Top Banner
Draft I Membingkai Pemberdayaan Masyarakat Desa Sutoro Eko Ketika saya memberi makan pada orang miskin, mereka menyebut saya seorang pendeta. Ketika saya bertanya mengapa kaum miskin tidak mempunyai pangan, mereka menyebut saya seorang komunis. (Dom Helder Camara) Pemberdayaan (empowerment) telah menjadi sebuah jargon yang sangat populer dalam khazanah pembangunan di Indonesia selama satu dekade terakhir. Bahkan ia menjadi sebuah konsep yang latah dan mengalami inflasi. Banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah, politisi, ulama, akademisi, sampai aktivisi sosial berbicara tentang pemberdayaan. Pemerintah, yang dulu ikut memperdayakan masyarakat dengan konsep pembinaannya, sekarang sangat getol berbicara pemberdayaan. Kementerian Urusan Peranan Wanita digantikan dengan Pemberdayaan Perempuan. Departemen Dalam Negeri juga merubah Ditjen Sospol menjadi Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat serta Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa menjadi Ditjen Bina Pemberdayaan Masyarakat. Di daerah/lokal muncul Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebagai pengganti LKMD, Lembaga Pemberdayaan Perempuan untuk menggantikan PKK dan masih banyak lagi. Mengapa para pejabat pemerintah itu memunculkan konsep pemberdayaan? Apa konsep, perspektif dan kebijakan pemerintah tentang pemberdayaan? Adakah perubahan paradigmatik dari pembangunan dan pembinaan ke pemberdayaan? 1
35

Pemberdayaan Masyarakat Desa

May 15, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Membingkai PemberdayaanMasyarakat Desa

Sutoro Eko

Ketika saya memberi makan pada orang miskin,mereka menyebut saya seorang pendeta.

Ketika saya bertanya mengapa kaum miskintidak mempunyai pangan,

mereka menyebut saya seorang komunis.(Dom Helder Camara)

Pemberdayaan (empowerment) telah menjadi sebuah jargon yang sangat populer dalam khazanah pembangunan di Indonesia selama satu dekade terakhir. Bahkan ia menjadi sebuah konsep yang latah dan mengalami inflasi. Banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah, politisi, ulama, akademisi, sampai aktivisi sosial berbicara tentang pemberdayaan. Pemerintah, yang dulu ikut memperdayakan masyarakat dengan konsep pembinaannya, sekarang sangat getol berbicara pemberdayaan. Kementerian Urusan Peranan Wanita digantikan dengan Pemberdayaan Perempuan. Departemen Dalam Negeri juga merubah Ditjen Sospol menjadiKesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat serta Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa menjadi Ditjen Bina Pemberdayaan Masyarakat. Di daerah/lokal muncul Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebagai pengganti LKMD, Lembaga Pemberdayaan Perempuan untuk menggantikan PKK dan masih banyak lagi. Mengapa para pejabat pemerintah itu memunculkan konsep pemberdayaan? Apa konsep, perspektif dan kebijakan pemerintah tentang pemberdayaan? Adakah perubahan paradigmatik dari pembangunan dan pembinaan ke pemberdayaan?

1

Page 2: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan di atas, seraya mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam konteks pemberdayaan. Tetapi ada jawaban sementara banyak orang bahwa pemerintah hanya bersikap reaktif terhadap isu-isu pemberdayaan yang berkembang di ruang publik dengan cara mengganti “baju”, sementara substansi dan proses kebijakan pemberdayaan tidak berubah.Karena itu pemberdayaan yang dikedepankan pemerintah kurang otenti dan bermakna bagi masyarakat.

Melalui tulisan ini, saya tidak sekadar melakukan kompilasi terhadap konsep dan isu pemberdayaan yang telah berserakan, tetapi saya hendak membingkai kembali konsep, perspektif dan strategi pemberdayaan masyarakat, yang kemudian akan saya bawa masuk ke dalam konteks masyarakat desa. Pada bagian pertama saya akan mereview konteks historis dan pergeseran paradigmatik yang mendorong konseppemberdayaan semakin populer selama satu dekade terakhir. Bagian kedua akan mengelaborasi konsep, cakupan dan perspektif pemberdayaan yang sudah dikembangkan oleh para teoretisi dan aktivis. Tentu saja pemahaman tentang pemberdayaan sangat bervarian, sehingga yang lebih pentingdi sini adalah bagaimana dan dimana saya mengambil posisi berdiri. Bagian ketiga memasuki pemetaan problem (ketidakberdayaan) masyarakat desa secara ekonomi, politikdan sosiologis. Pada bagian terakhir saya akan merumuskan dan membingkai kembali sejumlah agenda strategis pemberdayaan masyarakat desa.

KONTEKS PEMBERDAYAANUntuk memahami asal-usul pemberdayaan saya tidak

perlu menengok terlalu jauh pada paradigma pencerahan (enlightenment) yang lahir pada Abad Pertengahan. Perkembangan mutakhir yang membuat populer pemberdayaan bisa dilacak pada sekuen waktu tiga dekade terakhir ketikaterjadi perubahan haluan pada tradisi ilmu sosial, studi dan kebijakan pembangunan, serta gerakan sosial yang berbasis pada masyarakat sipil. Dengan kalimat lain, saya berpendapat bahwa pemberdayaan yang kini populer didorong oleh tiha hal: berkembangnya ilmu sosial berhaluan humanistik; munculnya paradigma pembangunan alternatif

2

Page 3: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

sebagai solusi (kritik) terhadap developmentalisme; serta gerakan civil society yang mendorong demokratisasi di belahan dunia.

1. Ilmu Sosial Humanistik Secara paradigmatik munculnya konsep pemberdayaan

bisa dilacak dari perlawanan ilmu-ilmu sosial humanistik terhadap positivisme yang sudah lama menjadi ideologi hegemonik dalam tradisi ilmu-ilmu sosial. Positivisme adalah sebuah aliran dalam tradisi keilmuan yang hendak membersihkan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis kehidupan manusia. Ia menganggap pengetahuan mengenai fakta obyektif sebagai pengetahuan yang sahih. Ilmu, menurut positivisme, harus netral, bebas dari nilai, bebasdari kepentingan dan lain-lain (A. Giddens, 1975; V. Kraft, 1979).

Positivisme menjadi racun mujarab bagi ilmu-ilmu sosial dan para ilmuwan sosial. Mereka selalu mengangungkan cara berpikir positivistik, dengan mengutamakan obyektivitas dalam berbagai kegiatan keilmuan. Dalam kegiatan penelitian misalnya, pengikut positivisme selalu menggunakan metode survei dan kuantitatif yang selalu menghasilkan kebenaran ilmiah yangobyektif. Subyektivitas sama sekali tidak dikenal dalam benak mereka, karena subyektivitas dianggap tidak ilmiah dan menyesatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Konsepberpihak dan pemberdayaan maupun metode action research tidak dikenal dalam tradisi positivisme. Tetapi banyak penelitian survei yang lengkap dengan banyak rekomendasi ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Sikap obyektif ilmuwan sosial yang berhaluan positivisme menjadikan mereka tidak “kritis” terhadap relasi-relasi sosial dalam masyarakat, sehingga mereka secara sistemik justru terlibat dalam proses penindasan atau ikut melanggengkan status quo yang represif.

Positivisme yang menghegemoni ilmu-ilmu sosial dan perguruan tinggi memang tidak luput dari kritik. Perspektif berhaluan kiri (Marxis), teori kritis Mazhab

3

Page 4: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Frankfrut sampai postmodernisme telah lahir sebagai kritikatas positivisme yang sebenarnya menindas masyarakat. Teori kritik yang dikembangkan Jürgen Habermas (1971, 1974, 1979) dan para pendahulunya, sebagai contoh, sangat tidak percaya pada positivisme yang mengangungkan ilmu pengetahuan bebas nilai dan kepentingan. Sebaliknya, menurut teori kritik, setiap pengetahuan membawa kepentingan. Menurut teori kritik, pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya terkait pada praksis kehidupan sosial manusia. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan dan bentuk kesadaran manusiawi, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan bentuk pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Jika pengetahuan dan ilmu pengetahuan membeku (karena positivisme) menjadi delusi atau kesadaran palsu yang merintangi praksis sosial untuk mewujudkan kebaikan, kebenaran, kebahagiaan dan kebebasannya, maka keduanya telah berubah menjadi ideologi. Teori kritik sangat berkepentingan membebaskan sekaligus menyembuhkan masyarakat yang mendekam dalam kungkungan ideologi (positivisme) itu melalui kritik ideologi. Kepentingan teori kritik disandarkan pada prinsip bahwa manusia sebagai spesies punya kepentingan emansipatoris untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan ideologis melalui perantara kekuasaan, dan kepentingan ini tampil dalam benutk pengetahuan analitis yang disistematisir secara metodis menjadi ilmu-ilmu sosial kritis-humanistik.

Konsep pemberdayaan sebenarnya sangat diilhami, atau paling tidak, bisa dilacak dengan teori kritis di atas. Pemberdayaan sebagai bentuk keberpihakan ilmu sosial dan ilmuwan sosial sangat diilhami oleh kepentingan emansipatoris, tindakan revolusioner dan metodologi refleksi-diri yang dikembangkan oleh teori kritik. Kita tidak bakal memperoleh pemahaman tentang pemberdayaan bilamasih menggunakan kacamata positivisme, karena aliran ini hanya mempunyai kepentingan teknis, tindakan rasional dengan dukungan metodologi empiris-analitis, serta mengecam habis-habisan keberpihakan. Ketika pemberdayaan menjadi wacana, kerangka kerja dan metodologi teori kritik

4

Page 5: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

tersebut sering digunakan oleh para ilmuwan dan praktisi sosial, misalnya melalui action research dengan menggunakan metode Participatory Action Research (PAR). Metode PAR antara lain menganjurkan penelitian bersama antara peneliti dengan masyarakat untuk mengidentifikasi masalah lokal, menguraikan, menganalisis dan sekaligus memecahkan masalahbersama-sama. Dengan demikian, PAR yang berbasis pada teori kritik itu mengutamakan pendekatan intersubyektivitas, sebagai proses bersama untuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menurut teori kritik ini adalah sebuah upaya refleksi-diri dan emansipatoris untuk mewujudkan kesadaran kritis yang bisa dicapai dengan “pendidikan pembebasan” seperti dibayangkanPaulo Freire.

2. Pembangunan AlternatifGerakan kritis itu tidak hanya terjadi di bilik ilmu

sosial dan metodologi, tetapi juga di kalangan ahli dan praktisi pembangunan. Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis telah melontarkan pertanyaan besar, mengapa terjadi kemiskinan di tengah-tengah gencarnya proyek-proyek pembangunan? Dudley Seers (1969), misalnya, menilai pertanyaan kritis itu telah mengundang upaya serius memikirkan kembali doktrin-doktrin pembangunan. Konon tumbuh ortodoksi yang kuat bahwa merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karenagagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhioleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme.

Teori modernisasi lahir sebagai peristiwa penting dunia setelah Perang Dunia Kedua. Pertama, setelah munculnyaAmerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua. Kedua, pada saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet memperluas pengaruh politiknya sampai diEropa Timur dan Asia, antara lain di Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satuusaha pembendungan penyuburan ideologi komunisme. Ketiga,

5

Page 6: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model pembangunan yang bisa digunakan sebagai contohuntuk membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinanjatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan Uni Soviet.4

Sebelum Perang Dunia Kedua, persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga tidak begitu mendapat perhatian para ilmuwan Amerika Serikat. Akan tetapi, setelah Perang DuniaKedua, keadaan yang sebaliknya terjadi. Dengan bantuan melimpah dari Amerika Serikat dan organisasi swasta, satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi, psikologi, antropologi, serta ahli kependudukanmenghasilkan karya-karya disertasi dan monograf tentang Dunia Ketiga. Satu aliran pemikiran antardisiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi sedang terbentuk pada tahun 1950-an tersebut. Karya kajian teori modernisasi merupakan industri yang tumbuh segar sampai pertengahan 1960-an.

Secara epistemologis, teori modernisasi adalah campuran antara pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme kultural Parsonian. Para pendukungnya memandang bahwa masyarakat bakal berubah secara linier, yaitu perubahan yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern. Pandangan teori modernisasi semacam itu diilhami oleh pengalaman sejarah Revolusi Industri di Inggris yang dianggap sebagai titik awal pertumbuhan ekonomi kapitalis modern dan Revolusi Perancis sebagai titik awal pertumbuhansistem politik modern dan demokratis.

Perdebatan pembangunan dalam pagar teori modernisasi melibatkan para sarjana dari berbagai kalangan, baik ekonom, sosiolog, psikolog dan ilmuwan politik. Para ekonom

6

Page 7: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

seperti Rostow, Micahel Todaro, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Everett Hagen dan sebagainya umumnya berbicara – dengan cara pandangnya masing-masing -- tentang implikasi pengalaman industrialisasi di Barat pada pembangunan di wilayah Dunia Ketiga, serta membicarakan strategi dan perencanaan pembangunan, perdagangan internasional, transfer teknologi, investasi, yang kesemuanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Kehadiran para ekonom dalam tradisi modernisasi ituyang kemudian mendeklarasikan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Yaitu paradigma yang terfokus pada persoalan bagaimana menjamin atau meningkatkan perbaikan taraf hidup rakyat secara terus menerus, yang tercermin dari kenaikan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita (GNP) secara kumulatif. Terlebihlagi ketika PBB menetapkan tahun 1960-1970 sebagai Dekade Pembangunan I, yang memandang "pembangunan" dalam arti pencapaian pertumbuhan GNP sebesar 6 persen per tahun.

Aliran ekonomi klasik menganjurkan bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui investasi modal besar-besaran dalam proses industrialisasi.1 Segala aset sumberdaya yang terakumulasi digunakan untuk mencapai peningkatan produksi semaksimal mungkin. Oleh karena itu, David Korten memberinya atribut pendekatan pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan. Model pembangunan ini memusatkan perhatian pada:

1. Industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian;

2. Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan, padahal mayoritas penduduk tinggal di daerah pedesaan;

3. Pemilikan aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif yang luas, dengan akibat investasi-investasi pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak;

1 ?Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta:Gramedia, 1995).

7

Page 8: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

4. Penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaansumberdaya modal yang optimal, dengan akibat sumberdaya modal dimanfaatkan sedangkan sumberdayamanusia tidak dimanfaatkan secara optimal;

5. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumberdaya ini, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basis sumber-daya alami secara cepat;

6. Efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam bagian sistem itu.2

Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan telah didorong oleh model-model ilmu ekonomi sistem terbuka yangkonvensional, yang memandang baik orang (manusia) maupun lingkungan sebagai variabel luar. Manusia ditempatkan sebagai sumberdaya produksi yang dapat dipasarkan, yang dibeli bila keuntungan marjinalnya bagi perusahaan mele-bihi biaya marjinalnya dan menyingkirkannya bila tidak menguntungkan. Biaya sosial dan lingkungan dari kepu-tusan-keputusan perusahaan sebagian besar tidak ditang-gungnya, dan diteruskan kepada kalangan umum, sementara keuntungan diakumulasikan ke dalam atau menjadi milik pribadi perusahaan.3

Selain itu, model pembangunan tersebut percaya mela-lui efek tetesan ke bawah (trickle down effect), yakni bila

2 ?David C. Korten, "Kerangka Kerja Perencanaan UntukPembangunan Yang Berpusat-Pada-Rakyat", dalam David C. Kortendan Sjahrir, (eds.), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 269-270.3 ?Ibid., hal. 270.

8

Page 9: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

terjadi akumulasi kapital di kalangan kelas atas atau pusat, maka kapital itu akan menetes ke bawah. Orang-orangdi bawah akan "kecipratan" kekayaan ini, misalnya dalam bentuk lapangan kerja yang diciptakan. Macam-macam konsumsi orang kaya juga akan memberikan penghasilan bagi orang-orang di lapisan bawah.4 Karena itu lewat mekanisme semacam itu pula perbaikan hidup rakyat pedesaan, yang mayoritas miskin, diharapkan dapat terwujud. Peter Hagul misalnya mencatat: "Perbaikan taraf hidup rakyat di pedesaan, seperti halnya perbaikan hidup rakyat pada umumnya mula-mula diharapkan dari pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan.5

Namun sejarah menunjukkan bahwa "trickle down effect" tidakmampu mengangkat kesejahteraan penduduk miskin. Suatu studi komprehensif antar bangsa yang meliputi 74 negara yang dilakukan oleh Adelman dan Morris (1978), menunjukkanbahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relatif pendapatan nasional yang diterima penduduk termiskin.6 Dengan demikian efek tetesan ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi justru penyedotan ke atas (trickle-up effect) atau malahan akan terjadi penyedotan produksi (production squeeze). Hal ini terjadi karena program-program pembangunan direncanakan secara terpusat (top down), yang seringkali tidak sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi dan kebutuhan-kebutuhan yangdirasakan oleh masyarakat bawah yang menjadi tujuan pembangunan. Selain itu para perencana dan penentu kebijakan yang menggariskan sasaran pembangunan dan mengalokasikan sumber dana sering berada di bawah tekanan situasi untuk memprodusir hasil kuantitatif dalam waktu yang singkat, sehingga mereka condong menekankan sasaran-sasaran dari atas.7

4 ?Arief Budiman, op. cit., hal. 124 ff.5 ?Peter Hagul (ed.), Pembangunan Desa dan Lembaga SwadayaMasyarakat Desa (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. vi. 6 ?Diadaptasi dari Moeljarto Tjokrowinoto (1987), op.cit., hal. 33.7 ?Bambang Ismawan, "Pendidikan Yang Diperlukan UntukPengembangan Pedesaan", dalam Peter Hagul (ed.), op. cit., hal. 6.

9

Page 10: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Secara singkat dapat dikatakan bahwa model pertumbuhanhanya menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi lebih miskin. Karena itu kritik dan kecaman terhadap doktrin developmentalisme itu terus mengalir, mulai dari penganut paradigma kebutuhan pokok, teori ketergantungan sampai dengan pendekatan dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan. Karya Dudley Seers, yang idenya memberikan pengertian baru terhadap pembangunan danmemberi ilham terhadap pemberdayaan, banyak dibicarakan dalam forum-forum internasional seperti Konferensi Stokholm mengenai Lingkungan Manusia (1972) dan Seminar Cocoyoc (Meksiko) mengenai Pola Strategi Penggunaan SumberDaya Lingkungan dan Pembangunan (1974). Kedua forum tersebut setuju bahwa pembangunan harus diarahkan pada manusia dan lingkungannya (Friedmann, 1992). Pada tahun 1975, Yayasan Dag Hammarskjold Swedia menerbitkan laporan yang berjudul “What Now? Another Development” untuk memperingati 30 tahun PBB. Dalam laporan itu disampaikan tuduhan terhadap kegagalan model dan kebijaksanaan pembangunan kemiskinan massal dan sustainability. Laporan itumengakui bahwa untuk memberantas kemiskinan, pembangunan harus bersifat endogenous dan self-reliance. Maka, pembangunanharus tergantung pada kekuatan masyarakat yang mengalaminya (Fuglesang & Chandler, 1988: 8). Pada tahun berikutnya, The International Foundation for Development Alternatives (IFDA) didirikan di Nyon, Swiss oleh kelompok praktisi pembangunan untuk meluncurkan Proyek Sistem Ketiga (the Third System Project).

Literatur terbaru mengenai pembangunan secara subtansial melihat suatu pendekatan alternatif terhadap pembangunan yang berfokus tidak hanya pada keterlibatan pihak penerima dalam proses pembangunan, tetapi juga memampukan mereka untuk mengawasinya guna melindungi kepentingan mereka. Dalam hal ini, “pembangunan alternatif” menekankan keutamaan politik untuk melindungi kepentingan rakyat (Friedmann, 1992). Tujuan pembangunan alternatif adalah memanusiakan suatu sistem yang membungkam mereka dan untuk mencapai tujuan ini diperlukanbentuk-bentuk perlawanan dan perjuangan politis yang

10

Page 11: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

menekankan hak-hak mereka sebagai manusia dan warga negarayang tersingkir.Ilmuwan yang lain, Robert Chambers, menyebut pembangunan alternatif sebagai paradigma pembalikan (the paradigm of reversal), yakni menempatkan terlebih dahulu berbagai prioritas kaum miskin (Chambers, 1994). Dengan demikian, para pendukung pembangunan alternatif memusatkan perhatianpada manusia dan kebutuhannya menurut ukuran mereka sendiri dan bukan sebagaimana yang diperkirakan para praktisi pembangunan di masa lampau. Di masa lampau, sebagian besar rakyat telah tersingkir dari proses pembangunan, oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah-masalah pembangunan melalui pemberdayaan.

Menjelang akhir dekade 1980-an, paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (rakyat) maupun “pembangunan alternatif”, sangat populer dalam literatur pembangunan. David Korten, misalnya, menyebut ciri-ciri paradigma pembangunan berpusat pada rakyat sebagai berikut: (1) logika yang dominan dari paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang; (2) sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis-habisnya; dan (3) tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.8

Korten (1988: 374) menilai bahwa paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor "yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya." Konsekuensinya, pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yang sangat tinggi pada inisisatif lokal dan sistem-sistem untuk mengorganisasi diri sendiri melalui satuan-satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas yang mandiri. Model pembangunan ini punya perbedaan fundamental di dalamkarakteritik dasarnya dibandingkan dengan strategi pertumbuhan atau strategi kebutuhan dasar yang selama ini

8 ?David C. Korten, "Pembangunan Yang Berpusat PadaRakyat: Menuju Suatu Kerangka Kerja", dalam David C. Korten danSjahrir, op. cit., hal. 374.

11

Page 12: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

mendominasi agenda pembangunan di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Moeljarto Tjokrowinoto juga memberikan deskripsi pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia) seperti dibawah ini:1. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Meskipun pelbagai ketentuan secara formal telah mengatur bottom up planning, di dalam realitanya, LKMD lebih berfungsi sebagai implementor proyek- proyek sektoral dan regional.

2. Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa yang terjadi pada saat ini, arus dana yang relatif lancar membatasi upaya untuk mengidentifikasi dan menggali sumber itu. Counter fund bantuan desa, dan akhir-akhir ini "simpedes", mungkin menuju ke arah identifikasi dan mobilisasi sumber tadi. Akan tetapi halini tidak boleh merupakan adhocracy, akan tetapi harus melembaga.

3. Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya,sifatnya flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal.

4. Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar.

5. Proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasidan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasitradisional yang mendiri, merupakan bagian integral daripendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan merekamengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.9

Dasar pemahaman terhadap pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran

9 ?Moeljarto Tjokrowinoto, op. cit., hal. 26-27.

12

Page 13: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

pokok dan sumber paling strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat.

Proposisi di atas mengindikasikan pula bahwa inti pembangunan berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat. Dalam konteks ini, dimensi partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Melalui partisipasi kemampuan masyarakat dan perjuangan mereka untuk membangkitkan dan menopang pertumbuhan kolektif menjadi kuat.10

Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan ataumasyarakat hanya ditempatkan sebagai "obyek", melainkan harus diikuti keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan atau proses perencanaan pembangunan, atau masyarakat juga ditempatkan sebagai "subyek" utama yang harus menentukan jalannya pembangunan. Sebab itu gerakan pemberdayaan menilai tinggi dan mempertimbangkan inisiatifdan perbedaan lokal.

Pada tahun 1990-an, pemberdayaan diyakini sebagai sebuah “pembangunan alternatif” atas model pembangunan yangberpusat pada pertumbuhan.11 Pada tahap awal, pembangunan alternatif mengedepankan beberapa keyakinan: Negara merupakan bagian dari problem pembangunan,

sehingga pembangunan alternatif harus mengeluarkan dan bahkan melawan negara.

Rakyat tidak bisa berbuat salah dan bahwa masyarakat adalah perkumpulan yang mandiri.

10 ?Ibid., hal. 39.11John Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development

(Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell, 1992).

13

Page 14: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Tindakan masyarakat telah mampu dan mencukupi untuk mewujudkan pembangunan alternatif tanpa campur tangan negara.12

Akan tetapi salah satu penggagas pembangunan alternatif, seperti John Friedmann (1992), menolak keras tiga pandangan di atas. Bagi Friedmann, seperti halnya Korten, pembangunan alternatif sangat berpusat pada rakyat (manusia) dan lingkungannya ketimbang pada produksi dan keuntungan, yang ditujukan untuk mendorong kemajuan dan HAM. Dari segi pendekatan, model pembangunan ala Friedmann menekankan pada pemberdayaan rumah tangga beserta anggotanya dalam tiga segi (sosial, politik dan psikologi).Friedmann sama sekali tidak menafikkan peran negara. Bagi dia, negara harus kuat dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakannya. Negara kuat tidak harus ditandai dengan birokrasi yang otoriter dan arogan, melainkan birokrasi yang responsif, transparan dan bertanggungjawab.

Negara yang kuat seperti itu, kata Friedmann, didukungkuat oleh demokrasi inklusif, dimana kekuasaan negara untukmengelola problem lebih lebih baik bersifat lokal. Ini membutuhkan desentralisasi politik dari pemerintah nasionalke pemerintah lokal, khususnya lagi kepada masyarakat setempat yang terorganisir dalam komunitas mereka sendiri.

3. Civil society movementGerakan sosial (social movement) bukanlah fenomena

baru baik dari sisi wacana maupun praksis. Tetapi saya melihat sebuah pergeseran paradigmatik dan strategi gerakan sosial sejak tahun 1980-an. Gerakan sosial lama umumnya banyak dipengaruhi oleh tradisi Marxisme, yang mengambil bentuk gerakan sosial berbasis kelas, yaitu perjuangan kelas buruh dan tani secara massal untuk melawan negara maupun kaum kapitalis. Menurut Cohen dan Arato (1992), gerakan sosial lama ini mengambil paradigma “mobilisasi sumberdaya”. Paradigma lama ini punya keyakinan bahwa gerakan sosial adalah sebuah aksi kolektifberbasis kelas yang membutuhkan organisasi yang tangguh, pemimpin, kepentingan, kesempatan, dan strategi yang jitu

12Ibid., hal. 7.

14

Page 15: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

untuk mobilisasi massa dalam skala besar. Keberhasilan mobilisasi massa dalam skala besar inilah yang menjadi penentu keberhasilan gerakan sosial mendobrak struktur ekonomi dan politik secara revolusioner.

Sejak tahun 1980-an gerakan sosial lama itu mulai kehilangan pengaruh. Gerakan sosial baru sejak 1980-an tidak lagi berbasis kelas, melainkan melintasi batasan kelas, etnis, agama, ras, dan lain-lain. Gerakan sosial baru inilah yang disebut dengan civil society movement yang lebih demokratis, pluralis dan inklusif (Cohen dan Arato, 1992; David Korten, 1993). Kekuatan rakyat menjadi kunci dalam gerakan sosial baru, walaupun pengungkapannya harus mencakup lebih dari sekadar unjuk-rasa massal yang sejenak berlalu. Ungkapan kekuatan rakyat sebagai kekuatan untuk perombakan harus dipertahankan dan disalurkan melalui perpaduan antara organisasi massa, prakarsa individu secara sukarela dan organisasi sukarela.

Berbeda dari gerakan-gerakan sosial Marxisme, gerakanmasyarakat sipil tidak boleh menjadi gerakan kelas masyarakat yang satu melawan kelas masyarakat lain. Gerakan ini harus sekaligus menggugah kesadaran-kelas antara yang berkuasa maupun yang tidak berdaya, namun jugaharus mencakup semua kelas, bergabung dalam satu komitmen untukmemecahkan krisis yang akhirnya akan membahayakan semua orang yang hidupnya dan kesejahteraannya bergantung pada keamanan dan integritas pesawat angkasa bumi. Bumi yang tidak beringas adalah tujuan hakiki gerakan ini dan cara yang dipakai harus konsisten dengan tujuan itu. Gerakan harus mengupayakan transformasi pranata-pranata yang ada melalui regenerasi, tidak melalui penghancuran pranata-pranata itu atau imobilisasi lebih lanjut. Akhirnya, kekuatan harus tetap berada di tangan rakyat, tidak berada di tangan beberapa orang yang menempatkan diri sendiri di baris depan dan memerintah atas nama rakyat. Kekuatan ini harus tersusun dari dan mendukung upaya rakyat untuk membangun secara mandiri.

Gerakan baru masyarakat sipil mengangkat cakupan isu yang sangat luas: demokratisasi, HAM, otonomi lokal, gender, lingkungan, perdamaian, dan lain-lain. NGO dan organisasi rakyat adalah aktor utama gerakan sosial baru

15

Page 16: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

berbasis masyarakat sipil itu. Apa kontribusi gerakan NGO dan PO? Apa relevansinya dengan pemberdayaan masyarakat?

Pertama, CSO itulah yang menjadi pelopordemokratisasi di belahan dunia yang melawan keangkuhanrezim otoritarian.

Kedua, CSO adalah kekuatan counter terhadap paradigmadevelopmentalisme, dan sekaligus pelopor pembangunan yang berbasis pada rakyat.

Kedua, CSO adalah pelopor pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari pengorganisasian dan pendidikan untuk penyadaran dan pembebasan masyarakat dari belenggu struktural.

TENTANG PEMBERDAYAANPemberdayaan dimaknai oleh banyak pihak dengan banyak

perspektif dan banyak cara. Sebelum berbicara tentang makna pemberdayaan, saya akan menyampaikan beberapa pendapat penting sebagai basis pemahaman terhadap pemberdayaan. Pertama, tanpa mengabaikan urgensi individu sebagai basis pemberdayaan, saya meletakkan pemberdayaan dalam konteks masyarakat secara kolektif. Masyarakat saya pahami sebagai entitas atau komunitas kehidupan warga (individu) yang di dalamnya tumbuh sistem sosial budaya dan relasi sosial baik horizontal maupun vertikal. Di dalam masyarakat terjadi relasi sosial antar orang, antar keluarga, antar komunitas, antar organisasi sosial dan seterusnya. Secara vertikal masyarakat sebagai entitas itupunya relasi sosial-politik dengan negara, yang populer disebut sebagai governance. Dalam konteks governance itu, negara melalui birokrasi menjalankan regulasi, kontrol, pelayanan publik, menggalang investasi, dan juga memungut pajak pada warga. Jika mengikuti logika good governance ataudemocratic governance, negara harus dikelola secara transparan, akuntabel dan responsif.

Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah, masyarakat sipil, dan seterusnya. “Apa betul masyarakat

16

Page 17: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

desa butuh demokrasi dan otonomi desa? Saya yakin betul, masyarakat itu hanya butuh pemenuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar. Tidak ada gunanya bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin”, demikian tutur seorang teman yang mengaku sering berinteraksi dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi sangat dangkal. Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP. Karena itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhikebutuhan masyarakat di tengah-tengah scarcity dan constrain sumberdaya. Bagaimanapun juga berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumberdaya secara tidak merata. Dari sisi negara, dibutuhkan kebijakan dan program yang memadai, canggih, pro-poor untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi masyarakat, seperti akan saya elaborasi kemudian, membutuhkan partisipasi (voice, akses, ownershipdan kontrol) dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.

Ketiga, tanpa mengabaikan dimensi kultural pemberdayaan (pencerahan dan emansipasi) yang melekat padadiri setiap individu (mental, kesadaran, sikap, perilaku dan lain-lain), saya lebih cocok memakai dimensi struktural untuk memahami pemberdayaan. Pemberdayaan tidakbisa hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat Margot Breton (1994), realitas obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya di dalam masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektifpemberdayaan: perubahan kondisi sosial. “Setiap individu

17

Page 18: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

tidak bisa mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial”, demikian tulis Heller (1994: 185). Bahkan James Herrick (1995) menegaskanbahwa pemberdayaan yang menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukup memadai memfasilitas pengembangan kondisi sosial alternatif.

Berbasis pada tiga argumen di atas, saya memahami pemberdayaan dalam konteks relasi struktural antara masyarakat dan negara. Karena itu saya juga memberikan pemaknaan pemberdayaan dari dua sisi: masyarakat dan negara. Seperti terlihat dalam tabel 1, pemberdayaan dari sisi negara berarti power sharing dan membawa negara lebih dekat pada masyarakat, melalui penguatan kapasitas negara,demokratisasi, desentralisasi serta deregulasi dan debirokratisasi. Pemberdayaan dari sisi masyarakat berartimemperkuat kapasitas, kohesivitas, partisipasi dan posisi tawar masyarakat ketika berinteraksi dengan negara dan juga pasar, melalui: pendidikan dan penyadaran kolektif, partisipasi (voice, akses, ownership dan kontrol), serta pengorganisasian gerakan rakyat (social movement).

Mengapa pemberdayaan harus dilihat dari dua sisi sekaligus? Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa pemberdayaan adalah gerakan rakyat secara konfrontatif untuk melawan (melemahkan) negara yang notabene korup, hegemonik dan menindas. Pendekatan yang konfrontatif mungkin tidak terlalu relevan bila diterapkan dalam masyarakat komunal di tingkat komunitas (seperti desa), misalnya dengan cara penguatan masyarakat untuk melawan perangkat desa, sebab pendekatan itu bisa menghancurkan relasi sosial yang berbasis ketetanggaan maupun kekerabatan yang sudah lama dibangun secara komunal. Saya justru memahami bahwa interaksi atau relasi kekuasaan antara negara dan masyarakat bukan dalam pengertian pertarungan sampai pada titik nol (zero sum game), tetapi keseimbangan posisi dan peran antara negara dan masyarakat. Pemberdayaan yang berkelanjutan bukan berarti membuat masyarakat yang kuat (strong society) untuk membikin negara yang lemah (weak state) melalui pendekatankonfrontatif, melainkan menciptakan keseimbangan antara

18

Page 19: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

negara dan masyarakat melalui pendekatan kemitaraan (partnership). Tetapi prinsip dasarnya, pemberdayaan harusdimulai dari bawah (masyarakat) melalui pembelajaran, penyadaran secara kritis, pengorganisasian dan partisipasi, yang kesemuanya menjadi basis bagi advokasi untuk mendorong perubahan pada ranah negara: demokratisasi, desentralisasi, deregulasi dan debirokratisasi. Keempat konsep yang terkandung dalam powersharing dari negara ke masyarakat itu tidak bakal tercapai bila hanya berharap pada lahirnya political will dari pemerintah, kecuali tanpa desakan yang kritis dan terorganisir dari bawah. Runtuhnya Orde Baru misalnya, yang mendorong transisi menuju demokrasi, bisa terjadi bukan karena kehendak rezim yang berkuasa melainkan karenadesakan dari unsur-unsur masyarakat.

Tabel 1Dua sisi pemberdayaan

Sisi Negara Sisi Masyarakat Power sharing dan membawa negara lebih dekat pada masyarakat:

Memperkuat kapasitas, kohesivitas, partisipasi danposisi tawar:

Penguatan kapasitas negara Pendidikan dan penyadaran kolektif

Demokratisasi Capacity building Desentralisasi Partisipasi (voice, akses,

ownership dan kontrol) Deregulasi dan

debirokratisasi Pengorganisasian gerakan

rakyat (social movement)

Bagaimana pemetaaan dan pemahaman pemberdayaan di atas diletakkan dalam kerangka paradigma pemberdayaan yanglebih luas? Mengikuti karya Mansoer Fakih (1996), paradigma pemberdayaan di kalangan LSM bisa dibagi menjaditiga: konformisme atau bisa disebut karitatif, reformasi dan transformasi.

Tabel 2Peta paradigma (pemberdayaan) LSM

19

Page 20: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

No Elemen KONFORMISME/KARITATIF

REFORMASI TRANSFORMASI

1 Sebab-sebab masalah

Keadaan rakyat setempat

Takdir Tuhan

Nasib buruk

Lemahnya pendidikan

Penduduk yang berlebihan

Nilai-nilaitradisional

Korupsi

Eksploitasi

Struktur yang timpang

Hegemoni negara dankapitalis

2 Sasaran Mengurangipenderitaan

Mendoakan Mengharapk

an

Meningkatkan produksi

Membuat struktur yang ada bekerja

Merubah nilai-nilairakyat

Menentang eksploitasi

Membangun struktur ekonomi-politik baru

Kontra-wacana

3 Program Perawatan anak

Bantuan kelaparan,bencana

Klinik Rumah

panti asuhan

Dompet amal

Pelatihan teknis

Bisnis kecil

Pengembangan masyarakat

Bantuan hukum

Pelayanan suplementer

Dana bergulir

Penyadaran Pembanguna

n ekonomi alternatif

Serikat tani, buruh

Koperasi

4 Tipe perubahan dan asumsi

Fungsional/keseimbangan Kritik struktural

5 Tipe kepemimpin

Percaya pada

Partisipatif

Fasilitator ,

20

Page 21: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

an pemerintah Konsultati

f

Memiliki tanggungjawab bersama

partisipatif

Disiplin yang kuat

6 Tipe pelayanan

Memberi derma kepada kaum miskin

Kesejahteraan

Membantu rakyat untuk menolong dirinya sendiri

Revolusi hijau

Pembangunankomunitas

Pendidikan nonformal

Land reform

Riset partisipatif

Pendidikanrakyat

Sumber: Diadaptasi dari Mansoer Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 122.

1. Pemberdayaan dari sisi masyarakat

Pemberdayaan, Pembangunan dan PemerintahanMengapa perlu pemberdayaan? Apa dan bagaimana

relevansi pemberdayaan dengan pembangunan danpemerintahan? Pembangunan dan pemerintahan adalah prosespengelolaan ekonomi-politik yang terkait dengan relasiantara negara, masyarakat dan pasar.

Konteks Masyarakat Desa

Desa sejak lama merupakan sebuah entitas dan komunitasyang menjadi basis kehidupan sebagian besar pendudukIndonesia. Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadiarena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat

21

Page 22: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi,para perangkat desa itu menjadi bagian dari birokrasinegara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan:menjalankan birokratisasi di level desa,mengimplementasikan program-program pembangunan,memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta melakukankontrol dan mobilisasi terhadap warga desa. Di sisi lain,karena dekatnya arena itu, secara normatif masyarakatakar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung danberpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunandi tingkat desa. Tetapi, ketika partisipasi masyarakatsudah mandul di tingkat desa (komunitas), pastipartisipasi mereka lebih mandul di tingkat daerah dannasional. Masyarakat sudah lama hanya menjadi penonton danobyek program-program pembangunan yang mengalir dariJakarta.

Pemerintah desa sendiri menjadi sentrum kehidupandesa, baik sebagai “dinas sosial” bagi masyarakat dansebagai “keranjang sampah” bagi pemerintah supra desa.Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret self-governing community yang dibentuk secara mandiri olehmasyarakat. Bahkan konon desa punya “otonomi asli” karenausianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten.Para pamong desa beserta elite desa lainnya dituakan,ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untukmengelola kehidupan publik maupun privat warga desa.Karena itu batas-batas urusan privat dan publik di desasering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilaikinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria modern(transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakaikriteria tradisional dalam kerangka hubunganklientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yangbisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untukberanjangsana (jagong, layat dan sanja).

Tetapi kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen,karena masuknya negara dan modal ke desa. Ketika desasudah diintegrasikan ke negara, cerita self-governing communitytidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain di desa.Negara juga menjadikan desa sebagai “keranjang sampah”,yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan

22

Page 23: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

administratif ke desa. Negara juga bertindak menjadipengawal masuknya modal ke desa sehingga terjadilahkapitalisasi, yang konon sudah dimulai sejak RevolusiHijau. Dulu malah Golkar juga masuk ke desa menjadi bebanberat bagi pemerintah desa. “Semua departemen itu masuk kedesa, termasuk departemen pemenangan pemilu Golkar. Yangtidak masuk hanya departemen luar negeri”, demikian ungkapseorang kepala desa. “Kami bukan saja sebagai ujungtombak, tetapi juga sering menjadi ujung tombok”, ungkapkades lainnya.

Kini desa memasuki babak baru ketika desentralisasidan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusullahirnya UU No. 22/1999. Regulasi ini sedikit-banyakmemberikan ruang bagi eforia, bagi kebangkitan semangatlokalitas dan otonomi daerah. Akan tetapi, UU itu hanyamemberikan otonomi kepada kabupaten/kota, dan bukan padadesa. Desa tetap dipandang sebelah mata oleh banyak pihak,dan secara empirik-normatif tetap menjadi subordinat yangharus tunduk pada perintah kabupaten. Bahkan desa hampirhilang dari peta wacana, pemikiran dan kebijakandesentralisasi.

Bagaimanapun, desentralisasi dan demokrasi lokal itu,merupakan solusi yang manusiawi dan paling canggih bagipengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Desentralisasidan demokrasi lokal, secara normatif, bisa mendorongtumbuhnya kemandirian masyarakat lokal, mengembangkanpotensi dan prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik,meningkatkan pemerintahan lokal yang transparan danakuntabel, dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal.Akan tetapi, desa masih tetap mengidap dan menghadapimasalah internal maupun eksternal, sehingga cita-citaideal tersebut masih jauh dari kenyataan. Masalah internalberkaitan dengan relasi antara pemerintah desa danmasyarakat. Sedangkan masalah eskternal berkaitan denganrelasi antara desa dengan pemerintah supra desa. Keduaproblem besar itu terekam dalam tabel 1 di bawah.

23

Page 24: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Secara internal di level desa, problem dasarnyaadalah bad governance yang diwarisi dari tradisi masa lampau.Ada dua hal utama yang menandai bad governance di desa.Pertama, pemerintahan dan pembangunan desa didominasi olehkepala desa beserta elite desa. Kedua, transparansi,akuntabilitas dan responsivitas pemerintah desa yangterbatas. Dua masalah ini saling terkait satu sama lain.Para elite desa itu sangat dominan, tetapi mereka tidakmengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikantransparansi, akuntabilitas, daya tanggap, dan jugalegitimasi, kepercayaan dan kebersamaan (partnership).Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secarahegemonik terhadap warga yang dilakukan oleh elite desa,karena mereka merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga.Para pemuka desa itu punya citra diri benevolent atausebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat olehrakyatnya, sehingga mereka tidak perlu bertele-telebekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi,atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dankebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, elemen-elemenmasyarakat desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepaladesa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepaladesa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya. Wargadesa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dankonservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan PakKades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial,yang populis dan ramah menyapa warganya, yang relaberanjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang darikantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yangmenjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya.Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dankapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desayang bias elite, sentralistik dan feodal.

Secara eksternal, desa sejak lama berada dalamkonteks formasi negara (state formation) yang hirarkhis-sentralistik. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah,yang menduduki hirarkhi lebih tinggi (supra desa), selalumembuat regulasi secara terpusat untuk menjadikan desasebagai obyek yang harus tunduk pada negara. Berbagai

24

Page 25: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

regulasi dari atas seperti UU No. 5/1979, UU No. 22/1999,UU No. 25/1999 serta Perda-perda Kabupaten secarasubstantif justru membatasi kewenangan dan ruang gerakatau akses desa, mematikan potensi dan kreativitas desa,mengebiri partisipasi masyarakat, dan karena itu tidakmendukung otonomi desa. Berbagai regulasi itu juga menjadiinstrumen kontrol dan intervensi pemerintah supra desaterhadap desa, sebagai komunitas kehidupan masyarakatakar-rumput.

Pengalaman lapangan IRE di sejumlah kabupaten(Klaten, Bantul, Purworejo, Gunungkidul) menunjukkan bahwaPerda-perda di kawasan itu tidak mendukung prosesdemokratisasi dan otonomi desa. Dari segi proses,penyusunan Perda tidak melibatkan partisipasi masyarakatatau tidak mengakomodasi aspirasi dari desa. Dari segikontens, Perda sangat tidak menguntungkan desa antara lainkarena kabupaten hendak menjadikan desa sebagai obyekkebijakan dan intervensi terlalu dalam terhadap urusandesa. Sebagai contoh ada beberapa isu krusial di leveldesa yang diintervensi oleh kabupaten: pertanggungjawabanpemerintah desa, rekrutmen perangkat desa, masa jabatanLurah, komposisi dan rekrutmen BPD, sistem insentifperangkat desa, dan keuangan desa. Karena Perda“bermasalah” itu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)berkembang sejumlah asosiasi perangkat desa seperti ISMAYA(DIY), Bodronoyo (Kulonprogo), Tunggul Jati (Bantul), danPerpadesi (Gunungkidul), yang melakukan perlawananterhadap Kabupaten. Gelombang perlawanan itu berhasilmemenangkan klausul jabatan lurah selama 10 tahun (bukanlagi 5 tahun seperti tertera dalam Perda), tetapi isu-isukritis lainnya masih tetap bertahan, apalagi isuperimbangan keuangan desa-kabupaten.

Sejumlah asosiasi itu sangat penting sebagai basisbagi desa untuk voice, negosiasi dan mempengaruhikebijakan kabupaten, dalam rangka memperkuat otonomi desa.Akan tetapi, sayangnya, asosiasi-asosiasi perangkat desayang berkembang di DIY dan juga Jawa Tengah, masih sangatbias elite desa (Kepala Desa), alias tidak berbasis padaaspirasi dan partisipasi masyarakat desa. Mereka berjuanghanya untuk kepentingan posisi mereka sendiri, bukan

25

Page 26: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

memperjuangkan kepentingan dan aspirasi komunitas desasecara keseluruhan.

Problem dasar (secara internal dan eksternal) yangmasih tetap bertahan di desa adalah mandulnya partisipasi(voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam proses kebijakanpemerintahan dan pembangunan, baik di level desa, daerahmaupun nasional. Elite desa sendiri tidak cukup paham dantidak peka terhadap partisipasi. Dalam benak mereka,seperti dikutip di atas, partisipasi bukan dimaknaisebagai keterlibatan aktif (voice, akses, dan kontrol),melainkan dukungan penuh pada kebijakan dan program desa.Kami sangat yakin bahwa mandulnya partisipasi masyarakatitulah yang menjadi sumber penyebab bad governance baik didesa dan di kabupaten serta lemahnya otonomi desa. Ketikapartisipasi masyarakat sangat kuat, maka bisa menjadikekuatan penekan pejabat publik yang tidak akuntabel dantidak responsif serta kebijakan publik yang bermasalah.Partisipasi juga menjadi pilar untuk memperkuat otonomidesa di hadapan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintahnasional.

Tesis kemunduran demokrasi desa telah dikedepankan oleh banyak orang. Sebagai contoh adalah Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983), yang menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 19760-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong dan musyawarah.Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telahmengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi

26

Page 27: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

tradisional juga disebabkan oleh polarisasi kemerdekaan, konflik mengenai land reform, meluasnya pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa.

Mohtar Mas’oed (1994) maupun Pratikno (2000) juga melihat kemunduran demokrasi dan otonomi desa dalam kerangka hubungan antara negara dan masyarakat. Pratikno menyebut proses “negaranisasi” sebagai penyebab kemunduran. Mohtar Mas’oed membuat pemetaan tentang “negara masuk desa, dan desa masuk negara”. Menurut dia, program pembangunan desa mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama, pembangunan merupakan proses "memasukkan desa ke dalam negara", yaitu melibatkan masyarakat desa agar berperan serta dalam masyarakat yang lebih luas. Ini dilakukan melalui pengenalan kelembagaan baru dalam kehidupan desa dan penyebaran gagasan modernitas. Kedua, pembangunan desa jugaberwujud "memasukkan negara ke desa". Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara sehingga merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa dan sering mengakibatkan peningkatan ketergantungan desa terhadap negara.

Argumen itu mengandung makna bahwa pada tahap pertamapemerintah menjanjikan warga desa untuk dilibatkan dalam pembangunan. Berbagai jenis proyek pembangunan diperkenalkan, baik melalui mekanisme Pelita, yang dilaksanakan berbagai instansi sektoral maupun melalui skema INPRES dan Bandes, telah berfungsi sebagai penyalur berbagai sumberdaya yang dimiliki pemerintah ke masyarakat. Sebagian besar kebijakan publik itu telah berhasil memobilisasi penduduk desa bisa menikmati hasil-hasil pembangunan, serta bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warganegara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa membuka jalan menuju partisipasi, modernisasi dan juga demokratisasi. Namun proses di atas kurang didukung oleh proses yang kedua. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek masyarakat desahanya bisa mengakses ke negara, apabila negara punya akseske bawah. Melalui berbagai aturan main program pembangunan

27

Page 28: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

desa, negara melakukan intervensi dan menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang mempengaruhi kehidupan masyarakat desa. Penetrasi dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga yang didominasi oleh pemerintah, seperti LKMD, KUD, PKK, dan sebagainya. Demikian juga peranan dominan kades sebagai agen pemerintah pusat (negara) di desa, yang benar-benar berhasil dalam melaksanakan program pembangunan.

Pemerintah DesaPemerintah desa menjadi sentrum kehidupan desa, baik

sebagai “dinas sosial” bagi masyarakat dan sebagai “keranjang sampah” bagi pemerintah supra desa. Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret self-community governing yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Tetapi ketika desa sudah diintegrasikan ke negara, cerita self-community governing itu tidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain dalam proses rekrutmen pengurus desa. Negara juga menjadikan desa sebagai “keranjang sampah”, yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan administratif ke desa. Dulu malah Golkar juga masuk ke desa menjadi beban berat bagi pemerintah desa. “Semua departemen itu masuk ke desa, termasuk departemen pemenangan pemilu Golkar. Yang tidak masuk hanya departemen luar negeri”, demikian ungkap seorang kepala desa. “Kami bukan saja sebagai ujung tombak, tetapijuga sering menjadi ujung tombok”, ungkap kades lainnya.

Pemerintah desa umumnya tidak memiliki visi, missi dan rencana strategis yang memadai untuk menjalankan roda pemerintahan dan membangun masyarakat desa dari sisi sosial, ekonomi, politik, dan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari pemerintah desa menjalankan empat fungsi utama. Pertama, sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Mengenai pelayanan ini, semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Kedua, fungsi sosial yang bercampur

28

Page 29: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

aduk dengan fungsi pribadi, yaitu beranjangsana dengan warga masyarakat melalui layat, jagong dan sanja. Fungsi sosialini secara empirik merupakan indikator legitimasi sosial perangkat desa di hadapan warga masyarakat. Ketiga, fungsi pembangunan seperti menggerakkan perencanaan dari bawah, merancang proposal yang disampaikan ke pemerintah supra desa, mengalokasikan bantuan kepada masyarakat, serta memobilisasi dana dan tenaga masyarakat melalui gotong royong. Umumnya fungsi pembangunan ini dikerahkan untuk pembangunan sarana fisik desa, bukan pembangunan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Keempat, mengumpulkanpungutan seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Untuk yangsatu ini, pemerintah desa sangat getol, sebab pengumpulan PBB yang tinggi dan cepat merupakan “prestasi” di hadapan pemerintah supra desa.

Keempat fungsi itu punya implikasi terhadap legitimasi dan akuntabilitas pemerintah desa. Kades tidak merasa perlu merawat vitalitas legitimasi dari sisi kinerja, tetapi cukup dengan tampil jujur dan tampil populis dengan anjangsana di berbagai komunitas. “Kalau Lurah itu jujur, maka mudah dipercaya oleh rakyat. Kalau dipercaya oleh rakyat, maka rakyat akan saya ajak apa sajaakan mendukungnya”, ungkap seorang lurah. Dalam kehidupan sehari-hari, kades lebih memainkan dominasi ketimbang legitimasinya. Kades tetap punya citra diri sebagai orang kuat, omnipotent dan benevolent di hadapan wargnya. Warga masyarakat cenderung punya citra diri sebagai obedient, yangmenganggap kades sebagai panutan, pengayom, dan pemimpin. Yang terjadi bukanlah pola hubungan citizenship, melainkan klientelistik. Masyarakat menilai kinerja pemimpinnya dalam kerangka hubungan sosial personal, ketimbang kerangka politik dan teknokratis. Warga masyarakat cukup puas terhadap kades yang ramah, yang populis, yang rajin beranjangsana ke setiap wilayah (jagong, layat dan sanja), yang lihai berpidato di acara-acara seremonial, yang sembada mau berkorban untuk kepentingan umum. Warga bisa menilai kinerja kepala desa, tanpa harus menggunakan kriteria transparansi, akuntabilitas, partisipasi, responsivitas dan seterusnya.

29

Page 30: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desaketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.

Pembuatan KeputusanPembuatan keputusan merupakan titik sentral dan

kritis dalam demokrasi. Para penganjurnya menyatakan bahwademokrasi adalah sebuah seni dan proses pembuatan keputusan yang melibatkan rakyat. Secara normatif, pembuatan keputusan yang demokratis membutuhkan sebuah siklus yang panjang, mulai dari artikulasi, agregasi, formulasi, sosialisasi, umpan balik, revisi dan legislasi.Kebijakan yang sudah disahkan itu implementasikan. Dalam proses implementasi, masyarakat tidak sekadar menyumbangkan tenaga dan uangnya, tetapi juga punya ruang untuk melakukan monitoring dan kemudian melakukan evaluasiuntuk perbaikan berikutnya.

Cerita itu ideal. Dalam praktiknya, banyak missing link terjadi. Dalam konteks pembangunan di Indonesia sudah lamadikenal secara normatif tentang perencanaan dari bawah (bottom-up), yang dimulai dari rapat RT, Musbangdus, Musbangdes, UDKP dan Rakorbang. Tetapi semua itu hanya di atas kertas. Sejak dulu banyak kalangan sudah menilai bahwa mekanisme pembuatan keputusan pembangunan di Indonesia bersifat sentralistis (top-down), yang menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan. Karena itu banyak orang bikin plesetan dari bottom-up menjadi mboten-up (tidak naik).

Di tingkat desa, ada sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa proses pembuatan keputusan sangat sentralistik dan didominasi oleh segelintir elite desa.

30

Page 31: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Pertama, proses kebijakan sudah berlangsung secara tidak sehat dan tidak demokratis dari bawah (RT). Keputusan di tingkat RT cenderung didominasi oleh elite lokal, terutamaPak RT sendiri. RT selalu punya “forum demokrasi” (selapanan), tetapi tidak mencerminkan demokrasi yang sebenarnya. Pak RT umumnya tidak punya keterampilan berdemokrasi dalam mengelola forum RT. Dia biasa membawa blue print kebijakan yang dimintakan “persetujuan” dari forum, mendominasi forum musyawarah, menanggapi secara sepihak usulan dari peserta forum, memotong pembicaraan (usulan) peserta, dan lain-lain. Kedua, kebiasaan manipulasi atau pemotongan terhadap usulan dari bawah di tingkat desa sampai kabupaten. Di level desa, perilaku kades hampir sama dengan perilaku ketua RT ketika mengelola forum Musbangdes. Musbangdes adalah arena elite desa membuat keputusan. Kades selalu dominan dalam forum Musbangdes. Ketiga, desa umumnya tidak mempunyai rencana strategis partisipatif yang bisa dijadikan acuan pembuatankeputusan. Selain itu, kebijakan desa juga tidak bermula dari assessment terhadap kebutuhan masyarakat dan artikulasi aspirasi dari bawah. Kepala desa dan elite desabiasa memformulasikan kebijakan dalam black box, yang tidak transparan dan tidak berbasis pada aspirasi masyarakat. Ketika formulasi sudah matang, kepala desa mengundang sejumlah tokoh dan ketua RT untuk sosialisasi. Istilah sosialisasi ini sangat populer di kalangan elite desa. Tetapi sosialisasi bukanlah arena untuk umpan balik dan perdebatan, tetapi hanya sebagai tempat bagi kepala desa untuk meminta “persetujuan” dari elite desa.

Dengan demikian, pembuatan keputusan desa dianggap hanya sebagai masalah teknis-administratif, bukan masalah politik yang sebenarnya punya implikasi terhadap pemberdayaan masyarakat. Pembuatan perdes (yang sangat mengikat warga) juga dilakukan dengan mekanisme elitis, tidak transparan dan teknis. Bahkan banyak desa membuat perdes dengan cara “menyontek” perdes dari desa-desa lain.

PartisipasiPartisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kades

maupun Badan Perwakilan Desa (BPD) bukan ukuran

31

Page 32: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

partisipasi yang sempurna. Mengapa? Pertama, partisipasi dalam konteks pemilihan itu hanya membentuk struktur kekuasaan dan oligarki elite, yang kemudian elite punya dunia tersendiri yang terpisah dari dunia para konstituen.Kedua, urusan publik masyarakat desa sangat kompleks yang tidak bisa diselesaikan oleh para wakil rakyat yang telah dipilih. Kades dan BPD tidak bisa mengabaikan masyarakat dengan cara mengklaim bahwa mereka telah dipilih dan dipercaya untuk membuat keputusan dan mengatur masyarakat.Partisipasi masyarakat dalam urusan publik sehari-hari jauh lebih penting, mengingat para wakil rakyat itu akan selalu kehilangan akses informasi tentang tuntutan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, mekanisme perwakilan itulah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran partisipasi masyarakat. Baik kepala desa maupun BPD selalu mengklaim bahwa mereka telah dipilih melalui prosedur yang demokratis, sehingga mereka juga dipercaya penuh untuk membuat keputusan desa dan mengatur masyarakat, tanpa harus bertele-tele melibatkan partisipasi dan menampung seluruh aspirasi masyarakat. Di banyak desa, kades dan BPDcenderung mengandalkan proses konsultasi dan artikulasi dengan tokoh (elite) desa, yang mereka anggap legitimate mewakili aspirasi masyarakat. “Kalau orang bilang aspirasimasyarakat, aspirasi yang mana. Kita tidak mungkin menampung seluruh aspirasi masyarakat. Harus ada prosedur dan wadah perwakilannya. Para tokoh masyarakat sudah mewakili, mau apa lagi”, demikian ungkap seorang kepala desa.

Wacana penolakan terhadap partisipasi memang menyebardi mana-mana. Seorang pengacara kondang dari Solo menyatakan pendapatnya:

“Jangan membawa idealisme yang berasal dari kampus. Partisipasi itu saya kira terlalu naif bagi orang desa. Jangan dikira orang desa pintar-pintar seperti kita yang diskusi di sini. Kita harus melihat realitas yang ada di desa. Orang desa itu tidak banyak tahu tentang partisipasi. Saya pernah punya pengalaman menyodorkan peraturan kepada warga desa,

32

Page 33: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

maksud saya untuk mengajak diskusi mereka. Tetapi mereka tidak mengerti apa-apa. Pengarahan dan peraturan itu tetap penting bagi desa”.

Ungkapan itu ternyata didukung oleh dua orang anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dari Kecamatan Suruh, Semarang, yang mengklaim tahu persis terhadap keadaan warga desa. “Warga desa itu banyak tergantung, manut, padapara tokoh masyarakat. Ini kenyataan. Mereka tidak mengerti partisipasi”, demikian tutur salah seorang perempuan anggota BPD itu.

Kondisi di desa memang seperti itu. Warga masyarakat biasa tidak butuh dan tidak mengerti secara eksplisit tentang partisipasi. Mereka sudah biasa mendelegasikan kepercayaan penuh pada Pak RT, Pak RW maupun tokoh masyarakat untuk bisa memahami voice dari bawah. Tetapi yangterjadi secara menyolok adalah proses sistemik dari elite desa dan supradesa yang mematikan partisipasi masyarakat. Kepala desa dan BPD misalnya, cenderung memanipulasi maknapartisipasi dan bekerja tanpa berbasis partisipasi masyarakat.

Sejauh cerita dari lapangan, partisipasi dimaknai oleh kades dalam empat kerangka. Pertama, tradisi musyawarah pembangunan desa yang sudah dimulai dari RT danDusun, yang kemudian populer dikenal sebagai perencanaan dari bawah. Kedua, kepala desa memanfaatkan representasi tokoh-tokoh masyarakat yang terwadahi dalam LKMD maupun Musbangdes. Bagi kepala desa, kehadiran dan keterlibatan tokoh masyarakat itu sudah sangat mewakili aspirasi masyarakat. Ketiga, kebiasaan sosialisasi yang dilakukan oleh kades di hadapan pengurus dan forum RT maupun tokoh-tokoh masyarakat. Sosialisasi dimaksudkan untuk memberitahukan agenda kebijakan kades dan menyerap aspirasi (baca: persetujuan) dari warga masyarakat. Keempat, partisipasi secara sempit dimaknai oleh kades sebagai bentuk mobilisasi dukungan warga masyarakat terhadap agenda kebijakannya. Jika kades mempunyai agenda menggalakkan pembangunan fisik tanpa dukungan warga, hal itu dianggap tidak ada kepercayaan dan partisipasi dari warga.

33

Page 34: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

Arah dan Agenda StrategisPada bulan Mei 2001 telah berlangsung diskusi

intensif tentang “Menggagas Masa Depan Desa” di Panggang (Gunungkidul), yang diikuti oleh sejumlah LSM (LAPPERA, IRE, CD Bethesda, Cinderalas, LBH, UCS-Satunama, Bina Swadaya, dll), perguruan tinggi (STPMD “APMD” dan PSKP-UGM), unsur-unsur perangkat desa, pejabat kabupaten, dan warga masyarakat sekitar. Ada kesepakatan sementara bahwa visi masa depan desa yang dibayangkan adalah desa yang Demokratis, Emansipatoris/Partisipatif, Sejahtera dan Adil(DESA). Dalam forum telah berkembang wacana (meskipun belum menjadi kesepakatan tunggal) bahwa pencapaian DESA bisa ditempuh dengan cara: pendidikan dan pengorganisasianmasyarakat di tingkat bawah serta advokasi untuk mendesakkan perubahan kebijakan (policy reform) di level supra desa. Tetapi strategi dan cara untuk membangun Sejahtera dan Adil belum selesai dirumuskan karena terjadiperdebatan ideologis yang tidak tuntas. Ada sebagian orangyang menghendaki perluasan investasi (kapitalisasi) ke desa melalui Badan Usaha Milik Desa sehingga bisa memacu pendapatan masyarakat dan pemerintah desa. Pendapat ini ditegaskan secara pragmatis oleh Kepala Desa Kebonagung, Imogiri. Tetapi kalangan LSM (yang militan), menolak kerasinvestasi ke desa itu, karena bisa menyebabkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap masyarakat desa. Mereka lebih menghendaki upaya sistem ekonomi desa yang mengedepankan redistribusi sumberdaya secara sosialistik ketimbang kapitalistik.

Tulisan ini tidak akan larut dalam perdebatan ideologis iyu untuk membangun kesejahteraan dan keadilan di desa. Pada dasarnya kami sangat setuju dengan gagasan visi DESA di atas. Untuk mencapai DESA, maka kami tegaskanbahwa agenda strategis pemberdayaan masyarakat desa mencakup empat hal utama: demokratisasi desa, otonomi desa, pengentasan kemiskinan dan pengembangan modal sosial

34

Page 35: Pemberdayaan Masyarakat Desa

Draft I

masyarakat. Demokratisasi desa, otonomi desa, dan pengentasan kemiskinan merupakan tiga agenda utama yang harus berjalan secara sinergis, tanpa harus mendahulukan satu di antara yang lain. Kami menolak argumen bahwa demokrasi dan otonomi desa tidak bakal tercapai bila rakyat masih miskin.

35