Page 1
PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH
PASCA IKRAR TALAK
(Studi di Pengadilan Agama Batusangkar)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
SYAMS ELIAZ BAHRI
NIM. 1111044100040
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
Page 5
v
ABSTRAK
Syams Eliaz Bahri. NIM 1111044100040. Pembayaran Nafkah Iddah dan
Mut’ah Pasca Ikrar Talak (Studi di Pengadilan Agama Batusangkar). Konsentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M. x +
82 halaman + 6 lampiran.
Skripsi ini membahas tentang praktek pembayaran nafkah iddah dan
mut’ah. Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia dijelaskan ketika terjadi
perceraian suami dapat dibebankan beberapa kewajiban. Namun dalam peraturan
tersebut tidak dijelaskan tentang waktu pembayaran kewajiban tersebut. Dalam
prakteknya hakim meminta suami untuk membayarkan kewajibannya kepada istri
pada saat ikrar talak, namun praktek ini tidak didasari oleh peraturan melainkan
ijtihad hakim. Penulisan skripsi ini bertujuan agar kita mengetahui dasar ijtihad
hakim dalam menerapkan praktek ini, serta mengetahui langkah hakim ketika
suami belum membawa kewajibannya pada saat ikrar talak, dan agar kita
mengetahui bagaimana korelasi praktek ini jika dihubungkan dengan kaedah
ushul, peraturan, serta asas-asas yang ada.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan
pendekatan yuridis empiris. Sumber data didapat dari hasil wawancara, buku-
buku, serta karya ilmiah. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara
kepada hakim, documenter, observasi dan studi pustaka. Metode analisis yang
digunakan adalah analisis kualitatif, yang bermaksud untuk memberikan
penjelasan secara sistematis, dan akurat tentang praktek pembayaran nafkah iddah
dan mut’ah di Pengadilan Agama Batusangkar.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa praktek yang dilakukan memang
tidak didasari oleh peraturan, dan terkesan tidak sesuai dengan asas-asas yang ada.
Namun, hakim menilai praktek ini perlu diterapkan agar memberi jaminan kepada
istri untuk mendapat haknya, serta agar putusan dapat adil bagi kedua belah pihak.
Praktek yang dilakukan ini tidak akan memberikan mudharat yang lebih besar,
ketimbang praktek ini tidak ada.
Kata kunci: Nafkah Iddah, Mut’ah, Ikrar Talak
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag
DaftarPustaka : Tahun 1964 Sampai dengan Tahun 2013
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
يمبسم هللا الرحمن الرح
Segala puji kepada Allah yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Syamsul Bahri Z,
Ibunda Hj. Eliza, dan Kakanda penulis Syams Resfializ Bahri yang selalu
memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, motivasi, bantuan dan do’anya
tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan
kasih sayang-Nya kepada mereka.
Penulis sadar tidak akan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa
bantuan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati,
penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan peghargaan setinggi-
tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag., MH. Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah
dan Hukum.
Page 7
vii
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing, memberikan arahan, motivasi dan meluangkan waktu lapang
dan sempitnya, serta membantu penulis sehingga skripsi ini selesai.
4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA. Selaku dosen penasehat akademik,
penulis mengucapkan terimakasih banyak atas bantuan, perhatian, serta
arahan yang selama ini diberikan.
5. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dan Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
Selaku dosen penguji semprop yang telah memberi masukan, meluangkan
waktu, dan membantu penulis mulai dari awal penulisan proposal sampai
akhir penulisan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA., dan Bapak Drs. H. Ahmad Yani,
M.Ag., selaku dosen penguji Munaqasyah yang telah memberi masukan, dan
arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Univerasitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan
dengan tulus ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta menjadi
keberkahan bagi penulis.
8. Ketua Pengadilan Agama Batusangkar dan para Hakim, serta pihak-pihak
terkait terutama Bapak Drs. Efrizal, SH., MH. dan Ibu Dra. Hj. Yusnizar
yang telah memberikan informasi dan meluangkan waktunya serta kepada
penulis menyelesaikan skripsi ini.
Page 8
viii
9. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum beserta para staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
10. Ayahanda H. Syamsul Bahri Z, Ibunda Hj. Eliza dan saudara penulis
Kakanda Syams Resfializ Bahri, yang telah memotivasi, mendorong,
membantu, dan mendo’akan penulis setiap saat sehingga skripsi ini selesai.
11. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama angkatan 2011, yang telah
mengisi hari-hari penulis, membantu penulis, serta memberikan informasi
kepada penulis terutama Anin, Hatoli, Didi, Tiflen, Rafel, Robian, Nazir,
Fira, Lilis, Lian, Mujahidah, Nadia, Robiah, Andi, serta sanak-sanak IKMM
khususnya angkatan 2011, Mantan Ketua Rizan, Daniel, Firdo, Fajri, Gusti,
Khalil, Syahrul, Erik, Wahyu, Haikal, Zaimul Haq Elfan Habib dan semunya
yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. Terima kasih atas hari-hari
yang telah kita lalui bersama.
Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak,
semoga Allah swt membalas dan melipat gandakan jasa dan kebaikan semuanya.
Akhir kata, dengan kerendahan hati, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, tertama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, 30 Maret 2015
Syams Eliaz Bahri
Page 9
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
D. Metode Penelitian ................................................................... 7
E. Review Studi Terdahulu ......................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH ............................................ 15
A. Nafkah Iddah Menurut Fiqih .................................................. 15
B. Mut’ah Menurut Fiqih ............................................................. 26
C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif
di Indonesia ............................................................................. 35
Page 10
x
BAB III ASAS PERADILAN DAN GAMBARAN PRAKTEK
IKRAR TALAK .......................................................................... 40
A. Asas-Asas Peradilan ................................................................ 40
B. Deskripsi Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama
Batusangkar Tahun 2014 ........................................................ 53
C. Gambaran Umum Proses Ikrar Talak...................................... 57
BAB IV PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH DI
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR ........................... 61
A. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah di
Pengadilan Agama Batusangkar ............................................. 61
B. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa
Kewajiban ............................................................................... 63
C. Analisa Penulis ........................................................................ 65
BAB V PENUTUP .................................................................................... 76
A. Kesimpulan ............................................................................. 76
B. Saran ....................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
LAMPIRAN
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia, implementasi dari penciptaan manusia secara
berpasang-pasangan adalah dengan terjadinya pernikahan. Nikah adalah akad
serah terima antara laki- laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling
memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk bahtera rumah tangga yang
sakinah serta masyarakat yang sejahtera.1 Dalam hukum di Kuwait nikah diartikan
sebagai “A contract between a man and women who can lawfully be wed to him,
to the end tranquility, chastity, and the strength of the nation”.2 Tujuan dari
pernikahan yang dilakukan manusia tidak lain adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, karena
sesungguhnya ikatan suami istri merupakan ikatan yang sangat suci dan teramat
kokoh.3
Dalam prosesnya, terkadang pasangan suami istri yang telah menikah ini
mendapatkan masalah di tengah pernikahannnya. Masalah dalam pernikahan ini
1 Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 8.
2 Jamal J. Nasir, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic
Legislation, (London: Graham Trotman, 1990), h. 3.
3 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Angkasa, 2005), h. 162.
Page 12
2
bisa berupa terjadinya nusyuz dari salah satu pihak, ataupun syiqaq yang dapat
disebabkan kecemburuan, ketidakpuasan, tidak sepaham dan sebagainya. Nusyuz
adalah tindakan istri yang tidak patuh kepada suaminya, atau suami yang tidak
menjalankan hak dan kewajibannya terhadap istri dan rumah tangganya, baik
yang bersifat lahir maupun bathin.4 Sedangkan syiqaq adalah pertengkaran yang
terus menerus yang berasal dari kedua belah pihak.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkawinan yang
berkepanjangan ini dapat menyebabkan tidak terciptanya tujuan dari perkawinan
yang dapat berujung pada perceraian. Perceraian sejatinya dapat terjadi ketika
seorang suami mengucapkan kata "thalaq" pada istrinya. Thalaq secara harfiah
berarti membebaskan seekor binatang.5 Menurut syari’at pengertian talak adalah
terlepasnya ikatan pernikahan atau terlepasnya pernikahan dengan lafal talak dan
yang sejenisnya.6
Di Indonesia permasalahan putusnya hubungan perkawinan telah diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38,
bahwasanya sebuah perkawinan dapat berakhir karena kematian, perceraian, dan
keputusan pengadilan. Selanjutnya dalam pasal 39 angka 1 Undang-Undang
perkawinan mengatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
4 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 184.
5 Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
1992), h. 76.
6 Wahbah Zuhayli, Fiqih Islam jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: GEMA INSANI, 2011), h. 318.
Page 13
3
mendamaikan kedua belah pihak”. Dari kutipan pasal 39 ini dapat dipahami
bahwa seseorang tidak dikatakan putus pernikahannya kecuali, apabila
pengucapan ikrar talak tersebut dilakukan di depan persidangan setelah melalui
berbagai rangkaian yang ditentukan.
Ketika terjadi perceraian antara suami istri, dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 41 bahwa antara suami dan
istri memiliki kewajiban yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan
anak mereka. Selanjunya pada pasal 41 ayat (c) dijelaskan bahwa pengadilan
dapat mewajibkan pada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi istri.
Secara lebih rinci mengenai kewajiban suami terhadap istri ketika terjadi
perceraian karena talak dijelaskan dalam KHI pasal 149. Dalam pasal 149 KHI
tersebut dijelaskan kewajiban suami tersebut berupa memberikan mut’ah yang
layak kepada bekas istri ba’da dukhul, memberikan nafkah, maskan dan kiswah
selama dalam iddah, melunasi mahar yang terhutang, serta memberikan biaya
hadhanah.
Dalam Al-Qur’an hak istri untuk mendapatkan nafkah juga telah
dijelaskan dalam surat At-Thalaq ayat 6, Allah memerintahkan pada suami yang
menceraikan istrinya untuk memberikan tempat tinggal dan nafkah yang mana hal
ini juga tersirat dalam kutipan pasal 149 KHI di atas.
Tanggungan nafkah di Iraq, Jordan, Syria, Kuwait, dan Algeria,
digolongkan kepada maintenance consists of food, clothing, housing, and the
Page 14
4
amenities thereof, treatment fees according to custom, and servants for women
whose equals have servants.7
Dalam Al-Qur’an ketentuan tentang mut’ah juga telah dibahas
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah ayat 241 yang
menjelaskan tentang kewajiban suami untuk memberikan mut’ah terhadap mantan
istri yang telah diceraikannya. Mut’ah yang dimaksud disini adalah pakaian atau
harta yang diberikan oleh suami kepada istri yang dia ceraikan.8
Jika diperhatikan dari kutipan pasal 149 KHI di atas, nafkah iddah dan
mut’ah merupakan akibat yang timbul dari perceraian, sehingga pada dasarnya
pemberian nafkah iddah dan mut’ah kepada istri menjadi wajib ketika telah
terjadinya perceraian. Namun dalam peraturan tersebut, mengenai waktu
pembayaran kewajiban yang timbul akibat perceraian talak tidak diatur secara
jelas.
Dalam prakteknya Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga
Peradilan, menetapkan pembayarannya pada saat ikrar talak. Hal ini penulis
ketahui setelah membaca skripsi dengan judul “Jaminan Pelakasanaan Kewajiban
Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur” skripsi tahun 2012, dan
skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah yang Diakibatkan
Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013” skripsi tahun 2014.
7 Jamal J. Nasir, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic
Legislation, (London: Graham Trotman, 1990), h. 59.
8 Wahbah Zuhayli, Fiqih Islam jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: GEMA INSANI, 2011), h. 285.
Page 15
5
Hal ini juga penulis ketahui setelah melihat praktek pembacaan ikrar talak
yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan praktek yang penulis
ketahui di Pengadilan Agama Batusangkar terlihat bahwa Pengadilan Agama
memerintahkan kepada suami yang akan mengucapkan ikrar talak agar pada saat
pengucapan ikrar talak membawa nafkah yang harus diberikan pada istri, dan
diserahkan ketika sidang penyaksian ikrar talak.
Namun praktek ini tidak didasari pada peraturan. Karena tidak adanya
peraturan yang mengaturnya, maka praktek yang terjadi tersebut tidak didasari
oleh hukum, sehingga timbul pertanyaan pada diri penulis apakah praktek tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan apakah praktek tersebut tidak
menyalahi asas-asas yang berlaku di Pengadilan Agama.
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, penulis merasa
tertarik dan perlu untuk membahas tentang praktek pembayaran nafkah iddah dan
mut’ah di Pengadilan Agama dengan judul “Pembayaran Nafkah Iddah dan
Mut’ah Pasca Ikrar Talak (Studi di Pengadilan Agama Batusangkar)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan di atas dapat diketahui
bahwa minimal ada empat Pengadilan Agama yang melakukan praktek
pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika sidang ikrar talak. Agar pembahasan
ini tidak melebar dan untuk memperjelas pokok penelitian maka pembahasan
difokuskan kepada:
Page 16
6
a. Lokasi penelitian ini berada di Pengadilan Agama Batusangkar, Jl.
Sudirman Lima Kaum Batusangkar Kabupaten Tanah Datar.
b. Kewajiban suami yang dibahas dibatasi pada Nafkah iddah dan
Mut’ah.
c. Data penelitian dibatasi pada tahun 2014.
2. Perumusan Masalah
Dalam UU dijelaskan beberapa kewajiban suami ketika terjadi perceraian
karena talak seperti nafkah iddah dan mut’ah. Di Pengadilan Agama Batusangkar
pembayaran kewajiban tersebut dilakukan ketika sidang ikrar talak di
persidangan. Namun terkadang suami tersebut ketika waktu persidangan ikrar
talak belum membawa kewajibannya dengan berbagai alasan.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
a. Bagaimana praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika ikrar
talak di Pengadilan Agama Batusangkar?
b. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim ketika suami belum membawa
kewajibannya pada saat ikrar talak?
c. Bagaimana korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika
ikrar talak ini jika dihubungkan dengan peraturan, dan asas yang ada?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan dalam latar belakang dan perumusan masalah
sebelumya, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Page 17
7
a. Untuk mengetahui praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika
ikrar talak di Pengadilan Agama Batusangkar.
b. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang dilakukan hakim ketika
suami belum membawa kewajibannya ketika ikrar talak.
c. Untuk menjelaskan korelasi antara praktek pembayaran nafkah iddah dan
mut’ah ketika ikrar talak dengan peraturan dan asas yang terkandung dalam
peradilan.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil
penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pengetahuan terhadap ilmu hukum
mengenai praktek, dasar pemikiran, serta korelasi praktek pembayaran nafkah
iddah an mut’ah ketika ikrar talak dengan peraturan dan asas di Peradilan Agama.
b. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai praktek
pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah, sebagai
berikut:
Page 18
8
1. Metode Pendekatan
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis
empiris. Penelitian yuridis empiris dimaksud membahas bagaimana hukum
beroperasi dalam masyarakat.9
Dalam penelitian ini yang dicari adalah perihal pelaksanaan pembayaran
nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama dengan berpedoman pada aturan
hukum yang berlaku serta dihubungkan pada asas-asas yang berlaku dalam
peradilan dan prilaku sosial masyarakat, sehingga dapat diperoleh kejelasan
terhadap penerapan praktek tersebut di persidangan pengadilan.
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif.
Penelitian deskriptif bermaksud memberikan penjelasan secara sistematis, factual,
dan akurat mengenai fakta-fakta yang diteliti. Dalam skripsi ini yang diteliti
adalah mengenai praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dalam
persidangan.
3. Data Penelitian
a. Penelitian kepustakaan (library search)
Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
mendapatkan dasar teori dalam memecahkan permasalahan yang timbul dengan
menggunakan bahan- bahan:
1) Bahan Hukum Primer
9 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 31.
Page 19
9
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian,
terdiri dari:
- Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah kepada UU No. 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua kepada UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama
- Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- PP No. 9 Tahun 1975
- Kompilasi Hukum Islam
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan- bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yang terdiri dari:
- Buku- buku
- Majalah hukum
- Artikel ilmiah
- Arsip- arsip yang mendukung
- Publikasi dari lembaga terkait
b. Penelitian Lapangan (field research)
Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke
lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut.
1) Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama
Batusangkar, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut.
Page 20
10
2) Subyek Penelitian
Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu
dipertanggungjawabkan secara prosesil maka yang tepat dijadikan rujukan
adalah hakim di Pengadilan Agama Batusangkar dalam persidangan perkara
cerai talak itu sendiri yang mampu mengkaji, mengetahui, serta memeriksa
sekaligus memutus proses persidangan cerai talak.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan:
a. Observasi
Obeservasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu obyek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki.10
Observasi penulis lakukan dengan cara
melihat jalannya pengucapan ikrar talak di Pengadilan Agama Batusangkar.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview merupakan Tanya jawab secara lisan dimana
dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai
pencari informasi sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi.11
Dalam menentukan hakim yang akan diwawancarai, penulis menggunakan
teknik nonrandom sampling. Dalam sampling ini tidak semua individu dalam
10
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 69.
11 Soemitro Romy H, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), h. 71.
Page 21
11
populasi diberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel.12
Untuk mewakili hakim yang ada, penulis memilih seorang hakim pria, seorang
hakim wanita, dan hakim yang berjabatan sebagai ketua di Pengadilan tersebut,
yang penunjukkannya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama Batusangkar.
c. Studi Dokumenter
Studi documenter adalah cara mengumpulkan data melalui penanggalan
tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang
pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penyelidikan.13
Studi dokumenter ini bertujuan untuk mengumpulkan
data perceraian khususnya cerai talak selama 2014.
d. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-
konsepsi, teori- teori, pendapat, atau penemuan yang berhubungan erat dengan
pokok permasalahan. Kepustakaan berupa peraturan perundangan, karya ilmiah
para sarjana, laporan lembaga, dan lain- lain sumber.14
5. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan
metode analisis kualitatif. Dalam kamus Oxford Quality diartikan sebagai How
12
Ben Ahmad Soebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 177.
13 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), h. 141.
14 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: UMS
Press, 2004), h. 47.
Page 22
12
good or bad.15
Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.16
Dalam skripsi ini, yang dianalisis adalah praktek pembayaran nafkah iddah dan
mut’ah di persidangan. Data-data yang penulis temukan dari dokumen di
pengadilan, berupa data statistik perkara, statistik cerai, serta data alasan-alasan
perceraian, penulis kelompokkan dalam satu kelompok yang kemudian akan
dimasukkan dalam bab 3.
Selanjutnya, data hasil wawancara dan kepustakaan, penulis analisis
menggunakan analisis kualitatif. Dalam melakukan analisis, penulis kelompokkan
teori-teori yang ada tentang permasalahan yang penulis angkat, dari kaedah ushul,
hukum positif, dan asas yang ada dalam peradilan. Selanjutnya, teori-teori yang
penulis temukan, penulis hubungkan dengan permasalahan tersebut, dilihat dari
tujuan adanya praktek tersebut, akibat praktek tersebut, landasan hadirnya praktek
tersebut yang dihubungkan dengan tanggapan hakim yang penulis temukan dari
hasil wawancara.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan
beberapa skripsi yang membahas tentang pembayaran nafkah iddah. Berikut
skripsi- skripsi yang penulis temukan:
15
Oxford Student’s Dictionary of English, (Greet Clarendon Street: Oxford University
Press, 2001), h. 519.
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13
Page 23
13
Abrokhul Isnaini (107044202957) Jaminan Pelaksanaan Kewajiban
Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur, skripsi tahun 2012. Dalam
skripsi ini pokok pembahasannya mengenai langkah yang dilakukan Pengadilan
Agama Jakarta timur dalam pelaksanaan kewajiban iddah terhadap istri.
Perbedaan paling mendasar dari skripsi ini adalah tempat penelitiannya.
Kemudian juga mengenai pembahasannya pada skripsi penulis, selain membahas
pertimbangan hakim juga membahas korelasi praktek pembayaran nafkah iddah
dan mut’ah dengan peraturan, asas yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Rohmad Heri Tricahyo (109044100035) Pelaksanaan Pembayaran
Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun
2013 skripsi tahun 2014. Dalam skripsi ini pokok pembahasannya adalah proses
pelaksanaan pembayaran nafkah iddah, dan pertimbangan yang dilakukan hakim.
Sedangkan pada skripsi penulis, perbedaan mendasarnya adalah tempat
penelitianya. Kemudian pada skripsi penulis, pokok pembahasannya berada pada
korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dengan peraturan, asas
yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Jadi antara skripsi yang penulis angkat berbeda dengan skripsi yang telah
ada. Perbedaan mendasarnya adalah tempat penelitianya. Kemudian pada skripsi
ini pokok pembahasannya berada pada korelasi praktek pembayaran nafkah iddah
dan mut’ah dengan peraturan, asas yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Korelasi di sini maksudnya adalah apakah peraturan dan asas yang ada
mendorong praktek yang terjadi di Pengadilan Agama, atau bertolak belakang
dengan praktek yang ada.
Page 24
14
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 bab yang terdiri dari:
Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat, metode
penelitian, review study, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan pembahasan tentang nafkah iddah dan mut’ah
yang membahas nafkah iddah dan mut’ah menurut fiqh Islam, meliputi
pengertian, dasar hukum dalam Islam, pandangan ulama, serta ketentuan nafkah
iddah dan mut’ah dalam peraturan perundangan.
Bab Ketiga, memaparkan tentang asas Peradilan, yang meliputi asas-asas
Peradilan Agama, dan asas-asas eksekusi. Kemudian juga membahas tentang
deskripsi perceraian yang masuk pada tahun 2014, serta gambaran proses ikrar
talak di persidangan.
Bab Keempat, berisi tentang pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di
Pengadilan Agama Batusangkar, yang memuat Praktek Pembaran Nafkah Iddah
dan Mut;ah di persidangan, serta langkah yang dilakukan hakim ketika suami
belum membawa kewajibannya ketika ikrar talak, dan ditutup dengan analisa
penulis.
Bab Kelima, Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Page 25
15
BAB II
NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH
A. Nafkah Iddah Menurut Fiqih
1. Pengertian Nafkah Iddah
Nafkah iddah terdiri dari dua kata Nafkah dan „Iddah. Secara bahasa kata
Nafkah dan „Iddah berasal dari bahasa Arab. Kalau dikutip dari kamus al-
Munawwir kata Nafkah berasal dari kata النفقت yang bermakna المصروفواالنفاق
yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang.1
Dalam sebuah perkawinan nafqah merupakan hak istri dan anak-anak
dalam hal makanan, pakaian, dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok
lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang
kaya. Nafkah dalam hal ini wajib hukumnya berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah, dan
Ijma‟ ulama.2
Pengertian kata „Iddah dikutip dari kamus Al Munawwir berasal dari kata
(يعد –عد ) yang berarti ( ظن) yaitu menduga. Kata - ) عد ) juga dapat diartikan
sebagai (احصى و (حسب yang berarti menghitung.3 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kata iddah juga diartikan sebagai masa tunggu (belum boleh menikah)
1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta:
1984), h. 1548.
2 Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
1992), h. 121
3 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 968.
Page 26
16
bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai
mati.4
Selanjutnya dikutip dari kitab Fikih Sunnah, kata Iddah berasal dari kata
al-„add dan al-ihsa‟, yang berarti hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh
perempuan.5 Dalam ta‟rif lain yang bunyinya:
مدةتتربصفيهاالمرأةلتعرفبرائترحمهاأوللتعبد
Artinya: Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk
mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah.6
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa Nafkah Iddah merupakan
sejumlah harta atau benda (uang), yang bernilai yang dapat dipergunakan untuk
biaya hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama dalam masa Iddah
bagi wanita yang baru diceraikan.
2. Dasar Hukum Nafkah Iddah
Praktek Nafkah Iddah ini telah berlangsung sejak zaman Nabi. Praktek ini
didasarkan pada Al-Qur‟an. Berikut dasar hukum tentang praktek Nafkah iddah.
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi
keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008), h. 516.
5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 2, (Beirut: Darul Fikri, 1983), h. 277.
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 304.
Page 27
17
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Qs. At-Thalaq [65]:7)
Ayat ini menjelaskan, hendaklah suami memberi nafkah kepada istri dan
anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya, hingga dia memberikan
kelapangan kepada mereka, jika dia orang yang berkelapangan.7 Imam Syafi‟I dan
para sahabatnya berkata, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan
mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan
dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin.
Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan”.8
Perceraian atau talak raj‟I (talak 1 dan 2) belumlah memutuskan
perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. Oleh karena itu, wanita yang telah
di talak (raj‟i) suaminya, selama berada dalam masa „iddah tetap dipandang
sebagai istri dari suaminya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak
penuh lagi.9
7 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam al-
Qur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158.
8 Ibid, h. 158.
9 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 245.
Page 28
18
3. Pandangan Ulama Tentang Hukum Membayarkan Nafkah Iddah
a. Wanita Dithalak Raj’i
Wanita yang dithalak raj‟I berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal
berdasarkan ijma‟ ulama. Ia masih sebagai istri dengan dalil firman Allah SWT,
… …
Artinya: “…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu,…”. (QS. Al- Baqarah 228)
Dari potongan ayat Al-Qur‟an di atas diketahui bahwa suami yang
mentalak istrinya (talak raj‟i) masih memiliki hak ruju‟ kepada istrinya selama
dalam masa menanti (iddah), dan istrinya (yang dithalak) tersebut masih dianggap
sebagai istrinya selama dalam iddah. Sehingga ketentuan dalam Al-Qur‟an surat
Al-Baqarah ayat 233 masih berlaku bagi suami tersebut.
… …
Artinya: “… dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233)
Potongan ayat ini menyatakan bahwa suami berkewajiban untuk memberi
nafkah kepada istri baik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Page 29
19
Ketentuan ayat ini berlaku kepada suami yang menthalak istrinya (raj‟i) karena
istri tersebut masih dianggap sebagai istrinya meskipun sudah tidak penuh lagi.
b. Wanita Dithalak Ketika Sedang Hamil
Jika dia tengah berada dalam kondisi hamil, maka diwajibkan untuknya
nafkah dengan berbagai jenisnya yang berbeda menurut kesepakatan para
fuqaha.10
Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, dalam QS. At-Thalaq [65] ayat
6.
…
Artinya. “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin,…”. (Qs. At-Thalaq[65]: 6)
Dari ayat di atas jelaslah bahwa Allah mengisyaratkan kepada suami-
suami yang menceraikan istri mereka untuk memberikan tempat tinggal, nafkah
untuk memudahkan kehidupan istrinya, terlebih ketika istri tersebut sedang hamil.
Asyhab mengutip dari Imam Malik: “suami harus keluar dari istri yang
telah diceraikannya, jika dia memang sudah menceraikannya, dan dia pun harus
meninggalkan istri yang diceraikannya itu dalam rumah. Hal ini berdasarkan
10
Wahbah Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, (Damasyqi: Darul Fikri al-
Ma‟ashir, 2004), h. 7203.
Page 30
20
firman Allah Ta‟ala, Tempatkanlah mereka. Jika sang suami tetap bersama istri
yang telah diceraikannya, maka Allah tidak akan berfirman tempatkanlah
mereka.11
Ayat ini juga menjadi dasar rujukan bagi para ulama untuk menetapkan
kepada suami yang menceraikan istrinya sedang hamil maka dia diwajibkan
membayarkan nafkah kepada istrinya sampai istrinya melahirkan. Tidak ada beda
pendapat di antara para ulama tentang kewajiban memberi nafkah dan tempat
tinggal kepada wanita yang sedang hamil kemudian diceraikan dengan talak tiga
atau kurang. Kewajiban itu terus berlanjut sampai dia melahirkan
kandungannya.12
c. Wanita Dithalak Ba’in Tidak Hamil
Adapun wanita yang iddah talak bain dan tidak hamil, maka ulama
berbeda pendapat menyangkut nafkahnya.13
Menurut pendapat dari Mazhab Hanafi dijelaskan bahwa, Jika dia tidak
tengah hamil, maka diwajibkan untuknya nafkah juga dengan berbagai jenisnya
akibat tertahannya dia pada masa iddah demi hak suami.14
Nafkah ini dianggap
sebagai hutang dan terhitung sejak talak dijatuhkan. Kewajiban untuk memberi
nafkah istri tidak hilang hanya dengan keridhaan istrinya atau karena keputusan
11
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam al-
Qur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 155.
12 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam al-
Qur‟an, juz 18, jilid 9, (kairo), h. 168.
13 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri dalam Islam, editor Sri Mulyani, (Jakarta: Pusat
Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2004), 73.
14 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7203.
Page 31
21
pengadilan.15
Hukum wanita ber-„iddah akibat faskh-nya akad, menurut Hanafi,
sama dengan wanita yang di talak ba‟in.16
Menurut Mazhab Hanbali tidak diwajibkan nafkah untuknya, dan tidak
juga tempat tinggal karena Fatimah binti qais ditalak oleh suaminya dengan talak
tiga, maka Rasulullah SAW tidak menetapkan untuknya nafkah dan tempat
tinggal.17
Sebagaimana sabda Nabi;
ن ث د ا:ح ض ا ة ب ت ق ال .ق م از ح ب ا ن اب ن ع ز ز ع ال د ب اع ن ث د :ح د ع س ن ب ة ب ت اق ثن حد و ب و ق ع ا
ت بن ة م اط ف ن ،ع ة م ل س ب ا ن ،ع م از ح ب ا ن ع –ام ه ل ك –ي ار الق ن م ح الر د ب ع ن اب ن ع
ك ل ذ ت أ ار م ل ،ف ن و د ة ق ف ان ه ل ع ق ف ن ا ان ك )صلعم(،و ب الن د ه ع اف ه ج و از ه ق ل ط ه ن ،ا س ق
و ت ال ق ف للا ول س ر ن م ل ع ل للا : لذ ا ت ذ خ ا ة ق ف ىن ل ت ان ك ن ا )صلعم(، و ن ح ل ص ى م ل ن ا ،
ل ،و ك ل ة ق ف ن :)ل ال ق )صلعم(ف للا ل و س ر ل ك ل ذ ت ر ك ذ ف ت ال ق ،أ ش ه ن ذم خ ا م ل ة ق ف ن ل ن ك ت
رواهمسلم18ى(.ن ك س
Artinya: Dan telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa‟id: menyampaikan
kepada kami dari „Abdul Aziz bin Abu hazim. Qutaibah juga mengatakan telah
bercerita kepada kami Ya‟qub bin „Abdurrahman al-Qari, dari abu hazim dari
abu salamah dari Fatimah binti qais, sesungguhnya ia dithalak (tiga/thalak bain
kubra) suaminya pada masa nabi Muhammad SAW, dan dia diberi nafkah sedikit,
melihat hal ini ia (Fatimah binti qais) berkata: demi allah, aku akan, mengatakan
hal ini kepada rasulullah SAW, maka jika aku berhak mendapat nafkah, aku akan
mengambil nafkah yang dapat layak untukku, dan jika aku tidak berhak mendapat
nafkah aku tidak akan mengambilnya apapun darinya. Dia (Fatimah binti qais)
berkata maka aku mengatakan hal itu kepada rasulullah SAW, maka rasul
bersabda: tidak ada nafkah bagimu, dan tempat tinggal. (HR. Muslim)
15
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH jilid 2, h. 287.
16 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, (Beirut: Darul Ilmu, 1964), h. 101.
17 Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH jilid 2, h. 287.
18 Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi,
Shaheh Muslim, hadis ke 3698, (Riyad: Darussalam, 1998), h. 639.
Page 32
22
Selanjutnya pendapat dari Mazhab Maliki dan Syafi‟I menurutnya hanya
diwajibkan untuknya tempat tinggal saja,19
berdasarkan firman Allah SWT dalam
QS. At-Thalaq [65] ayat 6
.…
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin,…”.
Dia diwajibkan untuk si istri tempat tinggal saja tanpa memedulikan
apakah si istri dalam keadaan hamil ataupun tidak. Tidak diwajibkan untuknya
nafkah makanan dan pakaian berdasarkan pemahaman firman Allah SWT, “jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
nafkahnya kepada mereka hingga mereka bersalin”. Pemahaman ayat ini
menunjukkan bagi ketidakwajiban pemberian nafkah bagi istri yang tidak hamil.20
d. Istri yang Ber’iddah karena Kematian Suami
Mengenai hak nafkah iddah mantan istri dalam keadaan „iddah akibat
suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah
19
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7203.
20 Ibid, h. 7203.
Page 33
23
maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah
menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.21
Akan tetapi, Mazhab Maliki mewajibkan tempat tinggal untuknya selama
masa iddah, jika tempat tinggal tersebut dimiliki oleh si suami. Atau rumah
sewaan, dan dia telah bayar sewanya sebelum datang kematian. Jika tidak seperti
itu, maka si suami tidak diwajibkan untuk membayar sewanya.22
Selanjutnya Syafi‟I mengatakan bahwa, apabila seorang wanita ditalak
ba‟in, sedang dia dalam keadaan hamil, kemudian suaminya meninggal dunia
(ketika si istri masih dalam „iddah), maka nafkah atas istri tidak terputus.23
Hanafi
mengatakan: Apabila wanita yang ber-„iddah tersebut dalam keadaan talak raj‟I
dan suami yang menceraikannya itu meninggal dunia ketika dia menjalani „iddah-
nya, maka „iddah-nya beralih ke „iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi
terputus, kecuali bila si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai
hutang (atas suaminya) yang betul-betul dilaksanakannya. Dalam kondisi serupa
ini nafkahnya tidak gugur.24
e. Istri yang Ber’iddah Akibat Perkawinan yang Syubhat
Dalam hal jika dia tengah menjalani masa iddah akibat perkawinan yang
rusak atau yang mengandung syubhat, maka tidak ada nafkah untuknya menurut
21
Muhammad baqir Al-Habsy, Fikih Praktis Menurut Al-Qur‟an dan Hadits, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 221-222.
22 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7204.
23 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 100-101.
24 Ibid, h. 101.
Page 34
24
jumhur fuqaha. Karena tidak ada nafkah untuknya dalam perkawinan yang rusak,
oleh karena itu tidak ada nafkah untuknya di tengah masa iddah dari si suami.
Mazhab Maliki mewajibkan kepada orang yang menyetujui untuk
memenuhi si istri jika dia tengah berada dalam kondisi hamil karena dia tertahan
karena sebab si suami. Jika dia tidak dalam keadaan hamil, atau pernikahnnya di
fasakh dengan li‟an, maka hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja di
tempat dia tinggal.25
f. Istri yang Menjadi Sebab Perceraian
Dalam hal nusyuz, para ulama Mazhab sepakat bahwa istri yang
melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang batasan nusuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah.26
Menurut Mazhab Maliki wanita yang memisahkan diri dari suaminya
dengan talak khuluk tidak berhak memperoleh nafkah kecuali kalau dia sedang
mengandung. Dan setiap wanita yang bercerai karena li‟an, tidak dapat menurut
nafkah dari suaminya, sekalipun andaikan dia hamil.27
Dikutip dari kitab Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari‟ah Al Islamiyah
dijelaskan bahwa tidak wajib nafkah dalam iddah bagi tiga macam perempuan.
Pertama, perempuan yang pernikahnnya putus karena suaminya mati. Kedua,
25
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7204.
26 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 101.
27 Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, h. 127.
Page 35
25
perempuan yang menjadi sebab putusnya perceraian. Ketiga, perempuan yang
menikah dalam akad tidak sah (syubhat).28
4. Kadar Pemberian Nafkah Iddah
Mengenai kadar dalam pemberian nafkah iddah ini, penulis tidak
menemukan jumlahnya secara pasti. Namun para ulama Mazhab sepakat bahwa
nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal: pangan, sandang, dan papan.
Mereka juga sepakat besar-kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah
pihak. Kalau suami-istri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah
nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu, maka nafkahnya disesuaikan
pula dengan itu. Yang dimaksud dengan kadar “berada” dan “tidak berada”-nya
istri adalah kadar berada dan tidaknya keluarganya, yakni kadar kehidupan
keluarganya.29
Dalam hal keadaan mereka berbeda menurut Maliki dan Hanbali apabila
yang satu kaya dan lainnya miskin maka besar nafkah yang ditentukan adalah
setengah-setengah antara dua hal itu.30
Imam Syafi‟I dan para sahabatnya berkata, “Nafkah itu harus ditentukan
dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang
28
Muhahmmad Muhyial-Din Abdal-Hamid, Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari‟ah Al
Islamiyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1404 H/1989 M), h. 349.
29 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 107.
30 Ibid, h. 107.
Page 36
26
menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu
kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan”.31
Di kalangan Hanafi terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan
berdasar kondisi suami-istri, dan yang kedua dengan berdasar kondisi suami
saja.32
B. Mut’ah Menurut Fiqih
1. Pengertian Mut’ah
Kata Mut‟ah berasal dari kata (متع-)يمتع yang berarti membawa pergi. Jika
kata Mut‟ah digabung dengan kata Thalaq (الطالق maka artinya adalah (متعت
barang-barang pemberian kepada istrinya yang ditalaknya.33
Dari pengertian kata
mut‟ah dari bahasa Arab ini dapat dipahami bahwa mut‟ah dalam talak adalah
suatu pemberian yang diberikan oleh suami kepada mantan istrinya sebagai
penghibur.
Pengertian kata mut‟ah dalam bahasa Indonesia dikutip dari kamus besar
Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan
suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas
istrinya.34
31
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam al-
Qur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158.
32 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 107-108.
33 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakaraya Agung), h. 409.
34 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi
keempat, h. 945.
Page 37
27
Dari pengertian kata Mut‟ah secara bahasa baik dari kamus bahasa Arab
maupun kamus Indonesia di atas memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda.
Jadi dapat disimpulkan kata Mut‟ah secara bahasa adalah pemberian sepadan dari
suami yang diberikan kepada mantan istrinya sebagai penghibur, baik berupa
uang ataupun barang.
2. Dasar Hukum Mut’ah
Artinya: “kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-
orang yang bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah[2]: 241)
Menurut Abu Ja‟far yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya
“kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah mut‟ah (pemberian) oleh
suaminya” ini adalah: sesuatu yang dapat menyenangkan berupa baju, pakaian,
nafkah, pelayan, atau lainnya yang dapat menghibur hatinya.35
3. Pandangan Ulama Tentang Hukum Membayarkan Mut’ah
Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan mut‟ah ialah pemberian
yang diberikan oleh suami kepada istrinya yang telah diceraikannya.36
Mazhab
Maliki mengartikannya sebagai kebaikan untuk perempuan yang diceraikan ketika
35
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid 2, (Kairo:
Darussalam, 2007), 1424.
36 Kamal Muchtar, Asas
2 hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 215.
Page 38
28
terjadi perceraian dalam kadar sesuai dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta
si suami.37
Ulama Mazhab berbeda pendapat mengenai kategori istri yang berhak
mendapat Mut‟ah setelah diceraikan.
a. Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi mut‟ah hukumnya wajib dalam dua bentuk
perceraian. Pertama, Perceraian mufawwidhah (tanpa mahar) sebelum terjadi
persetubuhan. Atau disebutkan mahar untuk si istri dengan penentuan yang rusak.
Maksudnya, perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dan khalwat
dalam pernikahan yang di dalamnya tidak disebutkan mahar, dan tidak diwajibkan
setelahnya atau penentuannya rusak. Pendapat ini disepakati oleh jumhur selain
Mazhab Maliki.38
Kewajiban mut‟ah ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam QS.
Al-Baqarah (2) ayat 236. Allah SWT memerintahkan untuk memberikan mut‟ah
dan perintah memiliki arti wajib. Hal ini ditegaskan dalam penghujung ayat yang
berbunyi,
37
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6829.
38 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6830.
Page 39
29
Artinya: tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut
yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 236)
Juga karena mut‟ah dalam kondisi ini merupakan pengganti setengah
bagian mahar wajib. Pengganti wajib adalah wajib karena dia menempati
posisinya, seperti halnya tayammum yang merupakan pengganti wudhu.39
Kedua, Perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dalam
pernikahan yang di dalamnya tidak disebutkan mahar, hanya saja diwajibkan
setelahnya, menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, berdasarkan firman
Allah SWT Surat Al- Ahzab ayat 49. 40
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Qs. Al-Ahzab[33]: 49)
39
Ibid, h. 6830.
40 Ibid, h. 6830.
Page 40
30
Mut‟ah itu hukumnya sunnah menurut pandangan Mazhab Hanafiyah
dalam keadaan thalak yang terjadi setelah dukhul, dan juga dalam keadaan thalak
sebelum dukhul dalam pernikahan yang didalamnya telah ditentukan maharnya.
Karena sesungguhnya mut‟ah itu diwajibkan sebagai pengganti dari setengah
bagian mahar. Maka jika mahar musamma atau mahar mitsil telah didapatkan
setelah dukhul maka tidak perlu lagi mut‟ah.41
b. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, sesungguhnya mut‟ah disunnahkan untuk setiap
perempuan yang ditalak.42
Mereka berpendapat, ada tiga jenis perempuan yang
ditalak;
1) perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum disebutkan mahar
(perempuan mufawwidhah) memiliki hak mut‟ah, dan tidak memliki hak
sedikit pun pada mahar.
2) Perempuan yang ditalak sebelum digauli, dan setelah disebutkan maharnya
tidak memiliki hak mut‟ah.
3) Perempuan yang ditalak setelah digauli, baik sebelum disebutkan mahar
maupun setelahnya, memiliki hak mut‟ah.
Tidak ada hak mut‟ah pada setiap perpisahan yang di pilih oleh
perempuan, seperti perempuan yang terkena penyakit gila, kusta dan lepra juga
pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat khulu‟, ataupun li‟an.43
41
Ibid, h. 6831.
42 Ibid, h. 6831.
43 Ibid, h. 6831.
Page 41
31
c. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi‟I mereka berpendapat, mut‟ah wajib untuk setiap
perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi
persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang sebelum digauli yang
telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah
bagian mahar.
Mut‟ah harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum
digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah mahar. Menurut pendapat yang
paling zahir juga wajib diberikan bagi perempuan yang telah digauli dan pada
setiap perpisahan yang bukan disebabkan oleh si istri. Perpisahan ini terjadi akibat
disebabkan si suami, seperti kemurtadan, li‟an, dan keislamannya. Sedangkan
perempuan yang mesti mendapatkan setengah bagian mahar, dia mesti
mendapatkannya. Sedangkan perempuan mufawwidhah yang tidak ditetapkan
sedikitpun mahar untuknya, berhak untuk mendapatkan mut‟ah.44
Sedangkan jika ditetapkan sesuatu bagi si perempuan dalam nikah tafwidh
maka tidak ada mut‟ah untuknya karena suami tidak mendapatkan manfaat
sebagiannya, maka cukup dengan setengah bagian maharnya akibat rasa
kesendirian, dan kehinaan yang dirasakan yang disebabkan perceraian.45
44
Ibid, h. 6831-6832.
45 Ibid, h. 6832.
Page 42
32
d. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sependapat dengan Mazhab Hanafi secara general, yaitu
mut‟ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan budak, orang muslim dan ahli
dzimmah untuk setiap istri mufawwidhah yang ditalak sebelum digauli, dan
sebelum ditetapkan mahar untuknya.46
Menurut mereka mut‟ah disunnahkan bagi setiap perempuan yang
diceraikan yang selain mufawwidhah yang tidak ditetapkan mahar untuknya,
berdasarkan QS Al-Baqarah 241. Mut‟ah diwajibkan untuk perempuan yang tidak
ditetapkan mahar untuk mereka, dan bagi perempuan yang diberikan setengah
mahar musamma.
Tidak ada mut‟ah bagi perempuan yang ditinggal mati karena nash Al-
Qur‟an tidak menyebutkannya, dan yang disebutkan hanyalah perempuan yang
ditalak. Mut‟ah gugur pada setiap objek yang membuat mahar gugur didalamnya,
seperti tindakan kemurtadan dan penyusuan yang membuat batal pernikahannya.47
Orang yang diwajibkan memberikan setengah bagian mahar kepada si
isteri, tidak wajib memberikan mut‟ah untuknya. Apakah itu adalah perempuan
yang ditentukan mahar untuknya ataupun tidak ditentukan mahar untuknya tetapi
ditetapkan setelah akad. Ini sependapat dengan pendapat jumhur selain Abu
hanifah dan Muhammad.
46
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6832.
47 Ibid, h. 6832-6833.
Page 43
33
Tidak ada mut‟ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah
terjadi persetubuhan, atau perempuan mufawwidhah setelah terjadi persetubuhan.
Akan tetapi, disunnahkan mut‟ah untuknya.48
4. Kadar Pemberian Mut’ah
Tidak ada nash yang menentukan kadar dan jenis mut‟ah, sehingga para
fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi
menentukan kadar mut‟ah adalah tiga buah baju, rompi (pakaian yang dikenakan
orang perempuan diatas baju), kerudung, jubah yang dipergunakan orang
perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki,49
berdasarkan firman Allah SWT,
…
Artinya: “…yaitu pemberian yang patut. “Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Al-Baqarah 236).
Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar mitsil jika
suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil juga
tidak kurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin.
Yang difatwakan adalah bahwa sesungguhnya mut‟ah dianggap sesuai
dengan kondisi suami-istri seperti nafkah. Jadi jika keduanya adalah orang kaya,
si istri berhak mendapat sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Jika keduanya
48
Ibid, h. 6833.
49 Ibid, h. 6834.
Page 44
34
adalah orang miskin, maka sesuatu yang lebih rendah. Jika kondisi keduanya
berbeda, maka yang pertengahan.50
Mazhab Syafi‟I berpendapat, Mut‟ah sebaiknya tidak kurang dari 30
dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah yang paling rendah. Mut‟ah
tertinggi adalah memberikan pembantu, dan yang tengah-tengah adalah
memberikan pakaian; dan sunahnya ialah mut‟ah itu tidak melebihi separuh nilai
mahar mitsil. Namun, Jika sampai setengah atau melebihi mahar boleh, 51
dengan
kemutlakan Surat al-Baqarah ayat 236,
… …
Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula),…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 236)
Jika suami-istri saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilai
dengan hasil ijtihadnya sesuai dengan kelayakan kondisi dengan memperhatikan
kondisi kedua suami-istri, sebagaimana dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang
berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat.52
Dasar hukum yang digunakan kalangan
Mazhab Syafi‟I ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah 236.
… …
50
Ibid, h. 6834.
51 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6834.
52 Ibid, h. 6834.
Page 45
35
Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula),…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 236)
Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat, mut‟ah dilihat dari kondisi kaya
dan miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang miskin
juga sesuai dengan kadarnya. Berdasakan ayat 233 surat Al-Baqarah di atas.
Tingkatan yang paling tingginya adalah pembantu, maksudnya nilai
pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya. Yang paling
rendah adalah jika si suami adalah orang miskin adalah pakaian lengkap yang
dapat digunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa
rompi dan kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendahnya
adalah tiga buah pakaian sebagaimana yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang
terdiri rompi (baju), kerudung yang menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan
perkatan ibnu Abbas, “mut‟ah yang paling tinggi adalah pembantu, kemudian
yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang paling rendah adalah
pakaian”. Secara zahir, yang paling rajah adalah pendapat ini.53
C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif di Indonesia
1. Nafkah Iddah dalam Hukum Positif
Nafkah Iddah adalah salah satu kewajiban yang timbul ketika terjadi
perceraian karena talak. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat
(c) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian maka pengadilan dapat mewajibkan
53
Ibid, h. 6834-6835.
Page 46
36
kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi mantan isteri.
Secara lebih rinci dalam KHI dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila
perkawinan putus karena talak maka bekas suami dapat diwajibkan beberapa hal.
Dalam poin b disebutkan salah satu kewajiban suami tersebut adalah untuk
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah
kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
Dari potongan pasal ini dapat dipahami bahwa mantan suami
berkewajiban untuk memberikan sejumlah nafkah kepada mantan istrinya selama
dalam masa iddah. Permohonan untuk meminta hak berupa nafkah iddah tersebut
dapat dilakukan bersama-sama permohonan ikrar talak dan bisa juga ketika ikrar
talak telah dilakukan, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam UU No 7 Tahun
1989 pasal 66 ayat 5.54
Kalau dicermati, suami mempunyai kewajiban ini karena perkawinan
mereka putus karena talak dalam hal ini talak raj‟I,55
yang mana dalam talak raj‟I
suami tersebut masih mempunyai hak untuk rujuk. Hal ini karena sesungguhnya
antara mereka masih menjadi pasangan suami istri sampai iddah istrinya habis.
54
Permohonan ini dapat dilakukan oleh pihak pemohon maupun termohon, lihat PP No 9
Tahun 1975 pasal 24 ayat b.
55 kecuali dalam talak ba‟in yang istrinya sedang hamil, maka mantan suaminya
berkewajiban juga memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai ia melahirkan lihat pasal
149 (b) KHI.
Page 47
37
Ketentuan tentang rujuk ini terlihat dari pasal 151 KHI yang menjelaskan
bahwa mantan isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal ini mengisyaratkan bahwa
yang paling berhak terhadap diri mantan istri tersebut adalah mantan suaminya,
ketika mantan suaminya ingin rujuk maka mereka diperbolehkan rujuk, dan
mantan istri tidak boleh menerima pinangan dari lelaki lain selama masa iddah ini.
Masa iddah ini selain untuk melihat rahim, juga berguna sebagai masa
pertimbangan bagi mantan suami apakah akan kembali, atau tetap bercerai. Maka
dari itu menurut penulis suami diwajibkan membayar nafkah pada masa iddah
karena istri tersebut tertahan dan tidak bisa menerima pinangan pria lain
disebabkan hak ruju‟ yang dimiliki suami, namun kewajiban suami memberikan
nafkah iddah akan gugur ketika mantan istri nusyuz.56
Mengenai ukuran nafkah iddah dalam peraturan di indonesia, penulis tidak
menemukan jumlahnya secara pasti. Namun dalam PP No. 9 Tahun 1975 dan
dalam UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa selama
berlangsungnya gugatan perceraian berdasarkan permohonan pemohon ataupun
termohon, pengadilan dapat menentukan jumlah nafkah yang harus ditanggung
oleh suami.57
Dari peraturan tentang Nafkah iddah ini, tidak terdapat pedoman khusus
tentang jumlah nafkah yang akan ditanggung suami. Hakim dalam hal ini akan
56
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz
lihat pasal 152 KHI.
57 Lihat PP No 9 Tahun 1975 Pasal 24 (2) dan UU Peradilan Agama No 7 Tahun 1989
Pasal 78.
Page 48
38
mencari jalan tengah agar nafkah yang akan dibebankan kepada suami tersebut
dapat membantu kebutuhan mantan istrinya, dan tidak terlalu memberatkan
mantan suami tersebut.
2. Mut’ah dalam Hukum Positif
Ketentuan mut‟ah ini telah diatur dalam hukum positif yang ada di
Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 41 (c) UU No 1 Tahun 1974. Dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa suami dapat dibebankan suatu kewajiban setelah
perceraian. Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci dalam KHI. Pada
pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan
kepada mantan suami. Pada poin (a) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian
karena talak mantan suami berkewajiban untuk memberikan mut`ah yang layak
kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut
qobla al dukhul.
Dalam KHI dijelaskan pada pasal 158 bahwa suami menjadi wajib
memberikan mut‟ah jika:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Berdasarkan pasal 158 ayat (b) ini, jika perceraian tersebut berasal dari
kehendak istri yaitu dengan jalan khulu‟, maka suami tidak wajib untuk
membayarkan mut‟ah kepada mantan istrinya. Suami berkewajiban memberikan
mut‟ah apabila syarat yang terdapat dalam KHI pasal 158 tersebut ada. Apabila
tidak terdapat ketentuan yang disebutkan dalam pasal 158 KHI ini, maka suami
tidak wajib untuk memberikan mut‟ah kepada mantan istrinya. Hukum suami
Page 49
39
memberikan mut‟ah ketika tidak terpenuhinya ketentuan pasal 158 KHI ini
menjadi sunnah, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 159 KHI “Mut`ah
sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158”.
Mengenai ukuran mut‟ah yang dibebankan kepada mantan suami, tidak
terdapat pedoman khusus dalam peraturan perundangan. Namun dalam pasal 160
KHI dijelaskan bahwa ukuran mut‟ah ditentukan berdasarkan kemampuan suami.
Sehingga besar/kecilnya mut‟ah tergantung kemampuan suami.
Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟I dan para sahabatnya, mereka
berpendapat bahwa, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti
tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam
hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin.58
58
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam al-
Qur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158.
Page 50
40
BAB III
ASAS PERADILAN DAN GAMBARAN PRAKTEK IKRAR TALAK
A. Asas–Asas Peradilan
1. Asas-Asas Peradilan Agama
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan umum,
kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tersebut1 (Kini UU No. 7 Tahun 1989 telah mengalami dua kali perubahan,
perubahan pertama UU. No 3 Tahun 2006, Perubahan kedua UU No. 50 Tahun 2009).
Dalam Peradilan Agama dikenal adanya beberapa asas sebagai berikut.
a. Asas Personalita keIslaman
Asas personalita keIslaman berarti, mereka yang tunduk dan dapat
ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang
mengaku pemeluk Agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam atau non
muslim tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada kekuasaan
lingkungan Peradilan Agama.2 Asas personalita keIslaman ini diatur dalam pasal
1, pasal 2, serta pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 (yang telah dirubah
1 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 5. 2 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 56.
Page 51
41
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun
2009) tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan ketentuan di atas, ketika Pengadilan Agama memutus perkara
antara orang yang tidak beragama Islam, maka terhadap putusan Pengadilan
Agama tersebut dapat dilakukan upaya hukum banding ataupun PK. Selama
proses persidangan masih berlangsung para pihak juga bisa melakukan eksepsi,
karena dalam hal ini perkara tersebut tidak termasuk wewenang Pengadilan
Agama.
b. Asas Tidak Boleh Menolak Perkara dengan Alasan Hukum Tidak
Jelas
Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas diatur
di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman.
Pengadilan merupakan lembaga yang bertugas memeriksa, menyelesaikan
dan memutus perkara. Dalam hal hakim tidak menemukan hukum tertulis
(peraturan perundang-undangan), hakim wajib berijtihad dan menggali hukum
yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana, dan
bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Page 52
42
Badan peradilan yang dalam hal ini hakim harus tanggap atas kebutuhan
pencari keadilan. Selain itu hakim juga harus menggali, mengikuti, dan
memahami niali-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.3
c. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989
(telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU
No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama yang berbunyi: pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Pengertian makna legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule
of law pengadilan mengadili menurut hukum sama maknanya dengan pengadilan
mengadili berdasar rule of law. Ini berarti hakim yang berfungsi dan berwenang
menggerakkan jalannya roda peradilan melalui badan pengadilan, tidak boleh
bertindak di luar hukum.4
Semua nilai normatif yang berkembang dari komponen sumber nilai
seperti agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan merupakan rule
of law dari suatu masyarakat bangsa. Sehingga hukum yang hendak ditegakkan
para hakim melalui fungsi dan kewenangan peradilan ialah semua nilai normatif
yang terdapat dalam peraturan dan perundang-undangan serta yang bersumber
3 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. (Jakarta: PT. Tatanusa, 2013), h. 165. 4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989), h. 82.
Page 53
43
dari nilai-nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan
kepatutan.5
d. Asas Equality
Pengertian asas equality adalah persamaan hak. Jika asas equality
dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di
sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”.6
Tujuan asas equality dalam praktek Peradilan Agama diantaranya terdapat
tiga hal yang paling fundamentum.
(1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan
pengadilan atau equal before the law,
(2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the
law,
(3) Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice
under the law atau equal treatment uder the law.
Ketiga hal inilah pedoman dalam menerapkan persamaan hak dan
kedudukan dalam proses peradilan. Serta sekaligus ketiga hal itulah makna yang
terkandung dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.7
5 Ibid, h. 83.
6 Ibid, h. 85.
7 Ibid, h. 86.
Page 54
44
e. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam pasal 57
ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 (kini dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama.
Makna yang dicita-citakan adalah pertama, suatu proses pemeriksaan yang relatif
tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan
kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang memang sudah sederhana
jangan sengaja dipersulit oleh hakim ke arah proses pemeriksaan yang berbelit-
belit dan tersendat-sendat. Jangan sampai jalannya pemeriksaan “mundur terus”,
untuk kesekian puluh kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum.
Kedua, penerapan asas ini tidak boleh mengurangi “ketepatan”
pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesedehanaan,
kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum,
kebenaran, dan keadilan.8
Dalam suatu putusan yang cepat dan tepat terkandung keadilan yang
“bernilai lebih”. Ketepatan putusan sesuai hukum, kebenaran dan keadilan itu saja
sudah mengandung nilai keadilan tersendiri, dan dengan kecepatan
penyelesaiannya pun mengandung nilai keadilan tersendiri, sehingga dalam
8 Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU
No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 70-71.
Page 55
45
putusan yang cepat dan tepat terdapat penjumlahan rasa nilai keadilan yang saling
mengisi dalam penegakkan hukum.9
f. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum
Secara harfiah, makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum, berarti
setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan, siapa saja yang ingin
berkunjung menghadiri, menyaksikan, dan mendengar, jalannya pemeriksaan,
tidak boleh dihalangi dan dilarang. Selain dari pihak-pihak yang berperkara dan
saksi, masyarakat umum tanpa kecuali boleh menghadiri pemeriksaan
persidangan tanpa mempersoalkan apakah dia berkepentingan atau tidak. Maka
untuk memenuhi syarat formal atas ini, sebelum hakim mulai melakukan
pemeriksaan, lebih dulu menyatakan dan mengumumkan: “persidangan terbuka
untuk umum”. Kelalaian memenuhi syarat formal tersebut dapat dianggap
melanggar tata tertib pemeriksaan.
Tujuan utama yang terkandung dalam asas persidangan terbuka, agar
jangan sampai terjadi pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Agar jalannya sidang
pemeriksaan berlangsung tidak memihak, dan tidak berat sebelah, Undang-
Undang merasa perlu mempesilakan masyarakat untuk menyaksikannya. Segi
lain, asas ini juga berdampak “edukasi” dan “prevensi”.10
Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam
pemeriksaan perkara perceraian. Mengenai pengecualian ini, pasal 59 ayat 1 UU
9 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989), h. 72. 10
Ibid, h. 73.
Page 56
46
No. 7 Tahun 1989 (telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan
kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama sendiri sudah
membuka kemungkinan itu dalam rumusan: “kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain”. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan “lex
specialis drogat lex generalis”. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan
umum. Keadaan inilah yang diatur dalam pasal 80 ayat ayat 2 UU No. 7 Tahun
1989 jo PP No. 9 Tahun 1975 pasal 33 yang berbunyi “pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.11
Pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau
selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses
pemeriksaaan, dan tidak meliputi pengucapan putusan. Sebagaimana tercantum
dalam pasal 81 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 jo pasal 34 ayat 1 PP No. 9 Tahun
1975 yang berbunyi, “putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Ketentuan ini bersifat
“imperative” dan bernilai sebagai aturan “ketertiban umum” yang tidak bisa
dikesampingkan dengan alasan apa pun. Pelanggaran atas ketentuan ini
mengakibatkan putusan “batal demi hukum”.12
g. Asas kebebasan
Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, merujuk dan bersumber kepada ketentuan
yang diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 1 ayat 1 dan
11
Ibid, h. 74. 12
Ibid, h. 76-77.
Page 57
47
pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maksud
asas kebebasan ini terbatas dan relative dengan acuan berikut.
(1) Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya.
(2) Bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomnedasi yang dating dari pihak
extra judicial.
(3) Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan).
Sifat kebebasannya “tidak mutlak”, tapi kebebasan hakim terbatas dan
relatif dengan acuan:
Menetapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang
diperiksanya, sesuai dengan asas dan statute law must prevail (ketentuan Undang-
Undang harus diunggulkan);
Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran
yang dibenarkan (penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa, anologis, dan a
contrario), atau mengutamakan keadilan dari pada peraturan perundang-undangan,
apabila ketentuan Undang-Undang tidak potensial melindung kepentingan umum.
Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin equity must prevail (keadilan
harus diunggulkan).
Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasar-
dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak
tertulis (hukum adat), yurispudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni
Page 58
48
mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama,
kepatuhan, dan kelaziman.13
h. Asas Wajib Mendamaikan
Asas kewajiban hakim mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat
sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh
menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melaui pendekatan ishlah.
karena itu, layak sekali hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban
fungsi “mendamaikan”. Sebab bagaimanapun adilnya putusan, namun akan lebih
baik dan lebih adil hasil perdamaian.14
Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam UU No. 7 tahun 1989. Asas
tersebut tercantum dalam pasal 65 dan pasal 82. Jika rumusan kedua pasal ini
diteliti, bunyi rumusan dan maknanya sama dengan apa yang tercantum dalam
pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975, yang
berbunyi:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua
belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.15
13
Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU
No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 61-62. 14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989), h. 65. 15
Ibid, h. 67.
Page 59
49
Rumusan pasal-pasal tersebut sejajar dengan prinsip hukum acara perdata
yang diatur dlam pasal 130 HIR atau pasal 154 RBG, yang mengatur tata tertib
prosese pemeriksaan perkara.16
Ketentuan dari asas ini berimplikasi pada lahirnya PERMA RI tentang
mediasi. Dalam rumusannya menekankan agar hakim selama masa persidangan
selalu berusaha untuk mendamaikan pihak yang berperkara, karena seadil apapun
sebuah putusan, tidak akan dapat mengalahkan keadilan yang terkadung dalam
perdamaian.
2. Asas-Asas Eksekusi
Putusan hakim dapat dilaksanakan Secara sukrela, atau Secara paksa
dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak mau
melaksanakan secara sukarela.17
Ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak
yang dikalahkan, maka terhadap putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan
eksekusi. Ekesekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu pekara, yang merupakan aturan
dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi
16
Ibid, h. 68. 17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 313.
Page 60
50
tiada lain daripada tindakan berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum
acara perdata.18
Berbicara mengenai eksekusi putusan berarti berbicara mengenai tindakan
yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.19
Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur
mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 R.Bg.20
Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewjisde) yang dapat “dijalankan”.21
Asas-asas yang terkandung
dalam eksekusi adalah:
a. Eksekusi (Pelakasanaan Putusan) Dijalankan Terhadap Putusan yang
Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Inilah salah satu asas atau prinsip yang mesti diperhatikan pada saat
hendak melakukan eksekusi. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara dijelaskan, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan (pasal 115 UU No. 5/86).22
Karena hanya
dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkandung wujud hubungan
hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara pihak yang berperkara.23
18
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi
kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 1. 19
Ibid, h. 7. 20
Ibid, h. 2. 21
Ibid, h. 7. 22
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT
RINEKA CIPTA, 2004), h. 214. 23
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, h. 7.
Page 61
51
Akan tetapi pada asas tersebut terdapat pengecualian. Dalam kasus-kasus
tertentu, Undang-Undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang
belum memperoleh kekuatan hukum tetap.24
b. Eksekusi Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan25
Pelaksanaan eksekusi hanya dapat dilakukan atas perintah ketua
Pengadilan. Jadi ketika pihak yang menang ingin melakukan tindakan eksekusi
harus mendapat persetujuan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, kemudian
barulah tindakan eksekusi bisa dilaksanakan. Tahap pertama sebelum eksekusi
dilaksanakan adalah pemberian peringatan kepada pihak yang kalah agar
melaksanakan isi putusan.
c. Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang Bersifat
Condemnatoir
Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar
atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena
begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang
dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau
dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula.
Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk:
a) Menyerahkan suatu barang;
b) Mengosongkan sebidang tanah;
c) Melakukan suatu perubahan tertentu;
24
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 214. 25
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 119.
Page 62
52
d) Menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
e) Membayar sejumlah uang.
Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari poin a sampai dengan poin
d adalah penghukuman yang berbentuk ekesekusi rill, sedangkan e adalah
eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada umumnya eksekusi rill sangat
sederhana dan hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi
sengketa adalah sebidang tanah, maka eksekusi rillnya terbatas pada pengosongan
dan penyerahan tanah yang menjadi sengketa. Eksekusi rill tidak dapat
berkembang terhadap harta tergugat yang lain.
Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku asas obyek
eksekusi meliputi semua harta debitur, dengan kata lain sampai semua hutang
(tagihan) terlunasi. Ini sesuai dengan prinsip hukum perdata yang menentukan
semua harta kekayaan debitur memikul beban untuk melunasi hutang kepada
kreditur sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.26
d. Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang Tidak Dijalankan
Secara Sukarela
Dalam menyikapi putusan, adakalanya pihak yang kalah melakukannya
secara sukarela dan ada juga yang tidak ingin melakukannya. Ketika pihak yang
kalah melakukan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela
sesuai dengan putusan yang ada, maka tindakan eksekusi tidak dibutuhkan lagi.
26
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 216.
Page 63
53
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum
apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan
secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia mentaati dan memenuhi putusan
secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus
dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan
putusan secara eksekusi.27
e. Eksekusi Harus Sesuai dengan Amar Putusan28
Pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan amar dalam putusan. Eksekusi
tidak bisa dilaksanakan terhadap sesuatu yang tidak diputuskan dalam putusan
hakim. Pelaksanaan eksekusi terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam putusan
tidak dibenarkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. Deskripsi Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Batusangkar Tahun
2014
Dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dijelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu. Perkara perdata tertentu yang dimaksud pasal
2 di atas dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 perubahan
atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara rinci.
27
Ibid, h. 215-216. 28
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 119.
Page 64
54
Wewenang Absolute Peradilan Agama berdasarkan pasal 49 tersebut
adalah dalam bidang Perkawinan, Warisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah, Ekonomi Syariah. Pengadilan Agama Batusangkar merupakan salah
satu lembaga Peradilan tingkat pertama yang berada di Batusangkar. Sebagai
lembaga Peradilan Agama, Pengadilan Agama Batusangkar juga berkewajiban
terhadap perkara-perkara yang disebut dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3
tahun 2006 di atas, yang telah mengalami perubahan menjadi UU No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
Selama tahun 2014 Pengadilan Agama Batusangkar sebagai salah satu
Pengadilan Agama di Indonesia telah menangani sejumlah kasus dari berbagai
kategori, hal ini dapat dilihat dalam table sebagai berikut:
Table 1. Statistik Perkara Pada Tahun 2014
No JENIS PERKARA
Sisa
Tahun
lalu
Tahun 2014 Masuk Jmlh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A PERKAWINAN
1 Izin poligami 0
2 Pencegahan Perkawinan 0
3 Penolakan Perkawinan oleh
PPN 0
4 Pembatalan Perkawinan 1 1
5 Kelalaian atas kewajiban suami
istri 0
6 Cerai Talak 20 13 13 14 4 14 11 12 21 10 15 8 1 156
7 Cerai Gugat 46 38 47 25 26 34 29 9 50 45 28 31 4 412
8 Harta Bersama 1 1
9 Penguasaan anak/pengangkatan
anak 1 1 1 3
10 Nafkah anak oleh ibu 0
11 Hak-hak bekas istri 0
12 Pengesahan anak 0
13 Pencabutan kekuasaan orang tua 0
14 Perwalian 0
Page 65
55
15 Pencabutan Kekuasaan Wali 0
16 Penunjukkan orang lain sebagai
wali/adopsi 0
17 Ganti rugi terhadap wali 0
18 Asal usul anak 0
19 Penetapan kawin campur 0
20 Isbat nikah 5 3 13 19 13 4 10 3 10 8 9 6 5 108
21 Izin kawin 0
22 Dispensasi kawin 3 2 2 1 1 1 3 1 14
23 wali adhol 1 1 1 1 1 5
B EKONOMI SYARIAH 0
C KEWARISAN 0
D WASIAT 0
E WAKAF 0
F ZAKAT/INFAQ/SHADAQOH 0
G P3HP/PENETAPAN AHLI
WARIS 1 1
H LAIN-LAIN / JUMLAH 0
JUMLAH 72 55 77 62 46 54 51 24 83 68 53 46 10 701
Dari table di atas terlihat jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama
Batusangkar pada tahun 2014 sekitar 629 perkara. Jika ditambahkan dengan
jumlah perkara yang bersisa pada tahun sebelumnya, maka jumlah perkara yang
ditangani Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah 701 perkara.
Dari table di atas terlihat perkara yang paling banyak ditangani Pengadilan
Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah perkara cerai gugat, dan cerai talak.
Urutan ketiga perkara isbat nikah dan diikuti perkara dispensasi kawin. Gambaran
yang lebih jelas mengenai perkara cerai talak pada tahun 2014 dapat dilihat dari
grafik berikut.
Page 66
56
Gambar 1. Grafik Perkara Cerai Talak Tahun 2014 Perbulan
Dari grafik di atas, terlihat perkara masuk cerai talak yang paling banyak
terjadi pada bulan Agustus, dan yang paling sedikit terjadi pada bulan Desember.
Berdasarkan grafik perkara cerai talak ini, dapat disimpulkan bahwa perkara cerai
talak yang masuk pada tahun 2014 di Pengadilan Agama Batusangkar sebanyak
136 perkara. Hal ini bisa dilihat dari penjumlahan perkara masuk (warna biru)
perbulan. Jika ditambahkan dengan sisa dari perkara cerai talak tahun lalu maka
perkara cerai talak yang ditangani Pengadilan Agama pada tahun 2014 adalah 156
perkara.
Pada setiap bulan terdapat perkara yang masuk (warna biru), dan terdapat
perkara yang putus (warna merah). Pada bulan Januari perkara yang masuk adalah
13 perkara ditambah dengan sisa perkara tahun lalu maka perkara cerai talak yang
ditangani pada bulan Januari adalah 33 perkara. Pada bulan Januari perkara yang
putus sekitar 9 perkara, sehingga jumlah perkara cerai talak yang bersisa pada
bulan januari adalah 24 perkara (warna hijau). Sisa 24 perkara ini kemudian
ditambahkan dengan jumlah perkara yang masuk pada bulan Februari untuk
0
5
10
15
20
25
30
35
Masuk
Putus
Sisa
Page 67
57
melihat jumlah perkara yang ditangani pengadilan pada bulan Februari, begitulah
seterusnya.
Berdasarkan grafik di atas, terlihat perkara cerai talak yang ditangani PA
Batusangkar selama tahun 2014 adalah 156 perkara, dan perkara cerai talak putus
pada tahun 2014 adalah 145 perkara (92.9%). Perkara yang tersisa pada tahun
2014 adalah 11 perkara (7.1%). Terdapat penurunan sisa perkara kalau
dibandingkan dari tahun sebelumnya yang bersisa 20 perkara.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ditemukan dua alasan yang
sangat dominan yang dapat menyebabkan para pihak mengajukan perceraian.
Pertama, disebabkan tidak adanya tanggug jawab dari pasangannya. Kedua, tidak
ada keharmonisan dalam rumah tangganya.29
C. Gambaran Umum Proses Ikrar Talak
Tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam pasal 70, 71, dan 72 UU No.
7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal 70 ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 (kini telah dirubah menjadi
UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009)
tentang Peradilan Agama tersebut, ditegaskan bahwa, pelaksanaan ikrar talak baru
dapat dijalankan setelah penetapan permohonan cerai talak memperoleh kekuatan
hukum tetap. Tujuannya disamping memenuhi tuntutan asas peradilan yang
29
Data sebab perceraian tahun 2014.
Page 68
58
sederhana, dan cepat, sekaligus memberi kepastian kepada pihak suami isteri
untuk menempuh jalan dan kehidupan baru, terutama kepada pihak istri yang
sangat penting artinya, agar dia tidak berada dalam “kalmullqat” yakni dalam
keadaan terombang-ambing yang berkelamaan.30
Hal ini sangat tidak dikehendaki
ajaran Islam seperti yang diperingatkan dalam Qs. An-Nisa (4) :129.
Dalam memberikan putusan, hakim harus mengadili seluruh petitum
dalam permohonan dan tidak boleh mengadili lebih dari yang diminta dalam
petitum (pasal 178 HIR/pasal 189 R.Bg), kecuali Undang-Undang menentukan
lain. Hal tersebut dimaksudkan untuk terwujudnya perceraian yang adil dan ihsan,
di samping untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Putusan hakim mengabulkan permohonan cerai talak tersebut harus
berbentuk “PUTUSAN” dengan amar berjudul “MENETAPKAN”, kecuali jika
ada amar yang bersifat kondemnatoir, maka amar berjudul “MENGADILI”.31
Ketika putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak suami tidak serta
merta langsung bisa mengucapkan talaknya di persidangan. Dalam praktek ikrar
talak yang terjadi dalam persidangan di Pengadilan Agama Batusangkar, sebelum
pihak suami mengikrarkan talaknya, ia akan ditanyai tentang kewajiban yang
dibebankan kepadanya ketika timbul perceraian.
30
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 248. 31
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 219.
Page 69
59
Ketika suami mengatakan belum mampu mencukupi kewajiban yang
dibebankan kepadanya, maka hakim berdasarkan ijtihadnya akan menunda sidang
sampai suami tersebut telah mampu untuk membayarkan kewajibannya.32
Namun apabila pada saat sidang ikrar talak tersebut suami telah membawa
kewajibannya, maka persidangan ikrar talak dapat dilaksanakan.33
Dalam sidang
tersebut, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik
untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri
atau kuasanya.
Jika isteri telah dipanggil secara patut dan sah, tetapi tidak datang
menghadap sendiri dan tidak pula mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya
mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
Jika suami telah dipanggil dengan patut dan sah untuk mengucapkan ikrar
talaknya di depan sidang, tetapi tidak datang menghadap sendiri dan tidak pula
mengirimkan wakilnya, maka kedepannya diberikan tenggang waktu selama 6
bulan terhitung sejak tanggal hari sidang penyaksian ikrar talak tersebut.
Jika dalam waktu 6 bulan suami tidak datang lagi untuk melaporkan diri
bahwa ia akan mengucapkan ikrar talak, maka gugurlah kekuatan putusan
tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.34
32
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar, 17 Maret 2015. 33
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar) di ruang wakil ketua. Batusangkar. 17 Maret 2015. 34
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 220.
Page 70
60
Dalam hal di atas, maka hakim membuat “Penetapan” yang isinya
menyatakan bahwa tenggang waktu untuk mengucapkan ikrar talak habis dan
kekuatan putusan telah gugur. Penetapan tersebut dicatat dalam berita register
induk perkara yang bersangkutan.
Jika dalam tenggang waktu 6 bulan tersebut, suami kemudian melaporkan
diri bahwa ia tetap bermaksud untuk mengucapkan ikrar talak, maka Pengadilan
Agama dapat membuka sidang lagi guna penyaksian ikrar talak dimaksud dengan
memanggil suami isteri atau wakilnya.
Sidang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum. Dalam sidang
tersebut, suami mengucapkan ikrar talak. Panitera mencatat segala hal ihwal yang
terjadi dalam sidang penyaksian ikrar talak ini dalam Berita Acara Persidangan.35
Hakim membuat “Penetapan” yang isinya “Menetapkan” perkawinan
antara pemohon dengan termohon putus karena perceraian.36
35
Ibid, h. 220-221. 36
Ibid, h. 221.
Page 71
61
BAB IV
PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH
DI PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR
A. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah di Pengadilan Agama
Batusangkar
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai dasar hukum dari
praktek ikrar talak. Sebagaimana dalam pasal 70 Undang-Undang Peradilan
Agama dijelaskan bahwa, suami yang ingin mentalak istrinya, dapat mentalak
istrinya setelah penetapan permohonan cerai talak berkekuatan hukum tetap.
Penetapan cerai talak dapat berkekuatan hukum tetap apabila telah
melewati masa 14 hari setelah penetapan dibacakan. Selama dalam masa 14 hari
tersebut penetapan belum berkekuatan hukum tetap, dan ikrar talak belum bisa
dilaksanakan. Selama dalam masa 14 hari tersebut, masing-masing pihak dapat
melakukan upaya hukum terhadap penetapan permohonan cerai talak. Ikrar talak
dapat dilakukan paling lama dalam waktu 6 bulan setelah penetapan permohonan
cerai talak berkekuatan hukum tetap dan setelah Pengadilan menentukan hari
sidang ikrar talak.1
Proses ikrar talak suami tersebut akan dianggap sah jika dilakukan di
depan persidangan. Apabila suami yang telah mendapat penetapan permohonan
cerai talak tersebut mengikrarkan talaknya di luar persidangan maka
1Lihat pasal 70 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Page 72
62
perceraiannya tidak dianggap sah, karena ikrar talak harus dilakukan di
persidangan. Jika masa 6 bulan tersebut telah terlewati, maka hak suami untuk
mengikrarkan talaknya menjadi gugur, dan jika ia ingin mentalak istrinya harus
mengajukan permohonan baru, dan tidak bisa diajukan lagi menggunakan alasan
yang sama.
Ketentuan tentang kewajiban-kewajiban suami selepas perceraian telah
dibahas dalam Undang-Undang Perkawnian, PP No. 9 Tahun 1975 dan juga KHI.
Namun dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan kapan kewajiban tersebut harus
dibayarkan.
Di Pengadilan Agama Batusangkar, praktek pembayaran kewajiban-
kewajiban suami tersebut dilakukan satu kali, yaitu pada saat ikrar talak di
persidangan.2 Praktek yang terjadi ini berdasarkan kepada ijtihad hakim, karena
mengenai waktu pembayaran kewajiban tersebut tidak diatur dalam peraturan.
Dalam pelaksanaanya, hakim memberitahukan kepada suami pada saat
pembacaan putusan (tentang cerai talak), untuk membawa kewajibannya pada saat
ikrar talak. Setelah hakim membacakan amar putusan, hakim menanyakan apakah
para pihak telah mengerti dengan amar putusan tersebut, kemudian meminta
kepada suami untuk membawakan kewajibannya sebagaimana dalam amar pada
saat ikrar talak.3
2Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
3Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar).di ruang wakil ketua. Batusangkar.17 Maret 2015.
Page 73
63
Praktek pembayaran kewajiban suami pada saat sidang ikrar talak ini tidak
didasari peraturan, tapi hanya berdasarkan ijtihad hakim. Hakim melihat
bagaimana supaya si suami membayarkan kewajibannya. Hal ini juga untuk
kemaslahatan istri, karena dikhawatirkan suami tersebut akan mengabaikan
kewajibannya ketika telah diizinkan ikrar talak, karena pada dasarnya suami
mengajukan cerai karena hubungan mereka tidak harmonis lagi.4
Dari pernyataan Yusnizar di atas, terlihat bahwa ijtihad hakim mengenai
permasalahan ini didasari untuk melindungi istri, karena ditakutkan jika suami
diizinkan mengucapkan ikrar talak sebelum membayarkan kewajibannya, ia dapat
lari dan mengabaikan mantan istrinya, sehingga mantan istri menjadi terzolimi.
B. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa Kewajiban
Dalam Undang-Undang telah diatur bahwa suami dapat dibebankan
beberapa kewajiban ketika terjadi perceraian. Dalam prakteknya, hakim meminta
suami agar membayarkan kewajibannya kepada isteri pada saat sidang ikrar talak.
Namun terkadang pada saat sidang ikrar, suami tidak membawa kewajiban
yang dibebankan kepadanya. Alasan yang diberikan suami ketika tidak membawa
kewajiban adalah belum ada uang untuk membayar kewajibannya.5 Ada juga yang
sebenarnya sudah punya uangnya, tapi berusaha mengelak membayar dengan
mengatakan belum punya uang, hal ini terlihat karena pada saat persidangan akan
4Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
5Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di
rumah pribadi. Batusangkar, 19 Maret 2015.
Page 74
64
ditunda pihak suami langsung mengatakan bahwa ia telah memiliki uang, dan
meminta agar persidangan tidak ditunda.6
Ketika suami belum membawa kewajibannya dengan alasan apapun maka
ada beberapa langkah yang dilakukan hakim. Pertama, melakukan penundaan
sidang ikrar talak.7 Dalam persidangan ikrar talak, hakim dapat menunda
persidangan jika menurut hakim penundaan tersebut sangat diperlukan. Agar
putusan tidak hampa, dan mengandung manfaat bagi masing-masing pihak serta
mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak, maka penundaan persidangan
bisa saja dilakukan, lagi pula masa ikrar talak dalam pasal 70 UU PA adalah 6
bulan. Jadi selama 6 bulan itu suami masih bisa mengucapkan ikrar talak.8
Namun jika istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban
suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangan, maka
persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau ketika suami belum membawa
kewajibannya kemudian istri menyatakan kerelaannya di talak meskipun belum
mendapat hak, maka persidangan akan dilanjutkan, dan keterangan istri akan
dibuat dalam berita acara. Jika istri tidak rela maka persidangan akan ditunda.9
6Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
7Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
8Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di
rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
9Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015.
Page 75
65
Kedua, Pada saat sidang yang ditentukan ketika pihak suami belum
membawa kewajibannya, dalam hal ini hakim bertugas untuk menggugah hati
suami, agar dia sadar dan memberikan kewajibannya sehingga tidak ada yang
dirugikan.10
Hakim akan berupaya untuk menggugah hati suami agar menyadari
pentingnya nafkah iddah dan mut’ah dan hak istri lainnya bagi pihak istri, serta
mendorong pihak suami agar terpacu mengumpulkan uang sehingga berupaya
menabung untuk membayarkan kewajibannya. Semua itu hakim lakukan guna
menjadikan putusan berkeadilan, dan berkemanfaatan.11
C. Analisa Penulis
1. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah
Sejatinya suami yang telah melaksanakan rangkaian persidangan dapat
mengikrarkan talaknya apabila penetapan permohonan cerai talak yang
dikeluarkan majelis hakim yang bersangkutan telah berkekuatan hukum tetap. Hal
ini telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Peradilan Agama.
Namun proses ikrar talak akan menjadi sedikit berbeda, apabila pada amar
putusan terdapat poin yang menyatakan bahwa suami dibebankan suatu kewajiban
kepada mantan istrinya. Ketentuan suami dapat dibebankan kewajiban akibat
adanya perceraian ini telah diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun
10
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
11Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
Page 76
66
1974 tentang Perkawinan jo pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 jo pasal 149 KHI.
Kewajiban suami ketika terjadi perceraian ini dapat berupa barang ataupun uang.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai kewajiban suami yang
timbul dari perceraian, tapi dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan kapan suami
diharuskan membayarkan kewajibannya. Dalam praktek yang terjadi di
Pengadilan Agama Batusangkar, pembayaran kewajiban suami tersebut
dilaksanakan pada saat ikrar talak. Namun praktek pengadilan ini tidak didasari
pada peraturan.
Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 pasal
4 dinyatakan bahwa pengadilan mengadili berdasarkan hukum dengan tidak
membeda bedakan orang. Kalau dipahami dari pasal 4 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman di atas, terlihat bahwa praktek yang dilakukan pengadilan
ini tidak didasari pada peraturan sehingga tercermin seakan tidak sesuai dengan
maksud dalam pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan kehakiman tersebut.
Namun, dalam menerapkan hukum, hakim diperbolehkan untuk berijtihad,
ketentuan ini terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum sebagai teks itu diam dan
hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi hidup.12
Hukum itu bukan
merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan sangat bergantung
12
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 15
Page 77
67
pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang
merupakan penentu dan bukan hukum.13
Setiap Undang-Undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti
perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu
diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para hakim dengan
melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi atau konstruksi dengan
syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut, para hakim tidak boleh
memperkosa maksud dan jiwa Undang-Undang atau tidak boleh bersikap
sewenang-wenang.14
Dari kutipan di atas dapat dipahami, bahwa hukum yang ada sejatinya
tidak akan dapat berkompetisi dengan perkembangan masalah dalam masyarakat,
dan perubahan moral dalam masyarakat. Peradilan adalah lembaga yang
membantu para pencari keadilan untuk menemukan keadilan, ketika peraturan
yang ada tidak dapat memberikan rasa adil, maka hakim bisa berupaya
menggunakan ijtihadnya agar menghasilkan sesuatu yang mencerminkan
keadilan.
Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan beberapa hakim,
ditemukan bahwa hakim merasa praktek pembayaran kewajiban suami dalam
persidangan ikrar talak ini perlu dilakukan untuk kemaslahatan istri, karena
dikhawatirkan suami tersebut akan mengabaikan isteri, dan tidak membayarkan
13
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 39.
14Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni,
1984), h. 33.
Page 78
68
kewajibannya ketika telah diizinkan ikrar talak.15
Kalau dilihat dari alasan yang
disampaikan hakim, maka dapat dipahami bahwa hakim mengambil langkah
tersebut berdasarkan kaedah ushul:
ضساز زالنا
Artinya: Kemudharatan harus dihindarkan.
Kaedah ini menegaskan bahwa dalam menghadapi suatu perkara,
seseorang harus berusaha menghindarkan dirinya dari mudharat yang mungkin
akan ditimbulkan. Di sini penulis menguraikannya melalui contoh dalam Islam.
Dalam Islam memakan babi adalah haram, tapi ketika tidak ada makanan lain
selain babi, maka makanan yang haram tersebut menjadi boleh dimakan. Hal ini
bertujuan agar menghindarkan diri dari mudharat yang akan ditimbulkan jika
tidak memakannya.
Contoh di atas dapat dianalogikan kepada praktek yang dilakukan hakim
dalam merumuskan praktek pembayaran di persidangan. Praktek pembayaran ini
tidak diatur dalam peraturan. Tapi, jika praktek ini tidak diadakan, ditakutkan
suami yang telah diizinkan mengikrarkan talak tersebut akan mengabaikan
kewajibannya terhadap mantan istrinya. Jika putusan hakim tersebut tidak
dijalankan oleh suami maka secara otomatis pihak istri akan terzolimi. Untuk
menghindarkan mudharat yang dapat timbul, maka hakim berijtihad agar
putusannya dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga menerapkan praktek ini
dalam persidangan.
15
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
Page 79
69
Hal ini dalam Islam juga telah disinggung dari hadis Nabi, ketika sahabat
Muaz bin Jabal diutus Rasul ke Yaman.
سج ت غ ان أخ سو ات ع انحازث ت ، ع عى أت شعثح، ع س ع ع حا حفص ت حد
زسىل هللا )صهعى جثم: ا اصحاب يعرت ص ي اهم ح أاس ي ا ازاد شعثح، ع ( ن
تكتاب هللا. اذا عسض نك قضاء؟(( قال: اقض ف تقض قال: ))ك ثعج يعاذا انى ان
نى تجد كتاب هللا؟(( قال: فثسح زسىل هللا )صهعى( قال:))فا نى تجد ف سح قال: ))فا ف
وال انى، فضسب زسىل هللا كتاب هللا؟(( قال: اجتهد تسا زسىل هللا )صهعى( و ال ف
ا سض زسىل هللا(( د هلل انري وفق زسىل زسىل هللا ن .)صهعى( صدز، فقال: ))انح16
زوا اتى دود
Artinya: Hafsh bin Umar menyampaikan kepada kami dari Syu’bah, dan Abu
Aun, dari al-Harits bin Amr, keponakan al-Mughirah bin Syu’bah, beberapa
orang penduduk Hims, dari sahabat-sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa ketika akan
mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana caramu
memberikan putusan hukum jika nanti dihadapkan pada sebuah perkara?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan (merujuk kepada)
Kitabullah”. Beliau bertanya, “Jika engkau tidak mendapatkannya dalam
Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah SAW”. Beliau
bertanya, “Jika engkau tidak mendapatinya dalam sunnah Rasulullah dan
Kitabullah?” Mu’adz menjawab , “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan
aku akan bersungguh-sungguh”. Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah
atas hal yang diridhai oleh Rasulullah. (HR. Abu dawud).
Pada hadis ini dapat dipahami bahwa dalam Islam metode ijtihad juga
telah diterapkan semenjak zaman Nabi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa, ketika
peraturan tidak dapat menjelaskan secara rinci jalan keluar dari masalah yang
dihadapi, maka disanalah diperlukan nalar dan perasaan untuk menemukan
keadilan.
16
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Daud, hadis ke 3592
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1974), h. 552-553.
Page 80
70
Jadi, ketika hakim tidak menemukan pengaturan yang adil dalam peraturan
perundang-undangan, maka dalam menerapkan hukum, hakim harus
menemukannya dengan menggunakan kaidah-kaidah, moral atau berdasarkan
pertimbangan kepentingan sosial dan/atau pertimbangan-pertimbangan lainnya.17
2. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa Kewajiban
Ketika suami pada saat sidang ikrar yang telah ditentukan tidak membawa
kewajibannya, maka langkah yang akan dilakukan hakim Pertama, hakim akan
berupaya untuk menggugah hati suami agar menyadari pentingnya nafkah iddah
dan mut’ah dan hak istri lainnya bagi pihak istri, serta mendorong pihak suami
agar terpacu mengumpulkan uang sehingga berupaya menabung untuk
membayarkan kewajibannya.18
Langkah yang dilakukan hakim ini pada dasarnya sesuai dengan makna
pasal 58 ayat 2 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 yang manyatakan Pengadilan
membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
17
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 150.
18Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
Page 81
71
Nasehat dan arahan yang diberikan hakim dalam persidangan merupakan
salah satu perwujudan dari bantuan yang dapat diberikan hakim. Semua itu hakim
lakukan guna menjadikan putusan berkeadilan, dan berkemanfaatan.19
Kedua, Setelah memberikan nasehat kepada suami, hakim akan menunda
persidangan maksimal selama enam bulan.20
Tapi kalau istri mengatakan bahwa
masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan diselesaikan secara
kekeluargaan di luar persidangan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau
jika istri rela di talak meskipun belum mendapat hak, maka persidangan dapat
dilanjutkan dan keterangan istri akan dibuat dalam berita acara. Jika istri
mengatakan tidak ingin dithalak tanpa mendapat haknya, maka persidangan akan
ditunda.21
Tujuan dari praktek penundaan persidangan ini dapat dilihat dari kaedah
ushul berikut.
دزء انفاسد يقدو عهى جهة انصانح
Artinya: Mencegah keburukan lebih diutamakan dari mengambil kebaikan
Jika kaedah ushul ini dihubungkan dengan praktek pembayaran yang
dilakukan di Pengadilan, maka terlihat bahwa hakim berupaya agar putusan yang
dikeluarkan dapat berkeadilan, bermanfaat, dan melindungi kedua belah pihak,
19
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
20Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang
hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
21Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015.
Page 82
72
sehingga hakim lebih mengutamakan untuk memberikan jaminan hak kepada
isteri sebagai langkah untuk menghindarkan mudharat yang mungkin akan
ditimbulkan, ketimbang memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan
talaknya.
Ketika hakim tidak menunda persidangan maka persidangan akan berakhir
dengan cepat sehingga dapat mencerminkan asas peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan, tapi jika persidangan yang cepat tidak dapat memberikan keadilan
tentu tidak ada gunanya. Peradilan sebaiknya berjalan cepat, sederhana, biaya
ringan, tapi tidak ada gunanya persidangan cepat selesai kalau putusan yang
dikeluarkan tidak dijalankan.22
Sebelumnya telah disinggung bahwa pada dasarnya praktek pembayaran
kewajiban suami dalam persidangan tersebut tidak didasari peraturan, sehingga
seharusnya, ketika suami tidak membawa kewajibannya pada saat ikrar talak,
tidak menjadikan sidang ikrar talak ditunda. Praktek ini seakan melanggar asas
equality, asas keadilan, serta asas cepat, sederhana dan biaya ringan yang
merupakan asas-asas dalam peradilan.
Jika dilihat dari asas keadilan, praktek penundaan ini terkesan berpihak
kepada istri. Praktek penundaan ini seakan tidak mencerminkan keadilan bagi
suami. Pembayaran kewajiban suami tersebut seharusnya dapat dilakukan di luar
persidangan. Ketika pihak suami tidak membayarkan kewajibannya setelah ikrar,
22
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
Page 83
73
upaya yang dapat dilakukan istri tidak terputus. Praktek penundaan ini, seolah
mencerminkan keberpihakan hakim kepada istri.
Pada hakekatnya, ketika suami yang diizinkan mengikrarkan talak tersebut
tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana amar putusan, istri pada dasarnya
dapat mengajukan permintaan eksekusi ke Pengadilan. Dalam bab sebelumnya
telah disampaikan, bahwa eksekusi dapat dilakukan, jika putusan telah
berkekuatan hukum tetap, jika pihak yang dikalahkan tidak melaksanakan secara
sukarela, dan jika putusan bersifat kondemnatoir.
Secara lebih jelas proses eksekusi ini telah diatur dalam pasal 196 HIR
yang menyatakan “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi
keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan
permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1),
baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan.
Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya,
supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu,
selama-lamanya delapan hari”.
Kalau dilihat dari asas Equality atau persamaan hak. Praktek ini tampak
sedikit berpihak kepada istri. Penundaan yang dilakukan hakim terkesan
mengabaikan hak suami dan terlalu pro aktif terhadap hak istri. Karena
sesungguhnya kalau dirujuk dari pasal 196 HIR di atas, ketika suami tidak
membayarkan kewajibannya setelah diizinkan mengikrarkan thalak, istri yang
ingin mendapat haknya dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan yang ada,
sehingga praktek penundaan persidangan tidak diperlukan.
Page 84
74
Selanjutnya jika praktek penundaan ini dihubungkan dengan asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan tentu tampak berlawanan. Ketika persidangan
ikrar ditunda hal ini menjadikan persidangan menjadi lambat, dan berimplikasi
pada biaya persidangan. Sehingga kalau diperhatikan secara tekstual, maka hal ini
tidak mencerminkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Dalam menanggapi hal ini, Syamsul Bahri Z mengatakan bahwa, praktek
penundaan ini merupakan perwujudan dari ijtihad hakim yang mengupayakan
terciptanya keadilan bagi kedua pihak. Karena jika suami diizinkan mengikrarkan
talak sebelum membayar kewajibannya, maka yang telah mendapat keadilan baru
suami, sedangkan istri belum mendapatkannya, karena ia belum mendapatkan
haknya.23
Ketika suami ingkar dan mengabaikan istrinya setelah diizinkan
mengikrarkan talak tanpa membayar kewajibannya, maka selain istri terzolimi,
suami pun tanpa ia sadari telah melanggar ketentuan Allah, karena kewajiban
suami membayar nafkah iddah ini juga disyariatkan dalam Al-Qur’an surat At-
Thalaq ayat 6, 7, serta tentang kewajiban suami memberi nafkah kepada istrinya
dalam surat Al-Baqarah ayat 233. Istri yang di talak raj’I, masih dianggap istrinya
sampai masa iddahnya habis, makanya suami masih berkewajiban terhadapnya.
Menurut Efrizal, penundaan ini bukannya mengabaikan hak suami, karena pada
dasarnya suami sudah mendapatkan haknya selama masih dalam masa 6 bulan,
sedangkan isteri baru mendapatkan putusan. Jika suami tidak membayarkan
23
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
Page 85
75
kewajibannya ketika ikrar dilaksanakan maka isteri akan teraniaya. Lain halnya jika
istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan
diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangandan dan bersedia persidangan
untuk dilanjutkan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan.24
Begitupun jika praktek penundaan ini dihubungkan dengan asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Syamsul Bahri Z mengatakan, memang
persidangan sebaikanya berjalan cepat, sederhana, dan biaya ringan, tapi tidak ada
gunanya persidangan cepat selesai kalau putusan yang dikeluarkan tidak
dijalankan.25
Efrizal menambahkan, hal ini tidak melanggar asas cepat, sederhana, biaya
ringan. Karena kalau misalkan dilaksanakan ikrar talak, sehingga suaminya telah
terlepas dari si istri, ada kemungkinan suami tersebut akan mengabaikan untuk
membayarkan kewajibannya, sehingga istri menjadi teraniaya, lagipula masa ikrar
ada 6 bulan, jadi lebih baik persidangan mengandung keadilan bagi kedua belah
pihak, ketimbang harus cepat tapi menganiaya salah satu pihak.26
Penerapan asas cepat, sederhana, biaya ringan tidak boleh mengurangi
“ketepatan” pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan.27
24
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015.
25Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar)
di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
26Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama
Batusangkar) di ruang wakil ketua. Batusangkar, 17 Maret 2015.
27Lihat M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU
No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 70-71.
Page 86
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan tersebut dapat dipahami
bahwa di Pengadilan Agama Batusangkar pembayaran nafkah iddah dan mut’ah
dilakukan dalam persidangan ikrar talak. Praktek pembayaran nafkah iddah dan
mut'ah pasca ikrar talak merupakan hasil dari ijtihad yang dilakukan hakim bukan
bersumber dari peraturan.
Praktek ini bertujuan untuk melindungi hak-haknya istri dan agar putusan
yang dikeluarkan pengadilan dapat memberi keadilan dan manfaat bagi masing-
masing pihak. Karena dikhawatirkan apabila pihak suami diizinkan untuk
mengikrarkan talak sebelum membayarkan kewajibannya maka ia akan kabur dan
meninggalkan istrinya.
Pada saat ikrar talak pihak suami terkadang ada yang belum membawa
kewajibannya. Dalam prakteknya ketika suami pada saat persidangan belum
membawa kewajibannya, maka hakim akan memberikan nasehat kepada suami, dan
mendorong suami agar terpacu untuk mengumpulkan uang agar bisa melunasi
kewajibannya. Kemudian hakim akan menunda persidangan hingga suami telah
Page 87
77
memiliki uang. Penundaan berlangsung selama suami belum kembali dengan
kewajibannya dalam masa 6 bulan.
Kalau dihubungkan dengan asas yang berlaku di pengadilan, dan peraturan
yang ada, memang terdapat sedikit ketidak sesuaian. Namun praktek yang dilakukan
ini tidak akan memberikan mudharat yang lebih besar, ketimbang praktek ini tidak
ada. Maka dari itu, agar kesenjangan yang ada dapat dihapuskan, diharapkan agar
praktek ini dapat diatur dalam peraturan yang berlaku.
B. Saran
Dari ulasan dalam skripsi ini penulis berharap semua pihak yang membaca
dapat mengetahui, memahami dan mengerti tentang praktek yang terjadi, serta alasan
dari praktek tersebut, dan bagaimana korelasi praktek tersebut kalau ditinjau dari
kaedah ushul, peraturan negara, serta asas-asas dalam peradilan. Pada bagian akhir
ini penulis berharap:
1. Kepada pemerintahan Republik Indonesia yang diwakili kepada para pihak
yang berwenang membuat Undang-Undang dan peraturan lainnya, agar
praktek pembayaran nafkah iddah dan mut'ah serta kewajiban-kewajiban
suami akibat talak ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang atau peraturan
lainnya, sehingga praktek ini didasari oleh peraturan dan memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
Page 88
78
2. Kepada Pengadilan Agama Batusangkar, diharapkan agar praktek ini dapat
terus dipertahankan, dan agar para hakim yang menangani permasalahan
perceraian dapat lebih optimal menasehati masing-masing pihak, sehingga
perceraian tidak terjadi. Namun jika memang nasehat sudah tidak dapat
diindahkan, diharapkan kepada majlis hakim agar dapat memberikan putusan
yang adil, dan bermanfaat.
3. kepada para hakim, penulis menyarankan agar dapat berlaku adil, dan dapat
menerapkan peraturan dengan sebaiknya bukan seadanya. Ketika terdapat
suatu masalah, tetapi peraturan tidak dapat menjawab masalah yang ada,
maka diharapkan kepada para penegak hukum agar dapat berijtihad dan
melihat lebih luas sehingga putusan yang dikeluarkan dapat bermanfaat, dan
berkeadilan bagi semua pihak.
Page 89
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana, 2011.
Abdal-Hamid, Muhahmmad Muhyial-Din. Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari’ah Al
Islamiyah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1404 H/1989 M.
Abidin, Andi Zainal. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni,
1984.
Ahmad, Zubair. Relasi Suami Istri dalam Islam. editor Sri Mulyani. Jakarta: Pusat
Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2004.
Al-Habsy, Muhammad Baqir. Fikih Praktis Menurut Al-Qur’an dan Hadits.
Bandung: Mizan, 2002.
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. al-Jami’ al-Ahkam
al-Qur’an, juz 18, jilid 9. Beirut: 1995.
----------- Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, juz 18, jilid 9. kairo.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
An-Naisaburi, Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi.
Shaheh Muslim. Riyad: Darussalam, 1998.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi. Sunan Abu Daud. Beirut:
Dar Ibnu Hazm, 1974.
Page 90
80
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari, jilid 2. Kairo:
Darussalam, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa
edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008.
Dimyati, Khudzaifah dan Wardiono, Kelik. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
UMS Press, 2004.
Doi, Abdur Rahman I. Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA, 1992.
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Gultom, Elfrida R. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Literata, 2010.
Hamami, Taufiq. Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa, 2013.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No
7 Tahun 1989). Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
---------- Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi kedua.
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
---------- Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun
1989), Jakarta: Sinar Garafika, 2007.
Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT
RINEKA CIPTA, 2004.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000.
Muchtar, Kamal. Asas2 hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang,
1974.
Page 91
81
Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal as-Syakhshiyyah ‘Ala al-Mazahib al-
Khamsah Ja’fari-Hanafi-Maliki-Syafi’I-Hanbali. Beirut: Darul Ilmu, 1964.
Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta:
1984.
Nasir, Jamal J. The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic
Legislation. London: Graham Trotman, 1990.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai
KHI). Jakarta: Prenada Media, 2004.
Oxford Student’s Dictionary of English. Greet Clarendon Street: Oxford University
Press, 2001.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010.
Rifai, Achmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Romy H, Soemitro. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, jilid 2, Beirut: Darul Fikri, 1983.
Soebani, Ben Ahmad. Metode Penelitian. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Page 92
82
Tihami, dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer.
Bandung: Angkasa, 2005.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakaraya Agung, 1989.
Zuhayli, Wahbah. al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9. Damasyqi: Darul Fikri al-
Ma’ashir, 2004.
Page 94
Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa Terima Putus Sisa
A. PERKAWINAN
1 Izin poligami
2 Pencegahan Perkawinan
3 Penolakan Perkawinan oleh PPN
4 Pembatalan Perkawinan 1 1 0
5 Kelalaian atas kewajiban suami istri
6 Cerai Talak 20 13 9 24 13 8 29 14 14 29 4 13 20 14 6 28 11 9 30 12 21 21 21 10 32 10 12 30 15 14 31 8 15 24 1 14 11 2
7 Cerai Gugat 46 38 21 63 47 28 82 25 48 59 26 28 57 34 19 72 29 43 58 9 23 44 50 19 75 45 33 87 28 28 87 31 24 94 4 61 37 1
8 Harta Bersama 1 1 1 1 1 1
9 Penguasaan anak/pengangkatan anak 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0
10 Nafkah anak oleh ibu 0
11 Hak-hak bekas istri 0
12 Pengesahan anak 0
13 Pencabutan kekuasaan orang tua 0
14 Perwalian 0
15 Pencabutan Kekuasaan Wali 0
16 Penunjukkan orang lain sebagai wali/adopsi 0
17 Ganti rugi terhadap wali 0
18 Asal usul anak 0
19 Penetapan kawin campur 0
20 Isbat nikah 5 3 7 1 13 2 12 19 13 18 13 22 9 4 6 7 10 7 10 3 6 7 10 7 10 8 8 10 9 9 10 6 9 7 5 11 1 1
21 Izin kawin 0
22 Dispensasi kawin 3 3 2 4 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 0 1 1 3 2 2 1 2 1 1 0
23 wali adhol 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
24 B. EKONOMI SYARIAH 0
25 C. KEWARISAN 0
26 D. WASIAT 0
27 JENIS PERKARA 0
28 F. WAKAF 0
29 G. ZAKAT/INFAQ/SHADAQOH 0
30 H. P3HP/PENETAPAN AHLI WARIS 1 1 1 1 1 1 1 0
31 I. LAIN-LAIN / JUMLAH 0
72 55 38 89 77 38 128 62 80 110 46 66 90 54 34 110 51 60 101 24 53 72 83 36 119 68 56 131 53 54 130 46 49 127 10 87 50 4 0 0
BATUSANGKAR, 02 Januari 2015
JUMLAH PERKARA TAHUN 2014 701 KETUA
JUMLAH PERKARA MASUK TAHUN 2014 629
JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS 651
Drs. H.M YUNUS RASYID, SH
STATISTIK PERKARA PENGADILAN AGAMA
BATUSANGKAR TAHUN 2014
PK KetMaret
Banding KasasiOktober November DesemberAgustus September
JUMLAH
April Mei Juni JuliJanuariSisa
Tahun
laluJENIS PERKARANo
Februari
Page 95
NIP. 19550806 198103 1 002
Page 96
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 25 - - - - - - - - - - 14 - 39
Mengetahui ; Batusangkar, 30 Januari 2014
Ketua
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH
NIP. 19510318 197803 1 002
JumlahNo.
Urut
JUMLAH - - 14- -
Panitera
- --
Drs. A P R I Z A L
LAPORAN BULAN JANUARI 2014
-
NIP. 196004061987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
25 - 39- --
Page 97
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 17 - - - - - - - - - - 12 - 29
Mengetahui ; Batusangkar,28 Februari 2014
Ketua Wakil Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH ZULBAKRI, SH
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP : 19590305 199203 1 003
- ---
LAPORAN BULAN FEBRUARI 2014
-
JumlahNo.
Urut
JUMLAH - - 12
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
17 - 29- ---
Page 98
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 31 - - - - - - - - - - 7 - 38
Mengetahui ; Batusangkar,28 Maret 2014
Ketua Wakil Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH ZULBAKRI, SH
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP : 19590305 199203 1 003
- -- -
LAPORAN BULAN MARET 2014
-
JumlahNo.
Urut
JUMLAH - - 7-- --
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
31 - 38
Page 99
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 39 - - - - - - - - - - 14 - 53
Mengetahui ; Batusangkar, 30 April 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
- -
Jumlah
-
LAPORAN BULAN APRIL 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - - 14-- -- -
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
39 - 53
Page 100
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 18 - - - - - - - - - - 7 - 25
Mengetahui ; Batusangkar, 30 Mei 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
- -
Jumlah
-
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
18 - 257-
LAPORAN BULAN MEI 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - - - -- -
Page 101
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 33 - - - - - - - - - - 10 - 43
Mengetahui ; Batusangkar, 30 Juni 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
33 - 43- -- -
Jumlah
-- - 10-
LAPORAN BULAN JUNI 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Page 102
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 30 - - - - - - - - - - 4 - 34
Mengetahui ; Batusangkar, 25 Juli 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
30 - 34- -- -
Jumlah
-- - 4-
LAPORAN BULAN JULI 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Page 103
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 25 - - - - - - - - - - 7 - 32
Mengetahui ; Batusangkar, 29 Agustus 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
25 - 32- -- -
Jumlah
-- - 7-
LAPORAN BULAN AGUSTUS 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Page 104
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 18 - - - - - - - - - - 11 - 29
Mengetahui ; Batusangkar, 01 Oktober 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
LAPORAN BULAN SEPTEMBER 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Jumlah
-- - 11-
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
18 - 29- -- -
Page 105
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Per
tan
yaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 28 - - - - - - - - - - 14 - 42
Mengetahui ; Batusangkar, 31 Oktober 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
LAPORAN BULAN OKTOBER 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Jumlah
-- - 14-
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
28 - 42- -- -
Page 106
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Pen
gan
iyaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 22 - - - - - - - - - - 7 - 29
Mengetahui ; Batusangkar, 28 November 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
22 - 29- -- -
Jumlah
-- - 7-
LAPORAN BULAN NOVEMBER 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Page 107
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B LI-PA10
TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Kri
sis
Mora
l
Tid
ak
Ad
a T
an
ggu
ng J
aw
ab
Dih
uk
um
Pen
gan
iyaan
Ber
at
Kek
ejam
an
Men
tal
Caca
t B
iolo
gis
Poli
gam
i T
idak
Seh
at
Cem
bu
ru
Kaw
in P
ak
sa
Ek
on
om
i
Nik
ah
Dib
aw
ah
Um
ur
Poli
tis
Tid
ak
Ad
a K
eh
arm
on
isan
Gan
ggu
an
Pih
ak
Ket
iga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 BATUSANGKAR - 29 - - - - - - - - - - 17 - 46
Mengetahui ; Batusangkar, 31 Desember 2014
Ketua Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH Drs. APRIZAL
NIP. 19510318 197803 1 002 NIP. 19600406 1987031005
KeterannganPengadilan Agama
TERBIT AKTA CERAI
29 - 46- -- -
Jumlah
-- - 17-
LAPORAN BULAN DESEMBER 2014
-
No.
Urut
JUMLAH - -
Page 108
HASIL WAWANCARA
Nama : Dra. Hj. Yusnizar
NIP : 19600722 199003 2 001
Jabatan : Hakim
Hari, tanggal : Selasa, 17 Maret 2015
1. Apakah ibuk adalah hakim di PA Batusangkar?
Ya, benar.
2. Sebelum ibuk menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak/ibuk bertugas?
Sebelumnya di Pariaman.
3. Apakah selama ibuk menjadi hakim di PA BSK, bapak/ibuk pernah menangani
kasus cerai talak?
Pernah, banyak sekali.
4. Menurut ibuk, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika
terjadi cerai talak?
Nafkah yang terlampau (madhiyah), nafkah Iddah, Mut’ah, nafkah untuk anak.
5. Selama ibuk menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak/ibuk pernah menangani
perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan
mut’ah?
Ya, pernah.
6. Sepengetahuan ibuk apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran
nafkah iddah dan mut’ah?
Ada, dalam KHI.
7. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah?
Apabila istri tersebut tidak nusyuz.
Page 109
8. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang
akan ditanggung suami?
Hakim akan menanyakan berapa biasanya ia(istri) mendaptkan nafkah ketika
dulu masih rukun, kemudian dilihat kemampuan suami saat sekarang.
9. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan
mut’ah?
Pembayaran kewajibannya dilakukan satu kali, pada saat ikar talak.
10. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di
persidangan ikrar talak?
Pada saat putusan diucapkan, maka hakim memberitahukan kepada suami agar
pada saat ikrar talak membawa segala kewajiban yang dibebankan kepadanya,
yang mana hal tersebut adalah hak istri.
11. Seingat ibuk Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang
ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah?
Ada.
12. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya?
Alasannya bisa karena belum mampu. Ada juga yang sebenarnya sudah punya
uangnya, tapi berusaha mengelak membayar dengan mengatakan belum punya
uang, sehingga ketika hakim mengatakan akan menunda sidang pihak suami
langsung mengatakan, sekarang saja buk, saya sudah punya uangnya.
13. Seingat ibuk, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk
membawa kewajibannya ketika ikrar talak?
Tidak ada, semuanya mendengarkan perkataan hakim.
14. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa
nafkah iddah dan mut’ah untuk istri?
Pada saat sidang yang ditentukan ketika pihak suami belum membawa
kewajibannya dalam hal ini tugasnya hakim untuk menggugah hatinya, supaya
dia sadar dan memberikannya sehingga tidak ada yang diriugikan. Setelah
memberikan nasehat kepada suami, hakim akan mengatakan bahwa sidang
ditunda. Para pihak datang ke pengadilan agar mendapat keadilan, jadi kita
Page 111
HASIL WAWANCARA
Nama : Drs. Efrizal, SH., MH.
NIP : 19630128 199003 1 002
Jabatan : Hakim/Wakil Ketua
Hari, Tanggal : selasa, 17 Maret 2015
1. Apakah bapak adalah hakim di PA Batusangkar?
Iya benar.
2. Sudah Berapa lama bapak menjadi hakim di PA BSK?
Setahun.
3. Sebelum bapak menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak bertugas?
Sebelumnya saya bertugas di Rengat.
4. Apakah selama bapak menjadi hakim di PA BSK, bapak pernah menangani kasus
cerai talak?
Pernah, banyak sekali.
5. Menurut bapak, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika
terjadi cerai talak?
Kewajiban suami yang memberikan nafkah iddah untuk masa 3 bulan, mut’ah,
nafkah madhiyah, dan memberikan nafkah bagi anaknya.
6. Selama bapak menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak pernah menangani
perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan
mut’ah?
Pernah. Saya pernah menangani kasus cerai talak yang dalam rekovensinya istri
meminta nafkah iddah, mut’ah dan sebagainya apabila terjadi perceraian.
Page 112
7. Apakah ada dari pihak istri yang tidak mengajukan rekovensi pada saat perkara
cerai talak?
Apabila Pihak istri yang tidak mengajukan rekovensi, maka hakim akan
memberitahukan kepada istri bahwa anda memiliki hak-hak yang dapat anda
terima jika suami anda menceraikan anda apakah anda mau meminta hak anda.
Karna bisa jadi si istri yang tidak meminta hak tersebut tidak tau bahwa dia
mempunyai hak, maka dalam rangka memberikan bantuan hakim bisa
memberitahukan hal ini kepada si istri, selanjutnya tergantung istri.
8. Sepengetahuan bapak apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran
nafkah iddah dan mut’ah?
Ada, permsalahan ini ada diatur dalam KHI.
9. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah?
Istri berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah apabila ia tidak nusyuz. Selama
istri tidak nusyuz sesuai peraturuan dia berhak mendapat nafkah iddah dan
mut'ah, sesuai dengan kemampuan dan kepatutan.
10. Bagaimana cara hakim menilai nusyuznya seorang istri?
Hakim menetapkan istri nusyuz, dilihat dari alasan yang dibuat suami dalam
permohonan. Ketika dalam alasan dikemukakan bahwa istri telah bermain
serong, dan diperkuat dengan saksi yang ada maka hal ini dapat dikatakan
bahwa istri tersebut telah nusyuz.
11. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang
akan ditanggung suami?
Dalam menentukan jumlah kewajiban suami, dapat dilihat dari perhitungan masa
lama iddah istri. Dihitung berapa jumlah kebutuhan istri per hari, dikalikan
berapa hari dalam satu bulan, kemudian dikali tiga untuk tiga bulan. Dasar dari
kadarnya adalah kepatutan dan kelayakan, ketika telah diketahui berapa
kebutuhan istri maka dilihat juga kemampuan suami, kemudian diambil jalan
tengah oleh hakim supaya tidak membertakan suami dan dapat memenuhi
kebutuhan si istri.
12. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan
mut’ah?
Page 113
Ketika ada putusan suami menjadi wajib membayarkannya, dan terhadap
putusan itu bisa dimintakan banding, jadi suami dibebankan untuk
membayarkannya ketika ikrar talak.
13. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di
persidangan ikrar talak?
Hakim memberitahukan kepada suami untuk membawa kewajibannya pada saat
ikrar talak, pada saat pembacaan putusan. Pada saat putusan hakim
membacakan amar putusan, dan menanyakan apakah para pihak telah mengerti
dengan amar putusan tersebut, kemudian meminta kepada suami untuk
membawakan kewajibannya sebagaimana dalam amar pada saat ikrar talak.
14. Seingat bapak Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang
ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah?
Ada.
15. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya?
Biasanya mereka mengatakan belum mampu memenuhi isi putusan dalam hal
jumlah kewajiban yang ditanggungkan kepadanya.
16. Seingat bapak, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk
membawa kewajibannya ketika ikrar talak?
Selama perkara yang saya tangani belum ada yang menolak permintaan hakim
untuk membawa kewajibannya pada saat ikrar talak.
17. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa
nafkah iddah dan mut’ah untuk istri?
Ketika suami belum membawa kewajibannya hakim akan menunda persidangan
ikrar talak. tapi kalau istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban
suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangan, maka
persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau ketika suami belum membawa
kewajibannya hakim akan menanyakan kepada istri apakah rela di talak tapi
belum mendapat hak, kalau istri mengatakan tidak mau, maka persidangan akan
ditunda, kalau rela maka persidangan akan dilanjutkan, dan keterangan istri
akan dibuat dalam berita acara.
18. Apa dasar dari praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di persidangan?
Page 115
HASIL WAWANCARA
Nama : Drs. H. Syamsul Bahri Z, MA.
NIP : 19541214 198503 1 002
Jabatan : Hakim
Hari, Tanggal : Kamis, 19 Maret 2015
1. Apakah bapak adalah hakim di PA Batusangkar?
Ya benar.
2. Sebelum bapak menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak bertugas?
Sebelumnya saya bertugas di PA sawahlunto.
3. Apakah selama bapak menjadi hakim di PA BSK, bapak pernah menangani kasus
cerai talak?
Pernah, sering, karena itu merupakan salah satu kewenangan absolute
Pengadilan Agama.
4. Menurut bapak, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika
terjadi cerai talak?
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini KHI, dijelaskan kewajiban
yang dapat dibebankan kepada suami ketika terjadi perceraian adalah yang
pertama, suami dapat dibebankan biaya untuk keperluan anaknya. kedua, suami
dapat dibebankan untuk melunasi nafkah masa lalu (madhiyah). Ketiga, suami
dapat dibebankan mut’ah yang diberikan kepada istrinya. Keempat, suami dapat
dibebankan untuk membayar nafkah iddah kepada istrinya.
5. Selama bapak menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak pernah menangani
perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan
mut’ah?
Ya pernah.
6. Sepengetahuan bapak apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran
nafkah iddah dan mut’ah?
Page 116
Ada dalam KHI pasal 149.
7. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah?
Setiap Istri yang tidak nusyuz berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah.
8. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang
akan ditanggung suami?
Dalam menentukan jumlah nafkah iddah, hakim akan mencoba mencari jalan
tengah yang bertujuan agar tidak terlalu memberatkan suami, dan juga dapat
membantu istri dalam memenuhi kebutuhannya selama masa iddah. Hakim akan
bertanya kepada istri mengenai kisaran kebutuhannya perhari. Setelah
ditemukan, maka dikalikan untuk jumlah hari dalam satu bulan kemudain dikali 3
untuk 3 bulan. Selanjutnya, agar menghasilkan keadilan maka hakim akan
bertanya kepada pihak suami mengenai usahanya, dan penghasilannya perhari,
dan kisaran penghasilannya selama satu bulan. Kemudian hakim akan
menanyakan apakah suami mampu untuk membayarkan jumlah nafkah iddah
tersebut. Jika pihak suami mengatakan tidak mampu, tapi menurut hakim setelah
melihat dari jumlah penghasilan suami seharusnya dia mampu, dan berdasarkan
saksi yang dihadirkan maka hakim bisa saja tetap membebankan jumlah nafkah
iddah seperti yang pertama kepada suami, tapi jika suami mengatakan tidak
mampu membayarkan nafkah iddah tersebut, dan berdasarkan penghasilan dan
saksi yang telah didatangkan suami memang tampak tidak mampu maka hakim
dapat mengambil bagian tengah yang tidak terlalu memberatkan suami, dan
dapat membantu istri. Begitu pun mut’ah, tapi kalau mut’ah hanya dibayarkan
untuk satu kali.
9. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan
mut’ah?
Suami berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan mut’ah dan kewajiban
lainnya adalah pada saat telah dilakukannya ikrar talak. Kewajibannya
dibayarkan pada saat sidang ikrar talak.
10. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di
persidangan ikrar talak?
Pada saat hakim telah membacakan putusan, hakim akan mengatakan bahwa
putusan ini dapat dilakukan upaya hukum, dan persidangan akan ditunda,
kemudian menanyakan kepada masing-masing pihak apakah mereka sudah
Page 117
mengerti dengan isi putusan, terakhir mengatakan pada suami untuk membawa
kewajibannya pada saat sidang ikrar talak.
11. Seingat bapak Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang
ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah?
Ya, ada kadang-kadang.
12. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya?
Biasanya mereka mengatakan belum ada uang untuk membayar kewajibannya.
13. Seingat bapak, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk
membawa kewajibannya ketika ikrar talak?
Seingat saya tidak ada yang menolak, semua mendengarkan kata hakim.
14. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa
nafkah iddah dan mut’ah untuk istri?
Ketika suami pada saat persidangan yang telah ditentukan tidak membawa
kewajibannya, maka persidangan dapat ditunda guna melindungi agar istri
mendapat jaminan untuk mendapat haknya. Karena kalau tidak, bisa saja suami
ketika telah mengucapkan talak tidak membayarkan kewajibannya, guna
melindungi istri karena memang perkara cerai talak sedikit berbeda. Pada
dasarnya perkara cerai talak adalah perkara permohonan yang dimintakan
suami, biasanya kalau perkara permohonan hanya ada satu pihak, tapi dalam
perkara permohonan cerai talak ada dua pihak, jadi agar putusan tidak hampa,
dan mengandung manfaat bagi masing-masing pihak serta mencerminkan
keadilan bagi kedua belah pihak, maka penundaan persidangan bisa saja
dilakukan, lagi pula masa ikrar talak dalam pasal 70 UU PA adalah 6 bulan jadi
selama 6 bulan itu suami masih bisa mengucapkan ikrar talak.
Kemudian pada saat persidangan tersebut, hakim akan berupaya untuk
menggugah hati suami agar menyadari pentingnya nafkah iddah dan mut’ah dan
hak istri lainnya bagi pihak istri, serta mendorong pihak suami agar terpacu
mengumpulkan uang sehingga berupaya menabung untuk membayarkan
kewajibannya. Semua itu hakim lakukan guna menjadikan putusan berkeadilan,
dan berkemanfaatan.
15. Apa dasar dari praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di persidangan?
Dasar dari praktek itu hanya dari ijtihad hakim.