7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin http://slidepdf.com/reader/full/pemanfaatan-teknik-in-vitro-untuk-penyaringan-tanaman-tahan-salin 1/20 MAKALAH SEMINAR UMUM PEMANFAATAN TEKNIK IN VITRO UNTUK PENYARINGAN TANAMAN TAHAN SALIN DISUSUN OLEH: RIZA LUTHFIAH 09/281774/PN/11595 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013
20
Embed
Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Beberapa manfaat penggunaan teknik in vitro untuk penyaringan pada tanaman tahan salin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
PEMANFAATAN TEKNIK IN VITRO UNTUK PENYARINGAN TANAMAN
TAHAN SALIN
ABSTRAKSI
Lingkungan yang heterogen dan perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim merupakan permasalahan
di bidang pertanian yang dapat menimbulkan cekaman. Cekaman abiotik yang paling berpengaruh
besar pada produktivitas dan kualitas panen tanaman budidaya adalah cekaman salinitas karena dapat
menurunkan kualitas dan produktivitas komoditas pertanian. Manipulasi iklim dan reklamasi lahan
dapat saja dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat cekaman yang dialami tanaman budidaya,
namun keputusan tersebut menjadi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya yang cukup besar.
Manipulasi tanaman dapat menjadi solusi masalah ini. Metode pemuliaan tanaman konvensional sering
digunakan untuk mendapatkan jenis tanaman baru yang memiliki ketahanan cekaman salinitas namun
sering tidak efisien. Melalui pendekatan bioteknologi, salah satunya adalah budidaya jaringan tanaman
dapat dijadikan alternatif dalam membantu usaha tujuan pemuliaan tanaman mendapatkan tanaman
tahan cekaman salinitas. Seleksi secara in vitro dapat dilakukan dengan penentuan lethal dosis cekaman
garam, penyaringan ketahanan cekaman salinitas, dan regenerasi serta evaluasi hasil tanaman yang
tahan cekaman salinitas.
Kata kunci: seleksi, in vitro, salinitas
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan yang heterogen dan perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim merupakan
permasalahan di bidang pertanian yang dapat menimbulkan cekaman. Hanya 10% lahan didunia yang dikategorikan sebagai lahan bebas cekaman. Sebagian besar tanaman budidaya
yang tumbuh di lapangan sering dihadapkan pada berbagai cekaman abiotik. Cekaman
abiotik yang mungkin dialami setiap tanaman budidaya yaitu cekaman kekeringan, salinitas,
genangan, suhu ekstrim, dan logam berbahaya. Cekaman abiotik tersebut mampu mengurangi
hasil dan menghambat pertumbuhan tanaman budidaya (Roy et al., 2011).
Cekaman abiotik yang paling berpengaruh besar pada produktivitas dan kualitas panen
tanaman budidaya adalah cekaman salinitas karena dapat menurunkan kualitas dan
produktivitas komoditas pertanian. Meningkatnya salinitas pada tanah menyebabkan
peningkatan konsentrasi Na+ dan Cl- pada tajuk tanaman yang berakibat pada penurunan
pertumbuhan tanaman. Dalam proses fisiologi tanaman, Na+ dan Cl- mempengaruhi
pengikatan air oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi kekeringan, sedangkan
Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi oksigen. Sementara
penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan pembengkakan dan
penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas. Hal ini akan mengakibatkankeracunan pada tanaman dan pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Budidaya jaringan tanaman adalah budidaya sel, jaringan, organ, atau seluruh bagian
tanaman secara in vitro dalam kondisi lingkungan yang aseptik dan terkendali serta
kebutuhan nutrisi yang tersedia dengan cukup. Tanaman yang dihasilkan dari budidaya
jaringan akan sama persis dengan tanaman yng dijadikan bahan biakan. Kondisi lingkungan
yang terkendali akan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bahan biakan secara optimal (Hussain et al., 2012).
Konsep budidaya jaringan terungkap dalam teori sel yang diungkapkan oleh ahli Biologi
yaitu Schleiden dan Schwann 1838 – 1839 yang mengemukakan bahwa satu sel dapat
tumbuh sendiri walaupun terpisah dari tanaman induknya. Konsep inilah yang menyatakan bahwa satu sel akan mampu berkembang dan membentuk individu yang utuh. Pada abad XX
beberapa ahli botani membuktikan bahwa sel atau jaringan dapat ditanam secara terpisah
dalam suatu budidaya (in vitro) dan beregenerasi membentuk bagian-bagian atau organ
sehingga dapat tumbuh normal menjadi suatu individu. Kemampuan tersebut dinamakan teori
totipotensi. Konsep totipotensi ini merupakan konsep dasar dari teknik budidaya jaringan.
Pada tahun 1902, budidaya jaringan tanaman pertama kali digunakan oleh Haberlandt untuk
mempelajari morfogenesis dan sifat totipotensi dari sel-sel tanaman (Suhartati, 2008).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik budidaya jaringan tanaman tebu,
yaitu: (1) komposisi media tumbuh, (2) eksplan, (3) zat pengatur tumbuh yang sesuai, dan (4)
kondisi lingkungan budidaya. Media budidaya merupakan suatu penentu keberhasilan metode
perbanyakan tanaman melalui budidaya jaringan. Berbagai media budidaya telah
diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dibudidayakan, seperti media WPM (Woody Plant Medium), BTM ( Broad Tree Leaves
Medium), dan Schenk-Hildebrandt untuk tanaman berkayu; media VW (Vacint-Went) untuk
tanaman anggrek; MS (Murashige-Skoog) untuk tanaman hortikultura; media Euwen untuk
tanaman kelapa; media B5 (Gamborg) untuk kultur suspense sel dan legume; media White
untuk kultur akar; media N6 untuk tanaman serealia; dan media Nitsch dan Nitsch untuk
kultur sel dan tepung sari (Nugrahani et al., 2011).
Media dasar tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, dengan menambahkan
vitamin dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh diperlukan untuk mengatur
diferensiasi tanaman, mengatur inisiasi dan perkembangan tunas dan akar, pembelahan dan perkembangan sel. Ada beberapa zat pengatur tumbuh yang digunakam dalam budidaya
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
III. PENYARINGAN KETAHANAN CEKAMAN SALINITAS SECARA IN VITRO
Seleksi in vitro telah efektif digunakan untuk menginduksi toleransi cekaman salinitas
pada tanaman budidaya melalui penggunaan garam sebagai agen selektif sehingga
memungkinkan pemilihan atau penyaringan tanaman yang diinginkan. Pendekatan ini telah
dilakukan menggunakan sejumlah bahan tanam (kalus, embriosomatik, planlet, sel suspensi)
yang memiliki variasi ketahanan dan kemampuan dalam toleransi kadar garam yang relatif
tinggi di dalam media tanam secara in vitro. Garam yang digunakan dalam cekaman salinitas
adalah NaCl (Clemente & Cadenas, 2012).
Pemanfaatan budidaya jaringan dalam usaha pemuliaan tanaman untuk menghasilkan
tanaman yang tahan terhadap beberapa cekaman abiotik terutama cekaman salinitas telahterbukti pada banyak species antara lain Nicotiana sylvestris (Dix and Street, 1975),
Nicotiana tabacum (Nabors et al., 1975), Medicago sativa (Croughan et al., 1978),
Saccharum spp. (Liu & Yeh, 1982), Oryza sativa (Croughan et al., 1981), and Cicer
arietinum (Pandey & Ganapathy, 1984). Tanaman toleran NaCl juga telah berhasil
diregenerasi pada Nicotiana tabacum (Nabors et al., 1980), Haploid Datura innoxia (Tyagi et
Kalus klon BL-35 pada minggu pertama berwarna putih dan bertekstur friable (A1) tetapi
pada minggu terakhir berwarna kecoklatan (A2); kalus klon PS921 pada minggu pertama
berwarna putih dan bertekstur kompak (B1), pada minggu terakhir berwarna putihkecoklatan dengan tekstur friable (B2); kalus klon PSCo minggu pertama berwarna putih
kekuningan dan bertekstur kompak (C1), dan pada minggu terakhir berwarna hitam (C2);
kalus klon PS851 pada minggu pertama berwarna putih kecoklatan dan bertekstur friable
(D1),pada minggu terakhir berwarna putih kehitaman(D2) (Nurwendah, 2011).
klon lainnya, karena faktor genetik akan sangat mempengaruhi kemampuan sel dalam
menanggapi kondisi lingkungan tempat tumbuh sel kalus yang tercekam. Nilai LD50 didapat
dari hasil uji probit, selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar pengembangan klon tebu
tahan salin untuk masing-masing klon (Yuliani, 2009).
Tahap selanjutnya setelah ditemukan dosis garam yaitu melakukan penyaringan ketahanan
cekaman salinitas. Penyaringan ketahanan cekaman salinitas dapat dilakukan melalui
beberapa cara yaitu penyaringan pada tahap kalus Saccharum spp. (Nurwendah, 2011), lemon
(Singh et al., 2002), dan Citrus aurantium L. (Koc et al., 2009); penyaringan pada tahap
planlet Saccharum officinarum L. (Karpe et al., 2012), Citrus sinensis L. Obseck (Ben-
Hayyim dan Yehudit, 1989), dan Fragraria x ananassa Duch. (Husaini dan Abdin, 2008);
perkecambahan benih pada Vigna mungo Var. Pu-19 (Kapoor dan Srivastava, 2010); penyaringan menggunakan eksplan mata tunas pada Cucumis sativus L. (Malik et al., 2010),
penggunaan eksplan hipokotil dan kotiledon Solanum lycopersicum L. (Mohamed et al.,
2011), dan penggunaan mata tunas pucuk Solanum tuberosum L. (Aghaei et al., 2008).
BL-35 PS921
PSCo PS851
Gambar 3.2. Perkembangan kalus tebu yang ditanam pada media dengan cekaman NaCl
(Nurwendah, 2011)
A1 A2 B1
B2
C2C1 D1 D2
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Gambar di atas menunjukkan penyaringan salinitas pada tahap kalus yang mampu
menghasilkan kalus tahan cekaman salinitas yang ditunjukkan dari persentase kematian kalus
pada media yang mengandung dosis salinitas berbeda-beda. Kalus yang mati berwarna
kehitaman yang berarti kalus tersebut tidak tahan terhadap cekaman salinitas.
Grafik 3.1. Respon 14 kultivar terhadap tiga konsentrasi garam pada media penyaringan
(Mangala et al., 2008)
Grafik di atas merupakan hasil penelitian Mangala et al., (2008) yang menunjukkan
respon yang dialami 14 kultivar kacang tanah yang dilakukan penyaringan ketahanan
salinitas secara in vitro. Penyaringan tersebut menghasilkan toleransi cekaman tiap kultivar
yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan persentase kultivar yang mampu bertahan pada
tahap penyaringan ini. Persentase paling tinggi untuk kultivar yang hidup menunjukkan
bahwa tingkat toleransi terhadap cekaman salinitas juga tinggi dan mampu bertahan pada
kondisi salin hingga batas tertentu
Gambar 3.3. Penyaringan ketahanan eksplan tomat menggunakan hipokotil (A-B) dankotiledon (C-D) pada dosis NaCl yang berbeda-beda secara in vitro (Mohamed et al., 2011)
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Histogram 3.1. Kenampakan pertumbuhan dua macam eksplan tomat yang ditanam dalam
media dengan dosis NaCl yang berbeda (Mohamed et al., 2011)
Gambar dan histogram di atas menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari kotiledon
yang ditanam di media NaCl memiliki kenampakan pertumbuhan yang lebih baik daripada planlet yang berasal dari hipokotil. Jumlah tunas, panjang tunas, berat segar, dan berat kering
pada planlet yang berasal dari kotiledon memiliki nilai yang lebih tinggi daripada planlet
yang berasal dari hipokotil tomat.
Gambar 3.4. Respon kultivar kentang Concord (kultivar sensitif)-kiri dan kultival kentang
Kennebec (kultivar toleran)-kanan pada konsentrasi NaCl yang berbeda (Aghaei, 2008).
Gambar di atas menunjukkan perbedaan pertumbuhan antara dua kultivar kentang yang
memiliki sifat toleran dan rentan terhadap salinitas. Pada dosis NaCl yang tinggi (120 mM)
keduanya mengalami hambatan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tunas terhambat dan planletmenjadi kerdil, namun pada tanaman kentang yang rentan terhadap salinitas, hambatan
pertumbuhan sudah terjadi mulai penambahan dosis rendah NaCl (30 mM).
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Nugrahani, P., Sukendah, dan Makziah. 2011. Teknik Propagasi secara In vitro. Recognition
and Mentoring Program. Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur.
Nurwendah, A. 2011. Penyaringan Ketahanan Beberapa Kalus Tebu (Saccharum spp.) Tahan
Salin. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Pandey, R., dan P.S. Ganapathy. 1984. Isolation of sodium chloride-tolerant callus line of
Cicer arietinum L. cv. BG-203. Journal of Plant Cell Reports 3:45-47.
Perez-Clemente, R.M., dan Gomez-Cadenas, A. 2012. In vitro tissue culture, a tool for the
study and breeding of plants subjected to abiotic stress conditions. In Tech.<http://creativecommons.org/licenses/by/3.0>. Diakses pada tanggal 29 April 2013.
Placide, R., C.S. Christian, dan S. Rony. 2012. Development of in vitro technique to screen
for drought tolerant banana varieties by sorbitol induced osmotic stress. African
Journal of Plant Science 6: 416 – 425.
Roy, B., S.K. Noren, A.B. Mandal, dan A.K. Basu. 2011. Genetic engineering for abiotic
stress tolerance in agricultural crops. Journal of Biotechnology 10: 1 – 22.
Shoemeili, M., M. Nabipour, dan M. Meskarbashee. 2011. Evaluation of sugarcane
(Saccharum officinarum L.) somaclonals tolerance to salinity via in vitro and in vivo.Hayati Journal of Biosciences 18: 91 – 96.
Tanya : kendala/permasalahan apa saja yang dialami dalam budidaya jaringan tanaman
secara umum?
Jawab :
Permasalahan secara umum dalam pelaksanaan budidaya jaringan tanaman ada empat
macam, yaitu kontaminasi, vitrifikasi, aklimatisasi, dan keragaman somaklonal.
Kontaminasi merupakan permasalahan pada eksplan maupun media tanam akibat adanya
mikroorganisme yang terbawa seperti jamur dan bakteri. Kontaminan dapat hidup didalam media tanam karena kondisi yang tidak aseptik saat menanam maupun keberadaan
mikroorganisme tersebut dalam eksplan (bersifat endogenik). Untuk daerah subtropis
terutama daerah yang memiliki empat musim, kontaminasi sangat kecil kemungkinannya
untuk terjadi karena siklus hidup mikroorganisme dapat terputus dengan kondisi iklim di
daerah tersebut, sedangkan di daerah tropis persentase terjadi kontaminasi tinggi karena
lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme berkembang biak. Resiko yang ditimbulkan
akibat kontaminasi yaitu terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan ekplan sehingga
tujuan budidaya jaringan tanaman tidak tercapai. Vitrifikasi adalah kenampakan planlet
yang aneh dan lain daripada yang seharusnya. Vitrifikasi dapat disebabkan oleh kombinasi
media tanam. Kerugian yang ditimbulkan yaitu dapat mempengaruhi kualitas dari planlet
yang dihasilkan. Aklimatisasi merupakan pemindahan planlet ke media tanam sebenarnya
yang berupa tanah. Dalam tahap ini sering terjadi kematian planlet karena terjadi
perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim pada planlet serta morfologi planlet yang
masih lemah contohnya kondisi kelembaban, suhu, ketersediaan unsur hara, dan cahaya
yang tidak stabil; epidermis, stomata, kutikula planlet yang masih kecil dan tipis sehingga
rentan terhadap intensitas cahaya yang tinggi serta kelembaban yang rendah. Tahap
aklimatisasi membutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga planlet agar tetap hidup.
Variasi somaklonal merupakan keragaman yang terjadi pada planlet. Variasi somaklonal
dapat terjadi pada bibit-bibit hasil produksi massal maupun penyimpanan secara in vitro.
Variasi somaklonal dapat saja menguntungkan bagi pemuliaan tanaman karena dapat
memperbesar variabilitas tetapi dalam produksi bibit secara massal diharapkan
meminimalkan variasi somaklonal supaya diperoleh keseragaman bibit yang diinginkan.
7/21/2019 Pemanfaatan Teknik in Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin