
(tokoh adat yang lain) untuk diselesaikan secara bersama
dan musyawarah sesuai dengan prosedur yang berlaku
(sesuai dengan penjelasan diatas)
89
proses peradilan yang melibatkan perempuan bersifat tertutup dan harus dijaga
kerahasiaannya.
Ketua MPU Aceh, Ketua MAA Aceh, Rektor IAIN Ar Raniry, Presidium balai Syura
Ureung Inong Aceh, Ketua PWI Aceh, dan Ketua KNIP Aceh, tentang Penitipan Peran
FKPM ke dalam Tuha peuet/Sarak Opat/Majelis Duduk Sekitar Kampong Atau nama Lain.
Wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014)
90
91
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT YANG
BERSIFAT DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ISLAM
Hukum adat lahir dari keputusan masyarakat hukum, terutama kepala rakyat.
Para hakim yang merupakan wakil dan kepala rakyat bermusyawarah dalam
menentukan keputusan yang tepat dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Keputusan tersebut dirasa adil oleh masyarakat Aceh, hal ini terbukti
dengan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat dan tetap eksisnya
peradilan adat Aceh hingga akhirnya dilegal formalkan dengan dibuatnya
Perda/Qa>nu>n mengenai penyelesaian sengketa melalui peradilan adat. Untuk
membuktikan asumsi masyarakat tentang peradilan adat yang dianggap ‚adil‛ maka
akan diuraikan kasus-kasus adat Aceh yang putusannya berupa diyat, kemudian
dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk
positif di Indonesia dan hukum Islam.
A. Kasus Perusakan
1. Deskripsi dan Kronologi Kasus
a. Kasus Pelanggaran di Laut (Perusakan Boat):
Terdapat peraturan nelayan di Gampong Mekar Jaya (bukan nama asli), Kec.
Dua Kuala (bukan nama asli), Kab. Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, bahwa
nelayan dilarang menggandeng boat yang digunakan untuk menangkap ikan tiga
gandeng kesamping, karena akan memakan tempat, sehingga nelayan yang lain
tidak mendapat tempat untuk menangkap ikan disungai.
Sekira pada bulan Mei tahun 2013, terjadi perselisihan antara Harisun (bukan
nama asli, pihak pertama) dengan Ali akbar (bukan nama asli, pihak kedua). Pihak
pertama melanggar aturan tersebut. Adapun kejadiannya sebagai berikut:
Pihak pertama (harisun) sekira pukul 07.00 waktu setempat pergi melaut.
Tidak seperti hari biasanya, hari itu ia pergi pagi-pagi. Ketika sampai di sungai, ia
langsung menaiki boatnya dan menggandengkan boatnya tiga gandengan ke
samping. Perbuatannya itu tidak lain karena ia ingin mendapatkan hasil tangkapan
yang banyak, karena anak perempuannya sedang sakit, dan harus segera di obati.
Ketika boat milik pihak kedua lewat, maka sungai menjadi sempit, dan jangkar
pada boat milik pihak pertama menggores sisi boat milik pihak kedua dan
mengakibatkan kerusakan (kebocoran) pada boat milik pihak kedua.
Pihak kedua tidak jadi melaut dan pulang, kemudian melaporkan kejadian
tersebut kepada Keuchik. Karena permasalahan ini menjadi wewenang Panglima Laot, akhirnya Keuchik bersama Panglima Laot memanggil keduabelah pihak
sekembalinya pihak pertama melaut untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan
jalan musyawarah dan kekeluargaan.
Sekretaris Gampong segera mengagendakan sidang sehari setelah pelaporan dari
pihak pertama. Dalam sidang ini, turut hadir Keuchik, dua orang Tuha Peuet, dan
92
Panglima Laot. Perangkat Gampong dan Panglima Laot berperan sebagai mediator
dalam proses mediasi dan musyawarah antara kedua belah pihak1
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama
dengan sadar telah melanggar reusam 2 adat gampong Mekar Jaya terntang
peraturan laut. Alasannya adalah karena pihak pertama ingin mendapatkan hasil
melaut yang banyak pada hari itu, karena ia sangat membutuhkan penghasilan yang
besar untuk membiayai anaknya yang sakit. Akan tetapi tanpa ia sadari, apa yang
dilakukannya merugikan orang lain, dalam hal ini adalah pihak kedua.
Menimbang, bahwa antara pihak pertama dan pihak kedua sebelum terjadi
masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga
gampong Mekar Jaya. Keduanya sering pergi melaut bersama, karena pekerjaan
keduanya adalah nelayan.3
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena pihak
pertama dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus diberikan
ketentuan hukum adat yang sesuai.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak
hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut
korban sebagai orang yang dirugikan.4
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Panglima laout) sehari setelah kejadian
1Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya, Sekdes gampong Mekar
jaya (bukan nama asli) 2Reusam adalah aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau petunjuk-petunjuk adat
istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik (kepala desa) setelah mendapat persetujuan dari Tuha
Peuet gampong 3Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya (bukan nama asli)
4Pertimbangan adat alinea 4-7 adalah sama pada seluruh permasalahan. Hal ini sesuai
dengan wawancara pribadi dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, dan
Sanusi M Syarif, Kepala Bidang Evaluasi dan Pengembangan Gampong dan Mukim,
Beserta KeuchikGampong.
93
tersebut bertujuan untuk memulihkan luka pihak kedua dan keadilan bagi kedua
belah pihak serta masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Perdamaian antara keduabelah pihak
2. Perjanjian pihak pertama agar tidak mengulangi kesalahannya lagi
3. Pihak pertama mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:
a. Memperbaiki boat yang rusak
b. membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat
melaut untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) untuk mengganti uang bensin dan kerugian sehari
Putusan Adat:
1. Menyatakan Pihak Pertama Harisun sebagai terdakwa dan bersalah atas
tindakannya:
a. Melanggar peraturan adat laut yaitu menggandeng boat tiga
gandengan ke samping
b. Merusak boat milik pihak kedua Ali Akbar
c. Merugikan pihak kedua tidak melaut pada hari tersebut.
2. Hakim dan perangkat gampong telah mempertimbangkan kondisi pihak
pertama karena kealpaannya telah merugikan pihak kedua. Hal ini dikarenakan
pihak pertama sangat membutuhkan uang untuk biaya anaknya yang sakit.
Maka pihak pertama mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada pihak
kedua.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling memaafkan
sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
b. Bahwa pihak pertama berjanji kepada perangkat gampong dan kepada
pihak kedua untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
c. Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:
i. Memperbaiki boat yang rusak
ii. Membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat melaut
untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk
mengganti uang bensin dan kerugian sehari
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.5
b. Kasus Pelanggaran Hewan Ternak
Bertempat di gampong Tanjung Pinang (bukan nama asli), Kec. Meuriah Jaya
(bukan nama asli), Kab. Pidie Jaya, sekira pada bulan Mei tahun 2012, malam hari
seekor lembu milik Sarifuddin (bukan nama asli, pihak pertama), masuk ke sawah
dan memakan padi yang masih muda milik Hanafi (bukan nama asli, pihak kedua).
Hanafi, yang malam tersebut melewati sawahnya, segera mengambil lembu
tersebut untuk barang bukti. Keesokan harinya pihak kedua langsung melapor ke
5Wawancara dengan SekretarisGampong Mekar Jaya
94
Keuchik gampong. Keuchik gampong langsung menanggapi laporan tersebut. Ia
segera menghubungi dua orang Tuha Peuet gampong, babinsa dan kantibmas untuk
ikut serta pergi ke sawah milik korban dan melihat kerugian yang di derita oleh
korban.
Setelah datang di tempat kejadian, aparat gampong segera memanggil pemilik
lembu tersebut untuk di selesaikan dengan jalan musyawarah. Setelah Hanafi
datang, seluruh aparat gampong dan korban menjelaskan secara rinci pelanggaran
yang dilakukan oleh lembu milik Sharifuddin sehingga menyebabkan kerugian bagi
hanafi.
Sharifuddin mengakui keteledorannya karena tidak menjaga lembunya,
akhirnya ia bersedia untuk mengganti biaya kerugian yang di terima oleh
Sarifuddin. Setelah proses mediasi dan musyawarah, maka lahirlah sebuah
keputusan:
1. Pihak pertama dan kedua bersedia untuk didamaikan oleh perangkat
gampong dan berjanji untuk saling memaafkan satu sama lain
2. Pihak pertama membayar pupuk (2 sak) sebagai ganti kerugian pihak kedua
3. Pihak pertama berjanji untuk lebih intensif menjaga hewan ternaknya agar
tidak terjadi permasalahan seperti ini untuk kedua kalinya.6
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata penghancuran termasuk kata
benda yang bermakna proses, perbuatan, dan cara menghancurkan. Sedangkan
perusakan juga termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara
merusakkan.7 Yang dimaksud dengan penghancuran dan perusakan dalam hukum
pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan
tanpa mengambil barang itu. Menghancurkan berarti membinasakan atau
merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi. Adapun merusakkan
berarti membuat tidak dapat di pakai untuk sementara.8
Roeslan Saleh mengemukakan pada hakikatnya, sanksi pidana merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tindak hukum. Ia
juga mengemukakan bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang dapat
membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan
orang dapat diterima kembali dalam suatu masyarakat.9
6Wawancara dengan KeuchikGampongTanjung Pinang
7Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 507 dan 1234 8Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 429
9 Nyoman Serikat Putra Jaya, Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan
Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan
Universitas Pancasakti Tegal, tanggal 22 Agustus 2000,
http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-ki-fh-03.pdf, (diakses pada 30 Juni 2014).
kedepan (bagaimana memulihkan kembali kerugian korban, mendidik pelaku lebih
baik dan menjaga kemaslahatan masyarakat). Proses litigasi sejalan dengan aliran
retributivisme yang memandang pemidanaan sebagai pembalasan, dan efek
pencegahan pemidanaan tersisihkan.12
Penyelesaian sengketa adat Aceh melalui proses non litigasi memberikan
pencerahan baru bagi masyarakat bahwa beberapa sengketa dapat diselesaikan
melalui jalan damai dan musyawarah, karena pemidanaan sangat berfungsi dalam
memulihkan kerugian korban dan dalam meminta pertanggungjawaban pelaku.
Adapun permasalahan sengketa laut menjadi kewenangan pemerintahan
gampong,13
maka permasalahan ini diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di gampong setempat.
Dalam setiap putusan penyelesaian dikehendaki oleh adat agar berpedoman
pada hadih maja: ‚uleue bak mate ranteng bek patah‛ maksudnya adalah bahwa
setiap pelanggaran adat harus dihukum dengan sanksi yang setimpal, akan tetapi
harus diperhatikan pula agar jangan dengan hukuman itu merusak masyarakat
dalam lingkungannya. Terpenuhi atau tidaknya ajaran tersebut dalam membentuk
suatu putusan, tergantung kepada asas kerja yang digunakan dalam mengadili.
Dalam hal ini, seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus memenuhi tiga
asas kerja, yaitu rukun, laras, dan patut.14
Pemberian sanksi adat berupa permohonan maaf dan pembayaran diyat,
sudah tepat. Dalam hukum adat, permohonan maaf menjadi simbol pemulihan
kerusakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat antara keduabelah pihak, dan
sebagai wujud terjadi perdamaian antar para pihak. Adapun pemberian maaf dari
korban adalah simbol untuk menghilangkan rasa bersalah pada pelaku bahwa
kesalahannya sudah dimaafkan.
Pembayaran denda adalah simbol dari penegakkan norma hukum dan proses
pembinaan atas pelaku sengketa sehingga menjadi pelajaran bagi pelaku dan
masyarakat lainnya agar tidak melakukan kesalahan yang serupa. Hal ini semua
terwujud karena proses peradilan adat yang berpegang pada pendekatan
musyawarah mufakat dan perdamaian melalui proses mediasi.
Permasalahan perusakan yang dilakukan oleh hewan ternak pada kasus kedua
belum diatur didalam KUH Pidana, akan tetapi, pelanggaran tersebut termasuk
kedalam pelanggaran yang menjadi wewenang gampong untuk menyelesaikannya.15
Pemilik hewan ternak sudah mengakui kelengahannya dalam menjaga hewan
ternaknya pada malam hari sehingga mengakibatkan hewan ternaknya lepas dari
pengawasannya dan merusak tanaman milik pihak kedua. Pihak pertama sudah
meminta maaf adan bersedia untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak
12
Eriyantow Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum pidana (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), 34-36
13Lihat Kewenangan Peradilan Adat Menurut Qa>nu>n Aceh Nomor 9 tahun 2008,
point 11. 14
Teuku Moh. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 79
15Qa>nu>n Jinayah Nomor 09 Tahun 2008 (pelanggaran adat tentang ternak).
97
kedua sebagai bentuk tanggungjawab atas kesalahan dan kelalaian yang
dilakukannya.
Keputusan hakim (dalam hal ini Keuchik) memberikan diyat dan permohonan
maaf sudah tepat, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah masyarakat gampong
yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik itu tercermin pada
kebersamaan keduanya dalam setiap kegiatan, baik ketika pergi bertani, ataupun
mengikuti kegiatan gampong yang lain. Hubungan tersebut harus dijaga dan jangan
dihilangkan hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak
pertama.
Adapun sanksi adat denda baik pada kasus pertama dan kedua adalah hasil
pertimbangan fungsionaris adat beserta para pihak berdasarkan berat dan ringannya
pelanggaran adat.16
Kasus pertama diyat sebanyak Rp. 1.000.000 dan perbaikan
boat yang rusak adalah sesuai dengan kerugian korban selama sehari tidak melaut
(fungsionaris menghitung penghasilan korban per hari). Pada kasus kedua diyat adat
berupa dua sak pupuk adalah menurut pertimbangan kerugian korban untuk
memperbaiki padi yang masih dara, yaitu Keuchik beserta perangkat gampong yang
lain mengukur luas tanaman padi yang rusak.
Sanksi denda yang diberikan oleh perangkat gampong adalah wujud keadilan.
Para fungsionaris peradilan adat yang tidak memihak dapat menjadi penengah
dalam memusyawarahkan kerugian korban dan pertanggungjawaban pelaku,
sehingga dapat melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa. Asas peradilan
adat mufakat menjadi kunci keikhlasan dari keduabelah pihak, bahwa mereka
menerima keputusan yang diberikan dengan ikhlas dan sukarela.
Apabila kasus perusakan diselesaikan melalui proses litigasi, maka korban
lebih banyak menderita kerugian. Perhatian hanya akan diberikan kepada pelaku,
sedangkan kepentingan korban tidak diperhatikan, kerugian korban tidak
dibayarkan, bahkan korban harus membayarkan biaya pengaduan perkara kepada
peradilan, proses penyelesaian yang lama serta putusan hakim juga dapat menjadi
masalah baru bagi korban, karena bisa jadi keputusan hakim merugikan salah satu
pihak. Dengan demikian proses litigasi lebih memberikan dampak negatif bagi
kedua belah pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui peradilan adat pada kasus pertama
hanya membutuhkan waktu satu bulan dari mulai proses pengaduan sampai
keluarnya keputusan. Adapun pelaksanaan sanksi saling memaafkan dilakukan pada
sidang terakhir, dan pembayaran diyat diberikan waktu kepada korban selama tiga
bulan terhitung mulai keputusan tersebut dikeluarkan. Hal ini membuktikan bahwa
peradilan adat juga memperhatikan kesiapan pelaku dalam menyelesaikan
sanksinya. Adapun kasus kedua dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga
hari terhitung sejak pengaduan kasus kepada Keuchik. Adapun pembayaran diyat
dilakukan dihadapan para pemangku adat beberapa hari setelah dikeluarkan
keputusan. Hal tersebut membuktikan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur
16
Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 75
98
non litigasi tidak membutuhkan waktu yang lama, sesuai dengan salah satu asas
peradilan Adat Aceh, yaitu cepat, mudah, dan murah, karena dapat dijangkau oleh
masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan prosedurnya.
2. Analis Kasus Perspektif Hukum Islam
Tindakan Perusakan dalam Islam dikenal dengan ‚al Itla>f‛ 17., yaitu
mengeluarkan sesuatu dari kondisinya yang bisa dimanfaatkan dan digunakan
sesuai dengan fungsinya yang semestinya. Tindakan ini adalah penyebab yang
menetapkan keharusan tanggungan diyat, karena al itla>f adalah bentuk
pelanggaran yang menimbulkan kerugian.18
Hal ini sesuai dengan firman Allah QS
Albaqarah ayat 194.19
Penetapan kasus perusakan sebagai kasus kejahatan adalah
salah satu dari tujuan ditetapkannya syari’at Islam, yaitu ‚Hifz}u al Ma>l‛ atau
menjaga harta. Larangan perusakan ini sejalan dengan larangan pencurian20
dan
ghas}ab21
, karena kejahatan tersebut adalah merusak harta atau hak orang lain
dalam bentuk yang melanggar.22
Adanya adat laut dalam mengatur maslah pengelolaan sumber daya
kelautan di Aceh, merupakan suatu bukti betapa aspek keberlanjutan dalam
pembangunan pesisir sangat diperhatikan oleh masyarakat Aceh. Dalam sebuah
adat laut paling tidak mengatur tiga hal, pertama, masalah pengaturan alat
tangkap ikan dan wilayah, kedua, masalah pelaksanaan sosial, ketiga, masalah
aturan dan pelarangan yang disertai sanksi.23
Kasus Pertama, Di gampong Mekar Jaya yang sebagian besar
masyarakatnya adalah nelayan, dibuat sebuah reusam oleh Panglima Laot, Keuchik, dan perangkat gampong untuk kemaslahatan bersama. Tindakan yang
17
Kata-kata al-itla>f, al-ifsa>d dal alistihla>k memiliki makna dan esensi yang hampir
mirip dalam istilah fuqaha. Kata ini termasuk ke dalam cakupan yang lebih luas, yaitu al
dlarar yang berarti menimpakan kerusakan dan kerugian kepada orang lain, atau setiap
bentuk kekurangan atau cacat yang terjadi pada barang. 18
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4824 19
....
194. Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. 20
‘Abd al-Waha>b Al-Khala>f, Us}ul al-Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al
Isla>mi>yah)tt, 84 21
Yaitu mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan dilindungi, tanpa seizin
pemiliknya, dalam bentuk pengambilan yang menyingkirkan ‚tangan‛ (kekuasaan) si
pemilik harta itu. 22
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4825 23
M. Adil Abdullah, Sulaiman Tripa, dan Teuku Muttaqin, Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laut di Aceh, (Banda Aceh: Lembaga
hukum Adat Laut, 2006), 10
99
dilakukan oleh Harisun adalah sebuah pelanggaran, karena merugikan orang lain.
Proses mediasi dan musyawarah antara perangkat gampong dan kedua belah pihak
menjadi jembatan keutuhan persaudaraan antar keduanya. Kedua belah pihak
saling mengenal dekat, karena tinggal di satu gampong sejak puluhan tahun.
Sanksi adat minta maaf yang dikenakan kepada pihak pertama sangat tepat
sebagai simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi
perdamaian antara pihak.
Adapun sanksi diyat berupa memperbaiki boat yang rusak dan membayar
kerugian melaut pihak kedua Rp. 1.000.000, juga sangat tepat. Besarnya sanksi
tersebut adalah pertimbangan perangkat adat melihat kerugian pihak kedua. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Ibnu al Qayyim al Jauzi>yah dalam I’la>m al Mu>qi’i>n:
24أن مجيع ادلتلفات تضمن باجلنس حبسب اإلمكان مع مراعاة القيمة‚‛
Bahwa Setiap barang yang rusak ditanggungkan/digantikan sesuai dengan
jenis barang yang menyerupainya sedapat mungkin dengan mempertimbangkan
nilainya.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa seluruh kerugian akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang, sanksinya adalah menggantikan sesuai
dengan kerugian yang didapatkan dengan memperhatikan kesanggupan si pelaku.
Pemberian sanksi tersebut oleh perangkat gampong mengacu pada paradigma ta’zi>r, karena kejahatan merusak barang orang lain tidak termasuk kedalam hukuman hadd
dan qis}a>s}. Kasus perusakan ini sebenarnya telah terjadi pada masa Rasulullah,
dimana Aisyah, isteri Rasulullah menumpahkan makanan yang dibawa oleh Ummu
Salamah, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk mengganti sesuai dengan
kerusakannya.25
Dalam Us}ul Fiqh dikenal kaidah:
27الفرق يف ضمان ادلتلف بني العلم واجلاىل/ 26اإلتالف يستوي فيو ادلتعمد واجلاىل والناسي
24
Abu ‘Abdillah Ibnu al-Qayyim al- Jauzi>, I’la>m al-Mu>qi’i>n, juz 2 (Jami>’ al huqu>q
muta>hat li Jami>’ al Muslimi>n, 2010), Islamic Books, 227
أىدت بعض أزواج النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل النيب صلى اهلل عليو وسلم طعاما يف قصعة ، 25 طعام بطعام ، وإناء بإناء: فضربت عائشة القصعة بيدىا فألقت ما فيها ، فقال النيب صلى اهلل عليو وسلم
.(رواه البخاري والتميذ(
Lihat, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r al-S}an’a>ni>, Subul al-Sala>m Sharh Bulu>gh al-
mara>m, , Juz 2, Bab al Ghas}b, 101, http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,
diakases pada 20 Juni 2014 26 ‚Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama, Apakah Terjadi
Karena Kesengajaan, Ketidak Tahuan, Atau Karena Lupa‛, Lihat: Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir
al-Sa’di>>, al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 55-
‚Hukum perusakan adalah sama antara seseorang yang sengaja melaksanakannya,
dan orang yang tidak tahu, atau orang yang lupa/Tidak ada perbedaan dalam
jaminan barang yang dirusak diantara orang yang mengetahui dan orang bodoh‛
Kaidah ini memberikan patokan dalam perbuatan seseorang yang melakukan
perusakan, baik kepada jiwa ataupun harta orang lain. Kaidah ini juga menjelaskan
bahwa barangsiapa yang merusakkan barang orang lain tanpa alasan yang benar,
maka ia wajib mengganti barang yang ia rusakkan tersebut atau membayar diyat
kepada pemilik harta, sama saja apakah kerusakan tersebut terjadi karena
kesengajaan olehnya, atau karena tidak tahu, atau karena lupa.28
Tindakan al itla>f adalah sebab yang menetapkan adanya keharusan
tanggungan diyat, karena al itla>f adalah sebuah tindakan yang menimbulkan
kemudaratan. Hal ini sesuai dengan hadi>th: 29ال ضرر وال ضرار (Tidak ada kemudaratan
dan tidak boleh menimbulkan kemudaratan.)
Tidak ada perbedaan apakah pengrusakan (al itla>f) itu adalah secara langsung
ataupun tidak langsung (penyebab), yaitu melakukan suatu tindakan yang secara
tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusakan. Begitu juga dalam status
penetapan tanggungan diyat, tidak ada perbedaan antara apakah al itla>f itu
dilakukan secara sengaja maupun tidak, juga tidak ada perbedaan apakah pelakunya
(al-mutlif) sudah baligh atau belum, juga apakah ia mumayyiz atau tidak.
Berdasarkan kesepakatan keempat madzhab, al-mutlif baik secara sengaja ataupun
secara tersalah, pelaku sudah besar, masih kecil tetap harus menanggung diyat.
Adapun Ulama Maliki>yah membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz
dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Jika pelaku adalah anak kecil yang sudah
mumayyiz, maka ia dikenai diyat atas yang ia rusakkan, sedangkan anak kecil yang
belum mumayyiz, maka ia tidak terkena diyat apapun atas apa yang ia rusakkan,
baik berupa jiwa, maupun harta, begitu pula orang gila.30
Al-Zuh}ayli> mengatakan bahwa syarat-syarat penetapan tanggungan denda
karena tindakan al Itla>f yang berkonsekwensi adanya keharusan tanggungan denda
denda adalah;
1. Sesuatu yang dirusakkan adalah berupa harta, dengan demikian tidak ada
tenggungan diyat dalam kasus perusakan pada bangkai, darah, atau barang
lainnya yang menurut kebiasaan dan syara’ tidak dikategorikan sebagai
harta.
27
Ima>m Taj al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki>y (771), al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991) 277
28 Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir al Sa’di>>, Al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q
wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqîq: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-
Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 56 29
Ibn Rajab Al-Hanbali>, Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,
BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16 September 2014. 36
Ima>m Ta>j Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki> (771), Al-ashba>h Wa al Nadza>ir, (Beirut: Da>r al Kutib al ‘Ilmi>yah, 1991) 45. Lihat Juga: Abd al-
Rahma>n bin Abi Bakar al-Suyu>t}i, Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55
37Harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, seperti motor honda dibayar
maka pelaku menanggung dengan nilai harganya disesuaikan dengan nilai
harga pada waktu terjadinya pengrusakan.39
Apabila ditinjau dari ketentuan tersebut, maka diyat yang diberikan oleh hakim
berupa memperbaiki boat dan mengganti kerugian melaut selama sehari seharga Rp.
1.000.000,- sudah sangat sesuai dengan ketentuan tersebut dan kerugian korban.
Kerusakan boat mengakibatkan pihak korban tidak dapat melaut selama sehari,
maka Harisun harus mengganti kerugian korban, seperti, perbaikan boat yang
bocor, sebagian bahan bakar boat yang terbuang sia-sia, dan kerugian besar karena
korban tidak mendapatkan hasil laut selama sehari. Maka kalkulasi diyat tersebut
menutupi kerugian korban selama sehari tidak melaut.
Melihat ketentuan tersebut terdapat kesamaan antara penyelesaian sengketa
melalui peradilan adat di Aceh dengan penyelesaian sengketa melalui hukum Islam,
keduanya tidak hanya memperhatikan kepentingan pelaku sebagai pembalasan atas
kejahatan yang dilakukannya, tetapi juga memperhatikan kepentingan korban, yaitu
memulihkan kerugian korban. Penetapan sanksi merupakan hasil musyawarah
bersama, sehingga kedua belah pihak merasa rid}a dan rela atas keputusan hakim,
selain itu hubungan persaudaraan antar mereka kembali terbina.
Adapun kasus kedua, kerusakan yang disebabkan oleh hewan ternak, dalam
hal ini Rasulullah pernah bersabda:
أن ناقة للرباء دخلت حائط قوم فأفسدت فيو، فقضى رسول : "حديث حرام بن سعد بن حميصةاهلل صلى اهلل عليو وسلم أن على أىل األموال حفظها بالنهار، وما أفسدتو ادلواشي بالليل فهو ضامن على
40(رواه مالك و أمحد و أبو داود). أىلهاDari Hara>m Bin Sa’ad Bin Muh}ai>s}ah, dari ayahnya, bahwa: ‚Onta al barra’
masuk kedalam kebun seorang laki-laki lalu merusaknya. Kemudian Rasulullah
saw. Mewajibkan pemilik harta (kebun) agar menjaganya pada siang hari, dan bagi
pemilik hewan agar menjaganya pada malam hari.‛
Dalam riwayat lain Rasulullah pernah bersabda dengan mengungkapkan kata
‚ternak‛ untuk mengganti kata ‚onta‛. ‚Sesungguhnya pemilik hewan ternak
berkewajiban menjaga hewan ternaknya pada malam hari, dan bertanggungjawab
atas kerusakan yang diakibatkannya‛.
Suatu hukum diukur dari keumuman redaksi hadits, bukan dari kekhususan
sebab ( العربة بعموم اللفظ الخبصوص السبب) . Dengan demikian, kata ‚ternak‛ disini
mencakup kambing dan sapi.41
38
Harta yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada benda lain yang
serupa nilainya seperti emas, perak. 39
Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al
‘Ilmi>yah, 1997), 4836 40
Ahmad Bin ‘Ali> bin muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Hajar Al ‘Asqala>ni>,
kesejahteraan korban. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum adat di Aceh sudah
menyatu dengan hukum Islam, khususnya dalam penyelesaian kasus ini.
Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui ranah hukum Pidana Indonesia,
maka pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara selama dua tahun delapan bulan,
dan diyat Rp. 4.500. Pada hakikatnya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
dinilai oleh penulis tidak sepenuhnya tersalah, namun beberapa cara penyelesaian
bagi tindak pidana ringan butuh sebuah pembaharuan dan pengkajian ulang. Proses
pengaduan kasus, pertanggungjawaban pidana, sampai pemutusan perkara
seharusnya dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, motif
dari pelaku tindak pidana juga harus dipertimbangkan. Dalam kasus ini, pelaku
mengakui kecerobohannya itu dikarenakan ia panik karena anaknya yang sakit,
sehingga ia tergesa-gesa pergi melaut tanpa memikirkan perbuatannya dapat
merugikan orang lain. Jika kasus ini diselesaikan melalui proses litigasi, pelaku
dapat langsung dikenai hukuman atau sanksi seperti yang telah disebutkan, dan
kerugian korban mungkin saja tidak terbayarkan.
Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:
Tabel 3: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Pidana
Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Kasus perusakan Al Itla>f
Pelanggaran adat
Laut (perusakan
Boat)
Pelanggaran adat di
sawah (perusakan
tanaman oleh
hewan)
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
KUH Pidana Pasal 406
ayat 1 dan 2
Qs. Al baqarah
195
Qa‘idah
Fiqhiyyah
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Hukuman penjara
selama dua tahun
delapan bulan
Denda diyat Rp.
4.500
Denda sesuai
dengan kerugian
yang diderita oleh
korban
Permohonan maaf
Diyat sesuai
kerugian yang
diderita oleh korban
(kasus pertama RP.
1.000.000,- dan
kasus kedua 2 sak
pupuk
Proses
penyelesaian Formal dan
terstruktur
Perkara
diselesaikan
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
106
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya
mahal(tanggungan
korban)
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Penyelesaian cepat,
kasus pertama tidak
sampai satu bulan,
dan kasus kedua
diselesaikan saat
itu juga
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan pelanggaran adat laut yang dilakukan oleh Harisun karena ingin
mendapatkan hasil laut yang banyak menyebabkan kerugian bagi orang lain
sehingga pelaku berurusan dengan peradilan adat dan Orang Tuha Gampong. Proses
mediasi, musyawarah mufakat, dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat
gampong dan kedua belah pihak melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil
bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, pelaku harus meminta maaf dan membayar
ganti kerugian korban, dan memperbaiki kerusakan boat milik korban. Pemberian
maaf dari korban membuat pelaku malu dan berjanji untuk tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Ia sadar bahwa karena perbuatannya itu menyebabkan keutuhan
persaudaraan satu kampung yang selama ini mereka bangun dengan baik rusak
akibat kekhilafannya.
Adapun pelanggaran adat ternak milik Sarifuddin menyebabkan kerugian
bagi Hanafi. Proses mediasi dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat
gampong, babinsa, dan kantibmas melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil
bagi kedua belah pihak. Keputusan tersebut adalah, pemilik hewan ternak harus
meminta maaf kepada korban dan mengganti kerugian korban yang disebabkan oleh
hewan ternaknya, yaitu pembayaran diyat dua sak pupuk untuk memperbaiki
tanaman yang rusak. Keputusan tersebut diterima dengan besar hati oleh kedua
belah pihak, demi menjaga keutuhan persaudaraan mereka.
B. Kasus Pencurian
1. Deskripsi/Kronologi Kasus
a. Kasus Pencurian Tabung Gas
Pada bulan februari tahun 2012 bertempat di Gampong Sumber Sari (bukan
nama asli), Kec. Indah Jaya (bukan nama asli), Kab. Pidie telah terjadi pencurian
tabung gas 12 kg milik Rahmalena (bukan nama asli). Adapun Faisal (bukan nama
asli), warga setempat yang merupakan tetangga korban (kediaman pemuda tersebut
berjarak dua rumah dari kediaman korban) adalah pemuda berusia 13 tahun adalah
tersangka pelaku pencurian tabung gas. Tabung gas yang di ambil kemudian dijual
kepada kedai milik Rustam (bukan nama asli) di gampong Meunasah Jaya (bukan
nama asli). Hasil dari penjualan tabung gas tersebut digunakan untuk jajan dan
membeli keperluan lainnya. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa sebagai berikut:
Sekira pada bulan Februari tahun 2012, sekitar pukul 12.30 waktu setempat,
pelaku melintasi belakang rumah korban dan melihat ada tabung gas yang
diletakkan tepat di samping pintu rumah. Pelaku kemudian mengangkat tabung gas
107
tersebut dan didapatinya bahwa benda itu kosong. Akhirnya, timbullah keinginan
pelaku untuk mengambil barang tersebut. Pelaku kemudian meletakkan kembali
barang tersebut dan kembali kerumah. Sekiranya pukul 13.00 waktu setempat,
pelaku keluar rumah den kembali ke kediaman korban. Ketika melihat situasi aman
dan tidak ada yang melihat, ia langsung mengambil tabung gas tersebut, kemudian
menjualnya kepada temannya (Habib) di Gampong sebelah seharga Rp. 80.000. Ia
pun langsung membelanjakan uang tersebut Rp. 20.000 untuk jajan dan sisanya
dibawa kembali ke rumah.
Setelah shalat z}uhur (kira-kira pukul 13.30 waktu setempat), korban
mendapati tabung gasnya sudah tidak ada di tempat. Ia pun langsung melaporkan
peristiwa tersebut kepada kepala dusun untuk diselidiki lebih lanjut. Setelah
menerima laporan, kepala dusun (kadus) langsung melapor kepada
Keuchikgampong, agar masalah tersebut bisa langsung diselesaikan.
Sore harinya, sekira pukul 16.00 (bakda ashar waktu setempat) Keuchik
langsung mengumpulkan seluruh perangkat gampong untuk memusyawarahkan
permasalahan tersebut. Bakda maghrib perangkat gampong langsung membuat
pengumuman kepada seluruh masyarakat gampong tentang permasalahan tersebut.
Sekira pukul 20.00 (bakda isha waktu setempat), seorang warga melaporkan
kecurigaannya terhadap Faisal kepada Keuchik gampong, karena ia melihat Faishal
menjual tabung gas ke desa tetangga pada pukul 14.00 waktu setempat. Keuchik
langsung memanggil kedua orangtua Faishal bersama Faishal untuk ditanya dan
dimintai keterangan lebih lanjut. Akhirnya Faishal mengakui kesalahannya, karena
ia tidak diberikan uang jajan dari ibunya.
Setelah pengakuan itu, pelaku diamankan oleh perangkat gampong, yaitu di
tempatkan di kediaman kepala dusun Bahagia untuk menghindari kemungkinan
yang akan terjadi. Sementara itu, sekretaris desa mengatur jadwal sidang dan
musyawarah di meunasah keesokan harinya.
Keesokan harinya, seluruh perangkat gampong, beserta keduabelah pihak
berkumpul di meunasah untuk mengikuti persidangan adat dan musyawarah
penyelesaian secara damai. Keuchik selaku ketua peradilan dan pimpinan
pemerintahan meminta kedua belah pihak agar dapat menyadari pentingnya
kerukunan dalam masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh agama dan adat.43
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Sumber sari terntang peraturan perlindungan
harta benda. Alasannya adalah karena pelaku ingin memakai hasil penjualan tabung
gas tersebut untuk jajan dan membeli perlengkapan lain. Mengingat orangtua
pelaku sudah berpisah sejak tahun 2005, dan pelaku tinggal bersama Ibunya yang
bekerja sebagai petani sawah.
Menimbang, bahwa adanya pengakuan dari ibu pelaku bahwa pelaku masih
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Kelas Satu dan masih mampu untuk
43
Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk. Abdul
Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli)
108
mendidik anaknya, dengan pendidikan formal maupun pendidikan agama, maka
pelaku berhak untuk memperbaiki diri demi masa depannya, dan memberikan
kewenangan kepada Ibu pelaku untuk mendidik dan memperbaiki akhlaq dan
mental pelaku dengan pengawasan perangkat gampong.
Menimbang, bahwa antara orang tua pelaku dan korban sebelum terjadi
masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga
Gampong Sumber Sari Apalagi ibu pelaku sering pergi bertani dengan korban.44
Menimbang, bahwa anak belum mempunyai kematangan berfikir, sehingga
belum sepenuhnya mampu berfikir mana yang selayaknya yang tidak boleh dan
mana yang selakyaknya boleh dilakukan.
Menimbang, bahwa anak-anak masih mempunyai masa depan yang panjang
yang harus mendapat dukungan semua pihak untuk pencapaiannya. Kesalahan yang
dilakukan oleh anak kadang kala lebih disebabkan oleh kelalaian orang tua dalam
membina dan kelalaian pemerintah dalam menjaga kondisi lingkungan yang
kondusif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mental dan perilaku
anak.45
Menimbang, bahwa forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat gampong
(Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian tersebut
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling
memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
2. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama
mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang
sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia
3. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak
pertama sebesar Rp. 80.000. tanggungan diyat ini dibebankan kepada
ibu pelaku
4. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan
sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Faisal terbukti secara sah dan meyakinkan telah
melakukan ‚pencurian ringan‛
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pihak pertama jarang mendapatkan
uang jajan dari ibunya, sehingga pelaku khilaf dan mengambil tabung gas
korban untuk dijual. Hasil penjualan tersebut pelaku gunakan untuk jajan dan
membeli beberapa kebutuhan pelaku.
44
Pertimbangan adat adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk.
Abdul Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli) 45
Wawancara pribadi dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh,
Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
109
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Perangkat gampong, yang diwakili oleh hakim memberikan teguran
kepada Faisal agar tidak mengulangi kesalahannya lagi, juga kepada Ibu
Faisal agar lebih mendidik faisal dengan baik.
b. Perangkat gampong, yang diwakili oleh Tuha Peuet dan Imeum Meunasah menasihati Faisal tentang perilaku dan budi pekertii yang
baik, bahwa masa depan pelaku masih panjang, untuk itu, Faisal harus
memiliki perilaku dan budi pekerti yang baik. Hal tersebut tidak lain
hanya dengan menanamkan ajaran agama kepada pelaku. Nasihat ini
juga diberikan kepada Ibu pelaku.
c. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling
memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
d. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama
mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang
sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia
e. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak
pertama sebesar Rp. 80.000,- tanggungan diyat ini dibebankan kepada
ibu pelaku
f. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan
sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.46
b. Pencurian Buah Pokat
Deskripsi Kasus Adat
Pekerjaan sehari-hari masyarakat Bener Meriah adalah petani kebun. Ketika
musim panen, sekiranya pada bulan Mei tahun 2012, di gampong Darussalam
(bukan nama asli), Mukim Dayah Salam (bukan nama asli), Kec. Gajah Besar
(bukan nama asli), Kab. Bener Meriah, Nanggroe aceh Darussalam, Bpk. Abdul
Hakim (bukan nama asli) memanen buah pokat, sehingga mencapai beberapa
karung besar. Karena hari sudah sore, ia meletakkan karung-karung buah tersebut di
dalam saung di perkebunannya. Ia pun mengunci rapat saungnya. Keesokan harinya,
ia dapati bahwa hasil buah yang ia panen kemarin hilang satu karung. Pada hari itu
juga, ia langsung melapor kepada Keuchik setempat untuk diselidiki siapa yang
mencuri hasil panennya. Ia menyampaikan kecurigaannya kepada seseorang yang
sejak kemarin mengikutinya (seorang pemuda desa tersebut, Sarik (bukan nama
asli)).
Setelah menerima laporan tersebut, Keuchik langsung mendelegasikan tugas
kepada kepala dusun tempat Sarik tinggal untuk diselidiki lebih lanjut tentang
46
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Bukhari), Sekretaris Gampong
(bpk. Abdul Muthalib), dan Tokoh wanita (Ibu Zulaikha)
110
perkara yang dilaporkan oleh Bpk. Abdul hakim. Akhirnya, setelah di desak, Sarik
pun mengakui bahwa ia mencuri buah pokat milik Bpk. Abdul hakim, kemudian
dijual untuk membiayai keluarganya (Sarik adalah pemuda yang baru saja menikah
dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap). Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
sebagai berikut:
Sekiranya awal bulan Mei tahun 2012, Pelaku, Sarik melihat bahwa Abdul
Malik sedang memanen buah pokat diperkebunannya. Ia pun mendekati korban dan
memohon kepada korban untuk ikut membantu memanen. Korban yang sama sekali
tidak curiga kepada pelaku mempersilahkan pelaku untuk ikut membantu. Setelah
hari sore, pelaku dan korban berhasil memanen lima karung buah pokat. Ketika
korban ingin membawa keseluruhan buah itu, pelaku berkata bahwa lebih baik
karung-karung tersebut diletakkan saja di saungnya, kemudian dikunci rapat, karena
hari sudah sore dan tidak mungkin dibawa pulang ke rumah korban, mengingat
jarak antara perkebunan korban dengan rumah korban sekitar 2 Km. Pelaku
kemudian pamit untuk pulang terlebih dahulu. Sekira pukul 18.00, sebelum adzan
maghrib, pelaku kembali lagi ke perkebunan korban, dan didapati bahwa korban
sudah pulang. Ia pun langsung membuka gembok saung dengan kawat, kemudian
mengambil satu karung pokat milik korban. Kemudian, malam harinya, pelaku
langsung menjual satu karung buah pokat tersebut kepada Moh. Akbar yang
berprofesi sebagai penjual buah di pasar kota Bener Meriah seharga Rp. 4.500.000,-
uang tersebut di bawa pulang oleh pelaku.
Setelah mendapatkan keterangan yang pasti dari kedua belah pihak, akhirnya
Keuchik bersama perangkat gampong memanggil keduabelah pihak untuk
didudukkan bersama, dimediasi dan didamaikan, guna mencari penyelesaian
masalah yang terjadi. Keduabelah pihakpun bersedia untuk didamaikan. 47
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Darussalam tentang peraturan perlindungan
harta benda. Reusam tersebut dibuat atas kesepakatan seluruh warga dan perangkat
gampong. Alasan pelaku adalah karena pelaku ingin membiayai istrinya yang
meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah tangga. Mengingat pelaku
adalah pemuda yang baru saja menikah dan belum mempunyai pekerjaan tetap.
Pelaku melihat kesempatan untuk mengambil hasil panen buah pokat milik Bpk.
Abdul Hakim adalah jalan untuk mendapatkan uang.
Menimbang, bahwa, akibat perlakuan pelaku, korban mendapatkan kerugian
yang sangat banyak, yaitu satu karung buah pokat yang mana buah tersebut akan
dijual oleh korban untuk memenuhi kehidupan keluarganya sehari-hari.
Adapun kerusakan pada konci dan pintu saung korban juga merugikan
korban. Akibat perbuatan pelaku, maka saung milik korban tidak dapat di tutup
dengan baik, sehingga menghawatirkan korban akan kejadian yang serupa terulang
lagi.
47
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)
111
Menimbang, bahwa antara pelaku dan korban sebelum terjadi masalah ini
menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga Gampong
Darussalam. Mereka sering terlihat mengikuti kegiatan gampong bersama,
meskipun keduabelah pihak tidak tinggal dalam satu dusun, akan tetapi
persaudaraan mereka sudah terbangun sangat baik selama bertahun-tahun.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian
tersebut bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah
pihak dan masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan
kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban
2. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk
tidak ada dendam dikemudian hari
3. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)
kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.
Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung
buah pokat dan perbaikan konci saung korban
4. Pelaku berjanji untuk mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi
keluarganya agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi
5. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia
mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Sarik secara sah dan meyakinkan telah melakukan
kasus adat ‚Pencurian‛
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang
tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian
tersebut.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan
kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban
b. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk
tidak ada dendam dikemudian hari
c. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)
kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.
Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung
buah pokat dan perbaikan konci saung korban
d. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia
mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
112
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah
dengan perangkat gampong.48
c. Pencurian Kambing
Kasus Adat
Pada hari selasa, tanggal 19 bulan November 2013, Rizal Bakri (bukan nama
asli, pihak pertama) mencuri kambing milik Rahmania (bukan nama asli,pihak
kedua) dari kediamannya di gampong Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh
untuk dijual lagi. Setelah dua bulan, pencurian tersebut diketahui oleh pihak kedua
dari warga sekitar yang tinggal di dekat kekediaman pihak pertama (Pihak Pertama
tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, (bukan nama asli) Banda Aceh). Akhirnya
pihak pertama melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchikgampongnya
‚Baitussalam‛ (bukan nama asli).
Karena pihak pertama tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, Kec.
Baitussalam, Banda Aceh, sementara pihak kedua tinggal di gamponggampong
Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh, maka penyelesaian perkara ini
melibatkan perangkat gampong dari keduabelah pihak. Dihadapan
Keuchikgampong Tgk Nyak Intan, pihak pertama mengakui bahwaa dia telah
mencuri seekor kambing bandot milik pihak kedua. Kejadiannya adalah sebagai
berikut:
Pada hari selasa, tanggal 18 bulan November 2013, pelaku (Rizal Bakri)
pergi ke rumah korban untuk bersilaturrahim dengan korban. Pelaku, yang
merupakan saudara ipar korban (isteri pelaku adalah adik dari korban) mengaku
bahwa ia sedang membutuhkan uang untuk membeli beberapa perlengkapan rumah
tangga yang diminta oleh isterinya. Karena melihat korban memiliki kambing yang
berada di pekarangan belakang rumah korban, maka timbullah keinginan pelaku
untuk mengambil dan menjual kambing tersebut. Maka, pada tanggal 19 bulan
November 2013, pelaku melaksanakan keinginannya untuk mencuri. Sekira pukul
14.00 waktu setempat, dimana kediaman korban sepi, karena seluruh penghuni
rumah sedang keluar, pelaku berkunjung kerumah korban. Suasana sekitar rumah
yang sepi juga turut mendukung aksi pencurian korban. Akhirnya, korban berhasil
mencuri kambing dan membawanya keluar dari gampong sekitar pukul 14.30 waktu
setempat. Pelaku langsung membawa kambing itu ketempat penjualan hewan di
daerah Indrajaya, Aceh Besar. Ia langsung menjual kambing tersebut kepada Arif
Rahmat dengan harga Rp. 3.000.000,- Kemudian pelaku kembali ke rumah tanpa
rasa bersalah.
Korban baru menyadari kehilangan kambingnya pada keesokan harinya, 20
November 2013. Korban langsung melaporkan kejadian itu kepada
Keuchikgampong Nusa Indah untuk segera di proses.
Pencarian terus berlangsung, sampai dua bulan kemudian, sekira tanggal 2
Februari tahun 2014, Keuchikgampong Nusa Indah mendapat laporan dari
Keuchikgampong Babussalam bahwa ada warganya yang di curigai mencuri
48
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)
113
kambing milik warganya. Tersangka Rizal Bakrie dinilai oleh perangkat gampong
tidak memiliki pekerjaan tetap, akan tetapi bisa membelikan istrinya beberapa
peralatan rumah tangga. Akhirnya setelah di panggil oleh perangkat gampong
Babussalam, tersangka mengaku bahwa ia mencuri kambing milik kakak iparnya,
kemudian ia menjualnya di tempat penjualan hewan di daerah Aceh Besar.
Atas pengakuan dari pelaku, dan proses mediasi pertama oleh masing-
masing Keuchikgampong pada tanggal 4 Februari 2014, akhirnya korban bersedia
untuk menyelesaikan masalah secara adat dan damai.
Pada hari rabu, tanggal 5 Februari tahun 2014 bertempat dikediaman pihak
kedua, telah dilaksanakan perdamaian atas perkara tersebut, dan disaksikan oleh
para orang tua gampong dari keduabelah pihak. 49
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Nusa Indah Gampong Tgk. Nyak Intan
tentang peraturan perlindungan harta benda. Alasan pelaku adalah karena pelaku
ingin membiayai istrinya yang meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah
tangga. Mengingat pelaku belum mempunyai pekerjaan tetap. Pelaku melihat
kesempatan untuk mengambil kambing milik Saudara Iparnya, Rahmania adalah
jalan untuk mendapatkan uang. Meskipun demikian, pelaku mengakui kesalahannya
dan ingin bertaubat, maka setiap ummat Islam harus mendukung jika ada pelaku
kejahatan yang ingin bertaubat.
Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban mendapatkan kerugian
seekor kambing. Adapun pelaku adalah saudara ipar korban dan sebelum terjadi
masalah ini, hubungan antara keduanya sangat dekat, pelaku sering bersilaturrahim
ke rumah korban. Maka hubungan persaudaraan ini haruslah disatukan kembali.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.
2. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji
untuk memaafkan kesalahan pelaku.
3. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada
pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)
4. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,
baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang
lain.
5. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila
dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua
gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara
49
Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Keuchik gampong, (Bpk. Zainal
Abidin), dan warga (Ibu Yunia)
114
yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
6. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini
dilakukan
7. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah
perdamaian ini dilakukan.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Rizal Bakrie secara sah dan meyakinkan telah
melakukan kasus adat pencurian
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang
tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian
tersebut.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.
b. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji
untuk memaafkan kesalahan pelaku.
c. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada
pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)
d. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,
baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang
lain.
e. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila
dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua
gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara
yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
f. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini
dilakukan
g. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah
perdamaian ini dilakukan.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah
dengan perangkat gampong.50
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Pencurian adalah perbuatan mengambil milik orang lain tanpa izin dari
pemiliknya.51
Yang dimaksud perbuatan mencuri dalam hukum pidana adalah
50
Dokumentasi peradilan adat Gampong Nusa Dua Indah (bukan nama asli), Rabu,
tanggal 5 Februari tahun 2014, ditandatangani oleh kedua belah pihak, Keuchik Gampong
dan Sekretaris Gampong)
115
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.52
Mengenai tindak pidana
pencurian, hukuman yang berlaku menurut KUHP adalah pasal 362-367.
Pasal 362: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 363: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,
huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. pencurian pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan
tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak
diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5. pencurian yang masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada
barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat
dengan memaki anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
(2) jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Pasal 364: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak duaratus lima puluh rupiah53
Adapun jika pelakunya adalah anak dibawah umur, maka ketentuannya diatur
dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang Peradilan Anak dan UU RI No.
23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.54
51Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 319 52KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 149 53
Apabila dilihat dari ketentuan pasal 364, batas pencurian ringan adalah tidak lebih
dari dua puluh lima rupiah. Melihat penyesuaian yang terjadi pada masa sekarang,
Mahkamah agung membuat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2012, tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, yaitu pada BAB I Pasal (2) Apabila nilai
barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal
205-210 KUHAP 54
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
116
Tindakan mencuri sebagaimana telah disinggung sebelumnya, termasuk
kedalam tindak pidana kejahatan terhadap harta benda, diantaranya diatur pada
pasal KUHP adalah pasal 362-367. Adapun jika pelakunya adala anak dibawah
umur, maka ketentuannya diatur dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang
Peradilan Anak dan UU RI No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.
Apabila dirinci lebih lanjut, delik pokok didalam pasal 362 KUHP terdapat
beberapa unsur, yaitu paertama adalah unsur-unsur obyektif, meliputi: mengambil55
,
barang/ benda56
, seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain57
. Kedua adalah
unsur-unsur subyektif yaitu dengan maksud memiliki58
dan secara melawan
hukum59
.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka pidana penjara yang dapatdijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10
(sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum
mencapai umur 12(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati
atau pidana penjara seumurhidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat
dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak
diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah
satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, www.bpkp.go.id, diakses pada 30 Juni
mengambil barang seseorang secara sembunyi-sembunyi. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka rukun mencuri ada empat hal; pertama mengambil secara sembunyi;
kedua harta milik orang lain; ketiga, sebuah harta; dan ada unsur sengaja. Al-Zuhayli> menambahkan rukun barang yang dicuri adalah berada ditempat
penyimpanan.70
Apabila seluruh unsur tersebut terpenuhi, maka baginya ditetapkan
hukuman hadd, hal ini termaktub dalam firman Allah Qs. Al Maidah ayat 38.71
Diantara alasan Islam menetapkan hukuman tersebut adalah perlindungan yang
nyata terhadap tatanan moral, dan kebaikan serta membasmi kejahatan dan perkara
yang tercela, adapun tindakan pencurian adalah salah satu peerbuatan tercela yang
merugikan orang lain.
Penegakkan hukuman hadd pencurian memiliki beberapa syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi. Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat-syarat pelaku pencurian, yaitu syarat al-ahli>yah (kelayakan dan
kepatutan) untuk dijatuhi vonis hukum potong tangan, yaitu berakal, baligh,
melakukan pencurian atas kemauan dan kesadaran sendiri (tidak dipaksa), dan
mengetahui bahwa hukum mencuri adalah haram. Ulama maliki>yah menambahkan
syarat lain, yaitu pelaku pencurian bukanlah orangtua dari sikorban pencurian72
, si
70
Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 5422, Lihat juga: „Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al wad}‘i > juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 518
71
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 72
Dalam hal ini rasulullah Saw bersabda dalam hadits jabir ra. Yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah: أنت ومالك ألبيكArtinya: ‚Kamu dan Hartamu adalah untuk orangtuamu.
123
pencuri melakukan aksi pencuriannya itu tidak karena terpaksa melakukannya
karena lapar. Ulama Hanabilah menambahkan syarat lain yaitu si pencuri
mengetahui barang yang dicurinya dan mengetahui bahwa ia diharamkan untuk
mengambilnya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan terhadap apa yang
ada dalam dugaan orang mukallaf (baligh berakal).
Syarat-syarat barang yang dicuri, yaitu:
1. Sesuatu yang dicuri harus berupa harta yang memiliki nilai (mutaqwwim).
Ulama Hanafiah mensyaratkan harta yang memiliki nilai adalah bahwa harta
yang dicuri harus harta yang dianggap berharga bagi masyarakat pada umumnya
dalam suatu komunitas. Adapun Ulama Shafi’i>yah, Maliki>yah dan Hana>bilah
berpendapat bahwa harta yang bernilai adalah harta yang berharga dan dihormati
(muhtaram).
2. Harta yang di curi harus mencapai batas nis}ab pencurian.73
3. Barang yang dicuri dapat dipindahkan. Harta yang dapat dipindahkan adalah
harta yang dapat dikeluarkan dari h}irznya, dan dipindahkan dari tangan
korban kepada tangan pencuri.
73
Fuqaha berbeda pendapat seputar kadar nis}ab pencurian. Ulama Hanafi>yah
berpendapat, kadar nis}ab pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham. Hal ini
berdasarkan hadits: ال قطع فيما دون عشرة دراىم Artinya: Tidak ada potong tangan dalam
kasus pencurian yang masih dibawah sepuluh dirham (HR. Ahmad) Di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi bernama Nas}r Ibnu Bab, Ia adalah seorang perawi yang dimasukkan
kedalam kategori perawi d}aif oleh jumhur, sementara imam Ahmad menilai bahwa ia adalah
perawi la> ba’tsa bihi. Dalil kedua adalah hadits: وكان ال تقطع يد السارق إال يف ن ادلجنن Artinya: Tangan seorang pencuri tidak dipotong kecuali dalam يقوم يومئذ بعشرة دراىم
pencurian seharga sebuah perisai, waktu itu sebuah perisai ditaksir nilai harganya adalah
sepuluh dirham. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Abdullah Ibn Amr ra.
Sementara Jumhur dari Ulama Maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa nis>ab pencurian adalah seperempat dinar atau tiga dirham syar’i murni, atau yang
senilai dengan itu. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Malik,
Bukhari, Muslim, Al Tirmidzi, al nasa>i, Abu Daud, dan Ibn Ma>jah: دينار تقطع اليد يف ربع
Artinya: Tangan seorang pencuri dipotong dalam kasus pencurian seharga فصاعدا
seperempat dinar keatas. Hadits kedua adalah: رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قطع يف جمن نو أن Artinya: Rasulullah memotong tangan dalam kasus kejahatan pencurian berupaثالثة دراىم
sebuah perisai seharga tiga dirham. (HR. Bukhari, MuslimAbu Dawud, al Nasa>’i>, dari Ibnu
Umar ra.)
Sumberperbedaan pendapat antara ulama Hanafi>yah dengan Jumhur adalah
penaksiran nilai harga perisai yang si pencurinya di potong tangannya oleh Rasulullah Saw.
Namun, melihat hadits yang ada, pendapat jumhur lebih kuat karena didukung oleh hadi>th
sahih. (matan hadi>th dapat dilihat pada hadith no 1684, 1685, 1866, dan 1687, Ima>m Abi al-
Husain Muslim Bin al Hajja>j al-Qushairi> al-Naisa>buri> (261), Shahi>h Muslim (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003), 667
124
4. Sesuatu yang dicuri harus berupa sesuatu yang memang disimpan dan dijaga
(unsur al h}irz).74
Dalil persyaratan yang telah disepakati ulama empat mazhab adalah hadi>th:
اجلرين، فإذا آواه يؤويو حىت وال كثر، ر يف ال قطع": وروي عنو عليو الصالة والسالم أنو قال 75(رواه الدرقطين)ويف رواية فإذا أواه ادلراح أو اجلرين . القطع اجلرين ففيو
‚Tidak ada hukuman potong tangan (karena mencuri) buah kurma dan katsar hingga
buah itu diletakkan didalam al jari>n (keranjang pengeringan). Apabila buah itu
telah diletakkan didalam al jari>n, lalu ada orang yang mencurinya, maka ia dijatuhi
hukuman potong tangan.‛ Dalam sebuah riwayat disebutkan: apabila telah
diletakkan dalam al mura>h (kandang) atau al jari>n‛ (HR. Al Da>ruqut}ni>)
Ulama sepakat bahwa tempat penyimpanan harta (h}irz) ada dua macam:
pertama, al h}irz bi al nafsi atau al h}irz bi al maka>n yang yaitu setiap tempat yang
disediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda., serta dilarang
memasukinya kecuali harus dengan izin, seperti rumah, toko, gudang, dan lain
sebagainya. Munurut Ima>m Shafi‘i> dan Ima>m Ahmad yang dimaksud dengan al
h}irz bi al maka>n adalah seluruh tempat yang tertutup yang disediakan untuk
menyimpan harta di dalam kekuasaan seseorang. Adapun menurut Abu Hani>fah h}irz
bi al maka>n adalah setiap tempat yang disiapkan untuk menyimpan harta yang
dilarang untuk memasukinya, meskipun pintunya terbuka atau tertutup.76
Kedua, al-h}irz bi al-ha>fid} atau al-h}irz bi al-g}air, yaitu setiap tempat yang
tidak di sediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda,
siapapun buleh masuk kedalamnya tanpa izin. Seperti masjid, lapangan, dan lain-
lain, ini adalah pendapat abu Hani>fah. adapun Ulama yang tiga berpendapat sama
namun tempat-tempat tersebut dapat menjadi al h}irz bi al maka>n dan dapat menjadi
al h}irz bi al h}a>fid} .77
5. Sesuatu yang dicuri berupa benda yang bisa disimpan dalam jangka waktu
lama dan tidak cepat rusak atau busuk.78
74
Secara bahasa al h}irz adalah tempat menyimpan sesuatu sedangkan menurut syara’
adalah sesuatu yang biasanya didirikan untuk menjaga dan menyimpan harta, seperti rumah,
toko, kemah, dan orang. Adapun Ulama empat mazhab sepakat bahwa al h}irz dikembalikan
sesuai adat kebiasaan yang berlaku. 75
Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi> al-Najdi>, Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad bin Su’u>d, tt),
diakses pada 3 Juli 2014. Lihat juga: Fida> Fat}hi Shatha>ni>, al-Tat}bi>qa>t al-Mu’a>s}irah li Sharti al-Hirzi fi> al-Sari>qah, 8, http://faculty.yu.edu.jo, diakses pada 4 Juli 2014.
78Maksudnya adalah buah-buahan, sayuran, dan lain sebgainya. Namun, ulama
maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hukum potong tangan
Tanda seorang anak sudah dikatakan baligh adalah pertama, bagi perempuan
keluarnya haid} dan bagi laki-laki sudah bemimpi, adapun batasan umurnya adalah lima
beelas tahun.bagi laki-laki dan perempuan. Mengenai batasan umur, Rasulullah SAW.
Bersabda:
عرضين رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يوم أحد يف القتال وأنا ابن أربع عشرة سنة، فلم جيزين، وعرضين يوم .وىذا لفظ مسلم) متفق عليو. (اخلندق وأنا ابن مخس عشرة سنة، فأجازين
Artinya: ‛Rasulullah SAW menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika
itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian
beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai
lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku‛. Nafi' (perowi hadits ini) berkata : "Aku
menghadap ‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z, pada saat itu beliau menjabat sebagai kholifah, lalu
aku menceritakan hadits ini, lalu beliau (‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z) berkata : "Sesungguhnya
ini adalah batas antara orang yang masih kecil dan sudah dewasa". (Shohih Bukhori,
no.2664 dan Shohih Muslim, no.1868) (Lihat: Siroj Munir, Batasan Umur Balig} laki-laki
dan Perempuan, Dalil, dan hikmahnya, Fiqih Kontemporer, Artikel, Senin, 14 Januari 2013,
ma’mu>mah yaitu luka yang menembus hingga ke selaput otak; kesebelas, luka
da>mighah, yaitu luka yang menembus selaput otak hingga ke otak.
Adapun Ulama Maliki>yah membuang luka nomor dua, yaitu luka da>mi’ah,
dan menyebut luka nomor satu dengan da>myah, kemudian luka nomor dua ha>ris}ah, luka nomor tiga simha>q, luka nomor enam malt}a>t}, dan mengkhususkan luka
ma’mu>mah dan da>mighah hanya untuk luka di kepala, sedangkan yang lain untuk di
kepala dan pipi. Ulama Sha>fi’i>yah dan Ulama Hana>bilah juga membuang luka
nomor dua. Mereka menyebutkan luka nomor satu kha>ris}ah. Lima luka pertama,
didalamnya tidak ada ursh yang telah ditetapkan oleh shara’, dan hanya ada
huku>mah al ‘adl. Diantara jenis luka jira>h, yaitu pelukaan pada bagian tubuh selain kepala dan
wajah, dibagi kepada dua macam, yaitu ja>ifah dan non ja>ifah. Luka ja>ifah yaitu luka
yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada rongga perut, penggung
janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau dubur, atau
tenggorokan, sedangkan luka non ja>ifah yaitu luka yang tidak sampai kebagian
dalam dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan, dan kaki.124
Pada kasus pertama, termasuk kedalam penganiayaan yang mengakibatkan
luka memar pada pipi korban. Dalam Islam, luka tersebut masuk kedalam kasus
shajjah (pelukaan pada kepala dan muka) dengan bentukh}a>risah (luka lecet namun
tidak sampai ada darah yang nampak). Adapun pada kasus yang kedua termasuk
kedalam kejahatan Shajjah, h}a>risah, dan luka jira>h bukan ja>’ifah yaitu penganiayaan
mengakibatkan luka (lecet) pada kepala bagian belakang korban, dan luka (lecet)
pada pundak korban. Sedangkan kasus ketiga adalah termasuk kedalam kejahatan
Jira>h luka ja>’ifah, yaitu luka tusukan pada perut korban sedalam kuranglebih lima
sentimeter.
Hukuman yang ditetapkan bagi kejahatan kasus pertama dan kedua adalah
huku>matu-l-‘adl (diserahkan kepada kebijaksanaan hakim) berdasarkan hadits
Rasulullah saw.125
Hal ini dikarenakan luka h}a>risah termasuk kedalam luka ringan,
pada tingkatan ketiga dibawah luka muwad}ihah.126
Adapun hukuman bagi kasus
ketiga, ulama berbeda pendapat: hanafi>ah mengatakan bahwa tidak ada qis}a>s} dalam
kasus kejahatan terhadap fisik berupa jira>h apabila korban tidak meninggal dunia.
Karena didalamnya tidak memungkinkan untuk melakukan pembalasan yang sama
dan sepadan. Sementara Maliki>ah mengatakan bahwa hukuman qis}a>s} diterapkan
dalam kejahatan terhadap fisik berupa jira>h sengaja, selama memang
memungkinkan untuk dilakukannya pembalasan yang sama dan sepadan serta tidak
Pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu
dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan(suami atau istri yang
154
laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh
perkawinan. Akan tetapi, menurut pasal 284 tersebut zina adalah persetubuhan
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan
atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Dalam hukum Islam, kasus asusila disebut dengan zina. sedangkan khalwat
adalah was}ilah atau jalan/peluang untuk terjadinya zina. Menurut qa>nu>n jinayah
Aceh nomor 14 Tahun 2003, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang
bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.136
Larangan khalwat adalah
pencegahan dini dari perbuatan zina.137
Pelarangan khalwat ini sesuai dengan hadits
Rasulullah138
dan Firman Allah QS Al Isra> ayat 32.139
Peneliti di Universitas Valencia menegaskan bahwa seorang yang berkhalwat
dengan wanita menjadi daya tarik yang akan menyebabkan kenaikan sekresi
hormon kortisol. Kortisol adalah hormon yang bertanggung jawab terjadinya stres
dalam tubuh. Meskipun subjek penelitian mencoba untuk melakukan penelitian atau
hanya berpikir tentang wanita yang sendirian denganya hanya dalam sebuah
simulasi penelitian. Namun hal tersebut tidak mampu mencegah tubuh dari sekresi
hormon tersebut. Berikut adalah terjemahan dari tulisan Abd al daem Al-
Kaheelterkait bukti ilmiah bahaya berkhalwat dengan yang bukan mahram
‚Cukuplah anda duduk selama lima menit dengan seorang wanita. Anda akan
memiliki proporsi tinggi dalam peningkatan hormon tersebut‛. Hormon kortisol
sangat penting bagi tubuh dan berguna untuk kinerja tubuh tetapi dengan syarat
dikhianati pasangannya). Ketentuan mengenai kejahatan zina yang dilakukan oleh laki-
laki/perempuan yang belum menikah tidak di atur dalam KUHP, akan tetapi sudah masuk
kedalam RUU KUHP Pasal Pasal 483 ayat (1-4). 136
Qa>nu>n provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,
http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11 Agustus 2014. 137
Hal ini sesuai dengan qa’idah sad al-dzari>‘ah " منع الوسائل ادلؤدية إىل ادلفاسد: سد الذريعة"
maksudnya adalah bahwa sad al dzari>‘ah adalah larangan terhadap perantara yang menuju
kepada kerusakan. Dalam hal ini, perbuatan khalwat adalah perantara kepada sebuah
kerusakan, yaitu perbuatan zina yang di larang oleh Allah SWT. (Lihat: Kha>lid ‘Ali>
Sulaima>n bani> Ahmad, Qa>‘idah Sadd al-Dzari>’ah wa Atha>ruha> fi> Man’i Wuqu>’i Zina> wa
Tat}bi>qa>tiha> al-Mu’a>s}irah, Majallatu ja>mi’at al-Dimashqa li al-‘ulu>m al-Iqtis}adi>ah wa al-Qa>nu>ni>ah, Mujallad 25, Al ‘adad al tsa>ni>, 2009, 716,
http://www.damascusuniversity.edu.sy/mag/law/images/stories/705-742.pdf, diakses pada
15 Juli 2014) هما، اهلل رضى عبباس ابن وعن 138 ال : وسلبم، قال عليو رسو ل اهلل صلبى اهلل أنب عن
)رواه البخاري ومسلم). حمرم ذى مع إالب بإمراة أحدكم خيلونب Artinya: Dari ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ‚Janganlah
sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain,
kecuali disertai muhrimnya‛. (HR. Bukhari dan Muslim)
139
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
tersebut agar fahri dan reni tidak terjerumus kedalam perangkap syetan.
Sebagaimana yang tertulis dalam hadits dari Abdullah ibn Mas’ud bahwa bagi
seseorang pemuda yang sudah mampu, maka diwajibkan baginya untuk menikah,
karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.145
Maka, pernikahan bagi Fahri dan Reni adalah lebih baik, agar keduanya terhindar
dari dosa zina. Melihat bahwa Reni sering sekali mendatangi kediaman Fahri
sehingga membuat masyarakat sekitar curiga, dan ditakutkan mereka melakukan
hubungan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Adapun hukuman menyembelih seekor kambing beserta beras dan bumbunya
adalah untuk membayar luka masyarakat dan gampong karena sudah tercoreng oleh
perbuatan yang mencemarkan nama baik gampong dan masyarakat, melanggar
kesopanan dan kepantasan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.
Yaitu melakukan khalwat dengan seseorang yang bukan mahram didalam rumah.
5. Perbandingan Antar Perspektif
Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara
khalwat dapat diselesaikan dengan proses musyawarah dan jalan damai, sehingga
menghasilkan keputusan bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Pelanggaran khalwat menurut adat Aceh adat termasuk pelanggaran berat, karena
bukan hanya kedua belah pihak yang menjadi korban, akan tetapi masyarakat satu
gampong menjadi korban. Masyarakat Aceh percaya bahwa apabila terjadi
hubungan perzinaan disuatu tempat, maka masyarakat sekitar akan terkena dosa
dari perbuatan tersebut, sehingga keberkahan tidak akan sampai pada mereka.
Hukuman untuk menikahkan kedua belah pihak adalah dinilai sangat tepat agar
kedua keluarga terhindar dari fitnah. Adapun untuk menutup malu masyarakat
maka diberikan hukuman juga menyembelih seekor kambing beserta beras dan
bumbunya sebagai wujud permohonan maaf kepada masyarakat.
Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui peradilan adat, maka apa yang
dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak termasuk kedalam perbuatan yang
melanggar hukum. Perbuatan melanggar kesopanan yang melanggar hukum yang
diatur dalam KUHP adalah, Pasal 281 tentang perbuatan merusak kesopanan
dimuka umum, dan pasal 284 tentang perzinahan yang dilakukan oleh seseorang
yang sudah menikah. Pada pasal 281 disebutkan bahwa seseorang dapat dihukum
apabila ia terbukti melanggar kesopanan di depan umum. Seperti berhubungan
dengan nafsu kelamin dihadapan umum. Adapun yang dilakukan oleh keduabelah
pihak adalah di tempat kediaman laki-laki, dan bukan ditempat umum, sehingga
apa yang dimaksud dalam pasal 281 tidak termasuk didalamnya, sedangkan Pasal
284 juga tidak termasuk didalamnya, karena kedua belah pihak adalah belum
يا معشر الشبباب من استطاع منكم الباءة ف ليت زوبج، ومن يستطع ف عليو بالصبوم فإنبو لو وجاء 145
Artinya:‚Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung
nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena
itu akan menjadi tameng syahwat baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)
158
menikah, jadi tidak ada yang dirugikan, dengan demikian, kasus khalwat
diselesaikan melalui peradilan adat. Berikut adalah tabel perbandingan antara
penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:
Tabel 6: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Pencurian Menurut
Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara
Pelanggaran
asusila/ kesopanan
didepan umum
Khalwat Khalwat/meusum
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan perkara
Tidak ada UU
yang
mengaturnya
Qa>nu>n Aceh
Nomor 14 tahun
2003 tentang
Khalwat meusum
Qs. Al Isra>: 32
Hadits Riwayat
Bukhari dan
Muslim tentang
khalwat
Kaidah Sadd al Dzari>‘ah
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil Keputusan/
Sanksi
Cambuk paling
tinggi 9 kali
Diyat minimal
Rp. 2.500.000,-
maksimal Rp.
10.000.000,-
Hadd bagi pelaku
perzinaan
Ta’zi>r
Permohonan maaf
Dinikahkan
Menyembelih satu
ekor kambing
beserta bumbunya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang
lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggunga
n korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
kurang dari satu
bulan
Biaya murah
Kesimpulan
Apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah sebuah pelanggaran adat
tentang kesopanan dan kepantasan bagi masyarakat Aceh. Dalam hal ini,
masyarakat menjadi korban, maka dari itu mereka diberikan hukuman membayar
diyat menyembelih seekor kambing masing-masing satu ekor dan menyerahkan
beras beserta bumbunya kepada gampong untuk dibagikan kepada masyarakat
sebagai penebus rasa bersalah dan memperbaiki nama gampong yang sudah
159
tercemar. Selain itu, mereka berdua juga dinikahkan agar terhindar dari kejahatan
zina yang sangat dilarang oleh agama Islam.
D. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada
Kasus Yang bersifat Diyat
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan
sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek
kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus
operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang
ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat
atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan
yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 7: Ringkasan Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan
Adat Pada Kasus Yang Bersifat Diyat
Perihal Kasus Perusakan Kasus Pencurian Kasus Penganiayaan Kasus Asusila Pelaku 1. Harisun
2. Sarifuddin
1. Faisal (13 th)
2. Sarik
3. Rizal Bakri
1. Rahmat Ali
2. Moh. Arsyad
3. Hamdan
1. Rani
2. Fahri
Jenis
Kelamin
1. Laki-Laki
2. Laki-Laki
1. Laki-laki
2. Laki-Laki
3. Laki-Laki
1. Laki-laki
2. Laki-Laki
3. Laki-laki
1. Perempuan
2. Laki-Laki
Kondisi
Pelaku
1. Pelaku adalah
nelayan di
gampong Mekar
Jaya
2. Pelaku adalah
seorang petani
sawah
1. Pelaku adalah siswa
kelas 1 SMP
2. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
3. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap
1. Warga gampong
Baroe yang bekerja
sebagai petani sawah
2. Pelaku adalah warga
gampong Sukadamai
yang bekerja sebagai
petani
3. Pelaku adalah warga
gampong Mekar Ayu
yang bekerja sebagai
petani kebun
Keduanya warga
gampong Omah
Raja Yang sudah
saling suka sejak
duduk di bangku
SMA. Sekarang
keduanya adalah
mahasiswa
disalah satu
perguruan Tinggi
di banda Aceh
Kondisi
Keluarga
1. Kondisi ekonomi
tergolong cukup
2. Kondisi ekonomi
tergolong cukup
mampu dan
keluarga
harmonis
1. Kedua orangtua
berpisah, ibu pelaku
bekerja sebagai
petani, ia kurang
mendapatkan
perhatian dari
orangtuanya, juga
keadaan ekonomi
keluarga yang masih
minim
2. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap, barusaja
Pelaku kasus pertama
dan kedua memiliki
kondisi ekonomi
keluarga yang cukup,
harmonisasi dalam
keuuarga juga cukup
baik.
Keadaan ekonomi
keluarga pelaku kasus
ketiga kurang baik,
sehingga pembayaran
sebagian tuntutan
Keluarga dari
keduabelah pihak
adalah keluarga
yang religius.
Kedua orangtua
pelaku sangat
kaget ketika
mendengar
perbuatan
anaknya.
Merekapun
merasa malu atas
apa yang telah
160
menikah, sedangkan
keadaan ekonomi
keluarga kurang
3. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap, sebagai
kepala keluarga
merasa memiliki
tanggungjawab yang
besar untuk
memenuhi kebutuhan
keluarganya.
ditanggung oleh
perangkat gampong
dengan sukarela.
dilakukan oleh
anaknya
Kondisi
Gampong
1. penduduk
setempat
mayoritas adalah
penduduk asli,
yang sangat
berpegang teguh
kepada hukum
adat, dan sangat
menjaga
kerukunan hidup
bermasyarakat
serta sangat
percaya kepada
perangkat
gampong dalam
menyelesaikan
sengketa, hanya
sebagian kecil
pendatang
2. Penduduk
setempat
mayoritas adalah
penduduk Aceh
asli, yang sangat
menjaga
kerukunan hidup
bermasyarakat
1. Penduduk setempat
mayoritas penduduk
Aceh asli, hanya
sebagian kecil
pindahan dari
gampong lain,
adapun pekerjaan
sebagian penduduk
adalah bertani dan
nelayan
2. Penduduk adalah
mayoritas
transmigran dari
Jawa. Sebagian besar
penduduk adalah
petani kebun
3. Penduduk setempat
adalah suku Aceh
asli, beberapa adalah
pendatang dari
beberapa kabupaten,
mengingat Banda
Aceh adalah Ibukota
NAD, maka banyak
pendatang, yang
tinggal disana.
Sebagian masyarakat
bekerja sebagai
pegawai kantor dan
pedagang.
1. Penduduk setempat
mayoritas penduduk
asli, yang memiliki
pekerjaan sebagai
petani sawah
2. Penduduk setempat
adalah mayoritas
penduduk asli yang
memiliki pekerjaan
sebagian besar
sebagai petani sawah
dan nelayan
3. Penduduk setempat
sebagian besar
adalah transmigran
dari jawa, pekerjaan
mereka adalah petani
kebun
Gampong Omah
raja adalah
salahsatu dari
sekian gampong
di Aceh yang
sangat
menjunjung
tinggi Shari’at
Islam serta
nilai-nilai adat
istiadat.
Penduduk
sekitar adalah
masyarakat
Aceh asli yang
berasal dari
berbagai
kabupaten di
Aceh,
mengingat
bahwa Banda
Aceh Ibukota
NAD, maka
gampong Omah
raja menjadi
tempat tinggal
sementara bagi
pendatang yang
belajar dan
bekerja dari
daerah lain
161
Jenis
Tindak
Pidana
1. Perusakan
2. Perusakan oleh
hewan ternak
1. Pencurian tabung
gas
2. Pencurian hasil
kebun (buah pokat)
3. Pencurian binatang
ternak (kambing)
1. Penganiayaan
kepada
keujruenblang
2. Penganiayaan selisih
paham setelah
pemilu
3. Penganiayaan akibat
perebutan lapak
penjualan durian
Khalwat/Meusu
m
Pasal Yang
disangkaka
n Terhadap
pelaku
Qa>nu>n Aceh Nomor
9 Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008 Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Modus
Operandi
1. Harisun
menggandengkan
boatnya tiga
gandeng
kesamping
sehingga
membuat sungai
semakin sempit,
ketika boat milik
korban (Ali
akbar) lewat,
jangkar pada boat
milik Harisun
menggores sisi
boat milik Ali
Akbar dan
mengakibatkan
kerusakan
(kebocoran bagi
boat milik Ali
Akbar
2. Pada malam hari,
lembu milik
Sarifuddin masuk
ke sawah milik
Hanafi dan
memakan padi
yang masih dara.
1. Faishal mengambil
tabung gas milik
rahmalena pada
siang hari ba’da
dhuhur kemudian
menjualnya kepada
temannya di
Gampong sebelah
seharga Rp. 80.000,-.
Kemudian ia
membelanjakan uang
tersebut Rp. 20.000,-
untuk jajan dan
sisanya dibawa
kerumah
2. Sarik mengikuti dan
membantu korban
Abdul Malik yang
sedang memanen
buah pokat
diperkebunanya,
ketika hari sudah
sore dan korban
sudah kembali,
pelaku langsung
mengambil dua
karung buah pokat
kemudian dijual ke
pedagang buah di
pasar setempat.
3. Pelaku Rizal Bakri
adalah keluarga
korban, ia pergi
1. Rahmat Ali
mendapat giliran
pengambilan air pada
pagi hari, namun ia
tidak hadir tanpa
alasan. Kejruenblang
memberikan jatah air
itu kepada Rusman
(jatah siang). Ketika
Rahmat Ali datang
ia merasa marah dan
langsung memukul
wajah kejruenblang,
akhirnya terjadi
perkelahian antar
keduanya
2. Setelah kegiatan
pemilu legislatif,
pelaku mendapat
kabar bahwa partai
yang didukungnya
kalah karena
kecurangan panitia.
Korban yang
menjadi panitia di
tempat kejadian
langsung menjadi
amukan pelaku.
Pelaku pengambil
bangku dan
memukul badan dan
kepala korban, ia
membalas perlakuan
Hari itu Rani
datang ke
kediaman Fahri.
Tetangga yang
kerap curiga
akan
kedatangan
mereka
langsung
berjaga dan
mengintip ke
jendela kamar
Fahri. Setelah
itu didapatinya
Rani dan Fahri
sedang
berciuman.
Kejadian itu
langsung
diabadikan oleh
saksi yang
mengintip
peristiwa
tersebut. Saat
itu juga rumah
Fahri digerebeg
oleh masyarakat
setempat, dan
keduanya
dibawa dan
162
kerumah korban
untuk
bersilaturrahim
dengan korban. Ia
melihat bahwa
korban memiliki
kambing bandot
yang diletakkan
dipekarangan rumah
korban. Pada siang
hari pertengahan
bulan november,
pelaku berhasil
mencuri kambing
tersebut kemudian
kambing tersebut
dibawa ke Indrajaya,
Acehbesar. Ia
menjual kambing
kepada Arif Rahmat
seharga Rp.
3.000,000. Pelaku
diketahui dan
ditangkap
dikediaman pelaku
oleh
Keuchikgampong.
pelaku dan terjadi
perkelahian.
3. Hamdan mendatangi
lapak milik
Shyahputra dan ingin
mengambil alih
lapaknya karena ia
merasa bahwa ia
juga warga gampong
Mekar Ayu dan
memiliki hak untuk
mencari nafkah
disana, mengingat
bahwa lapak tersebut
berada diatas tanah
milik gampong.
Korban tidak mau
menyerahkan dan
pelaku langsung
memukul kepala
korban dan langsung
mengeluarkan pisau
kemudian menusuk
perut korban.
dilaporkan
kepada
Keuchikgampong. Untuk
menghindari
kemarahan
warga,
keduanya
diamankan di
kediaman salah
satu kadus,
sementara
Keuchik
menghubungi
orangtua
keduabelah
pihak.
Motivasi
Melakukan
Tindak
Pidana
1. Ingin mendapat
hasil tangkapan
ikan yang banyak
dan hasilnya
untuk membiayai
pengobatan
anaknya yang
sedang sakit.
2. Pelaku lalai
dalam menjaga
lembunya, dan
keluar dari
pengawasannya
dan merusakkan
sebagian padi
yang masih dara
milik Hanafi.
1. Ingin memakai hasil
penjualan tabung gas
untuk jajan dan
membeli
perlengkapan lain.
2. Ingin membiayai
istrinya yang
meminta uang untuk
membeli
perlengkapan rumah
tangga.
3. Ingin membiayai
istrinya untuk
membeli
perlengkapan rumah
tangga.
1. Pelaku kesal dengan
korban karena
mengganti jadwal
pembagian air tanpa
sepengetahuan
pelaku
2. Pelaku kesal dan
menuduh korban
(panitian pemilu
legislatif) melakukan
kecurangan
3. Pelaku ingin merebut
lapak penjualan
durian yang berada
diatas tanah umum
(milik gampong).
1. Keduanya
melakukan
perbuatan
tersebut
dengan sadar
atas dasar
suka sama
suka tanpa
paksaan
siapapun
Akibat
yang
ditimbulka
n oleh
perbuatan
pelaku
1. Menyebabkan
kerusakan dan
kebocoran pada
boat milik korban
(Ali Akbar)
2. Pemilik lembu
1. Korban kehilangan
tabung gasnya dan
tidak bisa memasak
untuk beberapa
waktu
2. Pelaku diperiksa dan
1. Pelaku diamankan
oleh masyarakat
setempat dan
dilaporkan kepada
Keuchikgampong.
Korban menderita
Kediaman Fahri
digerebeg oleh
masyarakat
gampong
kemudian
keduanya dibawa
163
dilaporkan oleh
korban, dan
lembu tersebut
diamankan
sebagai barang
bukti karena
telah memakan
padi yang masih
dara milik Hanafi
sehingga
tanamannya
menjadi rusak
sebahagian
diamankan
dikediaman kepala
dusun. Korban
mengalami kerugian
hasil panen Rp.
5.000.000,- serta
kerusakan pintu
saung.
3. Pelaku diperiksa oleh
Keuchik, dan
diamankan
dikediaman Keuchik.
Korban mengalami
kerugian Rp.
3.000.000,-
loka memar dibagian
wajah, tepatnya di
pipi kanan korban.
2. Korban terluka
dibagian pundak dan
kepala, sehingga
korban merasa
kesulitan untuk
menjalankan
aktifitas sehari-hari
3. Pelaku diamankan
oleh warga. Pelaku
sempat dilaporkan
oleh keluarga korban
ke polres Bener
Meriah, namun
polres setempat
mengembalikan
perkara kepada
perangkat gampong.
Korban menderita
luka tusuk dibagian
perut sekitar lima
centimeter, dan
merasa kesulitan
untuk menjalankan
aktifitas sehari-hari
ke kuechik
setempat dan
dilaporkan oleh
warga dengan
memperlihatkan
barang bukti
tersebut. Akibat
perbuatan pelaku,
kehormatan
masyarakat
gampong merasa
tercoreng,
beruntung pelaku
tidak diadili oleh
masyarakat
gampong, karena
masyarakat sudah
sepakat untuk
menyelesaikan
setiap masalah
dengan damai.
Tuntutan
keluarga
Korban
1. Pelaku harus
memperbaiki
boat yang rusak
dan membayar
biaya kerugian
(diyat) kepada
pihak kedua
sebesar Rp.
1.000.000,-
2. Membayar pupuk
2 sak sebagai
ganti kerugian
pihak kedua
1. Meminta maaf,
teguran kepada
pelaku dan ibu
pelaku, menyerahkan
kepada ibu pelaku
untuk mendidik
pelaku dengan baik,
orang tua mengganti
penjualan tabung gas
seharga Rp. 80.000,-
2. Meminta maaf,
mengganti kerusakan
pintu saung korban,
dihukum sesuai
dengan reusam
gampong hasil
kesepakatan bersama
3. Meminta maaf,
mengembalikan uang
hasil penjualan
kambing bandot Rp.
3.000.000,-
1. Permohonan maaf,
pelaku membayar
diyat kepada
gampong 40 are dari
hasil panennya,
karena korban adalah
salahsatu perangkat
gampong, surat
perjanjian
2. Permohonan maaf,
membayar diyat Rp.
3.000.000,- untuk
biaya pengobatan
dan kerugian korban,
peringatan pertama
dan surat perjanjian.
3. Permohonan maaf,
diyat sebesar Rp.
3.000.000,- untuk
biaya pengobatan
dan kerugian korban,
peringatan pertama
dan surat perjanjian
Masyarakat
sebagai korban
meminta agar
keluarga korban
memperbaiki
kehormatan
masyarakat yang
sudah tercemar
dengan perbuatan
kedua anak
mereka.
Masyarakat
meminta agar
keduanya
dinikahkan segera
mungkin agar
tidak timbul
fitnah
164
bagi kedua belah
pihak
Reaksi
Masyaraka
t
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya kepada
perangkat gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya kepada
fungsionaris gampong
1. Petani sawah yang
berada di TKP
langsung melerai
perkelahian dan
membawa kedua
belah pihak kepada
Keuchikgampong
2. Kasus kedua dan
ketiga masyarakat
langsung melerai
perkelahian dan
membawa korban ke
puskesmas
sedangkan pelaku
diamankan di
kediaman
Keuchikgampong
Putusan
Aparat
penegak
Hukum
1. Permohonan
maaf, perbaikan
boat yang rusak,
pembayaran diyat
Rp. 1.000.000,-,
dan surat
perjanjian
2. Perdamaian dan
permohonan
maaf, diyat 2 sak
pupuk, surat
perjanjian
1. Permohonan maaf,
nasihat dan teguran
kepada korban dan
ibu korban, diyat
sebesar Rp. 80.000,-
surat perjanjian
2. Permohonan maaf,
perbaikan pintu
saung korban, diyat
Rp. 5.000.000,-,
peringatan pertama,
surat perjanjian
3. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
peringatan pertama,
surat perjanjian.
1. Permohonan maaf,
diyat 40 are hasil
panen diserahkan
kepada gampong,
dan surat perjanjian
2. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
dan surat perjanjian
keduabelah pihak
3. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
, setengah nominal
dibayarkan oleh
perangkat gampong
karena pelaku
merasa tidak mampu
membayarkan,
peringatan pertama
dan surat perjanjian,
peusijuek oleh
korban setelah
korban sembuh
dengan disaksikan
perangkat gampong.
Pelaku dan
kedluarganya
harus meminta
maaf kepada
masyarakat,
pelaku harus
menikah secara
agama keesokan
harinya dan
secara resmi
pada lusa
harinya. Kedua
keluarga
membayarkan
Rp. 1.500.000
beserta bumbu,
dan beras untuk
menyembelih
seekor kambing
dan diserahkan
kepada warga
dusun gampong
tempat kejadian
sebagai simbol
permohonan
maaf pelaku.
165
Pertimban
gan
Putusan
1. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, serta
pengampunan
dari korban,
maka keputusan
fungsionaris
gampong adalah
sesuai dengan
tuntutan dan
hasil musyawarah
bersama antara
korban dan
pelaku,
mengingat bahwa
pelaku
melakukan itu
karena terpaksa
agar
mendapatkan
hasil yang banyak
untuk membiayai
pengobatan
anaknya yang
sakit, serta kedua
belah pihak
adalah warga
yang rukun
sebelum
terjadinya
perselisihan
tersebut.
2. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, serta
pengampunan
dari korban,
maka keputusan
fungsionaris
gampong adalah
pelaku harus
mengganti
kerugian korban
dan berjanji
untuk menjaga
hewan ternaknya
dengan lebih
1. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, dan
pengampunan
pelaku, ibu pelaku
mendapatkan
tanggungjawab yang
besar untuk
memperbaiki pelaku,
ibu pelaku juga
berjanji untuk
memenuhi segala
kebutuhan pelaku
dengan baik.
2. Korban memilih
untuk menyelesaikan
sengketa melalui
jalan kekeluargaan
dengan perangkat
gampong. Korban
juga sudah
memaafkan pelaku,
karen hubungan
antara keduanya
sangat baik, korban
juga menyadari
bahwa pelaku
melakukan hal itu
dengan terpaksa.
Proses mediasi dan
musyawarah berhasil
mendamaikan
keduabelah pihak.
3. Korban memaafkan
pelaku, ia menyadari
bahwa pelaku
melakukan itu
dengan terpaksa.
Pelaku juga
mengakui
kesalahannya dan
berjanji untuk
mengganti semua
kerugian serta
mencari pekerjaan
yang layak untuk
membiayai
kehidupan
1. Korban memaafkan
pelaku karena korban
juga merasa bersalah
karena mengambil
keputusan tanpa
memberitahu pelaku,
namun pelaku tetap
dihukum karena
telah memulai
membuat
pertengkaran di
sawah. Pelaku
berjanji untuk tidak
mengulangi
kesalahannya lagi.
2. Pelaku telah
mendapatkan maaf
dari korban akibat
kesalahpahaman
tersebut. Hal ini
terjadi karena proses
mediasi dan
musyawarah yang
dilakukan oleh
perangkat gampong.
Pelaku mengakui
kesalahannya dan
berjanji untuk tidak
melakukan
klesalahan yang
serupa lagi.
3. Korban memaafkan
pelaku karena korban
juga merasa bersalah
karena telah
mengambil alih
lapak dan tidak mau
berbagi, sementara
lapak adalah milik
umum (milik
gampong). Aparat
gampong yang turut
andil dalam masalah
ini juga merasa
bersalah karena
pembagian lapak
penjualan belum
diatursecara optimal,
sehingga terdapat
Setelah proses
mediasi dan
perdamaian
antara
masyarakat
gampong dan
keluarga pelaku,
orang tua pelaku
merasa bersalah
karena telah
lalai menjaga
anak mereka.
Orang tua
mereka bersedia
untuk
menikahkan
mereka berdua
sebagai wujud
permohonan
maaf mereka.
166
intensif setelah
kejadian ini.
keluarganya. Proses
mediasi dan
musyawarah
membuat suasana
peradilan menjadai
dingin.
warganya yang
bertengkar dan
berebut lapak
tersebut.
167
BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ACEH MELALUI MEDIASI PADA
KASUS YANG BERSIFAT BUKAN DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF,
DAN HUKUM ISLAM
Putusan adat Aceh ada yang berupa denda dan juga bukan denda. Pemberian
keputudan tersebut sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dan
kerugian korban. Seperti yang telah diuraikan pada bab empat tentang penyelesaian
kasus yang putusannya berupa denda, maka pada bab ini akan diuraikan kasus-kasus
adat Aceh yang putusannya bukan denda, kemudian dianalisa dan dijelaskan
bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk positif di Indonesia dan
hukum Islam.
A. Kasus Asusila Perzinaan
1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus
Pada hari senin, tanggal 11 November 2013, sekira jam 16.30 WIB, datanglah
Robi (bukan nama asli), wiraswasta asal Meulaboh, Aceh Barat, ke kediaman Oriza
(bukan nama asli), di gampong Mekar Sari (bukan nama asli), Banda Aceh, yang
mana dirumah kebetulan sedang ada Khairunnisa yang sedang belajar. Kira-kira
pukul 17.00 Khairunnisa pergi membeli nasi, sedangkan Oriza dan Robi sedang
berdua dirumah. Sambil menonton tv, tangan Robi memegang tangan Oshica, dan
terus menciumnya. Kemudian Robi membuka celana Oriza dan terjadilah hubungan
intim. Sesudah terjadi hubungan intim, Robi pun keluar rumah.
Pada tanggal 12 November 2013, sekitar pukul 20.00 Robi kembali datang
kerumah Oshica, sehingga membuat kecurigaan warga. Kemudian pukul 22.30
WIB, mereka berdua ditemukan warga didalam rumah sedang berduaan tanpa ada
orang lain selain keduanya. Akhirnya merekapun dibawa kerumah kepala dusun,
kemudian diarak ke meunasah gampong Mekar Sari untuk dimintai keterangan
lebih lanjut. Mereka berdua diamankan oleh perangkat gampong di rumah salah
satu kadus dan fungsionaris gampong untuk menghindari kemarahan warga
setempat.
Pada tanggal 13 November 2013, diadakan musyawarah gampong yang terbuka
untuk umum, untuk membahas kesalahan mereka. Kasus perzinaan yang dilakukan
oleh Robi dan Oriza merupakan kasus berat di gampong. Perangkat gampong
akhirnya membuat keputusan, yaitu mereka dikeluarkan dari gampong Mekar sari
dengan pemberitahuan kepada keluarga kedua belah pihak.1
Pertimbangan Hukum Adat
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama
dengan sadar telah melanggar reusam adat gampong Mekar Sari tentang peraturan
asusila. Secara sadar kedua belah pihak telah melakukan hubungan intim suka sama
suka, sedangkan keduanya bukan sesama mahrom.
1Kronologi kasus disarikan dari wawancara dengan keuchik gampong yang
bersangkutan dan dokumentasi adat gampong., dan Dokumentasi peradilan adat 13
November 2013, ditandatangani oleh Keuchik gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua
kedua belah pihak
168
Menimbang bahwa saat melakukan perbuatan perzinahan tersebut
keduanya melakukan atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan dari siapapun.
Keduanya juga sadar bahwa apa yang dilakukannya itu melanggar shari>‘at Islam
dan juga melanggar reusam gampong.
Menimbang, kedua belah pihak bukanlah warga asli gampong Mekar Sari.
Keduanya adalah pendatang yang sedang tinggal di gampong Mekar Sari karena
alasan pekerjaan dan sekolah.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena
keduabelah pihak dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus
diberikan ketentuan hukum adat yang sesuai.2
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik, namun karena kesalahan ini merupakan kesalahan terberat dan
menyangkut nama baik gampong, maka keputusan terberatpun harus diambil oleh
fungsionaris gampong untuk memperbaiki kembali nama gampong yang sudah
tercemar
Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak
hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut
korban sebagai orang yang dirugikan.
Keputusan Peradilan Adat
Menyatakan bahwa keduabelah pihak telah melanggar reusam adat gampong
yaitu melakukan perzinahan, maka keduanya diberikan hukuman dikeluarkan dari
gampong Mekar Sari dengan memberitahu kepada keluarga kedua belah pihak.3
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Zina menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan
bersenggama yang tidak sah antara laki-laki dan perempuan.4 Kasus perzinaan
masuk kedalam kasus asusila sebagaimana telah dibahas pada penyelesaian kasus
khalwat/meusum pada bab ke-4 dalam pembahasan tesis ini. Pelanggaran kesusilaan
termasuk dalam KUHP dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan
kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.5
Adapun
pelanggaran zina diatur dalam pasal 284 yang berbunyi:
2Pertimbangan adat ini sama untuk semua penyelesaian kasus adat (wawancara
dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh, Selasa, 29 April
2014) 3Dokumentasi peradilan adat 13 November 2013, ditandatangani oleh Keuchik
gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua kedua belah pihak 4Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 1633 5Diantara perbuatan yang termasuk kedalam kejahatan kesusilaan:
169
‚ Diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan :
1. a. seorang pria telah nikah yang melakukan zina, padahal diketahui, bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya.
b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui
bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya.
b. seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu
padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal
27 BW berlaku baginya‛.6
Pada ayat (2) : ‚tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga
bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena
alasan itu juga.‛
Pasal 27 BW mengatakan bahwa orang laki-laki hanya boleh menikah
bersama seorang perempuan, dan orang perempuan hanya boleh menikah dengan
seorang perempuan secara bersaman. Mereka yang tunduk dengan pasal ini baik
laki-laki maupun perempuan tidak boleh bersetubuh dengan orang lain, selain
dengan istri atau suaminya sendiri.7
Dari rumusan ketentuan Pasal 284 KUHP tersebut maka unsur-unsur
perzinahan adalah sebagai berikut: adanya persyaratan telah menikah; adanya
pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar; dan si penzinah harus mengetahui
bahwa pasangannya terikat perkawinan.8 Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP,
apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum menikah dan melakukan
hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan
sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, ketentuan
Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan peluang
kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-
masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain
a. Pasal 281-283 yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno
b. Pasal 284-289 tentang zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan
cabul dan hubungan seksual
c. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur
d. Pasal 299 tentang perbuatan yang berhubungan dengan pengobatan untuk
menggugurkan kandungan
e. Pasal 300 tentang perbuatan memabukkan
f. Pasal 301 tentang menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya
g. Pasal 302 tentang penganiayaan hewan
h. Pasal 303 dan 303 bis tentang perjudian 6KUHP dan KUHAP (Jakarta: Pustaka Raya, 2011), cet.1, 117-122 7R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 209 8R. Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 300-
303
170
Melihat pasal 284 KUHP tersebut, maka kasus Robi dan Oriza tidak dapat
dikategorikan sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum, hal ini
membuktikan bahwa KUHP kurang memperhatikan nilai-nilai kesusilaan, karena
masyarakat Indonesia kuhususnya masyarakat adat di daerah manapun sangat
menjunjung tinggi masalah kesopanan dan kesusilaan. Apabila terjadi kasus
perzinaan, maka pelaku perzinaan pasti akan di cemooh, atau di asingkan dari
masyarakat. Hal ini berbanding terbalik dengan peraturan yang ada di Republik
Indonesia, untuk itu perlu diadakan perubahan bagi peraturan Hukum Pidana
Indonesia.
Dalam Rancangan Undang-Undang KUH Pidana baru sudah memuat
mengenai perzinahan dalam pasal 483 yang mengatur bahwa tidak hanya yang
sudah berkeluarga yang dikenai sanksi melainkan yang belum ada ikatan pernikahan
dikenai sanksi jika terbukti melakukan perbuatan zina. Kemudian dalam pasal 487
mengatur mengenai hidup besama atau lazimnya orang awam menyebut kumpul
kebo dikenai sanksi.9
Penyelesaian sengketa adat perzinaan yang dilakukan oleh pelaku Robi dan
Oriza sesuai dengan hukum adat sudah tepat. Hukum adat Aceh yang mengandung
tidak hanya norma-norma adat, namun juga norma agama, norma kesusilaan, juga
norma budaya menetapkan perbuatan perzinaan sebagai perbuatan yang dilarang,
untuk itu, bagi yang melanggarnya maka baginya hukuman yang berlaku dan
ditetapkan dalam masyarakat adat tersebut. Keputusan hakim memberikan
hukuman ta’zi>r berupa diusir dari gampong sudah tepat, sebagai bentuk
permohonan maaf mereka kepada gampong, masyarakat adat gampong Mekar Sari,
dan Adat yang telah dilanggar oleh pelaku. Diharapkan dengan kejadian yang
menimpa pelaku dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat adat Gampong Mekar
9Pasal 483 berbunyi:
1. Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan istrinya
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki yang bukan suaminya
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam
ikatan perkawinan
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki padahal diketahui bahwa aki-laki tersebut berada dalam
ikatan perkawinan
e. Laki-laki dan perempuan yang diketahui masing-masing tidak terikat dalam
ikatan perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
2. Tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana yang dimaksud pada ayat ke (2) tidak berlaku
ketentuan pasal 25, 26, dan 28
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang di pengadilan belum
dimulai.
171
Sari untuk tidak melanggar hukum, baik hukum Allah, hukum negara, maupun
hukum adat Aceh.
Untuk menentukan apakah suatu sanksi adat bertentangan dengan dengan
konsep HAM atau tidak, perlu dicermati secara mendalam dengan melihat praktek
pelaksanaannya secara langsung. Secara kasuistis dapat saja, terjadi penjatuhan
sanksi yang kurang menghargai rasa keadilan dan kemanusiaan, karenanya
kemampuan dan pengaruh perangkat gampong sangat menentukan. Dalam pasal 17
UU tentang HAM Nomor 39 Tahun 199910
disebutkan bahwa:
‚Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.‛
Begitu juga pada pasal 18 UU tersebut disebutkan:
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana,
kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum
tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan peraturan perundang-undangan, maka berlaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Adapun mengenai sanksi diatur dalam pasal 33, 34, dan 35 berikut:
Pasal 33: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34: Setiap orang, tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35: Setiap orang berhak untuk hidup di dalam tatanan masyarakat dan
kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan
melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Hal yang serupa tertulis dalam deklarasi HAM yang dikeluarkan oleh PBB
pasal 7 tentang perlindungan hukum bagi setiap orang, juga pasal 9 tentang
dilakukan oleh pelaku, sehingga kedua pelaku sudah terbukti bersalah. Pelaku juga
mendapatkan bantuan hukum dengan diamankan oleh perangkat gampong untuk
menghindari kemarahan warga.
Pemberian sanksi berupa pengusiran tidak melanggar UU pasal 33, 34, dan
35. Pelaku tidak diperlakukan kejam dan semena-mena oleh masyarakat, ketika
pelaku tertangkap, pelaku langsung dibawa kepada aparat gampong untuk diperoses
secara langsung menurut hukum yang berlaku. Pemberian hukuman diusir dari
gampong adalah bentuk hukuman terberat di gampong, karena pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku juga merupakan pelanggaran terberat. Pelaku tidak
diasingkan atau dikeluarkan secara sewenang-wenang, melainkan keduanya diusir
dari gampong akibat dari perbuatannya sendiri. Perangkat gampong juga
memberikan waktu sampai kedua orangtuanya datang dan bertanggungjawab atas
pelaku. Pada pasal 35 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dalam
tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram. Apa yang
dilakukan oleh pelaku sudah mengganggu ketentraman masyarakat gampong,
pelaku seakan menjadi hama yang apabila tidak dibuang akan merusak seluruh
tanaman.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Islam menganjurkan pernikahan, karena nikah adalah cara yang paling tepat
untuk menyalurkan hasrat seksual. Islam melarang menyalurkan hasrat tersebut
pada jalan yang tidak dibenarkan dan mengharamkan tindakan pembangkitan hasrat
biologis dengan sarana apapun, agar tidak menyimpang dari jalan yang telah
digariskan, untuk itu, Islam melarang ikhtila>t} (pencampuran bebas antara laki-laki
dan perempuan)13
dan setiap perkara yang dapat membangkitkan birahi atau
mengajak melakukan perbuatan nista. Zina merupakan penyebab langsung
tersebarnya penyakit berbahaya yang sangat memakitan, seperti syphilis, saluran
kencing, penyakit kulit, bahkan HIV AIDS. Zina juga merusak garis keturunan dan
berpotensi menyerahkan harta kepada orang yang tidak berhak menerimanya ketika
terjadi perwarisan. Zina juga hubungan sementara yang tidak disertai
tanggungjawab, sehingga merupakan penyebab utama kerusakan dan kemerosotan
moral, dan menggalakan gaya hidup pembujang dan pacaran, karenanya zina
menjadi faktor terpenting mendorong fenomena hedonisme, kebejatan, dan
kejahatan.14
Kejahatan zina merupakan pelanggaran salah satu prinsip dasar (al huqu>q al
Isla>mi>yah) yang memiliki kaitan dan relevansi yang mendalam dan seiring dengan
prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia , yaitu hifz} al nafs wa al ‘ird} (jaminan hak
atas setiap jiwa manusia untuk tumbuh berkembang secara layak), juga hifz} al nasl (jaminan atas kehidupan setiap individu, jaminan masa depan keturunan dan
13
Pelarangan dan contoh kasus ikhtila>t} telah dibahas pada bab 4 pada kasus khalwat. 14
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 301
174
generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas).15
Berdasarkan sebab-sebab
tersebut dan penyebab lainnya, Islam menetapkan hukuman yang paling berat bagi
pelaku zina, karena dampak kejahatan yang ditimbulkannya jauh lebih berbahaya
bagi masyarakat. Islam membandingkan bahaya yang menimpa pendosa dengan
bahaya yang menimpa masyarakat, lalu mengambil resiko bahaya yang lebih ringan.
Adapun konsep shari>‘at dalam masalah tajri>m 16dan hukuman adalah
berdasarkan pada prinsip menjaga kemaslahatan yang mendasar dan fundamental
dalam Islam, yaitu agama, nyawa, akal, nasab, dan harta. pelanggaran terhadap
kelima perkara itu merupakan sebuah kejahatan dimana pelakunya berhak
mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang
dilakukannya dan besar kecilnya dampak bahaya yang diakibatkan.
Menurut bahasa dan istilah shara’, zina mempunyai pengertian yang sama,
yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan
depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan shubhat kepemilikan.17
Ulama
Hanafi>yah mendefinisikan zina sebagai ‚koitus yang haram pada kemaluan depan
perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan
sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di da>r al ‘adl (kawasan negara Islam
yang dikuasai oleh pemerintahan atau pimimpin yang sah) oleh orang yang
berkewajiban menjalankan hukum-hukum Islam, tidak mempunyai hakikat
kepemilikan, tidak mempunyai hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur
shubhat kepemilikan, tidak mempunyai unsur shubhat tali pernikahan, tidak
mempunyai unsur shubhat berupa unsur samar dan kabur pada tempat kondisi
samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.18
Dasar pensyariatan hukum hadd bagi pezina yang belum menikah adalah
Qs. Al Nu>r ayat 219
dan pezina yang sudah menikah adalah hadith Rasulullah saw20
.
15
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh darussalam (Ciputat:
Logos wacana Ilmu, 2003), 36-37 16
Yaitumenyatakan suatu tindakan menjadi kejahatan atau pemidanaan 17
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (jakarta: Sinar Grafika, 2009), 37 18
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4839
19
2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.
175
Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah, yakni hak-hak masyarakat, karena
zina menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap kelauarga, nasab, dan sistem
tatanan sosial sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.
Melalui Qs. Al-Nu>r ayat 2 disebutkan bahwa hadd atau hukuman bagi
seseorang yang berzina sedang ia belum menikah (ghair muh}s}a>n) adalah didera
sebanyak 100 kali dera. Adapun sesuai dengan hadits Rasulullah bahwa seseorang
yang berzina sedangkan ia sudah menikah (muh}s}a>n/muh}sa>nah) maka baginya
hukuman dera dan rajam (dilempari batu sampai mati). Hukuman rajam disepakati
oleh seluruh Ulama, namun kelompok Khawarij memandangnya tidak wajib, hal ini
juga dikemukakan oleh beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti al-Naz}am dan para
pengikutnya. Mereka tidak punya argumentasi selain karena rajam tidak disebut
dalam Al Qur’an.21
Hukuman hadd zina tidak bisa dijatuhkan kepada seorang pelaku zina baik
laki-laki maupun perempuan kecuali dengan beberapa syarat, baik yang sudah
disepakati maupun yang diperselisihkan. Diantara syarat yang sudah disepakati
ulama adalah: pelaku adalah orang baligh; berakal; seorang muslim (syarat ini
menurut ulama Maliki>yah); pelaku melakukan perzinaan atas kemauan sendiri,
tanpa paksaan dari orang lain; perzinaan yang dilakukan adalah dengan manusia;
perempuan yang dizinai adalah perempuan yang memang sudah bisa disetubuhi;
perzinaan yang dilakukan tanpa ada unsur syubhat; pelaku mengetahui hukum
keharaman zina; perempuan yang dizinai bukan perempuan harbi di da>r al harb
(kawasan negeri musuh) atau da>r al baghy (kawasan yang dikuasai oleh kelompok
pemberontak).22
Ancaman hukuman/hadd zina adalah serius, dan hakim harus berhati-hatim
dalam memberikan keputusan dan menyatakan bersalah bagi pelaku kejahatan zina.
Pembuktian zina harus dapat menghasilkan titik terang yang meyakinkan hakim
untuk dasar dapat melaksanakannya hadd zina. Apabila hakim ragu-ragu, maka
hadd tidak bisa dilakukan
Ada tiga macam cara pembuktian zina yaitu:
Pertama, Pembuktian dengan saksi. Ulama telah sepakat bahwa tindak pidana
zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Karena apabila kurang
kesaksiannya tidak bisa diterima. Adapun syarat saksi adalah: syarat-syarat umum
terdiri dari: baligh, berakal, kuat ingatan, dapat berbicara, dapat melihat, adil,
Islam, dan tidak ada penghalang persaksian., sedangkan syarat-syarat khusus untuk
tindak pidana zina adalah: laki-laki, harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
peristiwa zina belum kadaluwarsa, persaksian harus dalam satu majelis, bilangan
والذي نفسي بيده ألقضني بينكما بكتاب اهلل الوليدة والغنم رد وعلى ابنك جلد مائة وتغريب 20
عامز اغد يا أنيس إىل امرأة ىذا فإن اعتفت فارمجها21
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah, Juz II (Beirut:Da>r Al Fikr, tt), 303 22
saksi harus empat orang, Persaksian harus meyakinkan, diterima, dan dianggap sah
oleh hakim.
Kedua, Pembuktian dengan pengakuan, dengan syarat: pengakuan harus
dinyatakan empat kali atau berulang-ulang; pengakuan harus terperinci dan
menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan shubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina; pengakuan harus sah atau benar, yang
dinyatakan oleh orang yang berakal dan mempunyai kebebasan; pengakuan
dinyatakan dalam siding pengadilan atau luar siding pengadilan.
Ketiga, Pembuktian dengan Qari>nah 23 . Seperti hamilnya wanita karena
perkosaan atau mengaku dipaksa atau selama ia tidak mengaku berbuat zina maka
tidak dijatuhi hukuman.24
Hukum Islam menjaga hak-hak individu apabila individu tersebut benar-benar
tidak melakukan zina melainkan diperkosa atau difitnah oleh orang lain. Hukum
Islam menegaskan bahwasanya dalam menentukan seseorang melakukan perbuatan
zina harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterangan saksi, pengakuan dan
adanya tanda atau kehamilan dalam rahim seorang wanita.
Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah dalam artian hak publik
(masyarakat). Karena hukuman hadd zina diberlakukan untuk menjaga kehormatan
jangan sampai ternodai. Apabila kasus Robi dan Oriza diselesaikan menurut hukum
Islam, keduanya dapat dikenai hukuman dera sebanyak 100 kali dera, namun karena
kearifan hukum adat, maka keduanya diberikan hukuman terbesar, yakni hukuman
maksimal dan hukuman tertinggi bagi masyarakat adat Aceh, yaitu diusir dari
gampong. Hukuman pengusiran ini adalah bukti bahwa adat dalam konteksnya
dapat disesuaikan dengan shari>‘at Islam. Shari>‘at Islam memberikan hukuman
maksimal yaitu hukuman dera sebanyak 100 kali, setelah kesalahan keduanya
terbukti dan keduanya mengakui kesalahan mereka. Adapun hukum adat
memberikan hukuman maksimalnya yaitu diusir dari gampong. Dengan
menggunakan konsep musyawarah dan damai, masyarakat yang menjadi korban
kejahatan ini, dapat direda kemarahannya kepada korban. Masyarakat memaafkann
pelaku dengan tidak memberikan sanksi ‚main hakim sendiri‛, namun kesalahan
kedua belah pihak tidak dapat dimaafkan oleh masyarakat, sehingga keduanya harus
menerima hukuman terberat, yaitu dikeluarkan dari gampong dan dikembalikan
kepada keluarga mereka. Hukuman tersebut bukan hanya membuat mereka malu,
akan tetapi akan membuat mereka jera dan tidak melakukan kesalahan yang sama
lagi.
4. Perbandingan Antar Kasus
Sanksi hukum pidana adat yang dijatuhkan oleh Keuchik adalah merupakan
‚obat terakhir‛ (ultimatum remedium) harus ditempuh dulu mencari obat lain untuk
23
Adalah tanda yang dianggap sebagai alat bukti dalam perbuatan zina yakni
timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui
suaminya. Apabila terdapat shubhat dalam terjadinya zina maka tidak dijatuhi hukuman
kepadanya 24
„Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 393-441
177
mengobati penyakit (sengketa). Jika obat lain tidak ada, maka dijatuhi sanksi adat,
itupun tidak boleh bersifat melampiaskan balas dendam atau mencelakan salah satu
pihak yang bersengketa. Dalam kasus ini kedua pelaku setelah ditangkap basah
oleh masyarakat langsung diamankan oleh para fungsionaris adat untuk
menghindari perbuatan ‚main hakim sendiri‛ oleh masyarakat, karena masyarakat
sebagai korban atas perbuatan pelaku, yakni korban malu dan pelanggaran nama
baik gampong.25
Hukuman yang diberikan oleh fungsionaris gampong berupa dikeluarkan atau
diusir dari gampong adalah bentuk sanksi yang paling berat, yaitu pemutusan
seluruh hubungan sosial dan adat antara masyarakat adat dalam waktu yang tidak
berbatas. Kesalahan yang dilakukan oleh Robi dan Oriza sudah diketahui oleh
seluruh masyarakat gampong Mekar sari, sehingga akan membawa malu
keluarganya, gampongnya, serta kaumnya, maka jika ia tinggal di gampong akan
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.
183
penghalang untuk itu. Kepemilikan individu dalam pandangan Islam merupakan
sebuah fungsi sosial. Karena, tujuannya adalah mensejahterakan masyarakat dan
memenuhi kebutuhan serta kemaslahatannya. 35
Sesungguhnya Islam tidak melarang kepemilikan individu secara mutlak,
namun juga tidak membebaskan dan membiarkannya tanpa batas. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al Nisa’ ayat 29.36
Apa yang dilakukan oleh pihak pertama dapat dikenai hukuman atas
kejahatan yang dilakukannya. Dalam Islam kasus pengambilan hak tanah ini
disebut ghas}ab37. Kejahatan ghas}ab tidak hanya terjadi pada harta yang bergerak,
akan tetapi juga berlaku bagi harta yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
bahwa seseorang yang mengambil tanah orang lain dengan z}alim, maka Allah akan
menjadikan sejengkal tanah itu tujuh bumi dan akan mengalungkan di lehernya
kelak di akhirat.38
Tindakan ghas}ab memiliki tiga hukum: pertama dosa, yaitu mendapat
balasan hukumannya kelak di akhirat; kedua, mengembalikan barang yang dighas}ab
apabila barangnya masih ada; ketiga, denda diyat jika barang yang dighas}ab rusak.
Adapun pendisiplinan dari tindakan ghas}ab diserahkan kepada hakim dengan
ketentuan ta’zi>r.39
Al Zuhayli> mengatakan bahwa tanah yang bertuan tidak boleh ada
seorangpun yang melakukan bentuk pentas}arrufan atau pemanfaatan tanah tersebut
tanpa seizin pemiliknya. Setiap manusia yang hidup bertetangga memiliki hak al jiwa>r atau hak bertetangga atau hak berdampingan. Yaitu sebuah hak yang muncul
keduabelah pihak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan yang sama
dikemudian hari oleh ahli warisnya kelak.
Proses penyelesaian tersebut sudah tepat, karena kedua belah pihak dapat
menerima penyelesaian dan hasil keputusan tersebut dengan ikhlas. Kedua belah
pihak hidup rukun bertetangga sebelum adanya sengketa tanah tersebut. Keduanya
juga sadar bahwa jangan sampai karena permasalahan tapal batas ini hubungan
antara keduanya menjadi renggang. Pihak pertama meminta maaf kepada pihak
kedua karena telah menanam tiga buah pohon pisang diatas lahannya, dan bersedia
untuk memindahkan pohon tersebut ke atas lahan tanah miliknya. Pihak kedua juga
dengan berjiwa besar dan ikhlas memaafkan kesalahan pihak kedua, akhirnya
permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan jalan damai.
Terdapat persamaan antara penyelesaian sengketa perselisihan tapal batas
tanah menurut hukum adat dengan hukum Islam. Hal ini juga membuktikan bahwa
hukum adat Aceh yang memang berlandaskan shari>‘at Islam dapat disesuaikan
dengan konteks hukum Islam dalam menyelesaikan beberapa permasalahan atau
sengketa, termasuk sengketa tapal batas ini. Dengan konsep perdamaian, dan
musyawarah mufakat, segala macam bentuk permasalahan akan terselesaikan
dengan baik.
4. Perbandingan Antar Kasus
Konflik batas adalah perselisihan antar kelompok /masyarakat akibat adanya
perbedaan sudut pandang dan kepentingan keatas kawasan (titik batas yang
dipersengketakan.45
Dari dua belas prinsip/asas penyelesaian sengketa sebagaimana
yang telah dibahas pada bab dua pembahasan tesis ini beberapa diantaranya sesuai
untuk digunakan dalam proses penyelesaian sengketa batas melalui perundingan,
yaitu asas mufakat, musyawarah, ikhlas, murah dan efektif, suka rela,
mengedepankan kepentingan umum, dan penyelesaian damai.
Kasus yang dihadapi oleh Amir dan Sarta sudah tepat diselesaikan melalui
peradilan adat. Hukum adat berlandaskan shari>‘at Islam relevan dan dapat
diterapkan pada masa kekinian. Dengan penyelesaian melalui musyarawarah
mufakat, dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
Dalam kasus perselisihan tapal batas ini, fungsionaris adat menggunakan teknik
mediasi untuk mencari kesepakatan bersama. Kedua belah pihak ikhlas dan rid}a
untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Keduanya juga menerima
hasil keputusan fungsionaris adat, yaitu mengukur kembali tanah milik mereka
sesuai dengan hak milik mereka, dan kemudian memberikan pagar batas bambu,
yang akan diganrtikan dengan batas pagar permanen oleh kedua belah pihak. Pihak
pertama mengakui kesalahnnya bahwa ia telah menanam beberapa pohon diatas
lahan milik pihak kedua. Ia bersedia untuk memindahkan tanamannya ke atas tanah
miliknya.keputusan adat tersebut sesuai dengan paradigma ta’zi>r yang
penyelesaiannya diserahkan kepada hakim. Keputusan tersebut juga menyatukan
45
Sanusi M. Syarief, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyikap Konflik batas dan Pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 14
187
kembali dan memulihkan kembali hubungan yang sempat retak akibat sengketa
tersebut.
Apabila permasalahan ini diselesaikan melalui hukum perdata, maka kasus
tersebut akan diselesaikan sesuai pasal 603. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa
konsekwensi yang harus diterima oleh Sarta akibat perbuatannya, yaitu:
1. Pemilik tanah boleh memiliki tanaman yang ditanam diatas lahan tanah
miliknya, dan membayar uang bibit tanaman tersebut.
2. Pemilik tanah menuntut agar tanaman tersebut diambil olehnya. Adapun
biaya pembongkaran ditanggung oleh pihak kedua.
Kedua pemilik tanah harus terlebih dahulu memiliki bukti fisik bahwa tanah yang
disengketakan adalah milik pribadinya, bukan milik orang lain. Meskipun terdapat
kesamaan antara penyelesaian perkara melalui kedua hukum sebelumnya, yaitu
hukum adat hukum Islam, namun penyelesaian melalui hukum Perdata bersifat
terstruktur dan formal. Kedua belah pihak tidak dapat mengajukan perkaranya ke
pengadilan karena keduanya tidak memiliki bukti fisik hak kepemilikan tanah,
bahkan jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan, akan timbul masalah baru yaitu
tanah mereka tidak di akui kepemilikannya oleh negara.
Dalam penyelesaian kasus melalui hukum adat, hukum Islam, dan hukum
perdata, pada hakikatnya terdapat kesamaan. Ketiga hukum tersebut sama-sama
melindungi hak milik manusia. Apa yang murni menjadi milik seseorang tidak
boleh diambil oleh secara paksa oleh orang lain. Korban dapat menuntut kembali
haknya, dan pelaku harus bertanggungjawab mengembalikan hak milik seseorang
yang sudah dirampas itu. Hal ini membuktikan bahwa baik hukum Adat, hukum
Islam, maupun hukum Positif (hukum perdata, dalam hal kasus sengketa tanah)
relevan dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang bersengketa. Berikut
adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan lalulintas melalui
peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum islam)
Tabel 9: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tapal
Batas Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi (peradilan
adat)
Jenis Perkara Perselisihan Hak Milik
Ghas}ab
Al milki>yah
H}ak al Ja>r
Perselisihan sengketa
tapal batas tanah
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 600 KUH
Perdata
Pasal 603 KUH
Perdata
Al Nisa>: 29
Hadits Riwayat
Bukhari dan
Muslim tentang
larangan ghas}ab
Qa>nu>n Aceh Nomor 09
Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pemilik tanah boleh
memiliki tanaman
yang ditanam diatas
lahan tanah miliknya,
Ta’zi>r, diserahkan
kepada hakim
Tanah milik kedua
belah pihak diukur
kembali oleh perangkat
gampong dan diberikan
188
dan membayar uang
bibit tanaman
tersebut.
Pemilik tanah
menuntut agar
tanaman tersebut
diambil olehnya
dengan biaya
pembongkaran
ditanggung oleh pihak
kedua.
batas dari bambu
Kedua belah pihak
harus mengganti pagar
batas tersebut dengan
yang permanen dengan
menggunakan biaya
dari kedua belah pihak
Pihak pertama harus
memindahkan
tanamannya ke atas
lahan miliknya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan waktu
yang lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggungan
korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
satu bulan
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah perselisihan tentang
tapal batas. Keduanya merasa bahwa tanahnya adalah lebih besar dari pada yang
lain. Pihak pertama membuat kesalahan dengan menanam beberapa pohon di atas
sebagian lahan milik pihak kedua. Setelah sengketa tersebut diselesaikan melalui
peradilan adat, mendapatka keputusan bahwa fungsionaris gampong mengukur
ulang tanah mereka sesuai dengan luas tanah mereka, kemudian menempatkan
pagar batas diantara keduanya. Fungsionaris adat juga menetapkan pihak pertama
bersalah dan memberikan hukuman untuk mengambil kembali tanaman yang sudah
ditanamnya dan dipindahkan keatas laahn tanah miliknya.
C. Kasus Laka Lantas
1. Deskripsi Antar Kasus
Pada hari Jum’at tanggal 27 mei 2011, telah terjadi kecelakaan lalu lintas di
Jalan Gunung Mulia, tepatnya didepan SHOWROOM Mr. Juana, Kec. Muria,
Gampong Sukajaya, Sabang, sekira pukul 11.15 WIB. Kecelakaan terjadi antara
mobil sedan Honda Civic Genio warna biru metalik BL 336 XA yang dikemudikan
oleh Zulkifli (bukan nama asli), dengan sepeda motor Honda Supra 125 warna
hitam merah BL 3124 MC yang dikendarai oleh Yusal (bukan nama asli), keduanya
datang dari arah yang sama yaitu dari arah Simpang Tiga hendak menuju Gunung
Mulia.
Kecelakaan tersebut mengakibatkan Yusal mengalami luka-luka lecet pada
bagian siku kiri, lutut kiri dan kanan. Para saksi yang melihat kejadian tersebut
langsung membawa Yusal ke puskesmas setempat dan mengamankan Zulkifli di
rumah Keuchik gampong Sukajaya.
189
Setelah di mediasi antara kedua belah pihak, Yusal megakui bahwa ia lalai dan
tidak memperhatikan sekitar, ia hendak menyalip kendaraan Zulkifli dan kemudian
terjadilah kecelakaan tersebut. Adapun Zulkifli juga mengakui bahwa ia kaget
karena melihat motor Yusal yang tiba-tiba berada disampingnya. Ia pun kehilangan
kendalinya, kemudian menyenggol motor Yusal, dan kemudian terjadilah
kecelakaan tersebut.
Keduanya telah mengakui kelalaian mereka, dan perangkat gampong
memutuskan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan adapun
keputusan majelis adat adalah sebagai berikut:
1. Biaya kerusakan kedua kendaraan yang ditanggung oleh kecelakaan
tersebut ditanggung oleh masing-masing pihak
2. Keduabelah pihak dikemudian hari tidak akan saling menuntut secara
hukum yang berlaku di Negara kesatuan Republik Indonesia serta
keduabelah pihak akan mempererat hubungan silaturrahim46
Pertimbangan Adat
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, kedua belah pihak
mengakui telah lalai dalam berkendaraan. Yusal yang hendak menyalip kendaraan
Zulkifli tidak menyelakan lampu sen sehingga membuat Zulkifli kaget, dan
kendaraannya menyenggol kendaraan Yusal hingga terjadilah kecelakaan tersebut.
Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi kecelakaan tersebut
tidak saling mengenal. Yusal adalah seorang pelajar SMA di salah satu sekolah di
Sabang, adapun Zulkifli adalah seorang pedagang di Sabang. Keduanya hendak
pergi menuju arah yang sama, dan karena kelalaian terjadilah kecelakaan tersebut.
Menimbang, bahwa kecelakaan yang terjadi adalah kecelakaan atau
permasalahan kecil yang dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan tanpa harus
diselesaikan melalui jalur hukum. Adapun kedua belah pihak meminta untuk
diselesaikan dengan jalan damai, dan keputusan tersebut harus dihormati oleh
setiap pihak, baik polisi, maupun perangkat gampong.
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
46
Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,
keuchik, dan sekretaris Gampong
190
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at islam.
Keputusan Adat
Kasus yang menimpa Yusal dan Zulkifli menjadi pelajaran bagi keduanya
untuk lebih berhati-hati dalam berkendaraan. Kedua belah pihak menanggung biaya
kerusakan kendaraan mereka masing-masing dan berjanji untuk tidak saling
menuntut dikemudian hari mengenai kasus tersebut.47
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang
mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus diatur dalam
Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Menurut teori
hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang
sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini
dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi
mata yang melihat terjadinya kecelakaan.48
Dalam KUHP, kejahatan yang menyebabkan seseorang mati atau luka
karena kekhilafan diatur dalam pasal 359 dan 36049
. Dalam pasal 360 disebutkan
bahwa luka yang yang diakibatkan dalam kecelakaan tersebut adalah: pertama, luka
berat50
; dan kedua adalah luka ringan yang menyebabkan sakit sementara atau
47
Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,
keuchik, dan sekretaris Gampong 48
Reginaldo Sultan Tampubolon, ‚Pertanggungjawaban Hukum Pidana Yang
Mengakibatkan Kecelakaan Lalulintas‛, Kompasiana, Opini, 04 januari 2013,
Sesuai dengan Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Isla>mi> pada muktamar putaran
kedelapan yang berlangsung di bandar Sri begawan Brunei Darussalam, Mulai
tanggal 1-7 Muharram 1414 H/21-27 Juni 1993M memberikan keputusan: bahwa
berbagai kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudian kendaraan dikenai hukum
jinaya>t yang tertetapkan dalam shari>‘at Islam, meskipun kebanyakan kecelakaan
tersebut adalah terjadi tanpa sengaja (masuk kategori kejahatan tersalah atau
khata>’). Seorang pengemudi bertanggungjawab terhadap kemud}aratan yang ia
timpakan kepada orang lain, baik pada fisik maupun harta, ketika elemen-
elemennya yaitu tindakan tersalah dan kemud}aratan telah terpenuhi, orang yang
bersangkutan tidak bisa terbebas dari pertanggungjawaban tersebut, kecuali pada
kasus-kasus berikut ini:
1. Ketika kecelakan yang ada adalah akibat dari sebuah kondisi diluar
kemampuan manusia yang tidak bisa ditolak maupun dihindari, yaitu setiap
perkara yang terjadi di luar kendali ddan campur tangan manusia
2. Apabila kecelakaan tersebut disebabkan oleh tindakan korban yang tindakan
penyebab itu memiliki pengaruh dan peran kuat dalam menimbulkan akibat.
3. Apabila kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh kekeliruan orang lain atau
oleh tindakan pelanggaran dan pelampauan batas yang dilakukannya, dalam
kasus seperti ini orang lain tersebutlah yang harus bertanggungjawab.
Apabila pengemudi dan korban sama-sama memiliki peran dalam kecelakaan
yang terjadi, masing-masing bertanggungjawab terhadap yang lain, pengemudi
bertanggungjawab terhadap kerugian dan kemudaratan yang dialami oleh korban,
korban bertanggungjawab atas kemudartan dan kerugian yang dialami oleh si
pemudi.57
Menurut hukum pidana Islam, hukuman tindak kejahatan terhadap fisik
adalah diyat atau ‘ursh (diyat maksudnya adalah diyat penuh dan ursh adalah
dibawah diyat). Adapun mengenai kasus kecelakaan, Fuqaha> Hanafi>yah
memberikan gambaran fiqh realitas untuk menidentifikasikan siapa fihak yang
harus bertanggungjawab dalam berbagai kasus kecelakaan lalulintas. Hukum
mengatasi masalah tersebut dapat diketahui melalui kaidah: ‚ sesuatu yang tidak
memungkinkan untuk dihindari, maka tidak ada denda dan pertanggungjawaban
didalamnya‛. Maksudnya bahwa suatu kejadian dinisbatkan dan dituduhkan kepada
pihak yang secara tidak langsung menjadi penyebab (mutasabbib58) selama tidak
ada pihak ketiga (pelaku langsung) yang menengahi antara kejadian tersebut dan
tindakan mutasabbib, mutasabbab tidak dimintai pertanggungjawaban kecuali jika
ada unsur pelanggaran didalam tindakan yang dilakukannya.
Setiap sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari dan dijauhi, mak itu tidak bisa
dijadikan alasan untuk menuntut pertanggungjawaban, karena hal itu termasuk
57
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4445 58
Adalah orang yang melakukan suatu tindakan yang bisa menyebabkan terjadinya
suatu kemudharatan, namun tidak secara langsung akan tetapi dengan adanya pihak ketiga
yang menjadi perantara terjadinya kemudharatan itu (pelaku langsung)
194
kategori keadaan darurat. Adapun sesuatu yang memungkinkan untuk dihindari dan
diantisipasi, itu bisa menjadi dasar alasan penuntutan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang merugikan yang diakibatkan oleh perjalanan orang yang lewat
baik oleh pejalan kaki maupun dengan naik kendaraan yang hal itu mestinya
memungkinkan untuk dihindari maka harus ada pertanggungjawaban terhadapnya.
Adapun apabila terjadi tabrakan antara dua pengendara kendaraan lalu keduanya
sama-sama meninggal dunia, atau ada sesuatu yang rusak akibat tabrakan tersebut,
maka menurut Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah masing-masing dari keduanya
terkena pertanggungjawaban denda secara penuh untuk yang lainnya. Apabila
tabrakan tersebut terjadi secara tersalah (tidak disengaja), masing-masing dari
keduanya membayar denda diyat kerusakan untuk yang lainnya, karena kecelakaan
tersebut menimpa masing-masing dari keduanyakarena tindakan rekannya juga.
Ulama Maliki>yah sependapat dengan Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah. Berbeda
dengan pendapat ketiga Ulama tersebut, Ulama Shafi>iyah berpendapat bahwa
apabila yang terjadi adalah kematian mereka berdua, berarti dendanya berupa diyat
dan masing-masing menanggung separuh diyat rekannya, dalam bentuk diyat
Mughallaz}oh (diyat yang diperberat) yang dipikul oleh ahlinya masing-masing,
sebab kasus ini mirip seperti pembunuhan mirip sengaja yang didalamnya tidak
terpenuhi unsur kesengajaan murni, maka tidak ada ancaman qis}as}.59
Adapun kasus Yusal dan Zulkifli adalah kecelakaan yang seperti disengaja,
Yusal melanggar peraturan lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen ketika
hendak belok dan menyalip kendaraan didepannya, sehingga membuat pengemudi
kendaraan yang disalib menjadi kaget dan hilang kendali. Namun, Islam dengan
kearifannya menjadikan setiap manusia memiliki rasa pemaaf, sehingga Zulkifli
memaafkan kesalahan Yusal dan menganggap permasalahan ini sebagai kecelakaan
murni dan tidak perlu diperpanjang. Megingat bahwa Adat Aceh juga sangat
menjunjung tinggi nilai keIslaman dan perdamaian dalam menyelesaian sengketa,
maka permasalahan ini tidak diperpanjang kepada pihak yang berwajib.kedua belah
pihak mengambil pelajaran dari ketidak hati-hatian dan keduanya juga berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan lebih berhati-hati dalam
mengemudikan kendaraannya serta mematuhi peraturan lalulintas yang berlaku.
4. Perbandingan Antar Kasus
Dalam kasus ini, Yusal yang telah terbukti bersalah melanggar peraturan
lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen saat ingin berbelok dan menyalip
ditikungan sebenarnya dapat dikenai pasal 311 UU LLAJ, dengan sanksi pidana
penjara selama-lamanya lima bulan dan denda sebanyak-banyaknya RP. 1.000.000,-
. Apa yang dilakukan Yusal berakibat pada rusaknya kendaraan milik Zulkifli (kaca
spion dan sedikit lecet pada pintu mobil korban)., dengan demikian ia dapat dikenai
sanksi sesuai dengan pasal 311 ayat 1 tersebut.
59
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi >yah, 1997), 4890
195
Adapun penyelesaian sengketa melalui Hukum Islam dan hukum Adat Aceh
memiliki kesamaan, yaitu adalah diyat atas kerugian yang diderita oleh korban.
Namun, karena kedua belah pihak memiliki andil dalam penyebab terjadinya
kecelakaan tersebut, terlebih lagi Yusal karena kelalaiannya, maka biaya perbaikan
kerusakan kendaraan masing-masing pihak dibebankan kepada kedua belah pihak.
Hal tersebut membuktikan betapa hukum islam dan hukum adat Aceh dapat
berjalaan bersamaan dan dapat relevan untuk diterapkan dalam penyelesaian
sengketa.
Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan
lalulintas melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,
dan Hukum islam)
Tabel 10: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Kecelakaan lalulintas
Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan
lalulintas
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 360 KUH
Pidana
UU Nomor 22 tahun
2009 Tentang
lalulintas dan
Angkutan Jalan,
Pasal 220, dan 311
Kaidah Fiqhi>yah
Keputusan Majma’ al
Fiqh al Isla>mi>y 1993
-
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pidana Penjara
selama-lamanya
enam bulan
Denda sebanyak-
banyaknya Rp.
1.000.000,-
Diyat sesuai dengan
kerugian yang
diderita korban
Masing-masing pihak
bertanggungjawab
atas yang lain, jika
keduanya memiliki
andil atas penyebab
kecelakaan tersebut.
Masing-masing
pihak
bertanggungjawab
atas keriugian
kendaraannya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya mahal
Perkara diselesaikan
langsung saat qad}i
menerima laporan
Formal dan non
formal
Formal,
terstruktur, namun
fleksibel
Penyelesaian
cepat, satu minggu
Biaya murah
196
Kesimpulan
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kecelakaan
kendaraan bermotor.pihak pertama (yusal) dinyatakan oleh pihak gampong telah
lalai dalam berkendaraan karena tidak menyalakan lampu sen saat ingin belok dan
menyalip kendaraan Zulkifli (pihak kedua), sehingga mengakibatkan Zulkifli hilang
kendali dan meyenggol kendaraan milik Yusal. Keduanya mengakui kesalahannya
masing-masing dan mendapatkan kebiojaksanaan dari perangkat gampong bahwa
kerugian atas kendaraannya masing-masing ditanggung oleh keduabelah pihak.
D. Kasus Fitnah
1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus
Pada akhir tahun 2012, bulan November, atau setidak-tidaknya pada bulan di
akhir tahun 2012, Rusminar (bukan nama asli), warga Gampong cendana, Kab.
Pidie sering sakit dan berobat ke Hadi (dukun setempat). (dukun tersebut adalah
pendatang di gampong Cendana) Oleh dukun tersebut dikatakan bahwa Rusminar
diguna-guna oleh ‚keluarga Rahmadin (bukan nama asli)‛ (tetangga Rusminar).
Setelah itu, Rusminar mengadukan keluarga Rahmadin ke perangkat gampong.
Kemudian, perangkat gampong memanggil keduabelah pihak, dan didudukkan
bersama, serta di klarifikasi kejadian yang sebenarnya.
Pihak kedua membantah tuduhan yang dilontarkan oleh pihak pertama,
kemudian bersumpah bahwa dia tidak mensantet pihak pertama. Jangankan untuk
mengguna-guna keluarga lain, sementara dia pun sering sakit.
Setelah diselidiki oleh perangkat gampong, ternyata pihak kedua memiliki
masalah dengan dukun yang memfitnahnya. Adapun ketika dipanggil si dukun
sudah tidak ada di desa tersebut (setelah diselidiki ternyata dukun tersebut hanya
seorang pendatang di desa keupula). Setelah permasalahan jelas, maka terdapatlah
sebuah perjanjian:
a. Pihak pertama tidak meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua
tidak ada guna-guna kepada pihak pertama
b. Pihak kedua tidak boleh memiliki dendam apapun kepada pihak pertama,
karena pihak pertama hanya korban fitnah dari dukun (pihak ketiga)
c. Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan berjanji untuk tidak saling
menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari. 60
Pertimbangan Adat
Menimbang, bahwa Rusminar melakukan kesalahan telah menuduh
Rahmadin melakukan guna-guna atas hasutan dan tuduhan dari pihak ketiga, yaitu
Hadi, yang merupakan seorang dukun di gampong tersebut. Ia percaya karena
penyakitnya tidak kunjung sembuh walaupun sudah berobat berkali-kali kepada
dukun tersebut.
Menimbang, Hadi adalah seorang pendatang di Gampong Cendana. Iya
sudah tinggal di Gampong Cendana selama tiga bulan sejak awal datang sampai
60
Wawancara pribadi dengan sekretaris gampong, Bpk. Abdul Muthalib (bukan nama
asli)
197
menghilangnya dari gampong. Ia terkenal dapat menyembuhkan beberapa penyakit
yang diderita oleh warga gampong. Setelah diselidiki, Rahmadin pernah
mengatakan bahwa ia tidak percaya Hadi, hal tersebutlah yang disimpulkan oleh
perangkat Gampong bahwa Hadi sakit hati kepada rahmadin
Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi perselisihan tersebut
adalah saling bersaudara antara masyarakat Gampong. Hubungan keduanya dikenal
baik dan nyaris tidak memiliki masalah sama sekali, sama seperti dengan
masyarakat gampong lain.
Menimbang bahwa hukum adat sangat menjunjung tinggi martabat dan
nama baik warganya. Masyarakat adat Aceh yang sebagian besar beragama Islam
dan meyakini al Qur’an dan Hadits tidak semerta-merta percaya atas tuduhan
santet kecuali setelah diadakannya pembuktian terlebih dahulu.
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at islam.
Keputusan Adat
Rosminar dinyatakan bersalah oleh Majelis hakim Adat di gampong Cendana
karena telah menuduh Rahmadin tanpa bukti, dan tuduhannya terbukti tidak benar
adanya. Perangkat gampong memutuskan agar Rosminar tidak meneruskan perkara,
dan meyakini bahwa Rahmadin tidak ada guna-guna kepadanya. Adapun rahmadin
tidak boleh memiliki dendam apapun kepada Rosminar, karena pihak pertama
hanya korban fitnah dari dukun (Hadi). Keduabelah pihak harus saling memaafkan,
dan berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian
hari61
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Kasus fitnah atau tuduhan palsu erat sekali kaitannya dengan penghinaan. Ini
karena kata hina yang berarti rendah sekali kedudukannya. Adapun fitnah dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perkataan bohong dengan maksud
menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).62
61
Wawanmcara pribadi dengan sekretaris gampong , Bpk. Abdul Muthalib (bukan
nama asli) 62
Kamus Besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 412
198
Perbuatan materil dari fitnah (mengajukan pengaduan dan pemberitaan palsu)
berbeda dengan perbuatan materil pada pencemaran (menyerang kehormatan dan
nama baik) akan tetapi, sifat kedua kejahatan tersebut sama. Keduanya menyerang
martabat dan harga diri orang lain khususnya kehormatannya atau nama baiknya.63
Tindak pidana penghinaan diatur dalam KUHP dalam BAB XVI Pasal 310-
318. Soesilo Mengatakan bahwa penghinaan dalam pasal tersebut itu ada enam
macam, yaitu menista (pasal 310 (1)), menista dengan surat (pasal 310 (2)),
memfitnah (pasal 311), penghinaan ringan (pasal 315), mengadu secara memfitnah
(pasal 317), dan tuduhan secara memfitnah (pasal 318). Semua penghinaan ini
hanya dapat di tuntut, apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik
aduan). Kecuali apabila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negri
pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.64
Kasus fitnah
sebagaimana yang dimaksud dalam tindak pidana penghinaan diatur dalam pasal
311.65
Pengaduan fitnah seperti pasal tersebut terdiri dalam beberapa unsur-unsur
subjek sebagai berikut: Pertama unsur objektif: perbuatan berupa mengajukan
pengaduan, dan mengajukan pemberitahuan dengan cara tertulis atau dituliskan;
objeknya tentang seseorang; isinya palsu; kepada penguasa; kehormatan atau nama
baiknya terserang. Kedua, unsur subjektif, yaitu dengan sengaja. Ada dua bentuk
tingkah laku dalam pengaduan fitnah, yaitu mengadakan pengaduan, dan
mengajukan pemberitahuan atau melaporkan. Kedua perbuatan tersebut memiliki
kesamaan yaitu memberikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang
isinya palsu. Adapun perbuatan yang dilaporkan adalah merupakan perbuatan yang
memalukan orang.
Dalam kasus ini, Rusminar dapat dikenai sanksi pidana dengan tuduhan
pencemaran nama baik atas Rahmadin. Ia dapat dikenai hukuman penjara paling
lama empat tahun. Perbuatannya telah memenuhi seluruh unsur yang dimaksud
dalam pasal 311 tersebut, yaitu: pertama, ia telah menuduh tanpa bukti; kedua
tuduhannya dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui. Dalam hal ini,
Rosminar telah menuduh bahwa Rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya
tanpa bukti. Ia hanya mendapatkan laporan dari dukun tempat ia berobat
63
R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya(Surabaya: Usaha Nasional), 1981 64
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 224
Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis
dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan
fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Pasal 317: Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat
pengaduan atau surat pemberitahuan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar Negeri,
sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang, dipidana karena bersalah
memfitnah dengan pengaduan dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun. (lihat:
Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 337
199
penyakitnya. Adapun dukun tersebut hanyalah seorang pendatang di gampong
Cendana, dan menghilang setelah kejadian fitnah tersebut. Setelah diselidiki oleh
perangkat gampong, maka diketahui bahwa dukun tersebut memiliki permasalahan
dengan Rahmadin dan ingin menjatuhkan nama baiknya. Rahmadin pernah tidak
mempercayai dukun tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukun tersebut
menuduh rahmadin karena ia sakit hati kepada Rahmadin.
Rosminar yang diadu domba oleh dukun tersebut mengakui kesalahannya
karena ia telah menuduh Rahmadin tanpa bukti. Rahmadin dikenal baikan sangat
agamis oleh warga gampong cendana, sehingga tidak seorangpun warga gampong
Cendana yang percaya atas tuduhan Rosminar. Melalui proses mediasi dan
perdamaian yang dilakukan oleh perangkat gampong cendana, kedua belah pihak
bersedia untuk menyelesaiakn perkara dengan jalan damai. Rosminar bersedia
meminta maaf kepada Rahmadin atas kesalahannya, dan Rahmadin dengan ikhlas
bersedia memaafkan keslahan Rosminar.
Keputusan perangkat Gampong sudah tepat dalam menyelesaiakan kasus ini,
dengan permohonan maaf dan perjanjian untuk tidak saling menuduh tanpa bukti
telah meyatukan kembali kedua belah keluarga yang saling bersengketa. Keputusan
tersebut adalah hasil dari proses perundingan antara keduabelah pihak yang
bersengketa dengan perangkat gampong.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Kasus fitnah atau menyebarkan suatu berita tanpa kebenaran terdapat dalam
surat al Buru>j ayat 10.66
Al Qur’an juga menyebutkan bahwa perbuatan fitnah lebih
besar dosanya dari pada membunuh seperti dalam QS. Al baqarah ayat 217,67
Bahkan, kasus menuduh seseorang melakukan perbuatan zina termasuk kedalam
kejahatan yang dikenai hukuman hudud. Hal ini membuktikan bahwa kejahatan
fitnah itu sangat besar sekali. Karena fitnah akan menyebabkan kebingungan.
Fitnah akan menyebabkan banyak orang akan terjatuh kedalam dosa fitnah itu.
Fitnah juga merupakan sebahagian daripada perbuatan mengadu-domba. Apabila
disebarkan, ia mudah menyebabkan permusuhan dua pihak.
Fitnah yang ditimpakan kepada kaum muslimin dalam agama mereka adalah
dengan menghembuskan masalah shubhat kedalam hati mereka. Apa yang
dilakukan oleh pihak pertama (Rusminar) adalah menghembuskan masalah shubhat
yang belum tentu kebenarannya. Rasulullah bersabda dalam Hadith Riwayat
66
10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang
mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab
Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. 67
217. dan berbuat fitnah[135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh.
200
Muslim bahwa menyebut tentang kejelekan seseorang yang tidak sesuai dengan
kenyataan adalah berarti memberikan tuduhan.
أتدرون ماالغيبة؟ قالوا اهلل : عن أ ىري رة رضي اهلل عنو أنب رسول اهلل صلب اهلل عليو وسلبم قال إن كان فيو ما ت قول : ذكرك أخاك دبا يكره قيل أف رأيت إن كان يف أخي ما ت قول؟ قال : قال . ورسولو أعلم
68(رواه مسلم)ف قد اغتبتو وإن يكن فيو ما ت قول ف قد ب هتو
Dalam hukum Islam, kejahatan fitnah termasuk kedalam kategori tindak
pidana ta’zi>r, hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa, karena
kejahatan tersebut tidak termasuk kedalam kejahatan yang dikenai hukuman hudu>d
dan qis}as}. Kecuali apabila fitnah tersebut adalah tuduhan berbuat zina, maka
pelaku tindak pidana akan mendapatkan sanksi hadd sebagaimana yang telah
ditentukan adalah 80 kali dera sebagaimana firman Allah QS. Al Nu>r: 469
Mengenai kasus yang menimpa Rusminar dan Rahmadin adalah tepat apabila
diselesaikan melalui peradilan adat dengan jalan damai. Proses musyawarah dan
mediasi memberikan kesepakatan untuk saling memaafkan karena tuduhan yang
dilontarkan oleh Rusminar belum terbukti kebenarannya. Fungsionaris gampong
tidak langsung menerima aduan dari Rusminar, namun menyelidikinya terlebih
dahulu, Keuchik mengadakan pendekatan dengan Rahmadin dengan bahasa yang
dapat diterima dan tidak menyinggungnya. Setelah informasi tentang permasalahan
tersebut sudah didapatkan, Keuchik beserta fungsionaris gampong memanggil
kedua belah pihak untuk didudukkan bersama, memusyawarahkan permasalahan
yang sebenarnya terjadi, dan menjernihkan permasalahan. Keuchik juga
menanyakan kepada beberapa saksi yaitu tetangga Rahmadin dan Rosminar tentang
hubungan keduanya.
Keputusan hakim adat bahwa mengharuskan Rosminar agar tidak
meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua tidak ada guna-guna kepada
pihak pertama adalah tepat. Atas penjelasan dan keterangan Keuchik, dan
keterangan beberapa saksi, Rosminar mengakui kesalahannya bahwa ia telah
menuduh rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya. Ia mengaku telah
68
Dari Abu Hurairah ra berkata, rasulullah SAW bersabda: tahukah engkau apakah
ghibah itu? Jawab sahabat: Allah dan rasulnya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: ‚
Yaitu menyebut saudaramu dengan apa yang tidak disukainya. Beliau ditanya
bagaimanakah pendapat engkau kalau itu memang sebenarnya padanya? Jawab nabi: kalau
memang sebenarnya begitu, itu;ah yang disebut ghibah. Akan tetapi jikalau menyebut apa-
apa yang tidak sebenarnya kamu telah menuduhnya dengan kebohongan. (HR Muslim)
69
4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
201
termakan hasutan dan omongan dari Hadi. Ia juga menyadari bahwa Hadi lah yang
ingin mengadu domba mereka. Hadi atas dasar kepentingannya sendiri (karena sakit
hati terhadap Rahmadin) menuduh Rahmadin bahwa ia telah mengguna-guna
Rosminar.
Keuchik juga mengatakan kepada Rahmadin bahwa ia tidak boleh memiliki
dendam apapun kepada pihak pertama, karena pihak pertama hanya korban fitnah
dari dukun (pihak ketiga). Adapun Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan
berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari,
keputusan tersebut adalah bukti bahwa keduanya ingin kembali menyatukan
hubungan yang rusak akibat masalah dan tuduhan tersebut. Harmonisasi antara
mereka kembali pulih setelah semua permasalahan jernih kembali.
4. Perbandingan Antar Perspektif
Apabila permasalahan fitnah ini diselesaikan melalui peradilan pidana, maka
Rosminar yang tidak dapat membuktikan tuduhannya dapat dikenai sanksi pidana
penjara selama empat tahun. Proses litigasi hanya mementingkan pembalasan atas
kejahatan pelaku, namun nama baik korban yang sudah rusak oleh pelaku mungkin
tidak diperhatikan, sebagian masyarakat mungkin tetap akan menyangka bahwa
Rahmadin adalah seorang pengguna-guna, meskipun hakim memutuskan ia tidak
bersalah, selain itu, dendam mungkin juga akan timbul antara keduanya. Adapun
nama baik gampong juga dapat tercemar atas kejadian ini.
Penyelesaian sengketa fitnah melalui peradilan adat yang selaras dengan
shari>‘at Islam lebih memberikan kebijakan bagi keduanya. Keuchik dan
fungsionaris gampong memiliki peranan yang sangat besar dalam memulihkan
kembali nama baik korban. Para fungsionaris gampong ikut mencari bukti-bukti
bahwa korban tidak bersalah. Hal tersebut dimaksudkan agar kerukunan antar
masyarakat gampong kembali terwujud, dan agar menjadi pelajaran bagi kedua
belah pihak dan masyarakat lainnya bahwa seseorang tidak boleh menuduh orang
lain tanpa bukti yang jelas. Keputusan tersebut tidak lain adalah hasil dari proses
musyawarah dan mediasi yang dilakukan oleh peradilan adat yang dilakukan
dengan pendekatan manusiawi dan menanamkan nilai-nilai keagamaan.
Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa tuduhan palsu
atau fitnah melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,
dan Hukum islam)
202
Tabel 11: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Tuduhan Palsu atau
Fitnah Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Penghinaan Fitnah atau tuduhan
palsu
Fitnah atau
Tuduhan Palsu
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 310-318 KUH
Pidana
Qs. Al Baqarah 271
dan Al Buru>j : 10
HR. Muslim
Al Nu>r :4
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pidana Penjara
selama-lamanya
empat tahun
Ta’zi>r, diserahkan
kepada hakim
Keduabelah pihak
saling memaafkan,
dan perjanjian
untuk tidak saling
menuduh tanpa ada
bukti yang jelas
dikemudian hari.
Rusminar tidak
akan meneruskan
perkara ke
Pengadilan negeri
dan meyakini
bahwa Rahmadin
tidak bersalah
Rahmadin tidak
boleh memiliki
dendam apapun
kepada Rusminar
karena ia hanya
korban fitnah dari
dukun (pihak
ketiga
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya
mahal(tanggungan
Perkara diselesaikan
langsung saat qad}i
menerima laporan
Formal dan non
formal
Formal,
terstruktur, namun
fleksibel
Penyelesaian
cepat, tiga minggu
Biaya murah
203
pelapor)
Kesimpulan:
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kejahatan
penghinaan yaitu fitnah atau tuduhan palsu yang dilontarkan oleh Rosminar kepada
Rahmadin, yaitu tuduhan melakukanguna-guna terhadap dirinya. Kejahatan
tersebut mengakibatkan Rosminar menjadi tertuduh, namun karena proses mediasi
dan musyawarah, Rahmadin bersedia untuk memaafkan Rosminar dan berjanji
untuk tidak memiliki dendam dikemudian hari. Rosminar juga demikian meminta
maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi baik kepada korban
maupun kepada orang lain.
A. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada
Kasus Yang bersifat Denda
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan
sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek
kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus
operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang
ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat
atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan
yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 12: Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui
Peradilan Adat
Perihal
Pelaku yang Kasus Perzinahan
Kasus Tapal
Batas
Kasus Laka
Lantas
Kasus
Penghinaan Pelaku 1. Robi
2. Oriza
Amir Zulkifli Rosminar
Jenis Kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
Laki-laki Laki-laki Perempuan
Kondisi Pelaku Keduanya adalah warga
gampong Mekar Sari. Robi
adalah wiraswasta asal
Meulaboh yang tinggal di
banda Aceh, sedangkan
oriza adalah mahasiswi asal
Meulaboh yang juga tinggal
di gampong mekar Sari.
Dia adalah warga
gampong
Cendana yang
bekerja sebagai
petani sawah.
Dia adalah
pedagang di
Sabang
Dia adalah
waga gampong
Cendana yang
bekerja sebagai
petani sawah.
Kondisi
Keluarga
Keluarga pelaku adalah
keluarga yang mampu
namun telah lalai tidak
mengawasi pergaulan
mereka selama mereka
tinggal di banda Aceh
dengan optimal
Keluarga pelaku
adalah keluarga
yang mampu dan
sangat menjaga
dan
mempertahankan
apa yang menjadi
Keluarga pelaku
adalah keluarga
yang cukup
mampu
Keluarga
pelaku adalah
keluarga yang
cukup mampu.
204
haknya
Kondisi
Lingkungan
Masyarakat Gampong
Mekar Sari adalah
masyarakat yang agamis
dan menjunjung tinggi
nilai-nilai adat dan shari>‘at
islam. Sehingga merasa
tidak nyaman ketika
terdapat pelanggaran adat
yang dilakukan oleh salah
satu warga gampongnya
Masyarakat
gampong
Cendana adalah
masyarakat Aceh
asli yang agamis,
belum banyak
pendatang disana,
masyarakat hidup
rukun dan damai
Masyarakat
gampong
Sukajaya sangat
menjunjung
tinggi
perdamaian dan
meminimalkan
perselisihan
Masyarakat
gampong
Cendana sangat
menjunjung
tinggi
perdamaian dan
kehidupan
bermasyarakat
Jenis Tindak
Pidana
Kasus Asusila (Perzinahan) Kasus sengketa
tapal batas
Kasus Laka
lantas
Kasus
penghinaan
(fitnah)
Pasal Yang
disangkakan
Terhadap
pelaku
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Modus
Operandi
Pagi hari itu Robi
mendatang kediaman Oriza
yang mana dirumah sedang
ada Khairunnisa yang
sedang belajar. Sore hari
Khairunnisa pergi membeli
nasi, sedangkan Oriza dan
Robi sedang berdua
dirumah. Sambil menonton
tv, tangan Robi memegang
tangan Oriza, dan
menciumnya. Kemudian
Robi membuka celana Oriza
dan terjadilah hubungan
intim. besoknya Robi
kembali datang pada malam
hari dan membuat
kecurigaan warga, karena
Robi sering kali mendatangi
Oriza. Warga yang curiga
langsung mengintip dan
mendapati keduanya sedang
berduaan di dalam rumah
tanpa ada orang lain.
Keduanya langsung dibawa
ke rumah Keuchik oleh
warga
Pada hari itu
Amir menanam
beberapa pohon
pisang di
sebidang tanah
tepat disamping
rumah miliknya
yang belum
meliki pagar
(kebun miliknya
sekitar 20 meter).
Adapun tanaman
yang ditanam
tersebut melebihi
batasnya,
sehingga
menempati tanah
milik Sarta.
Ketika Sarta
mengetahui
bahwa tanaman
pihak pertama
menempati
tanahnya, pihak
kedua langsung
melaporkan
kepada Keuchik gampong.
Pada hari itu
terjadi
kecelakaan
antara mobil
sedan Honda
Civic Genio
warna biru
metalik BL 336
XA yang
dikemudikan
oleh Zulkifli
dengan sepeda
motor Honda
Supra 125
warna hitam
merah BL 3124
MC yang
dikendarai oleh
Yusal, keduanya
datang dari arah
yang sama
yaitu dari arah
Simpang Tiga
hendak menuju
Gunung Mulia.
Pada hari itu
sering sakit dan
berobat ke Hadi
(dukun
setempat). Oleh
dukun tersebut
dikatakan
bahwa
Rusminar
diguna-guna
oleh ‚keluarga
Rahmadin
(tetangga
Rusminar).
Setelah itu,
Rusminar
mengadukan
keluarga
Rahmadin ke
perangkat
gampong
Motivasi Keduanya melakukan Pelaku merasa Pelaku Pelaku
205
Melakukan
Tindak Pidana
perbuatan tersebut dengan
sadar atas dasar suka sama
suka tanpa paksaan
siapapun.
bahwa sebidang
tanah yang tidak
memiliki pagar
itu adalah
termasuk kedalam
tanah miliknya
melakukan
tanpa sengaja
dan ia mengaku
lalai dengan
tidak memasang
lampu sen saat
ingin berbelok.
terpengaruh
dengan
omongan dukun
sehingga
membuatnya
menuduh
korban
melakukan
guna-guna.
Akibat yang
ditimbulkan
oleh perbuatan
pelaku
Kedua pelaku digerebeg
dikediamannya oleh warga
karena warga merasa curiga
kepada keduanya, apalagi
Robi seringkali datang ke
tempat Oriza. Keduanya
didapati sedang berada
didalam rumah tanpa ada
yang lainnya. Keduanya
langsung dibawa oleh warga
ke ke rumah Keuchik.
Akibat perbuatan pelaku,
kehormatan masyarakat
gampong telah tercoreng.
Pelaku diperiksa
oleh perangkat
gampong, tanah
tersebut diukur
ualang oleh
perangkat
gampong, kedua
belah pihak,
babinsa, dan
kamtibmas.
Korban merasa
terugikan karena
sebidang tanah
yang juga
diakuinya telah
diambil haknya
oleh pelaku.
Pelaku
diamankan oleh
warga setempat
dirumah
Keuchik tempat
kejadian.
Kecelakaan
tersebut
mengakibatkan
Yusal
mengalami
luka-luka lecet
pada bagian
siku kiri, lutut
kiri dan kanan.
Pelaku
didudukkan
bersama oleh
perangkat
gampong
dengann korban
untuk mencari
penyelesaian
masalah.
Tuntutan
keluarga
Korban
Masyarakat yang menjadi
korban menuntut pelaku
agar diusir dari gampong,
selain dari keduanya adalah
pendatang, mereka telah
mencoreng kehormatan dan
nama baik gampong dengan
melakukan perbuatan
asusila yang dilarang oleh
Agama.
Korban dan
perangkat
gampong
meminta agar
tanah tersebut
diukur ulang,
kemudian
ditentukan
batasnya dan
dibuatkan pagar
permanen agar
tidak ada
perselisihan
dikemudian hari
Pelaku
mengakui
kesalahannya
juga dan ingin
berdamai
Pelaku agar
tidak
melakukan
kesalahan lagi
dengan tidak
menuduh
siapapun tanpa
bukti.
Reaksi
Masyarakat
Masyarakat menggerebek
kediaman Oriza dan
membawa kedua pelaku
langsung kepada Keuchik
untuk segera diproses saat
itu juga
Masyarakat
menyerahkan
penyelesaian
permasalahan
kepada perangkat
gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
perangkat
gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
perangkat
gampong
Putusan
Aparat
penegak
Hukum
Permohonan maaf kepada
masyarakat gampong, dan
diusir dari gampong Mekar
Sari.
Permohonan
maaf, mengukur
ulang tanah
sengketa,
Biaya kerusakan
kendaraan
ditanggung oleh
masing-masing
Kedua belah
pihak harus
saling
memaafkan,
206
kemudian dibuat
batas dan pagar,
dengan biaya
ditanggung oleh
kedua pihak
pihak, keduanya
berjanji
dikemudian hari
tidak akan
saling menuntut
secara hukum
yang berlaku
dan berjanji
tidak ada
dendam
dikemudian
hari antara
keduanya.
Pertimbangan
Putusan
Setelah proses mediasi dan
perdamaan yang dilakukan
oleh fungsionaris adat
dengan pelaku dan
masyarakat, akhirnya
masyarakat bisa memaafkan
kesalahan mereka asalkan
keduanya harus diusir dari
gampong, keduanya telah
merusak nama baik
gampong. Perbuatan
tersebut termasuk kedalam
pelanggaran yang paling
berat bagi masyarakat
Aceh, nilai-nilai dan budaya
Aceh menjadikan tindakan
asusila menjadi tindakan
yang kurang senonoh dan
tidak baik bagi masyarakat,
mengingat masyarakat
Aceh yang berpegang teguh
kepada shari>‘at Islam dan
nilai-nilai kebudayaan.
Setelah proses
perundingan dan
mediasi antara
keduabelah pihak
dan aparat
gampong, pelaku
mengakui
kesalahannya
karena telah
mengambil
sebagian hak
milik korban, ia
berjanji untuk
memindahkan
tanamannya
kelahan miliknya.
Saat melakukan
kesalahan
tersebut, kedua
belah pihak
mengakui telah
lalai dalam
berkendaraan.
Yusal yang
hendak
menyalip
kendaraan
Zulkifli tidak
menyelakan
lampu sen
sehingga
membuat
Zulkifli kaget,
dan
kendaraannya
menyenggol
kendaraan
Yusal hingga
terjadilah
kecelakaan
tersebut
Pelaku
menuduh
korban
melakukan
guna-guna atas
hasutan dan
pihak ketiga,
yaitu Hadi,
seorang dukun
di gampong
tersebut.
Dukun itu
adalah seorang
pendatang di
gampong
tersebut.
Setelah
diselidiki,
Rahmadin
pernah
mengatakan
bahwa ia tidak
percaya dukun,
hal tersebutlah
yang
disimpulkan
oleh perangkat
Gampong
bahwa Hadi
sakit hati
kepada
Rahmadin
207
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab lalu tesis ini berkesimpulan bahwa sejumlah
kasus sengketa adat yang terjadi telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum
positif. Penyelesaian sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan
paradigma mediasi antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif
tertentu bagi masyarakat Aceh, diantaranya: pertama, penyelesaian sengketa
sederhana, cepat, murah, dan tepat; kedua, adanya sifat kesukarelaan dalam proses
dan keterlibatan korban dan pelaku untuk menyelesaikan sengketa; ketiga,
fungsionaris adat yang bersifat aktif mencari fakta, bermusyawarah dan meminta
nasihat kepada orang tuha-tuha, sehingga putusan yang dikeluarkan adalah hasil
musyawarah dan mengandung perhatian khusus kepada hak-hak korban; keempat, hasil akhir yang dicapai adalah mementingkan kembalinya kerseimbangan
masyarakat dan ketentraman serta suasana rukun damai antar para pihak dan
masyarakat adat umumnya; kelima peradilan adat bersifat pasif dan aktif. Pasif
dalam artian dilaksanakan atas permintaan masyarakat yang dirugikan, dan aktif
dalam artian adanya tanggungjawab dari fungsionaris adat dalam menjalankan
peradilan adat; keenam, bentuk-bentuk sanksi peradilan adat adalah berupa sanksi
denda dan bukan denda. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat
ini sejalan dengan konsep Restorative Justice.
Jenis sanksi adat yang berupa denda adalah seperti pengembalian barang yang
dicuri dan diyat sebagai kompensasi kerugian korban. Sanksi adat dalam bentuk
diyat, disesuaikan pada pertimbangan fungsionaris peradilan adat atas berat dan
ringannya pelanggaran adat yang terjadi. Peradilan adat juga menjadi peringatan
awal bagi masyarakat yang melanggar kasus pidana diluar kewenangan peradilan
adat. Sanksi adat yang bersifat bukan denda adalah berupa permohonan maaf,
nasihat dan teguran, pemberian pekerjaan yang mendidik, pengusiran dan
pengucilan. Adapun perkara-perkara yang bersifat denda adalah perkara yang
menyebabkan kerugian materiil, merugikan masyarakat, dan melukai atau
menghilangkan anggota tubuh korban, seperti pencurian, penganiayaan,
pengrusakan, dan khalwat, sedangkan perkara yang bersifat bukan denda adalah
perkara perdata , perkara terringan, dan perkara terberat, seperti sengketa tapal
batas, fitnah, perselisihan dalam rumah tangga, laka lantas ringan, perselisihan
harta waris, dan perzinahan.
Dari perspektif hukum positif, sebagian penyelesaian sengketa sesuai dengan
hukum dan Undang-Undang yang berlaku, namun sebagian tidak sesuai dengan
hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Pada kasus yang berada
dibawah kewenangan peradilan adat penyelesaian sengketa sesuai dengan norma-
norma hukum di Indonesia, disamping telah dilegal formalkannya qa>nu>n peradilan
adat, namun pada kasus yang bukan menjadi kewenangan peradilan adat terlihat
tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini terlihat pada
beberapa faktor, yaitu; kurangnya pemahaman pemangku adat tentang batasan
kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa, sebagian KUHP tidak
208
diberlakukan, dan pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atas
perbuatan yang dilakukannya.
Dari perspektif hukum Islam terlihat bahwa penyelesaian sengketa adat Aceh
sebagian sesuai dengan shari’at islam, dan sebagian tidak sesuai. Hal ini terbukti
dengan diterapkannya sistem al-s}ulh} (perdamaian) dalam menyelesaikan sengketa
dan paradigma ta’zi>r dalam pemberian hukuman bagi kejahatan yang melanggar
hak-hak adami dan hak-hak Allah. Pada penyelesaian kasus hudu>d yang melanggar
hak-hak Allah, penyelesaian secara shari>‘at tidak diterapkan secara seluruhnya,
khususnya dalam hal pemberian hukuman. Al-s}ulh} pada hakikatnya hanya dapat
diterapkan pada kasus-kasus yang melanggar hak-hak adami saja. Meskipun
demikian, dengan adanya paradigma diyat, ‘Afw, dan taubat, sangat berperan
penting dalam penentuan keputusan dan sanksi bagi pelaku. ‘Afw atau maaf dari
korban menjadi simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi
perdamaian antar para pihak, diyat atau denda sebagai kompensasi atas kerugian
korban yang harus dibayar, dan taubat sebagai wujud kesadaran pelaku untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi.
Kecenderungan untuk menekankan hukuman denda bagi pelaku tindak pidana
pada perkara yang bersifat denda menjadi diantara faktor untuk meninggalkan
hukum positif pada beberapa kasus pidana berat yang menjadi kewenangan
peradilan negeri, terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang
ada, disamping faktor lain yang diinginkan oleh keduabelah pihak yaitu agar
sengketa cepat terselesaikan tanpa masalah, serta masyarakat adat Aceh yang pada
dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum adat. Begitu
juga pada hukuman yang tidak bersifat denda, pemberian maaf seolah
membebaskan pelaku tindak pidana dari keharusan bertanggungjawab atas
kejahatan yang dilakukannya.
Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang
menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara
restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan
dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus
perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum
positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan
masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs
Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar
menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya
hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji
kepada masyarakat.
B. Saran
Pertama, Kesimpulan dari hasil penelitian ini belum tentu menjelaskan adat
Aceh yang sebenar-benarnya, karena penulis hanya mengadakan penelitian selama
satu bulan tujuh hari. Kesimpulan tersebut hanya diambil sepanjanang kasus yang
didiskusikan saja. Untuk itu, perlu diadakan penelitian lanjutan terkait penyelesaian
sengketa melalui peradilan adat di Aceh, karena penelitian tentang masyarakat
yang berhadapan dengan hukum akan terus berkembang dan tidak akan ada
209
habisnya, mengingat bahwa konflik dan sengketa akan terus terjadi dalam
kehiodupan bermasyarakat.
Kedua, terlepas dari konsep ideal peradilan adat Aceh yang disebutkan, tidak
menutup adanya kekurangan dan kelebihan bagi peradilan adat Aceh, maka perlu
diadakan penelitian lanjutan terkait dengan peradilan adat Aceh yang aktif dan
pasif dalam menyelesaikan sengketa, hal ini diharapkan agar peradilan adat Aceh
dapat terus hidup dan menjadi contoh bagi peradilan adat di seluruh indonesia.
Selain itu perlu juga diadakan penelitian tentang peranan fungsionaris adat dalam
memutuskan sengketa, hal ini karena penulis melihat adanya kecenderungan
masyarakat adat Aceh untuk menyelesaikan sengketa melalui peradilan adat pada
sengketa diluar kewenangan peradilan adat.
Ketiga, proses penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat
memberikan kontribusi yang baik untuk dimasukkan dalam proses penyelesaian
sengketa melalui peradilan formal. Konsep mediasi dan perundingan yang
melibatkan antara kedua belah pihak yang bersengketa dapat menjadi alternatif
yang baik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan bagi pihak yang bersengketa,
mereka dapat berperan aktif untuk menyelesaikan perkaranya, komunikasi yang
baik akan memberikan kesadaran bagi pelaku atas kesalahannya dan berbesar hati
untuk menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh korban. Begitu pula korban,
dengan kebesaran jiwanya dapat dengan ikhlas dan tulus memaafkan kesalahan
pelaku, sehingga konflik antara keduanya dapat terselesaikan dengan jalan damai.
Keempat, Perlu adanya ketegasan dari fungsionaris adat dan penegak hukum di
Aceh mengenai pembagian penyelesaian sengketa adat, karena meskipun sudah
dikeluarkannya pergub Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa Adat Aceh, namun pada prakteknya beberapa kasus yang
bukan dibawah kewenangan peradilan adat Aceh diselesaikan melalui peradilan
adat.
Kelima, Majelis Adat Aceh dan Kapolda Aceh agar memberikan bimbingan dan
pengarahan secara berkala kepada fungsionaris adat mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa, peraturan yang berlaku, maupun pemberian sanksi yang
relevan sehingga fungsionaris adat dapat memahami secara menyeluruh proses
peradilan adat dan proses beracara dalam peradilan adat. Evaluasi yang rutin dan
masukan membangun sebagai wujud dari pengawalan pemerintah terhadap
peradilan adat juga harus dilaksanakan oleh pemerintah Aceh agar peradilan adat
dapat selalu hidup dan dapat sejalan dengan peradilan formal. Pembinaan tersebut
juga berguna agar fongsionaris adat dapat lebih loyal dan bertanggungjawab atas
tugas, kewajiban, dan tanggungjawabnya sebagai pemangku adat.
Keenam, pemerintah Aceh secara umum juga perlu memperhatikan
kelengkapan sarana dan prasarana peradilan gampong. Dokumentasi peradilan adat
baik hasil keputusan ataupun proses beracara yang masih sangat kurang, khususnya
di beberapa desa membuat peradilan adat desa kurang memiliki kekuatan, meskipun
qa>nu>n dan peraturan tentang peradilan adat telah ditetapkan. Masih banyak
masyarakat yang menganggap bahwa peradilan adat Aceh tidak memiliki kekuatan
hukum, hal ini karena keterbatasan para pemangku adat, khususnya di desa-desa
terpencil untuk mendokumentasikan hasil keputusan peradilan adat.
210
ketujuh, Pemerintah Indonesia perlu kiranya merumuskan RUU hukum pidana
yang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam bermasyarakat,
serta nilai-nilai keadilan hukum yang sesuai dengan panutan dan rasa keadilan
masyarakat itu sendiri yang akan menjadi sumber hukum dalam pembentukan
hukum positif di Indonesia untuk mencapai sebuah tujuan reformasi hukum yang
lebih baik bagi Indonesia.
Kedelapan, sistem perrdamaian dalam Islam (al-s}ulh}}) dapat diwujudkan dengan
sebuah pemaafan, pengampunan, perbaikan, dan kompensasi. Sistem tersebut
sejalan dengan sistem peradilan adat Aceh yang berlandaskan Shari’at Islam. Jika
sistem tersebut juga dimasukkan kedalam sistem peradilan positif di Indonesia,
maka akan menjadi sebuah perubahan hukum menjadi lebih baik. Karena seperti
masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia umumnya sangat berpegang kepada
budaya leluhur yang arif dan bijaksana. Ajaran seluruh agama yang mencintai
perdamaian juga menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia yang taat dalam
menjalani kehidupan beragama mereka.
Penulis menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
dan konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Hasil yang digagas tentang
penyelesaian sengketa melalui peradilan adatpada kasus adat perlu dilanjutkan dan
dibuktikan dengan penelitian lainnya dan semoga penelitian ini bisa menjadi
inspirasi bagi peneliti selanjutnya dalam kajian hukum.
211
DAFTAR PUSTAKA
Refrensi Buku
Al-Qur’an al-Kari>m
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2011.
Abdullah, M. Adil, dkk. Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laot di Aceh, Banda Aceh: Lembaga hukum Adat
Laot, 2006.
Al-Andalu>si>, Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n (w: 745 H).Tafsi>r Al Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8, Beirut: Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 2001
al-Baihaqi, Ima>m Abi> Bakar Ahmad ibn al-Husaini bin ‘Ali. (485 H), Sunan Al-Kubra,Juz 6, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2003.
al-Ba>qi, Muhammad Fuad ‘Abd.Al-Mu‘jam Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’a}>n al-Kari>m,,
Qa>hirah : Da>r al-hadith, 1364 H.
al-Bas}ri>, Abu H}asan ‘Ali>y Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi>.Al-HA>wi> Al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab Al-Ima>m Al-Shafi>’i> wa Huwa Sharh Mukhtas}ar Al-Muz}ni>, Jilid 6, Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.
al Bu>t}i>, Muhammad Sa>‘id Ramad}a>n. D}awa>bit} al-Mas}lah}ah Fi> al-Shari>at al Isla>miyah, Dimashqa> : al Maktabah al Umawi>yah, tt
Djuned, Teuku Mohd, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh,Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011
Fuady, Munir. Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum(Jakarta: Kencana, Prenada
Media Group) 2011
al-Hanbali>, Ibn Rajab.Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,
al-Hanbali>, Mans}u>r bin Yu>nus Al Bahwat (w:1051H).Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3, Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1997.
Hazairin. Tujuh Serangkai Tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet
ke-4, 53.
Ibn ‘Abiri>n Muhammad Ami>n Al Shahi>r. Radd al Mukhta>r ‘Ala> Da>r al Muhkta>r Sharh Tanwi>r al Abs}a>r, Jilid 8, Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah,1994
Ismail, Badruzzaman. Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007,
Majelis Adat Aceh(MAA), 2007
__________.Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008.
__________.Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,
2013)164
al-Jauzi>yah, Ibn al-Qayyim. I‘la>m al-Mu>qi’i>n, Juz 1, Jami>‘ al h}uqu>q Muta>hah li
jami>’ al-muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,
__________.I‘la>m al Mu>qi‘i>n, Juz 2, Jami>‘ al h}uqu>q muta>hatun li jami>’ al-
muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008.
al-Ka>sa>ni>, Abu Bakar Mas’u>d Bin Ahmad. Bada>i’ al-S}ana>i’ fi> al-Tarti>bi al-Shara>i‘, Juz 7, (Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 1986),
al-Khalla>f, Abd al-Waha>b (1972). Mas}a>dir al-Tashri‘ al-Isla>mi Fi> Ma> La> Nas} Fi>h, Kuwait : Dar al-Qalam, cet. 6, 1993
_______________. Us}ul al Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al Isla>mi>yah),tt
Koentjaraningrat. Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990)
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011.
Majelis Adat Aceh. Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Banda Aceh: MAA, 2012.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Ciputat: Logos wacana Ilmu, 2003
Muladi, dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT
alumni, 2005.
al-Muqdasi>, Abi Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah.
Al Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar Al-Khara>qi, Jilid 4, Beirut: Da>r al Kutub al
‘Ilmi>yah, 1994.
al-Najdi>, Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi>. Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad
bin Su’u>d, tt), http://sh.rewayat2.com/fkh3am/Web/12061/003.htm
Rid}a, Muhammad Rashi>d. (w: 1935), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashu>r bi Tasfi>r Al-mana>r, Juz 2 (Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.
Sa>biq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah Juz III , Beirut:Da>r Al Fikr, 1977 al-Sa‘di>, Abd al-Rahma>n bin Na>s}i>r, Al Qawa>’id} wa al-Us}u>l Al Ja>mi’ah Wa al-Furu>q
wa al-Taqa>si>m al Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin
Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di.
al-S}an’a>ni>y, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r, Subul al -ala>m Sharh Bulu>gh al-mara>m, ,Juz 2, Bab al Ghas}b, 101,
http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,( diakases pada 20
Juni 2014 )
al-Shafi’i>, Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Idris. Al Umm, Jilid 11, Kuala
Lumpur: Victory Agancy, tt
Shaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al Rahma>n bin Ishaq A>lu. Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2, Kairo: Mu’assasah Da>r Hila>l, 1994.
Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981
al-Subki>. Ima>m Taj Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abd al-Ka>fi> (771), Al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991.
Soesilo, R.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995), 244-245
al-Suyu>t}i>, Abd al-Rahma>n bin Abi Bakar Al-Suyu>t}i. Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-Huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55
Syarif, Sanusi M. Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka
Adek, Miftachhuddin Cut. ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)
di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh
(MAA) Provinsi Aceh
Advisory Conciliation and Arbitration Service (ACAS., ‚Mediation: An Approach to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-
to-resolving-workplace-issues.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2014,
Pukul 12:44
Ahira, Anne.‚Wujud kepercayaan Agama Hindu di Bali‛,
http://www.anneahira.com/kepercayaan-agama-hindu.htm, (diakses pada
5 Juni 2014, Pukul 17:34)
Alexander, Nadja. ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation
Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,
http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, (Diakses pada 07 April
(diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 11.42)
Ismail, Badruzzaman. ‚Dasar Hukum Penerapan Hukum Adat: Pelaksanaan
Peradilan Adatdi Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Peradilan
Adat Bagi Fungsionaris Adat se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tanggal 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh, 2007
_____________, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP,
Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008. Iii
_____________. ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan
Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal 20 September 2006.
______________. ‚Peradilan Adat gampong di Aceh Dasar Hukum dan Mekanisme
Penyelenggaraan Dalam SKB, GUB, POLDA, dan Ketua MAA Aceh,
____________. ‚mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu menuju
Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh, Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, diakses pada 13
Juni 2014
Iswara, I Made Agus Mahendra.‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana
fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id,
(Diakses pada 10 Februari 2014, pukul 13:20)
Jaya, Nyoman Serikat Putra. Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan
Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh
Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan Universitas Pancasakti
Tegal, tanggal 22 Agustus 2000, http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-
ki-fh-03.pdf, diakses pada 30 Juni 2014.
Kablu>, S}afwa>t ‘Aud}. Qad}a>u al s}ulh} Fi> Inha>i al Hus}u>ma>t Fi> al Shari>’a>t al Isla>mi>yah
wa al Qa>nu>n al Wad}’i>, 1995, http://www.bahrainlaw.net/post171.html,
(diakses pada 29 Agustus 2014)
Kawom, Zulfadli. ‚Qanun Al Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam
Nusantara dan Luar Negeri‛, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh,
http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=88, (diakses pada 09 Juni 2014)
Kissya, Eliza. ‚Struktur Masyarakat Adat Haruku‛, http://www.kewang-
haruku.org/struktur.html, diakses pada 5 Juni 2014 pukul 19:32)
Komisi Yudisial. Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan
penerapan keadilan Restoratif, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. (4 Januari- Pebruari 2012), 24 februari, 2012, 16,
daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam, (diakses pada 09
Juni 2014)
Purbaya, Tandino Bawor. ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan
Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal
16 februari 2014, pukul 10.02)
Puslitbang Hukum dan Peradilan. ‚Mediasi", Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2007, http://pta-
Antwerp, Belgium, ‚Victim-Offender Mediation In Flanders, Belgium,:
An Example of a Well Developed Good Practice‛, Antwerpse Dienst
Alternatieve Maatregelen (ADAM) service of restorative measures for juvenile delinquents, 5 http://www.unicef.org/tdad/1saskiakuypers.pdf,
(accessed June 05, 2014)
Satria, Deny, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus
Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya
Pengaturannya kedalam Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses
4&ChapterId=4&BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16
September 2014.
Ubbe, Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara
Melalui Peradilan Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,
januari-februari-2012.pdf, (diakses pada 28 januari 2014),
Zumeta, Zena D. ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM,http://imimediation.org/mediation-styles, (diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22)
Fatwa, Undang-Undang dan Peraturan pemerintah
Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia,
www.putusan.mahkamahagung.go.id, (diakses pada 1 Juli 2014)
Fatwa Komite Tetap, Fatwa Nomor 1016, Kerajaan Arab Saudi, Portal Lembaga Riset dan Fatwa,