Page 1
1
PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENINGKATKAN JUMLAH
SEL SPERMATOGENESIS, SEL LEYDIG, DAN SEL SERTOLI
PADA MENCIT (Mus musculus) TUA
I Gusti Ngurah Pramesemara
Program Magister Ilmu Biomedik Program, Pascasarjana Universitas Udayana
ABSTRAK
Proses penuaan umumnya terjadi karena penurunan kadar hormon. Beberapa penelitian
menyebutkan penurunan kadar growth hormone (GH) pada laki-laki tua memberikan
efek buruk pada aksis hipotalamus-hipofisis-testis, sehingga mengalami penurunan
jumlah sel spermatogenesis, sel Leydig, dan sel Sertoli. Tujuan penelitian ini adalah
membuktikan pemberian GH mampu meningkatkan jumlah sel spermatogonium A, sel
spermatosit primer pakhiten, sel spermatid 7, sel spermatid 16, sel Leydig, dan sel
Sertoli pada testis mencit tua. Penelitian ini menggunakan randomized post-test only
control group design selama 35 hari terhadap 34 ekor mencit jantan tua yang dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol diberikan suntikan
aquabidest 0,1 ml/hari subkutan dan kelompok perlakuan diberikan suntikan GH 0,0042
IU/0,1 ml/hari subkutan. Kemudian mencit dieuthanasia, testisnya diambil, dibuatkan
sediaan histologis dengan pewarnaan haematoxylin-eosin, dan diamati menggunakan
mikroskop cahaya. Data yang terdistribusi normal dianalisis dengan uji t-group dua sisi
pada taraf kemaknaan =0,05. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan rerata jumlah sel spermatogonium A [kontrol 26,88, SB 5,02 ; perlakuan 92,19, SB 11,75 ; beda rerata
65,31 (IK 95%, 58,88 sampai 71,75), P<0,0001], sel spermatosit primer pakhiten
[kontrol 29,09, SB 3,15 ; perlakuan 64,34, SB 9,40 ; beda rerata 35,24 (IK 95%, 30,22
sampai 40,26), P<0,0001], sel spermatid 7 [kontrol 26,74, SB 2,54 ; perlakuan 41,12,
SB 4,26 ; beda rerata 14,38 (IK 95%, 11,91 sampai 16,86), P<0,0001], sel spermatid 16
[kontrol 18,31, SB 1,40 : perlakuan 32,28, SB 3,91 : beda rerata 13,98 (IK 95%, 11,87
sampai 16,08), P<0,0001], sel Leydig [kontrol 10,61, SB 2,36 ; perlakuan 54,01, SB
12,76 ; beda rerata 43,39 (IK 95%, 36,76 sampai 50,03), P<0,0001], dan sel Sertoli
[kontrol 10,09, SB 1,25 ; perlakuan 16,62, SB 2,04 ; beda rerata 6,52 (IK 95%, 5,33
sampai 7,72), P<0,0001]. Disimpulkan pemberian GH mampu meningkatkan jumlah sel
spermatogonium A, sel spermatosit primer pakhiten, sel spermatid 7, sel spermatid 16,
sel Leydig, dan sel Sertoli pada mencit jantan tua.
Kata kunci : growth hormone, spermatogenesis, sel Leydig, sel Sertoli.
Page 2
2
ADMINISTRATION OF GROWTH HORMONE INCREASED
THE NUMBER OF SPERMATOGENESIS CELLS, LEYDIG CELLS,
SERTOLI CELLS IN THE OLD MICE (Mus musculus)
I Gusti Ngurah Pramesemara
Master Program In Biomedical Science, Post Graduate Program of Udayana
University
ABSTRACT
The aging process occurs generally due to decreased in hormonal level. Some studies
suggest that a decreased of growth hormone level in elderly men had negatif effects on
the hypothalamus-pituitary-testis axis, thus decreased the number of spermatogenesis
cells, Leydig cells, and Sertoli cells. The objectives of this study were to prove the
administration of GH increased the number of spermatogonia A cells, pakhiten primary
spermatocytes cells, spermatid 7 cells, spermatid 16 cells, Leydig cells, and Sertoli cells
in the old mice testis. This study used the randomized post-test only control group
design for 35 days in 34 old male mice which were divided into 2 groups ; control and
treatment. The control group was given an injection of aquabidest 0.1 ml/day
subcutaneously and the treatment group was given an GH injections 0.0042 IU/0.1
ml/day subcutaneously. Then the mice were euthanized, their testis was taken, made
histological preparations with haematoxylin-eosin staining, and observed using light
microscope. Normally distributed data were analyzed by t-group two-tail tests at
significance level =0.05. The results showed increases in the average number of
spermatogonia A cells [control 26.88, SD 5.02 ; treatment 92.19, SD 11.75 ; mean
difference 65.31 (95% CI, 58.88 to 71.75), P<0.0001], primary pakhiten spermatocytes
cells [control 29.09, SD 3.15 ; treatment 64.34, SD 9.40 ; mean difference 35.24 (95%
CI, 30.22 to 40.26), P<0.0001], spermatid 7 cells [control 26.74, SD 2.54 ; treatment
41.12, SD 4.26 ; mean difference 14.38 (95% CI, 11.91 to 16.86), P<0.0001], spermatid
16 cells [control 18.31, SD 1.40 : treatment 32.28, SD 3.91 : mean difference 13.98
(95% CI, 11.87 to 16.08), P<0.0001], Leydig cells [control 10.61, SD 2.36 ; treatment
54.01, SD 12.76 ; mean difference 43.39 (95% CI, 36.76 to 50.03), P<0.0001], and
Sertoli cells [control 10.09, SD 1.25 ; treatment 16.62, SD 2.04 ; mean difference 6.52
(95% CI, 5.33 to 7.72), P<0,0001]. This study concluded that the administration of GH
increased the number of spermatogonia A cells, pakhiten primary spermatocytes cells,
spermatid 7 cells, spermatid 16 cells, Leydig cells, and Sertoli cells in old mice testis.
Keywords : growth hormone, spermatogenesis, Leydig cells, Sertoli cells.
Page 3
3
PENDAHULUAN
Penuaan dianggap sebagai konsekuensi waktu yang mutlak, proses fisiologis yang
dialami, dan tidak dapat dihindari. Semakin lama hidup, maka semakin banyak
mengalami gangguan kesehatan. Sebagian besar ahli awalnya berpendapat bahwa tanda
dan keluhan penuaan muncul setelah memasuki umur 40 tahun. Ternyata tanda penuaan
sudah terlihat pada usia yang lebih muda. Diperlukan upaya menghambat penuaan yang
dilakukan secara dini sebelum munculnya tanda dan keluhan.1
Proses penuaan ditandai dengan penurunan dan bahkan terhentinya fungsi dan
kualitas kerja berbagai organ. Penurunan fungsi tubuh pada penuaan adalah akibat
akumulasi berbagai penyakit, penyebab dari dalam tubuh, dan pengaruh negatif
lingkungan.2
Salah satu akibat dari penuaan adalah terjadinya gangguan pada organ
reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium, labia, rahim, penis
dan testis.3 Pokok pikiran baru dan penting yang bisa menjawab penuaan yang terjadi
pada organ reproduksi adalah manusia mengalami penuaan karena kadar hormon yang
menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua.2
Banyak ditemukan laki-laki tua mengeluhkan gangguan fungsi reproduksi. Penuaan
pada organ reproduksi tidak lepas dari efek penurunan kadar hormon. Salah satunya
adalah penurunan kadar growth hormone (GH) sebagai akibat penurunan fungsi aksis
hipotalamus-hipofisis-testis yang terhubung secara langsung dan tidak langsung melalui
biomarkernya, yaitu insulin-like growth factor-I (IGF-I).4
Produksi GH menurun 14% pada setiap dekade kehidupan manusia akibat reduksi
tinggi dari amplitudo dan sekresi pulsatif GH. Penurunan kadar GH pada laki-laki tua
memberikan efek pada aksis hipotalamus-hipofisis, sehingga testis mengalami
Page 4
4
perubahan histologi dan munculnya gangguan fungsi reproduksi, termasuk gangguan
spermatogenesis, sel Leydig, dan sel Sertoli.5
Growth hormone replacement therapy telah menjadi pilihan terapi yang penting
dalam anti-aging medicine (AAM) dan tergolong sangat aman dengan efek samping
yang bersifat sementara dan tergantung dosis.2 Banyak penelitian mendapatkan fakta
bahwa pemberian GH secara signifikan memberikan stimulasi pertumbuhan jaringan
dan perbaikan fungsi testis pada berbagai hewan percobaan.6
Mengingat besarnya pengaruh GH pada kualitas hidup laki-laki tua terutama fungsi
organ reproduksinya, maka dilakukan studi yang bertujuan membuktikan kemungkinan
pemberian suntikan GH mampu menghambat penuaan pada mencit jantan tua dengan
cara meningkatkan jumlah sel spermatogenesis (sel spermatogonium A, sel spermatosit
primer pakhiten, sel spermatid 7, dan sel spermatid 16), sel Leydig, dan sel Sertoli.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini tergolong eksperimental dengan menggunakan randomized post-test
only control group design. Berdasarkan rumus Federer, maka hasil perhitungan besar
sampel untuk setiap kelompok adalah 17 ekor mencit dan total 34 ekor mencit
digunakan untuk kedua kelompok.7
Sampel dibagi menjadi dua kelompok mencit yang
tidak berpasangan, yakni kelompok perlakuan yang diberikan suntikan GH 0,0042
IU/0,1 ml/hari dan kelompok kontrol yang diberikan suntikan aquabidest 0,1 ml/hari,
kedua suntikan diberikan secara subkutan selama 35 hari.
Persiapan penelitian dan pemberian perlakuan bertempat di Laboratory Animal
Unit Bagian Farmakologi, dilanjutkan tahap pembuatan sediaan dan pemeriksaan
histopatologis di Laboratorium Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Page 5
5
Kriteria inklusi untuk sampel mencit jantan adalah bergalur Swiss-Webster, umur
14 bulan yang setara dengan manusia berumur 39 tahun dan tergolong ke dalam fase
transisi dari penuaan berdasarkan usia, dan berat badan 30-35 gram.8 Kriteria drop-out
untuk sampel adalah mencit mati saat penelitian berlangsung. Beberapa alasan mencit
digunakan sebagai sampel adalah kondisi fisiologis dan fungsi reproduksi yang relatif
mirip dengan manusia, mudah didapatkan dalam jumlah banyak, homogen untuk umur
dan berat badan, mudah dalam perawatan dan pemeliharaan, dan harga terjangkau.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suntikan GH bermerek Genotropin
dan mengandung recombinant somatropin 16 IU per 1 ml. Dosis yang digunakan adalah
0,9 IU/hari untuk manusia dengan berat badan 70 kilogram.2 Berdasarkan tabel nilai
konversi didapatkan koefisien 0,0026 untuk berat badan mencit 20 gram. Sampel
penelitian menggunakan mencit dengan berat badan berkisar 30-35 gram, maka
diperoleh rentang nilai konversi sebesar 0.0039-0,0046 dan dosis GH adalah 0,0035-
0,0042 IU/hari.9 Volume suntikan GH secara subkutan yang diberikan selama 35 hari
adalah 0,1 ml dan menggunakan dosis tertinggi sebesar 0,0042 IU/hari.
Variabel tergantung adalah jumlah sel spermatogonium A, sel spermatosit primer
pakhiten, sel spermatid 7, sel spermatid 16, sel Leydig, dan sel Sertoli. Pengamatan
mikroskopis dilakukan pada sediaan testis mencit yang dibuat menggunakan pewarnaan
haematoxylin-eosin dengan pembesaran 40x10 untuk lima lapangan pandang dan
dihitung rerata jumlah sel.
Gambaran histologis dari sel spermatogonium A berbentuk bulat, terletak dekat
membran basal, inti sel lonjong dengan kromatin halus, dan membran inti yang tipis; sel
spermatosit primer Pakhiten berbentuk bulat, ukuran besar, dekat membran basal, dan
inti sel gelap dengan kromosom terlihat jelas; sel spermatid 7 berbentuk bulat, inti sel
Page 6
6
bulat, dekat lumen, warna pucat, dan ukuran sedikit lebih kecil dibandingkan sel
spermatosit primer pakhiten; sel spermatid 16 berbentuk menyerupai spermatozoa
dewasa, berada dekat lumen, dan ekor menghadap ke lumen; sel Leydig berbentuk
polihedral, terletak di intertisial, ukuran besar, sitoplasma eosinofilik, inti sel bulat, dan
>1 nukleolus berisi granula kasar; sel Sertoli dengan gambaran dasar menempel
membran basal dan menjulur memanjang menuju lumen tubulus, inti sel oval, dan >1
nukleolus dengan satu bagian eosinofilik dan atau bagian lainnya basofilik.10
Variabel kontrol, antara lain lingkungan berupa suhu, kelembaban, cahaya, dan
higienitas dari tempat penelitian; makanan berupa konsentrat pakan ternak dan
minuman air yang diberikan ad libitum; kandang berupa kotak plastik dengan atap
penutup dari kawat yang dilengkapi tempat makan dan minum dengan setiap kandang
dialokasikan untuk enam ekor mencit.
Bahan penelitian berupa konsentrat pakan ternak dan air Aqua, Genotropin,
aquabidest water for injection steril Onemed, ether chloroform, buffer formalin 10%,
alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 100%, larutan Buoin,
toluena, reagen haematoxylin-eosin, xylol, Mayers albumin, dan paraffin.
Alat penelitian, antara lain kandang mencit, timbangan Tanita dengan skala gram,
spuit 1 ml, 10 ml, dan 50 ml Onemed, jarum suntik 30 Gauge Onemed, mikrotom,
gelas reagen, gelas obyek, deck glass, staining jar, dan tissue processor, dan mikroskop
cahaya Olympus tipe CX41 dengan kamera OptiLab.
Alur penelitian seperti tampak pada Gambar 1, diawali dengan persiapan sampel
yang dikembangbiakkan dan diperoleh dari WA pet shop Yogyakarta. Sampel
diadaptasi selama satu minggu, kemudian ditempatkan secara acak pada kandang
Page 7
7
kelompok perlakuan dan kontrol yang berisi masing-masing 6 ekor mencit. Sampel
diberikan makanan berupa konsentrat pakan ternak dan minuman air putih ad libitum.
Genotropin yang berbentuk tabung kaca dengan dua ruang dan merupakan hasil
sintesis dari strain Escherichia coli yang telah dimodifikasi dengan penambahan gen
hGH sehingga menjadi identik. Ruang depan berisi bubuk 5,3 mg recombinant
somatropin yang setara dengan 16 IU, glisin 2 mg, natrium dihidrogen fosfat anhidrat
0,29 mg, dan dinatrium fosfat 0,28 mg. Ruang belakang mengandung 3 mg m-cresol
sebagai pengawet dan manitol 41 mg dalam aquabidest 1 ml sebagai pengencer. Bubuk
recombinant somatropin dicampur dengan pengencer dan pengawet, sehingga diperoleh
sediaan GH 16 IU/1 ml. Untuk setiap harinya diambil GH 0,8 IU/0,05 ml dan
diencerkan dengan aquabidest 19 ml untuk mendapatkan dosis 0,0042 IU yang
digunakan dalam penelitian. Sediaan GH tersebut diambil sesuai kebutuhan penelitian
setiap hari dan sisanya disimpan dalam kulkas.
Sejumlah 17 ekor mencit dari setiap kelompok ditempeli label pada kandang untuk
post-test dan mendapatkan perlakuan yang sesuai selama 35 hari. Suntikan subkutan
GH 0,0042 IU/0,1 ml/hari diberikan kepada kelompok perlakuan, sedangkan kelompok
kontrol diberikan suntikan subkutan aquabidest 0,1 ml. Pemberian suntikan dilakukan
dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri memegang ekor mencit, serta membiarkan
mencit memegang kawat. Tangan kanan memegang spuit dan disuntikkan 45º ke bawah
kulit punggung dengan baik untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada mencit.9
Setelah melewati masa perlakuan, maka dilakukan euthanasia dengan memasukkan
mencit ke dalam toples berisi kapas yang sudah dibasahi ether chloroform. Pemakaian
ether chloroform karena membuat mencit mati dalam waktu singkat sehingga
Page 8
8
mengurangi penderitaan. Dilanjutkan tahapan pembedahan mencit untuk mengambil
kedua testis dan mencit mati dikubur dalam tanah.
Pembuatan sediaan histologis diawali dengan fiksasi organ testis dalam larutan
buffer formalin 10% selama 24 jam dan dilanjutkan larutan Bouin selama 3 jam.
Selanjutnya testis dicuci beberapa kali dengan larutan alkohol 70%, proses dehidrasi
dilakukan dengan larutan alkohol konsentrasi bertingkat, dan untuk menjernihkan
sediaan dimasukkan ke dalam larutan toluena selama 24 jam. Dilakukan infiltrasi
paraffin ke dalam jaringan dengan merendam testis menggunakan campuran larutan
toluena dan paraffin selama 30 menit, serta tahap embedding untuk menanam testis ke
dalam paraffin padat. Blok paraffin yang berisi testis disayat menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 3-5 μm. Hasil irisan ditempel pada gelas obyek yang telah diolesi
dengan Mayers albumin dan dibiarkan selama 24 jam agar cukup kuat. Diakhiri
pewarnaan sediaan histologis menggunakan reagen haematoxylin-eosin, ditutup, dan
direkatkan dengan permount
Data kuantitatif berupa jumlah sel spermatogonium A, sel spermatosit primer
pakhiten, sel spermatid 7, sel spermatid 16, sel Leydig, dan sel Sertoli dari kedua
kelompok sampel. Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya Olympus dan
kamera OptiLab dengan pembesaran 40x10. Teknik pengamatan dilakukan dengan
penyisiran sediaan histologis yang dimulai dari pojok kiri-atas sediaan, kemudian
bergerak spiral menuju kanan-bawah untuk mendapatkan lima lapangan pandang
terbaik pada testis kanan dan kiri.
Data penelitian dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 meliputi analisis
deskriptif dengan kualifikasi data numerikal, uji normalitas dengan Shapiro-Wilk test
dan dinyatakan terdistribusi normal dengan P>0,05, uji homogenitas varian data dengan
Page 9
9
Levene’s test dan dinyatakan homogen dengan P>0,05, dan uji statistik parametrik
karena data terdistribusi normal, yaitu t-group (independent sample t-test) two-tail test
pada taraf kemaknaan = 0,05.
Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan etik (no. 283/UN.14.2/Litbang/2015) dari
Komite Etik Penelitian dan Unit Litbang dari Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Gambar 1. Alur penelitian.
HASIL
Setelah menyelesaikan tahapan perlakuan, maka diperoleh rerata jumlah sel-sel
untuk kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol seperti yang
terlihat pada Tabel 1.
Mencit (Mus musculus)
34 ekor
Adaptasi 1 Minggu
Kelompok Kontrol 17 ekor
(P0)
Aquabidest injeksi subkutan
0,1 ml
Post-Test 17 ekor
(O1)
Kelompok Perlakuan 17 ekor
(P1)
Growth hormone injeksi subkutan
0,0042 IU/0,1 ml/hari
Post-Test 17 ekor
(O2)
Analisis Data
- Pengadaan suntikan growth hormone
- Persiapan hewan coba
Pemberian perlakuan selama
35 hari
- Pembuatan sediaan histologis
- Pengamatan mikroskopis dan
penghitungan jumlah
sel spermatogonium A,
sel spermatosit primer pakhiten,
sel spermatid 7, sel spermatid
16, sel Leydig, dan sel Sertoli
Page 10
10
Tabel 1. Rerata jumlah sel setelah perlakuan.
Kelompok n Rerata (SB)
Sel Spermatogonium A Kontrol 17 26,88 (5,02)
Perlakuan 17 92,19 (11,75)
Sel Spermatosit Primer Pakhiten Kontrol 17 29,09 (3,15)
Perlakuan 17 64,34 (9,40)
Sel Spermatid 7 Kontrol 17 26,74 (2,54)
Perlakuan 17 41,12 (4,26)
Sel Spermatid 16 Kontrol 17 18,31 (1,40)
Perlakuan 17 32,28 (3,91)
Sel Leydig Kontrol 17 10,61 (2,36)
Perlakuan 17 54,01 (12,76)
Sel Sertoli Kontrol 17 10,09 (1,25)
Perlakuan 17 16,62 (2,04)
Data rerata jumlah sel spermatogenesis, sel Leydig, dan sel Sertoli dari testis mencit
tua pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diuji normalitas dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan hasil keseluruhan terdistribusi normal (P>0,05)
seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji normalitas rerata jumlah sel setelah perlakuan.
Kelompok N P Interpretasi
Sel Spermatogonium A Kontrol 17 0,181 Normal
Perlakuan 17 0,917 Normal
Sel Spermatosit Primer Pakhiten Kontrol 17 0,271 Normal
Perlakuan 17 0,339 Normal
Sel Spermatid 7 Kontrol 17 0,975 Normal
Perlakuan 17 0,137 Normal
Sel Spermatid 16 Kontrol 17 0,314 Normal
Perlakuan 17 0,854 Normal
Sel Leydig Kontrol 17 0,955 Normal
Perlakuan 17 0,729 Normal
Sel Sertoli Kontrol 17 0,110 Normal
Perlakuan 17 0,969 Normal
Setelah melalui uji normalitas yang mendapatkan data terdistribusi normal, maka
dilanjutkan uji parametrik, yaitu t-group (independent sample t-test) two-tail test pada
taraf kemaknaan = 0,05 dengan hasil semua kelompok sel-sel menunjukkan nilai
P<0,05 seperti tampak pada Tabel 3.
Page 11
11
Tabel 3. Hasil uji parametrik rerata jumlah sel setelah perlakuan.
Kelompok n Rerata SB Beda Rerata
(IK 95%) P
Sel Spermatogonium A Kontrol 17 26,88 5,02 65,31 (58,88
sampai 71,75) 0,001
Perlakuan 17 92,19 11,75
Sel Spermatosit Primer
Pakhiten
Kontrol 17 29,09 3,15 35,24 (30,23
sampai 40,26) 0,001
Perlakuan 17 64,34 9,40
Sel Spermatid 7 Kontrol 17 26,74 2,54 14,38 (11,91
sampai 16,86) 0,001
Perlakuan 17 41,12 4,26
Sel Spermatid 16 Kontrol 17 18,31 1,40 13,98 (11,87
sampai 16,08) 0,001
Perlakuan 17 32,28 3,91
Sel Leydig Kontrol 17 10,61 2,36 43,39 (36,76
sampai 50,03) 0,001
Perlakuan 17 54,01 12,76
Sel Sertoli Kontrol 17 10,09 1,25 6,52 (5,33
sampai 7,72) 0,001
Perlakuan 17 16,62 2,04
Hasil pengamatan mikroskopis dari sediaan histologis testis mencit tua
menunjukkan gambaran jumlah sel-sel pada kelompok perlakuan pada Gambar 2 lebih
banyak dibandingkan kelompok kontrol pada Gambar 3.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari testis mencit tua kelompok perlakuan dengan
pembesaran 40x10. Lingkaran kuning adalah sel spermatogonium A, lingkaran biru
adalah sel spermatosit primer pakhiten, lingkaran putih adalah sel spermatid 7,
lingkaran ungu adalah sel spermatid 16, lingkaran merah adalah sel Leydig, dan
lingkaran hijau adalah sel Sertoli.
Page 12
12
Gambar 3. Tampilan mikroskopis dari testis mencit tua kelompok kontrol dengan
pembesaran 40x10. Lingkaran kuning adalah sel spermatogonium A, lingkaran biru
adalah sel spermatosit primer pakhiten, lingkaran putih adalah sel spermatid 7,
lingkaran ungu adalah sel spermatid 16, lingkaran merah adalah sel Leydig, dan
lingkaran hijau adalah sel Sertoli.
DISKUSI
Growth hormone meningkatkan jumlah sel dengan hasil uji parametrik yang
menunjukkan nilai P<0,05 untuk semua kelompok sel yang terlibat dalam
spermatogenesis. Hal ini berarti terdapat perbedaan rerata jumlah sel spermatogonium
A, sel spermatosit primer pakhiten, sel spermatid 7, dan sel spermatid 16 yang
bermakna dari testis mencit tua kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol.
Terapi GH mampu meningkatkan spermatogenesis terutama paling signifikan pada
motilitas spermatozoa. Studi pada mamalia mengetahui bahwa IGF-I yang diproduksi
hati dan tergantung GH mampu menginduksi spermatogenesis. Selanjutnya sel germinal
pada testis membentuk reseptor IGF-I dan meningkatkan sintesis DNA spermatogonium
untuk merespon aksi IGF-I. Reseptor dari GH maupun IGF-I ditemukan dalam jumlah
Page 13
13
maksimum pada tahap awal spermatogenesis dan menurun secara progresif hingga
jumlah minimum pada akhir proses spermatogenesis.6
Pemberian terapi GH meningkatkan jumlah sel Leydig dengan hasil uji parametrik
yang menunjukkan nilai P<0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan rerata jumlah sel
Leydig yang bermakna dari testis mencit tua pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Sel Leydig merupakan salah satu target aksi dari GH yang dibuktikan oleh studi
menggunakan berbagai spesies yang menunjukkan sel Leydig mampu mengekspresikan
GH dan reseptor IGF-I, serta mengekspresikan IGF-I yang distimulasi oleh GH. Sel
Leydig mampu menanggapi peningkatan kadar GH yang diinduksi oleh IGF-I secara
sistemik maupun lokal. Menurut Bartke6 bahwa telah banyak penelitian yang berhasil
membuktikan pemberian GH ataupun IGF-I mampu mengembalikan proliferasi yang
normal dan meningkatkan jumlah dari sel Leydig.
Pemberian terapi GH meningkatkan jumlah sel Sertoli dengan hasil uji parametrik
yang menunjukkan nilai P<0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan rerata jumlah sel
Sertoli yang bermakna dari testis mencit tua pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Growth hormone memiliki banyak target organ dan aksi, serta tereskpresi dibanyak
organ termasuk sel Sertoli pada testis. Sebuah penelitian berhasil membuktikan
ketiadaan IGF-I menyebabkan penurunan jumlah sel Sertoli pada hewan percobaan
yang diakibatkan penurunan proliferasi dan atau peningkatan kematian sel Sertoli.11
Normalnya proliferasi sel Sertoli pasca-pemberian GH memegang peranan penting
dalam regulasi dari inisiasi dan keberlanjutan proses spermatogenesis.12
Jumlah sel
Sertoli berkorelasi dengan ukuran testis dan proses spermatogenesis.13
Page 14
14
SIMPULAN
Pemberian GH terbukti mampu meningkatkan jumlah sel spermatogenesis (sel
spermatogonium A, sel spermatosit primer pakhiten, sel spermatid 7, sel spermatid 16),
sel Leydig, dan sel Sertoli pada testis mencit tua.
DAFTAR PUSTAKA
1. Darmojo RB. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2. Pangkahila WI. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan, Meningkatkan
Kualitas Hidup. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2007.
3. Klentze M. The New Science of Anti-Aging Hormone Replacement Therapy: A
Multidimensional Approach. Dalam: Klatz R, penyunting. Anti Aging Medical
Therapeutics. Volume 5. Chicago: The A4M Publications; 2003. h. 415-9.
4. Kühnert B, Nieschlag E. Reproductive Functions of the Ageing Male. Dalam:
Nieschlag E, editors. Human Reproduction Update. Volume 10. European Society
of Human Reproduction and Embryology; 2004. h. 327-39.
5. Lobie PE. The Science Behind Growth Hormone. Dalam: Klatz R, Goldman R,
penyunting. Anti Aging Medical Therapeutics. Volume 6. Chicago: The A4M
Publications; 2004. h. 149-57.
6. Bartke A. Review: Effects of Growth Hormone on Male Reproductive Functions.
Journal of Andrology. 2000;21:181-8.
7. Furlong N, Lovelance E, Lovelance K. An Integrated Approach: Research Method
and Statistics. Edisi IX. United States of America: Harcourt College Publisher;
2000.
8. Schwiebert R. The Laboratory Mouse. Rodent Users Wet Lab Handout. 2007;1:3-
23.
9. Ngatidjan. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Yogyakarta: Penerbit Bagian
Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada;
2006.
10. Cheville NF. Introduction to Veterinary Pathology. Edisi ke-3. Iowa: Iowa State
University Press; 2006.
11. Froment P, Vigier M, Nègre D, Fontaine I, Beghelli J, Cosset FL, dkk. Inactivation
of the IGF-I Receptor Gene in Primary Sertoli Highlights the Aoutocrine Effects of
IGF-I. Journal of Endocrinology. 2007;194:557-68.
12. Bhaskar M. In Vitro Studies on Changes in Selected Biochemical Parameters and
Morphology of Sertoli Cells in Mice Overexpressing Bovine Growth Hormone.
IOSR Journal of Pharmacy. 2013;3:43-8.
13. Petersen C, Söder O. The Sertoli Cell – A Hormonal Target and ‘Super’ Nurse for
Germ Cells that Determines Testicular Size. Hormone Research. 2006;66:153-61.