1 PEMBANGUNAN REGIONAL SULUT: KAPET ATAU DESENTRALISASI PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN 1 Oleh: Noldy Tuerah Pendahuluan Strategi pendekatan perencanaan dan pembangunan regional yang telah dan sedang dilakukan sampai saat ini cenderung lebih mengutamakan atau menekankan pada pusat-pusat pengembangan pada wilayah kota besar atau menengah sebagai penggerak utama pembangunan regional. Dimana sekarang pusat-pusat pertumbuhan tersebut lebih populer dengan pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET). Model pendekatan pembangunan seperti ini lebih mengutamakan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) sebagai leading sektor dan diasumsikan sektor-sektor terkait lainnya akan ikut berkembang, serta daerah pinggiran (periphery) akan terikut berkembang akibat adanya spread effects dari pusat pertumbuhan. Dengan kata lain model ini relatif mengabaikan atau kurang menekankan pada aspek pemerataan (distribution) dan pendekatan ini relatif kurang memperhatikan aspek lingkungan sebagai syarat utama pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Agar ketiga aspek penting dan utama (growth, distribution, and sustainable) ini dapat diwujudkan dalam pelaksanaan pembangunan, model pendekatan pembangunan diatas perlu diadakan modifikasi agar supaya dapat mengakomodasi bagian terbesar kebutuhan pembangunan regional dan dapat dinikmati lebih banyak orang khususnya mereka yang tinggal di wilayah pinggiran dan wilayah pedesaan. Pelaksanaan pembangunan di Indonesia yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 melalui Pelita I sampai dengan pelita VI yang sedang berlangsung, telah mencatat segudang keberhasilan dalam pembangunan yang dapat diukur antara lain melalui pendapatan perkapita masyarakat telah mencapai $US 1020 (Bappenas, 1995) yang oleh Bank Dunia diklasifikasikan pada kelompok berpendapatan menengah ke bawah dan pendapatan perkapita Sulawesi Utara sekitar 1 Paper disampaikan pada seminar ISEI cabang Manado, Bappeda Tingkat I, 20 Maret 1997.
25
Embed
PEMBANGUNAN REGIONAL SULUT fix€¦ · pada pusat-pusat pengembangan pada wilayah kota besar atau menengah sebagai penggerak utama pembangunan regional. Dimana sekarang pusat-pusat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PEMBANGUNAN REGIONAL SULUT:
KAPET ATAU DESENTRALISASI PUSAT-PUSAT
PERTUMBUHAN1
Oleh: Noldy Tuerah
Pendahuluan
Strategi pendekatan perencanaan dan pembangunan regional yang telah dan
sedang dilakukan sampai saat ini cenderung lebih mengutamakan atau menekankan
pada pusat-pusat pengembangan pada wilayah kota besar atau menengah sebagai
penggerak utama pembangunan regional. Dimana sekarang pusat-pusat pertumbuhan
tersebut lebih populer dengan pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu
(KAPET). Model pendekatan pembangunan seperti ini lebih mengutamakan pada
pertumbuhan ekonomi (economic growth) sebagai leading sektor dan diasumsikan
sektor-sektor terkait lainnya akan ikut berkembang, serta daerah pinggiran
(periphery) akan terikut berkembang akibat adanya spread effects dari pusat
pertumbuhan. Dengan kata lain model ini relatif mengabaikan atau kurang
menekankan pada aspek pemerataan (distribution) dan pendekatan ini relatif kurang
memperhatikan aspek lingkungan sebagai syarat utama pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Agar ketiga aspek penting dan utama (growth,
distribution, and sustainable) ini dapat diwujudkan dalam pelaksanaan pembangunan,
model pendekatan pembangunan diatas perlu diadakan modifikasi agar supaya dapat
mengakomodasi bagian terbesar kebutuhan pembangunan regional dan dapat
dinikmati lebih banyak orang khususnya mereka yang tinggal di wilayah pinggiran dan
wilayah pedesaan.
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia yang sedang dilaksanakan oleh
pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 melalui Pelita I sampai dengan pelita VI yang
sedang berlangsung, telah mencatat segudang keberhasilan dalam pembangunan yang
dapat diukur antara lain melalui pendapatan perkapita masyarakat telah mencapai
$US 1020 (Bappenas, 1995) yang oleh Bank Dunia diklasifikasikan pada kelompok
berpendapatan menengah ke bawah dan pendapatan perkapita Sulawesi Utara sekitar
1Paper disampaikan pada seminar ISEI cabang Manado, Bappeda Tingkat I, 20 Maret 1997.
2
Rp 1.306 861 tahun 1995 (BPS, 1996). Tahun 1984 Indonesia telah berhasil mencapai
pada titik puncak produksi beras dan disebut telah mampu untuk swasembada pangan,
keberhasilan ini mengantar Bapak Presiden menyampaikan pidato didepan FAO di
Rome, dan Indonesia telah mampu menekan pertumbuhan jumlah penduduk selama
kurun waktu lebih 25 tahun sehingga Indonesia baru mencapai jumlah penduduk 200
juta pada tanggal 4 Februari 1997, yang seharusnya telah dicapai pada 17 tahun yang
lalu sesuai analisa dan proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Prof. Widjojo Nitisastro
pada tahun 1960an (Nitisastro, 1970).
Beberapa indikator keberhasilan pembangunan diatas telah dibarengi pula
dengan terjadinya kesenjangan pembangunan dimana ditunjukkan beberapa
perbedaan yang sangat transparan seperti pembangunan antar wilayah perkotaan
dengan wilayah pedesaan, perbedaan antar pulau seperti Jawa dan luar Jawa.
Kesenjangan ini pada ruang lingkup lebih luas terjadi juga antar wilayah seperti
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kesenjangan ini
terjadi yang oleh para ahli perencanaan pembangunan dan ekonomi mengatakan
bahwa hal itu diakibatkan oleh sangat tidak seimbangnya penempatan dana investasi
pembangunan baik dari sektor pemerintah maupun swasta—sebagai faktor penyebab
utama. Dalam kenyataan bagian terbesar investasi baik dilakukan oleh sektor
pemerintah dan sektor swasta terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya di
pulau Jawa yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan saja. Hal ini sangat jelas
dibuktikan oleh jumlah uang yang beredar di Indonesia lebih dari 70 persen hanya
beredar di ‘Ibu Kota’ negara (BPS,1996).
Menyadarinya terjadi kesenjangan seperti dikemukakan diatas setelah kurang
lebih dua puluh lima tahun, oleh pemerintah pusat cepat-cepat mengantisipasi
masalah tersebut dengan memberikan ‘perhatian khusus’ untuk pembangunan
Kawasan Timur Indonesia dengan dibentuknya satu tim khusus yang disebut Dewan
Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang diketuai oleh seorang Menteri Bapak
B.J. Habibie. Dalam pengembangan kawasan andalan oleh pemerintah pusat melalui
struktur tata ruang nasional ini mengusulkan/menawarkan suatu alternatif
pendekatan pembangunan regional yang menitik beratkan pada pengembangan
kawasan-kawasan potensional yang dapat berkembang atau bertumbuh cepat atau
disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan memperhatikan
kondisi dan potensi wilayah setempat.
Tulisan ini menjelaskan teori apa yang melatar belakangi model pembangunan
regional dengan mengutamakan pusat-pusat pertumbuhan seperti KAPET. Selanjutnya
akan juga dibahas faktor-faktor apa saja merupakan keunggulan dan kelemahan model
ini. Pada bagian selanjutnya akan dianalisa bagaimana pengalaman dari kota-kota
atau wilayah-willayah yang telah menggunakan pusat pertumbuhan sebagai model
3
pembangunan regional. Dalam bagian ini akan diilustrasikan pengalaman kota Jakarta,
Cilegon, Batam, dan Quangzhou di propinsi Fujian, Cina. Selanjutnya, pada bagian
berikut tulisan ini mengulas tentang bagaimana KAPET Manado Bitung dapat
dikembangkan dengan mempertimbangkan dan mempelajari pengalaman-pengalaman
yang telah dilakukan di kota dan wilayah yang lain. Bertolak dari latar belakang teori
dan pengalaman di kota dan wilayah lain, tulisan ini mengemukakan suatu alternatif
pendekatan pembangunan regional dimana tidak hanya menekankan daerah perkotaan
(centers) tapi juga mengutamakan pengembangan wilayah pedesaan sebagai basis
utama mayoritas penduduk. Diharapkan tulisan ini dapat merupakan masukkan untuk
pemerintah daerah sebagai bahan alternatif untuk perencanaan pembangunan daerah.
Model Pusat Pertumbuhan (Growth Center)
Alternatif pendekatan pembangunan regional seperti KAPET bertolak dari ide
dasar atau suatu teori yang sangat popular dari seorang ahli ekonomi regional berasal
dari Perancis adalah Francois Perroux mengemukakan melalui teorinya yang disebut
‘the theory of development poles’ (Perroux, 1995 dalam Hansen, 1971). Dalam teori
ini Perroux mengemukakan bahwa untuk mempertahankan total pertumbuhan
produksi harus terkonsentrasi pada beberapa proses aktivitas utama yang memiliki
prospek sangat baik, pertumbuhan masing-masing aktivitas sangat diutamakan, dan
kemungkinan beberapa aktivitas tersebut akan tidak mampu bersaing dimasa akan
datang dan kemungkinan bisa hilang. Teori ini juga mengatakan bahwa tingkat
pertumbuhan masing-masing sektor atau kegiatan ekonomi akan bervariasi antara satu
dengan lainnya. Seperti Joseph Schumpeter, Perroux menekankan bahwa inovasi-
inovasi baru para wiraswasta atau entrepreneurs merupakan faktor kunci dalam
mengembangkan proses-proses pertumbuhan melalui dinamika keberhasilan masing-
masing sektor pada pusat-pusat pertumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Dalam
kaitan analisa regional, konsep pusat (the pole concept)menekankan bahwa pusat
spasial dan pertumbuhan sebagai tempat terkonsentrasinya beberapa cabang industri-
industri utama.
Konsep pusat pertumbuhan (growth poles or centers) dapat dilihat dalam tiga
aspek utama.Pertama dari aspek ekonomi, pusat pertumbuhan sebagai sekumpulan
perusahaan-perusahaan atau industri-industri. Dalam kumpulan industri seperti ini,
sektor-sektor ekonomi dan kegiatannya dapat ditunjukkan melalui input output
matriks dan efek-efek pertumbuhannya dapat dijelaskan melalui kolom dan baris
dalam matriks tersebut (Darwent, 1975). Pengaruh pusat pertumbuhan dalam
kegiatan ekonomi tergantung pada dominasi kegiatan, ukuran serta interaksi dan
keterkaitan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau antar satu industri
4
dengan industri lainnya, dan tingkat pertumbuhan dalam kaitan dengan kegiatan
ekonomi diluar pusat pertumbuhan. Beberapa industri tertentu akan mendominasi
industri lain disaat barang-barang dan jasa-jasa yang mereka produksi lebih banyak
dari yang mereka terima.
Kedua, sebagai pusat dalam kaitan dengan aspek spasial, dimana pusat
pengembangan sebagai wilayah pemukiman. Secara implisit dalam teori spasial pusat
pertumbuhan mencari bentuk ukuran kota yang ideal serta distribusi wilayah
pemukiman. Namun sampai saat ini sulit menemukan ukuran dan ruang yang ideal.
Walaupun biaya marginal (marginal costs) nampaknya meningkat setelah melampaui
tingkat jumlah penduduk tertentu, produktivitas marginal (marginal productivity)akan
meningkat lebih cepat.
Ketiga, konsep pusat pertumbuhan nampaknya perlu diwujudkan—dimana
perubahan-perubahan dalam nilai-nilai sosial tersebar dari pusat utama (central
point) seperti sebuah kota atau sebuah kawasan industri—melalui daerah penyanggah
sekitarnya (hinterland).
Lebih jauh Perroux mengatakan bahwa konsep ekonomi regional dibagi dalam
tiga bagian. Pertama, (economic space as defined by a plan) dimana dijelaskan
melalui suatu keterkaitan yang terjadi antara industri dengan supplier barang-barang
input (bahan baku, tenaga kerja, modal) dan para pembeli barang output
(intermediate and final). Kedua, (economic space as a field of forces) dimana dilihat
ekonomi regional terdiri atas pusat-pusat sebagai pendorong utama (centrifugal
forces) dan pendaya tarik utama (centripetal forces). Masing-masing pusat ini
merupakan pusat yang mempunyai keunikan daya tarik dan kegiatan ekonomi utama
yang jelas serta saling terkait dengan kegiatan ekonomi lainnya pada pusat-pusat
pertumbuhan dan wilayah yang lain. Ketiga, (economic space as a homogeneous
aggregate) indutri di lingkungan pusat pertumbuhan relatif terstruktur dalam suatu
bentuk homogen dengan industri-industri dilokasi sekitarnya yang tercakup dalam satu
wilayah. Sangat jelas ditunjukkan diatas bahwa konsep ekonomi regional dikemukakan
Perroux, khususnya pada bagian kedua sangat erat kaitannya dengan pembahasan
yang terpusat pada kompleksitas hubungan kegiatan ekonomi sementara paper ini
tidak hanya membahas aspek ekonomi saja tapi termasuk didalamnya menganalisa
aspek wilayah atau geografi.
Berangkat dari teori diatas dapat dijelaskan bahwa dalam pengembangan suatu
wilayah atau region memerlukan pusat-pusat pertumbuhan (growth poles or centers)
sebagai penggerak utama (prime mover) untuk kegiatan ekonomi utama. Dimana
aktivitas-aktivitas ekonomi, terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu dan akan
mempunyai dampak atau pengaruh pada aktivitas ekonomi itu sendiri melalui
5
keterkaitan kegiatan-kegiatan utama industri-industri didalam satu lokasi tersebut.
Ataupun terjadi suatu aktivitas industri yang disebut dengan aglomerasi industri,
maupun aktivitas lainnya yang digerakkan oleh pusat kegiatan ekonomi terjadi di luar
pusat kegiatan tersebut seperti permintaan bahan baku (raw materials) dan tenaga
kerja dari daerah sekitar pusat kegiatan tersebut akibat dari adanya aglomerasi
industri tersebut.
Namun untuk berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan (growth centers)
sebagai (prime mover) dalam suatu wilayah oleh Perroux dikatakan bahwa kegiatan-
kegiatan dalam wilayah pusat pertumbuhan tidak akan terjadi dengan sendirinya.
Pusat-pusat kegiatan industri ini lokasinya tidak berjauhan atau relatif dekat dengan
pelabuhan-pelabuhan utama dan lapangan udara utama yang dapat menghubungkan
langsung output hasil industri-industri tersebut dengan lokasi-lokasi daerah pemasaran
diluar daerah tersebut. Selain itu diperlukan faktor-faktor pendukung utama lainnya
seperti infrastruktur dasar (social overhead capital) termasuk jalan utama (highway),
jembatan, jaringan transportasi darat yang mampu mengangkut peralatan berat
seperti mesin-mesin pabrik dan peralatan pendukung lainnya, jaringan pembuangan
limbah industri, tersedianya listrik, air minum, jaringan telepon yang dapat
mensupply permintaan kebutuhan industri-industri yang akan dibangun. Selain itu
suatu wilayah industri memerlukan suatu area tanah luas yang telah dilengkapi
dengan infrastruktur pendukung dan ditunjang oleh pemerintah daerah dengan
management profesional dalam pengelolaan administrasi yang berkaitan dengan
segala prosedur aturan yang harus diselesaikan dengan pelaku bisnis pada sektor
industri dan jasa di wilayah tersebut. Dari serentetan syarat utama dikemukakan
Perroux diatas masih ada juga syarat lain yang mutlak dituntut oleh para investor
yaitu stabilitas politik yang dapat menjamin investasi mereka.
Karena begitu populer model pusat pertumbuhan (growth center) ini tentunya
disebabkan oleh keunggulan model ini dimana dapat menarik sektor swasta dari luar
daerah tersebut untuk melakukan investasi dalam bentuk membangun industri-industri
pengelola komoditi-komoditi pertanian menjadi produk industri atau agro-industri
atau industri-industri yang mengelola hasil industri lainnya baik output-output dari
industri di lokasi yang sama maupun dari luar lokasi tersebut. Terjadinya keterkaitan
permintaan bahan baku dan keterkaitan permintaan output dari sektor lain dan
daerah sekitar atau dari luar wilayah tersebut merupakan efek keterkaitan antar
sektor yang disebut ‘backward-linkage and forward-linkage effects’ (Hirschman,
1958).
Oleh para industriawan atau entrepreneurs sarana infrastruktur dan lokasi
industri (industrial zone) yang ditawarkan atau disiapkan oleh pemerintah merupakan
daya tarik utama bagi mereka untuk mempertimbangkan dalam pengambilan
6
keputusan melakukan investasi. Keterkaitan ini dari sisi ekonomi disebut bahwa
autonomous investment yang biasanya dilakukan oleh sektor swasta akan selalu
mengikuti induced investment yang dilakukan oleh sektor pemerintah.
Manfaat lain dari model pusat pertumbuhan adalah akibat terjadinya suatu
proses industri, komoditi-komoditi pertanian diproduksi di daerah sekitar pusat
kegiatan industri ini dan bahan baku dari industri lainnya akan memberikan nilai
tambah terhadap barang-barang yang diproduksi. Selain itu pula terkonsentrasinya
industri-industri sejenis dan industri terkait pada suatu lokasi, tersedianya bahan baku
dan tenaga kerja sekitar lokasi industri memungkinkan para pelaku bisnis atau
entrepreneurs dapat mengefiesiensikan penggunaan faktor-faktor produksi untuk
memaksimumkan profit sebagai tujuan utama dari perusahaan ataupun industri.
Adanya serta berkembangnya industri-industri pada wilayah pusat pertumbuhan
mempunyai dampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja serta permintaan
tenaga kerja baru untuk terlibat secara langsung dalam proses produksi. Kesempatan
kerja baru ini nantinya berpengaruh positif terhadap para pekerja itu sendiri sebab
akan meningkatkan pendapatan mereka. Dengan kata lain adanya pusat pertumbuhan
sebagai pusat kegiatan industri akan mengurangi kelompok pengangguran yang ada
disekitar lokasi tersebut. Dampak positif inilah yang merupakan akibat langsung yang
dapat mempengaruhi daerah sekitar industri atau oleh Gunnar Myrdal disebut efek
penetesan kebawah sekitar pusat pertumbuhan (trickle down effect) (Myrdal, 1957).
Pusat kegiatan industri seperti ini berpengaruh positif secara tidak langsung
terhadap wilayah sekitar dan sektor kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini dapat
ditunjukkan melalui meningkatnya aktivitas transportasi dari dan ke daerah pusat
pertumbuhan baik jasa transportasi mengangkut hasil produksi industri, bahan baku,
dan angkutan jasa umum penumpang para pekerja. Berkembangnya kegiatan-kegiatan
jasa lainnya seperti bisnis rumah makan, pemondokan atau tempat kos akibat adanya
permintaan dari para pekerja. Selain kegiatan-kegiatan tersebut tak dapat disangkal
lagi akan munculnya aktivitas-aktivitas pada sektor informal yang menawarkan mulai
dari jasa penjualan makanan, minuman, rokok dan bahan kebutuhan sehari-hari,
buah-buahan, sampai pada jasa pelayanan seks. Sektor ini sering oleh pemerintah
kota dianggap sebagai aktivitas yang mengurangi keindahan kota. Tapi dalam
kenyataan sektor ini dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan
sektor formal.
Disamping beberapa keunggulan yang diakibatkan oleh model pusat
pertumbuhan, pada pendekatan ini pula melekat sejumlah faktor kelemahan seperti;
sebagai konsekuensi dari besarnya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk
pembangunan prasarana dan sarana pendukung utama pembangunan dan industri,
7
mengakibatkan terjadinya polarisasi modal pada suatu wilayah tertentu saja. Hal ini
dapat dengan jelas ditunjukkan oleh kota-kota utama pantai utara pulau Jawa seperti
Jakarta, Semarang dan Surabaya dimana bagian terbesar investasi baik dari sektor
pemerintah dan sektor swasta terkonsentrasi pada ketiga kota tersebut walaupun
diantara ketiga kota tersebut masih didominasi oleh ‘Ibu Kota’. Gambaran ini pula
dapat dengan jelas dilihat dari aspek wilayah dimana bagian terbesar investasi
pemerintah dan swasta terkonsentrasi di pulau Jawa.
Konsekuensi dari terpolarisasinya dana investasi pembangunan tersebut
mengakibatkan mengalirnya para pekerja migran atau arus migrasi desa-kota kepusat-
pusat pertumbuhan tersebut sehingga terjadi tingkat urbanisasi yang tinggi pada kota-
kota pusat pertumbuhan. Bertambahnya jumlah penduduk kota tersebut berkaitan
secara langsung terhadap meningkatnya permintaan fasilitas-fasilitas kota seperti
transportasi, perumahan, pendidikan, kesehatan, fasilitas hiburan, air minum, listrik,
fasilitas pemadam kebakaran, dan lain-lain. Dimana kesemua fasilitas ini relatif
sangat terbatas tersedia di wilayah perkotaan.
Akibatnya muncul masalah-masalah perkotaan seperti masalah transportasi
umum yang terbatas mengakibatkan penumpang harus berjejal-jejal didalam bus kota
dan sarana transportasi umum lainnya. Disamping terbatasnya fasilitas jalan yang
tersedia, sedangkan disatu pihak, jumlah kendaraan pribadi meningkat sangat cepat
dan banyaknya pedagang dan penjajah makanan memanfaatkan sebagian trotoar dan
jalan utama menjajakan jualan mereka, menyebabkan terjadinya kemacetan-
kemacetan lalu-lintas diwilayah perkotaan.
Terbatasnya fasilitas perumahan dan tanah untuk wilayah pemukiman yang
tersedia di daerah perkotaan, serta tidak seimbangnya dengan tingkat permintaan
perumahan yang tinggi, menyebabkan muncul daerah-daerah pemukiman kumuh
ditengah kota. Tingginya tingkat kepadatan penduduk dan sangat padatnya lokasi-
lokasi pemukiman, banyaknya daerah pemukiman kumuh, dan sering terjadinya
pencurian-pencurian aliran listrik atau banyak sambungan listrik tidak resmi
menyebabkan sangat sensitifnya terjadinya kebakaran pada lokasi-lokasi pemukiman
penduduk.
Karena terbatasnya sarana pendidikan dan kesehatan menyebabkan banyak
penduduk kota tidak dapat menikmati pendidikan yang cukup dan banyak masyarakat
kota yang belum terjangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Kedua faktor ini
menyebabkan relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain itu pula bagi
para penduduk yang berpindah dari daerah pedesaan ke wilayah perkotaan (migrants)
pada umumnya memiliki keahlian yang terbatas pada sektor pertanian. Sedangkan
tenaga kerja yang dibutuhkan di kota pada umumnya pada kegiatan-kegiatan sektor
industri dan jasa. Kenyataan ini membuyarkan harapan para migran untuk
8
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kota. Akibat karena tidak sesuainya
keahlian yang dibutuhkan pada pasar tenaga kerja di kota dengan keahlian yang
dimiliki para migran, merupakan pemicu utama meningkatnya tingkat pengangguran
didaerah perkotaan.
Tingkat pengangguran yang tinggi mempunyai korelasi positif dengan masalah-
masalah sosial di wilayah perkotaan.Hal ini ditunjukkan oleh sering munculnya banyak