PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SAPI POTONG UNTUK MENGURANGI PENCEMARAN LINGKUNGAN Latar Belakang Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer, 1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002). Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi
40
Embed
Pemanfaatan Limbah Ternak Sapi Potong Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan
Pemanfaatan Limbah Ternak Sapi Potong Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SAPI POTONG UNTUK MENGURANGI PENCEMARAN LINGKUNGAN
Latar Belakang
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut
meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur,
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe
usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah
ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak
ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang
dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging
sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia
menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang
bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per
tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat,
limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau
100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor
sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer,
1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan
mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia, emisi metan
per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang
diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi
produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai
pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat
badannya 5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3
air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu
sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 %
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat,
sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur
lalat (Dyer, 1986).
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu
dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang
paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000
mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di
lingkungan (3000 mg/m3) (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik,
dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai
akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil
proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian Wibowomoekti (1997) dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung,
Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang
disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria
kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya
saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat
tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus
anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba
Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).
Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius. Skema berikut ini (Gambar 1)
memberi gambaran akibat yang ditimbulkan oleh limbah secara umum dan manajemennya
(Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
Penanganan Limbah Ternak
Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana
pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan
limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan
atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini
akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang
dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira
terlihat kering.
Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik
disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah
dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya
digunakan untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan
yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang
bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini
umumnya digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam
limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi,
flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan
organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan
organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung
digunakan atau didahului denghan pengolahan secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan (Chung, 1988) di antaranya :
• Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masing-masing sebesar 15-
30% dan 40-60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%.
Normalnya, kompos mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami
atau sekam padi dapat ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan
lebih stabil.
• Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah
(Red Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan
garam. Satu laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan
sekitar 20 tahun. Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian
cair akan mengalir ke dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri
percobaan di Lembaga Penelitian Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum
kantong dihitung dengan mengalikan jumlah hogs dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di
Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari, BOD biasanya turun menjadi 70-
85% dan kandungan SS menjadi 80-90%.
• Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor
biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi. Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya
dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan
kolam aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800
ppm. Setelah perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun pada level standar yang memenuhi
standart dari kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air
limbah dari suatu peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm,
sedangkan untuk peternakan kecil BOD yang diijinkan 400 ppm.
Pemanfaatan Limbah Ternak
Pelbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat
diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau
zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat
makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral,
mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat
dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai
tujuan (Sihombing, 2002).
Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Media Tumbuh
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN,
vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan
esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun
didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak
sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah
banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi
secara anaerob (Prior et al., 1986).
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan
biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti
feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% +
isi rumen 50% (Farida, 2000).
Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan
menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang
dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk
menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan
khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu
pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup
tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa,
18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen,
27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil
fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas
metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor
yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %)
mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak
1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan
lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure),
kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam
telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh
memuaskan (Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio
antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak
dengan sisa pertanian
Jenis Gas Kotoran Sapi Campuran Kotoran Ternak dan Sisa Pertanian
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Karbonmonoksida (CO)
Oksigen (O2)
Propen (C3H8)
Hidrogen sulfida (H2S)
Nilai kalor (kkal/m3) 65.7
Pengolahan Limbah Ternak Menjadi Biogas
Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha
peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan
manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan,
menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek
rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk
organik. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya usaha pengolahan limbah peternakan
menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan manusia dan bersifat ramah lingkungan.
Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu digalakkan
karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan
limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan dan
menjadikan peluang usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk kandang
banyak dibutuhkan masyarakat.
Adanya penggantian bahan bakar minyak ke gas, maka diperlukan gas yang lebih banyak.
Karena persediaan minyak tanah semakin menipis dan harganya mahal, masyarakat banyak
menggunakan kompor gas, oleh karna itu gas semakin banyak diperlukan. Dengan itu
muncullah ide-ide atau alternatif-alternatif lainnya guna mencukupi kebutuhan akan gas.
Untuk itu kita dapat melakukan usaha seperti pengelolaan lingkungan hidup salah satunya
yaitu,dengan pengelolaan limbah ternak menjadi biogas. Dimana pada saat ini biogas
sangat diperlukan bagi masyarakat.
TUJUAN Siswa dapat dengan langsung melihat pengelolaan lingkungan hidup di bidang
limbah
Siswa dapat mengetahui secara langsung proses atau pembuatan biogas dari
berbentuk kotoran hingga menjadi gas.
Siswa dapat berkunjung langsung ke tempat pembuatan biogas.
Siswa dapat memperoleh pengalaman dan pelajaran untuk memanfaatkan limbah
menjadi sesuatu yang berguna
Metode Penulisan1. Metode PenelitianMetode pengkajian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan tipe
penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif
2. Subjek PenelitianLokasi penelitian di lakukan di Kalangbret.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Informasi diperoleh dari pemilik peternakan.lalu selebaran yang diberikan oleh guru PLH4. Pengolahan Data dan InformasIData dan informasi diolah dengan membandingkan dan mempertentangkan hal-hal yang ekstrim dan
memilih kunci-kunci perbedaan yang muncul dalam setiap kategori.
5. Pengambilan SimpulanKesimpulan diambil setelah mengintegrasikan semua temuan data dengan interpretasi peneliti dan konsep-
konsep kunci dalam draft atau format yang berbeda atau lain
6. Perumusan Saran dan RekomendasiSaran dan rekomendasi dirumuskan dengan merujuk pada kesimpulan yang dibuat
berdasarkan analisis data dan informasi.
Biogas dari Limbah Peternakan SapiLimbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah satu
sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di sisi lain
perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi
lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya didalamnya limbah
peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran ternak berupa
BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri patogen sehingga
menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara
dengan debu dan bau yang ditimbulkannya.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk
menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam
(Houdkova et.al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang didefinisikan
sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran
manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami
proses metanisasi. Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma
kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi
lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta
(1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada
tahun 1806. Dan Becham (1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang
pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan.Gas ini
berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia,
kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion
(Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung
gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi.
Komponen penyusun biogas
Jenis Gas Persentase
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Air (H2O)
Hidrogen sulfide (H2S)
Nitrogen (N2)
Hidrogen
50-70%
30-40%
0,3%
Sedikit sekali
1- 2%
5-10%
Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60 –
100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan dengan bahan
bakar lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan
Aplikasi 1m3 Biogas setara dengan
1 m3 biogas Elpiji 0,46 kg
Minyak tanah 0,62 liter
Minyak solar 0,52 liter
Kayu bakar 3,50 kg
Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab
kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan
padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan kayu
bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga ekosistem
hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap.
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas peternakan
ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia peternakan sapi di
Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied
Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar
telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan
ramah lingkungan (Nurhasanah dkk., 2006).
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di
Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil menjadi
skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu, peternakan
sapi pedaging melalui kemitraan dengan perkebunaan kelapa sawit dan sebagainya.
Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu dalam jumlah yang
cukup untuk memproduksi biogas.
Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas mendukung
konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
dapat dicapai.
Beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai berikut
:
1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara
(bau).
2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat
digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.
3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan
rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.
4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk
menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses
listrik.
5. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan ini
sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development
Mechanism).
Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi BiogasPengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya menggunakan metode
dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari biomassa yang lain. Adapun alat
penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-
19, riset untuk menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis
pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan
Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk
menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang
murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di
negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia
selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad
ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan
Papua Nugini telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas.
Selain di negara berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju
seperti Jerman.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi
(pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri metan
sehingga dihasilkan gas metan (Nandiyanto, 2007). Menurut Haryati (2006), proses
pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan
bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa
udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik,
seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga. Gas metan adalah
gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas
metan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan
organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah
yang sebagian besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman,
seperti jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak.
Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur, keasaman
juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32 –
35°C atau 50 – 55°C dan pH antara 6,8 – 8 . Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah
bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga memberikan beberapa
keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid, nitrogen
nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan patogen lainnya, telur insek, parasit, dan
bau.
Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada
kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung
bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga.
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
1. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan
pemecahan bahan organik yang komplek menjadi sederhana dengan bantuan air
(perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer).
2. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang
terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri
pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana tadi yaitu
asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan ammonia.
3. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan.
Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan mereduksi sulfat
dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida.
Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry)
dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan
pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD =
0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K
(1,10%) (Widodo dkk., 2006). Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini
mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah,
terutama untuk konsumsi segar.
Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah dikembangkan sehingga
dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan pengelolaan kotoran
ternak. Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan biogas ditampilkan pada gambar
berikut.
Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass atau semen,
sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 – 35 m3. Biogas dengan ukuran terkecil dapat
dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi.
Cara Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri Bioenergi
Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian tahun 2009 sebagai berikut :
1. Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan biogas).
2. Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian (inlet) hingga
bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui lubang
pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi biogas di
dalam digester.
3. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah cukup
banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan plastik,
penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena adanya
biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar,
kompor biogas dapat dioperasikan.
4. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak
kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas berupa sludge
secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet) setiap kali dilakukan
pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas tersebut dapat
digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik dalam keadaan basah
maupun kering.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan
langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas,
penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya.
Untuk memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat yang
terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya manusia. Bila
faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas sebagai
penyediaan energi di pedesaan dapat berjalan dengan optimal.
Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran ternak
sapi menjadi biogas yaitu:
1. Ketersediaan ternak
Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi pengembangan
biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran
ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari ternak ruminansia dan non
ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan babi; serta unggas.
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk menjalankan biogas
skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor
babi, atau 400 ekor ayam.
2. Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan kapasitas
biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga terkecil dapat
dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 400
ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dipilihkan biogas
dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau beberapa biogas skala
rumah tangga.
3. Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal. Kotoran
ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara dikandangkan
dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasannya bergantung
pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk membangun biogas skala
terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m). Sedangkan skala komunal terkecil
membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).
5. Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari peternak/pengelola
itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi optimal bila pengisian kotoran
ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas disebabkan
karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua,
peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena
memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.
6. Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair kotoran ternak
yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran, dan pengangkutan
atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor.
Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi padat
cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada peternakan sapi perah komposisi padat cair
kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada peternakan sapi potong perlu
penambahan air agar komposisinya menjadi sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2 hari sekali
tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang yang dimiliki.
Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan cara diangkut atau melalui
saluran.
7. Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan menghasilkan gas yang
dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian, kebutuhan peternak akan energi dari
sumber biogas harus menjadi salah satu faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi
lain berupa listrik, minyak tanah atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup
di lingkungan peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak menarik untuk
dimanfaatkan.Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan untuk
mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing (kascing).
8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak,
menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas dll.
Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi
perah.Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor
biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau
instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas dilakukan di
rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk cair
atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya relatif sederhana yaitu untuk pupuk cair
dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat lebih baik,
sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas perlu dikurangi kandungan
airnya dengan cara diendapkan, disaring atau dijemur.
Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual kepada kelompok tani
setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan bagi peternak.
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase, air dan
peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah operasional dan perawatan instalasi
biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang ke
reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan untuk
membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat komposisi padat cair
kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk