Pembagian Jenis Kata Menurut Tatabahasa Tradisional Kesepuluh jenis kata yang biasa dibaca dalam tatabahasa tradisional adalah sebagai berikut: A. Kata Benda atau Nomina Kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan. Selanjutnya kata-kata benda, menurut wujudnya, dibagi atas: 1. Kata benda konkrit, dan 2. Kata benda abstrak. Kata-kata benda konkrit adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Kata benda konkrit selanjutnya dibagi lagi atas: 1. Nama diri 2. Nama zat dan lain sebagainya. Dalam persoalan kata benda, bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Yunani-Latin, mempunyai ciri-ciri yang khusus untuk menunjukkan bahwa kata tersebut adalah kata benda. Ciri-ciri itu meliputi: 1. Perubahan bentuk berdasarkan fungsi kata itu dalam sebuah kalimat ( Casus ). 2. Perubahan bentuk berdasarkan jumlah dari kata benda itu ( Numerus ). Bahasa Latin mengenal dua numeri: Singularis dan Pluralis atau Tunggal dan Jamak, sedangkan bahasa-bahasa Yunani dan Sansekerta mengenal tiga numeri: Singularis, Dualis dan Pluralis. 3. Jenis kata dari kata benda itu (genus atau gender). Semua ciri itu tidak bisa diterapkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak menganal akan adanya casus, tidak mengenal akan
36
Embed
Pembagian Jenis Kata Menurut Tatabahasa Tradisional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pembagian Jenis Kata Menurut Tatabahasa Tradisional
Kesepuluh jenis kata yang biasa dibaca dalam tatabahasa tradisional adalah
sebagai berikut:
A. Kata Benda atau Nomina
Kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan.
Selanjutnya kata-kata benda, menurut wujudnya, dibagi atas:
1. Kata benda konkrit, dan
2. Kata benda abstrak.
Kata-kata benda konkrit adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap
dengan pancaindera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda
yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Kata benda konkrit selanjutnya
dibagi lagi atas:
1. Nama diri
2. Nama zat dan lain sebagainya.
Dalam persoalan kata benda, bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Yunani-
Latin, mempunyai ciri-ciri yang khusus untuk menunjukkan bahwa kata tersebut
adalah kata benda. Ciri-ciri itu meliputi:
1. Perubahan bentuk berdasarkan fungsi kata itu dalam sebuah kalimat ( Casus ).
2. Perubahan bentuk berdasarkan jumlah dari kata benda itu ( Numerus ). Bahasa
Latin mengenal dua numeri: Singularis dan Pluralis atau Tunggal dan Jamak,
sedangkan bahasa-bahasa Yunani dan Sansekerta mengenal tiga numeri:
Singularis, Dualis dan Pluralis.
3. Jenis kata dari kata benda itu (genus atau gender).
Semua ciri itu tidak bisa diterapkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
tidak menganal akan adanya casus, tidak mengenal akan adanya numerus juga
tidak mengenal genus . Kita tidak perlu merasa bahwa bahasa Indonesia
kekurangan sesuatu atau miskin akan sesuatu bentuk atau konsep. Tiap bahasa
memiliki sifat-sifat yang khas. Sistem bahasa Indonesia dalam dirinya sendiri
cukup sempurna untuk mengungkapkan segala sesuatunya sebagai pendukung
kebudayaan bangsa Indonesia . Untuk itu perlu kita menggali (bukan meniru-
niru) ciri-ciri yang masih tersembunyi dalam struktur bahasa ini, untuk dijadikan
ciri kata bendanya. (Lihat Kata Benda pada Pembagian Jenis Kata Baru)
B. Kata Kerja atau Verba
Kata kerja adalah semua kata yang menyatakan perbuatan atau laku. Bila suatu
kata kerja menghendaki adanya suatu pelengkap maka disebut kata kerja
transitif , seperti memukul, menangkap, melihat, mendapat, dan sebagainya.
Sebaliknya, bila kata kerja tersebut tidak memerlukan suatu objek maka
disebut kata kerja intransitif , seperti menangis, meninggal, berjalan, berdiri dan
sebagainya.
Kata-kata dalam bahasa Yunani, Latin, Sansekerta jelas bias ditentukan sebagai
kata kerja karena mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu bentuk verbal-finit . Bentuk
verbal-finit adalah bentuk yang khusus yang hanya bias diambil oleh sebuah
kata kerja. Bentuk finit (yang sudah dibatasi) dari suatu kata kerja tergantung
dari beberapa hal berikut, yang sekaligus mengharuskan kita memakai bentuk-
bentuk yang sesuai dengan itu, yaitu:
1. Berdasarkan persona (orang: I, II, III/tunggal dan jamak)
2. Berdasarkan ragamnya (pasif-aktif).
3. Berdasarkan kalanya ( tempus, tense ).
4. Berdasarkan cara ( modus : indikatif, impertaif, desideratif dan sebagainya).
Perubahan bentuk kata kerja berdasarkan keempat hal di atas
disebut konjugasi . Sedangkan perubahan, baik pada kata-kata benda (deklinasi)
maupun pada kata-kata kerja (konjugasi) bersama-sama disebut fleksi . Itulah
sebabnya bahasa-bahasa Barat disebut juga bahasa-bahasa Fleksi.
Di samping perubahan bentuk-bentuk tersebut, bentuk-bentuk in-finitnya
menunjukkan cirri-ciri khusus, yang sekaligus menjadi tanda pengenal bahwa
kata tersebut adalah kata kerja. Misalnya semua kata yang berakhiran –are, -ere,
-ere,dan ire- adalah kata kerja. Jadi jika kita menemukan kata seperti amare,
cantare, delere, regere, dormire, dan lain-lain kita akan dapat memastikan
bahwa kata-kata itu adalah kata kerja, walaupun kita tidak mengetahui artinya.
Dengan demikian kata aegrotare yang berarti sakit dalam bahasa Latin akan
langsung kita golongkan dalam kata kerja, tanpa melihat artinya. Tetapi
bagaimana dengan kata sakit dalam bahasa Indonesia ?
Oleh karena itu, kita harus mencari ciri-ciri untuk mejadi pegangan kata kerja
dalam bahasa Indonesia. (Lihat Kata Kerja pada Pembagian Jenis Kata Baru)
C. Kata Sifat atau Adjektif
Menurut Aristoteles, kata sifat adalah kata yang menyatakan sifat atau hal
keadaan dari suatu benda: tinggi, rendah, lama, baru, dan sebagainya.
Adjektif dalam bahasa-bahasa Barat selalu harus selaras dengan kata benda
yang diikuti dalam tiga hal, yaitu:
1. dalam casus nya;
2. dalam jumlahnya (numerus);
3. dan dalam jenis kata (genus).
Adjektif selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila
ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan (gradus comparationis), untuk
membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Taraf-taraf
perbandingan itu adalah:
1. Tingkat biasa atau gradus positivus.
2. Tingkat lebih atau gradus comparativus.
3. Tingkat paling atau gradus superlativus.
Selain dari ketiga tingkat perbandingan ini masih ada satu hal yang lain yaitu:
keadaan yang sangat tinggi derajatnya, tetapi dengan tidak mengadakan
perbandingan dengan urutan-urutan keadaan yang lain. Derajat semacam ini
disebutelatif, misalnya:
- Yang terpenting, ialah memilih kawan-kawan yang dapat dipercaya.
- Gunung itu terlalu tinggi.
Kedudukan jenis kata ini jelas dalam bahasa-bahasa Barat. Kata-kata ini bias
dikenal segera karena bentuknya yang khusus yang diambil berdasarkan kata
benda yang diikutinya (dalam hal genus, numerus, dan casus) maupun
berdasarkan tingkat-tingkat perbandingannya.
Apakah bahasa Indonesia juga memiliki ciri-ciri khusus untuk menentukan bahwa
suatu kata adalah kata sifat? (Lihat Kata Sifat pada Pembagian Jenis Kata Baru)
D. Kata Ganti atau Pronomina
Yang termasuk dalam jenis kata ini adalah segala kata yang dipakai untuk
menggantikan kata benda atau yang dibendakan. Pembagian Tradisional
menggolongkan kata-kata ini ke dalam suatu jenis kata tersendiri. Ketentuan ini
tidak dapat dipertahankan dari segi structural, karena kata-kata ini sama
strukturnya dengan kata-kata benda lainnya. Oleh karena itu dalam usaha
mengadakan pembagian jenis kata yang baru kita akan menempatkannya dalam
suatu posisi yang lain dari biasa.
Kata-kata ganti menurut sifat dan fungsinya dapat dibedakan atas:
1. Kata Ganti Orang atau Pronomina Personalia
Kata Ganti Orang dalam bahasa Indonesia adalah:
Tunggal Jamak
Orang I : aku kami, kita
Orang II : engkau kamu
Orang III : dia mereka
a. Untuk orang I
Untuk orang pertama tunggal, guna menyatakan kerendahan diri dipakai kata-
kata hamba, sahaya (Sansekerta: pengiring, pengikut), patik, abdi. Sebaliknya
intuk mengungkapkan suasana yang agung atau mulia maka kata kamiyag
sebenarnya digunakan untuk orang pertama jamak dapat dipakai pula untuk
menggantikan orang pertama tunggal. Ini disebut pluralis majestatis.
b. Untuk orang II
Untuk orang kedua tunggal dipakai paduka (Sansekerta: sepatu), tuan, Yang
Mulia, saudara, ibu, bapak, dan lain-lain. Semuanya itu dipakai untuk
menyatakan bahwa orang yang kita hadapi jauh lebih tinggi kedudukannya
daripada kita. Kata kamu yang sebenarnya merupakan kata ganti orang kedua
jamak dipakai pula sebagai pluralis majestatis untuk menggantikan orang kedua
tunggal. Tetapi pada masa sekarang ini nilai keagungan itu sudah tidak terasa
lagi, karena terlalu sering dipakai.
c. Untuk orang III
Untuk orang ketiga dipergunakan juga kaata-kata beliau, sedang bagi yang telah
meninggal dipakai kata mendiang, almarhum atau almarhumah.
2. Kata Ganti Kepunyaan atau Pronomina Posesif
Kata ganti kepunyaan adalah segala kata yang menggantikan kata ganti orang
dalam kedudukan sebagai pemilik: -ku, -mu, -nya, kami, kamu, mereka.
Sebenarnya pembagian ini dalam bahasa Indonesia tidak diperlukan sebab yang
disebut kata ganti kepunyaan itu sama saja dengan kata ganti orang dalam
fungsinya sebagai pemilik. Dalam fungsinya sebagai pemilik ini, kata-kata
tersebut mengambil bentuk-bentuk ringkas dan dirangkaikan saja di belakang
kata-kata yang diterangkannya.
bajuku = baju aku
bajumu = baju engkau
bajunya = baju n + ia
Bentuk-bentuk ringkas ini yang diletakkan di belakang sebuah kata
disebut enklitis . Bentuk enklitis ini dipakai juga untuk menunjukkan fungsi kata
ganti orang, bila kata ganti orang itu menduduki jabatan obyek atau mengikuti
suatu kata depan:
padaku, padamu, padanya, bagiku, bagimu, baginya, dan lain-lain.
Apabila bentuk-bentuk ringkas itu dirangkaikan di depan sebuah kata
disebut proklitis , misalnya kupukul, kaupukul.
Di atas telah disinggung bahwa apa yang dinamakan kata ganti kepunyaan itu
dalam bahasa Indonesia tidak pelu ada. Bahwa dalam bahasa Yunani-Latin
terdapat konsepsi ini, hal itu sejalan dengan struktur bahasa-bahasa tersebut.
Sebagai contoh, kata saya dalam bahasa Latin adalah ego dengan mengambil
bermacam-macam bentuk sesuai dengan fungsinya dalam kalimat: ego, mei,
mihi, me; tetapi dalam fungsinya sebagai pemilik terdapat bentuk meus, yang
akan mengambil semua bentuk sebagai kata-kata sifat sesuai dengan kata
benda yang diikutinya: meus, mei, meo, dan lain-lain. Jadi kata meus memiliki
deklinasi tersendiri. Bahasa Indonesia tidak demikian. Dalam segala hal
kata saya, misalnya, tetapi tidak berubah: saya berjalan, abang memukul saya,
ia memberi sebuah buku kepada saya, ia mengambil buku saya, dan sebagainya.
Kata saya dalam buku saya tidak mengurangi pengertian kita bahwa kata itu
adalah pengganti orang dengan fungsi sebagai pemilik sesuatu.
3. Kata Ganti Penunjuk atau Pronomina Demonstratif
Kata Ganti Penunjuk adalah kata-kata yang menunjuk dimana terdapat suatu
benda. Dalam masyarakat bahasa Melayu Lama, atau lebih dahulu lagi,
seharusnya orang mengenal tiga macam kata ganti penunjuk:
1. Menunjuk sesuatu di tempat pembicara : ini
2. Menunjuk sesuatu di tempat lawan bicara : itu
3. Menunjuk sesuatu di tempat orang ketiga : *ana.
enunjukan benda pada tempat orang ketiga pada waktu sekarang disamakan
saja dengan penunjukan pada tempat orang kedua yaitu dengan
mempergunakan kata itu. Berdasarkan perbandingan dengan beberapa bahasa
Daerah, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kata *ana untuk menunjukkan
benda pada tempat orang ketiga harus ada pada jaman dahulu, seperti pada
bahasa Jawa misalnya, ketiga bentuk itu masih ada: iki, iku, ika. Penunjukan
pada tempat orang ketiga dalam bahasa Indonesia lama kelamaan mundur atau
kurang dipergunakan, akhirnya hilang sama sekali dari perbendaharaan bahasa
Indonesia. Walaupun demikian kita masih menemukan residu dalam pemakaian
sehari-hari, seperti: sana, sini, situ.
4. Kata Ganti Penghubung atau Pronomina Relatif
Kata Ganti Penghubung ialah kata yang menghubungkan anak kalimat dengan
suatu kata benda yang terdapat dalam induk kalimat. Fungsi kata ganti
penghubung antara lain:
1. Menggantikan kata benda yang terdapat dalam induk kalimat.
2. Menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat.
Kata Ganti Penghubung dalam bahasa Indonesia yang umum diterima
adalah yang. Dalam sejarah pertumbuhan bahasa Indonesia kata yang mula-
mula tidak mempunyai fungsi relatif seperti sekarang. Dahulu yang hanya
berfungsi sebagaipenentu atau penunjuk. Lambat laun fungsi-fungsi itu
menghilang dan nyaris tidak dirasakan lagi. Walaupun demikian masih terdapat
residu-residu dungsi tersebut dalam pemakaian kita sehari-hari:
Yang buta dipimpin
Yang lumpuh diusung
Ia berkata kepada sekalian yang hadir
Yang besar harus memberi contoh kepada yang kecil.
Kata yang sebenarnya terbentuk dari kata ia (sebagai penunjuk) dan ng sebagai
penentu. Ia sebenarnya adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang juga
dipergunakan sebagai penunjuk, serta unsure ng itu biasa dipergunakan dalam
bahasa Indonesia Purba dengan fungsi penentu. Dengan demikian
fungsi yang sejak dari awal perkembangannya hingga sekarang dapat diurutkan
sebagai berikut:
1. Sebagai penunjuk
2. Sebagai penentu (penekan)
3. Sebagai penghubung dan pengganti
Selain kata yang, terdapat lagi satu kata ganti penghubung yang lain, yang
benar-benar bersifat Indonesia asli, terutama bila menggantikan suatu
keterangan atau tempat, yaitu kata tempat. Karena pengarug bahasa-bahasa
Barat, orang sering lupa akan kata ganti penghubung ini, serta menterjemahkan
ungkapan-ungkapan asli dengan kata-kata yang sebenarnya tidak sesuai dengan
selera bahasa Indonesia, misalnya:
Rumah di mana kami tinggal
Lemari di dalam mana saya menyimpan buku
Kalimat-kalimat di atas akan terasa lebih baik bila dikatakan:
Rumah tempat kami tinggal
Lemari tempat saya menyimpan buku
Jadi, kita tidak perlu mengikatkan diri kepada konstruksi-konstruksi asing yang
tidak sesuai dengan jalan bahasa Indonesia. Fungsi kata tempat sebagai
penghubung tampak jelas dari contoh-contoh di atas. Di samping itu kita tidak
perlu terikat kepada satu konstruksi, tetapi bias mencari variasi-variasi lain
tetapi yang asli Indonesia.
5. Kata Ganti Penanya atau Pronomina Interogatif
Kata Ganti Penanya adalah kata yang menanyakan tentang benda, orang atau
sesuatu keadaan. Kata Ganti Penanya dalam bahasa Indonesia adalah:
1. Apa : untuk menanyakan benda
2. Siapa : (si + apa) untuk menanyakan orang
3. Mana : untuk menanyakan pilihan seseorang atau beberapa hal atau barang.
Kata-kata Ganti Penanya di atas dapat dipakai lagi dengan bermacam-macam
penggabungan dengan kata-kata depan, seperti:
dengan apa dengan siapa dari mana
untuk apa untuk siapa ke mana
buat apa k kepada siapa
Selain dari kata-kata tersebut ada pula kata-kata ganti penanya yang lain bukan
menanyakan orang atau benda tetapi menanyakan keadaan, perihal dan
sebagainya:
mengapa bagaimana
berapa kenapa (pengaruh bahasa Jawa)
6. Kata Ganti Tak Tentu atau Pronomina Indeterminatif
Kata Ganti Tak Tentu adalah kata-kata yang menggantikan atau menunjukkan
benda atau orang dalam keadaanyang tidak tentu atau umum, misalnya:
masing-masing siapa-siapa seseorang
sesuatu barang para
salah (salah satu…)
Kata barang dalam bahasa Melayu Lama masih mempunyai peranan yang cukup
penting karena masih sering digunakan:
Barang siapa melanggar peraturan harus ditindak tegas
Barang apa yang dikerjakannya pasti berhasil
Berilah aku barang sedikit.
E. Kata Bilangan atau Numeralia
Kata Bilangan adalah kata yang menyatakan jumlah benda atau jumlah
kumpulan atau urutan tempat dari nama-nama benda.
Menurut sifatnya kata bilangan dapat dibagi atas:
1. Kata Bilangan Utama (Numeralia Caedinalia): satu, dua, tiga, empat, seratus,
seribu, dan sebagainya.
2. Kata Bilangan Tingkat (Numeralia Ordinalis): pertama, kedua, ketiga, kelima,
kesepuluh, keseratus, dan sebagainya.
3. Kata Bilangan Tak Tentu: beberapa, segala, semua, tiap-tiap dan sebagainya.
4. Kata Bilangan Kumpulan: kedua, kesepuluh, dan sebagainya; bertiga, berdua,
bersepuluh.
Catatan :
a. Dari segi morfologi tidak ada perbedaan antara kata bilangan tingkat dan kata
bilangan kumpulan yang memakai prefiks ke-. Tetapi dalam distribusi kalimat
nampaklah perbedaan struktur keduanya, yaitu kata bilangan tingkat tempatnya
selalu mengikuti kata benda sedangkan kata bilangan kumpulan selalu
mendahului kata benda.
Kata bilangan tingkat Kata bilangan kumpulan
bangku yang kedua kedua bangku itu
permainan kesepuluh kesepuluh permainan itu
soal yang ketiga ketiga soal itu
b. Mengenai kata bilangan utama, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1. Kata-kata delapan, sembilan, bukanlah kata bilangan utama asli, tetapi
merupakan kata jadian yang kini sudah tidak dirasakan lagi.
Kata-kata tersebut berasal dari:
Delapan > dua alapan (= dua ambilan, yaitu dua diambil dari sepuluh).
Sembilan > sa ambilan (= diambil satu dari sepuluh)
2. Orang-orang Nusantara dahulu mengenal bilangan yang paling tinggi hanya
sampai ribuan. Akibat adanya kontak dengan negeri-negeri lain, terutama India,
mereka menerima bilangan yang lebih tinggi dari ribuan. Karena perkenalan
mereka dengan orang-orang India, mereka memasukkan kata-kata laksa,
keti, dan juta. Tetapi pada mulanya dalam bahasa Sansekerta kata-kata itu
mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi yaitu:
Laksa : Sansekerta : 100.000
Keti : Sansekerta : 10.000.000
Bagi orang-orang Nusantara waktu itu, bilangan itu terlalu samar-samar,
sedangkan di pihak lain mereka memerlukan istilah untuk bilangan genap
sesudah seribu; karena itu laksa diturunkan nilanya menjadi 10.000,
sedangkan ketiditurunkan menjadi 100.000.
3. Bilangan yang lebih dari satu juta biasanya dipinjam dari istilah-istilah Barat.
Namun ada dua sistem yang biasa digunakan yaitu system Perancis dan
Amerika, yang diikuti Indonesia , dan sistim Inggris dan Jerman.
4. Kata bilangan biasanya ditulis dengan angka Arab, dan dalam hal tertentu
dipergunakan juga angka Romawi.
KATA BANTU BILANGAN
Dalam menyebut berapa jumlah suatu barang, dalam bahasa Indonesia tidak
saja dipakai kata bilanganm tetapis elalu dipakai suatu kata yang
menerangkan sifat atau macam barang itu. Kata-kata semacam itu disebut kata
bantu bilangan.
Di antara kata-kata bantu bilangan yang selalu atau sering dipakai dalam bahasa
Indonesia adalah:
Orang : untuk manusia.
Ekor : untuk binatang.
Buah : untuk buah-buahan, dan macam-macam benda atau hal yang lain pada
umumnya.
Batang : untuk barang-barang yang bulat panjang bentuknya seperti pohon,
rokok dan lain-lain.
Bentuk : untuk barang-barang yang dapat dibengkokkan atau dilenturkan seperti
cincin, mata kail, gelang dan sebagainya.
Belah : untuk barang-barang yang mempunyai pasangan seperti mata, telinga,
dan sebagainya.
Bidang : untuk barang-barang yang luas dan rata seperti tanah.
Helai : untuk kertas, daun, baju, kain, dan lain-lain.
Bilah : untuk barang-barang tajam seperti pisau, pedang, keris, dan sebagainya.
Utas : untuk barang-barang yang panjang seperti tali, benang, rantai, dan
sebagainya.
Potong : untuk bagian-bagian atau potongan dari suatu barang.
Butir : untuk benda-benda yang bundar kecil bentuknya seperti telur, intan,
beras, dan sebagainya.
Tangkai : untuk bunga.
Pucuk : untuk surat , meriam, senapan.
Carik : untuk sobekan-sobekan kertas, kain, dan sebagainya.
Rumpun : untuk tumbuh-tumbuhan yang tumbuhnya berkelompok seperti tebu,
bambu, dan sebagainya.
Keping : untuk barang-barang yang tipis seperti papan, mata uang.
Biji : untuk barang-barang yang kecil seperti mata, kerikil, dan sebagainya.
Kuntum : untuk bunga.
Patah : untuk kata.
Kaki : untuk bunga, payung.
Laras : untuk bedil, senapan.
F. Kata Keterangan atau Adverbia
Kata-kata Keterangan atau adverbia adalah kata –kata yang memberi
keterangan tentang:
1. Kata Kerja
2. Kata Sifat
3. Kata Keterangan
4. Kata Bilangan
5. Seluruh Kalimat
Kata keterangan secara tradisional dapat dibagi-bagi lagi atas beberapa macam
berdasarkan artinya atau lebih baik berdasarkan fungsinya dalam kalimat, yaitu:
1. Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau
situasi dari suatu perbuatan.
Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
Ia menyanyi dengan nyaring
Biasanya Kata Keterangan ini dinyatakan dengan mempergunakan kata
depan dengan + Kata Sifat. Jadi sudah tampak di sini bahwa Kata Keterangan itu
bukan merupakan suatu jenis kata tetapi adalah suatu fungsi atau jabatan dari
suatu kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat.
2. Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu
peristiwa dalam suatu bidang waktu:sekarang, nanti, kemarin, kemudian,
sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan
waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu
berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu
peristiwa secara obyektif.
3. Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa
atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke
sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan
Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi
merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam
kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa
lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau
kata ganti penunjuk.
4. Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si
pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas
lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara
ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan
pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa: