PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH K.H. ABDURRAHMAN WAHID Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) Oleh Sa’diyah NIM 106011000169 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M
92
Embed
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH …DIYAH-FITK.pdfTimbulnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dilatar belakangi oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul dibelahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
OLEH K.H. ABDURRAHMAN WAHID
Skripsi ini Diajukan
Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Sa’diyah
NIM 106011000169
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
LEMBAR PENGESAIIAN SMANG MUNAQASAII
Skripsi Berjudul Pembaharuan Pendidikan Islam di lndonesia oleh KH. Abdurrahman Wahiddiajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tanggal 25 September 2013 di hadapan
dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana SI (SPd,i) dalam bidangkependidikan Agama Islam.
Jakarta, 03 Oktober 2013
Panitia Ujian Munaqasah,
Ketua Panitia (Ketua Jurusan)
Bahrissalim M.Ae
NrP. 19680307 1 99803 t 002
Sekertaris (Sekertaris Jurusan)
Drs.Sapiudin Shidik.M.Ae
NrP. l 9670328200003 l 00 I
Penguji I
Drs.Il.Achmad Gholib. MA
NIP. 1 954 1 0 | st97 902t001
Penguji II
Muhammad Zuhdi. M.Ed. Ph. D
I\rIP. 1 97201 04t997 03 1002
Tanggal
t/tot"tt
{* ^ L^'
'|)
,r1 Jdt)Ito
"/,o /zo rs
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Tanda Tangan
19520520 198 103 1001
LEI\{BAR PENGESAHAN PEN{BII\,IBIN G SKRIPS I
Skripsi berjudul "Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indoncsia Oleh K.I{. Abdurrakhman
Wahid", di susun oleh Sa'diyah, Nomor Induk Mahasisria 106011000169, Jurrrsan Pendidikan
Agama Islam. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas iftnu
tarbiyah dan keguruan, uin syarif hidayatullah, jakarla.
Jakarta, 23 Mei 2013
Yang Mengesahkan,
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBIMBING SKRIPSI
PEMBAI{ARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
OLEH K]AI HAII ABDURRAKHMAN WAHID
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan mencaoai gelar sarjana
Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agarna Islam
Fakultas Ilrnu Tarbiyah dan Keguruan
OIeh:
Sa'divah
NIM:106011000169
JT]RUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBTYAII DAI\ KEGURUAI\
T]NIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIT' HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012iM
NIP : I 9580918.198701.2.001
KEMENTERIAN AGAMAUIN JAKARTAFITKJl. lr. H. Juada No 95 Aputat 15412 lndoresia
FoRM (FR)
FITK-FR.AKDO63Tgl. Terbit : 1 Maret 2O10
No. Revisi:
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di
Nama
NIM
Tempat, Tgl.Lahir
Judul Skripsi
Dosen Pembimbing
10601 1000169
Indramayu,2l Juli 1987
Pembaharuan Pendidikan Islam di lndonesia Oleh
K.H.Abdunahman Wahid
Dra.Hj.Dj unaedatuI Munawarah
bawah ini,
:Sa'diyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqosah
Jakarta,23 Mei 2013
NIM.1060i 1000169
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid dalam
Pembaharuan Pendidikan Islam”, ditulis oleh Sa’diyah (106011000169)
dibawah bimbingan Dra. Djunaedatul Munawaroh. Skripsi ini
mendeskripsikan mengenai pembaharuan yang dilakukan Gus Dur dalam
rangka memajukan pendidikan Islam di Indonesia khususnya dipesantren.
Peranan pendidikan merupakan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan. Namun pada perkembangannya, lembaga yang ditawarkan yaitu
lembaga modern yang tidak menggabungkan pendidikan keagamaan dengan
pendidikan formal. Seiring perjalanannya pun pendidikan Islam mulai merambah
pada pendidikan modern. Hal ini terlihat dengan banyak lembaga pendidikan
pesantren dan pendidikan umum lainnya.
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan
karena memiliki kekhasan sendiri, namun juga karena kaya akan konsep yang
tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Maka dari itu,
pada abad 20 terdapat pembaharuan pada bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari
banyaknya lembaga pendidikan yang menyatukan antara kurikulum modern
dengan kurikulum pendidikan Islam.
Timbulnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dilatar belakangi
oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam, seperti
Mesir dan Turki. Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan oleh pemimpin
modernisasi di Timur Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin Islam di
Indonesia untuk melakukan perubahan, dalam bentuk kebangkitan agama,
perubahan dan pencerahan, termasuk pada bidang pendidikan.
Pemikiran ini juga dilakukan oleh Gus Dur untuk merubah pola
pendidikan yang ada di Indonesia. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan Gus
Dur sama seperti pemikiran Muhammad Abduh, yaitu kewajiban belajar tidak
hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa arab yang berisikan dogma ilmu
kalam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains
modern, serta menumbuhkan semangat intelektualisme Islam yang padam dan
diharapkan dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itu, Gus Dur sangat
mengharapkan pesantren yang ada di Indonesia bisa memadukan antara
pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Gus Dur juga menginginnkan, agar pesantren tidak hanya berperan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan dalam arti yang selama ini berjalan, melainkan
juga sebagai lembaga yang mampu memberikan sumbangan yang berarti serta
membangun sistem nilai dan kerangka moral pada individu dan masyarakat, juga
sistem pesantren dapat menjawab tantangan zaman.
Kata kunci : Pendidikan Islam
ABSTRACTION
Thesis with the title "idea K.H. Abdurrahman Wahid in the renewal of Islamic
education", written by Sa'diyah (106,011,000,169) under the guidance of Dra. Djunaedatul
Munawaroh. This thesis describes the updates done on Wahid in order to promote Islamic
education in Indonesia particularly dipesantren.
The role of education is a very important role in my life. However, in the process, the
Agency offered a modern institution that is not religious education combines with formal
education. Along her journey any Islamic education began venturing on a modern education. It is
seen by many institutions and other general education boarding school.
Islamic education always becomes an interesting study not because it has its own
peculiarities, but also because it is rich in concepts that are not inferior quality compared to
modern education. Thus, in the twentieth century there were updates on education. This can be
seen from the large number of institutions bringing together between the modern curriculum with
Islamic education curriculum.
The onset of the renewal of Islamic education in Indonesia with their renewing Islamic
thought arising handy of the Islamic world, such as Egypt and Turkey. Thoughts evoked by the
leader of the modernization in the Middle East was later influenced leaders of Islam in Indonesia
to make changes, in the form of a religious awakening, enlightenment and change, including in
the field of education.
This thinking is also signed by Wahid to revamp the existing pattern of education in
Indonesia. The renewal of education conducted the same as Gus Dur Muhammad Abduh's
thinking, namely the obligation of learning not only study the books containing the Arabic
classic the dogma of science of kalam. However, the obligation of learning also lies in the study
of modern science, as well as fostering the spirit of Islamic intelektualisme outages and expected
to be revived. Therefore, Wahid was keen to boarding school that existed in Indonesia could be
combining public education and Islamic education.
Wahid also menginginnkan boarding school, so that not only plays the role of religious
institutions in the sense that during this run, but also as an institution capable of providing a
meaningful contribution as well as building a system of values and moral framework on
individuals and society, as well as boarding system can respond to the challenges of the times.
Keywords : Islamic education
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil ’alamin, atas segala puji dan syukur penulis persembahkan kepada
Allah SWT, Karena atas rakhmat dan hidayah-Nya, serta kekuatan lahir dan batin, sehingga
dengan segala kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat
dan salam penulis panjatkan kepada Rasulullah saw.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, namun berkat bantuan dan motivasi yang tidak ternilai dari berbagai pihak,
maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah
membantu serta memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua jurusan pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Sekertaris jurusan pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Abdul Ghofur, Dosen Penasehat Akademik.
5. Dra. Djunaedatul Munawarrah, dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen serta staf pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan
keguruan yang telah mendidik dan memberikan banyak bekal berupa ilmu kepada
penulis.
7. Bapak pimpinan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf yang telah
memberikan kemudahan dalam penggunaan sarana perpustakaan.
8. Ibu Nuriyah Wahid, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan tempat untuk
memberikan keterangan mengenai pemikiran gus dur yang bersangkutan dengan bahan
skripsi penulis, syukro kastir.
9. Ma dan bapa, terimakasih atas motivasinya baik berupa materi maupun non materi, buat
kaka qu yang cantik Nurhikmah makasih banyak atas saran dan nasihat yang kamu
berikan kepada adikmu ini, buat adik-adik qu Abdul Mukhyi Tardo dan Nurul
Kholifatussalam yang ganteng, harapan dan keinginan kalian akhirnya tercapai juga.
10. Buat keluarga besar ARKADIA dan eL-Na’ma, penulis ucapkan terimakasih banyak atas
bantuan kalian, tanpa kalian hidup penulis pasti tidak seperti ini.
11. Buat sahabat-sahabat aku, Fuzi, Ephee, Ponyam, Meyta dan Rukoyah chan, penulis
sangat berterimakasih kepada kalian yang telah memberikan sport tanpa henti-hentinya,
samapai akhirnya sidang juga, terimakasih banyak.
12. Bang Zong, penulis ucapkan terimakasih banyak, karena rela dan mau meluangkan
waktu, tenagadan pikiran untuk mencari bahan skripsi penulis, samapai penulisan skripsi
ii
ini selesai. Walaupun penulis tahu ucapan terimakasih ini tidak bisa mewakili atas apa
yang bang zong berikan ke penulis, terimakasih banyak.
13. Buat bangir dan jimbet makasih ya sudah bersedia membantu penulis dalam proses
menuju siding munaqasah, syukron.
14. Kepada semua pihak yang telah membantu penulkis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang penulis tidak bisa sebutkan namanya satu persatu.
Hanya harapan dan do’a, semoga dan mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan
yang lebih baik kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis dalam
penulisan skripsi ini, amiin.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis dan
umumnya bagi masyarakat.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 4
D. Perumusan Masalah ............................................................................................ 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
F. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gagasan dan Pembaharuan ............................................................... 10
B. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia pada
abad 20 ................................................................................................................ 12
C. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia ............................................................ 15
1. Pendidikan Tradisional ................................................................................... 15
2. Dinamika Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam ............................. 21
D. Faktor Pendorong Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Abad 20 ............................................................................................................... 30
E. Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia ......................................... 32
BAB III BIOGRAFI K.H. ABDURRAKHMAN WAHID
A. Latar Belakang Keluarga .................................................................................. 36
B. Pendidikan K.H. Abdurrakhman Wahid .......................................................... 38
C. Aktivitas K.H. Abdurrakhman Wahid dalam .................................................. 40
iv
1. Organisasi .................................................................................................... 40
2. Masyarakat .................................................................................................. 51
3. Budaya ......................................................................................................... 52
4. Politik .......................................................................................................... 54
BAB IV PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH
K.H.ABDURRAHMAN WAHID
A. Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pesantren .................................. 64
Untuk mendapatkan data akurat dalam penulisan ini, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data:
Studi dokumentasi
Menginventaris hasil pemikiran K.H.Abdurrahman Wahid yang tertuang
dalam karya pemikirannya maupun dalam literatur lain yang berkaitan dengan
masalah pendidikan.
5.Prosedur Pengolahan Data
Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan
pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Langkah-langkah pengolahan data
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data
Data yang terkumpul diperiksa kembali apakah masih terdapat
kekurangan atau tidak cocok dengan masalah penelitian.
b. Klasifikasi Data
7
Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokan data sesuai
dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa.
c. Penyusunan Data
Penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan
data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan
pembahasan.
6. Prosedur Analisa Data
Teknik analisisnya menggunakan content Analisys yaitu menarik
kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara
objektif dan sistematis.
Seluruh data akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan
melalui proses:
I. Reduksi Data
Data yang diperoleh melalui kajian pustaka ditulis dalam bentuk uraian
atau laporan terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicairkan
temannya.
II. Display Data
Data yang telah di peroleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan
dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat
hubungan suatu data dengan data yang lainnya.
III. Mengambil Kesimpulan atau Verifikasi
8
Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses
melalui reduksi dan display data.4
4 S. Nasutioan, Metodologi Penelitian Naturalistik Kulaitatif, (Bandung:Tarsito, 1988), H.192-130
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gagasan dan Pembaharuan
Pengertian gagasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah rancangan
yang tersusun dipikiran, dan orang lain tau akan rancangan tersebut. Semua itu
artinya sama dengan cita-cita.1
Adapun pembaharuan menurut Harun Nasution adalah proses atau upaya
memaknai ajaran Islam secara benar agar sesuai dengan perkembangan masa.2
Sedangkan pengertian pembaharuan dalam perspektif Islam adalah usaha
untuk memperbaiki kembali ajaran Islam agar tetap solid dan responsive terhadap
perkembangan zaman. Pengertian pembaharuan pendidikan Islam sendiri adalah
usaha untuk memperbaiki sistem pendidikan Islam dalam segala aspek.3
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Ra’d:11
1 Kamus Besar bahasa Indonesia, h.21 2 Harun Nasution, Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan, 1996), h.21 3 Dr. Armai Arief. M.A, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagn Lembaga Pendidikan Islam Klasik,
(Bandung:Angkasa, 2005), h. 216
10
ير إن الله لا يغ له هعقبات هن بين يديه وهن خلفه يحفظىنه هن أهر الله
وها لهن وإذا أراد الله بقىم سىءا فلا هرد له يغيروا ها بأنفسهن ها بقىم حتى
﴾١١﴿هن دونه هن وال
“Sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Dalam pengertian sejarah, pembaharuan pendidikan Islam itu berkembang
seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Melihat tantangan yang demikian besar,
tampaknya sulit bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam modern untuk mampu
menggali dan mengembangkan potensi umat dalam menghadapi permasalahan yang
sangat kompleks.4
Dari pengertian di atas, sudah sangat jelas bahwa pembaharuan adalah usaha
untuk memperbaiki sistem yang lama dan mengambil sistem baru yang baik agar
sesuai dengan perkembangan zaman, dan dapat menerima tantangan zaman dengan
cara menyiapkan para alumni pendidikan Islam khususnya pesantren sesuai dengan
kebutuhan lapangan kerja.
B. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam pada abad 20 di Indonesia
Timbulnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia baik dalam bidang
agama, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatarbelakangi oleh pembaharuan
pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama oleh
pembaharuan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki.
Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibu kota dengan universitas al-Azhar
yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam pada masa
lampau. Abad 19-20 mulai bermunculan tokoh-tokoh Islam diantaranya: Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Akhmad Khan. Pembaharuan
4 H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan kembali Pendidikan Islam, (Jakarta:Karsa Utama Mandiri, 1998),
h.40-45
11
pendidikan yang dilakukan Muhammad Abduh di Mesir yaitu kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
kalam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains modern,
serta menumbuhkan semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat
dihidupkan kembali.5 Pemikiran Muhammad Abduh itu sama dengan pemikiran gus
dur mengenai pendidikan, yaitu memadukan antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum.
Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di dunia Islam pada
abad kedelapan belas, ketika Eropa, Inggris dan Prancis belum muncul sebagai negara
yang berpengaruh dalam politik Internasional. Pemikir dan pembaharuan di
pendidikan.
“Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin modernisasi di Timur
Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin Islam di Indonesia dan timbul pula di
kalangan pemimpin Islam di Indonesia untuk melakukan usaha-usaha modernisasi
yang dimulai pada permulaan abad kedua puluh.”6
Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia pada abad 20,
dipengaruhi oleh:
1) Pembaharuan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh
para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim
di luar Negeri seperti: Madinah, Mekkah dan Kairo. Ide-ide yang mereka peroleh
di perantauan itu menjadi wacana pembaharuan setelah mereka kembali ke tanah
air.
2) Faktor yang bersumber dari kondisi tanah air juga banyak mempengaruhi
pembaharuan pendidikan Islam. Kondisi tanah air di Indonesia pada awal abad ke-
20 adalah dikuasai oleh kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan,
pemerintah kolonial Barat melakukan kebijakan pendidikan diskriminatif,
sementara di kalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren dan
5 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.246 6 Harun Nasution, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan, 1996), h.151-185
12
surau. Melihat kondisi yang demikian itu, maka sebagian tokoh umat Islam
berupaya untuk melaksanakan pembaharuan dalam bidang pendidikan.7
Pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami
beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan dan
pencerahan. Gerakan pembaharuan tidak akan berjalan bila tidak diikuti perubahan di
bidang pendidikan, maka perubahan dalam Islam harus berjalan seiring dengan
pembaharuan pendidikan. Eksploitasi dan intervensi Barat lama kelamaan
menggugah, menginsafkan dan menyadarkan akan terbelakangnya umat Islam.
Mereka sadar bahwa kuatnya kontrol Barat terhadap mereka adalah karena kemajuan
modern yang dimiliki oleh Barat. Keinginan untuk melawan Barat haruslah didahului
dengan mengadakan perubahan dalam diri umat Islam yaitu dengan cara melakukan
pembaharuan dalam pendidikan Islam.8
Berkenaan dengan alternatif dari lembaga pendidikan yang lebih merakyat serta
bersifat egalitarian adalah lembaga pendidikan di pesantren, surau, dayah dsb, maka
lembaga-lembaga pendidikan itu adalah merupakan pilihan yang memungkinkan bagi
masyarakat Indonesia, karena masyarakat Indonesia waktu itu banyak memasukan
anak-anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut.9
Sebagaimana dijelaskan di atas, pada abad ke 20, masyarakat Islam di Indonesia,
telah melakukan kebangkitan yaitu dengan cara melakukan perubahan dalam
pendidikan. Perubahan ini dimaksudkan untuk melawan Barat, karena pada abad 20
bangsa Barat melakukan penjajahan kepada negara Islam itu dengan teknologi.
Sehingga mau tidak mau, negara Islam khususnya Indonesia, harus melakukan
perubahan dalam pendidikan Islam khususnya di pesantren.
C. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
1. Pendidikan Tradisional
7 Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.21 8 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.280 9 Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.30-31
13
Pendidikan merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang bermartabat.10
“Sistem pendidikan tradisional adalah banyak
diberikannya pengajaran diluar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang
senantiasa berubah-ubah formatnya dari tahun ke tahun. Pemberian pengajaran
dalam pendidikan tradisional lebih menekankan pada penangkapan harfiah atas
suatu kitab tertentu.”11
Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Ada
beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia, yaitu
a. Masjid dan Langgar
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya
juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan
wetonan. Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri. Menurut
Gus Dur, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas
dari hawa nafsu, masjid berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah
mengikuti model wayang, ditengah-tengah ada gunungan.12
Selain dari fungsi utama, masjid dan langgar difungsikan juga untuk
tempat pendidikan. Di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa
maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah
penyampaian ajaran oleh mubaligh kepada para jamaah dalam bidang yang
berkenaan dengan akidah, ibadah dan akhlak.
Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak berpusat pada
pengajian al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya
dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan. Selain dari itu, anak-anak
juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak. Masjid merupakan modal
dasar dan utama tempat mendidik dan melatih para santri mengamalkan tata
cara ibadah, pengajaran kitab, terutama yang kental dengan aroma Islamnya
dan menjadi pusat kegiatan kemasyarakatan.13
10 Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta:Ridamulia, 2005), h.187 11 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi,…………..., h.71-75 12 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan sebagai tempat
belajar membeca al-Qur’an dan belajar agama, tetapi lama kelamaan masjid
tidak cukup luas untuk belajar anak, sehingga dibuatlah suatu tempat untuk
belajar agama. Belajar agama ke kyai yang tersohor telah mengundang mereka
yang tinggal letaknya jauh dari seorang kyai, maka dalam jangka waktu
tertentu. Dengan demikia tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika
dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut
dengan pesantren.14
b. Pesantren
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di jawa, sebelum datangnya agama
Islam telah ada lembaga pendidikan jawa kuno yang praktik kependidikannya
sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan jawa kuno itu bernama
pawiyatan. Di lembaga tersebut tingggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar
orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar. Dengan menganalogikan
pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren. Sebetulnya tidak terlalu sulit untuk
menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam
di Indonesia khususnya di Jawa. Dengan masuknya Islam, maka sekaligus
diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan
dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan, sistem nilai yang
digunakan dikalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam.
Kalangan pesantren sendiri, menamakan sistem nilai yang dipakainya dengan
ungkapan ahl-u’l-sunnah wal-Jama’ah15
. “Pesantren sendiri dikenal sebagai
basis pendidikan tradisional yang mampu bertahan lama di Nusantara.”16
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan
dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi,
menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu
hingga saat sekarang pesantren tersebut secara garis besar dibagi dua,
pesantren salafi dan pesantren khalafi.
14 Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta:Ridamulia, 2005), h.191 15 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.31 16 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.37
15
c. Meunasah
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat
belajar atau sekolah. Bagi masyarakat Aceh meunasah tidak hanya semata-
mata tempat belajar, bagi mereka meunasah memiliki multi fungsi. Meunasah
di samping tempat belajar, juga berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat
pertemuan, musayawarah, pusat informasi, tempat tidur dan menginap bagi
musafir. Ditinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan
awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkat sekolah dasar.
Karena, di meunasah para murid diajari menulis, membaca huruf Arab, ilmu
agama dalam bahasa jawa (melayu), akhlak.17
d. Rangkang
Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun disekitar masjid.
Masjid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya
kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu
dibangun tempat tinggal mereka disekitar masjid, tempat tinggal murid
disekitar masjid inilah yang disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang
terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang
berbahasa Arab, tingkat pendidikan ini jika dibandingkan dengan sekolah saat
sekarang setingkat dengan sekolah lanjutan pertama.
Sistem pendidikan dirangkang ini sama dengan sistem pendidikan
dipesantren, murid-murid duduk berbentuk lingkaran dan si guru menerangkan
pelajaran, berbentuk halakah, metode yang disampaikan di dunia pesantren
disebut namanya dengan sorogan dan wetanon.
e. Dayah
Dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah yang artinya. Dengan
demikian, kata dayah yang berasal dari kata zawiyah di samping memiliki
hubungan kebangsaan yakni berubahnya kata zawiyah menjadi dayah menurut
17 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.284-288
16
dialek Aceh, juga memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama merujuk
kepada tempat pendidikan.
f. Surau
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, surau diartikan tempat umat Islam
melakukan ibadahnya. Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa
surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar
mengaji anak-anak, tempat wirid bagi orang dewasa. Sistem pendidikan
disurau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan dipesantren. Murid
tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat, syekh atau guru mengajar
dengan metode bandongan dan sorogan, ada juga murid yang berpindah ke
surau lain apabila dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau
terdahulu. Inti dari pelajaran adalah ilmu-ilmu agama, yang pada tingkat
tertentu mendasarkannya kepada pengajian kitab klasik.18
“Pesantren telah mengalami perubahan dan pengembangan format yang
bermacam-macam mulai dari surau atau masjid hingga pesantren yang makin
lengkap. Cikal bakal pesantren berasal dari pengajian di langgar atau surau.
Peralihan dari langgar dan masjid lalu berkembang menjadi pondok pesantren
ternyata membawa perubahan materi pengajaran.”19
Sebagai budaya pendidikan sekolah nasional, pondok pesantren mempunyai
kultur yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam
subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Gus dur berpendapat bahwa
pesantren sebagai sebuah subkultur karena memiliki keunikan dan perbedaan cara
hidup dari umumnya masyarkat Indonesia,20
sehingga menurut Gus Dur ada tiga
elemen yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur, yaitu
pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara,
18Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.19-28 19 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
mementingkan esensinya. Keadilan adalah milik semua bangsa dan harus
ditegakan oleh umat beragama.18
Nama Abdurrahman Wahid mulai dikenal sejak tahun 1977, ketika Gus Dur
banyak menulis media massa di Jakarta seperti pada surat kabar Kompas,
majalah Prisma dan Tempo. Tulisan-tulisan kontroversial sudah mulai muncul. Di
majalah Tempo Gus Dur selalu menulis tentang keunikan para kiai. Gus Dur
seolah ingin memperkenalkan dunia pesantren dan para kiai kepada pembaca
yang asing. Setiap menulis Gus Dur selalu mencantumkan nama pondok
pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah namanya. Karena itu sejak 1978 Gus
Dur menjadi semacam konsultan untuk pengembangan pesantren, yang beberapa
tahun kemudian dibidani kelahiran P3M (Perhimpunan Pesantren untuk
Pengembangan Masyrakat).
Sekjen presidium dewan Papua Thaha M. al-Hamid mengatakan “Gus Dur
mampu menjembatani segala perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat
tertentu di Papua pada tahun 2000 silam melalui proses bermartabat yang jauh
dari tindakan anarki yang melibatkan pertentangan antara rakyat dengan aparat.”
Rakyat Indonesia, termasuk Papua masih membutuhkan nasihat dan ketokohan
Gus Dur dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politk dan sosial yang muncul
baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.”19
3. Budaya
Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengadakan penelitian tentang 14 sistem budaya daerah di Indonesia, diantaranya
adalah sistem budaya daerah Aceh hingga NTT diteliti, termasuk sistem budaya
Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem budaya Jawa I yang ada di
18 Muhammad Rifai, op.cit.., h.98-99-102 19 H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang:Zahra book, 2009), h. 149
41
daerah-daerah keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem budaya
Jawa II adalah pinggiran, terutama di Jawa Timur. Budaya pesantren dalam hal
ini, termasuk sistem budaya Jawa II. Penelitian menunjukan, terdapat kemampuan
hidup sistem daerah kita ditengah-tengah arus modernisasi yang datang tanpa
dicegah.20
Seniman dan budayawan pun merasa kehilangan dengan wafatnya K.H.
Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur Presiden RI ke-4 pada rabu
30/12 malam. Pasalnya ketokohan Gus Dur sebagai anak bangsa mampu
memberikan pencerahan dalam pelbagai perspektif kehidupan termasuk
kebudayaan. Realitas itulah yang membuat seniman dan budayawan amat tekesan
dan ekstensial sang guru bangsa tersebut.21
Dalam negara dan kebudayaan Gus Dur menyatakan, jarang dan hampir tidak
pernah terjadi suatu kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan negara. Karena
negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan. Oleh
karenanya, kebudayaan harus dipisahkan dari negara, karena negara terjelma oleh
hasrat menguasai, sementara kebudayaan merupakan kebebasan kultural
manusiawi. Pemahaman ini tergerak karena Gus Dur memaknai kebudayaan
sebagai human social life (kehidupan sosial manusia), kebudayaan bukan
conditioning tempat manusia beradaptasi dengan lingkungan, kebudayaan lebih
merupa arah ideasional, di mana manusia mempertaruhkan nilai kemanusiaan
dalam mengolah kehidupan. Jika mengharapkan Gus Dur untuk tidak berpolitik,
tentu saja menjauhkan Gus Dur dari kebudayaannya. Artinya, kebudayaan Gus
Dur memanglah kebudayaan politik.22
Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa politik yang Gus Dur lakukan
adalah politik yang berbudaya atau bisa dikatakan, bahwa Gus Dur melakukan
politik di dalam kebudayaan.
20 Abdurrahman Wahid, op.cit., h. 161-258 21 Muhammad Rifai, op.cit., h.174 22 Wawan kurniawan, Jurnal Kajian Kebudayaan Dan Demokrasi Pesantren Ciganjur, (Jakarta:Litbang
2010), h. 14-19
42
4. Politik
Kemunculan K.H. Abdurrahman Wahid di kursi presidenan RI pada tanggal
20 Oktober 1999,23
bukanlah hal yang mengejutkan, walaupun sudah tentu sangat
membanggakan. Artinya dengan itu, pondok pesantren sesungguhnya memiliki
nilai lebih dalam hal kepemimpinan dibandingkan dengan lembaga-lembaga
pendidikan umum. Ini menjadi nilai plus orang pesantren dalam hal
kepemimpinan, selain berkenaan dengan apa yang tersebut di atas. Ada beberapa
kunci pokok yang memungkinkan langkah Gus Dur menuju jabatan kepresidenan,
yaitu
1) Faktor internal dalam diri Gus Dur sendiri. Selama ini Gus Dur dikenal
dengan sosok demokrat yang tidak berorientasi sempit. Visinya adalah untuk
seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok, apalagi individu.
Karakteristik Gus Dur yang luwes dalam menjalin hubungan dengan sesama
membuat dirinya memiliki hubungan kemana-mana. Penerimaan rakyat
terhadap Gus Dur tidak diragukan lagi. Bagi masyarakat yang terdiri dari
aneka macam kelompok, Gus Dur adalah yang terbaik diantara calon-calon
presiden yang lain.
2) Restu dari PBNU dan para kiai NU, legitimasi vertikal seperti ini sangat
signifikan terhadap langkah-langkah dan manuver Gus Dur. Di sisi rasional
“isyarat langit” yang diterima Gus Dur juga sangat beralasan. Potensi
disintegrasi terbuka lebar ketika polarisasi kekutan politik kian menggumpal.
Hanya Gus Dur yang bisa mencairkan gumpalan tersebut.24
Ketika beliau menjabat sebagai presiden RI ke-4, usaha yang berhasil beliau
lakukan adalah
23 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.132 24 H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang:Zahra book, 2009), h.41-42
43
a. Menahan laju pemburukan krisis multidimensi, termasuk didalamnya proses
pemarahan disintegrasi bangsa.
b. Gus Dur sangat memperhatikan dan memprihatinkan nasib pegawai negeri,
TNI dan Polri yang gajinya kecil. Jangan heran jika pada masa Gus Dur gaji
pegawai negeri pernah naik sampai dua kali ditambah dengan kenaikan
tunjangan stuktural. Gus Dur sangat sedih kalau gaji pegawai negeri yang
lulusan SI ada yang dibawah gaji pembantu rumah tangga. Ketika mau
menaikkan gaji pegawai negeri dan tunjangan jabatan birokrasi, menurut
informasi, ada menteri terkait yang menolak dengan alasan masuk akal,
“keuangan negara tak cukup dan bisa timbul gejolak.” Namun, Gus Dur tetap
meminta agar gaji dinaikkan, dengan berkata “naikkan, nanti kalau ada yang
tidak terima saya yang pasang badan.”
c. Langkah selanjutnya adalah menerbitkan Kepres No.6 tahun 2000 yang
mencabut Inpres No.14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina. Kebijakan yang dilakukan Gus Dur ini telah meletakan fondasi
bagi kebebasan beragama yang selama ini tidak di peroleh kalangan Konghucu.
Secara umum, ada empat kecendrungan gaya komunikasi yang dilakukan
Gus Dur, yaitu
1. Kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara equifocal, berarti pesan-
pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak berterusa
terang. Penerima pesan harus menduga artinya dari pada menangkapnya secara
langsung. Dalam pengertian politik sebagai art of possibility, komunikasi
equifocal terkadang perlu. Hal ini memang menjadi kebisaan gus dur sehingga
langkah-langkahnya tidak mudah di prediksi oleh lawan politiknya.
2. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai sosok yang pluralitas sehingga lebih
banyak diterima oleh berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun
ras.25
25 Prof. dr. Faisal Ismail, M.A, op.cit., h.158-159
44
3. Menurut Moh.Mahfud MD rasanya Gus Dur itu cukup terbuka terhadap kritik
dan toleran terhadap perbedaan, yang penting dalam berbeda pendapat dengan
Gus Dur itu kita harus jujur dan terus terang.
4. Siapapun bisa sewaktu-waktu memberi informasi kepada Gus Dur tanpa
prosedur-protokoler yang bertele-tele. Setiap informasi yang datang diserap
oleh Gus Dur tanpa membedakan siapa yang menyampaikan, dengan hatinya
yang selau berprasangka baik dan bisa juga Gus Dur itu percaya pada
informasi yang mungkin belum lengkap, bahkan menyesatkan. 26
Secara antropologis, yang dinamakan kiai biasanya mereka yang tergolong
ahli agama, tinggal ditengah para santrinya, jauh dari kepentingan dan perdebatan
politik, menjadi teladan dalam hal kesederhanaan dan kesalehan hidup dan
menjadi tempat orang untuk berkonsultasi untuk mencari ketenangan hidup.
Gambaran kiai semacam ini tentu saja masih banyak dan mudah ditemukan.
Namun, karena dihadapkan kepada tantangan dan peluang modernisasi, banyak
pesantren dan profil kiai yang telah mengalami transformasi. Pada dasarnya
masyarakat bukannya anti partai politik, tetapi mereka tetap ingin melihat yang
namanya lembaga pendidikan pesantren dan figur kiai itu tidak terlibat perebutan
kekuasaan politik. Secara antropologis, sudah tertanam sebuah pandangan bahwa
panggung politik itu penuh intrik, kotor, saling jegal, fitnah, penuh kebohongan,
bahasa yang digunakan penuh ambisi dunia. Sementara dunia kiai dan pesantren
adalah dunia yang damai, penuh dengan sopan santun, religius, sumber ilmu, dan
batinnya dekat dengan urusan akhirat. Pendukung terbesar NU ada di pelosok-
pelosok desa, selain itu nahdliyin juga dikenal sebagai kelompok masyarakat yang
mempunyai ketergantungan amat tinggi pada kepmimpinan seorang tokoh
panutan. Mereka bergantung pada kiai, bukan saja saat hendak memilih jalan
ibadah untuk menuju tuhan-Nya, melainkan juga saat memilih jalan politik untuk
membangun dunianya, membangun masyarakat dan negaranya.27
26 Moh. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur, (Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 2010), h. 216-223 27Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzaili, NU Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:pt
Kompas Media Nusantara, 2010), h.9
45
“Dengan tampilnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden, mendadak
sontrak citra dan fenomena kiai berubah secara sangat drastis. Transformasi
pesantren dalam rangka merespons modernisasi sesungguhnya sudah berlangsung
cukup lama, yaitu ketika dr. H. A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada
dekade 80-an.”28
Tidak dapat dipungkiri ketidakpuasan memang membayangi sebagian besar
masyarakat. Namun, ungkapan ketidakpuasan tersebut, bagi mereka tidak berarti
secara langsung harus diikuti pula oleh mereka terhadap kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah saat ini. Mereka masih memberikan toleransi, menganggap
pemerintahan Gus Dur belum perlu untuk diganti. Penyikapan demikian oleh
sebagian responden (62 %). Berdasarkan hasil penelitian ini, mereka yang tidak
merasa perlu keberadaan pemerintahan saat ini masih dibawah sepertiga bagian
saja. Artinya, posisi presiden di mata masyarakat masih diinginkan hampir dua
pertiga responden.
Berbagai alasan di lontarkan setiap responden berkaitan dengan keberadaaan
pemerintahan Gus Dur. Mereka yang masih merasa Gus Dur masih perlu
dipertahankan, sedikitnya melontarkan tiga macam alasan:
a) Menyangkut usia pemerintahan kali ini. bagi mereka usia pemerintahan kali ini
masih relative pendek. Masa kerja satu tahun, disadari belum memadai untuk
memvonis berakhirnya sebuah pemerintahan. Oleh Karen itu, masih perlu
diberikan kesempatan kepada pemeritahan kali ini agar memperbaiki segenap
kekurangannya.
b) Presiden tetap dipertahankan dengan alasan kualitas kepemimpinan. Penilaian
mereka bagaimanapun sosok Gus Dur masih yang terbaik di antara calon
pemimpin bangsa saat ini.
c) Mereka yang berpandangan belum ditemukan kesalahan besar dalam
pemerintahan kali ini. Kalangan ini berpendapat, sepanjang sembilan bulan
pemerintahannya, apa yang dilakukan kabinet masih dalam batas-batas normal
28 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.3-4
46
apabila dibandingkan dengan begitu besar dan rumitnya persoalan yang ada.
Sisanya, mereka yang mengangggap perlu mempertahankan Gus Dur, dengan
mempertimbangkan dampak dari pergantian presiden sebelum masa waktunya
berakhir. Bagi kalangan ini, pergantian akan menimbulkan persolaan baru,
ketidakpuasan pendukung presiden.
Bagi pemerintah, bisa jadi sepanjang satu tahun usia pemerintahannya apa
yang dilakukan sudah merupakan langkah maksimal. Namun, dimata masyarakat,
sepanjang satu tahun pemerintahan dianggap belum banyak menyentuh segenap
kepentingan mereka. Malah, dalam kurun waktu tersebut, yang justru muncul
semakin besarnya ungkapan ketidakpuasan terhadap segenap kinerja
pemerintahan. Kenyataan demikian terungkap dalam pandangan responden jangka
pendapat di 13 kota besar di Indonesia. Mereka tidak puas lantaran apa yang
mereka harapkan belum juga terwujud. Menurut hasil penelitian ini, rasa
ketidakpuasan mereka terungkap dalam tiga macam persoalan besar:
a) Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam bidang perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat.
b) Ketidakpuasan yang dilontarkan terhadap penanganan politik dan keamanan.
c) Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam upaya menegakkan
hukum.29
Kita semua sudah tau, Gus Dur merupakan seorang tokoh yang sudah lama
memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia dan bahkan di dunia
Internasional. Selama Orde Baru Gus Dur dengan tegar, kritis selalu membela
kepentingan bangsa secara keseluruhan di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Hal itu terlihat dengan jelas, di antarannya melalui pembelaannya yang tidak
kenal kompromi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan orang-orang yang
tertindas meskipun untuk itu Gus Dur harus menerima hujatan dari kelompok
mayoritas, atau bahkan dari kelompoknya sendiri. Berdasarkan kenyataan itu,
ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, tuduhan bahwa jati diri Gus Dur telah
29Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.151-164
47
berubah hanya karena Gus Dur mengeluarkan dekrit sangat kecil kemungkinan
kebenarannya. Interpretasi yang lebih bijkasana dan aman dalam membaca dekrit
Gus Dur adalah melalui pembacaan menyeluruh terhadap kehidupan dan
pemikiran Gus Dur, pendekatan hermeneutik. Melalui tafsiran ini, kita akan
mengetahui bahwa keluarnya dekrit itu kemungkinan besar lebih merujuk kepada
kepolosan Gus Dur dan husnuzzan-nya kepada orang-orang yang di sekelilingnya.
Lebih dari itu, melalui tindakan tersebut Gus Dur sebenarnya tidak ingin
mendapat pujian dalam menegakan demokrasi di Tanah Air ini. Justru yang Gus
Dur inginkan adalah menjadi martir demokrasi dalam arti yang senyatanya, tanpa
seorang pun yang mengetahui dan mengenangnya, maka Gus Dur mengeluarkan
dekrit. Pada tanggal 1 Agustus 2000, MPR mengadakan Sidang Istimewa.30
Untuk kian memperkukuh hal tersebut, Gus Dur pun sesudah itu tampil
seadanya di depan publik dengan tanpa beban sedikit pun. Dengan demikian,
ketika ia meninggalkan hiruk pikuk panggung politik, Gus Dur berharap tidak
seorang pun yang mengenangnya. Bila itu telah terjadi, berarti semua yang Gus
Dur lakukan dengan tujuan semata-semata untuk dipersembahkan kepada Tuhan
dan kemanusiaan universal benar-benar telah dicapainya. Namun, Gus Dur adalah
seorang manusia seperti kita semua, bukan Nabi apalagi seperti Tuhan. Gus Dur
pasti tidak lepas dari segala kekurangan dan kelemahan. Pada sisi itu kita harus
melihat Gus Dur dalam menggapai cita-citanya mengembangkan demokrasi
secara utuh dan tuntas di negeri ini sebagai sesuatu yang lumrah. Demikian pula
kita hendaknya menerima kelemahan yang lain, semisal ketidak mampuannya
dalam merangkul elite-elite politik yang sangat beragam dalam kepentingan dan
pemikiran. Semua itu muncul dari keberadaanya sebagai manusia biasa yang tidak
akan menghilangkan sisi-sisi kekuatan yang dimilikinya.31
Kasus bulog yang membawa blunder bagi kepresidenan Gus Dur, sebenarnya
paling tidak menurut M.Mahfud MD. Dalam bukunya yang berjudul setahun
bersama Gus Dur, hanya disebabkan oleh gaya dan selera Gus Dur dalam
30 Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Jakarta:LKIS Yogyakarta, 2003), h. 21 31 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.240-242
48
mengurus dan menyikapi persoalan. Ada tiga kelemahan Gus Dur yang
menyebabkan kasus itu menjadi blunder bagi dirinya:
1) Gus Dur tidak suka pada detail dan teknisnya dari persoalan. Dalam kasus
bulog, Gus Dur langsung tidak mau tahu lagi dengan kelanjutannya, tetapi
orang-orang yang tidak bertanggung jawablah yang kemudian melanjutkan
operasinya di luar pengetahuan Gus Dur.
2) Gus Dur acap kali suka menyederhanakan persoalan. Gus Dur tidak suka
dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika ia merasakan bahwa
kompromi itu merugikan dirinya dalam politik.32
Menurut Gus Dur, mendirikan sebuah Negara Islam tidak wajib bagi kaum
muslimin, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran
Islam adalah sesuatu yang wajib. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila sangat
penting dipakai sebagai landasan untuk memberi legitimasi bagi kegiatan politik
organisasinya, serta sebagai titik tolak untuk menyatakan keprihatinan atas
masalah-masalah dasar yang berkenaan dengan persatuan dan tujuan nasional.
Para pendukung dan pengkritiknya mengesankan betapa Gus Dur telah secara
sadar memilih strategi yang menjadikan pancasila sebagai wahana dan bahasa
politik untuk menyampaikan gagasannya.33
Sosok seorang Gus Dur tampaknya membekas begitu mendalam di benak
orang-orang yang pernah mengenalnya. Tokoh nasional Adnan Buyung Nasution
mengenang Gus Dur sebagai cendikiawan dan pejuang demokrasi yang berperan
besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.34
Dari uairaian di atas, sudah sangat jelas bahwa Gus Dur tidak menginginkan
adanya Negara Islam, tapi yang Gus Dur inginkan adalah masyarakat yang tetap
berpegang teguh terhadap ajaran Islam, dan beliau termasuk dalam golongan
substantive – enkulisifme.
32 Moh. Mahfud MD, op.cit.., h. 100-101 33 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta:The Wahid Instiitute, 2006), h.17-105 34 Muhammad Rifai,op.cit., h.170-171
49
Kebijakan Gus Dur tentang pendidikan ketika menjabat sebagai presiden
yaitu membuat UU No.22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan
desentralisasi, yang di dalam UU tersebut adanya kebijakan tentang pendidikan.
Dengan adanya UU No.22 dan 25 tahun 1999 telah membuktikan bahwa Gus Dur
sangat peduli terhadap pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan di
pesantren.
50
BAB IV
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH
K.H.ABDURRAHMAN WAHID
A. Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pesantren
Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada
modernisasi pendidikan pesantren. “Menurut Gus Dur berbagai aspek pendidikan di
pesantren, mulai dari kurikulum, manajemen dan kepemimpinan yang ada di
pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.”1
Dengan memperbaiki aspek-aspek yang ada di pesantren, pesantren dapat membantu
lulusannya agar dapat menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan zaman, sehingga
terlibat secara aktif dalam memberdayakan masyarakat dan tampil sebagai agen
pembaharu sosial.
Seiring dengan itu, kurikulum pesantren seharusnya tidak hanya berisi mata
pelajaran agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
“Menurut Gus Dur pendekatan dalam pengajaran yang ada di pesantren harus
disempurnakan dengan metode pengajaran yang merangsang kemampuan berfikir
1 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Tokoh-Tokoh Pemabaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta:Pt
Raja Graindo Persada, 2005), h.350
51
kritis dan bersikap kreatif. Sedangkan dalam segi kepemimpinan harus dilakukan
perpaduan antara yang bercorak karismatik dengan kepemimpinan yang demokratis
dan menerapkan manajemen yang modern.”2
Tidak seperti kebanyakan modernis, sekuler maupun islami, di dunia Islam yang
mencela ulama atas keterbelakangannya dan kegagalan masyarakat muslim. Gus Dur
justru menekankan pentingnya ulama dalam reformasi Islam, menurut Gus Dur dalam
reformasi Islam, kepemimpinan dinamis pesantren akan mampu mencegah krisis
yang berlarut-larut dalam pesantren, dan mengembangkan pesantren untuk menjadi
lembaga pendidikan dan sosial yang benar-benar mampu menghadapi tantangan
zaman. Gus Dur tidak menutup mata terhadap kegagalan banyak ulama tradisional
dan lembaga-lembaga mereka. Gus Dur berupaya menghidupkan kembali ulama dan
sistem pesantren, menggabungkan pemikiran dan kultural tradisional Islam yang
terbaik dengan pemikiran Barat modern yang terbaik.3
Tujuan Gus Dur adalah menghubungkan intelektual dengan reformasi sosial.
Untuk itu Gus Dur sangat menekankan revitalisasi melalui pengembangan
keberadaan dan peran kepemimpinan muda dalam pesantren yang akan mampu
merangkul kemajuan khususnya yang bersifat material dengan tradisi-tradisi yang
telah mereka warisi dari generasi terdahulu. Menurut Gus Dur, pendidikan Islam
harus sanggup meluruskan respon terhadap tantangan modernisasi, namun kesadaran
dalam hal itu, justru belum ada dalam pendidikan Islam. Hal inilah yang merisaukan
hati para pengamat seperti Gus Dur, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam
terjadi seperti terlihat di tanah air, ketidak mampuan memahami kenyataan ini, yaitu
hanya melihat lembaga pendidikan formal, seperti sekolah atau madrasah di tanah air
sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan
tentang pendidikan Islam itu sendiri.4
2 Ibid, h.352-360 3 Jhon L. Esposito, Tokoh Kunci Gerkaan Islam Kontemporer, (Jakarta:Pt. Raja grafindo persada, 2002),
h.260 4 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta:the Wahid Instute, 2006), h.225-226
52
Maksud dari gagasan Gus Dur, sudah sangat jelas bahwasanya pendidikan di
pesantren haruslah diubah baik dari kurikulum, menejemen dan kepemimpinannya.
Kepemimpinan di pesantren yang telah diketahui banyak orang, bersistem vertikal,
sehingga hanya keturunan dari para kiai yang akan meneruskan pesantren tersebut. Di
sini Gus Dur sebagai seorang keturunan kiai dan darah biru, ingin mengubah pola
kepemimpinan tersebut, sehingga siapapun bisa menjadi pemimpin pesantren, dengan
syarat orang tersebut mempunyai skill dan bisa membawa pesantren ke arah yang
lebih baik dan para alumninnya bisa bersaing di dunia kerja.
1. Gagasan Pembaharuan Kurikulum Pesantren
Pengembangan kurikulum di pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki
kehidupan nasional yang tertera dalam GBHN. Oleh karena itu, perkembangan
tersebut hendaknya mengakomodasi tuntunan sistematik dan lebih-lebih tuntutan
sosiologis masyarakat Indonesia. Secara umum sebuah pesantren telah memiliki
kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang padat dan didukung dengan bahan
pelajaran khusus. Untuk memudahkan cara kerja pengembangan kurikulum,
pesantren sebaiknya perlu diidentifikasi semua program pesantren. Dari sini akan
diperoleh pemetaan yang jelas, mana kegiatan yang termasuk ke dalam sistem
persekolahan dan mana yang masuk ke dalam non persekolahan. Sesungguhnya
ada dua proses yang lazim ditempuh dalam perkembangan kurikulum pendidikan,
termasuk pesantren, yaitu pengembangan pedoman kurikulum dan pengembangan
intruksional.5
Gus Dur menginginkan kurikulum pesantren memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan lapangan kerja, menurut Gus Dur sangat penting menghilangkan
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, dengan catatan penguasaan ilmu
agama harus diberi porsi cukup besar dalam kurikulum pesantren.
5 Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:Diva Pustaka, 2005), h.73-79
53
“Betapapun kecilnya pengembangan isi kurikulum telah membuktikan adanya
gerak kemajuan yang mengarah pada pemenuhan keperluan santri terutama
sebagai pembentukan intelektual disamping pengembangan kepribadian. Penataan
kurikulum pesantren terkait erat dengan ciri khas keilmuan pesantren.”6 Di masa
ini menurut Gus Dur, sistem pendidikan di pesantren tidak didasarkan pada
kurikulum yang digunakan secara luas, tetapi diserahkan pada penyesuaian yang
elastis antara kehendak kiai dan santri secara individual. Kemudian kurikulum
pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu yang
masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada masa awal
pertumbuhannya.
“Pengembangan kurikulum tersebut lebih bersifat rincian materi pelajaran yang
sudah ada daripada penambahan disiplin ilmu yang baru sama sekali.”7 Kurikulum
yang berkembang di pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap.
Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut:
1) Kurikulum ditunjukan untuk mencetak ulama di kemudian hari.
2) Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam
segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan
kepada santri secara pribadi oleh kiai.
3) Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam
artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya
atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada
pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.
Dalam hubungannya dengan penyediaan tenaga kerja, kurikulum dengan
karakteristik di atas telah menghasilkan alumni yang hanya memasuki lapangan
kerja tradisional, seperti menjadi guru, petani, pedagang kecil, dan pejabat
pemerintah pada jabatan yang tidak membutuhkan spesialisasi. Karena, pendidikan
6 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.43 7 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.110-112
54
yang diberikan tidak menjurus pada spesialisasi tertentu diluar penguasaan
pengetahuan agama maka tidaklah dapat diminta dari pesantren menurut pola di
atas untuk menyediakan tenaga kerja yang terdidik khusus untuk sesutau jenis
pekerjaan. Sifatnya yang ditekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup
tertentu yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan kerja yang tidak
direncanakan sebelumnya.8
Menurut penulis, kurikulum seperti yang di ataslah yang ingin dirubah oleh Gus
Dur. Karena, kalau kurikulum seperti di atas tetap dipertahankan maka para
lulusan pesantren hanya akan menjadi pekerja yang tidak mempunyai spesialisasi.
Perubahan dalam kurikulum yang dimaksud Gus Dur sesuai dengan prinsip
mengambil yang baru yang lebih baik dan mempertahankan yang lama yang baik.
Dengan dipertahankannya seperti: kurikulum pengajian non sekolah dan
kurikulum sekolah tradisional.
Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam variasi
bermacam-macam, namun kesemua perkembangan itu tetap mengambil bentuk
pelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat menggembleng ahli-ahli
agama yang di kemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan
transformasi total atas kehidupan masyarakat di tempat masing-masing. Beberapa
jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas dalam hubungan ini:
1) Kurikulum pengajian nonsekolah, santri belajar pada beberapa orang kiai dalam
sehari semalamnya. Kurikulum ini walaupun memiliki jenjangnya sendiri,
bersifat sangat fleksibel, dalam arti pembuatan kurikulum itu sendiri bersifat
individual oleh masing-masing santri. Sistem pendidikan seperti ini, yang
dinamai sistem lingkaran memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri
untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri
pengajian mana yang akan dilakukannya.
2) Kurikulum sekolah tradisional, pelajaran telah diberikan di kelas dan disusun
berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini
8 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010), h.145-146
55
tidak berarti pendidikannya sendiri telah menjadi klasikal karena kurikulumnya
masih didasarkan pada penahapan dan penjenjangan berdasarkan urut-urutan
teks kuno secara berantai. Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional
ini telah memasukan mata pelajaran nonagama dalam kurikulumnya, belum ada
integrasi kohesif antara komponen mata pelajaran agama dan nonagama.
Akibatnya, komponen nonagama lalu kehilangan relevansinya di mata guru dan
santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata pelajaran
nonagama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata pelajaran agama
bagi tugas penyebaran agama nantinya.
3) Pondok modern, kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing
kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagian integral
dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang. Akan tetapi, di sini mata
pelajaran nonagama, walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan
pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama sehingga kelompok mata
pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualitas dengan tekanan pada
penumbuhan ketrampilan skolatis.9
Dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus senantiasa diingat dalam
merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang memenuhi tuntuan dan
kebutuhan penyediaan angkatan kerja dalam hidup modern ini. Pertama-pertama
haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk membuat pesantren menerima
kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran agama dan fungsi
transformasi kultural yang dimiliki pesantren.
Menurut Gus Dur penyedian tenaga trampil dan terlatih untuk berbagai jenis
profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan
tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh warga pesantren selama ini.
Selain itu, harus pula diingat bahwa penguasaan pengetahuan agama haruslah diberi
porsi cukup besar dalam kurikulum apa pun yang diterapkan dilingkungan
pesantren. Porsi itu dapat diberikan dalam ukuran besar kualitatif, walaupun sedikit
9 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, op.cit. , h.350
56
secara kuantitatif. Di masa depan yang dekat ini masih belum mungkin dicapai
konsensus luas tentang sebuah kurikulum umum yang diterima bersama, walaupun
dalam bentuk sederhana sekalipun. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan
kebutuhan tenaga kerja yang semakin menjurus pada spesialisasi, percobaan yang
dilakukan masih harus diteruskan dan diselesaikan dengan sempurna, guna
menemukan kerangka kurikulum umum yang nantinya disepakati bersama tetapi
memiliki relevansi dengan kebutuhan di atas. Pendidikan kejuruan melalui
ketrampilan yang telah di modifikasi, misalnya, memberikan kemungkinan seperti
itu. Menurut Gus Dur kurikulum pesantren seharusnya tidak hanya berisi mata
pelajaran agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan
kerja.10
Ketika ingin memasukan kurikulum harus diberikan pedoman kepada pesantren
yang akan dimasuki oleh kurikulum baru, dan pesantren mampu merencanakan
kurikulum baru dengan kurikulum lama, sehingga para lulusannya dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan tenaga kerja yang spesialisasi dalam kehidupan modern ini.
2. Gagasan Pembaharuan Kepemimpinan Pesantren
Kiai adalah pemimpin non formal sekaligus pemimpin spiritual, dan posisinya
sangat dekat dengan kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. “Oleh
karena itu, segi kepemimpinan harus dilakukan perpaduan antara yang bercorak
karismatik dengan kepemimpinan yang demokratis dan menerapkan menejemen
yang modern.”11
“Sebagai pemimpin masyarakat, kiai memiliki jema’ah komunitas dan masa
yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya patrenalistik.
Kiai memang memiliki posisi yang serba menentukan kebijaksanaan di tengah
11 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, op.cit., h.351-360
57
masyarakat, sehingga cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada
akhirnya justru berakibat fatal.”12
Biasanya, pesantren didirikan oleh seseorang yang bercita-cita tinggi dan
mampu mewujudkan cita-citanya itu. Proses pendirian pesantren secara
sedemikian ini menampilkan seorang pemimpin yang tertimpa oleh pengalaman,
memiliki keunggulan kepribadian yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain di
sekitar pesantren. Kekuatan pribadi seperti itu menimbulkan corak kepemimpinan
yang sangat pribadi sifatnya, yang berlandaskan penerimaan masyarakat luar dan
warga pesantrennya secara mutlak. Sifat mutlak dan pribadi dari kepemimpinan
seperti ini dinamai kharisma.13
Dalam pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam kelompok kebijakan
yang melibatkan sejumlah pihak yaitu ustadz, wali santri dan santri. Di dalam
pesantren salafiyah sendiri yang telah melaksanakan madrasah, maka
pemimpinnya boleh untuk menjalankan kewenangan dan pembuatan keputusan
secara formal sebagai kepala madrasah. Sedangkan pesantren salafiyah yang tidak
menyelenggarakan sekolah formal, tugas pemimpin mungkin cukup memberi
pengarahan dan kordinasi untuk melaksanakan program-program pesantren,
sedangkan urusan teknis diserahkan kepada staf yang telah ditunjuk. Dalam
mengemban sebagai lembaga pendidikan, menurut Gus Dur sebuah pesantren
hendaknya memfokuskan program dan kegiatannya untuk memberi layanan
pendidikan dan belajar-mengajar demi mempersiapkan lulusan santri yang
berkualitas. Di sinilah para pemimpin pendidikan pesantren diharapkan mampu
menjadi inspirator demi terciptannya komunitas belajar yang dinamis.14
Kepemimpinan di pesantren selama ini pada umumnya bercorak alami. Baik
pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan
menggantikan pimpinan yang ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan
menetap. Dalam beberapa hal, pembinaan dan pengembangan seperti itu dapat