Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan Nilai-Nilai Profetik dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa 1 oleh: HINDUN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA [email protected]ABSTRAK Pembelajaran mendongeng tentulah sarat dengan pesan serta muatan hikmah yang bisa dipetik dari cerita yang dihadirkan. Mendongeng bukan sekedar menghibur atau pengantar tidur. Dalam Kurikulum, bidang studi Bahasa Indonesia lah yang tepat memasukkan dongeng sebagai sebuah pembelajaran yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai profetik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dongeng yang tersebar di nusantara menjadi harta karun yang dapat digali untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai profetik tersebut. Sebagaimana cerita rakyat yang terus hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dari mulut ke mulut hingga di lingkungan tertentu atau komunitas wilayah itu menjadi dikenal oleh anggota masyarakatnya. Terdapat dua jenis cerita rakyat yakni yang berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat yang berbentuk prosa terdiri dari dongeng, legenda, dan mite. Hasil penelitian terhadap para guru Sekolah Menengah Pertama (SLTP/MTs) di lingkungan MGMP Pangkal Pinang Bangka menunjukkan bahwa mereka menyajikan tiga judul saja dari ketersediaan waktu yang terdapat dalam kurikulum untuk pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Kenyataan itu pun berdasarkan hasil sebaran angket kepada guru-guru tersebut yang realitanya hanya enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa materi cerita rakyat sebagai pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan nilai-nilai profetik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga judul tersebut yakni Pak Udak, Bujang Katak dan Batu Rusa. Kata kunci: pembelajaran mendongeng, cerita rakyat dari Bangka, hasil penelitian para guru di MGMP Pangkal Pinang Bangka BAB I. PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai profetik adalah salah satu alternatif untuk memecahkan persoalan berdasarkan nilai-nilai kenabian yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan yang mengandung tiga elemen dominan yaitu liberalisasi, humanisasi, dan transendensi. Liberalisasi yang dimaksud yakni membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan kesadaran palsu. Humanisasi yang berarti memanusiakan manusia, sehingga melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga menghilangkan jati diri kemanusiaan. Selanjutnya transendensi hendak menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. 1 Disampaikan oleh Dra. Hindun, M.Pd. (Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarata) pada Seminar Internasional di Univ. Muhamadiyah Malang (17-18 November 2015) di Auditorium Basement Dome, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang
11
Embed
Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42663/2/makalah...Saat menceritakan atau menulis dongeng biasanya . karakter.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan Nilai-Nilai
Profetik dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa1
oleh: HINDUN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Mimik muka, gerakan-gerakan tangan dan kaki serta suara mencerminkan penghayatan
yang sungguh-sungguh terhadap isi dan alur yang disampaikan;
2. Menggunakan bahasa yang jelas, komunikatif dan mudah dimengerti anak-anak;
3. Mengatur posisi penyimak dan posisi pencerita. Jika penyimaknya anak-anak,
tempatkan anak-anak yang tidak dapat diam dekat pencerita;
4. Menghindari teguran-teguran pada anak-anak selama penceritaan, dan;
5. Mengusahakan adanya kontak mata antara pencerita dan anak-anak.
Model bercerita dengan alat peraga langsung maksudnya yakni bahwa alat peraga
langsung dalam pengertian ini adalah beberapa jenis binatang atau benda-benda sebenarnya,
bukan tiruan atau bukan gambar/foto. Hewan yang biasa digunakan dalam kegiatan ini adalah
hewan peliharaan, misalnya kucing, kelinci, burung dan sebagainya. Dapat juga hewan-hewan
kecil yang tidak berbahaya, seperti kupu-kupu, katak atau serangga.
Model bercerita dengan gambar yakni gambar digunakan sebagai alat bantu dalam
bercerita. Dengan menggunakan jenis gambar berseri (tanpa tulisan), buku bergambar atau
gambar yang dibuat sendiri oleh pencerita, maka keberadaan model bercerita seperti ini sangat
signifikan bagi pelaksanaan pembelajaran sastra anak. Hal terpenting dalam gambar tersebut
adalah isi dan gambar itu bagi anak-anak. Gambar yang dipilih hendaknya sesuai dengan tahap
perkembangan anak-anak, isinya menarik, mudah dimengerti dan membawa pesan, baik dalam
hal pembentukan perilaku positif maupun pengembangan kemampuan dasar. Terdapat “empat
hal yang perlu diperhatikan dalam bercerita dengan gambar.”4 Keempat hal yang dimaksud
yaitu:
1. Kejelasan gambar (tidak terlalu kecil dan mudah dipahami);
2. Pewarnaan yang menarik;
3. Cara memperlihatkan gambar (tidak terlalu tinggi dan harus terlihat oleh semua anak);
4. Teknik penggunaan gambar saat penceritaan (gambar ditutup setiap kali pencerita
mulai bercerita kembali, ini harus dilakukan selancar mungkin agar siswa tidak merasa bahwa
ceritanya diputus-putus).
Model bercerita dengan menggunakan papan flanel maksudnya adalah alat yang
digunakan berupa papan flanel dan guntingan-guntingan gambar berwarna yang menarik.
Guntingan tersebut melukiskan (orang, benda, atau binatang) yang akan muncul dalam cerita.
Sambil bercerita, pencerita meletakkan gambar-gambar tersebut pada papan flanel dalam
susunan yang menjelaskan isi cerita berupa adegan-adegan. Gambar yang tidak diperlukan lagi
dapat dilepas dan diganti gambar lain yang sesuai dengan jalan cerita.
Model bercerita dengan membacakan cerita (story reading) dari sebuah buku cerita
yang kini banyak diterbitkan dalam aneka warna (full colour). Model seperti ini dimaksudkan
agar minat anak-anak terhadap buku dibangkitkan, dipupuk dan dikembangkan. Dalam buku-
buku bacaan anak tersebut kadangkala terdapat kata-kata sukar atau tulisan yang sulit dipahami
anak, tugas penceritalah saat menyampaikan kepada anak-anak dengan intonasi dan gaya
bercerita yang dapat dipahami anak-anak dituntut dalam hal ini. Pencerita tidak perlu mengeja,
sebab dengan model bercerita ini pencerita dapat membantu kematangan belajar membaca
siswa. Buku yang akan digunakan dalam story reading harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Kertasnya cukup tebal;
2. Ukuran buku cukup besar (minimal 20X25 cm);
3. Gambar-gambar berwarna menarik dan cukup besar;
4. Ceritanya tidak terlalu panjang dan bahasanya sederhana.
Proses bercerita yang melibatkan peran aktif pencerita dan pendengar cerita melibatkan
dua proses bersastra yaitu kegiatan berekspresi sastra bagi pencerita dan kegiatan berapresiasi
4 Subyantoro, Model Bercerita untuk Meningkatkan Kepekaan Emosi dalam Berapresiasi Sastra bagi Siswa SD, (disertasi mahasiswa program Pascasarjana UNJ Rawamangun)
sastra bagi pendengar cerita. Seorang pencerita hendaknya mampu meningkatkan keterampilan
berapresiasi sastra pendengarnya sampai pada tingkatan yang maksimal.
BAB III. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (content
analysis) terhadap dongeng yang digunakan oleh para guru se-MGMP Pangkalpinang dalam
pembelajaran di kelas mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan and Taylor yang
dikutip oleh Mungin menegaskan bahwa “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari
subjek itu sendiri.”5
Sumber data primer penelitian ini adalah isi dongeng yang digunakan oleh para guru
se-MGMP Pangkalpinang Bangka. Dongeng yang dimaksud berjudul “Bujang Katak”, “Pak
Udak”, dan “Batu Rusa”. Adapun data sekundernya adalah berupa pendeskripsian tentang
nilai-nilai profetik yang terkandung dalam ketiga judul dongeng tersebut yang diambil dari
hasil sebaran angket terhadap para guru itu.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
“Mendengarkan cerita lebih mudah dan lebih mengasyikan bagi siswa tingkat dasar
daripada membacanya sendiri. Apalagi jika guru menyampaikannya dengan baik.”6 Dalam
penelitian ini, para guru lefel sekolah lanjutan tingkat pertama, baik SMP maupun Tsanawiyah
masih menggantungkan pada buku pegangan siswa. Dengan kata lain dari banyak pilihan
dongeng yang tersebar di wilayah Bangka maka dongeng yang tersaji dalam buku pelajaran
peserta didiklah yang dikupas dalam pembelajaran di kelas. Dongeng tersebut berjudul
“Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”. Berikut ini peneliti hadirkan salah satu dari ketiga dongeng dari wilayah Bangka yang
digunakan oleh para guru se-MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia di
Pangkal Pinang Bangka dengan judul “Bujang Katak”.
Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang menyerupai katak. Kulitnya licin
dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal
wanita tua yang miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak
padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak,
ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang
Katak. 5 B. Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer,
(Jakarta: RajaGrafindo,2001) 6 Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar, (Depok: Nufa
tergopoh-gopoh menghampiringa. "Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini," seru
Ibu sambil memeluk Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi, keajaiban terjadi.
Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak
kegirangan, "Terima kasih Tuhan, terima kasih... Kau sudah memberikan jalan keluar
untukku."
Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. "Bu, sekarang aku sudah bisa membangun
jembatan emas. Doakan aku, agar bisa menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai
bekerja, siang dan malam tiada henti.
Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja. Saat itu, Raja dan
para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua heran melihat sosok pemuda yang datang
menghadap Raja.
"Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?" tanya Sang Raja
kebingungan.
"Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi
pemuda yang tampan," jawab ibu Bujang Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu
pun tersenyum bahagia.
"Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau tetap harus
memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?" tanya Sang Raja.
"Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya," jawab Bujang Katak.
Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan memantul dari setiap
bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan usaha Bujang Katak untuk menikahi putri
bungsunga. "Rupanya pilihan Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi
mencapai cita-citanya," pikir Raja. "Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan
membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu," ajak Raja. Bujang Katak pun
mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri
Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Bangka Belitung yang berjudul “Bujang Katak” adalah
jangan menilai orang dari penampilan fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa akan
menjadikan seseorang sukses. Dengan kata lain mengandung nilai humanisasi yang berarti
memanusiakan manusia, sehingga melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau
menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga
menghilangkan jati diri kemanusiaan.
Dalam cerita tersebut sangat jelas bahwa dari ketujuh putri sang raja, terdapat satu putri
yakni yang paling terakhir atau putri bungsu yang bersedia menikah dengan bujang katak.
Sampai sang raja pun berseloroh: "Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan
Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik.
Kepanikan sang raja ditepis oleh sikap tegas sang bungsu yang tidak ragu-ragu memilih dan
memberi jawaban kepada ibu si bujang katak: Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata,
"Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku." Persoalan lamar melamar
yang dihadapi sang ayah mampu dipecahkan oleh putri bungsunya dengan menerapkan nilai
humanisme yang berarti juga secara keyakinan tidak sedikitpun menjadikan kemiskinan
sebagai suatu hambatan, justru sikap berusaha keras, berjuang yang tampak pada diri si bujang
katak lah yang menjadi titik penentu kemantapan hatinya memilih. Adapun tampilan fisik atau
performance yang bisa dilihat sesaat bukanlah menjadi ukuran bagi si bungsu dalam
menentukan pilihannya. Sebuah keyakinan yang merupakan cermin dari transendensi moral
guna mengaktualisasikan nilai-nilai profetik dalam kehidupan.
Setiap manusia yang sadar tentunya senantiasa belajar banyak hal dalam kehidupan ini.
Demikian pula peserta didik, “semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui
masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima
masukan-masukan (tahap formatif). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan
mencari jati dirinya dan akan semakin menajam ketika ia remaja sehingga masa itu disebut
masa pancaroba.”7 Peserta didik di lefel SLTP tergolong dalam masa menjelang remaja atau
sebagian ada yang sudah menjadi remaja. Mereka tidak lagi hanya mendengarkan kata orang
tua, mungkin sering membantah karena banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa-apa
7 Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: Refika Aditama, cet. ke-2,
2010), h.16
yang ia dapatkan dari orang tuanya, sehingga perbenturan nilai pun terjadi. Oleh karena itu,
“masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan
kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus.”8 Peran guru lah sebagai pendidik
yang mampu menghadirkan dongeng dalam pembelajaran di kelas guna menanamkan nilai-
nilai profetik tersebut sehingga peserta didik tidak kehilangan jati dirinya.
BAB V. SIMPULAN
1. Para guru melaksanakan pembelajaran mendongeng di kelas dengan menggunakan bahasa
Indonesia, meskipun dongeng tersebut berasal dari wilayah Bangka yang menggunakan
aksentuasi berbeda-beda.
2. Hasil sebaran angket kepada guru-guru se-MGMP Pangkalpinang, realitanya hanya
enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa materi cerita rakyat sebagai
pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan nilai-nilai profetik dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Dongeng yang digunakan dalam pembelajaran di kelas oleh para guru MTs /SMP se-MGMP Pangkalpinang yakni berjudul “Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”.
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: Refika
Aditama, cet. ke-2, 2010
Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar,
Depok: Nufa Citra Mandiri, Januari 2013
Hindun, Pembelajaran Apresiasi Bahasa & Kreasi Sastra Indonesia, Jakarta: Mazhab Ciputat,
Juli 2014
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008
Mungin, B. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian
Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo, 2001
Philips, Diane, Sarah Burwood dan Helen Dunford, Project with Young Learners, New York:
Oxford Univ. Press, 1999
LAMPIRAN
Berikut ini peneliti lampirkan sebagian dari identitas responden dengan hasil