PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN PERANNYA DALAM MEMBENTUK SIKAP DISIPLIN SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI CIBINONG s Oleh: Ahmad Fauji NIM. 102015024049 JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
83
Embed
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Perannya dalam ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DAN PERANNYA DALAM MEMBENTUK SIKAP DISIPLIN
SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI CIBINONG
s
Oleh:
Ahmad Fauji NIM. 102015024049
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dan Perannya dalam Membentuk Sikap Disiplin Siswa
Madrasah Aliyah Negeri Cibinong ” yang disusun oleh Ahmad Fauzi
Nomor Induk Mahasiswa: 102015024049, Jurusan Pendidikan (Tadris) IPS
telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan berhak
untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan
fakultas.
Jakarta, 26 Mei 2008
Yang mengesahkan
Drs. Banajid
NIP
PROGERAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 7
C. Pembatasan Masalah 8
D. Perumusan Masalah 8
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9
BAB II KAJIAN TEORI
Pembelajaran PKn
1. Pengertian Pembelajaran 10
2. Tujuan dan Metode Pembelajaran 12
3. Prinsip-prinsip Pembelajaran 17
4. Pendidikan Kewarganegaraan 19
Disiplin
1. Pengertian Displin 29
2. Tujuan Disiplin 33
3. Fungsi Disiplin 34
4. Jenis-jenis Disiplin 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Tempat, Waktu dan Sumber Penelitian 43
Teknik Pengumpulan Data 43
Teknik Analisis Data 45
Definisi Operasional 47
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Objek Penelitian 49
B. Deskripsi Data 53
C. Analisis Data 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 67
B. Saran 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ngalim Purwanto mengatakan bahwa “pendidikan sebagai sarana
memanusiakan manusia pada dasarnya adalah sebagai usaha mengembangkan
potensi individu, sehingga bisa hidup lebih optimal, baik secara pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat yang memiliki nilai-nilai moral dan hasil
sebagai pedoman hidup. Pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang
bertujuan dan berusaha mendewasakan anak”.1 Sedangkan Amir Daein Indra
Kusuma juga mengatakan bahwa ”pendidikan dipandang sebagai suatu usaha
sadar yang dilaksanakan secara teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh
orang-orang yang diserahkan tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar
mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan”.2
Fuad Hassan menegaskan bahwa “dalam arti yang luas pendidikan
terjadi melalui tiga upaya utama, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan
peneladanan. Hal ini perlu ditekankan agar tidak lagi-lagi terjadi penafsiran
yang mempersempit upaya pendidikan sekadar dalam lingkup penyekolahan
(Schooling), selanjutnya sistem pendidikan diartikan sistem persekolahan
belaka”.3
Menurut Piet A. Sahertian “pendidikan merupakan usaha sadar yang
secara sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia”.4
1 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), Cet ke-1 h.11.
2 Amir Daein Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional,
tth.) h.27
3 Fuad Hassan, Pendidikan Manusia Indonesia, Editor Tonny D. Widastono, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta 2004, h. 52
4 Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), cet. ke-1, h. 1
Pendidikan dapat dilakukan dimana saja tidak mengenal ruang, tempat dan
waktu, serta dapat dilakukan oleh siapa saja, karena pada dasarnya pendidikan
merupakan pemberian pengetahuan dan bimbingan dari orang yang lebih
dewasa kepada orang yang lebih muda.
Pengertian guru secara umum dapat diartikan sebagai "orang yang
menjadi panutan serta memberikan jalan yang baik demi kemajuan, atau
dengan kata Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani"5
Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi
seorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi
edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Sedangkan menurut kamus
besar bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya mengajar).6 Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah
orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.7 Namun secara
luas guru dapat diartikan sebagai orang yang berwenang dan bertanggung
jawab terhadap pendidikan siswa, baik secara individual maupun klasikal, baik
di sekolah maupun di luar sekolah.
Sejak dulu, dan mudah-mudahan sampai sekarang, guru menjadi
anutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh murid di ruang-ruang
kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam
menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Tampaknya masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat
dalam kehidupan masyarakat, yakni di depan memberi suri teladan, di tengah-
5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Pedoman Guru Agama SD, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum, 1982/83 ), h. 33
6 Tim Penyusun Kamus P3B, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), edisi kedua, h. 330
7 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, ( Jakarta:
Rhineka Cipta, 2000 ), Cet. I, h. 31
tengah membangun, dan di belakang memberikan dorongan dan motivasi. Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.8
Dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru
diberikan tugas yang berat. Namun lebih berat lagi mengemban tanggung
jawab, sebab tanggung jawab itu tidak hanya terbatas di lingkungan sekolah
tetapi juga di luar sekolah. Pembinaan yang harus diberikan guru tidak hanya
secara kelompok tetapi juga secara individual. Hal ini menuntut guru agar
selalu memperhatikan sikap, tingkah laku dan perbuatan anak didiknya tidak
hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.
Kaitannya dengan guru PKn, paling tidak ada tiga sikap yang
dilakukan guru dalam mengajar Civics seperti yang diungkapkan oleh Gross
sebagaimana dikutip oleh Somantri yaitu: (1) Extrem propagandist, i Netral,
(3) Dedicated dan well-in formed teachers9
Menjadi guru yang bersikap extrem propagandist bertentangan dengan
tujuan PKn, karena tidak melatih siswa untuk berpikir logis, kritis dan analitis,
sebagai salah satu kunci utama dalam demokratisasi sikap, pikiran dan
tindakan siswa.
Apabila bersikap netral dipertunjukkan di kelas Civics, maka hal ini
dapat menimbulkan kekeliruan bagi seluruh kelas. Maksud pelajaran tidak
menentu dan terapung menurut pikirannya masing-masing siswa. Dengan
demikian, proses mengambil keputusan tidak terjadi. Karena sikap tersebut
tidak dapat membangkitkan sikap demokratis dan menghalangi proses
pengambilan keputusan, maka sikap yang baik adalah yang didasari oleh
pengabdian dan pengetahuan yang memadai dari guru. Guru Civics harus
memiliki itikad baik dan pengabdian yang besar kepada bangsa dan negara.
Disamping itu, dia harus dapat memberikan bimbingan kepada siswa dengan
menunjukkan sumber-sumber pengetahuan yang berhubungan dengan apa
8 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2005), Cet. XVII, h. 7-8
9 Muhammad Numan Somantri , “Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS”, (Bandung:
Program Pasca Sarjanadan FPIPS UPI dengan PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. I, h. 310
yang sedang dibicarakan di dalam kelas Civics. Dengan demkian guru
membawa para siswanya ke arah suatu tingkatan pengambilan keputusan yang
terbaik dari berbagai macam alternatif yang dihadapi.
Untuk dapat berperan seperti itu, guru Civics harus menempatkan
metodenya dalam authority of method. Artinya, dia harus membuat metode
seefektif mungkin, sehingga dalam keadaan apapun metode dapat mengatasi
kesulitan guru, tanpa meninggalkan dasar-dasar mengajar yang demokratis.
Guru yang kewalahan dalam mengatasi masalah pelajaran Civics karena
kurang menyiapkan diri dalam authority of method-nya, sering menjadi
frustasi dan akhirnya menggunakan method of authority.
Method of authority mendasarkan kepada kewibawaan pribadi guru
dengan disiplin yang ketat di dalam kelas, dengan sedikit peluang untuk
berdiskusi dan merefleksikan bahan pelajaran. Sebaliknya, authority of method
dimaksudkan untuk mengungkapkan potensi-potensi kecerdasan, sikap dan
keterampilan siswa dengan memobilisasi segala usaha metodologis, agar
dicapai peningkatan hasil belajar yang sebaik-baiknya. Dalam method of
authority ini, peran guru adalah sebagai pembimbing dengan sikap bersahabat,
sehingga dapat menjadikan pelajaran Civics sebagai pelajaran yang disenangi.
Walaupun metode mengajar sudah menggariskan langkah-langkah
yang harus ditempuh oleh guru, tetapi masing-masing guru mempunyai
pertimbangan sendiri-sendiri. Mengenai tekanan peranan ini, bergantung pada
kondisi setempat. Apabila suatu tempat guru menganggap siswa mempunyai
latar belakang yang cukup dalam salah satu topik, maka peranan harus lebih
banyak kepada siswa. Tetapi apabila guru menganggap bahwa penguasaan
siswa kurang, maka guru hendaknya mendorong siswa dengan pertanyaan,
sehingga akhirnya para siswa akan lebih mengambil inisiatif dalam pelajaran
itu.
Dalam hal ini guru harus lebih banyak mengambil inisiatif dalam
permulaan pelajaran, maka tugas guru di sini jauh lebih berat. Guru harus
lebih banyak menyediakan sumber-sumber, motivasi harus lebih diperbanyak
dan guru harus lebih banyak menunjukkan perhatian besar dalam pelajaran itu.
Guru harus bersahabat, kooperatif, sopan, tetapi tegas dalam memelihara
wibawa, jujur dan menghargai setiap pendapat siswa, akan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Sungguh banyak tantangan yang dihadapi oleh guru Civics. Misalnya,
mereka harus memahami: berbagai macam teknik mengajar; hubungan bahan
pelajaran Civics dengan ilmu-ilmu sosial lainnya; lingkungan masyarakat,
agama, sains dan teknologi; dan mengenal karakter kata-kata ilmu-ilmu sosial
yang oleh Samuelson dilukiskan seringkali merupakan "tirani kata-kata".
Diakatakan demikian karena kata-kata atau istilah-istilah dalam ilmu-ilmu
sosial bisa ditafsirkan dari berbagai arti, apalagi kalau latar belakang siswa
berbeda-beda. Kalau pendapat Samuelson dihubungkan dengan pendapat F.M.
Mark yang berpendapat bahwa kesulitan mengajar Civics adalah "to steer
between dull memorization on the other".10
Artinya, di sini guru Civics harus
memadukan hafalan dengan kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat.
Dengan memaduka dull memorization dengan kehidupan dan
kebutuhan dalam masyarakat, mak para siswa dapat dilatih untuk berpikir,
bersikap dan bertindak demokratis di dalam kelas. Dengan kata lain, guru-guru
Civics harus melatih para siswa untuk berlatih menemukan konsensus dalam
hidup bermasyarakat yang demokratis.
Nana Syaodih Sukmadinata mengatakan bahwa “ada tiga sifat penting
pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan
pertimbangan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam
masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh
lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung”.11
Oleh karena itu,
baik aspek nilai dan kepribadian, pengetahuan, maupun keterampilan yang
dibina dan dikembangkan di sekolah tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat.
10 Somantri., h. 313
11
Nana Syaodih., Pengembangan Kurikulum”teori dan prektek”, (Bnadung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2005), cet. Ke-7, h. 58-59
Pendidikan di lingkungan sekolah mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pendidikan informal dalam lingkungan keluarga. Pertama, pendidikan
formal memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas bukan hanya segi
moral akan tetapi juga ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kedua, pendidikan
formal dapat memberikan pengetahuan yang lebih tinggi, lebih luas dan
mendalam. Ketiga, memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan
tertulis, pendidikan formal dilaksanakan secara berencana, sistematis dan lebih
disadari.
Lingkungan sekolah mempunyai peran yang penting dalam
pembentukkan sikap, dan tingkah laku anak sebagai penuntun mereka sebelum
terjun ke lingkungan masyarakat.
Mungkin terlalu naif jika kita membebankan kondisi keterpurukan
moral hanya dilihat dari satu sisi, apalagi hanya dari aspek pembelajaran
kewarganegaraan saja,ada banyak faktor yang membuat penegakan disiplin
sangat sulit diterapkan dalam pembelajaran kita. Sumber daya manusia kita
baik dari guru maupun siswa adalah masalah yang sangat mendasar. Dari
pihak guru hal itu terjadi biasanya dikarenakan oleh rendahnya tingkat
kesejahteraan guru, dan kurangnya fasilitas yang menunjang pembelajaran
sehingga guru sangat terbatas pada akses informasi dan perkembangan
tekhnologi yang dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan. Dimana untuk
akses tersebut dibutuhkan biaya.
Tantangan bagi siswa adalah rendahnya penerapan sikap disiplin pada
masyarakat kita. Sekolah merupakan miniatur masyarakat, idealnya antara
masyarakat dan sekolah akan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi,
namun dalam kenyataan dinegara kita kondisi masyarakatlah yang lebih
banyak mempengaruhi sekolah daripada sebaliknya, pengaruh sekolah
terhadap masyarakat kita sangatkecil. Setelah dari sekolah siswa belajar dan
dipengaruhi oleh masyarakatnya. Dibandingkan dengan negara maju, tingkat
disiplin dinegara kita sangat rendah.
Tentunya kajian ilmiah tidak harus sporadis dalam pembahasannya,
tetapi harus runut dan metodologis mengurai masalah yang mendistorsi antara
harapan dan kenyataan, antara apa yang diajarkan dalam pembelajaran
kewarganegaraan tentang disiplin dengan kenyataan sikap disiplin
dimasyarakat itu sendiri.
Adalah dipandang penting untuk melakukan koreksi pada kondisi
pendidikan kita. Apakah kita akhirnya semua terjebak pada pen-tidak
memanusiakan manusia dalam pendidikan kita. Pendidikan kewarganegaraan
hendaknya tidak larut dalam kondisi memprihatinkan tersebut. Pendidikan
kewarganegaraanan yang merupakan metamorphosis dari mata pelajaran budi
pekerti, kemudian menjadi pendidikan moral pancasila, lalu berganti nama
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan sampai sekarang, yang pada intinya
menekankan pada aspek afektif atau sikap.
Maka dari itu penulis menyusun skripsi ini dengan judul ”
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Perannya dalam
Membentuk Sikap Disiplin Siswa Madrasah Aliyah Negeri Cibinong ”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat diasumsikan identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Lemahnya pengetahuan dan pemahaman guru PKn terhadap materi
pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan sikap kedisiplinan siswa
secara menyeluruh sehingga seringkali menimbulkan pemahaman yang
berbeda dalam diri siswa terhadap aplikasi dari materi pelajaran yang telah
dipelajari.
2. Minimnya ketarampilan guru PKn dalam mengembangkan antara teori
yang berhubungan dengan perilaku disiplin dengan kenyataan
sesungguhnya sehingga menimbulkan perbedaan persepsi antara guru PKn
dan siswa.
3. Kurang terbiasanya siswa menerapkan sikap disiplin dalam kehidupan
sehari-hari sehingga subtansi dari materi yang telah dipelajari hanya
berupa pengetahuan semata.
4. Kurangnya keteladanan guru PKn dalam penanaman nilai moral kepada
siswa sehingga sosok guru kurang menjadi panutan siswa dalam
penegakan sikap disiplin
5. Kurangnya kreativitas guru PKn dalam memberdayakan sumber-sumber
belajar yang terdapat di lingkungan sekitarnya sehingga pengetahuan
siswa hanya terbatas pada sumber yang minim.
C. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini masalah yang akan dibahas dibatasi hanya
mengenai masalah:
1. Lemahnya pengetahuan dan pemahaman guru PKn terhadap materi
pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan sikap kedisiplinan siswa
secara menyeluruh sehingga seringkali menimbulkan pemahaman yang
berbeda dalam diri siswa terhadap aplikasi dari materi pelajaran yang telah
dipelajari.
2. Minimnya ketarampilan guru PKn dalam mengembangkan antara teori
yang berhubungan dengan perilaku disiplin dengan kenyataan
sesungguhnya sehingga menimbulkan perbedaan persepsi antara guru PKn
dan siswa.
3. Kurang terbiasanya siswa menerapkan sikap disiplin dalam kehidupan
sehari-hari sehingga subtansi dari materi yang telah dipelajari hanya
berupa pengetahuan semata.
D. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, dapatlah dirumuskan suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran PKn di Madrasah Aliyah Negeri
Cibinong?
2. Bagaimana sikap disiplin siswa di Madrasah Aliyah Negeri Cibinong?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah untuk mengetahui:
a. Pelaksanaan pembelajaran PKn di Madrasah Aliyah Negeri Cibinong.
b. Kinerja guru dalam pembelajaran PKn Madrasah Aliyah Negeri
Cibinong.
c. Sikap kedisiplinan siswa Madrasah Aliyah Negeri Cibinong.
Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan yang diperoleh dari hasil pelaksanaan penelitian ini
adalah:
1. Penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi atau kajian
yang dibahas.
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para guru pada umumnya,
khususnya guru PKn di Madrasah Aliyah Negeri Cibinong dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
3. Penelitian ini diharapkan berguna bagi bagi pengelola sekolah dalam
mengambil kebijakan terkait dengan rekruitmen tenaga kependidikan
sehingga permasalahan yang sama tidak kembali terjadi.
BAB II
KAJIAN DAN TEORI
A. Pembelajaran
1. Pengertian Pembelajaran
Pengertian umum belajar adalah suatu upaya yang dimaksudkan
untuk menguasai sejumlah pengetahuan. Belajar memiliki arti yang
berhubungan dengan perubahan yang meliputi tingkah laku, mental
emosional, spiritual, seorang dikatakan belajar jika pada dirinya terjadi
proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku.
Menurut Winkel, “Belajar adalah aktifitas mental seseorang yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan dan menghasilkan
perubahan dan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai
sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas”.12
Pembelajaran menurut H.D. Sudjana diartikan “Sebagai upaya
yang sistematis dan disengaja oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-
kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar”.13 Kegiatan
pembelajaran menurut Abdul Rachman Shaleh adalah “Suatu usaha yang
bersifat sadar tujuan, yang dengan sistematik terarah pada perubahan
tingkah laku”.14 Perubahan yang dimaksud menunjuk pada suatu proses
yang harus dilalui. Tanpa proses perubahan, tidak mungkin terjadi dan
tujuan taj dapat dicapai.
Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa “Pembelajaran adalah
12
W.S. Winkel, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 1996), h. 36
13
H.D. Sudjana, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah
Production, 2001), h. 8
14
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa “Visi, Misi dan
Aksi”, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), Cet. Ke-1, h. 211
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar”.15
Menurut Wina Sanjaya pembelajaran adalah “Proses interaksi baik
antara manusia dengan manusia ataupun manusia dengan
lingkungannya”.16 Sedangkan menurut Sudirman Am, Pembelajaran
adalah “Proses pemberian bimbingan/ bantuan kepada siswa dalam
melakukan proses belajar mengajar”.17
Sedangkan pembelajaran menurut Abdul Gafur, “Suatu kegiatan
dimana seseorang dengan sengaja diubah dan dikontrol dengan maksud
agar ia dapat bertingkah laku dan bereaksi terhadap kondisi tertentu”.18
Pembelajaran dapat “Diberi arti sebagian disetiap upaya yang
sistematik dan disengaja oleh pendidikan untuk menciptakan kondisi-
kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar”.19 Dalam kegiatan
ini terjadi interaksi edukatif antara dua pihak yaitu antara peserta didik
(siswa, peserta didik, peserta latihan dan sebagainya) yang melakukan
kegiatan belajar dengan pendidik (guru, tutor, pelatih) yang melakukan
kegiatan pembelajaran.
Adreas Harefa dalam bukunya menjadi pembelajar “Pembelajaran
membuka pintu gerbang kemungkinan untuk menjadi manusia dewasa dan
mandiri”.20 Pembelajaran memungkinkan seorang anak manusia berubah
dari tidak mampu menjadi mampu atau dari tak berdaya menjadi sumber
daya tanpa pembelajaran semua itu tidak mungkin.
15
Tim Redaksi Fokus, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas 2003,
(Bandung: Fokus Media, 2006), h. 4
16
Ahmad Rohani, Media Intruksional Edukatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), cet.
Ke-1, h. 105
17 Sudirman Am. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 1994), Cet ke-5, h. 5
18
Abdul Gafur, Desain Instruksional, (Solo: Tiga Serangkai, 1989), h.22.
19
Sudjana., h. 8
20
Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar (Jakarta:PT Kompas Media Nusantara,
2000), Cet ke-1, h.36
Melihat keterangan diatas bahwa pembelajaran merupakan proses
berlangsungnya interaksi antara seorang guru dengan murid dengan tujuan
menjadikan perubahan pada diri murid.
Sedangkan menurut Gagne “Pembelajaran didefinisikan sebagai
perangkat acara peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung
terjadinya beberapa proses belajar yang sifatnya eksternal”.21
Proses pembelajaran juga disebut proses mengajar dan belajar yang
terdiri dari kegiatan mengajar. Proses belajar mengajar atau pembelajaran
membantu pelajar mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya.
Jadi tujuan utama pengajar adalah usaha agar intelektual setiap pelajar
berkembang sepenuhnya sesuai ukuran tertentu.
Sedangkan Piet A sahertian dalam bukunya supervisi pendidikan
berpendapat “Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar
yang dilakukan oleh siswa, kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa
dibawabimbingan guru. Guru merumuskan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai pada saat mengajar”.22
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah suatu proses interaksi yang dilakukan secara sengaja
antara guru dan siswa untuk mengelola lingkungan agar memungkinkan
anak untuk belajar dan memberikan respon terhadap situasi tersebut.
2. Tujuan dan metode Pembelajaran
a. Tujuan Pembelajaran
Dalam kegiatan belajar mengajar dikenal adanya tujuan
pengajaran yang sudah umum dikenal dengan tujuan instruksional
bahkan ada juga yang menyebutnya tujuan pembelajaran. Tujuan
adalah arah haluan (jurusan) yang dituju maksud tuntutan yang
dituntut.
21
Margaret Ebell Gledies, Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta. Raja Grafindo Persada
1994), Cet ke-3 h. 205
22
Piet A Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 21-22
Dalam pendidikan dan pengajaran tujuan dapat diartikan
sebagai suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan
dari siswa/subyek belajar. Setelah menyelesaikan atau memperoleh
pengalaman belajar. Winarno Surakhmad sebagaimana yang dikutip
oleh Sardiman Am, memberikan keterangan bahwa “Rumusan dan
taraf pencapaian tujuan pengajaran adalah merupakan petunjuk praktis
tentang sejauh manakah interaksi educatif itu harus dibawa untuk
mencapai tujuan akhir”.23
Berdasarkan rumusan diatas dapat diketahui bahwa tujuan
pengajaran atau pembelajaran memiliki peranan sangat penting, sebab
menentukan arah proses belajar mengajar. Tujuan ini jelas akan
memberikan petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan bahan
pelajaran, penetapan metode mengajar dan alat bantu pengajaran serta
memberi petunjuk terhadap penilaian.
Ada 3 alasan mengapa tujuan pendidikan dan pengajaran perlu
dirumuskan
1) Jika suatu pekerjaan atau tugas tidak disertai tujuan yang jelas dan
benar maka akan sulit untuk memilih atau merencanakan bahan dan
strategi yang hendak di tempuh dan dicapai
2) Rumusan tujuan yang baik dan terinci akan mempermudah
pengawasan dan penilaian hasil belajar sesuai dengan yang
dikehendaki dari subyek belajar.
3) Perumusan tujuan yang benar akan memberikan pedoman bagi
siswa dalam menyelesaikan materi dan kegiatan belajarnya.24
Berdasarkan rumusan diatas maka penulis akan menguraikan
beberapa tujuan pembelajaran :
1) Tujuan Instraksional Umum (tujuan pembelajaran umum)
Tujuan instraksional umum ialah tujuan yang akan dicapai oleh
siswa setelah menyelesaikan satu bidang pengajaran tertentu.
23
Sardiman., h.57
24 Sardiman., h. 57
Perumusan tujuan instruksional umum hendaknya mem-
pertimbangkan tiga hal yaitu:
a) Tujuan instruksional umum hendaknya dirumuskan dalam bentuk tingkah laku
b) Tujuan instruksional umum merupakan hasil belajar c) Tujuan instruksional umum hendaknya dirumus cukup
spesifik, maksudnya mengandung arti yang dapat memberi arah dan pegangan dalam menyusun kegiatan belajar yang
kongkrit.25 Ada beberapa ahli yang merumuskan pengertian tujuan
instruksional umum diantaranya:
a) Menurut Gene E Hall dan Howarld. L. Jones tujuan
instruksional umum adalah pernyataan umum mengenai
hasil suatu program pengajaran.
b) Dick dan Corey mengemukakan bahwa tujuan instruksional
umum adalah suatu pernyataan yang jelas mengenai apakah
kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah Ia
selesai mengikuti suatu pengajaran
c) Briggs mengatakan bahwa tujuan instruksional umum
adalah pernyataan umum mengenai tujuan akhir dari tujuan
pengajaran.26
2) Tujuan Instruksional Khusus (Tujuan pembelajaran khusus)
Tujuan instruksional khusus adalah tujuan yang hendak di
capai setelah para siswa menyelesaikan satu-satuan pelajaran pada
suatu bidang pengajaran tertentu. Tujuan ini nantinya harus dicapai
guru maupun siswa setelah melaksanakan interaksi belajar mengajar
pada setiap akhir pertemuan. Oleh karena itu perumusan tujuan
instruksional khusus ini harus benar-benar diperhitungkan secara
matang, operasional dan nyata.
Beberapa ketentuan dalam merumuskan tujuan instruksional
khusus yaitu:
a) Rumusan tujuan instruksional khusus harus menggunakan
istilah-istilah yang opersional sehingga dapat diukur tingkat
keberhasilannya.
25 Subari, Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Perbaikan Situasi Belajar Mengajar,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.1
26 Sahertian dan Mataheru., h. 68
b) Rumusan tujuan instruksional harus dalam bentuk hasil
belajar
c) Rumusan tujuan instruksional harus berapa tingkah laku
siswa d) Rumusan tujuan instruksional harus hanya meliputi satu
tingkah laku.27
Pembelajaran sebagai suatu sistem proses merupakan satu kesatuan komponen
yang saling berinteraksi secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan
inilah yang merupakan hasil yang diharapkan setelah pengajaran itu berakhir.
Adapun tercapai tidaknya tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh jalannya proses
pembelajaran itu sendiri, apakah proses tersebut berjalan efektif atau tidak.
Tujuan pembelajaran dapat berhasil apabila proses belajar
mengajar dialami oleh guru dan siswa dapat berjalan dengan baik.
Berhasil tidaknya siswa dalam proses belajar mengajar tidak hanya
dipengaruhi oleh keahlian guru dalam mengajar atau memilih metode
yang tepat akan tetapi dalam penggunaan alat atau media yang sesuai
dengan materi sebagai penunjang pencapaian hasil, serta kondisi siswa
juga harus diperhatikan. Disini di butuhkan guru yang benar-benar
mampu memahami keadaan siswa-siswanya terutama dalam
penggunaan metode dan media.
b. Metode Pembelajaran
Dalam mencapai tujuan instruksional guru harus mengenal dan
mengetahui jenis metode mengajar, Berbagai macam metode mengajar
dapat digunakan dalam interaksi belajar mengajar.
Secara etimologi metode adalah cara yang teratur dan sistemtis
untuk mencapai suatu maksud dalam ilmu pengetahuan.28
27
Sardiman., h. 23 – 24 28
M. Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: PT. Pustaka Amani
1990), Cet ke -5, h. 193
Metode pembelajaran adalah segala usaha yang sistematis
pragmatis yang dilakukan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran
melalui berbagai aktifitas baik di dalam maupun diluar kelas diluar
lingkungan sekolah.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam proses belajar
mengajar Dr. A.L. Backer mengemukakan sejumlah metode dalam
pengajaran sebagai berikut:
1) Metode tiruan
2) Metode percobaan
3) Metode pengalaman pembuatan
4) Metode conditioning
5) Metode ceramah atau kuliah
6) Metode buku
7) Metode deelektrik atau pembahasan
8) Metode elektronik29
Selain metode mengajar diatas penulis juga akan
mengemukakan metode mengajar menurut Drs. Soetomo dalam buku
“dasar-dasar interaksi belajar mengajar”yaitu sebagai berikut:
1) Metode Ceramah
2) Metode Tanya Jawab 3) Metode Diskusi
4) Metode pemberian tugas (resitasi) 5) Metode Demonstrasi dan eksperiment
6) Metode Pemecahan masalah (Problem Solving Metode) 7) Metode Karya Wisata
8) Metode kerja kelompok
9) Metode Sosiodrama dan bermain peran.30
Apapun penggunaan suatu metode hendaknya dapat membawa
suasana interaksi atau pembelajaran yang edukatif, menempatkan peserta
didik pada keterlibatan aktif belajar maupun menumbuhkan
mengembangkan minat belajar serta membangkitkan semangat belajar dan
menghidupkan proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
29
Sahertian dan Mataheru., h. 166
30
Soetomo. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar (Surabaya: Usaha Nasional, 1993),
Cet. Ke-1, h.138
3. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Dalam perencanaan pembelajaran, prinsip-prinsip belajar dapat
mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran, pengetahuan
tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam
memilih tindakan yang tepat. Guru dapat terhindar dari tindakan-tindakan
yang kelihatannya baik tetapi nyatanya tidak berhasil meningkatkan proses
belajar mengajar, ia memiliki dan mengembangkan sikap yang diperlukan
untuk menunjang peningkatan belajar siswa.
Terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat
kita pakai sebagai dasar dalam upaya pembelajaran, baik siswa yang perlu
meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya
meningkatkan mengajarnya.
Proses pembelajaran itu sangat komplek dengan hal-hal yang
terkait dengannya tetapi pada kenyataannya masih bias dianalisa dan
diklasifikasi dalam bentuk prinsip-prinsip atau azas-azas belajar. Hal ini
perlu kita ketahui agar kita memiliki pedoman dan tekhnik belajar yang
baik.
Dra.Roestiyah dalam bukunya masalah-masalah ilmu keguruan
menjelaskan tentang prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:
a Dalam kelas setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan
instruksional.
b Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki
struktur, penyajian yang sderhana sehingga mudah menangkap
pengertiannya.
c Belajar harus dapat menimbulkan reinforcemen dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
d Belajar itu harus kontinue maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya.
e Belajar adalah proses organisasi dan adaptasi. f Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu
sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya. g Belajar memerlukan sarana yang yang cukup sehingga anak
dapat belajar dengan tenang.
h Belajar memerlukan lingkungan yang menantang dimana anak
dapat mengembangkan kemempuannya berekplorasi dan
belajar dengan efektif.
i Belajar perlu ada interaksi anak dengan lingkungannya.31
Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa dalam
pembelajaran siswa dituntut untuk ikut berpartisipasi secara aktif, artinya
siswa tidak hanya mengandalkan guru sebagai mediator dan fasilitator
tetapi murid secara aktif mencari referensi lainnya sebagai penyempurnaan
dan pengajaran terhadap materi yang bersangkutan, dalam hal ini guru
juga harus bisa membangkitkan minat siswa dan memotivasi siswa agar
tujuan-tujuan yang ditetapkan bisa terealisir.
Adapun prinsip-prinsip pembelajaran yang harus diperhatikan
seperti yang diungkapkan oleh Abu Ahmadi dalam bukunya cara belajar
yang mandiri dan sukses yaitu sebagai berikut:
a Pembelajaran harus bertujuan dan terarah.
b Pembelajaran memerlukan pemahaman atas hal-hal yang
dipelajari sehingga diperoleh pengertian-pengertian.
c Pembelajaran memerlukan latihan dan ulangan agar apa yang dipelajari dapat dikuasai.
d Pembelajaran adalah suatu proses aktif dimana terjadi pengaruh secara dinamis antara murid dan lingkungan.
e Disertai kemauan dan keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan.
f Pembelajaran dianggap berhasil apabila telah sanggup menerapkan kedalam praktek sehari-hari.
g Pembelajaran memerlukan bimbingan baik bimbingan dari
guru buku pelajaran itu sendiri. 32
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip
pembelajaran itu memuat tujuan, implikasi prinsip belajar bagi siswa dan
guru tampak dalam setiap kegiatan perilaku mereka selama proses
pembelajaran berlangsung. Namun demikian, perlu disadari bahwa
31
Roestiyah N. K., Masalah-masalah Ilmu Keguruan (Jakarta: Bina Aksara 1989), Cet
ke-3 h. 159-160
32 Abu Ahmedi, Cara Belajar yang Mandiri dan Sukses (Solo: CV Aneka, 1993), h. 22
implementasi prinsip-prinsip belajar sebagai implikasi bagi siswa dan
guru.Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian “Sebagai
citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk
mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur
dan jenjang pendidikan”.33 Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi
bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional
Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah.
Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah
satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka
program pendidikan guru. Keempat, sebagai “program pendidikan politik
yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah
dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program”.34 Kelima,
sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan
kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan
kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status
pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah,
pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang
fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman
tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di
Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam
konseptualisasi PKn, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994
diperkenalkan mata pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Ke-