Pembelajaran fisika melalui model stad (student teams achievement divisions) dan jigsaw ditinjau dari kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan untuk Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sains Minat Utama : Fisika Oleh Harsoyo S.830908121 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
148
Embed
Pembelajaran fisika melalui model stad (student teams ...... · Pembelajaran fisika melalui model stad (student teams achievement divisions) dan jigsaw ditinjau dari kemampuan menggunakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pembelajaran fisika melalui model stad (student teams achievement
divisions) dan jigsaw ditinjau dari kemampuan menggunakan alat
ukur
listrik dan aktivitas belajar
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sains
Minat Utama : Fisika
Oleh
Harsoyo
S.830908121
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI MODEL STAD (STUDENT
TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU
DARI KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR
LISTRIK DAN AKTIVITAS BELAJAR
(Studi Kasus Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Pada Materi
Listrik Dinamik Tahun Pelajaran 2008/2009)
Disusun oleh :
Harsoyo
NIM S.830908121
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dosen Pembimbing Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd ........................ .................. 2010 NIP 19520116 198003 1 001
Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. NIP 19520116 198003 1 001
iii
PENGESAHAN
PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI MODEL STAD (STUDENT
TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU
DARI KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR
LISTRIK DAN AKTIVITAS BELAJAR
(Studi Kasus Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Pada Materi
Listrik Dinamik Tahun Pelajaran 2008/2009)
Disusun oleh :
Harsoyo
NIM S.830908121
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. H. Ashadi ........................ ................... Sekretaris Dra. Suparmi, M.A., Ph.D. ........................ ..................
Anggota Penguji 1. Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. ....................... ................... 2. Drs. Haryono, M.Pd. ....................... ...................
Mengetahui
Direktur Ketua Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Sains
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. NIP 19570820198503 1 004 NIP 19520116 198003 1 001
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Harsoyo
NIM : S830908121
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya berjudul ’’PEMBELAJARAN
FISIKA MELALUI MODEL STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT
DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU DARI KEMAMPUAN
MENGGUNAKAN ALAT UKUR LISTRIK DAN AKTIVITAS BELAJAR’’
( Studi Kasus Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Pada Materi Listrik Dinamik
Tahun Pelajaran 2008/2009 ), adalah benar-benar karya sendiri. Hal hal yang bukan
karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sangsi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh
tersebut.
Surakarta, Januari 2010
Yang membuat pernyataan
Harsoyo
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis
dengan judul ’’Pembelajaran Fisika Melalui Model STAD (Student Teams Achievement
Divisions) Dan Jigsaw Ditinjau Dari Kemampuan Menggunakan Alat Ukur Listrik Dan
Aktivitas Belajar”, ini disusun dalam rangka mendapatkan legalitas formal dalam
melakukan penelitian yang sesungguhnya untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Magister pada Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana
UNS Surakarta.
Tersusunnya penelitian ini berkat bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak
yang terkait langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan bantuan berupa segala sarana dan
fasilitas dalam menempuh pendidikan program pascasarjana.
2. Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sains
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan, ide dan pemikiran yang berharga dalam
penyusunan penelitian ini.
3. Drs. Haryono, M.Pd., selaku Pembimbing II dan pengampu mata kuliah seminar
penelitian yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengarahan yang
sangat berharga selama penyusunan dan penyelesaian penelitian ini.
vi
4. Dr. H. Sarwanto, M.Si., selaku pengampu mata kuliah seminar penelitian yang
telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengarahan yang berharga untuk
penyempurnaan penelitian ini.
5. Bapak/Ibu dosen Program Pendidikan Sains Pascasarjana UNS Surakarta yang telah
memberikan sumbangan pendalaman dan wawasan keilmuan kepada penulis.
6. Drs. H. M. Toyibun, S.H., M.M., selaku Kepala SMA Negeri 1 Surakarta yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi dan untuk
mengadakan penelitian di sekolah ini.
7. Drs. H. Ngadiyo, M.Pd., selaku Kepala SMA Negeri 3 Surakarta yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan tryout.
8. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Sains Program Pascasarjana angkatan paralel
dua September 2008, yang telah memberikan motivasi dan masukan kepada penulis
dalam menyusun penelitian ini.
9. Rekan-rekan guru dan karyawan SMA Negeri 1 Surakarta yang telah memberikan
motivasi dan bantuan pelayanan kepada penulis utamanya pada saat pelaksanaan
dan penyusunan penelitian tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bila dalam penyusunan penelitian tesis ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritikan, saran dan masukan dari semua
pihak sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan penelitian ini. Semoga tesis ini
dapat memberikan manfaat dan berguna bagi penulis dan para pembaca.
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh penggunaan model pembelajaran STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar, (2) pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi belajar, (3) pengaruh aktivitas belajar terhadap prestasi belajar, (4) interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi belajar, (5) interaksi antara model pembelajaran dengan aktivitas belajar terhadap prestasi belajar, (6) interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik dengan aktivitas belajar terhadap prestasi belajar, (7) interaksi antara model pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap prestasi belajar. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Populasi adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta tahun pelajaran 2008/2009, sejumlah 10 kelas. Sampel penelitian ditentukan secara acak dengan teknik cluster random sampling terdiri dari empat kelas. Dua kelas eksperimen 1 dengan model Jigsaw dan dua kelas eksperimen 2 menggunakan model STAD. Teknik pengumpulan data untuk prestasi kognitif dengan metode tes, prestasi afektif dan prestasi psikomotor menggunakan metode observasi. Uji hipotesis penelitian menggunakan anava tiga jalan sel tak sama dengan bantuan software minitab 15. Uji lanjut dengan ANOVA dan analisis Kruskal-Wallis. Berdasarkan hasil pengolahan data disimpulkan: (1) tidak ada pengaruh model pembelajaran STAD dan Jigsaw terhadap prestasi kognitif (pvalue= 0,451), namun ada pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi afektif (pvalue = 0,000), dan juga ada pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi psikomotor (pvalue= 0,004), (2) ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi kognitif (pvalue= 0,002), namun terhadap prestasi afektif tidak ada pengaruh (pvalue= 0,093), dan juga terhadap prestasi psikomotor tidak ada pengaruh (pvalue = 0,264), (3) tidak ada pengaruh aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif (pvalue = 0,204), juga terhadap prestasi afektif tidak ada pengaruh aktivitas belajar (pvalue= 0,214) demikian juga terhadap prestasi psikomotor tidak ada pengaruh aktivitas belajar (pvalue= 0,111), (4) ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi kognitif (pvalue = 0,000), (5) tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif (pvalue = 0,984), (6) tidak ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik dengan aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif (pvalue = 0,054), (7) tidak ada interaksi model pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif (pvalue = 0,127). Kata kunci: STAD, Jigsaw, Kognitif, Psikomotor, Afektif.
ABSTRACT
ix
This research aims at finding out: (1) the effect of the use of STAD and Jigsaw learning models on the learning achievement, (2) the effect of the ability in using the electricity measuring device on the learning achievement, (3) the effect of the learning activity on the learning achievement, (4) the interaction between the learning models and the ability in using the electricity measuring device on the learning achievement, (5) the interaction between the use of the learning models and the learning activity on the learning achievement, (6) the interaction of the ability in using the electricity measuring device and the learning activity on the learning achievement, and (7) the interaction of the use of the learning models, the ability in using the electricity measuring device, and the learning activity on the learning achievement. This research is an experimental one. Its population was all of the students in Grade X consisting of 10 classes of State Senior Secondary School 1 of Surakarta in the academic year of 2008/2009. The samples of the research consisting of 4 classes of students in Grade X were taken randomly by using a cluster random sampling technique. They were then divided into two experimental groups; each group consisted of 2 classes. The first group used the STAD learning model whereas the second one used the Jigsaw learning model. The data of the cognitive achievement were gathered through the test of learning achievement, and those of the affective and psychomotor achievement were gathered through observation. The hypotheses of the research were tested by using a three-way analysis of variance (ANOVA) with unequal cells aided by the computer software minitab 15. They were then tested by using the Kruskal-Wallis’s formulae. Based on the results of the analysis, conclusions are drawn as follows. 1) There is not any effect of the use of STAD and Jigsaw learning models on the cognitive learning achievement (pvalue = 0.451). However, there is an effect of the use of STAD and Jigsaw learning models on the affective learning achievement (pvalue = 0.000) and the psychomotor learning achievement (pvalue =0.004). 2) There is an effect of the ability in using the electricity measuring device on the cognitive learning achievement (pvalue =0.002). However, there is not any effect of the ability in using the electricity measuring device on the affective learning achievement (pvalue = 0.093) and the psychomotor learning achievement (pvalue =0.264). 3) There is not ay effect of the learning activity on the learning cognitive learning achievement (pvalue =0.204), the affective learning achievement (pvalue = 0.214) and the psychomotor learning achievement (pvalue =0.111). 4) There is an interaction of effect between the use of the learning models and the ability in using the electricity measuring device on the cognitive learning achievement (pvalue = 0.000). 5) There is not any interaction of effect between the use of the learning models and the learning activity on the learning achievement (pvalue = 0.984). 6) There is not any interaction of effect of the ability in using the electricity measuring device and the learning activity on the learning achievement (pvalue = 0.054). 7) There is not any interaction of effect of the use of the learning models, the ability in using the electricity measuring device, and the learning activity on the learning achievement (pvalue = 0.127). Key words: STAD, Jigsaw, cognitive, psychomotor, affective
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………… iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………… v
xi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………. vii
ABSTRAK………………………………………………………………….. viii
ABSTRACT………………………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………... x
DAFTAR TABEL…………………………………………………………... xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xx
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah………………………………………………… 6
C. Pembatasan Masalah………………………………………………... 7
D. Perumusan Masalah………………………………………………… 7
E. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 8
F. Manfaat Penelitian………………………………………………….. 9
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA, BERPIKIR DAN HIPOTESIS 11
A. Kajian Teori…………………………………………………………
1. Belajar dan Teori-Teori Belajar…………………………….
2. Pembelajaran Kooperatif……………………………………
3. Peran Guru Pada Pembelajaran Kooperatif…………………
4. Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Di Kelas……………
5. Model Pembelajaran Kooperatif Model STAD……………..
6. Model Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw……………..
7. Ketrampilan Kooperatif……………………………………..
11
11
16
18
19
21
22
24
xii
8. Kemampuan Menggunakan Alat Ukur Listrik……………
9. Aktivitas Belajar…………………………………………….
10. Prestasi Belajar………………………………………………
11. Materi Pembelajaran Fisika…………………………………
25
29
29
30
B. Penelitian Yang Relevan……………………………………………. 44
C. Kerangka Berpikir…………………………………………………... 46
D. Hipotesis……………………………………………………………. 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 51
A. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….
1. Tempat Penelitian………………………………………….
2. Waktu Penelitian…………………………………………..
51
51
51
B. Populasi dan Sampel……………………………………………….
1. Populasi ……………………………………………………
2. Sampel ……………………………..………………………
52
52
52
C. Metode Penelitian………………………………………………… 53
D. Variabel Penelitian………………………………………………… 55
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………… 57
F. Instrumen Penelitian………………………………………………. 60
G. Uji Coba Instrumen Penelitian……………………………………. 62
H. Teknik Analisa Data……………………………………………….
1. Uji Prasyarat Analisis Data………………………………..
2. Uji Hipotesis……………………………………………….
67
67
69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………… 79
xiii
A. Deskripsi Data……………………………………………………..
1. Prestasi Belajar Fisika……………………………………...
2. Data Kemampuan Alat Ukur Listrik Siswa…………………
3. Data Aktivitas Belajar Siswa………………………………
79
79
85
86
B. Pengujian Persyaratan Analisis……………………………………
1. Uji Normalitas…………..…………………………………
2. Uji Homogenitas…………………………………………..
89
89
93
C. Pengujian Hipotesis…………………………………………………
1. Analisis Variansi Prestasi Kognitif………………………….
2. Uji Lanjut Analisis Variansi Tiga Jalan……………………..
3. Analisis Kruskal-Wallis…………………………………….
D. Pembahasan Hasil Analisis Data……………………………………
1. Pembahasan Hasil Analisa Data Prestasi Kognitif…………
2. Pembahasan Hasil Analisa Data Prestasi Afektif…………..
3. Pembahasan Hasil Analisa Data Prestasi Psikomotor………
95
95
97
99
101
102
114
115
E. Keterbatasan Penelitian……………………………………………... 117
dalam kelompok sehingga mereka dapat berdiskusi. Interaksi ini akan memberikan
kesempatan pada para anggota kelompok untuk bersmergi yang menguntungkan bagi
semua anggota. Interaksi semacam ini sangat penting, karena siswa lebih mudah belajar
dari sesamanya; (4) Komunikasi antar anggota; pada pembelajaran kooperatif, anggota
kelompok melakukan diskusi untuk mempelajari suatu materi pelajaran. Dalam hal ini
akan muncul ketrampilan berkomunikasi, berani mempertahankan pikiran logis, tidak
egois, mandiri, menjalin hubungan pribadi (interpersonal relationship), dan sengaja
diajarkan. Sedang siswa yang pasif akan dibimbing oleh guru; (5) Evaluasi proses
kelompok; proses terakhir pada pembelajaran kooperatif adalah evaluasi proses
kelompok. Evaluasi proses kelompok dilakukan melalui umpan balik dari masing-
masing siswa, umpan balik dari sesama teman, dan umpan balik dari kelompok. Hal ini
dimaksudkan waktu selanjutnya dapat bekerjasama lebih baik dan efektif.
c. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Ada tiga tujuan dalam pembelajaran kooperatif yang akan dicapai, yaitu: 1)
Penerimaan akan keanekaragaman, 2) Ketrampilan sosial, dan 3) Prestasi akademik.
Tiga tujuan dapat dijelaskan: (1) Penerimaan Akan Keanekaragaman; pembelajaran
kooperatif akan berdampak sangat luas, antara lain menerima akan perbedaan ras,
suku, agama, budaya, kelas sosial dan tingkat kemampuan. Mereka bekerja bersama-
sama dalam kelompok kooperatif dan saling bergantung pada tugas akademik serta
xxxviii
belajar saling menghargai; (2) Ketrampilan Sosial; dengan cara guru mengembangkan
siswa bekerjasama dan kolaborasi maka ketergantungan positip akan tercapai. Bekal
ketrampilan ini amat penting apabila siswa nantinya berada di tengah masyarakat yang
heterogen. Kurangnya kemampuan ketrampilan sosial akan sulit melakukan kerjasama,
karena jika terjadi ketidakpuasan yang kecil saja akan melakukan tindakan yang keras.
(3) Prestasi Akademik; pembelajaran kooperatif tidak hanya bermanfaat bagi yang
mempunyai prestasi belajar tinggi saja tetapi juga bermanfaat bagi siswa yang
berprestasi belajar rendah. Mereka bersama-sama menyelesaikan tugas akademik.
Siswa yang berprestasi belajar tinggi berperan sebagai tutor terhadap siswa yang
berprestasi belajar rendah. Bagi siswa yang berprestasi belajar rendah pengetahuannya
meningkat, dan siswa yang mempunyai prestasi belajar tinggi memperoleh
pengetahuan yang lebih. Prestasi akademik yang diperoleh meliputi ranah kognitif,
ranah psikomotor, dan ranah afektif.
3. Peran Guru Pada Pembelajaran Kooperatif
Peran guru pada pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan pembelajaran
tradisional. Karena pada pembelajaran tradisional guru sebagai satu-satunya sumber
belajar yang memberikan informasi pada siswa, dan menganggap bahwa siswa yang
baik akan menyerap informasi yang disampaikan tanpa siswa bertanya lagi. Sebaliknya
pada pembelajaran kooperatif guru berperan sebagai fasilitator belajar bagi siswa. Guru
hanya sekedar memberikan informasi untuk merangsang pemikiran siswa. Siswa
didorong untuk mengemukakan pendapat, ide dan mengembangkannya. Siswa belajar
dengan mempelajari konsep-konsep, melakukan percobaan, sehingga belajar
merupakan sustu proses yang terus-menerus, dan belajar tidak hanya seperangkat
ketrampilan untuk dikuasai. Guru sebagai fasilitator harus merencanakan pembelajaran
xxxix
yang memberikan siswa untuk berdiskusi, bereksperimen, mengeksplorasi ide-ide
dengan konsep-konsep ilmiah. Pada saat siswa bekerja dengan aktifitas kooperatif guru
memonitor untuk mengetahui kemajuan yang diperoleh siswa.
4. Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif di Kelas
Kebanyakan para guru berpendapat bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif
pada KBM akan menimbulkan kegaduhan atau keramaian sehingga proses belajar
mengajar tidak efektif. Guru akan mudah mengendalikan suasana kelas ketika salah
satu siswa diijinkan mengajukan suatu pertanyaan. Cara-cara yang dapat dilakukan
guru dalam mengelola kelas kooperatif, antara lain sebagai berikut: 1) Merencanakan
aktivitas-aktivitas pembelajaran yang teliti, seperti mendesain LKSdengan perintah
yang jelas; 2) Memberikan penghargaan/apresiasi pada kelompok yang bekerja dengan
baik dengan reward, Good Team,Great Team dan Super Team; 3) Menerapkan tanda
tenang seperti guru mengangkat tangan ke atas. Ketika siswa melihat, siswa mengikuti
dengan mengangkat tangannya ke atas.
Agar pembelajaran kooperatif yang dilaksanakan di kelas dapat berjalan efektif,
beberapa tahap yang harus dilakukan guru: 1) Menyusun materi pelajaran, lembar
kegiatan siswa, dan lembar jawaban disusun sedemikian rupa sebelurn proses kegiatan
belajar mengajar dilaksanakan; 2) Menetapkan siswa dalam kelompok. Penetapan
anggota kelompok dilakukan sebelum kegiatan belajar mengajar dilaksanakan.
Kelompok beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa dengan komposisi heterogen.
Heterogen meliputi jenis kelamin, status sosial, etnik, agarna, tingkat kemampuan
akademik. Sebelum KBM dilaksanakan dilakukan latihan ketrampilan kooperatif. Ini
dimaksudkan agar para siswa saling mengenali anggota kelompoknya, serta
menjelaskan aturan-aturan dasar dalam kelas kooperatif. Aturan dasar tersebut
xl
meliputi: 1) Siswa tetap berada dalam kelompok; 2) Sebelum bertanya kepada guru,
bertanya kepada anggota kelompok; 3) Berikan umpan balik untuk siswa yang
mengemukakan ide-idenya; 4) Dalam satu kelompok harus berbicara sopan; 5)
Sebelum seluruh anggota kelompoknya telah menguasai materi, siswa tidak boleh
selesai belajar; 6) Hindarilah kritik terhadap teman di dalam kelompok dan di luar
kelompoknya; dan 7) Presentasi, presentasi meliputi; (l) Pendahuluan, guru
menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa dengan membuat bahan
pelajaran yang menarik perhatian siswa; (2) Penyajian materi, hal-hal yang menjadi
penekanan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, antara lain mengembangkan
materi pelajaran, mengkaitkan materi pelajaran dengan pengetahuan awal yang sudah
dimiliki siswa, menekankan bahwa siswa belajar bukan menghafal tetapi mernahami
makna, mengontrol pemahaman siswa ketika siswa mengajukan pertanyaan, dan
memberikan jawaban atau penjelasan terhadap pertanyaan siswa tersebut, pergantian
konsep apabila siswa siswa telah memahami konsep materi sebelumnya; (3)
Pembentukan kelompok, guru mengorganisir siswa dalam kelompok-kelompok belajar
yang keanggotannya telah ditentukan sebelumnya; (4) Bekerja dan belajar kelompok,
guru membantu kelompok ketika siswa mengerjakan tugas pada lembar kegiatan siswa;
dan (5) Evaluasi, masing-masing kelompok menyajikan hasil pekerjaannya atau
sebagian basil pekerjaannya dan guru memberi evaluasi dari materi tersebut. Dari hasil
kerja kelompok dan evaluasi yang dilakukan siswa akan diketahui prestasi siswa atau
kelompok. Ini dipakai guru sebagai acuan dalam pembentukan kelompok berikutnya.
5. Model Pembelajaran Kooperatif Model STAD
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang pernah dikembangkan adalah
STAD (Student Teams Achievement Divisions), model pembelajaran yang
xli
dikembangkan oleh Robert E Slavin di Universitas John Hopkins, AS. Lima fase dasar
STAD sebagai berikut: 1) Presentasi Kelas, pada fase ini, guru memberikan arahan
dengan konsep-konsep, ketrampilan, dengan buku siswa, buku guru, bahan melalui
audio visual dan sdebagainya. Guru harus mampu mendesain materi pembelajaran
untuk model pembelajaran kooperatif STAD; 2) Kelompok Belajar, siswa dalam satu
kelas dibagi dalam 4-5 orang anggota secara heterogen. Dalam pembentukan kelompok
ini guru harus memperhatikan suku, agama, status sosial, gender serta kemampuan
akademik siswa di dalam satu anggota kelompok. Manfaat utama kelompok adalah
agar siswa belajar tetap pada kelompoknya dan untuk mempersiapkan jika tes individu.
Setelah guru mempresentasikan materi, masing-masing kelompok bertemu untuk
mengoreksi, membandingkan jawaban apabila ditemukan salah persepsi dengan materi
lain; 3) Evaluasi Belajar, setelah satu standar kompetensi dipresentasikan guru, maka
dilakukan evaluasi perseorangan dengan tujuan untuk mengukur pengetahuan yang
diterima pada saat KBM; 4) Skor/Nilai Peningkatan Perseorangan, pemberian evaluasi
pada individu untuk membandingkan skor/nilai yang diperoleh pada tes dengan skor
dasar/awal yang dimiliki siswa sebelumnya; 5) Rekognisi Tim (Kelompok Belajar),
bentuk penghargaan jika tim memperoleh skor rata-rata mencapai tertentu.
6. Model Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw
Jigsaw sebagai model pembelajaran kooperatif dikembangkan pertama kali oleh
Aronson & Patnoe tahun l997. Dalam model pembelajaran kooperatif Jigsaw, ” setiap
siswa menjadi anggota kelompok asal (home group) dan juga sebagai kelompok ahli
(expert group). Siswa dalam kelompok ahli bertanggung jawab terhadap penguasaan
materi yang menjadi bagian yang dipelajari dan berkewajiban mengajarkan kepada
xlii
siswa lain dalam kelompoknya’’ (Arend, l997) dalam Helly Prajitno Soetjipto dan Sri
Mulyantini Soetjipto (2008: 13).
Seperti pada pembelajaran kooperatif STAD, pada model pembelajaran
kooperatif Jigsaw siswa dal;am satu kelas dibagi dalam kelompok-kelompok heterogen
dengan anggota 4-5 orang siswa. Pada model pembelajaran kooperatif Jigsaw setiap
siswa dalam satu kelompok asal (home group) akan menerima LKS yang berbeda.
Setiap siswa bertanggung jawab terhadap penguasaan LKS yang menjadi tugasnya.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model Jigsaw sebagai berikut:
1) Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 4-5
orang siswa, dan disebut kelompok asal (home group); 2) Menunjuk satu siswa sebagai
ketua kelompok; 3) Setiap siswa pada kelompok asal memperoleh LKS yang berbeda;
4) Memberi waktu membaca LKS; 5) Siswa yang memperoleh LKS yang sama
berkumpul membentuk kelompok ahli untuk mendiskusikan LKS dan kemudian
menjadi ahli pada tugasnya. Tunjuklah seorang pemimpin diskusi, pencatat,
pembaca materi dan pengkoreksi; 6) Masing-masing siswa dari kelompok ahli
kembali ke kelompok asal, untuk menjelaskan LKS yang menjadi tugasnya ke anggota
kelompoknya secara bergantian dan berbagi informasi. Tekankan pada masing-masing
siswa bahwa setiap siswa mempunyai tanggung jawab kelompok asal dan menjadi
tutor yang baik sebagaimana halnya dia menjadi pendengar yang baik. Para siswa harus
dapat meyakinkan bahwa mereka telah memahami seluruh pokok bahasan dan siap
untuk mengikuti tes perorangan; 7) Pada akhir pelajaran, para siswa diberikan tes
perseorangan yang mencakup semua sub pokok bahasan yang telah dipelajari.
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif Jigsaw pada awalnya terjadi
proses yang kurang lancar. Hal ini dapat terjadi karena beberapa masalah yang muncul
xliii
selama KBM, antara lain: 1) Siswa yang pandai mendominasi pembicaraan, sebaliknya
siswa yang kurang pandai akan kesulitan memberikan presentasi; 2) Siswa yang pandai
akan merasa bosan dengan anggota kelompok yang lamban. Untuk mengatasi masalah
tersebut, metoda pembelajaran kooperatif memberikan jalan keluar, diantaranya: (1)
Anggota kelompok hendaknya terdiri dari siswa yang kemampuan akademiknya
beragam, dari akademik tinggi sampai rendah; (2) Tidak menganut keanggotaan
permanen, artinya siswa dapat berganti kelompok dalam kurun waktu tertentu.
7. Ketrampilan Kooperatif
Untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif, siswa harus dilatih terlebih
dahulu ketrampilan kooperatifnya. Hal ini diperlukan agar terjadi kelancaran kerja
kelompok, yaitu dengan mengembangkan komunikasi diantara anggota kelompok dan
tugas, dalam bentuk pembagian tugas antar kelompok.
Ketrampilan-ketrampilan kooperatif yang dilatihkan siswa sebelum pelaksanaan
proses belajar mengajar, antara lain: 1) Menggunakan kesepakatan, artinya
menyamakan pendapat yang bermanfaat untuk meningkatkan hubungan kerja antar
anggota dalam kelompok; 2) Memperhatikan apa yang menjadi pendapat dari
anggota kelompoknya dan anggota dari kelompok lain; 3) Menggunakan suara
yang cukup didengar oleh kelompoknya saja; 4) Menyebutkan nama dan
memandang pembicara, artinya jika memanggil diantara anggota atau anggota
kelompok lain menyebut nama dan kontak mata; 5) Menolong tidak harus memberikan
jawaban, artinya jika memberikan bantuan tanpa harus memberikan jawaban; 6)
Menghormati hak individu, artinya bersikap menghormati perbedaan diantara anggota
kelompok tentang budaya, suku, agama, ras dan status sosial; 7) Menunjukkan
penghargaan dan simpati, artinya menunjukkan rasa hormat, pengertian dan tenggang
xliv
rasa terhadap pendapat-pendapat yang berbeda dengan orang lain bahkan
dirinya; 8) Mengungkapkan ketidaksetujuan dengan sikap yang baik; 9) Membuat
ringkasan, untuk mengingat yang sudah dan yang belum; 10) Dapat menafsirkan, yaitu
menyatakan pendapatnya dengan kalimat yang berbeda sesuai pemahaman siswa; 11)
Mengatur dan mengorgarusir; 12) Menerima tanggung jawab; 13) Siswa mampu
memperluas konsep; 14) Memeriksa dengan cermat; 15) Menanyakan kebenaran; 16)
Menetapkan tujuan; 17) Berkompromi.
8. Kemampuan Menggunakan Alat Ukur Listrik.
Dalam kegiatan eksperimen pada standar kompetensi listrik mengalir tidak lepas
dari penggunaan alat ukur listrik. Kemampuan menggunakan alat ukur litrik antara lain
trampil mengoperasionalkan amperemeter dan voltmeter yang meliputi dapat
menunjukkan batas ukur, menyetimbangkan, memasang, menentukan skala, ketepatan
posisi pengamatan, dan dapat melaporkan hasil pengukuran. Penggunaan alat ukur
listrik memerlukan ketelitian dan ketepatan untuk menghindari kesalahan. Kemampuan
dalam mengoperasikan alat ukur listrik dalam kegiatan pratikum akan mempermudah
dan akan menekan kesalahan sekecil mungkin. Kesalahan pengukuran antara lain,
kesalahan acak, yaitu kesalahan karena ketidaktepatan, kesalahan sistematik yaitu
kesalahan alami (kesalahan alat dan perorangan), kesalahan paralaks yaitu kesalahan
dalam membaca kurang tepat dalam menepatkan mata. Alat ukur yang akan dibahas
meliputi: amperemeter, voltmeter dan ohmmeter.
a. Amperemeter
Amperemeter adalah alat untuk mengukur kuat arus listrik. Untuk mengukur
kuat arus yang mengalir dalam suatu komponen, amperemeter disisipkan ke dalam
rangkaian sehingga berhubungan seri dengan komponen tersebut. Dengan demikian
xlv
semua arus yang melewati komponen akan melewati amperemeter tersebut. Jika
amperemeter memiliki hambatan, maka hambatan total dalam rangkaian menjadi
bertambah. Dengan demikian arus yang mengalir akan mengecil, sehingga arus yang
terukur akan salah. Oleh karena itu, idealnya hambatan amperemeter sama dengan nol.
Pada prakteknya hambatan amperemeter pasti ada tapi diupayakan jauh lebh kecil
daripada hambatan rangkaian. Skema pemasangan amperemeter adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pemasangan amperemeter
Amperemeter mempunyai skala penuh atau batas ukur maksimum, sementara
kuat arus listrik yang akan diukur ada kalanya melebihi batas ukur maksimum
amperemeter. Agar amperemeter dapat digunakan untuk mengukur arus listrik yang
lebih besar, haruslah dipasang suatu hambatan paralel dengan amperemeter sehingga
kelebihan arus akan mengalir ke hambatan peralel yang dinamakan hambatan shunt.
Gambar 2.2 Sebuah amperemeter dengan hambatan dalam RA
dilengkapi dengan hambatan shunt Rsh
Untuk memasang amperemeter dalam rangkaian listrik, perhatikan bahwa arus listrik
harus mengalir masuk ke kutub positif (diberi tanda ”+” atau warna merah) dan
meninggalkan amperemeter melalui kutub negatif (diberi tanda ”-” atau warna hitam).
xlvi
Jika dihubungkan dengan polaritas yang terbalik jarum penunjuk akan menyimpang
dengan arah yang berkebalikan. Ini akan menyebabkan jarum penunjuk akan
membentur sisi tanda nol (sisi yang akan menghentikan pergerakan jarum penunjuk
jika amperemeter tidak dialiri arus), dcngan gaya yang cukup besar akan merusak
amperemeter. Kebanyakan meter digital (meter yang langsung mendisplay hasil ukuran
pada layar) memiliki polaritas otomatis. Meter ini memberikan bacaan yang benar
walaupun dihubungkan dengan polaritas yang terbalik, tetapi suatu tanda negatif
muncul di depan display angka untuk menunjukkan bahwa hubungan ke polaritas meter
terbalik.
b. Voltmeter
Voltmeter adalah alat pengukur beda potensial (tegangan) antara dua titik.
Untuk mengukur beda tagangan antara dua titik pada suatu komponen, kedua terminal
voltmeter harus dihubungkan dengan kedua buah titik yang tegangannnya akan diukur
sehingga terhubunag secara paralel dengan komponen tersebut. Skema pemasangan
voltmeter adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3 Pemasangan Voltmeter Jika hambatan dalam voltmeter besar, maka arus yang melewati akan sangat kecil
sehingga pengaruh voltmeter pada rangkaian sangat kecil. Oleh karena itu, idealnya
hambatan voltmeter besar tak terhingga. Pada praktiknya, hambatan voltmeter bukan
tak terhingga, tetapi diupayakan agar hambatannya sangat besar. Sebagaimana
amperemeter, voltmeter juga mempunyai skala penuh atau batas ukur maksimum
xlvii
voltmeter. Untuk itu batas ukur voltmeter dapat diperbesar dengan menambah
hambatan yang dipasang seri dengan voltmeter tersebut. Hambatan yang dipasang seri
dinamakan hambatan muka atau hambatan depan.
Gambar 2.4 Sebuah voltmeter dengan hambatan dalam Rv
dilengkapi dengan hambatan muka Rm. Untuk memasang voltmeter dalam suatu rangkaian, titik yang potensialnya lebih tinggi
harus dihubungkan ke kutub positif (”+” atau merah) dan titik yang potensilnya rendah
harus dihubungkan ke kutup negatif (”-” atau hitam). Jika dihubungkan dengan
poalaritas terbalik, jarum penunjuk akan menyimpang sedikit ke kiri tanda nol.
c. Ohmmeter
Ohmmeter adalah alat untuk mengukur hambatan suatu rangkaian. Hal ini dapat
dilakukan dengan menghubungkan sebuah sumber tegangan secara seri dengan sebuah
amperemeter dan hambatan yang akan diukur. Karena ggl ε diketahui dan arus diukur
oleh amperemeter, maka hambatan dapat ditentukan. Meter yang digunakan untuk
keperluan ini dapat dikalibrasi untuk menunjukkan hasilnya dalam ohm, meskipun
besaran yang sesungguhnya diukur adalah arus, alat ini disebut ohmmeter.
Gambar 2.5 Rangkaian pengganti sebuah ohmmeter
xlviii
untuk mengukur nilai hambatan Rx.
Fungsi voltmeter, amperemeter, dan ohmmeter seringkali digabungkan menjadi satu
alat yang disebut multimeter. Pada multimeter terdapat sakelar untuk memilih besaran
yang akan diukur pada batas ukurnya.
9. Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar pada siswa merupakan faktor berhasil tidaknya pembelajaran
kooperatif. Karena pada proses pembelajaran selalu berkembang aktivitas siswa dalam
berbagai pengalaman belajar. Aktivitas siswa adalah kegiatan fisik dan mental yang
diwujudkan dalam bekerjasama, menciptakan kerja dan proses berfikir yang simultan
pada kegiatan belajar mengajar. Aktivitas belajar siswa diamati guru sebelum kegiatan
belajar mengajar berlangsung. Kegiatan fisik siswa yang dapat diamati, antara lain : 1)
Mendengarkan dengan penuh perhatian; 2) Berada dalam tugas; 3) Mengambil
giliran dan berbagi tugas; 4) Mendorong partisipasi; 5) Berdiskusi dan bertanya.
10. Prestasi Belajar
Pendidikan disegala jenjang pada umumnya untuk mendapatkan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap. Pembelajaran kognitip, untuk memperoleh informasi dan
konsep-konsep serta analisis. Pembelajaran perilaku mencakup kemampuan dalam
mengerjakan tugas, memecahkan masalah dan mengemukakan pendapat. Pembelajaran
sikap mencakup tentang perasaan dan siswa terlibat dalam menilai diri sendiri dan
hubungan pribadi dengan materi pelajaran. Suatu proses belajar berhasil jika
menghasilkan prestasi belajar yang baik. Prestasi belajar siswa dapat dilihat atau
diketahui dari angka yang diperoleh siswa dengan membandingkan dengan siswa lain.
Prestasi belajar dalam penelitian ini meliputi prestasi belajar pada ranah kognitif,
prestasi belajar pada ranah psikomotor dan prestasi belajar pada ranah afektif.
xlix
11. Materi Pembelajaran Fisika
Electro Dinamica (Listrik Mengalir)
a. Arus listrik
Arus listrik adalah aliran partikel-partikel bermuatan listrik. Pada abad ke-19,
sebelum elektron ditemukan, arus listrik ditetapkan sebagai partikel-partikel bermuatan
positif yang bergerak dari kutub positif ke kutub negatif baterai. Arah arus ini disebut
arah arus listrik konvensional. Pergerakan muatan ini terjadi pada bahan yang disebut
konduktor. Arah aliran elektron-elektron berlawanan dengan arah aliran partikel-
partikel bermuatan positif (gambar 2.6).
Gambar 2.6 Arus elektron berlawanan dengan arus konvensional
Namun demikian, tidak semua arus dihasilkan oleh aliran elektron pada kawat.
Dalam suatu pemercepat yang menghasilkan sorotan proton, arah gerak proton-proton
bermuatan positip sama dengan arus listrik. Dalam elektrolisis, arus listrik dihasilkan
oleh aliran ion-ion positip yang searah arus ditambah aliran ion-ion negatif dan
elektron-elektron yang berlawanan arah dengan arus.
”Arus listrik adalah laju muatan yang melalui suatu luasan penampang melintang. Berdasarkan konvensi, arahnya dianggap sama dengan arah aliran muatan positif. Dalam kawat penghantar, arus listrik merupakan hasil aliran lambat elektron-elektron bermuatan negatif yang dipercepat oleh medan listrik dalam kawat dan kemudian segera bertumbukan dengan atom-atom konduktor” Paul A.Tipler (1991) dalam Bambang Soegijono (2001: 161-162).
l
Besaran yang menyatakan kualitas arus listrik disebut kuat arus listrik (I), arus listrik
merupakan besaran skalar yang didefinisikan sebagai banyak muatan positif Δq yang
mengalir melalui penampang seutas kawat penghantar per satuan waktu Δt.
Untuk arus searah, banyak muatan listrik yang mengalir melalui penampang kawat
adalah konstan terhadap waktu, sehingga persamaan (1) dapat dituliskan:
2)
t
Keterangan I Kuat arus listrik (A)
At Selang waktu (s)
Gambar 2.7 Kuat arus listrik sebagai kelajuan muatan yang melewati suatu luasan tertentu
Dengan demikian, satuan arus listrik dalam SI adalah coulomb per sekon (C/s)
yang lebih dikenal dengan ampere (A), yang diambil dari nama seorang fisikawan
Perancis bernama Andre Marie Ampere. Besaran kuat arus I dan waktu termasuk
besaran pokok sedangkan muatan q adalah besaran turunan. Bila luas penampang arus
sebesar A, maka rapat arus (J) dapat dituliskan menjadi
Rapat arus J didefinisikan sebagai besarnya kuat arus per satuan luas.
penampang Rapat arus J mempunyai satuan A/m2.
li
b. Hukum Ohm
Hubungan antara kuat arus dengan beda potensial di dalam suatu penghantar
dapat diketahui dengan membuat rangkaian seperti pada gambar 2.8. sebagai rangkaian
penguji dengan hambatan geser.
Gambar 2.8. Rangkaian Penguji Dengan Hambatan Geser
Setiap perubahan nilai hambatan geser (dengan menggeser kontak geser ke kiri
atau ke kanan) akan diikuti dengan perubahan kuat arus (I) dan beda potensial (V).
Perubahan kuat arus dan beda potensial ditunjukkan dengan gambar 2.9. yaitu grafik
hubungan antara arus (I) dan beda potensial (V).
Gambar 2.9. Grafik hubungan antara I dan V
Dari grafik pada dapat disimpulkan bahwa besar kuat arus sebanding dengan
beda potensial. Selanjutnya, oleh Geoge Simon Ohm dinyatakan bahwa kuat arus yang
mengalir melalui suatu penghantar sebanding dengan beda potensial antara ujung-ujung
penghantar, asal suhu penghantar tersebut tidak berubah. Pernyataan tersebut dikenal
Adapun bentuk histogram dari masing-masing tabel tersebut adalah sebagai berikut,
cii
a.
b.
Gambar 4.1 Histogram Prestasi Kognitif, a. Model STAD, b. Model Jigsaw
ciii
a.
b.
Gambar 4.2 Histogram Prestasi Afektif, a. Model STAD, b. Model Jigsaw
civ
a.
b.
Gambar 4.3 Histogram Prestasi Psikomotor, a. Model STAD, b. Model Jigsaw
2. Data Kemampuan Menggunakan Alat Ukur Listrik Siswa
cv
Dalam penelitian ini data kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa
diperoleh dari nilai pada materi alat ukur listrik siswa. Kemampuan menggunakan alat
ukur listrik siswa dikategorikan menjadi dua, yaitu kemampuan menggunakan alat ukur
listrik tinggi dan kemampuan menggunakan alat ukur listrik rendah. Penggolongan
kemampuan menggunakan alat ukur listrik berdasarkan data nilai alat ukur listrik
siswa. Siswa dikatakan memiliki kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi jika
skor kemampuan menggunakan alat ukur listriknya lebih besar atau sama dengan rerata
dan dikatakan rendah jika skor kemampuan menggunakan alat ukur listrik lebih rendah
dari rerata. Deskripsi data kemampuan menggunakan alat ukur listrik dapat dilihat pada
tabel 4.8 berikut,
Tabel 4.8 Deskripsi Data Kemampuan alat ukur listrik Siswa
Model = JIGSAW Total K-AUL Count Mean StDev Minimum Median Maximum rendah 50 77,540 3,085 70,000 78,000 81,000 tinggi 28 84,107 1,988 82,000 84,000 90,000
Model = STAD Total K-AUL Count Mean StDev Minimum Median Maximum rendah 28 77,393 3,131 70,000 77,500 81,000 tinggi 50 86,880 3,595 82,000 86,000 95,000
3. Data Aktivitas Belajar Siswa
Setiap peserta didik mempunyai pola aktivitas belajar yang berbeda. aktivitas
belajar adalah kegiatan fisik dan mental yang diwujudkan dalam bekerjasama,
menciptakan kerja dan proses berfikir yang simultan pada kegiatan belajar mengajar.
Aktivitas belajar siswa dapat dapat diamati guru ketika kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Kegiatan fisik siswa yang dapat diamati antara lain: 1) Mendengarkan
cvi
dengan penuh perhatian; 2) Berada dalam tugas; 3) Mengambil giliran dan berbagi
tugas; 4) Mendorong partisipasi; serta 5) Berdiskusi dan bertanya. Tingkat aktivitas
belajar diukur menggunakan perangkat observasi. Adapun skor hasil observasi tersebut
dari masing-masing kelompok disajikan pada tabel 4.9 berikut,
Tabel 4.9 Deskripsi Data Aktivitas Belajar Siswa
Model = JIGSAW Total K-Aktiv Count Mean StDev Minimum Median Maximum rendah 28 65,46 7,97 48,00 68,00 75,00 tinggi 50 84,160 6,205 76,000 84,000 100,000
Model = STAD Total K-Aktiv Count Mean StDev Minimum Median Maximum rendah 39 60,03 12,28 32,00 64,00 74,00 tinggi 39 86,03 7,41 76,00 84,00 100,00
Distribusi frekuensi skor hasil tes aktivitas belajar siswa pada kelas yang
menggunakan model pembelajaran STAD dan JIGSAW disajikan pada tabel 4.10 dan
4.11 di bawah.
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Aktivitas Belajar pada Kelas yang menggunakan Model STAD
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen
31 – 40 4 35,5 4 5,13%
41 – 50 4 45,5 8 5,13%
51 – 60 9 55,5 17 11,54%
61 – 70 12 65,5 29 15,38%
71 – 80 22 75,5 51 28,21%
81 – 90 19 85,5 70 24,36%
91 – 100 8 95,5 78 10,26% Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Aktivitas Belajar pada Kelas yang
menggunakan Model JIGSAW
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen
cvii
45 – 52 2 48,5 2 2,56%
53 – 60 4 56,5 6 5,13%
61 – 68 9 64,5 15 11,54%
69 – 76 22 72,5 37 28,21%
77 – 84 20 80,5 57 25,64%
85 – 92 16 88,5 73 20,51%
93 – 100 5 96,5 78 6,41%
Untuk memperjelas distribusi skor di atas, berikut adalah histogram aktivitas
belajar yang disajikan pada gambar 4.4 dan 4.5,
Gambar 4.4 Histogram skor Aktivitas Belajar siswa pada kelas yang menggunakan Model STAD
cviii
Gambar 4.5 Histogram skor Aktivitas Belajar siswa pada kelas yang menggunakan Model JIGSAW
B. Pengujian Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan salah satu uji statistik yang digunakan untuk
mengetahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas data dalam penelitian ini menggunakan perhitungan dengan bantuan
software Minitab 15 series. Komputasi selengkapnya terdapat pada lampiran 20 dan
ringkasan hasilnya disajikan pada tabel 4.12 berikut,
cix
Gambar 4.6 Uji Normalitas Data Prestasi Kognitif- STAD
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi kognitif –
STAD tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal.
cx
Gambar 4.7 Uji Normalitas Data Prestasi Kognitif- Jigsaw
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi kognitif –
Jigsaw tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal
Gambar 4.8 Uji Normalitas Data Prestasi Afektif- STAD
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi afektif –
STAD tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal.
cxi
Gambar 4.9 Uji Normalitas Data Prestasi Afektif- Jigsaw
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi afektif –
Jigsaw tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal
Gambar 4.10 Uji Normalitas Data Prestasi Psikomotorf- STAD
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi psikomotorf –
cxii
STAD tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal
Gambar 4.11 Uji Normalitas Data Prestasi Psikomotor - Jigsaw
Pada uji normalitas Ryan Joiner memiliki p value > 0,1 karena taraf signifikasi
(α ) yang digunakan adalah 0,05 maka p value > α jadi H0 ( data prestasi psikomotorf –
Jigsaw tidak menyalahi kriteria berdistribusi normal tidak ditolak). Dapat diartikan
bahwa data terdistribusi normal.
Tabel 4.12 Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data Penelitian
No. Data Model p-value Ryan-Joiner Distribusi Data
1 Prestasi Kognitif STAD >0,100 0,995 Normal 2 Prestasi Kognitif JIGSAW >0,100 0,998 Normal 3 Prestasi Afektif STAD >0,100 0,997 Normal 4 Prestasi Afektif JIGSAW >0,100 0,993 Normal 5 Prestasi Psikomotor STAD >0,100 0,993 Normal 6 Prestasi Psikomotor JIGSAW >0,100 0,996 Normal 7 Kemampuan Alat Ukur Listrik STAD >0,100 0,997 Normal 8 Kemampuan Alat Ukur Listrik JIGSAW >0,100 0,997 Normal 9 Aktivitas Belajar STAD 0,099 0,994 Normal 10 Aktivitas Belajar JIGSAW >0,100 0,987 Normal
cxiii
Dari hasil Uji Normalitas data prestasi, kemampuan menggunakan alat ukur
listrik, dan aktivitas belajar di atas, yang diuji dengan kriteria Ryan-Joiner (RJ)
didapatkan bahwa p-value > 0,05 untuk Uji Normalitas yang dilakukan. Berdasarkan
hasil uji tersebut, maka dapat diambil keputusan data prestasi, kemampuan
menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar berdistribusi normal. Kriteria uji
normalitas adalah “tolak hipotesis null (data tidak menyalahi kriteria berdistribusi
normal) jika p-value < alpha 5%”.
2. Uji Homogenitas
Tujuan dari uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang berditribusi dari variansi homogen atau tidak. Uji homogenitas yang
peneliti gunakan adalah metode uji F. Adapun sebagai pendukung keputusan dilakukan
juga uji Levene. Variabel terikat untuk uji ini adalah prestasi kognitif, Afektif dan
psikomotor. Sedangkan sebagai faktornya adalah model pembelajaran (STAD dan
JIGSAW), kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar siswa. Hasil
uji homogenitas disajikan dalam tabel 4.13 dan hasil analisis selengkapnya disajikan
Dari tabel 4.13 di atas terlihat bahwa tidak semua nilai sehingga
tidak semua Ho yang diajukan (data prestasi tidak menyalahi kriteria homogenitas)
tidak ditolak. Hal ini berarti bahwa homogenitas data prestasi berdasarakan faktor
Model, kategori kemampuan alat ukur listrik dan tingkat Aktivitas belajar siswa tidak
terpenuhi pada komponen prestasi Afektif untuk semua faktor dan pada prestasi
psikomotor pada komponen model, sehingga uji selanjutnya, yaitu uji Anova hanya
dapat dilakukan untuk data prestasi kognitif saja. Adapun data prestasi afektif dan
psikomotor untuk selanjutnya diuji dengan metode Kruskal-Wallis, alternatif
nonparametrik untuk Anava.
C. Pengujian Hipotesis
Dalam berbagai kasus, diperlukan pengujian signifikansi perbedaan tidak hanya
antara dua mean sampling, tetapi juga antara tiga, empat atau lebih. Alternatif
pengujian yang disertakan Minitab 15 untuk kasus seperti yang diperkirakan di atas
adalah prosedur uji hipotesis Analysis of Variance, ANOVA dan Analisis Kruskal-
Wallis
1. Analisis Variansi Prestasi Kognitif
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan Anova tiga jalan sebab,
faktor yang terlibat dan bertindak sebagai variabel bebas sejumlah tiga faktor, yaitu
Aktiv Homogen 7 Prestasi
Psikomotor Model 0,000 0,000 Tidak
Homogen
8 Prestasi Psikomotor
K-AUL 0,620 0,515 Homogen
9 Prestasi Psikomotor
K-Aktiv
0,463 0,225 Homogen
cxv
model pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar
siswa. Adapun rangkuman hasil analisis variansi tiga jalan dengan frekuensi sel tidak
sama dapat dicermati pada tabel 4.14 sedangkan hasil lengkapnya tercantum pada
lampiran hasil analisa data.
Tabel 4.14 Rangkuman ANAVA Tiga Jalan Prestasi Kognitif Analysis of Variance for Kognitif, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Model 1 115,10 21,30 21,30 0,57 0,451 K-AUL 1 307,73 398,74 398,74 10,69 0,001 K-Aktiv 1 81,20 17,86 17,86 0,48 0,490 Model*K-AUL 1 407,41 527,48 527,48 14,14 0,000 Model*K-Aktiv 1 20,06 0,02 0,02 0,00 0,984 K-AUL*K-Aktiv 1 125,25 140,46 140,46 3,76 0,054 Model*K-AUL*K-Aktiv 1 87,68 87,68 87,68 2,35 0,127 Error 148 5522,80 5522,80 37,32 Total 155 6667,23 S = 6,10870 R-Sq = 17,17% R-Sq(adj) = 13,25%
Hasil tersebut digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penolakan Hipotesis
penelitian sebagai berikut:
(8) H01: Tidak ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi
kognitif pada materi listrik dinamis, tidak ditolak sebab p-value model = 0,451 >
0,050.
(9) H02: Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap
prestasi kognitif pada materi listrik dinamis ditolak sebab p-value kemampuan
menggunakan alat ukur listrik siswa = 0,001 < 0,050.
(10) H03: Tidak ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kognitif pada materi
listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value aktivitas belajar siswa = 0,490 > 0,050.
(11) H012: Tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi kognitif pada materi listrik
cxvi
dinamis ditolak sebab p-value interaksi model dan kemampuan menggunakan alat
ukur listrik = 0,000 < 0,050.
(12) H013: Tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan aktivitas belajar
terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value
interaksi model dan aktivitas belajar = 0,984 > 0,050.
(13) H023: Tidak ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan
aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis tidak ditolak
sebab p-value interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan
aktivitas belajar = 0,054 > 0,050.
(14) H0123: Tidak ada interaksi antara model pembelajaran, kemampuan menggunakan
alat ukur listrik, dan aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif pada materi listrik
dinamis tidak ditolak sebab p-value interaksi antara model, kemampuan
menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar = 0,127 > 0,050.
Dari beberapa hipotesis diatas ada hasil yang nilai probabilitasnya lebih kecil
daripada alpha (p-value < α), maka langkah statistik lebih lanjut untuk mengetahui
kemampuan menggunakan alat ukur listrik mana yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap prestasi belajar Fisika, serta bagaimana bentuk interaksi model pembelajaran
dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik.
2. Uji Lanjut Analisis Variansi Tiga Jalan
Uji lanjut anava atau uji komparasi ganda diperlukan untuk mengetahui
karakteristik pada variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini uji
komparasi ganda dilakukan pada hipotesis H02.
cxvii
Hasil Anova yang perlu diuji lebih lanjut adalah hasil pada H12, yaitu: “ada
pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi belajar Fisika
pada materi listrik dinamis”.
Adapun hasil uji lanjut untuk mengetahui kemampuan menggunakan alat ukur
listrik mana yang memiliki pengaruh paling signifikan tersaji dalam tabel 4.15 tentang
rangkuman anova satu jalan berikut,
Tabel 4.15 Rangkuman Anova Satu Jalan Prestasi Kognitif vs K-AUL Source DF SS MS F P K-AUL 1 394,3 394,3 9,68 0,002 Error 154 6273,0 40,7 Total 155 6667,2 S = 6,382 R-Sq = 5,91% R-Sq(adj) = 5,30% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- rendah 78 81,718 6,692 (--------*--------) tinggi 78 84,897 6,057 (--------*--------) --------+---------+---------+---------+- 81,6 83,2 84,8 86,4Pooled StDev = 6,382
cxviii
Gambar 4.12 Grafik Uji ANOM Kemampuan Menggunakan Alat Ukur Listrik
terhadap Prestasi Kognitif
Tingkat kemampuan alat ukur listrik memberikan efek berbeda terhadap
pencapaian prestasi belajar Fisika, dimana siswa yang memiliki kemampuan
menggunakan alat ukur listrik tinggi mendapatkan rerata prestasi yang signifikan lebih
tinggi, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur listrik
rendah mendapatkan prestasi yang relatif lebih rendah.
3. Analisis Kruskal-Wallis
Berdasarkan pada hasil perhitungan sebelumnya, diketahui bahwa data afektif
dan psikomotor berdistribusi normal namun tidak memenuhi syarat homogenitas saat
diuji dengan faktor model. Oleh sebab itu, kedua ranah tersebut sebagai aternatif
pengujiannya dilakukan dengan metode Kruskal-Wallis, uji nonparametrik yang
mendasarkan pada median data. Bukan mean seperti pada uji Anava dan uji parametrik
lainnya. Berikut adalah hasil uji Kruskal-Wallis untuk ranah Afektif (tabel 4.16, 4.17
dan 4.18) dan ranah Psikomotor (tabel 4.19, 4.20 dan 4.21) dengan faktor penguji
model, kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan tingkat aktivitas belajar siswa.
Tabel 4.16 Rangkuman Afektif versus Model
Kruskal-Wallis Test on Afektif Model N Median Ave Rank Z JIGSAW 78 77,50 91,5 3,60 STAD 78 74,50 65,5 -3,60 Overall 156 78,5 H = 12,94 DF = 1 P = 0,000 H = 13,16 DF = 1 P = 0,000 (adjusted for ties)
Tabel 4.17 Rangkuman Afektif versus K-AUL
cxix
Kruskal-Wallis Test on Afektif K-AUL N Median Ave Rank Z rendah 78 75,00 72,4 -1,68 tinggi 78 76,00 84,6 1,68 Overall 156 78,5 H = 2,82 DF = 1 P = 0,093 H = 2,86 DF = 1 P = 0,091 (adjusted for ties)
Tabel 4.18 Rangkuman Afektif versus K-Aktiv
Kruskal-Wallis Test on Afektif K-Aktiv N Median Ave Rank Z rendah 67 75,00 73,3 -1,24 tinggi 89 75,00 82,4 1,24 Overall 156 78,5 H = 1,54 DF = 1 P = 0,214 H = 1,57 DF = 1 P = 0,210 (adjusted for ties)
Tabel 4.19 Rangkuman Psikomotor versus Model
Kruskal-Wallis Test on Psikomotor Model N Median Ave Rank Z JIGSAW 78 85,00 88,9 2,88 STAD 78 82,50 68,1 -2,88 Overall 156 78,5 H = 8,29 DF = 1 P = 0,004 H = 8,34 DF = 1 P = 0,004 (adjusted for ties)
Tabel 4.20 Rangkuman Psikomotor versus K-AUL
Kruskal-Wallis Test on Psikomotor K-AUL N Median Ave Rank Z rendah 78 83,00 82,5 1,12 tinggi 78 83,00 74,5 -1,12 Overall 156 78,5 H = 1,25 DF = 1 P = 0,264 H = 1,25 DF = 1 P = 0,263 (adjusted for ties)
Tabel 4.21 Rangkuman Psikomotor versus K-Aktiv Kruskal-Wallis Test on Psikomotor K-Aktiv N Median Ave Rank Z
cxx
rendah 67 85,00 85,1 1,59 tinggi 89 83,00 73,5 -1,59 Overall 156 78,5 H = 2,54 DF = 1 P = 0,111 H = 2,56 DF = 1 P = 0,110 (adjusted for ties)
Dari hasil uji Kruskal-Wallis pada tabel 4.16 hingga tabel 4.21 diperoleh hasil
untuk ranah afektif :
(4) H01: Tidak ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi
afektif pada materi listrik dinamis, ditolak sebab p-value = 0,000 < 0,050.
(5) H01: Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap
prestasi afektif pada materi listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value = 0,093 >
0,050.
(6) H01: Tidak ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi afektif pada
materi listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value = 0,214 > 0,050.
Dan hasil untuk ranah psikomotor:
a. H01: Tidak ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi
psikomotor pada materi listrik dinamis, ditolak sebab p-value = 0,004 < 0,050.
b. H01: Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap
prestasi psikomotor pada materi listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value = 0,264
> 0,050.
c. H01: Tidak ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi psikomotor pada
materi listrik dinamis tidak ditolak sebab p-value = 0,111 > 0,050.
cxxi
D. Pembahasan Hasil Analisis Data
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh
penggunaan model pembelajaran STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar listrik
dinamis, apakah ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap
prestasi belajar listrik dinamis, apakah ada pengaruh aktivitas belajar terhadap prestasi
belajar listrik dinamis, apakah ada interaksi antara model dan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik siswa, apakah ada interaksi antara model dan aktivitas
belajar siswa, apakah ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik
dan aktivitas belajar siswa, dan apakah ada interaksi antara model pembelajaran,
kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap prestasi
belajar listrik dinamis.
Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model STAD
untuk kelas eksperimen I dan model Jigsaw untuk kelas eksperimen II. Pengukuran
kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa dilakukan sebelum pembelajaran
listrik dinamis berlangsung, yaitu dengan melihat data nilai pada bab alat ukur listrik
siswa, sedangkan untuk mengetahui aktivitas belajar siswa dilakukan dengan observasi
aktivitas belajar yang berlangsung selama proses pembelajaran sebelum materi listrik
dinamis. Setelah pembelajaran selesai dilakukan tes kemampuan kognitif untuk
mengukur prestasi belajar listrik dinamis siswa. Sedangkan prestasi afektif dan
psikomotor diambil selama proses pembelajaran berlangsung pada materi listrik
dinamis dengan alat cheklist.
1. Pembahasan Hasil analisa Data Prestasi Kognitif
a. Hipotesis Pertama
cxxii
Dari hasil analisis data menggunakan anava tiga jalan dengan sel tak sama
diperoleh p-value model pembelajaran = 0,451 > 0,050 maka Ho (tidak ada pengaruh
penggunaan model pembelajaran terhadap prestasi belajar) tidak ditolak, ini berarti
bahwa antara model STAD dan Jigsaw tidak memiliki pengaruh terhadap prestasi
belajar listrik dinamis siswa. Kedua model pembelajaran ini sama kuat pengaruhnya
terhadap prestasi belajar Fisika pada materi listrik dinamis. Hal ini dapat dilihat pada
rata-rata nilai prestasi belajar Fisika yang menunjukkan lebih tinggi daripada kriteria
ketuntasan minimal (KKM: 70) yang dipatok, siswa yang dibelajarkan dengan model
STAD dan Jigsaw masing-masing rerata prestasi kognitifnya 84,167 dan 82,449.
Dengan demikian kedua model pembelajaran ini sama-sama dapat digunakan dalam
pembelajaran Fisika khususnya pada materi listrik dinamis.
Tabel 4.22 Rangking Metode Pembelajaran Kooperatif Method Coop v Comp n Method Coop v Ind n
LT 0,85 25 LT 1,04 57 AC 0,57 19 AC 0,91 11
STAD 0,51 15 GI 0,62 1 TGT 0,48 9 TGT 0,58 5 GI 0,37 2 TAI 0,33 8
Jigsaw 0,29 9 STAD 0,29 14 TAI 0,25 7 CIRC 0,18 1
CIRC 0,18 7 Jigsaw 0,13 5
Sumber: David W et.all. 2000. Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis
STAD dan Jigsaw yang merupakan model dari pembelajaran kooperatif yang
digunakan. Menurut Armstrong, Scott, Palmer dan Jesse (1998), yang meneliti STAD
pada tataran effect on student achievement and attitude, menemukan bahwa hasil dari
kedua kelompok terpisah yang sama-sama dibelajarkan dengan STAD prestasinya tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan. Sedangkan menurut hasil meta-analisis
metode pembelajaran kooperatif yang dilakukan oleh David W dan kawan-kawannya
cxxiii
dalam penelitian Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis menemukan bahwa
STAD selalu lebih baik rangkingnya dari pada Jigsaw, baik dalam hal rasio antara sifat
kooperatif dengan kompetisi (STAD = 0,51; Jigsaw = 0,29) dan pada rasio antara sifat
kooperatif dengan individu (STAD = 0,29; Jigsaw = 0,13). Untuk peringkat model
kooperatif yang lain perhatikan tabel 4.22 di atas. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil pembelajaran dengan model STAD akan lebih baik hasil
kooperatifnya daripada model Jigsaw. Hanya saja perlu dipahami bahwa yang
dimaksudkan pada tabel di atas adalah tujuan utama pembelajaran kooperatif, yaitu
menghendaki terjadinya kolaborasi (kooperatif) antar siswa meningkat dan mampu
meredam gap atau jurang pemisah yang sedari awal memang menjadi permasalahan
utamanya. Tabel tersebut tidak membicarakan masalah capaian prestasinya. Jadi,
berdasarkan pada hasil kedua penelitian di atas, apa yang ditemukan pada penelitian ini
tidak bertentangan, yaitu: hasil kedua kelas yang dibelajarkan dengan model STAD dan
Jigsaw tidak signifikan perbedaan rerata prestasinya, meskipun siswa yang dibelajarkan
dengan model STAD mendapatkan rerata prestasi yang relatif sedikit lebih baik
hasilnya. Perhatikan kencerderungan arah pengaruh kedua model pada gambar berikut,
cxxiv
Gambar 4.13 Grafik Uji ANOM Model terhadap Prestasi Belajar Fisika
b. Hipotesis Kedua
Uji Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh kemampuan
menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi belajar listrik dinamis, p-value
kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa = 0,001 < 0,050. Uji lanjut
menunjukkan bahwa kemampuan menggunakan alat ukur listrik memberikan pengaruh
signifikan terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis, p-value kemampuan
menggunakan alat ukur listrik siswa = 0,002 < 0,050. Hasil tersebut menandakan
adanya pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi kognitif
listrik dinamis. Jika diperhatikan lagi pada hasil rerata kedua kemampuan
menggunakan alat ukur listrik diperoleh informasi bahwa rerata siswa yang
kemampuan menggunakan alat ukur listriknya tinggi dan rendah masing-masing 84,897
dan 81,718. Hal itu berarti bahwa guru dalam proses pembelajaran perlu
memperhatikan faktor kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa untuk
menunjang keberhasilan proses pembelajaran, karena faktor kemampuan menggunakan
alat ukur listrik dalam penelitian ini ternyata berpengaruh signifikan terhadap prestasi
kognitif siswa. Kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa memberikan efek
dengan arah berbeda terhadap pencapaian prestasi kognitif listrik dinamis, dimana
siswa yang memiliki tingkat K – AUL rendah mendapatkan rerata prestasi kognitif
yang relatif lebih rendah, sedangkan siswa yang memiliki tingkat K – AUL tinggi
mendapatkan prestasi kognitif yang relatif lebih tinggi. Dalam hal ini kategori K –
AUL memberikan arah pengaruh positif terhadap prestasi kognitif, yaitu pengaruhnya
positif untuk kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi. Siswa dengan K - AUL
cxxv
tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah-masalah
listrik dinamis dibanding siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur
listrik rendah. untuk lebih jelasnya, perhatikanlah gambar hasil uji lanjut mean berikut,
Gambar 4.14 Grafik Uji ANOM Kemampuan alat ukur listrik terhadap Prestasi kognitif listrik dinamis
c. Hipotesis Ketiga
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh aktivitas belajar
terhadap prestasi kognitif (p-value Aktivitas belajar siswa = 0,490 > 0,050) dalam
proses pembelajaran. Aktivitas belajar siswa tidak memberikan pengaruh terhadap
prestasi kognitif materi listrik dinamis. Uji lanjut menunjukkan bahwa aktivitas belajar
siswa tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kognitif pada
materi listrik dinamis (p-value aktivitas belajar siswa = 0,204 > 0,050). Hal ini terjadi
karena kemampuan aktivitas belajar sifatnya personal sehingga tidak bisa mengarah
pada pola berinteraksi seperti yang diharapkan pada pendekatan kooperatif, khususnya
dalam pembelajaran materi listrik dinamis.
cxxvi
Tingkat aktivitas belajar siswa memberikan efek tidak berbeda terhadap
pencapaian prestasi kognitif, dimana siswa yang memiliki tingkat aktivitas belajar
tinggi dan rendah mendapatkan rerata prestasi yang hampir sama, yaitu 83,888 dan
82,537.
Gambar 4.15 Grafik Uji ANOM Kategori aktivitas belajar terhadap
Prestasi Belajar Fisika Meskipun tingkat aktivitas belajar tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap prestasi, masih dapat diperoleh informasi bahwa arah pengaruhnya positif
untuk aktivitas belajar tinggi dan negatif untuk aktivitas belajar rendah, sehingga masih
sesuai dengan teori.
d. Hipotesis Keempat
Hasil analisis data dari uji hipotesis sebelumnya menunjukkan bahwa ada
pengaruh K - AUL terhadap prestasi kognitif listrik dinamis, namun tidak demikian
dengan model. Hasil uji interaksi menunjukkan bahwa ada interaksi antara model
dengan K – AUL terhadap prestasi kognitif listrik dinamis (p-value interaksi model
dan K – AUL = 0,000 < 0,050). Hasil uji lanjut semakin memperkuat keputusan
cxxvii
adanya interaksi antara model pembelajaran dngan K – AUL . Dimana, hasil uji
interaksi untuk model dengan K – AUL terlihat pada gambar berikut,
Gambar 4.16 Grafik interaksi model dengan kemampuan alat ukur listrik Hal ini terjadi karena penggunaan model STAD dan Jigsaw sebagai perangsang
untuk proses belajar model STAD telah diprediksikan oleh David W dan kawan-
kawannya bahwa hasil kelompok yang dibelajarkan dengan STAD akan berbeda
signifikan hasilnya dengan yang dibelajarkan menggunakan model Jigsaw pada ranah
kooperatifnya. Demikian juga dengan kemampuan alat ukur listrik siswa, yang
menunjukkan arah tren pengaruh yang positif, berdasarkan hasil uji pada hipotesis
kedua ditemukan bahwa signifikan pengaruhnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan model pembelajaran merangsang siswa pada tataran kemampuan alat ukur
listrik individual siswa, sehingga menghasilkan interaksi kedua faktor. Untuk lebih
jelas lagi dalam memaknai keselarasan model pembelajaran dengan kemampuan alat
ukur listrik perhatikan gambar 4.12 di atas. Dengan jelas gambar memperlihatkan
bahwa siswa yang dibelajarkan dengan model STAD lebih baik hasilnya daripada
Jigsaw pada umumnya, dan siswa dengan kemampuan alat ukur listrik tinggi lebih baik
cxxviii
hasilnya jika dibelajarkan dengan model Jigsaw, sebaliknya siswa dengan kemampuan
alat ukur listrik rendah sangat cocok dengan model STAD. Artinya, ada kesebalikan
antara model dengan kemampuan alat ukur siswa.
e. Hipotesis Kelima
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penggunaan
model pembelajaran terhadap prestasi listrik dinamis dan tidak ada pengaruh aktivitas
belajar terhadap prestasi belajar listrik dinamis. Sehingga hasil uji statistik interaksi
faktor tersebut memperlihatkan bahwa tidak terjadi interaksi pengaruh antara model
pembelajaran dengan aktivitas belajar prestasi kognitif pada materi listrik dinamis (p-
value interaksi model dan aktivitas belajar = 0,984 > 0,050). Hal ini menandakan
bahwa penggunaan model STAD dan Jigsaw sebagai perangsang untuk proses belajar
model STAD tidak berbeda signifikan hasilnya. Kenyataan tersebut terjadi dikarenakan
model pembelajaran yang digunakan selaras dengan efek aktivitas belajar siswa, dalam
hal ini model STAD cnderung memberikan pengaruh prestasi lebih tinggi demikian
juga halnya dengan aktivitas belajar tinggi, sehingga tidak menghasilkan interaksi
kedua faktor. Untuk lebih jelas lagi dalam memaknai interaksi model pembelajaran
dengan aktivitas belajar siswa perhatikan gambar berikut ini,
cxxix
Gambar 4.17 Grafik interaksi Model dan Aktivitas belajar terhadap
Prestasi kognitif listrik dinamis
f. Hipotesis Keenam
Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antara K - AUL dan
aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada materi listrik dinamis (p-value
interaksi antara K – AUL dan aktivitas belajar = 0,054 > 0,050). Hasil ini merupakan
konsekuensi dari dua keputusan sebelumnya yaitu secara parsial K - AUL berpengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar dan aktivitas belajar yang tidak berpengaruh
terhadap prestasi belajar listrik dinamis. Secara parsial aktivitas belajar dan K – AUL
memberikan pengaruh yang memiliki tren positif terhadap pencapaian prestasi.
Interaksi tidak terjadi pada ranah K – AUL tinggi dengan aktivitas belajar. Hanya saja,
dari grafik interkasi nampak bahwa ada kecenderungan interaksi dan menurut statistik
memang demikian, hampir terjadi interaksi. Kecenderungan tersebut terlihat pada level
cxxx
aktivitas belajar tinggi baik pada siswa dengan K - AUL tinggi maupun rendah. Untuk
mengetahui pola interaksi kedua faktor tersebut perhatikan gambar berikut,
Gambar 4.18 Grafik interaksi Kemamp. mengg. alat ukur listrik dan
aktivitas belajar terhadap Prestasi kognitif listrik dinamis
g. Hipotesis Ketujuh
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara model
pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur listrik, dan aktivitas belajar (p-value
interaksi antara model, kemampuan alat menggunakan ukur listrik dan aktivitas belajar
= 0,127 > 0,050). Seperti yang telah dijabarkan di atas, meskipun secara mandiri faktor
kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa berpengaruh signifikan terhadap
perolehan prestasi kognitif siswa, ternyata tidak mampu memberikan pengaruh
signifikan dalam hal interaksi dengan faktor lainnya, model pembelajaran dan aktivitas
belajar siswa.
cxxxi
85,0
82,5
80,0
tinggirendah
tinggirendah
85,0
82,5
80,0
STADJIGSAW
85,0
82,5
80,0
Model
K-AUL
K-Aktiv
JIGSAWSTAD
Model
rendahtinggi
K-AUL
rendahtinggi
K-Aktiv
Interaction Plot for KognitifData Means
Gambar 4.19 Grafik interaksi faktor Model pembelajaran, Kemamp. mengg.
alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap Prestasi Kognitif listrik dinamis
STADJIGSAW
85
84
83
82
t inggirendah
t inggirendah
85
84
83
82
Model
Me
an
K-AUL
K-Akt iv
Main Effects Plot for KognitifData Means
Gambar 4.20 Grafik efek mean faktor Model pembelajaran, Kemamp. mengg.
alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap Prestasi kognitif listrik dinamis
cxxxii
Berdasarkan gambar 4.16 diperoleh informasi bahwa baik model pembelajaran
(STAD – Jigsaw), kemampuan alat ukur listrik (tinggi – rendah) dan aktivitas belajar
siswa (tinggi – rendah) sama-sama memiliki tren positif.
2. Pembahasan Hasil analisa Data Prestasi Afektif
Pengujian hasil penelitian untuk data prestasi afektif tidak bisa menggunakan uji
anava sebagaimana halnya pada komponen prestasi kognitif. Perbedaan keduanya
tidak akan mempengaruhi hasil penelitian, dalam artian sama saja. Hanya prosedur
pengujiannya saja yang berbeda, pada uji anava penarikan keputusan didasarkan pada
mean (rerata) kedua pihak yang dibandingkan. Sedangkan pada uji Kruskal-Wallis
(nonparametrik) lebih membandingkan pada mediannya.
Hasil uji Kruskal-Wallis untuk data prestasi afektif yang dibandingkan menurut
model pembelajarannya diperoleh hasil bahwa kedua kelas berbeda mediannya terbukti
dengan nilai p statistiknya sebesar 0,000. Kelas yang dibelajarkan dengan model
Jigsaw 77,50 sedangkan yang dibelajarkan dengan model STAD 74,50. Hal ini berarti
ada perbedaan yang signifikan dengan model Jigsaw sebagai pilihan utamanya.
Pada hasil pengujian untuk Prestasi Afektif dengan faktor kemampuan
menggunakan alat ukur listrik diperoleh hasil p = 0,093. Masing-masing memiliki
median 75,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik
rendah dan 76,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan menggunakan alat ukur
listrik tinggi. Hal ini berarti kemampuan menggunakan alat ukur listrik tidak
memberikan efek berbeda terhadap prestasi afektif siswa.
cxxxiii
Pada faktor aktivitas belajar siswa, yang kadang kita mengiranya sebagai ranah
afektif siswa, ternyata diperoleh hasil analisis dengan p sebesar 0,214 dan besar median
masing-masing untuk kelompok siswa dengan aktivitas belajar tinggi dan rendah 75,00
dan 75,00. Tepat sama median keduanya. Hal ini berarti faktor aktivitas belajar benar-
benar tidak memberikan efek perbedaan sama sekali terhadap prestasi Afektif.
3. Pembahasan Hasil analisa Data Prestasi Psikomotor
Seperti halnya pada ranah afektif, pengujian hasil penelitian untuk data prestasi
psikomotor tidak bisa menggunakan uji anava melainkan uji Kruskal wallis. Perbedaan
keduanya tidak membedakan hasil penelitian, dalam artian sama saja. Hanya prosedur
pengujian prasyaratnya saja yang berbeda, pada uji anava penarikan keputusan
didasarkan pada mean (rerata) kedua pihak yang dibandingkan dengan persyaratan
memnuhi kriteria kenormalan dan homogenitas. Sedangkan pada uji Kruskal-Wallis
(nonparametrik) lebih membandingkan pada mediannya dan tanpa persyaratan
kenormalan dan homogenitas data.
Hasil uji Kruskal-Wallis untuk data prestasi psikomotor yang dibandingkan
menurut model pembelajarannya diperoleh hasil bahwa kedua kelas berbeda mediannya
terbukti dengan nilai p statistiknya sebesar 0,004. Median kelas yang dibelajarkan
dengan model Jigsaw 85,00 sedangkan yang dibelajarkan dengan model STAD 82,50.
Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan antara pengaruh model Jigsaw dan
STAD, dengan model Jigsaw sebagai pilihan utamanya. Hal ini disebabkan pada
kelompok model pembelajaran Jigsaw siswa ahli masing-masing bertanggung jawab
untuk menjelaskan ulang pada kelompok asal. Sedangkan pada model STAD
cxxxiv
penekanannya lebih pada proses belajar bersama (kelompok), tidak ada tanggung jawab
untuk menjelaskan pada kelompoknya sendiri karena memang proses dialami bersama-
sama.
Pada hasil pengujian untuk Prestasi psikomotor dengan faktor kemampuan
menggunakan alat ukur listrik diperoleh hasil p = 0,264. Masing-masing memiliki
median 83,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik
rendah dan 83,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan menggunakan alat ukur
listrik tinggi. Hal ini berarti kemampuan menggunakan alat ukur listrik tidak
memberikan efek berbeda terhadap prestasi afektif siswa, bahkan pengaruh keduanya
tepat sama.
Pada faktor aktivitas belajar siswa, ternyata diperoleh hasil analisis dengan p
sebesar 0,111 dan besar median masing-masing untuk kelompok siswa dengan aktivitas
belajar tinggi dan rendah 83,00 dan 85,00. Hampir sama median keduanya. Hal ini
berarti faktor aktivitas belajar tidak memberikan efek perbedaan sama sekali terhadap
prestasi psikomotor.
Secara umum penelitian ini dapat mengambil dua hal penting sebagai berikut:
a). Penggunaan model pembelajaran STAD dan Jigsaw berpengaruh signifikan
terhadap pencapaian prestasi kognitif siswa, bahkan untuk ranah Afektif dan
Psikomotor, model Jigsaw diketahui lebih efektif pengaruhnya terhadap siswa daripada
model STAD. b). Interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik memberikan sumbangan besar terhadap pemahaman
siswa akan konsep Fisika pada materi listrik dinamis terutama pada siswa yang
memiliki kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi dan aktivitas belajar tinggi
cxxxv
yang dibelajarkan dengan model STAD. Hal ini disebabkan karena STAD menarik dan
berkesan bagi siswa dengan kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi.
E. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini, meskipun sudah direncanakan dan melalui proses evaluasi
sebelum dilaksanakan, tidak terlepas juga dari keterbatasannya. Adapun beberapa hal
yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini antara lain: 1) Pada saat peneliti
mengambil keputusan bahwa SMA Negeri 3 Surakarta sebagai tempat untuk menguji
validitas dan reliabilitas instrument, kepastian apakah SMA Negeri 3 Surakarta dengan
SMA Negeri 1 Surakarta benar-benar ekivalen sehingga hasilnya dapat diterapkan di
SMA Negeri 1 Surakarta, belum ada penelitian sebelumnya. Pertimbangan peneliti
pada status dua sekolah tersebut sama negeri, ada tiga program regular, rsbi dan
akselerasi. Hal ini tidak menutup kemungkinan mempengaruhi hasil kesimpulan; 2)
Pada penelitian ini, tingkat kemampuan menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas
belajar hanya mengkategorikan tinggi dan rendah saja, peneliti tidak melibatkan
kategori sedang. Hal ini barangkali mempengaruhi hasil kesimpulan; 3) Pada penelitian
ini hanya sebagian faktor saja yang diteliti yaitu strategi pembelajaran sebagai faktor
ekstern dan kemampuan menggunakan alat ukur listrik serta aktivitas belajar sebagai
faktor intern. Hal ini dapat mempengaruhi kesimpulan; 4). Strategi pembelajaran yang
dipilih pada penelitian ini selain memiliki kelebihan tentu juga memiliki kelemahan.
Hal ini dapat mempengaruhi hasil kesimpulan.
cxxxvi
cxxxvii
Jurnal International,
th. 2000
cxxxviii
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan untuk ranah kognitif sebagai berikut:
1. Kedua model pengaruhnya sama kuat terhadap prestasi kognitif materi listrik
dinamis. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata nilai prestasi kognitif yang lebih tinggi
daripada kriteria ketuntasan minimal (KKM: 70). Siswa yang dibelajarkan dengan
model STAD dan Jigsaw rerata prestasi kognitifnya 84,167 dan 82,449. Dari hasil
analisis data menggunakan anava tiga jalan dengan sel tak sama diperoleh p-value
model pembelajaran = 0,451 > 0,050. Kedua model pembelajaran ini sama-sama
dapat digunakan dalam pembelajaran Fisika khususnya pada materi listrik dinamis.
Jadi dapat disimpulkan :
Tidak ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar
Fisika pada materi listrik dinamis.
2. Uji lanjut menunjukkan bahwa kemampuan menggunakan alat ukur listrik
memberikan pengaruh signifikan terhadap prestasi kognitif pada materi listrik
dinamis, p-value kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa = 0,002 <
0,050. Hasil tersebut menandakan adanya pengaruh kemampuan menggunakan alat
ukur listrik terhadap prestasi kognitif listrik dinamis sebab rerata prestasi kognitif
pada siswa yang kemampuan menggunakan alat ukur listriknya tinggi dan rendah
masing-masing 84,897 dan 81,718. Sehingga dapat disimpulkan :
cxxxix
Ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi belajar
Fisika pada materi listrik dinamis.
3. Uji lanjut menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa tidak memberikan perbedaan
pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis (p-
value aktivitas belajar siswa = 0,204 > 0,050). Hal ini terjadi karena kemampuan
aktivitas belajar sifatnya personal sehingga tidak bisa mengarah pada pola
berinteraksi seperti yang diharapkan pada pendekatan kooperatif, khususnya dalam
pembelajaran materi listrik dinamis. Maka disimpulkan :
Tidak ada pengaruh aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif pada materi listrik
dinamis.
4. Hasil uji interaksi menunjukkan p-value = 0,000 < 0,050. Hasil uji lanjut semakin
memperkuat keputusan adanya interaksi antara model pembelajaran dngan
kemampuan menggunakan alat ukur listrik. Siswa yang dibelajarkan dengan model
STAD lebih baik hasilnya daripada Jigsaw pada umumnya, dan siswa dengan
kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi lebih baik hasilnya jika
dibelajarkan dengan model Jigsaw, sebaliknya siswa dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik rendah sangat cocok dengan model STAD. Artinya,
ada kesebalikan antara model dengan kemampuan menggunakan alat ukur siswa.
Sehingga dapat diambil kesimpulan :
Ada interaksi pengaruh antara model pembelajaran dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi kognitif pada materi listrik
dinamis.
5. Hasil uji interaksi menunjukkan p value = 0,984 > 0,050. Penggunaan model
STAD dan Jigsaw sebagai perangsang untuk proses belajar, model STAD tidak
cxl
berbeda signifikan hasilnya. Kenyataan tersebut terjadi dikarenakan model
pembelajaran yang digunakan selaras dengan efek aktivitas belajar siswa, dalam
hal ini model STAD cenderung memberikan pengaruh prestasi lebih tinggi
demikian juga halnya dengan aktivitas belajar tinggi, sehingga tidak menghasilkan
interaksi kedua faktor. Maka disimpulkan :
Tidak ada interaksi pengaruh antara model pembelajaran dengan aktivitas belajar
terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis.
6. Hasil uji interaksi menunjukkan p value = 0,054 > 0,050. Hasil ini merupakan
konsekuensi dari dua keputusan sebelumnya yaitu secara parsial kemampuan
menggunakan alat ukur listrik berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar dan
aktivitas belajar yang tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar listrik dinamis.
Hasil pada grafik interaksi menunjukkan bahwa ada kecenderungan interaksi pada
level aktivitas belajar tinggi baik pada siswa dengan kemampuan menggunakan
alat ukur listrik tinggi maupun rendah. Kesimpulannya :
Tidak ada interaksi pengaruh antara kemampuan menggunakan alat ukur listrik
dengan aktivitas belajar terhadap prestasi kognitif pada materi listrik dinamis.
7. Hasil uji interaksi menunjukkan p value = 0,127 > 0,050. Meskipun secara
mandiri faktor kemampuan menggunakan alat ukur listrik siswa berpengaruh
signifikan terhadap perolehan prestasi kognitif siswa, ternyata tidak mampu
memberikan pengaruh signifikan dalam hal interaksi dengan faktor lainnya, model
pembelajaran dan aktivitas belajar siswa. diperoleh informasi bahwa baik model
pembelajaran (STAD – Jigsaw), kemampuan menggunakan alat ukur listrik (tinggi
– rendah) dan aktivitas belajar siswa (tinggi – rendah) sama-sama memiliki
kecenderungan positif. Sehingga dapat disimpulkan :
cxli
Tidak ada interaksi pengaruh antara model pembelajaran, kemampuan
menggunakan alat ukur listrik dan aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika
pada materi listrik dinamis.
Sedangkan kesimpulan utuk ranah Afektif adalah:
1. Kelas yang dibelajarkan dengan model Jigsaw prestasi afektifnya 77,50 sedangkan
yang dibelajarkan dengan model STAD 74,50. Hal ini berarti model Jigsaw
sebagai pilihan utamanya. Sedangkan pada uji Kruskal-Wallis p-value = 0,000 <
0,050. Maka dapat disimpulkan :
Ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi afektif pada
materi listrik dinamis.
2. Masing-masing memiliki median 75,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik rendah dan 76,00 untuk kelompok siswa dengan
kemampuan alat ukur listrik tinggi. Dari uji Kruskal-Wallis diperoleh p-value =
0,093 > 0,050. Dapat disimpulkan :
Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi
afektif pada materi listrik dinamis.
3. Besar median masing-masing untuk kelompok siswa dengan aktivitas belajar tinggi
dan rendah 75,00 dan 75,00. Tepat sama median keduanya. Hal ini berarti faktor
aktivitas belajar benar-benar tidak memberikan efek perbedaan sama sekali
terhadap prestasi afektif. Pada uji Kruskal-Wallis p-value = 0,214 > 0,050.
Sehingga dapat disimpulkan :
Tidak ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi afektif pada materi
listrik dinamis.
Dan, hasil untuk ranah psikomotor:
cxlii
1. Median kelas yang dibelajarkan dengan model Jigsaw 85,00 sedangkan yang
dibelajarkan dengan model STAD 82,50. Hal ini berarti model Jigsaw sebagai
pilihan utamanya. Pada uji Kruskal-Wallis diperoleh p-value = 0,004 < 0,050.
Dapat disimpulkan :
Ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi psikomotor
pada materi listrik dinamis.
2. Masing-masing memiliki median 83,00 untuk kelompok siswa dengan kemampuan
menggunakan alat ukur listrik rendah dan 83,00 untuk kelompok siswa dengan
kemampuan menggunakan alat ukur listrik tinggi. Hal ini berarti kemampuan
menggunakan alat ukur listrik tidak memberikan efek berbeda terhadap prestasi
afektif siswa, bahkan pengaruh keduanya tepat sama. Pada uji Kruskal-Wallis
diperoleh p-value = 0,264 > 0,050. Dapat disimpulkan :
Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur listrik terhadap prestasi
psikomotor pada materi listrik dinamis.
3. Besar median masing-masing untuk kelompok siswa dengan aktivitas belajar tinggi
dan rendah 83,00 dan 85,00. Hampir sama median keduanya. Hal ini berarti faktor
aktivitas belajar tidak memberikan efek perbedaan terhadap capaian prestasi
psikomotor. Sedangkan pada uji Kruskal-Wallis diperoleh p-value = 0,111 >
0,050. Sehingga dapat disimpulkan :
Tidak ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi psikomotor pada
materi listrik dinamis.
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
cxliii
Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang jelas tentang model STAD dan
Jigsaw yang dapat digunakan dalam pembelajaran Fisika pada materi pokok listrik
Dinamis. Sekalipun model pembelajaran ini sama-sama mempermudah siswa untuk
memahami konsep pembelajaran Fisika pada materi tersebut, model STAD lebih
mampu merangsang siswa untuk mendapatkan prestasi maksimal daripada model
Jigsaw pada ranah kognitif dan afektif. Sedangkan model Jigsaw bagus untuk
meningkatkan prestasi siswa pada ranah Psikomotor.
2. Implikasi Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini adalah siswa yang dibelajarkan dengan
model STAD dan Jigsaw ternyata mendapatkan prestasi belajar Fisika yang memenuhi
harapan pada ranah prestasi kognitif dan afektif, dengan model STAD sebagai pilihan
utamanya. Model STAD menjadikan konsep yang dibelajarkan menjadi mudah
diterima sebab kondisi pada pembelajaran model tersebut mampu merangsang siswa
untuk mendapatkan prestasi kognitif dan afektif lebih maksimal daripada model
Jigsaw. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan prestasi kognitif dan afektif khusus pada
materi listrik dinamis sebaiknya diberikan melalui model STAD. Sedangkan untuk
prestasi psikomotor diperoleh hasil maksimal pada siswa yang dibelajarkan dengan
model Jigsaw, sebab pada kelompok model pembelajaran Jigsaw siswa ahli masing-
masing bertanggung jawab untuk menjelaskan ulang pada kelompok asal. Sedangkan
pada model STAD penekanannya lebih pada proses belajar bersama (kelompok), tidak
ada tanggung jawab untuk menjelaskan pada kelompoknya sendiri karena memang
proses dialami bersama-sama.
cxliv
C. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Saran untuk Guru
Untuk mengajarkan konsep-konsep Fisika diperlukan model pembelajaran yang
mampu membantu siswa pada kondisi senang, rileks dan mudah untuk menerima dan
memahami materi. Ranah Kognitif, afektif dan psikomotor adalah tiga hal berbeda
yang meskipun seringkali tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Namun, pada
kenyataannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk masing-masing ranah
tidak bisa diperoleh dari satu metode yang sama. Hal ini telah terbukti dari hasil
penelitian ini, prestasi ranah kognitif dan afektif dapat dimaksimalkan dengan model
STAD sedangkan prestasi ranah psikomotor melalui model Jigsaw.
2. Saran untuk para peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian
sejenis, pada materi listrik dinamis. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi,
kemampuan menggunakan alat ukur listrik membutuhkan latihan-latihan dan
bimbingan guru. Hal tersebut dapat dilaksanakan pada saat istirahat atau jam tambahan
sore (jam 14.15 – sampai jam 15.00 WIB)/pagi (jam ke nol (jam 06.15 – sampai jam
06.50 WIB). Peningkatan aktivitas belajar supaya diciptakan situasi KBM yang
menyenangkan, siswa suka berdiskusi, berani bertanya, kritis dan memiliki sikap
tanggung jawab. Perlu melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang model
yang tepat digunakan dalam proses pengajaran di kelas sesuai dengan karakter materi
dan aspek (ranah) yang akan digali dari siswa yang dibelajarkan. Tidak semua siswa
cxlv
menerima dengan baik efek setiap model pembelajaran karena setiap anak memiliki
keunikan belajarnya sendiri. Penelitian mengenai penerapan metode dan model lain
yang dapat mempermudah siswa dalam memecahkan permasalahan dalam belajar
Fisika terutama yang berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran masih perlu
dilakukan. Dengan demikian dapat diharapkan dapat memaksimalkan prestasi belajar
siswa baik ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah afektif.
cxlvi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djamil Husin. l988. Kamus Fisika Bergambar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Aminah Ayob, Ng Khar Thoe.l998. Some Constructivists Approches Theory and Practice. Malaysia: Ministry of Education and Culture, The Republic of Indonesia in Cordination With SEMEO RECSAM.
Anita Lie. 2002. Cooperative. Jakarta: Grasindo.
Arends, R I. 2008. 2008. Learning to Teach. (Edisi Ketujuh terjemahan oleh Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar.
Ari Damari. 2008. Panduan Lengkap Eksperimen Fisika SMA. Jakarta: Penerbit
Wahyu Media. Budiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University
Press. Brophy,J.E. 1997. Motivating Student to Learn. Toronto: Mc Grow Hill.
Depdikbud. 1995. Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Kurikulum SMU. Jakarta : Depdikbud.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Pelajaran Fisika. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Depdiknas. 2004. Model-model Pengajaran Dalam Pelajaran Sains. Bandung:
Dikmenum Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA. Douglas Giancoli, C. 2001. Physics Fifth Edition. (Edisi Kelima terjemahan oleh
Rineka Cipta. ________________. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Supiyanto.2007. Fisika Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Penerbit PHißETA Suyatno, Heny Subandiyah. Metode Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Syaiful Sagala. 2007. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Penerbit
Alfabeta. Toeti Soekamto, Udin Saripudin Winataputra. 1997. Teori Belajar Dan Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan Dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
cxlviii
Yohanes Surya. 1999. Fisika Itu Mudah. Tangerang: Penerbit Bina Sumber Daya