1 PEMBENTUKAN REZIM AUTHORITARIAN DEVELOPMENTALISM MAHINDA RAJAPAKSA PASCA KEMENANGAN PEMERINTAH SRI LANKA ATAS LIBERATION TIGERS OF TAMIL EELAM (LTTE) TAHUN 2009 Harishmawan Heryadi, Evida Kartini Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia [email protected]ABSTRAK Skripsi ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan proses pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan Pemerintah Sri Lanka atas LTTE di tahun 2009. Setelah perang sipil antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE berakhir dengan kemenangan Pemerintah Sri Lanka pada tahun 2009, Mahinda Rajapaksa membentuk pemerintahan authoritarian developmentalism di Sri Lanka. Rajapaksa melakukan pembangunan pasca perang sipil dengan melakukan strategi pemerintahan otoriter untuk menjaga stabilitas. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisa faktor endogen dan faktor eksogen yang mendorong pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa tersebut. Teori authoritarian developmentalism menjadi kerangka yang digunakan untuk menganalisis proses pembentukan rezim otoriter tersebut. Kata Kunci : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, pembangunan, LTTE ABSTRACT This thesis describes the establishment of Mahinda Rajapaksa’s authoritarian regime after the victory of Government of Sri Lanka over Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) in 2009. When the civil war between Government of Sri Lanka and LTTE ended with the government victory, Mahinda Rajapaksa started to form authoritarian developmentalism regime in Sri Lanka. Rajapaksa started post-war development by using authoritarian strategies to maintain stability. This thesis identifies and analyzes endogenous factors and exogenous factors that promotes the establishment of that authoritarian developmentalism regime. The theory of authoritarian developmentalism becomes the framework to analyze the process. Keyword : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, development, LTTE Pembentukan rezim…, Harishmawan Heryadi, FISIP UI, 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PEMBENTUKAN REZIM AUTHORITARIAN DEVELOPMENTALISM MAHINDA RAJAPAKSA PASCA KEMENANGAN PEMERINTAH SRI
LANKA ATAS LIBERATION TIGERS OF TAMIL EELAM (LTTE) TAHUN 2009
Harishmawan Heryadi, Evida Kartini
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Skripsi ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan proses pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan Pemerintah Sri Lanka atas LTTE di tahun 2009. Setelah perang sipil antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE berakhir dengan kemenangan Pemerintah Sri Lanka pada tahun 2009, Mahinda Rajapaksa membentuk pemerintahan authoritarian developmentalism di Sri Lanka. Rajapaksa melakukan pembangunan pasca perang sipil dengan melakukan strategi pemerintahan otoriter untuk menjaga stabilitas. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisa faktor endogen dan faktor eksogen yang mendorong pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa tersebut. Teori authoritarian developmentalism menjadi kerangka yang digunakan untuk menganalisis proses pembentukan rezim otoriter tersebut.
Kata Kunci : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, pembangunan, LTTE
ABSTRACT
This thesis describes the establishment of Mahinda Rajapaksa’s authoritarian regime after the victory of Government of Sri Lanka over Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) in 2009. When the civil war between Government of Sri Lanka and LTTE ended with the government victory, Mahinda Rajapaksa started to form authoritarian developmentalism regime in Sri Lanka. Rajapaksa started post-war development by using authoritarian strategies to maintain stability. This thesis identifies and analyzes endogenous factors and exogenous factors that promotes the establishment of that authoritarian developmentalism regime. The theory of authoritarian developmentalism becomes the framework to analyze the process.
Keyword : authoritarian developmentalism, Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka, development, LTTE
Salah satu konflik etnis terpanjang di dunia adalah perang sipil yang terjadi di Sri
Lanka. Perang sipil yang berkepanjangan tersebut melibatkan pemerintah Sri Lanka dengan
minoritas etnis Tamil di wilayah Utara dan Timur yang diwakili oleh Liberation Tigers of
Tamil Eelam (LTTE). Konflik sesungguhnya sudah terjadi pasca kemerdekaan Sri Lanka dari
Inggris tahun 1948. Konflik ini meningkat menjadi perang sipil sejak tahun 1983 dan
berakhir pada tahun 2009 yang ditandai dengan meninggalnya pemimpin LTTE, Vellupillai
Prabhakaran. Perang yang terjadi bertahun-tahun menimbulkan banyak korban dengan
jumlah korban tewas diestimasikan mencapai 84.000 jiwa.1 Perang berkepanjangan dan
jumlah korban yang tinggi membuat konflik di Sri Lanka ini merupakan salah satu konflik
utama di dunia bersama dengan konflik di Somalia dan Afghanistan.2 Perang yang memakan
waktu dan korban ini kemudian menemui akhir pada Mei 2009. Pemerintah Sri Lanka
berhasil memaksa LTTE menyerah melalui serangkaian serangan militer. Presiden Mahinda
Rajapaksa mengumumkan kemenangan Sri Lanka atas LTTE pada 19 Mei 2009.3
Kemenangan pemerintah Sri Lanka membuat semua yang terlibat dalam penyerangan
terhadap LTTE dianggap sebagai pahlawan nasional. Hal ini berlaku pula bagi Presiden
Rajapaksa. Presiden Rajapaksa disandingkan dengan Raja Dutugemunu pahlawan Sinhala
pada abad ke-2 SM yang mengalahkan Raja Tamil Elara untuk menguasai wilayah
Anuradhapura. Raja Dutugemunu dianggap pahlawan karena berhasil melakukan unifikasi
Sri Lanka dan begitu pula halnya dengan Presiden Rajapaksa.
Citra yang terbentuk pasca berakhirnya perang dengan LTTE memberikan keuntungan
tersendiri bagi Rajapaksa. Rajapaksa memperoleh popularitas yang luar biasa di mata
masyarakat Sri Lanka terutama di mata etnis Sinhala. Secara rasional, Rajapaksa memiliki
keuntungan khusus dibandingkan calon manapun jika saat itu diselenggarakan pemilu. Hal ini
dipikirkan pula oleh Rajapaksa. Rajapaksa mempercepat pelaksanaan pemilu menjadi tahun
2010, dua tahun sebelum periode kepemimpinannya berakhir.4 Rajapaksa berniat untuk
1 Kristine Hoglund dan Camilla Orjuela, “Winning the Peace: conflict prevention after a victor's peace in Sri Lanka”, Contemporary Social Science: Journal of The Academy of Social Sciences, Vol. 1, No. 6, 2011, hlm. 20. 2 International Crisis Group, War Crimes in Sri Lanka, Asia Report No. 191, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2010. 3 Mahinda Rajapaksa, “Address by HE President Mahinda Rajapaksa at the ceremonial opening of Parliament, Sri Jayawardhanapura - Kotte, May 19, 2009” Situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=74. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. 15:45 WIB 4 Jayadeva Uyangoda, “Sri Lanka in 2009: From Civil War to Political Uncertainties”, Asian Survey, Vol. 50, No. 1, 2010, hlm. 110.
mengkapitalisasi popularitasnya yang tinggi tersebut sesegara mungkin dan menolak untuk
menunggu hingga masa jabatannya berakhir. Pada pemilu tersebut ia berhadapan dengan
seorang pensiunan militer yaitu Jenderal Sarath Fonseka yang memimpin penyerangan
terhadap LTTE. Pemilu ini pada akhirnya dimenangkan oleh Rajapaksa dengan persentase
mencapai 57,8 persen.5
Langkah yang dilakukan oleh Rajapaksa pasca kemenangannya dalam pemilu 2010
didominasi oleh pembangunan ekonomi. Sejak pidato kemenangan pemerintah Sri Lanka
tahun 2009 Rajapaksa telah menyatakan bahwa pembangunan merupakan langkah yang akan
ditempuh dalam upaya untuk memastikan perdamaian yang bertahan lama di Sri Lanka.6
Rajapaksa menekankan bahwa wilayah yang dulu dikuasai oleh LTTE akan menjadi objek
dari pembangunan. Negara memberikan peluang bagi adanya pekerjaan baru, industri, dan
peluang bisnis di masa Sri Lanka pasca perang. Melalui pembangunan yang masif menurut
Rajapaksa Sri Lanka dapat menjadi “Wonder of Asia.”7 Logika yang dibangun adalah tidak
ada pembangunan tanpa perdamaian dan tidak ada pula perdamaian tanpa pembangunan.
Pembangunan di wilayah Utara dan Timur Sri Lanka dianggap sebagai penutup bagi
munculnya terorisme. Ia meyakini bahwa pembangunan infrastruktur untuk mengurangi
kemiskinan merupakan solusi politik yang utama bagi Sri Lanka pasca perang. Pembangunan
dan rekonstruksi ini sendiri dilakukan secara penuh oleh pemerintah pusat Sri Lanka.
Pemerintah Sri Lanka minim melibatkan penduduk setempat untuk dimintai konsultasi
mengenai proyek pembangunan tersebut.
Kebijakan pasca perang yang menekankan pada pembangunan infrastruktur di wilayah
Utara dan Timur ini melibatkan peran militer Sri Lanka. Militer Sri Lanka diperlukan untuk
menjaga stabilitas dari proses pembangunan yang dianggap dapat mewujudkan perdamaian
yang permanen di Sri Lanka.8 Tidak ada upaya sama sekali untuk meminimalisasi peran
militer dari pemerintah Sri Lanka untuk menunjukkan usaha rekonsiliasi yang lebih damai.
Pengeluaran negara untuk militer justru mengalami peningkatan dan mencapai rekor tertinggi
yaitu meningkat hingga 15 persen dari tahun sebelumnya.9 Militer juga merambah ke ranah
5 Sri Lanka Departement of Elections, “Presidential Election 2010 Official Results”, situs Sri Lanka Departement of Elections. http://www.slelections.gov.lk/presidential2010/AIVOT.html. Diakses pada Senin 10 Maret 2014 Pukul 09.30. 6 Mahinda Rajapaksa, “United in peace, lets build a great nation - President at the second swearing ceremony”, situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=103. Diakses pada Minggu 9 Maret 2014 Pukul 22.33. 7 Ibid. 8 Hoglund dan Orjuela, loc. cit.. 9 Ibid.
yang otoriter. Penelitian ini ingin mengidentifikasi bagaimana terbentuknya rezim otoriter di
Sri Lanka pasca perang sipil dengan melihat dari sisi pembangunan ekonomi. Penelitian ini
ingin menggambarkan bahwa upaya untuk menjaga stabilitas pasca perang sipil di Sri Lanka
maka diperlukan pembangunan ekonomi yang masif. Untuk membangun ekonomi pasca
perang tersebut maka diperlukan negara dan kepemimpinan yang kuat, birokrat yang
mengimplementasikan kebijakan, ideologi pembangunan, dan legitimasi dari hasil
pembangunan.
Penelitian mengenai kondisi Sri Lanka pasca perang sipil memang sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Akan tetapi belum banyak penelitian yang membahas mengenai
pembentukan rezim authoritarian developmentalism. Penelitian ini akan memperkaya
literatur mengenai kondisi Sri Lanka dengan menggunakan perspektif yang berbeda yaitu
pembentukan authoritarian developmentalism.
Nasionalisme dan Hegemoni Mayoritas
Dalam mempertahankan kekuasaannya di era demokrasi, seorang pemimpin dapat
menggunakan banyak hal. Menurut Jack Snyder, sentimen nasionalisme merupakan salah
satu faktor yang mengganggu demokrasi. Kelompok atau elit dapat mengumpulkan kekuatan
dengan menggunakan sentimen nasionalisme untuk mencegah demokrasi. Dalam konteks ini,
menurut Snyder, ada empat bentuk nasionalisme yang bisa terjadi: nasionalisme sipil,
nasionalisme SARA, nasionalisme revolusioner, dan nasionalisme kontra-revolusioner.11
Nasionalisme sipil terjadi ketika elit politik merasa tidak terancam dengan adanya
demokrasi. Snyder menggambarkan bahwa nasionalisme sipil terjadi ketika kepentingan elit
lentur dan lembaga politik yang kuat. Elit elit ini merasa tidak terancam dengan adanya
lembaga perwakilan serta pers yang terbuka. Nasionalisme SARA merupakan nasionalisme
yang berasal dari kesamaan budaya, bahasa, agama, dan sejarah. Nasionalisme SARA terjadi
ketika adanya kepentingan elit yang tegar dengan lembaga politik yang lemah. 12
Nasionalisme SARA sangat mungkin lahir ketika lembaga-lembaga politik masih baru pada
saat timbulnya desakan ke arah peran-serta politik massa. Nasionalisme revolusioner terjadi
ketika kepentingan elit lentur dengan lembaga politik yang lemah. Nasionalisme revolusioner
merupakan usaha untuk mempertahankan suatu perubahan politik yang melahirkan rezim
11 Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokrasi dan Konflik Nasionalis (penerjemah Martin Alaeda, Parakitri T Simbolon), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm 78-83. 12 Ibid.
baru yang dianggap lebih baik dari rezim sebelumnya.13 Nasionalisme semacam ini terjadi
ketika elit politik yang ada tidak merasa dirugikan melalui adanya demokrasi. Nasionalisme
kontra-revolusioner terjadi ketika kepentingan elit yang tegar dengan lembaga politik yang
kuat. Dalam kondisi ini, elit yang terancam oleh demokrasi tetapi masih mengendalikan
kekuasaan tergoda untuk menggunakan nasionalisme eksklusif untuk membatasi tanggung
jawab demokratisnya.14 Elit ini kemudian berpura-pura tampil sebagai pemimpin rakyat demi
mempertahankan kedaulatan nasional.
Menurut Snyder, salah satu strategi yang dapat menjadi cara penyelesaian konflik etnis
atau SARA adalah melalui hegemoni. Di masyarakat yang Multi etnis satu kelompok etnis
dapat memonopoli kekuasaan negara dan menggunakannya untuk mendominasi kelompok
etnis lain. Dominasi tersebut dapat dicapai dengan penindasan terang-terangan, dapat pula
dilakukan dengan memecah belah minoritas kemudian menguasainya. Penindasan ini
terkadang berhasil mencegah konflik etnis ketika kekuasaan kelompok yang dominan begitu
besar sehingga membuat perlawanan menjadi sulit untuk dilakukan.
Authoritarian Developmentalism
Authoritarian developmentalism merupakan bentuk negara otoriter dengan kapabilitas
ekonomi. 15 Authoritarian developmentalism merupakan sistem politik yang
menginstitusionalisasikan developmentalisme. Sistem ini adalah sistem di mana militer atau
elit politik yang memperoleh legitimasi dari promosi akan pembangunan ekonomi
menugaskan sekelompok teknokrat untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan
ekonomi. Sistem ini memiliki ciri berupa mekanisme administratif yang tersentralisasi.
Partisipasi publik yang luas dalam proses pembuatan keputusan dalam pembangunan
merupakan suatu hal yang dibatasi. Rezim ini membutuhkan persyaratan tertentu.16 Yang
pertama adalah bahwa rezim ini membutuhkan pemimpin yang kuat dan memiliki literasi
ekonomi yang tinggi. Kedua, pembangunan merupakan tujuan, ideologi, dan obsesi nasional.
Ketiga, sekelompok elit teknokrat yang membantu pemimpin dalam merancang dan
mengeksekusi kebijakan. Keempat, Legitimasi politik yang berasal dari pembangunan yang
sukses. Dari keempat syarat tersebut, kepemimpinan merupakan hal yang paling krusial. Hal 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Toshio Watanabe, “Designing Asia for the Next Century” dalam Kenichi Ohno dan Izumi Ohno, Japanese Views on Political Development Diverse Path to Development, London: Routledge, 1998, hlm. 188. 16 Kenichi Ohno, “The East Asian Growth Regime and Political Development” dalam GRIPS Development Forum (editor), Diversity and Complementarity in Development Aid: East Asian Lessons for African Growth, Tokyo: GRIPS Development Forum, 2008, hlm. 47.
ini dikarenakan faktor-faktor lain tidak akan terbentuk jika tidak ada seorang pemimpin yang
memiliki kompetensi yang tinggi.
Selain faktor di dalam negara, terdapat pula faktor yang mempengaruhi pemebentukan
rezim authoritarian developmentalism yang berasal dari luar negara. Faktor ini merupakan
faktor yang berasal dari sejarah dan budaya. Dalam meneliti pembentukan rezim
authoritaritarian developmentalism di Korea Selatan List-Jensen menyebutkan bahwa faktor
budaya dan sejarah Korea Selatan mempengaruhi pembentukan rezim tersebut.17
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur pendekatan kualitatif
mengandalkan pada teks dan data gambar, memiliki langkah-langkah yang unik dalam
analisis data, dan memiliki langkah-langkah yang unik dalam analisis data, dan
memiliki beragam strategi penyelidikan yang menarik.18 Penelitian kualitatif ini
digunakan untuk dapat menangkap dan mengungkapkan fakta dari penelitian yang
dilakukan oleh peneliti. Data yang didapati kemudian diproses melalui analisis tematis
atau generalisasi dari bukti yang didapat, sehingga menghasilkan suatu gambaran yang
koheren dan konsisten dapat disajikan.19 Berdasarkan tujuannya, tipe penelitian ini
termasuk deskriptif karena ingin menjawab pertanyaan “bagaimana”.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, teknik pengumpulan data utama adalah data
sekunder. Teknik pengambilan data sekunder ini akan dilakukan dengan studi pustaka
literatur mengenai pengaruh kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE terhadap
kemunculan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa. Pembentukan rezim otoriter Rajapaksa yang
menekankan pada pembangunan akan ditelusuri melalui berbagai literatur. Penelusuran
berbagai buku dan jurnal juga akan dilakukan untuk menelusuri kebijakan negara pasca
berakhirnya perang.
Pembahasan
Terdapat faktor endogen yang meliputi faktor-faktor pembentuk rezim authoritarian
developmentalism menurut teori Kenichi Ohno. Faktor-faktor ini adalah kepemimpinan yang 17 Ann Sasa List-Jensen, Economic Development and Authoritarianism A Case Study on the Korean Developmental State, Kertas Kerja Aalborg University, Aalborg, 2008. 18 John. W Cresswell, Research Design: Quantitive, Qualitative, and Mixed Approach Methods, London: Sage Publication, 1994, hlm. 20. 19 W. Laurence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Boston: Allyn and Bacon, 2006, hlm. 145.
kuat, pembangunan sebagai ideologi, tujuan, dan obsesi nasional, teknokrasi sebagai
pendukung Rajapaksa dalam menentukan dan mengeksekusi kebijakan, dan legitimasi yang
berasal dari pembangunan ekonomi. Bab ini akan menggambarkan lebih jelas bagaimana
keempat faktor tersebut memberikan kontribusi dalam pembentukan rezim authoritarian
developmentalism Mahinda Rajapaksa.
Kepemimpinan Rajapaksa yang Kuat
Kompetensi Ekonomi Mahinda Rajapaksa
Salah satu kepemimpinan yang kuat dalam rezim authoritarian developmentalism
menurut Kenichi Ohno kompetensi pemimpin tersebut dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi.20 Pemimpin tersebut tidak perlu memiliki gelar doktor ataupun master dalam hal
ekonomi. Yang terpenting menurut Ohno adalah pemimpin tersebut memiliki insting untuk
memilih dan menentukan kebijakan yang tepat.21 Pemimpin ini harus dapat menentukan apa
saja kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Sri Lanka menurun sampai mencapai angka
negatif yaitu minus satu hingga minus empat persen.22 Kondisi ekonomi Sri Lanka yang
buruk ini dipengaruhi oleh keadaan Sri Lanka yang terus-menerus dilanda perang sipil.
Kondisi ekonomi yang buruk ini mengalami perubahan pada saat Rajapaksa menjabat.
Selama enam tahun Sri Lanka mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan. Secara
fisik terjadi pertumbuhan infrastruktur pesat terutama di Kolombo. Pada tahun 2010 Sri
Lanka mencapai pertumbuhan tertinggi selama tiga dekade terakhir yaitu delapan persen.23
Pada tahun ini juga Sri Lanka telah mencapai negara dengan pendapatan tingkat menengah
menurut standar IMF.24 Pada tahun 2010 Sri Lanka memiliki pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia,
dan Turki. Sri Lanka juga mampu melampaui pertumbuhan ekonomi negara-negara BRICS
yaitu Brazil, Rusia dan Afrika Selatan.
Rajapaksa dalam menjalankan kebijakan ekonomi menekankan pada kekuatan negara.
Rajapaksa meyakini bahwa negara memiliki peran yang penting dalam mengelola 20 Ohno, op.cit., hlm. 47. 21 Ibid. 22 Asian Tribune, “Reassessment President Mahinda Rajapaksa”, Asian Tribune 17 November 2011. http://www.asiantribune.com/news/2011/11/17/reassessment-president-mahinda-rajapaksa. Diakses pada 25 April 2014, pukul 08.48. 23 Ibid. 24 Ibid.
perekonomian.25 Rajapaksa cenderung tidak percaya kepada mekanisme pasar tanpa aturan.
Negara harus memiliki kapasitas dalam mendorong berbagai aktivitas ekonomi. Rajapaksa
juga secara ideologi cenderung tidak sepakat dengan adanya privatisasi.
Kebijakan pembangunan Rajapaksa pasca perang memang cenderung berhaluan
nasionalis dan berorientasi non-barat. Hal ini ditunjukkan melalui adanya tiga ciri utama.26
Pertama adalah bahwa Rajapaksa memprioritaskan pembangunan berbagai infrastruktur
dibandingkan kebijakan lainnya. Hal ini terlihat dari prioritas Rajapaksa pasca perang adalah
pembangunan bandara, pelabuhan, jalan, dan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi
lainnya. Pembangunan infrastruktur ini diperlukan untuk mengejar ketertinggalan kualitas
infrastruktur yang disebabkan oleh perang yang berkepanjangan. Ciri kedua adalah Rajapaksa
berusaha meminimalisasi bantuan asing dari Barat dalam pembangunan. Ciri ketiga adalah
bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Rajapaksa merupakan bentuk solusi
politik dari konflik etnik yang terjadi.
Amandemen 18 Konstitusi Sri Lanka
Pada September 2010 Rajapaksa mendorong terjadinya amandemen terhadap konstitusi
Sri Lanka. Menurut Rajapaksa amandemen ke-18 Konstitusi Sri Lanka merupakan hal yang
penting untuk dilakukan.27 Konstitusi sebelumnya dianggap tidak efektif dan tidak praktis.
Amandemen ini akan melepaskan sebagian besar mekanisme pengawasan terhadap
presiden.28 Selain itu, amandemen ini juga menambah masa jabatan presiden. Amandemen ini
menghilangkan batasan maksimal masa jabatan presiden sehingga presiden dapat maju
berkali-kali pada pemilu selanjutnya. Amandemen ini membuka peluang bagi Rajapaksa
untuk maju menjadi presiden untuk masa jabatan ketiga pada tahun 2016. Selain itu,
amandemen ini juga membuat sistem yudisial menjadi semakin lemah. Peran dewan
konstitusi untuk memilih anggota berbagai lembaga independen digantikan oleh dewan
parlemen yang ditunjuk langsung oleh presiden. Presiden juga dapat menunjuk hakim
Mahkamah Agung, jaksa agung, ombudsman parlemen, dan sekjen parlemen.
Pelibatan Keluarga Rajapaksa dan Anggota Koalisi dalam Pemerintahan
25 Rajesh Venugopal, Economic Development and the Executive Presidency, makalah London School of Economics, London, 2011,, hlm. 10. 26 Ibid. 27 International Crisis Group, Reconciliation in Sri Lanka: Harder than Ever, Kolombo/Brussel: International Crisis Group. 2011, hlm. 21. 28 Ibid.
Pemerintahan Rajapaksa didominasi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan
personal dengan Rajapaksa. Rajapaksa membangun kronisme di dalam negara untuk
memusatkan kekuasaan pada orang-orang yang dapat ia percaya dan mudah dikendalikan.
Keluarga Rajapaksa saat ini memegang hampir sebagian besar jabatan di institusi negara.
Saudara kandungnya yaitu Gotabya Rajapaksa memegang jabatan Menteri Keamanan.
Saudaranya yang lain yaitu Basil Rajapaksa menjadi pemimpin dari Kementerian
Pembangunan Ekonomi. Selain jabatan di kementrian, terdapat pula saudara yang berada di
parlemen. Chamal Rajapaksa merupakan speaker dari parlemen Sri Lanka saat ini. Melalui
konfigurasi seperti ini, Mahinda, Gotabya, dan Basil memiliki kontrol penuh terhadap 94
departemen dan 70 persen anggaran nasional.29
Pemerintahan Rajapaksa mengonsolidasikan dan memperluas kekuasaannya dengan
membentuk koalisi besar yaitu melalui UPFA. Cakupan dari koalisi ini dapat digambarkan
sebagai “koalisi pelangi” karena melibatkan setiap identitas etnik dan regional. Bentuk koalisi
yang besar ini menunjukkan adanya kapasitas dari Rajapaksa untuk membentuk kohesi
sentripetal melalui patronase.30 Pembantukan koalisi ini penting untuk memberikan dukungan
kepada rezim sehingga kelangsungannya dapat terjaga. Selain itu, pembentukan koalisi juga
diperlukan untuk mempermudah pemberian persetujuan bagi kebijakan yang diperlukan
dalam pemerintahan Rajapaksa. Pembentukan koalisi UPFA sendiri didasarkan untuk
mendukung pencalonan Rajapaksa sebagai presiden pada tahun 2005 dan juga 2010.
Kompensasi dari dukungan ini adalah pemberian kursi menteri kepada anggota koalisi.
Media dan Kebebasan Berekspresi
Rajapaksa melakukan intimidasi kepada media. Sri Lanka saat ini dianggap sebagai
negara yang tidak aman bagi jurnalis. 31 Diperkirakan jurnalis yang dibunuh di masa
pemerintahan Rajapaksa mencapai 12 orang.32 Salah satunya adalah figur media yang sangat
vokal Lasantha Wickrematunga yang merupakan editor dari Sunday Leader. Sejumlah
jurnalis lain juga berada di dalam ancaman hukuman karena adanya peraturan yang dibuat
oleh pemerintah. Sejumlah kantor media juga diserang oleh preman-preman. Intimidasi
29 DeVotta, “Sri Lanka,” loc. cit. 30 Jonathan Goodhand, et. al., Sri Lanka: Strategic Policy Assessment, 2011, hlm. 22. Diunduh dari http://personal.lse.ac.uk/venugopr/Sri%20Lanka%20Strategic%20Policy%20Assessment%202011.pdf. Diakses pada 27 April 2014, pukul 01.39. 31 Goodhand, loc. cit. 32 David Lewis, “In Rajapaksa’s Sri Lanka, repression is a family affair”, The Conversation 2 November 2013. http://theconversation.com/in-rajapaksas-sri-lanka-repression-is-a-family-affair-19675. Diakses pada 12 Mei 2014, pukul 22.24.
terhadap media ini sudah dimulai sejak proses pemilu. Media yang tidak berpihak kepada
Rajapaksa dan cenderung memihak Fonseka mengalami boikot bahkan kekerasan. Beberapa
jurnalis asing mengalami kesulitan untuk memperoleh visa untuk meliput di Sri Lanka.
Media asal Inggris yaitu BBC bahkan tidak diperbolehkan untuk meliput lagi di Sri Lanka.33
Stasiun televisi Al Jazeera juga dilarang untuk mengudara di Sri Lanka.
Pada Juli 2012 pemerintah mengumumkan aturan baru untuk mengontrol dan mengatur
situs internet. Press Council Act yang telah direvisi dapat menghukum berat situs yang
dianggap pemerintah menyalahgunakan penggunaan situs. Sejumlah situs internet bahkan
saat ini dilarang oleh pemerintah karena dianggap terlalu kritis.34 Pada Juni 2012 situs yang
memiliki afiliasi dengan UNP diserang dan ditutup.35 Pada tanggal 29 Juni 2012 kantor situs
berita X News Sri Lanka diserang oleh Criminal Investigation Department (CID) Sri Lanka.
CID menyita tujuh unit komputer dan menangkap para pegawai yang terdiri dari delapan
jurnalis dan sembilan karyawan lain.36 Kantor X News disegel dan Ruwan Ferdinands
sebagai editor dan administrator dari situs tersebut ditangkap. Ferdinands sendiri adalah
koordinator media dari anggota parlemen UNP yaitu Mangala Samaraweera.37
Keterlibatan Militer dalam Pemerintahan
Setelah perang berakhir, militer tetap banyak dilibatkan oleh pemerintahan Rajapaksa.
Rajapaksa membangun hubungan dengan militer untuk menjaga stabilitas dari kekuatan
oposisi yang dapat mengganggu program pembangunan. Hubungan antara kepemimpinan
eksekutif Rajapaksa dengan militer bahkan membuat relasi antara keduanya mencapai level
yang berbeda. Rajapaksa mengganti sejumlah pejabat publik sipil dengan militer.38 Sejumlah
pensiunan militer diberikan posisi sebagai duta besar ataupun kepala lembaga atau
perusahaan negara. Dalam kasus tertentu militer juga diberikan jabatan kegubernuran. Di
Utara jabatan gubernur diberikan kepada militer yaitu Mayor Jenderal G.A. Chandrasiri.
33 Ibid. 34 International Crisis Group, Sri Lanka’s Authoritarian Turn: The Need for International Action Crisis Group Asia Report No.243, Kolombo/Brussell: International Crisis Group, 2013, hlm. 16 35 Ibid. 36 LankaeNews, “CID raids Media office: computers, equipments impounded, and seals office: 8 journalists taken to 4th floor: on the trail of Ferdinands”, LankaeNews 29 Juni 2012. http://lankaenews.com/English/news.php?id=13006 37 Global Tamil News, “Sri Lanka main opposition website administrator surrenders to Court”, Global Tamil News 7 Juli 2013. http://www.globaltamilnews.net/MobileArticle/tabid/81/language/en-US/Default.aspx?pn=home&aid=79930 38 DeVotta, loc. cit.
Selain itu, di Timur juga terdapat nama Laksamana Mohan Wijewickrama yang menjadi
gubernur di provinsi tersebut.
Pasca perang sipil militer juga aktif di dalam aktivitas ekonomi. Hal ini terutama
dilakukan oleh militer yang berada di wilayah Utara. Di Utara, militer mengambil alih
sejumlah lahan untuk digunakan untuk bisnis pertanian mereka. Pengambilalihan lahan
tersebut dilakukan terhadap lahan milik pemerintah dan juga lahan milik warga Tamil.39
Lahan-lahan tersebut semula adalah lahan yang dikuasai oleh LTTE. Lahan pertanian yang
digunakan untuk keperluan bisnis pertanian militer tersebut misalnya adalah perkebunan
Vaddakatchi dan lahan pertanian di Muththaian-Kattukulam. Selain pertanian, militer juga
aktif dalam aktivitas komersial lainnya. Militer menjalankan sejumlah restoran dan juga toko
di sepanjang jalan A9. 40 Selain itu, Militer juga menyentuh pasar pariwisata dengan
menjalankan bisnis perhotelan di Utara.
Pembangunan sebagai Ideologi, Tujuan, dan Obsesi Nasional
Melalui proyek-proyek pembangunan pasca konflik ditunjukkan dengan jelas bahwa
Rajapaksa mencoba membangun konstruksi di mata masyarakatnya bahwa Sri Lanka adalah
negara yang hebat. Hal ini akan diwujudkan melalui visinya yaitu Mahinda Chintana. Pada
Mahinda Chintana dikatakan dengan jelas bahwa Sri Lanka akan menjadi “keajaiban baru di
Asia”. Pada pidato pelantikannya di tahun 2010 Rajapaksa menekankan bahwa Sri Lanka
bukanlah miniatur dari negara berkembang, Sri Lanka harus dapat membuktikan jati diri
bangsa mereka dan melalui pembangunan hal tersebut dapat terwujud. 41 Rajapaksa
mengatakan bahwa Sri Lanka telah menjadi bangsa yang bersatu, hal ini diwujudkan melalui
pembebasan negara dari konflik yang beriringan dengan implementasi dari Mahinda
Chintana. Rajapaksa berjanji akan membawa Sri Lanka menjadi negara yang hebat di dunia
dengan cara mengimplementasikan kebijakan yang terdapat di dalam Mahinda Chintana.
Dalam Mahinda Chintana Sri Lanka memilki target pendapatan per kapita mencapai
4.470 milyar dolar pada tahun 2016.42 Untuk mendukung hal tersebut, tingkat ekspor akan
39 Lihat International Crisis Group, Sri Lanka’s North II: Rebuilding Under Military, Asia Report No. 220, Kolombo/Brussel: Crisis Group, 2012, hlm. 22. 40 Ibid., hlm. 23. 41 Mahinda Rajapaksa, “United in Peace, Lets Build a Great Nation - President at the Second Swearing Ceremony”, situs resmi Presiden Sri Lanka. http://www.president.gov.lk/speech_New.php?Id=103. diakses pada 2 Mei 2013, pukul 15.27. 42 Department of National Planning Ministry of Finance and Planning, Sri Lanka The emerging Wonder of Asia Mahinda Chintana – Vision for the Future The Development Policy Framework Government of Sri Lanka, Kolombo: Department Of National Planning Ministry Of Finance And Planning, 2010.
ditingkatkan hingga mencapai 18 milyar dolar AS di tahun 2016. Sektor pariwisata juga akan
dibangun dengan target pada tahun 2016 memberikan kontribusi sebesar 2,5 milyar dolar AS
kepada pendapatan. Pertumbuhan ekonomi juga diharapkan akan mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran hingga mencapai masing-masing 4,2 persen dan 3,2 persen di
tahun 2016.
Teknokrasi sebagai Pendukung Rajapaksa dalam Menentukan dan Mengeksekusi
Kebijakan
Rajapaksa membutuhkan sekelompok teknokrat untuk memberikan saran kepada
Rajapaksa untuk menjalankan kebijakan pembangunan. Salah satu badan teknokratik yang
menjadi pendukung terhadap kebijakan pembangunan di Sri Lanka adalah Board of
Investment (BOI). Semula BOI ini bernama Greater Colombo Economic Commission
(GCEC). Pada tahun 1992 namanya diubah menjadi BOI untuk mengakomodasi
pembangunan ekonomi di seluruh negeri.43 BOI saat ini dikepalai oleh Lakshman Jayaweera
yang merupakan seorang teknokrat bergelar doktor dari University of New South Wales
Australia. Selain Jayaweera, direksi BOI diisi pula oleh orang-orang yang berpengalaman di
bidang ekonomi. Terdapat nama Channa Palansuriya, orang yang memiliki pengalaman
menjadi Deputi Kepala Sampath Bank dan CEO Orit Apparels Lanka. Selain itu terdapat pula
Sanjeewa Wickramanayake yang merupakan pemilik dari Ewis Solutions dan Toppan Forms.
Selain BOI yang dikepalai Jayaweera, terdapat pula teknokrat yang bekerja untuk
Rajapaksa pada level kementrian. Penunjukkan teknokrat-teknokrat ini dilakukan secara
langsung oleh Rajapaksa. Teknokrat-teknokrat ini ditempatkan di kementrian-kementerian
yang kementeriannya dipegang langsung oleh Rajapaksa, keluarga Rajapaksa, ataupun
anggota koalisi UPFA. Teknokrat-teknokrat ini umumnya ditempatkan sebagai sekretaris di
kementrian-kementerian tersebut. Di antara teknokrat tersebut terdapat nama P.B.
Jayasundera. Jayasundera merupakan Sekretaris Kementrian Keuangan Sri Lanka di bawah
menteri keuangan Mahinda Rajapaksa. Jayasundera dianggap sebagai teknokrat yang paling
kuat dalam rezim Rajapaksa.44 Selain berada di kementrian keuangan, Jayasundera juga
menjadi Sekretaris Kementerian Pembangunan Ekonomi di bawah Basil Rajapaksa.
43 Board of Investment Sri Lanka, “About us”, situs Board of Investment Sri Lanka. http://www.investsrilanka.com/welcome_to_boi/about_us.html, diakses pada 2 Mei 2013, pukul 15.27. 44 The Sunday Times, “PB Jayasundera to get wide administrative Power” The Sunday Times 31 Oktober 2010. http://www.sundaytimes.lk/101031/BusinessTimes/bt06.html. Diakses pada 1 Mei 2014, pukul 09.37.
Jayasundera memiliki kekuasaan untuk mengontrol institusi pendapatan negara. 45
Jayasundera juga memiliki kewenangan untuk mengontrol promosi investasi, pariwisata, dan
pembangunan bangsa.
Pembangunan sebagai Sumber Legitimasi dan Dukungan Populer Rajapaksa
Rajapaksa menyadari bahwa untuk membangun rezim seperti yang ia inginkan
membutuhkan kemakmuran ekonomi.46 Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Sri Lanka
mencapai angka tertinggi selama beberapa dekade yaitu mencapai angka 8 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini memberikan momentum tersendiri bagi Rajapaksa.
Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini Rajapaksa dapat membuktikan bahwa dirinya
mampu membawa kemakmuran ekonomi bagi Sri Lanka. Proses pembangunan yang
dilakukan pemerintahannya telah memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Rajapaksa hanya perlu membawa tema ini sebagai sumber dukungan bahwa dirinya akan
melanjutkan proses pembangunan ekonomi ini selama ia menjabat. Rajapaksa dapat
diproyeksikan sebagai figur yang dibutuhkan Sri Lanka untuk membawa kemajuan
khususnya di bidang ekonomi.
Dukungan dan legitimasi yang berasal dari performa ekonomi pemerintahan Rajapaksa
pasca perang sipil menunjukkan persentase yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian
yang dilakukan oleh Centre for Policy Alternatives. Dukungan tinggi terhadap pemerintah ini
umumnya berasal dari etnis Sinhala. Dalam hal ekonomi, 38 persen masyarakat Sri Lanka
mengatakan bahwa situasi ekonomi secara umum telah lebih baik dan 10,7 persen
menganggap situasi ekonomi telah jauh membaik.47 Dalam hal ini 42,2 persen etnis Sinhala
menganggap bahwa situasi ekonomi telah membaik sementara itu 57,1 persen etnis Tamil
yang tinggal di perkotaan menganggap situasi ekonomi semakin jauh memburuk. Ketika
ditanya apakah pemerintah sudah melakukan kinerja yang baik dalam mengelola
perekonomian semua etnis menganggap pemerintah sudah bekerja dengan baik. Terdapat
38,8 persen etnis Sinhala yang menganggap pemerintah memiliki kinerja yang baik dalam
mengelola perekonomian sementara itu 43,4 persen etnis Tamil menganggap pemerintah
telah bekerja dengan baik dalam hal perekonomian.48 Hal ini kemudian berdampak pada
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Total 81,1 persen etnis Sinhala percaya 45 DeVotta, loc. cit. 46 Ibid. 47 Centre for Policy Alternatives, Survey On Democracy In Post-War Sri Lanka Top Line Report July 2011, Kolombo: Centre for Policy Alternatives, 2011, hlm. 10. 48 Ibid, hlm. 37.
juga oleh adanya faktor kultural sebagai faktor eksogen. Rajapaksa dapat membentuk rezim
authoritarian developmentalism dipengaruhi oleh adanya nasionalisme Buddha Sinhala. Bagi
sebagian peneliti, nasionalisme Buddha Sinhala ini bahkan sudah dapat dikatakan sebagai
49 Ibid, hlm. 42. 50 Nisha Arunatilake, et al, “The economic cost of the war in Sri Lanka”, World Development, Vol. 29, No 9, 2001, hlm. 1483-1500. 51 Deshal de Mel dan Shakya Lahiru Pathmalal, Political and Economic Policy Priorities in Supporting Post Conflict Peace and Development in Sri Lanka, hlm. 49. Diunduh dari http://siteresources.worldbank.org/INTCONFLICT/Resources/SriLankafinal.pdf. Pada 18 Februari 2014, pukul 01.35. 52 Saman Kelegama dalam Ibid.
sebuah ideologi yang mempengaruhi politik di Sri Lanka.53 Nasionalisme Buddha Sinhala
telah lama memberikan pengaruh terhadap politik Sri Lanka. Politisasi terhadap identitas
Buddha dan Sinhala terjadi di Sri Lanka dalam bentuk penggunaan simbol-simbol agama dan
etnis tersebut ke dalam politik elektoral. Selain itu, penggunaan simbol-simbol Buddha dan
Sinhala juga dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber dukungan bagi suatu rezim.
Mahinda Rajapaksa merupakan presiden pertama yang menganut ideologi nasionalis
Sinhala secara penuh.54 Rajapaksa meyakini bahwa Sri Lanka merupakan Dhammadipa dan
juga Sinhaladipa. Rajapaksa kemudian merasa perlu untuk mengekspresikan identitas Sinhala
Buddha karena sebagian besar pemilihnya merupakan Sinhala Buddha. Hal ini membuat
Rajapaksa memiliki keleluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang otoriter.55 Hal ini
termasuk di dalamnya melakukan kekerasan HAM terhadap etnis Tamil. Kekerasan HAM di
dalam pemerintahan Rajapaksa misalnya terjadi dalam pelaksanan No Fire Zone (NFZ). Pada
Januari 2010, terjadi pelanggaran di dalam pelaksanaan NFZ ini. Laporan Crisis Group
menyebutkan bahwa pada saat itu militer pemerintah melakukan penyerangan terhadap tenda-
tenda warga sipil Tamil. 56
Pada pemerintahan Rajapaksa, supremasi Buddha Sinhala dapat dilihat dalam bentuk
Sinhalaisasi wilayah Utara pasca perang sipil. Sinhalaisasi ini terjadi seiring dengan terlibat
aktifnya militer Sri Lanka dalam kehidupan pasca perang di Utara.57 Terjadi perubahan
nama-nama jalan di wilayah Utara dengan menggunakan bahasa atau tokoh Sinhala. Terjadi
pula pembangunan patung-patung Buddha di wilayah Utara yang secara tradisional beragama
mayoritas Hindu. Pasca perang sipil wilayah Utara juga kedatangan etnis Sinhala dengan
jumlah yang cukup signifikan. Para politisi Tamil meyakini bahwa proses Sinhalaisasi ini
merupakan hal yang didukung oleh pemerintahan Rajapaksa. Terjadi pula perubahan nama
desa dari Tamil ke Sinhala. Berakhirnya perang sipil membuka peluang terjadinya perubahan
53 Salah satunya adalah R.A.L.H.Gunawardana, seorang profesor sejarah dari University of Peradeniya. Gunawardana menyebutkan bahwa Sinhala tidak hanya merupakan sebuah identitas, tetapi juga merupakan sebuah ideologi. 54 Neil DeVotta, “Politics and Governance in Post-Independence Sri Lanka” dalam Paul R. Brass (editor), Routledge Handbook of South Asian Politics: India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, and Nepal, London: Routledge, 2010, hlm. 122. 55 Ibid. 56 International Crisis Group, War Crimes, loc. cit. 57 Lihat International Crisis Group, Sri Lanka’s North I: The Denial of Minority Rights, Asia Report No. 219, Kolombo/Brussel: International Crisis Group, 2012, hlm. 17.
oleh faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen ini meliputi faktor di dalam teori
authoritarian developmentalism Kenichi Ohno, yaitu kepemimpinan yang kuat, pembangunan
sebagai ideologi, tujuan, dan obsesi nasional, teknokrasi sebagai pendukung rajapaksa dalam
menentukan dan mengeksekusi kebijakan, dan legitimasi yang berasal dari pembangunan
ekonomi. Faktor eksogen dalam pembentukan rezim ini meliputi faktor sejarah perang sipil
dan konsekuensinya serta adanya ideologi nasionalis Buddha Sinhala.
58 The Social Architecs, Salt on Wounds, The Systematic Sinhalization of Sri Lanka’s North, East, and Hill County, laporan The Social Architecs, 2012, hlm. 17.