Top Banner
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan 4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan 4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan 4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan 303 PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG Anna Carolina Erungan, Komariah Tampubolon, dan Andi Patria 1 ABSTRAK Kabupaten Kerinci merupakan satu-satunya sentra produksi dodol kentang yang ada di Indonesia. Mulai berproduksi tahun 1994 dalam bentuk usaha rumah tangga dan produknya dipasarkan di Desa Lubuk Nagodang Kecamatan Gunung Kerinci. Pada Tahun 1998 berdiri usaha dodol kentang Putri Pancuran Tujuh yang masih bersifat usaha rumah tangga yang hanya melibatkan tenaga kerja keluarga dengan modal kerja yang kecil dan produk yang dihasilkan menggunakan merek dagang Perusahaan Putri Pancuran Tujuh. Perusahaan tersebut merupakan pionir agroindustri dodol kentang di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Dodol kentang dibuat dari kentang, gula, kelapa parut, tepung terigu dan vanilla. Dodol kentang tersebut memiliki tekstur yang kurang elastis, sehingga perlu perbaikan. Pada penelitian ini merupakan usaha memperbaiki tekstur dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan. Selain itu, penambahan tepung karagenan dapat meningkatkan nilai gizi dodol kentang tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi karagenan terhadap mutu dodol kentang. Tepung karagenan yang ditambahkan yaitu 0%, 3%, 5%, 7%, dan 9%. Pengamatan dilakukan terhadap kandungan proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat), nilai sensori, serta uji elastisitas, aktivitas air (a w ), dan total mikroba. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Hasil analisa sensori pada parameter penampakan berkisar antara 3,73 (tidak suka) sampai 6,70 (agak suka). Parameter warna berkisar antara 4,20 (agak tidak suka) sampai 6,43 (agak suka). Parameter aroma berkisar antara 5,10 (netral) sampai 5,93 (netral). Parameter rasa berkisar antara 6,07 (agak suka) sampai 6,63 (agak suka). Parameter tekstur berkisar antara 3,90 (tidak suka) sampai 6,63 (agak suka). Hasil uji lanjut pada parameter aroma dan dan rasa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan pada parameter penampakan, warna, dan tekstur menunjukkan hasil yang berbeda nyata, nilai tertinggi terdapat pada dodol kentang dengan penambahan 7% tepung karagenan. Hasil analisa terhadap kadar air berkisar antara 19,29%-21,79%; kadar abu 0,90-1,79% (b/b); kadar lemak 0,22-1,64% (b/b); kadar protein 3,51-3,70% (b/b); kadar karbohidrat 71,08- 76,08% (b/b); aktivitas air 0,787-0,793%; total mikroba 3,5 x 10 4 -4,9 x 10 4 koloni/gram; elastisitas 341,67-971,83 mm/10dt. Hasil uji lanjut kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, aktivitas air, dan total mikroba menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan uji elastisitas menunjukkan hasil yang berbeda nyata, nilai tertinggi terdapat pada dodol kentang dengan penambahan 9% tepung karagenan. Kata kunci: Tepung karagenan, dodol kentang PENDAHULUAN Perairan Indonesia yang merupakan 70 persen dari wilayah Nusantara, mempunyai garis pantai lebih dari 81.000 km dengan 13.667 pulau, memiliki potensi rumput laut yang cukup besar. Potensi produksi rumput laut cukup melimpah dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 produksi rumput laut mencapai 223.080 ton, pada tahun 2003 mencapai 231.927 ton, pada tahun 2004 mencapai 397.964 ton, pada tahun 2005 mencapai 866.388 ton, dan meningkat menjadi 1.341.141 ton pada tahun 2006. Berdasarkan data Departemen Pertanian (1988) diacu dalam Wirjatmadi et al. (2002), jumlah produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1.341.141 ton, akan tetapi tingginya tingkat produksi rumput laut ini tidak diikuti oleh tingkat konsumsi bagi masyarakat Indonesia yang menggunakannya sebagai bahan pangan sumber serat dan yodium. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan peluang yang sangat potensial bagi pengembangan teknologi pangan yang 1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor
87

PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Jan 24, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

303

PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Anna Carolina Erungan, Komariah Tampubolon, dan Andi Patria1

ABSTRAK

Kabupaten Kerinci merupakan satu-satunya sentra produksi dodol kentang yang ada di Indonesia. Mulai berproduksi tahun 1994 dalam bentuk usaha rumah tangga dan produknya dipasarkan di Desa Lubuk Nagodang Kecamatan Gunung Kerinci. Pada Tahun 1998 berdiri usaha dodol kentang Putri Pancuran Tujuh yang masih bersifat usaha rumah tangga yang hanya melibatkan tenaga kerja keluarga dengan modal kerja yang kecil dan produk yang dihasilkan menggunakan merek dagang Perusahaan Putri Pancuran Tujuh. Perusahaan tersebut merupakan pionir agroindustri dodol kentang di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Dodol kentang dibuat dari kentang, gula, kelapa parut, tepung terigu dan vanilla. Dodol kentang tersebut memiliki tekstur yang kurang elastis, sehingga perlu perbaikan. Pada penelitian ini merupakan usaha memperbaiki tekstur dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan. Selain itu, penambahan tepung karagenan dapat meningkatkan nilai gizi dodol kentang tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi karagenan terhadap mutu dodol kentang. Tepung karagenan yang ditambahkan yaitu 0%, 3%, 5%, 7%, dan 9%. Pengamatan dilakukan terhadap kandungan proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat), nilai sensori, serta uji elastisitas, aktivitas air (aw), dan total mikroba. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).

Hasil analisa sensori pada parameter penampakan berkisar antara 3,73 (tidak suka) sampai 6,70 (agak suka). Parameter warna berkisar antara 4,20 (agak tidak suka) sampai 6,43 (agak suka). Parameter aroma berkisar antara 5,10 (netral) sampai 5,93 (netral). Parameter rasa berkisar antara 6,07 (agak suka) sampai 6,63 (agak suka). Parameter tekstur berkisar antara 3,90 (tidak suka) sampai 6,63 (agak suka). Hasil uji lanjut pada parameter aroma dan dan rasa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan pada parameter penampakan, warna, dan tekstur menunjukkan hasil yang berbeda nyata, nilai tertinggi terdapat pada dodol kentang dengan penambahan 7% tepung karagenan.

Hasil analisa terhadap kadar air berkisar antara 19,29%-21,79%; kadar abu 0,90-1,79% (b/b); kadar lemak 0,22-1,64% (b/b); kadar protein 3,51-3,70% (b/b); kadar karbohidrat 71,08-76,08% (b/b); aktivitas air 0,787-0,793%; total mikroba 3,5 x 10

4-4,9 x 10

4 koloni/gram;

elastisitas 341,67-971,83 mm/10dt. Hasil uji lanjut kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, aktivitas air, dan total mikroba menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan uji elastisitas menunjukkan hasil yang berbeda nyata, nilai tertinggi terdapat pada dodol kentang dengan penambahan 9% tepung karagenan.

Kata kunci: Tepung karagenan, dodol kentang

PENDAHULUAN

Perairan Indonesia yang merupakan 70 persen dari wilayah Nusantara, mempunyai garis pantai lebih dari 81.000 km dengan 13.667 pulau, memiliki potensi rumput laut yang cukup besar. Potensi produksi rumput laut cukup melimpah dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 produksi rumput laut mencapai 223.080 ton, pada tahun 2003 mencapai 231.927 ton, pada tahun 2004 mencapai 397.964 ton, pada tahun 2005 mencapai 866.388 ton, dan meningkat menjadi 1.341.141 ton pada tahun 2006. Berdasarkan data Departemen Pertanian (1988) diacu dalam Wirjatmadi et al. (2002), jumlah produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1.341.141 ton, akan tetapi tingginya tingkat produksi rumput laut ini tidak diikuti oleh tingkat konsumsi bagi masyarakat Indonesia yang menggunakannya sebagai bahan pangan sumber serat dan yodium. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan peluang yang sangat potensial bagi pengembangan teknologi pangan yang

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 2: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

304

memanfaatkan rumput laut untuk menghasilkan produk olahan yang berkualitas cukup tinggi bagi jenis-jenis makanan yang banyak digemari oleh masyarakat luas.

Salah satu jenis rumput laut di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting dan telah mendapatkan sentuhan teknologi pengolahan yang optimal adalah Kappaphycus alvarezii yang diolah menjadi karagenan. Karagenan adalah polisakarida-polisakarida sulfat yang secara luas digunakan dalam berbagai produk makanan dan susu sebagai penstabil, pengental dan bahan pembentuk jel. Karagenan mempunyai karakter elektrolit yang kuat dikarenakan adanya grup sulfat. Ada tiga jenis utama karagenan berdasarkan kandungan sulfatnya, yaitu kappa-, iota-, dan lambda-karagenan (Fatima et al. 2007).

Salah satu cara dalam mengembangkan nilai guna dari karagenan adalah menambahkannya pada dodol kentang. Dodol kentang merupakan produk khas dari Kabupaten Kerinci yang sedang berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya sentra-sentra produksi dodol kentang yang pada saat ini sudah terdapat 28 sentra produksi dengan total produksi per tahun dodol kentang rata-rata sebanyak 2.176.300 kotak (Dinas Perindustrian Kabupaten Kerinci 2006). Suplementasi dalam bentuk tepung karagenan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi standar, karena karagenan mengandung komponen gizi yang lengkap antara lain serat, vitamin, mineral, protein, lemak, abu, dan karbohidrat.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penambahan karagenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii terhadap mutu dodol kentang. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah (a) mengetahui daya terima panelis terhadap dodol kentang yang diperkaya dengan tepung karagenan dan (b) mengevaluasi sifat-sifat fisik dan kimia dodol kentang yang ditambah dengan tepung karagenan.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2008 bertempat di tempat Pembuatan dodol kentang “Putri Pancuran Tujuh” di Kerinci-Jambi, Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan analisis di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PAU), Institut Pertanian Bogor.

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan dodol kentang untuk penelitian ini antara lain karagenan, kentang, kelapa, gula pasir, tepung terigu, dan vanilla.

Alat-alat yang digunakan untuk pengolahan dodol kentang antara lain pisau, wajan, grinder, alat adukan adonan, saringan, baskom, tungku perapian, dan timbangan. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis fisik adalah Rheoner RE-3305.

Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu bahan-bahan seperti kentang, gula, kelapa, tepung terigu dan vanilla secukupnya dimasak. Perlakuan yang digunakan adalah penambahan karagenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii dalam berbagai konsentrasi, yaitu 0% (kontrol), 3%, 5%, 7%, dan 9%. Penentuan jumlah konsentrasi penambahan tepung karagenan dilakukan secara trial and eror. Kadar karagenan yang digunakan berdasarkan berat karagenan per berat kentang yang digunakan. Kemudian dilakukan pengujian terhadap sifat-sifat karakteristik sensori produk, sifat fisika dan kimianya yang meliputi analisis proksimat, uji aktivitas air (aw), uji TPC (Total Plate Count), dan Uji gel strenght. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor. Faktornya adalah penambahan karagenan dalam berbagai konsentrasi. (Steel dan Torie 1993).

Page 3: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

305

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sensori Uji sensori dilakukan dengan cara memberikan penilaian dan pemeriksaan

dengan menggunakan panca indera. Panca indera yang sering digunakan untuk memeriksa dan menilai bahan makanan adalah panca indera penglihatan, penciuman, indera pengecap, dan indera peraba. Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kesukaan, meliputi penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur.

Panelis yang menilai adalah panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Pengujian tingkat kesukaan menggunakan skala hedonik yaitu (1) sangat tidak suka, (2) sangat tidak suka, (3) tidak suka, (4) agak tidak suka, (5) netral, (6) agak suka, (7) suka, (8) sangat suka, dan (9) amat sangat suka. Adapun karakteristik dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil karakteristik sensori dodol kentang

Parameter Perlakuan

Kontrol 3% 5% 7% 9%

Penampakan 3,73 ± 2,03 a

5,67 ± 1,30 b

6,13 ± 1,59 bc

6,70 ± 0,92 c

5,67 ± 1,27 b

Warna 4,20 ± 1,85 a

5,87 ± 1,31 b

5,93 ± 0,98 bc

6,43 ± 0,97 c

5,47 ± 1,20 b

Aroma 5,87 ± 1,74 a

5,93 ± 1,46 a

5,67 ± 0,96 a

5,63 ± 1,19 a

5,10 ± 1,42 a

Rasa 6,23 ± 0,82 a

6,23 ± 0,97 a

6,43 ± 0,90 a

6,63 ± 0,81 a

6,07 ± 0,83 a

Tekstur 5,63 ± 1,61 b

5,60 ± 1,48 b

5,93 ± 1,39 bc

6,33 ± 1,09 c

3,90 ± 0,66 a

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Penampakan Penilaian analisis sensori penampakan merupakan penilaian secara

keseluruhan. Pada umumnya, konsumen cendrung memilih makanan yang memiliki penampakan yang menarik. Penampakan suatu produk selain dinilai oleh mata, juga dapat dilihat dari persepsi terhadap tekstur dan flavor suatu produk.

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap penampakan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan berkisar antara 3,37 (tidak suka) sampai 6,70 (agak suka). Nilai rata-rata tertinggi yaitu dodol kentang yang ditambah dengan 7% tepung karagenan sebesar 6,70 (agak suka). Sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) sebesar 3,37 (tidak suka).

Hasil uji Kruskal Wallis untuk parameter penampakan menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung karagenan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap dodol kentang yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan diketahui dodol kentang dengan perlakuan panambahan tepung karagenan 7% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan tepung karagenan 0%, 3%, 9%, sedangkan dengan perlakuan 5% tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa penambahan tepung karagenan sebanyak 7% lebih disukai oleh panelis.

Warna Warna menjadi parameter yang penting karena keberadaannya dapat dilihat

secara langsung. Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno 1997).

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan berkisar antara 4,20 (agak tidak suka) sampai 6,43 (agak suka). Nilai rata-rata tertinggi yaitu dodol kentang yang ditambah dengan 7% tepung karagenan sebesar 6,43 (agak suka). Sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) sebesar 4,20 (agak tidak suka).

Warna dodol kentang dipengaruhi oleh tingkat penambahan tepung karagenan yang ditambahkan walaupun perubahannya tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan

Page 4: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

306

oleh semakin banyak konsentrasi tepung karagenan yang ditambahkan, warna dodol kentang semakin coklat.

Hasil uji Kruskal Wallis untuk parameter warna menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung karagenan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap dodol kentang yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan diketahui dodol kentang dengan perlakuan panambahan tepung karagenan 7% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan tepung karagenan 0%, 3%, 9%, sedangkan dengan perlakuan 5% tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa penambahan tepung karagenan sebanyak 7% lebih disukai oleh panelis.

Aroma Aroma merupakan salah satu faktor yang penting bagi konsumen dalam

menentukan makanan yang disukai. Dalam banyak hal, kelezatan makanan ditentukan oleh aroma makanan tersebut. Enaknya makanan ditentukan oleh aroma. Industri pangan menganggap sangat penting melakukan uji bau karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produknya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan berkisar antara 5,10 (netral) sampai 5,93 (netral). Nilai rata-rata tertinggi yaitu dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) sebesar 5,87% (netral). Sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu dodol kentang yang ditambah 9% tepung karagenan sebesar 5,10 (netral). Hal ini diduga disebabkan oleh tepung karagenan yang tidak memiliki aroma tambahan.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis didapatkan pengaruh penambahan tepung karagenan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat penerimaan panelis terhadap aroma dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan. Hal ini dikarenakan dodol kentang yang dihasilkan memiliki aroma yang seragam, sehingga penilaian panelis tidak berbeda. Diduga disebabkan oleh tepung karagenan yang tidak memiliki aroma tambahan, sehingga tidak mempengaruhi aroma dodol kentang yang ditambahkan tepung karagenan.

Rasa Rasa memiliki peranan penting dalam menentukan penerimaan suatu makanan.

Rasa merupakan respon lidah terhadap rangsangan yang diberikan oleh suatu makanan. Penerimaan panelis terhadap rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1993).

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan berkisar antara 6,07 (agak suka) sampai 6,63 (agak suka). Nilai rata-rata tertinggi yaitu dodol kentang yang ditambah 7% tepung karagenan sebesar 6,63 (agak suka). Sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu dodol kentang yang ditambah dengan 9% tepung karagenan sebesar 6,07 (agak suka). Hal ini diduga rasa dodol kentang penambahan tepung karagenan yang berlebihan dapat menimbulkan rasa pahit pada dodol kentang. Rasa pahit tersebut diduga diakibatkan banyaknya kadar magnesium pada karagenan yang mengandung iodium.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis didapatkan pengaruh penambahan tepung karagenan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat penerimaan panelis terhadap rasa dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan. Hal ini diduga dodol kentang yang dihasilkan memiliki rasa yang hampir seragam, sehingga penilaian panelis tidak berbeda.

Tekstur

Page 5: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

307

Tekstur adalah sifat benda yang meliputi kerenyahan, kekerasan, dan keelastisan. Hal ini sangat menentukan penerimaan panelis terhadap tekstur dodol kentang yang dihasilkan. Tekstur bentuk matang dipengaruhi oleh formula, pencampuran dan kondisi pemasakan, juga waktu dan metode penyimpanan. Konsumen umumnya menilai tekstur produk dengan cara menekan dengan jari dan penekanan selama pengunyahan.

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan berkisar antara 3,90 (tidak suka) sampai 6,63 (agak suka). Nilai rata-rata tertinggi yaitu dodol kentang yang ditambah 7% tepung karagenan sebesar 6,33 (agak suka). Sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu dodol kentang yang ditambah 9% tepung karagenan sebesar 3,90 (tidak suka). Hal ini diduga penambahan tepung karagenan yang berlebihan menghasilkan dodol kentang dengan sifat lebih padat dengan rongga yang cukup kecil dan tekstur menjadi kurang empuk.

Hasil uji Kruskal Wallis untuk parameter tekstur menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung karagenan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap dodol kentang yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan diketahui dodol kentang dengan perlakuan panambahan tepung karagenan 7% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan tepung karagenan 0%, 3%, 9%, sedangkan dengan perlakuan 5% tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa tekstur yang paling baik menurut panelis adalah tektur dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 7%. Analisis Kimia

Pada penelitian ini dilakukan analisis kimia yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat), aktivitas air (aw), dan total mikroba. Uji tersebut dilakukan pada dodol kentang kontrol dan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan, dengan konsentrasi yaitu 3%, 5%, 7%, dan 9%.

Analisis Proksimat Kadar air

Penetapan standar mutu kadar air berhubungan dengan daya simpan produk itu sendiri. Kadar air yang tinggi mempengaruhi keawetan bahan pangan dan memperpendek umur simpan serta memudahkan tumbuhnya mikoorganisme karena menjadi media yang baik untuk tempat hidupnya. Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan tersebut (Winarno 1991).

Kadar air dodol kentang berkisar antara 19,29-21,79%. Nilai kadar air tertinggi pada perlakuan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 21,79%, sedangkan nilai kadar air terendah pada perlakuan dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan yaitu 19,29%. Diagram batang kadar air dodol kentang dapat dilihat pada Gambar 1.

19,29 + 0,01 a

19,77 + 0,02 a 20,03 + 0,01

a 20,54 + 0,01 a 21,79 + 0,01

a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai rata-rata kadar air

Kontrol 3% 5% 7% 9%

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 1. Histogram nilai rata-rata kadar air pada dodol kentang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penambahan tepung karagenan pada produk dodol kentang tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air dodol kentang. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak

Page 6: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

308

mempengaruhi tingkat kadar air yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Jumlah air pada bahan pangan sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam istilah water activity (aw). Air dalam bahan pangan terdapat dalam 3 bentuk, yaitu air bebas, air terikat, dan air terikat secara kimia (Winarno 1991). Air yang sering dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhaannya adalah dalam bentuk air bebas. Jika air tipe ini diuapkan seluruhya, maka kandungan air bahan berkisar antara 12-25% dengan aw kira-kira 0,8, tergantung bahan dan suhu (Winarno 1991).

Kadar abu Abu adalah residu organik dari pembakaran bahan-bahan anorganik. Abu sisa

pembakaran pada analisis kadar abu menunjukkan banyaknya kandungan zat anorganik dalam produk tersebut, sedangkan yang menguap menunjukkan kadungan zat organik. Biasanya komponen tersebut terdiri dari kalsium, kalium, natrium, besi, mangan, magnesium, dan iodium.

Kadar abu dodol kentang berkisar antara 0,90-1,79%. Nilai kadar abu tertinggi pada perlakuan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 1,79%, sedangkan nilai kadar abu terendah pada perlakuan dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan yaitu 0,90%. Diagram batang kadar abu dodol kentang dapat dilihat pada Gambar 2.

0,90 + 0,01 a

1,35 + 0,03 a

1,52 + 0,01 a

1,63 + 0,01 a

1,79 + 0,03 a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai rata-rata kadar abu

Kontrol 3% 5% 7% 9%

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 2. Histogram nilai rata-rata kadar abu pada dodol kentang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penambahan tepung karagenan pada produk dodol kentang tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar abu dodol kentang. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat kadar abu yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Tingginya kadar abu pada dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan 9% dikarenakan tepung karagenan yang berasal dari rumput laut Kappaphycus alvarezii kaya akan mineral dan mengandung garam-garam seperti Na, K, Ca, dan sulfat. Garam-garam tersebut tergolong dalam senyawa anornagik yang akan tertinggal setelah proses pengabuan (Winarno 1997).

Kadar lemak Lemak merupakan zat makanan yang sangat penting karena lemak akan

menghasilkan energi bagi tubuh. Kerusakan lemak dalam bahan pangan dapat terjadi selam proses pengolahan dan penyimpanan. Lemak dapat memperbaiki struktur fisik bahan pangan seperti pengembangan, kelembutan tekstur dan aroma.

Kadar lemak dodol kentang berkisar antara 0,22-1,64%. Nilai kadar lemak tertinggi pada perlakuan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 1,64%, sedangkan nilai kadar lemak terendah pada perlakuan dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan yaitu 0,22%. Diagram batang kadar lemak dodol kentang dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 7: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

309

0,22 + 0,01 a

0,47 + 0,01 a 0,93 + 0,03

a1,26 + 0,03

a1,64 + 0,01

a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai rata-rata kadar lemak

Kontrol 0.03 0.05 0.07 0.09

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 3. Histogram nilai rata-rata kadar lemak pada dodol kentang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penambahan tepung karagenan pada produk dodol kentang tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar lemak dodol kentang. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat kadar lemak yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Meningkatnya kandunga lemak pada dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan diduga disebabkan karagenan yang digunakan mengandung lemak yaitu sebesar 0,39%. Sehingga dengan penambahan tepung karagenan maka akan meningkatkan kandungan lemak pada dodol kentang.

Kadar protein Protein merupakan sutu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh manusia.

Protein dalam tubuh berfungsi sebagai bahan bakar, baha pengatur dan pembangun. Selama proses pencernaan, protein akan diubah menjadi asam-asam amino (unit penyusun protein) yang kemudian akan diserap oleh tubuh. Pada umumnya kadar protein dalam pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 1991).

Kadar protein dodol kentang berkisar antara 3,51-3,70%. Nilai kadar protein tertinggi pada perlakuan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 3,70%, sedangkan nilai kadar protein terendah pada perlakuan dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan yaitu 3,51%. Diagram batang kadar protein dodol kentang dapat dilihat pada Gambar 5.

3,51 + 0,01 a 3,59 + 0

a

3,63 + 0,01 a

3,68 + 0,03 a

3,70 + 0,01 a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai rata-rata kadar protein

Kontrol 0.03 0.05 0.07 0.09

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 4. Histogram nilai rata-rata kadar protein pada dodol kentang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penambahan tepung karagenan pada produk dodol kentang tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar protein dodol kentang. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat kadar protein yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Peningkatan kadar protein dodol kentang diduga karena protein yang terdapat pada tepung karagenan merupakan sumber gizi yang umumnya mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam seperti natrium (Na) dan kalsium (Ca) (Istini et al. 1986).

Page 8: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

310

Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk

dunia, khususnya bagi penduduk negara yang sedang berkembang. Walaupun jumlah yang dapat dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat hanya 4 kkal, tetapi bila dibandingkan dengan protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Karbohidrat juga berperan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain (Winarno 1997).

Kadar karbohidrat dodol kentang berkisar antara 71,08-76,08%. Nilai kadar karbohidrat terendah pada perlakuan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 71,08%, sedangkan nilai kadar karbohidrat tertinggi pada perlakuan dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan yaitu 76,08%. Penurunan karbohidrat ini diduga karena pada analisis ini hanya menggunakan cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau disebut juga carbohydrate by difference. Apabila rata-rata kandungan gizi, air, abu, protein, dan lemak meningkat maka secara proporsional kandungan gizi karbohidrat menurun. Diagram batang kadar protein dodol kentang dapat dilihat pada Gambar 5.

76,08 + 0,01 a

74,82 + 0,01 a

73,89 + 0,01 a

72,89 + 0,01 a

71,08 + 0,01 a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai rata-rata kadar karbohidrat

Kontrol 0.03 0.05 0.07 0.09

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 5. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat pada dodol kentang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penambahan tepung karagenan pada produk dodol kentang tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar karbohidrat dodol kentang. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi tingkat kadar karbohidrat yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Aktivitas Air Aktivitas air (aw) adalah sejumlah air bebas yang dibutuhkan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhannya dalam bahan pangan (Fardiaz 1992). Pengetahuan tentang aw sangat penting dalam menduga perubahan yang terjadi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan produk tertentu, termasuk aw optimal produk dimana akan berguna dalam menentukan bahan pengemas (Winarno 1991). Nilai aktivitas air (aw) pada dodol kentang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji kadar aw (water activity) dodol kentang

Parameter Perlakuan

Kontrol 3% 5% 7% 9%

Aktivitas air 0,7870 ± 0,01 a 0,7895 ± 0,01

a 0,7905 ± 0

a 0,7925 ± 0

a 0,7935 ± 0

a

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Nilai rata-rata aktivitas air (aw) pada dodol kentang berkisar antra 0,787%-0,793%. Nilai aktivitas air (aw) yang terendah dihasilkan pada dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) dengan nilai 0,787% dan nilai aktivitas air (aw) yang tertinggi yaitu dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan 9% dengan nilai 0,793%.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis didapatkan pengaruh penambahan tepung karagenan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Dengan kata lain penambahan

Page 9: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

311

tepung karagenan tidak mempengaruhi nilai aktivitas air (aw) yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Pangan semi basah mempunyai nilai aw antara 0,6-0,9 yang akan cukup awet dan stabil pada penyimpanan suhu kamar (Soekarto 1985). Dari hasil penelitian nilai aw dodol kentang tanpa penambahan karagenan (kontrol) sebesar 0,707 sedangkan nilai aw dodol kentang yang ditambah 7% tepung karagenan adalah sebesar 0,793. Hal ini diduga disebabkan oleh aktivitas mikroba, dimana aw ini merupakan petunjuk adanya air dalam bahan pangan utnuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, meningkatnya aw pada dodol kentang disebabkan karena adanya penambahan jumlah air dalam produk yang berasal dari tepung karagenan.

Total Mikroba Pada penelitian ini uji total mikroba dilakukan dengan menggunakan metode

hitung cawan. Prinsip dari metode hitung cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz 1992). Nilai log total mikroba dodol kentang setelah disimpan selama 3 (tiga) hari dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji total mikroba dodol kentang

Parameter Perlakuan

Kontrol 3% 5% 7% 9%

Log mikroba 4,54 ± 0 a 4,6 ± 0

a 4,63 ± 0,01

a 4,67 ± 0

a 4,69 ± 0,01

a

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Penambahan tepung karagenan dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme. Hal ini diduga disebabkan lebih tingginya kadar aw pada dodol kentang yang ditambah karagenan. Jumlah mikroba pada dodol kentang berkisar antara 3,5 x 104 koloni/gram sampai 4,9 x 104 koloni/gram. Jumlah mikroba tertinggi terdapat pada dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% sebesar 4,9 x 104 koloni/gram, sedangkan jumlah mikroba terendah terdapat pada dodol kentang tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) sebesar 3,5 x 104 koloni/gram. Dalam hal ini, semakin tinggi nilai aw maka akan semakin rendah daya awetnya. Hal ini disebabkan pada aw yang tinggi dapat terjadi berbagai reaksi yang menyebabkan penurunan mutu pangan, terutama aktivitas mikroba.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis didapatkan pengaruh penambahan tepung karagenan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Dengan kata lain penambahan tepung karagenan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba yang terdapat pada dodol kentang, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Analisis Fisik Pada penelitian ini dilakukan analisis fisik , yaitu uji elastisitas. Uji tersebut

dilakukan pada dodol kentang kontrol dan dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan, dengan konsentrasi yaitu 3%, 5%, 7%, dan 9%.

Uji Elastisitas Pengukuran nilai elastisitas dodol kentang dilakukan dengan menggunakan alat

Rheoner RE-3305. Hasil analisis elastisitas dodol kentang berkisar antara 341,67-971,83 gf. Nilai rata-rata tertinggi pada dodol kentang dengan perlakuan penambahan tepung karagenan sebanyak 9% yaitu 971,83 gf, sedangkan nilai terendah pada dodol kentang dengan pelakuan tanpa penambahan tepung karagenan (kontrol) yaitu 341,67 gf. Diagram batang elastisitas dodol kentang dengan penambahan tepung karagenan disajikan pada Gambar 6.

Page 10: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

312

341,67 a

636,33 b

773,00 c

908,33 d 971,83

e

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

Nilai rata-rata elastisitas

0% 3% 5% 7% 9%

Konsentrasi karagenan

Keterangan : Nilai-nilai pada baris yang diikuti oleh huruf berbeda (a, b, c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 6. Histogram nilai rata-rata elastisitas pada dodol kentang

Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penambahan tepung karagenan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai elastisitas dodol kentang. Berdasarkan uji lanjut Duncan, pengaruh penambahan tepung karagenan terhadap elastisitas dodol kentang menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung karagenan 9% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan karagenan 0%, 3%, 5%, dan 7%.

Karagenan memiliki beberapa sifat khusus seperti kelarutan, pembentukan gel, viskositas dan stabilitas. Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam tergantung pada jenis hidrokoloidnya. Gel mungkin mengandung sampai 99,9% air. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan (Fardiaz 1989).

Pemilihan Dodol Kentang Terbaik Berbasis Indeks Kinerja Metode Beyes digunakan untuk mendapatkan dodol kentang terbaik yang

didasarkan pada total nilai tertinggi pada masing-masing perlakuan. Parameter yang dibobot dalam metode ini meliputi parameter karakteristik sensori (penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur), karakteristik kimia dodol kentang (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, aktivitas air, dan total mikroba) dan karakteristik fisik (elastisitas). Tabel 4. Hasil pembobotan berdasarkan metode Beyes

Parameter Alternatif (Perlakuan)

3% 5% 7% 9% Bobot

a. Elastisitas 1 2 3 4 0,1154

b. Kadar air 4 3 2 1 0,0769

c. Kadar abu 4 3 2 1 0,0769

d. Kadar lemak 4 3 2 1 0,0769

e. Kadar Protein 4 3 2 1 0,0769

f. Kadar Karbohidrat 4 3 2 1 0,0769

g. Total Mikroba 4 3 2 1 0,0769

h. Aktivitas air (aw) 4 3 2 1 0,0769

i. Penampakan 2 3 4 1 0,0769

j. Warna 2 3 4 1 0,0385

k. Aroma 4 3 2 1 0,0385

l. Rasa 4 3 2 1 0,0769

m. Tekstur 1 3 4 2 0,1154

Nilai Alternatif 3,0764 2,8843 2,5768 1,4615

Peringkat 1 2 3 4

Berdasarkan nilai alternatif, dodol kentang dengan penambahan 3% tepung

karagenan menghasilkan nilai tertinggi, yaitu dengan nilai alternatif 3,0764.

Page 11: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

313

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Hasil uji sensori skala hedonik pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa

dodol kentang yang diperkaya dengan tepung karagenan (0%; 3%; 5%; 7%; dan 9%) tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap parameter aroma dan rasa, tetapi mempengaruhi tingkat penerimaan panelis terhadap parameter penampakan, warna, dan tekstur. Dodol kentang yang diperkaya dengan 7% tepung karagenan menjadi produk yang disukai panelis berdasarkan nilai rata-rata tertinggi uji sensori skala hedonik oleh penilaian panelis pada parameter penampakan, warna, dan tekstur.

Hasil analisis proksimat pada dodol kentang yang diperkaya dengan 7% tepung karagenan adalah : kadar air 20,54%; kadar abu 1,63%; kadar lemak 1,26%; kadar protein 3,68%; dan kadar karbohidrat 72,89%. Nilai aktivitas air (aw) yaitu 0,793; nilai elastisitas yaitu 908,33 gf; dan jumlah rata-rata mikroba sebesar 4,7 x 104 koloni/gram.

Menurut metode beyes, penambahan konsentrasi tepung karagenan terbaik yang dapat digunakan dalam formulasi dodol kentang yaitu 3% dengan nilai pembobotan 3,0764. Dodol kentang ini memiliki kandungan proksimat berupa kadar air 19,29%; kadar abu 0,90% (b/b) dan 1,12% (b/k); kadar lemak 0,22% (b/b) dan 0,47% (b/k), kadar protein 3,51% (b/b) dan 4,56 % (b/k); serta kadar karbohidrat 76,08% (b/b) dan 93,85% (b/k). Nilai aktivitas air (aw) 0,787%, total mikroba 3,5 x 104 koloni/gram, elastisitas 341,67 gf.

Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai masa simpan dodol kentang

yang diambah dengan tepung karagenan dibandingkan dengan produk yang sudah beredar dipasaran, serta aspek pengemasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perindustrian Kabupaten Kerinci. 2006. Laporan Tahunan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kerinci. Jambi.

Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

. 1992 Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fatima Bi, Hassan M, Arman M, Iqbal S, Mahmood JS. 2007. Chemical and

Thermodynamic Studies of Karrageenan Isolated from Hypnea Musciformis (Red Algae) of Karachi Coast. Electronic Journal of Enviromental, Agricultural and Food Chemistry vol. 6 (9): 2385-2396.

Istini S, Zatnika A, Suhaimi, Anggadiredja JT. 1986. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: BPPT.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Steel RGD, Torie JH, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerjemah: Sumantri B. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari Principles and Procedures of Statistics.

Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. . . 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta :PT Gramedia

Pustaka Utama. __________ . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 12: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

314

FERMENTASI RUSIP

Bustami Ibrahim1, Winarti Zahiruddin2 dan Windo Sastra2

ABSTRAK Rusip adalah salah satu produk fermentasi ikan yang diproduksi oleh masyarakat Bangka

Belitung. Rusip yang dibuat menggunakan bahan baku ikan teri. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan rusip dan mengetahui mutu produk yang dihasilkan selama fermentasi 28 hari. Perlakuan yang diberikan pada penilitian ini adalah konsentrasi garam (7,5%, 10%, 12,5%, dan 15%), gula aren 5% dan kemudian diperam selama 28 hari. Analisis yang dilakukan yaitu uji proksimat, total asam laktat, TPC (Total Plate Count), pH, NaCl dan uji organoleptik pada hari ke-7, 14, 21 dan 28.

Ikan teri yang digunakan dalam pembuatan rusip mempunyai nilai kadar air (75,72%), kadar protein (18,83%), kadar abu (2,38%), kadar lemak (1,24%), TPC (Total Plate Count) (8,3x10

4 koloni/g), pH (6,73), dan TVB (Total Volatile Base) (28,29 mg N/100g). Berdasarkan

analisis yang dilakukan ikan teri yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan rusip masih cukup baik dan termasuk dalam tipe A yaitu protein tinggi sebesar 18,83% (15% – 20%) dan lemaknya rendah sebesar 1,24% (<5%). Hasil analisis rusip dengan berbagai perlakuan konsentrasi garam selama fermentasi 28 hari adalah sebagai berikut: hasil uji yang menurun adalah pH awal dari campuran bahan baku rusip dari (6,47 sampai 6,53) menjadi (4,56 sampai 4,33) setelah produk menjadi rusip, kadar air dari (74,71% sampai 74,72%) menjadi (66,62% sampai 62,49%), kadar protein dari (18,77% sampai 18,79%) menjadi (16,43% sampai 16,71%) dan kadar lemak dari (1,22% sampai 1,23%) menjadi (0,71% sampai 0,9%). Sebaliknya hasil uji yang mengalami peningkatan selama fermentasi 28 hari adalah kadar asam laktat dari (0,89% sampai 0,96%) menjadi (2,45% sampai 3,19%) dan kadar abu dari (3,56% sampai 4,03%) menjadi (9,23% sampai 14,41%). Sementara itu, nilai kadar garam awal dari campuran bahan baku rusip berkisar antara 0,47% sampai 0,55% dan pada hari ke-7 mengalami peningkatan menjadi 6,35% sampai 10,30%. Kemudian pada hari ke-14 sampai ke-28 nilai kadar garam ini pada semua perlakuan konsentrasi garam terus menurun menjadi 7,90% sampai 3,95%. Nilai total bakteri awal dari campuran bahan baku rusip berkisar antara 5,1 x 10

4 koloni/g sampai 5,4 x 10

4 koloni/g dan pada hari ke-7 meningkat menjadi 4,7 x 10

6 koloni/g

sampai 1,8 x 107 koloni/g. Kemudian pada hari ke-14 sampai ke-28 nilai total bakteri terus

menurun menjadi 9,8 x 106 koloni/g sampai 1,4 x 10

4 koloni/g.

Secara umum produk rusip ini memiliki penampakan ikan utuh mulai hancur keruh dan encer, warna abu-abu dan coklat, rasa asin dan asam, serta aroma amis dan asam yang merupakan ciri khas produk fermentasi. Berdasarkan hasil uji organoleptik untuk parameter penampakan, warna, aroma, dan rasa dapat disimpulkan bahwa yang paling disukai panelis adalah rusip dengan konsentrasi garam 10% pada pemeraman 14 hari.

PENDAHULUAN

Rusip merupakan produk fermentasi ikan yang dibuat oleh nelayan pengolah di Belitung dengan menggunakan bahan baku ikan teri. Orang Belitung menyebut ikan teri adalah bilis. Pada umumnya rusip dibuat dalam skala rumah tangga yaitu selama musim ikan. Penjualan produk ini dilakukan dalam skala kecil di pasar atau rumah. Selain garam, bahan lain yang ditambahkan adalah gula aren yang dapat berfungsi sebagai sumber energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri yang berperan dalam proses fermentasi. Rusip ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran untuk sambal, baik dengan cara dimasak terlebih dahulu atau langsung dikonsumsi sebagai lauk dalam keadaan tanpa pemasakan (mentah). Rusip ini siap dikonsumsi setelah disimpan selama minimal 1 minggu.

Proses pembuatan rusip secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat belum memiliki standar tertentu. Jumlah penambahan garam, gula merah, tempat yang digunakan, kondisi dan lamanya penyimpanan didasarkan pada kebiasaan masing-masing pengolah. Sebagaimana dengan produk fermentasi lainnya, hal ini dapat menyebabkan mutu produk menjadi tidak stabil dan tidak seragam.

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

2 Dinas kelautan Bangka-Belitung

Page 13: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

315

Sampai saat ini konsumen masih menitik beratkan pemilihan produk rusip pada aspek selera (penampakan, warna, rasa, dan aroma). Oleh karena itu, untuk meningkatkan rusip menjadi produk fermentasi ikan yang bermutu baik dibutuhkan pengembangan dari produk tersebut. Dengan melihat masih sedikitnya informasi tentang rusip, maka perlu dilakukan suatu penelitian pembuatan produk ini secara spontan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai mutu rusip ikan teri (Stolephorus sp.) dengan perlakuan konsentrasi garam dan waktu pemeraman yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan rusip, melakukan analisis kadar gizi (proksimat), TVB, dan TPC dari ikan teri (Stolephorus sp.) yang digunakan dan mengetahui mutu rusip selama pemeraman 28 hari. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perikanan serta Laboratorium Biokimia Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan September - Oktober 2007.

Bahan baku yang digunakan adalah ikan teri (Stolephorus sp.), garam, gula aren, Plate Count Agar (PCA), K2C03, H2SO4 pekat, NaOH, H3BO3 2%, HCl 0,1 N, HCl 0,02 N, fenolftalin 1%, potassium khromat 5%, AgNO3 0,1 N, NaCl 50%, NaSO4, CuSO4, garam fisiologis, dan TCA 7%. Alat-alat yang digunakan adalah botol sebagai wadah untuk pembuatan rusip, inkubator, gelas ukur, tabung reaksi, pipet, labu erlenmeyer, cawan petri, cawan conway, pH meter, oven, desikator, labu Kjeldahl, tanur, erlenmeyer, sentrifuge, kondensor dan lain-lain.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu analisis bahan baku dan analisis rusip selama fermentasi 28 hari. Pada analisis bahan baku yang dilakukan adalah analisis proksimat, TPC, dan TVB dari ikan teri yang digunakan. Pada analisis mutu rusip yang dilakukan yaitu proksimat, total plate count (TPC), total asam laktat, pH, NaCl dan uji organoleptik. Waktu pengamatan dilakukan pada hari ke-7, 14, 21 dan 28.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tingkat Kesegaran Bahan Baku

Tabel 1. Hasil analisis ikan teri berdasarkan parameter kimia dan mikrobiologi Komponen Nilai Standar Kesegaran

TPC (koloni/g) 8,3 x 104 ± 0,411 < 5 X 10

5

pH 6,73 ± 0,017 > 6,2

TVB (mg N/100g) 28,29 ± 0,034 < 30

Kadar air (%) 75,72 ± 0,029 72 – 80

Kadar abu (%) 2,38 ± 0,023 1 – 4

Kadar lemak (%) 1,24 ± 0,037 0,1 – 22

Kadar protein (%) 18,83 ± 0,048 15 – 20

Berdasarkan dari Tabel 1, ikan teri yang digunakan masih cukup baik karena mengandung bakteri 8,3 x 104 koloni/g (<105-106 koloni/g), pH 6,73 (<7,0), dan nilai TVB 28,29 mg N/100g (Rahayu et al. 1992). Ikan yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam tipe A yaitu mempunyai kandungan protein tinggi sebesar 18,83% (15%-20%) dan lemaknya rendah yaitu sebesar 1,24% (<5%) (Stansby dan Olcoott 1963 diacu dalam Rahayu et al. 1992). Nilai kadar air dan kadar abu bahan baku yang digunakan cukup baik, dimana nilainya masing-masing adalah 75,72% dan 2,38%. Dikatakan cukup baik karena sebagian besar bahan pangan segar mengandung air lebih dari 70% dan kadar abu ikan air laut berkisar antara 1-4%.

Page 14: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

316

Analisis Fermentasi Rusip Analisis yang dilakukan terhadap rusip meliputi campuran bahan (teri, garam dan

gula merah) sehingga terbentuknya produk rusip pada hari ke-7 sampai ke-28.

pH

4,00

5,00

6,00

7,00

0 7 14 21 28

pH

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 1. Grafik nilai pH rusip

Berdasarkan Gambar 1, Nilai pH campuran bahan (teri, garam dan gula merah) dengan konsentrasi garam 7,5% turun dari 6,53 pada hari ke-0 menjadi 4,89 (rusip) hari ke-7 dan 4,56 (rusip) hari ke-28. pH rusip mengalami penurunan pada semua konsentrasi garam dan waktu pemeraman. Selama pemeraman, terjadi produksi asam laktat akibat adanya aktivitas bakteri asam laktat yang berperan dalam proses fermentasi akan menurunkan pH produk. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa bakteri asam laktat akan merubah gula menjadi asam laktat, asam-asam volatile, alkohol, dan ester yang dapat menurunkan pH produk.

Kadar Garam (NaCl)

0

4

8

12

0 7 14 21 28Kadar garam (%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 2. Grafik nilai kadar garam rusip

Berdasarkan Gambar 2, kadar garam campuran bahan (ikan teri, garam dan gula merah) dengan konsentrasi garam 7,5% pada hari ke-0 adalah 0,53% kemudian naik menjadi 6,35% (rusip) hari ke-7. Namun, pada hari ke-14 turun menjadi 4,4% sampai 3,95% (hari ke-28). Terjadinya peningkatan kadar garam pada hari ke-7 karena garam yang digunakan belum meresap ke dalam daging ikan.

Setelah terbentuknya rusip, kadar garam mengalami penurunan pada semua konsentrasi garam dan waktu pemeraman. Penurunan nilai kadar garam (NaCl) ini akibat pecahnya senyawa kompleks NaCl menjadi molekul-molekul penyusunnya yaitu ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ sangat dibutuhkan oleh bakteri asam laktat sebagai salah satu komponen nutrisi untuk pertumbuhannya.

Total Asam Laktat

0

1

2

3

4

0 7 14 21 28

Kadar asam laktat

(%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 3. Grafik nilai total asam laktat rusip

Page 15: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

317

Berdasarkan Gambar 3, nilai total asam laktat rusip dengan konsentrasi garam 7,5% selama pemeraman 28 hari mengalami peningkatan dari 0,94% menjadi 2,45%. Begitu juga untuk semua perlakuan lainnya terjadi peningkatan kadar asam laktat. Peningkatan total asam laktat karena bakteri asam laktat akan mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob. Selama fermentasi ikan, karbohidrat akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang sederhana seperti asam laktat, asam asetat, asam propionat dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini yang menyebabkan rasa asam pada produk dan dapat berfungsi sebagai bahan pengawet (Rahayu et al. 1992).

Total Plate Count (TPC)

0

3

6

9

0 7 14 21 28

Log TPC

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 4. Grafik nilai log TPC rusip

Dari Gambar 4, diketahui waktu pemeraman rusip selama 7 hari menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri yaitu dari 5,4 x 104 koloni/g (hari ke-0) menjadi 1,8 X 107 koloni/g (hari ke-14) pada konsentrasi garam 7,5%. Peningkatan jumlah bakteri juga terjadi pada semua perlakuan. Peningkatan jumlah bakteri disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi yaitu bakteri pembentuk asam laktat, bakteri pembentuk asam propionat, bakteri pembentuk asam asetat, beberapa jenis khamir dan kapang (Buckle et al. 1987).

Dengan meningkatnya konsentrasi garam dari 7,5%, 10%, 12,5% dan 15%, serta pada pemeraman hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi penurunan jumlah bakteri. Penurunan jumlah bakteri ini disebabkan oleh perbedaan daya tahan mikroba terhadap kadar garam sangat bervariasi, tergantung dari sifat dinding sel dan tekanan osmotik internal mikroorganisme tersebut. Selain itu juga, penurunan jumlah total bakteri menunjukkan fase menuju kematian dan fase kematian. Pada fase ini sebagian populasi jasad renik mulai mengalami kematian karena beberapa faktor yaitu nutrien di dalam medium sudah habis, dan energi cadangan di dalam sel habis.

Analisis Proksimat

Kadar air

56

64

72

80

0 7 14 21 28

Kadar air (%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 5. Grafik nilai kadar air rusip

Gambar 5 menunjukkan bahwa meningkatnya konsentrasi garam dan waktu pemeraman rusip menyebabkan kadar air semakin menurun. Penurunan kadar air selama proses fermentasi disebabkan oleh garam yang dapat menarik air keluar dari jaringan daging ikan karena garam bersifat higroskopis. Adanya garam dalam daging

Page 16: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

318

ikan akan mendenaturasi larutan koloid protein sehingga terjadi koagulasi yang dapat membebaskan air. Konsentrasi garam yang semakin tinggi dapat menghilangkan air lebih banyak dari tubuh ikan. Hal ini terjadi karena garam dalam proses penggaraman akan berpenetrasi ke dalam tubuh ikan. Garam yang masuk ke dalam tubuh ikan akan menggantikan air bebas yang ada pada tubuh ikan.

Kadar abu Berdasarkan Gambar 6, meningkatnya konsentrasi garam dan waktu pemeraman

rusip menyebabkan kadar abu semakin meningkat. Peningkatan nilai kadar abu terjadi karena pada saat ikan masih segar mineral-mineral yang terdapat dalam tubuh ikan hanya berasal dari tubuh ikan sendiri, sedangkan setelah ditambahkan garam maka mineral-mineral yang ada selain dari ikannya sendiri juga berasal dari garam yang digunakan sehingga makin banyak garam yang ditambahkan maka mineral dalam produk akan semakin meningkat.

0

4

8

12

16

0 7 14 21 28

Kadar abu (%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 6. Grafik nilai kadar abu rusip

Kadar protein

15

16

17

18

19

0 7 14 21 28Kadar protein (%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 7. Grafik nilai kadar protein rusip

Dari Gambar 7, terlihat adanya penurunan kadar protein pada produk rusip selama fermentasi 28 hari. Penurunan kadar protein ini disebabkan karena garam mempunyai sifat higroskopis dan mengabsorpsi air dari jaringan daging. Garam merupakan elektrolit kuat yang dapat melarutkan protein, sehingga garam mampu memecah ikatan molekul air dalam protein, yang dapat mengubah sifat alami protein (Zaitsev et al. 1969). Selain itu dalam proses penggaraman terjadi penggumpalan protein yang mengakibatkan nilai protein mengalami penurunan.

Kadar lemak Dari Gambar 8, penurunan kadar lemak ini disebabkan karena adanya aktivitas

enzim lipolitik baik yang berasal dari bakteri maupun yang terdapat secara alami dalam ikan. Enzim tersebut akan memecah lemak menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam lemak. Selama fermentasi berlangsung, lemak pada bahan pangan akan mengalami penurunan akibat terjadinya degradasi lemak menjadi asam-asam lemak. Degradasi lemak ini terjadi karena adanya aktivitas enzim lipase yang secara alami terdapat dalam bahan pangan atau yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang tumbuh dalam bahan pangan fermentasi.

Page 17: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

319

0

1

2

0 7 14 21 28

Kadar lemak (%)

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 8. Grafik nilai kadar lemak rusip

Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan pada rusip ini berdasarkan score sheet uji tingkat

kesukaan dengan skala hedonik. Kriteria yang dinilai adalah penampakan, warna, aroma dan rasa rusip. Bahan disajikan secara acak dengan kode-kode tertentu dan dinilai oleh panelis. Kriteria penilaian mutu rusip dengan skala hedonik adalah sangat suka (7), suka (6), agak suka (5), netral (4), agak tidak suka (3), tidak suka (2), sangat tidak suka (1) (Soekarto 1985). Hasil analisis uji organoleptik terhadap rusip dapat dilihat pada Gambar 9, 10, 11 dan 12.

0

6

12

7 14 21 28

Penampakan

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

Gambar 9. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik dari penampakan rusip

4

5

6

7 14 21 28

Warna

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 10. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik dari warna rusip

0

2

4

6

7 14 21 28

Aroma

Waktu fermentasi (hari)

7,5%

10%

12,5%

15%

Gambar 11. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik dari aroma rusip

0

2

4

6

7 14 21 28

Rasa

Waktu fermentasi (hari)

7,5 %

10%

12,5 %

15%

Gambar 12. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik dari rasa rusip

Page 18: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

320

Berdasarkan hasil uji organoleptik, diketahui bahwa panelis lebih menyukai rusip dengan konsentrasi garam 10% pada pemeraman 14 hari dengan nilai penampakan sebesar 5,27 (agak suka), warna sebesar 4,87 (agak suka), aroma sebesar 4,2 (netral), dan rasa sebesar 4,7 (agak suka). Secara umum rusip memiliki nilai penampakan yaitu ikan utuh mulai hancur, keruh dan encer, warna abu-abu dan coklat, aroma amis dan asam yang merupakan ciri khas produk fermentasi, serta mempunyai rasa yang asin dan asam. KESIMPULAN

Ikan teri yang digunakan dalam pembuatan rusip mempunyai kadar air (75,72%), kadar protein (18,83%), kadar abu (2,38%), kadar lemak (1,24%), TPC (8,3x104

koloni/g), pH (6,73), dan TVB (28,29 mg N/100g). Berdasarkan analisis yang dilakukan ikan teri yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan rusip masih cukup baik dan ikan teri tersebut termasuk dalam tipe A yaitu kandungan protein tinggi sebesar 18,83% (15-20) dan lemaknya rendah sebesar 1,24% (<5).

Proses fermentasi ikan teri menjadi rusip dilakukan dengan penambahan konsentrasi garam 7,5%, 10%, 12,5%, dan 15%, serta waktu pemeraman selama 28 hari, jumlah bakteri (TPC) campuran bahan (ikan teri, garam dan gula merah) berkisar antara 5,1 x 104 koloni/g sampai 5,4 x 104 koloni/g dan pada hari ke-7, meningkat menjadi 4,7 x 106 koloni/g sampai 1,8 x 107 koloni/g. Kemudian pada hari ke-14, bakteri tersebut menurun menjadi 1,1 x 107 koloni/g sampai 2,8 x 104 koloni/g. Jumlah bakteri ini terus menurun hingga hari ke-28 (9,8 x 106 koloni/g sampai 1,4 x 104 koloni/g).

. Selain itu, yang mengalami penurunan dengan penambahan konsentrasi garam dan lamanya pemeraman dari hari ke-0 sampai hari ke-28 adalah nilai pH dari (6,47 – 6,53) menjadi (4,33 – 4,56), kadar garam (NaCl) dari (0,47% – 0,55%) menjadi (3,95% – 7,90%), kadar air dari (74,71% – 74,72%) menjadi (62,49% – 66,62%), kadar protein dari (18,77% – 18,79%) menjadi (16,43% – 16,71%), dan kadar lemak dari (1,22% – 1,23%) menjadi (0,71% – 0,90%). Sebaliknya, yang meningkat dengan perlakuan konsentrasi garam dan waktu pemeraman dari hari ke-0 sampai hari ke-28 adalah total asam laktat dari (0,89% – 0,96%) menjadi (2,45% – 3,19%), dan kadar abu dari (3,56% – 4,03%) menjadi (9,23% – 14,41%).

DAFTAR PUSTAKA

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Hari Purnomo, Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow : Mir Publisher.

Page 19: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

321

KITOSAN SEBAGAI EDIBLE COATINGPADA OTAK-OTAK BANDENG

(Chanos chanos Forskal) YANG DIKEMAS VAKUM

Djoko Poernomo1, Pipih Suptijah1, An’im Falahuddin2

ABSTRAK

Otak-otak bandeng merupakan salah satu bentuk diversifikasi olahan dari ikan bandeng yang memiliki penampakan menarik seperti ikan bandeng asli serta rasa dan aroma yang khas. Produk ini berasal dari daerah Gresik, Jawa Timur. Salah satu faktor yang menyebabkan singkatnya daya awet produk otak-otak bandeng adalah masalah pengemasan yaitu dengan menggunakan daun pisang dan atau plastik sehingga hanya tahan selama dua hari saja. Untuk memberikan nilai tambah terhadap otak-otak bandeng, mengingat produk tersebut cepat busuk, perlu dibuat alternatif pengolahan atau pengawetan guna memperpanjang daya awet dan masa distribusinya yakni dengan pengemasan vakum dan penambahan kitosan sebagai pelapis bahan dan pengawet alami. Kemasan vakum (vacuum packaging) diharapkan dapat menghambat terjadinya proses oksidasi dan memberikan efek visual yang lebih baik terhadap produk. Berdasarkan hal tersebut, penelitian kali ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peran kitosan sebagai bahan pelapis dan kemasan vakum dalam menghambat kemunduran mutu otak-otak bandeng.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pelapisan kitosan dan lama penyimpanan menunjukkan pengaruh nyata terhadap otak-otak bandeng baik secara fisik maupun kimiawi. Dari pengamatan organoleptik, pelapisan kitosan memberikan efek visual yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa perlapisan. Secara visual, pengemasan vakum memberikan kesan yang menarik terhadap mutu otak-otak bandeng. Pada penelitian tahap awal, diperoleh bahwa konsentrasi kitosan sebesar 2% dapat mempertahankan mutu organoleptik hingga hari ke-6 dan merupakan konsentrasi terbaik. Secara kimiawi, konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan mempengaruhi komposisi gizi otak-otak bandeng yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat serta nilai aw, pH dan mikrobiologi (Total Plate Count). Penggunaan kombinasi edible coating dan pengemasan vakum dapat menghambat kemunduran mutu otak-otak bandeng yang disimpan pada suhu ruang (28-30

oC).

Kata kunci : Otak-otak bandeng, kitosan, edible coating, vakum

PENDAHULUAN

Produksi ikan bandeng selain dipasarkan dalam bentuk segar juga diolah secara tradisional menjadi berbagai macam produk seperti bandeng asap, pindang bandeng, sate bandeng dari Banten, bandeng presto dari Semarang yang sangat terkenal dikalangan masyarakat karena durinya yang empuk dan rasanya yang enak. Otak-otak bandeng merupakan salah satu bentuk diversifikasi olahan dari ikan bandeng yang memiliki penampakan yang menarik. Produk ini berasal dari daerah Gresik.

Salah satu faktor yang menyebabkan singkatnya daya awet produk tersebut adalah masalah pengemasan yang masih sederhana yaitu dengan menggunakan daun pisang dan atau plastik sebagai kemasan primer yang kemudian dikemas lagi dengan kertas karton sebagai kemasan sekunder.

Mengingat produk tersebut cepat busuk (hanya tahan dua hari), maka untuk memberikan nilai tambah terhadap otak-otak bandeng perlu dibuat alternatif pengolahan atau pengawetan guna memperpanjang daya awet dan masa distribusinya. Salah satunya adalah modifikasi kemasan dan penambahan bahan pengawet alami. Bentuk kemasan yang berkembang saat ini adalah kemasan vakum (vacuum packaging) yang diduga dapat menghambat terjadinya proses oksidasi dan memberikan efek visual yang lebih baik terhadap produk yang dikemas. Sedangkan salah satu bahan pengawet alami yang dapat menghambat proses pembusukan makanan adalah kitosan yang memiliki sifat sebagai pelapis bahan pangan.

1 Staf pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

2 Alumni Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Page 20: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

322

Kitosan merupakan turunan kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi yakni penghilangan gugus asetil menjadi polimer D-glukosamin. Kitosan dan turunannya telah banyak dimanfaatkan secara komersial dalam industri farmasi, industri pangan, pertanian, kosmetik, pengolahan limbah industri dan pemurnian air. Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pangan, bahan pengemas, penstabil, pengental dan antioksidan serta penjernih pada produk minuman (Shahidi et al. 1999).

Aplikasi kitosan sebagai bahan antimikroba untuk bahan pengemas telah banyak dilakukan. Pada umumnya kitosan bersifat bakterisidal yang kuat terhadap gram positif dibandingkan bakteri gram negatif. Edible coating kitosan 1,5% dapat menghambat pertumbuhan jamur pada ikan cucut asin (Nugroho 2005). Oleh karena itu, dalam upaya memperpanjang daya awet otak-otak bandeng sangat perlu diteliti mengenai penggunaan kitosan sebagai coating yang dipadukan dengan pengemasan vakum.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan tingkat konsentrasi edible coating dari kitosan pada otak-otak bandeng yang dikemas vakum dan lama penyimpanan yang optimum. Mengetahui pengaruh kitosan udang sebagai edible coating dalam menghambat kemunduran mutu otak-otak ikan bandeng yang dikemas vakum selama penyimpanan pada suhu ruang melalui pengujian fisik dan kimiawi. METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Maret 2009. Bertempat di laboratorium karakteristik bahan baku hasil perikanan, laboratorium mikrobiologi hasil perikanan, laboratorium biokimia hasil perikanan, laboratorium organoleptik hasil perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Laboratorium Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan bandeng basah (utuh) hasil budidaya Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Bahan pelengkap atau bumbu yang digunakan antara lain; bawang merah, bawang putih, cabai, lengkuas, kencur, jahe, ketumbar, gula, garam, kunyit dan santan. Asam asetat dan kitosan dari limbah cangkang udang. Bahan kemasan plastik HDPE nilon. Bahan kimia untuk analisis lemak adalah pelarut dietil eter, untuk analisis protein adalah HCl, NaSO4, CuSO4, NaCl dan NaOH, dan untuk uji TPC adalah larutan garam fisiologis, nutrien agar, alkohol 95% dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah grinder, food prosesor, talenan, blender, pisau, baskom, kukusan, timbangan, dan kompor. Untuk pengujian mutu produk digunakan score sheet organoleptik.

Metode penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian tahap pertama atau penelitian pendahuluan bertujuan mengetahui proses pembuatan otak-otak dari ikan bandeng dan mengetahui konsentrasi kitosan sebagai edible coating yang optimum terhadap penyimpanan otak-otak bandeng.

Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: Ikan Bandeng segar (basah) diuji tingkat kesegarannya dengan menggunakan score sheet, kemudian dipreparasi dengan menghilangkan sisik, insang dan isi perut (melalui rongga operkulum) dan dicuci sampai bersih. Tubuh ikan dipukul-pukul hingga gembur dengan menggunakan kayu bebentuk silinder dengan panjang 30 cm.

Ujung tulang utama pada bagian ekor dilipat sampai patah dan pada bagian pangkal kepala digunting sampai tulang terputus. Setelah itu, tulang ditarik dengan mengunakan pinset melalui rongga insang sampai keluar utuh. Proses selanjutnya adalah mengeluarkan daging dari dalam kulit dengan tanpa merobek kulit ikan bandeng, yakni dengan cara mengurut kulit dengan menggunakan jari tangan atau penjepit dimulai dari ujung ekor hingga pangkal kepala, lakukan berulang-ulang sampai daging benar-benar terambil semuanya.

Page 21: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

323

Daging ikan bandeng yang telah terpisah dari tulang (duri) kemudian dilumatkan dengan menggunakan grinder dan dicampur dengan bumbu yang sebelumnya telah dihaluskan terlebih dahulu. Selanjutnya daging ikan yang sudah dicampur dengan bumbu tersebut diisikan kembali ke dalam selongsong kulit ikan bandeng sampai penuh dan menyerupai ikan utuh. Setelah itu dikukus pada suhu 90-100 oC selama 40 menit sampai matang dan didinginkan (Budiwati 2001).

Otak-otak bandeng yang telah matang kemudian digoreng, kemudian dilapisi (coating) dengan kitosan. Pelapisan ini terdiri dari dua teknik pelapisan yaitu dengan metode pencelupan bahan kedalam larutan kitosan, kemudian dilanjutkan dengan metode penyemprotan. Konsentrasi kitosan yang digunakan masing-masing adalah 0%, 1%, 2% dan 3% dengan dua kali ulangan. Lama waktu pencelupan adalah 10 detik dan proses penyemprotan dilakukan sampai merata keseluruh bagian permukaan produk. Otak-otak bandeng yang telah dicoating tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang selama 5 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-5, yang meliputi uji organoleptik (penampakan, tekstur, warna, aroma dan rasa).

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan sebagai edible coating dalam menghambat kemunduran mutu pada produk otak-otak bandeng yang dikemas vakum. Pengujian yang dilakukan meliputi perubahan fisik dengan menggunakan uji organoleptik skala hedinik (penampakan, aroma, rasa, tekstur dan warna) dan perubahan kimia (melalui pengujian nilai proksimat, TPC, pH dan aw). Adapun tahap yang dilakukan pada penelitian utama merupakan tahap lanjutan dari penelitian sebelumnya. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan pada masing-masing perlakuan. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan percobaan dua faktor dengan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi kitosan sebagai edible coating yang terdiri dari empat taraf yaitu: 0%, 1%, 2% dan 3%. Faktor kedua adalah lama penyimpanan yang terdiri dari hari ke-0, 1, 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan pada penelitian tahap kedua atau penelitian utama, faktor pertama adalah edible coating terpilih yang dikemas vakum dan kontrol sebagai pembanding. Faktor kedua adalah lama penyimpanan yang terdiri dari hari ke-0, 2, 4, 6 dan 8. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan

Penentuan konsentrasi kitosan terpilih ditentukan secara organoleptik dengan uji organoleptik skala hedonik (kesukaan) yang meliputi penampakan, aroma, rasa, tekstur dan warna.

Dari tabel dibawah ini menunjukkan bahwa hasil penerimaan panelis terhadap semua perlakuan pada otak-otak bandeng memiliki nilai rata-rata tidak terlalu berbeda. Nilai rata-rata penerimaan panelis tertinggi yaitu pada perlakuan kitosan dengan konsentrasi 2%. Oleh karena itu, dari semua perlakuan yang diberikan dipilih konsentrasi kitosan 2% yang digunakan pada penelitian utama dengan perlakuan pengemasan vakum karena dari hasil pengujian organoleptik skala hedonik memiliki nilai tertinggi.

Page 22: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

324

Tabel 1. Nilai rata-rata organoleptik otak-otak bandeng (konsentrasi kitosan 0%, 1%, 2% dan 3%)

Parameter

Konsentrasi Kitosan

0% 1% 2% 3%

H0 H1 H2 H3 H4 H5 H0 H1 H2 H3 H4 H5 H0 H1 H2 H3 H4 H5 H0 H1 H2 H3 H4 H5

Penampakan 7,30 6,90 6,17 4,80 3,37 2,87 7,20 7,33 5,30 4,03 3,30 2,90 7,47 7,33 7,17 6,27 4,40 3,47 7,37 7,27 6,03 4,67 3,73 2,93

Aroma 7,57 6,93 4,63 4,20 3,87 3,60 7,47 7,33 5,40 4,60 4,20 4,10 7,47 7,47 6,97 6,33 5,13 4,97 7,43 7,30 6,43 5,20 4,37 4,23

Rasa 8,07 7,47 6,03 4,47 4,10 3,50 8,00 7,50 6,37 6,13 5,43 5,13 7,97 7,97 7,60 7,20 6,47 6,07 8,03 7,37 6,77 6,10 5,53 5,37

Tekstur 7,27 7,00 5,80 5,10 4,57 3,87 7,13 7,43 6,37 5,87 4,47 4,37 7,30 7,53 7,03 6,67 6,10 6,00 7,27 7,30 6,57 5,97 5,43 5,37

Warna 6,67 6,37 5,70 5,23 4,73 3,80 6,63 6,23 5,13 4,90 4,80 3,87 6,80 6,73 6,23 5,20 5,13 4,10 6,60 6,47 5,43 4,93 4,33 3,90

Rata-rata (hari)

7,37 6,93 5,67 4,76 4,13 3,53 7,29 7,17 5,71 5,11 4,44 4,07 7,40 7,41 7,00 6,33 5,45 4,92 7,34 7,14 6,25 5,37 4,68 4,36

Rata-rata 5,40 5,63 6,42 5,86

Page 23: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

323

Penelitian Utama Pada penelitian tahap utama, konsentrasi edible coating terpilih (konsentrasi

kitosan 2%) dan kontrol (0%) sebagai pembanding dikemas vakum dengan menggunakan kemasan plastik, kemudian disimpan selama 8 hari pada suhu ruang (28-30 oC) dengan interval pengamatan 2 hari sekali. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan fisik melalui uji organoleptik skala hedonik yang meliputi parameter; penampakan, aroma, rasa, tekstur, dan warna. Sedangkan parameter kimia yang di analisis adalah proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), pH, aw, dan mikrobiologi (Total Plate Count). Adapun tahap yang dilakukan pada penelitian utama merupakan tahap lanjutan dari penelitian sebelumnya.

Penampakan Nilai organoleptik penampakan terhadap otak-otak bandeng berkisar antara 3,67

sampai 7,60, yang artinya panelis memberi penilaian antara tidak suka sampai suka. Nilai rata-rata tingkat kesukaan penampakan tertinggi pada konsentrasi kitosan 2% pada hari ke-0 dengan nilai 7,60.

Gambar 1. Nilai rata-rata uji organoleptik skala hedonik penampakan otak-otak

bandeng yang dikemas vakum

Berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penampkan otak-otak bandeng yang dikemas vakum (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8, tetapi tidak berbeda nyata dengan hari ke-2. Artinya, penampakan otak-otak bandeng pada hari ke-0 lebih disukai oleh panelis. Sedangkan penyimpanan hari ke-4, 6 dan 8 tidak berbeda nyata.

Secara umum pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunananya sedikit mengahambat penguapan air tetapi efektif mengontrol difusi gas. Selain itu, pelapisan kitosan dapat membentuk barrier protective pada permukaan (Jiang et al. 2001). Hal ini diduga menyebabkan kadar air otak-otak bandeng dengan perlakuan pelapisan kitosan lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi penampakan otak-otak bandeng.

Menurut Rachmawan (2001), pengemasan vakum berfungsi melindungi bahan dari pencemaran dan gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Hal ini menyebabkan produk otak-otak bandeng memiliki penampakan yang menarik dan tetap utuh sehingga lebih disukai oleh panelis.

Aroma Hasil uji organoleptik kesukaan terhadap aroma otak-otak bandeng menunjukkan

bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma otak-otak bandeng berkisar antara 3,53 sampai 7,67. Nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap aroma otak-otak bandeng tertinggi pada konsentrasi kitosan 2% pada hari ke-0 dengan nilai 7,67. Sedangkan tingkat kesukaan panelis terendah pada konsentrasi 0% pada hari ke-8 dengan nilai 3,53. Selama masa penyimpanan, nilai rata-rata organolepptik aroma cenderung mengalami penurunan baik yang perlakuan pelapisan maupun yang tanpa perlakuan pelapisan.

Page 24: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

324

Gambar 2. Nilai rata-rata uji organoleptik skala hedonik aroma otak-otak bandeng

yang dikemas vakum

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap aroma otak-otak bandeng yang dikemas vakum (p<0,05). Tetapi hubungan antara konsentrasi dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8, tetapi tidak berbeda nyata dengan hari ke-2. Artinya, panelis memiliki tingkat kesukaan yang hampir sama antara hari ke-0 dengan hari ke-2. Sedangkan penyimpanan hari ke-4, 6 dan 8 berbeda nyata dengan semua lama penyimpanan.

Nilai rata-rata organoleptik aroma pada perlakuan tanpa pelapisan kitosan terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan pelapisan kitosan. Hal ini diduga karena pelapisan kitosan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada suatu bahan melalui kemampuannya dalam mengikat air (Young et al. 1982 diacu dalam Quattara et al. 2000) serta kemampuannya untuk menyerap nutrien yang digunakan oleh bakteri. Sehingga menyebabkan otak-otak bandeng dengan pelapisan kitosan memiliki aroma yang lebih disukai oleh panelis. Pelapisan kitosan dan pengemasan vakum dapat mecegah terjadinya proses okidasi lemak yang dapat menimbulkan bau tengik pada bahan makanan. Pelapisan kitosan dapat mencegah kontak langsung antara produk dengan udara sedangkan pengemasan vakum dapat mengurangi jumlah oksigen dalam kemasan sampai dengan dibawah 2% (Hanlon 1971).

Rasa Hasil uji organoleptik kesukaan rasa otak-otak bandeng menunjukkan bahwa

nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis berkisar antara 2,97 sampai dengan 8,00. Nilai rata-rata tingkat kesukaan rasa tertinggi pada konsentrasi kitosan 0% pada hari ke-0 dengan nilai 8,00. Sedangkan tingkat kesukaan panelis terendah pada konsentrasi 0% pada hari ke-8 dengan nilai 2,97. Selama masa penyimpanan, nilai rata-rata organolepptik aroma cenderung mengalami penurunan baik yang perlakuan pelapisan maupun yang tanpa perlakuan pelapisan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan serta hubungan antara keduanya (konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap rasa otak-otak bandeng yang dikemas vakum. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan hari ke-2, 4, 6, dan 8. Sedangkan penyimpanan hari ke-2 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8. Artinya, semua perlakuan lama penyimpanan saling berbeda nyata satu sama lainnya.

Gambar 3. Nilai rata-rata uji organoleptik skala hedonik rasa otak-otak bandeng

yang dikemas vakum

Page 25: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

325

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan serta hubungan antara keduanya (konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap rasa otak-otak bandeng yang dikemas vakum. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan hari ke-2, 4, 6, dan 8. Sedangkan penyimpanan hari ke-2 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8. Artinya, semua perlakuan lama penyimpanan saling berbeda nyata satu sama lainnya.

Secara umum, produk atau bahan makanan yang mengalami penyimpanan mengakibatkan penurunan mutu, baik dari segi fisik maupun kimiawinya. Penurunan nilai organoleptik rasa otak-otak bandeng diduga karena aktivitas mikroba yang menghasilkan metabolit sekunder dan peranan enzim yang menghasilkan bau yang tidak enak (Ketaren 2005) sehingga dapat mempengaruhi penilaian panelis.

Nilai rata-rata organoleptik rasa pada perlakuan tanpa pelapisan kitosan terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan pelapisan kitosan. Hal ini diduga karena pelapisan kitosan dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan enzim serta pertumbuhan kapang dan jamur.

Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter penilian organoleptik yang juga

dipertimbangkan oleh konsumen pada saat memilih makanan. Hasil uji organoleptik kesukaan tekstur otak-otak bandeng menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur otak-otak bandeng yang dikemas vakum berkisar antara 3,23 sampai 7,63. Nilai ini berkisar antara tidak suka sampai dengan sangat suka.

Nilai rata-rata tekstur tertinggi pada konsentrasi kitosan 2% pada hari ke-0 dengan nilai 7,63. Selama masa penyimpanan, nilai rata-rata organolepptik tekstur cenderung mengalami penurunan baik yang perlakuan pelapisan maupun yang tanpa perlakuan pelapisan.

Gambar 4. Nilai rata-rata uji organoleptik skala hedonik tekstur otak-otak

bandeng yang dikemas vakum

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa, konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan serta hubungan antara keduanya (konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap tekstur otak-otak bandeng yang dikemas vakum.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 dan ke-2 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8. Sedangkan penyimpanan hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan hari ke-2. Penyimpanan hari ke-4 berbeda nyata dengan hari ke-6 dan 8, begitu juga hari ke-6 berbeda nyata dengan hari ke-8. Faktor yang dapat mempengaruhi tekstur antara lain adalah kandungan protein, lemak, suhu, kadar air dan aktivitas dari pergerakan air (Purnomo 1995).

Selain itu, kelembaban udara juga dapat mempengaruhi tekstur seuatu bahan. Bila kadar air rendah sedangkan RH disekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air sehingga bahan akan menjadi lebih lembab atau kadar airnya akan menjadi tinggi. Namun jika suhu bahan lebih rendah daripada sekitarnya makan akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang dan perkembangbiakan bakteri (Winarno et al. 1980).

Page 26: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

326

Pelapisan kitosan dan pengemasan vakum dapat membantu dalam mempertahankan tekstur tetap padat dan kompak.

Warna Hasil uji organoleptik kesukaan warna otak-otak bandeng menunjukkan bahwa

nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna otak-otak bandeng berkisar antara 4,10 sampai 6,77. Secara deskriptif, otak-otak bandeng memiliki warna kuning emas kecoklatan, bersih dan rapi. Nilai rata-rata tingkat kesukaan warna tertinggi pada konsentrasi kitosan 0% pada hari ke-0 dengan nilai 6,77. Selama masa penyimpanan, nilai rata-rata organoleptik tekstur cenderung mengalami penurunan baik yang perlakuan pelapisan dengan kitosan maupun yang tanpa perlakuan pelapisan kitosan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa, konsentrasi kitosan dan hubungan antara konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata. Sedangkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap warna otak-otak bandeng yang dikemas vakum.

Gambar 5. Nilai rata-rata uji organoleptik skala hedonik warna otak-otak bandeng

yang dikemas vakum

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 dan ke-2 berbeda nyata dengan hari ke-4, 6, dan 8. Sedangkan penyimpanan hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan hari ke-2 dan penyimpanan hari ke-4 berbeda nyata dengan hari ke-6 dan 8. Warna kuning kecoklatan diduga disebabkan adanya oksidasi lemak yang mengandung asam-asam lemak berantai panjang dengan banyak ikatan rangkap (Ketaren 2005). Pada hari ke-0, 2, 4 dan 6 warna otak-otak bandeng yang dihasilkan masih baik, yakni produk berwarna kuning kecoklatan, cemerlang, bersih dan rapi.

Pada penyimpanan hari ke-8 otak-otak bandeng menunjukkan adanya perubahan warna. Akan tetapi okasidasi yang terjadi belum terlalu berpengaruh terhadap warna otak-otak bandeng. Hal ini didukung oleh nilai rata-rata organoleptik yang masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-8. Untuk mencegah terjadinya oksidasi yang selanjutnya akan menimbulkan ketengikan, maka diupayakan dengan meminimalkan hubungan dengan udara bebas terutama dalam penyimpanan (Moeljanto 1992). Oleh karena dalam penelitian kali ini menggunakan pengemasan vakum untuk meminimalisir terjadinya oksidasi lemak dan memperpanjang masa simpan.

Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi otak-otak

bandeng terbaik, yaitu otak-otak bandeng dengan konsentrasi kitosan 2% dan kontrol (0%) sebagai pembanding. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein serta karbohidrat (by difference).

Perubahan nilai gizi dalam bahan pangan terjadi pada beberapa tahap selama proses pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan. Pengolahan dengan menggunakan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi pada bahan pangan (Buckle et al. 1987). Hasil analisis proksimat otak-otak bandeng dapat dilihat pada Tabel 2.

Kadar air merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap sifat fisik dan daya awet suatu bahan hasil olahan. Menurut Winarno (1992), air

Page 27: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

327

merupakan koponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta citarasa makanan.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat otak-otak bandeng yang dikemas vakum

Parameter Lama penyimpanan

(hari)

Nilai rata-rata (%)

Konsentrasi 0%

Konsentrasi 2%

Kadar air 0 48,10 55,30 8 54,30 64,95

Kadar abu 0 3,40 4,51 8 1,70 2,40

Kadar lemak 0 17,00 8,75 8 15,50 7,50

Kadar protein 0 26,89 23,90 8 20,91 18,52

Karbohidrat 0 4,61 7,54

8 7,59 6,63

Peningkatan atau perubahan kadar air selama penyimpanan dapat dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan yang digunakan, sifat penyerapan air, dan kelembaban lingkungan serta tingkat mikroorganisme yang ada dalam bahan yang menyebabkan produk menjadi lembek dan sedikit berlendir dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam bahan (Gunardi 1991).

Kadar abu otak-otak bandeng pada perlakuan pelapisan kitosan lebih tinggi disbanding tanpa perlakuan. Hal ini diduga adanya mineral-mineral yang terikat oleh kitosan sehingga menjadikannya lebih tinggi. Selain itu, kitosan sendiri juga memiliki kadar abu yang dapat mencapai 2% (Protan Laboratories diacu dalam Suptijah et al. 1992).

Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak, seperti petroleum benzene, eter, dan kloform) (Winarno 1992).

Kadar lemak produk otak-otak bandeng lebih tinggi dibandingkan bahan baku ikan bandeng segar yang memiliki kandungan lemak sebesar 1,51%. Hal ini disebabkan karena proses penggorengan yang dapat meningkatkan kandungan lemak bahan makanan. Pada saat penggorengan berlangsung sebagian minyak goreng yang digunakan akan masuk kedalam bagian kerak (permukaan luar) dan lapisan luar (outer zone) sehingga mengisi ruang kosong yang mulanya diisi oleh air (Kataren 2005).

Selama penyimpanan, kandungan protein otak-otak bandeng mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan oleh kamampuan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah molekul protein dalam bahan pangan. Selain itu, kitosan mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik serta mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan.

Kadar karbohidrat (by difference) ditentukan dari hasil pengurangan 100% dengan kadar air, abu,lemak dan protein, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat dipengaruhi oleh faktor kandungan zat gizi lainnya (Winarno 1992). Perubahan nilai rata-rata kadar karbohidrat terjadi karena perubahan komponen gizi lainya selama penyimpanan.

Pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunanya hanya sedikit manahan penguapan air tetapi efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas seperti CO2 dan H2O. Menurut Nisperroscarriedo (1995) diacu dalam Anityoningrum (2005), secara umum pelapisan yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menghambat penguapan air tetapi efektif untuk mengontrol difusi gas. Ketika kitosan telah kering dipermukaan produk, sifat permeabilitasnya akan semakin tinggi sehingga senyawa yang ada di dalam produk akan terhambat penguapannya.

Page 28: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

328

Derajat Keasaman (pH) Nilai pH atau derajat keasamaan sangat berkaitan dengan pertumbuhan

mikroba. Setiap mikroorganisme memiliki pH minimal, maksimal dan optimal untuk pertumbuhannya. Sebagian besar bakteri tumbuh pada pH mendekati netral, tetapi ada juga bakteri yang dapat tumbuh pada keadaan asam atau basa. Nilai rata-rata pH otak-otak bandeng dapat dilihat pada Tabel 3.

Secara umum, nilai rata-rata pH otak-otak bandeng mengalami penurunan selama penyimpanan. Pada perlakuan tanpa pelapisan kitosan, nilai rata-rata pH pada hari ke-0, 2, 4, 6 dan 8 masing-masing adalah 6,85; 6,34; 5,02; 5,06 dan 4,93. Sedangkan nilai pH dengan perlakuan pelapisan kitosan (2%) adalah 6,23; 6,13; 5,80; 5,68 dan 5,64.

Pada hari ke-0 (Gambar 20), nilai pH otak-otak bandeng tanpa pelapisan kitosan lebih rendah atau mendekati netral (pH=7) jika dibandingkan dengan pelapisan kitosan. Hal ini diduga disebabkan oleh asam asetat yang digunakan untuk melarutkan kitosan. Asam asetat yang digunakan adalah asam asetat hasil pengenceran dengan pH 2 dan prosentase sebesar 1,5%.

Tabel 3. Nilai rata-rata pH otak-otak vakum bandeng selama penyimpanan

Lama Penyimpanan (hari) Nilai rata-rata pH

Konsentrasi 0% Konsentrasi 2%

0 6,85 6,23

2 6,34 6,13

4 5,02 5,80

6 5,06 5,68 8 4,93 5,64

Menurut Brine et al. (1992), kitosan larut pada pH <6,5 dapat membentuk larutan kental, larutan berwarna jernih, membentuk gel dengan polianion dan mempunyai gugus hidroksil dan gugus amin yang sangat reaktif. Sebaliknya, pada hari ke-4, 6 dan 8, nilai pH otak-otak bandeng tanpa pelapisan kitosan lebih tinggi. Hal ini diduga karena kitosan mampu mengikat protein dan nutrient-nutrien organik yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba yang menghasilkan cairan atau lendir yang bersifat asam. Secara keseluruhan, penurunan pH juga dapat disebabkan oleh degradasi asam lemak, protein, proses oksidasi dan aktivitas mikroba dalam proses metabolisme (jamur, ragi, dan bakteri) yang membutuhkan air, senyawa nitrogen, dan garam mineral (Ketaren 2005).

Aktivitas air (aw) Aktivitas air (aw) dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air dalam

bahan dengan tekanan uap murni pada suhu tertentu. Nilai aw juga menunjuka jumlah air bebas yag dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya didalam bahan pangan (Fardiaz 1992). Hasil analisis aktivitas air (aw) pada otak-otak bandeng diperoleh nilai rata-rata aw berkisar antara 0,848 sampai 0,956. Nilai rata-rata aw dapat dilihat pada Tabel 4.

Aktivitas air yang dihasilkan menandakan bahwa otak-otak bandeng merupakan produk yang tergolong ke dalam produk atau makanan semi basah. Soekarto (1979) menyatakan bahwa kadar air makanan semi basah berkisar antara 10-14% dengan nilai aw 0,6-0,9, sedangkan Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa kadar air semi basah berkisar antara 30-50%.

Tabel 4. Nilai rata-rata aw otak-otak bandeng vakum selama penyimpanan Lama Penyimpanan

(hari)

Nilai rata-rata aw

Konsentrasi 0% Konsentrasi 2%

0 0,941 0,956 2 0,915 0,930 4 0,868 0,890 6 0,870 0,865

8 0,876 0,848

Page 29: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

329

Produk otak-otak bandeng merupakan produk semi basah yang memiliki nilai aw berkisar antara 0,848 sampai dengan 0,941 sehingga jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kisaran aw tersebut adalah jenis kapang dan khamir. Jika sel mikroorganisme masih dapat bertahan hidup pada aw rendah, hal tersebut disebabkan karena kemampuannya memekatkan garam-garam, asam amino maupun senyawa lain yang dapat melindungi sel dari kekeringan, dan menyerap air dari lingkungan sekitarnya walaupun aw lingkungannya cukup rendah (Purnomo 1995).

Hasil analisis aktivitas air diperoleh nilai rata-rata aw otak-otak bandeng tanpa pelapisan kitosan pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6, dan 8 secara berurut adalah 0,941; 0,915; 0,868; 0,870 dan 0,876. Sedangkan dengan pelapisan kitosan secara berurut adalah 0,956; 0,930; 0,890; 0,865 dan 0,848.

Menurut Winarno (1992) berbagai mikroorganisme memiliki aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri (aw 0,90), khamir (aw 0,80-0,90), kapang (aw 0,60-0,70). Pada kisaran aw tersebut, otak-otak bandeng vakum baik tanpa pelapisan kitosan maupun dengan pelapisan kitosan cenderung ditumbuhi kapang dan jamur. Berdasarkan pengamatan fisik, kapang mulai tumbuh pada hari ke-4.

Mikrobiologi (Total Plate Count) Penentuan jumlah mikroba dilakukan selama 8 hari penyimpanan pada suhu

ruang (kamar: 28-30 oC). Hasil pengamatan diperoleh jumlah koloni per gram berkisar antara 2,0x104 sampai 2,2x108. Dengan nilai log adalah 4,30 sampai 8,34. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total mikroba otak-otak bandeng vakum selama penyimpanan Lama penyimpanan

(hari) Konsentrasi Kitosan (%)

Jumlah mikroba (koloni/gram)

log

0 0 2,0x10

3 3,30

2 9,4x102 2,97

2 0 6,5x10

4 4,81

2 1,4x103 3,14

4 0 8,8x10

6 6,94

2 1,9x104 4,27

6 0 1,1x10

7 7,04

2 7,5x106 6,87

8 0 2,8x10

8 8,44

2 2,2x108 8,34

Hasil pengujian mikrobiologi (Total Plate Count) diketahui bahwa produk otak-otak bandeng yang dikemas vakum pada hari ke-0 dengan konsentrasi kitosan 0% (kontrol) memiliki jumlah koloni mikroba sebesar 2,0x103 dengan nilai log 3,30 dan pada konsentrasi kitosan 2% memiliki jumlah koloni sebesar 9,4x102 dengan nilai log 2,97. Selama penyimpanan, jumlah koloni mikroba mengalami peningkatan, baik produk yang dilapisi dengan kitosan maupun yang tidak dilapisi dengan kitosan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perubahan kadar air dan aw yang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan hari ke-8, jumlah koloni mikroba pada konsentrasi kitosan 0% mencapai 2,8x108 (nilai log=8,44) dan pada konsentrasi kitosan 2% jumlah koloni mikroba mencapai 2,2x108 dengan nilai log sebesar 8,34.

Pelapisan dengan menggunakan kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan mikroba pada produk otak-otak bandeng. Dimana dengan pelapisan kitosan dapat menghambat pertumbuhan mikroba selama penyimpanan. Hal ini terbukti bahwa pelapisan dengan kitosan memiliki jumlah koloni mikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa perlakuan pelapisan kitosan. Menurut Krochta (1992), edible coating kitosan dapat berperan sebagai penahan (barrier) perpindahan massa dan juga dapat bertindak sebagai bahan antimikribial, antioksida, antikapang dan jamur.

Page 30: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

330

Pada pengemasan vakum dengan menggunakan bahan kemasan yang fleksibel, pelepasan udara dari sekeliling produk dapat dilakukan dengan memompa udara keluar kemasan atau dengan menekan dinding kemasan untuk memaksa udara keluar. Cara ini dapat mengurangi jumlah oksigen dibawah 2% (Hanlon 1971). Hal ini dapat membatasi jenis mikroorganisme tertentu yang dapat tumbuh pada lingkungan dengan kadar udara rendah. Kadar oksigen dan suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap jenis, kecepatn tumbuh dan jumlah mikroorganisme (Frezier dan Weshoff 1967).

Pada penyimpanan hari ke-8, total mikroba otak-otak bandeng mencapai 108 koloni/gram. Jumlah ini telah melebihi batas maksimal kandungan mikroba yang dioerbolehkan menurut SNI yaitu sebesar 105 koloni/gram. Sehingga pada hari ke-8 otak-otak bandeng sudah mengalami kerusakan dan tidak layak untuk dikonsumsi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pelapisan (coating) kitosan 1%, 2%, dan 3% serta lama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penampakan, aroma, rasa, tekstur, dan warna otak-otak bandeng, begitu juga interaksi antara keduanya, memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian panelis pada semua parameter kecuali pada parameter warna. Berdasarkan analisis ragam, diperoleh bahwa pelapisan kitosan sebesar 2% mampu mempertahankan mutu organoleptik hingga hari ke-4 dan merupakan konsentrasi terbaik dan terpilih.

Penggunaan kombinasi edible coating kitosan 2% dengan pengemasan vakum memberikan hasil yang lebih baik terhadap mutu dan masa simpan otak-otak bandeng dibandingkan dengan tanpa pelapisan atau tanpa pengemasan. Pada uji organoleptik skala hedonik penampakan, aroma, rasa, tekstur, dan warna, otak-otak bandeng yang dikemas vakum dengan pelapisan kitosan 2% masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-6 dengan nilai tertinggi yakni sebesar 5,93.

Hasil analisis kimia otak-otak bandeng yang dikemas vakum dengan pelapisan kitosan 2% selama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap perubahan komposisi kimia yang meliputi perubahan kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat serta perubahan nilai pH dan nilai aw.

Berdasarkan hasil uji mikrobiologi, pelapisan kitosan 2% dapat menghambat atau mencegah pertumbuhan mikroba dibandingkan dengan tanpa pelapisan kitosan. Jumlah koloni mikroba otak-otak bandeng tanpa pelapisan kitosan pada hari ke-4 mencapai 8,8x106 koloni/gram dan produk sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Sedangkan produk dengan pelapisan kitosan masih layak untuk dikonsumsi sampai dengan hari ke-4 dengan jumlah koloni sebesar 1,9x104 koloni/gram. Standar aman yang ditetapkan SNI untuk produk pangan adalah 105 koloni/gram.

Saran Saran yang dapat disampaikan pada penelitian kali ini adalah; perlu adanya

penelitian lebih lanjut mengenai ketahanan produk pada suhu dingin dan beku. Mempelajari efektivitas permeabilitas kemasan yang digunakan dan pengaruh penambahan kitosan pada adonan produk. Penambahan bahan pengikat seperti karaginan dan pati untuk menambah volume produk. Diversifikasi produk dari jenis ikan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Anityoningrum H. 2005. Pengaruh edible coating kitosan terhadap mutu organoleptik

ikan asin kering di Muara Angke Jakarta Utara. [Skripsi]. Bogor: Departemen Tenologi Hasil Perairan. Institut Pertanian Bogor.

Brine JC, Sandford PA, Zikakis JP. 1992. Adences in Chitin and chitosan. London and New York: Elsevier Applied Science.

Page 31: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

331

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton N. 1987. Ilmu Pangan. Edisi kedua. Purnomo H, Adiano, penerjemah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Food Science.

Budiawati I. 2001. Buku Kumpulan Masakan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Frezier WC, DC Weshoff. 1967. Food Microboilogy. New York. MC. Graw Hill Book

Company Inc. Gunardi YS. 1996. Sorbsi isotermis pengeruh pengemasan dan peramalan umur

simpan ikan kembung (Ratrelliger sp.) asin kering dalam kemasan plastik. [skripsi]. Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Hanlon JF, 1971. Hand Book of Package. New York: Mc Graw Hill Book co. Jiang Y, Li Y. 2001. Effect of Chitosan Coating on Posthaevest Life and Quality of

Longan Fruit. Journal of Food Chemistry 73:139-143. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Krochta JM. 1992. Control of mass transfet in food whit edible coating and film. Di

dalam: Advence Food Engeneering. New York Sci. Pulb. Co. Inc. Moeljanto R. 1992. Penggaraman dan Pengeringan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Nugroho TA. 2005. Kitosan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan

pengaruhnya terhadap kemunduran mutu ikan cucut (Charcharinus sp.) asin kering dari Muara Angke, Jakarta Utara. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya Dalam Pengawetan Pangan. Jakarta: UI Press.

Quattara B, Simard RE, Piette G, Begin A, Holley RA. 2000. Inhibition of Surface Spoilage Bacteria in Processed Meats by Application of Antimicrobial Films Prepared with Chitosan. Journal of food microbiology 62:139-148.

Rachmawan O. 2001. Pengeriingan, pendinginan dan pengemasan komoditas pertanian. Departemen Pendidikan Nasional, Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan; jakarta.

Sahidi F, Arachi JKV, Jeon YJ. 1999. Food application of chitin and chitosan. Journal Food Science and Technology 10:37-51.

Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Batara karya aksara.

Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. Laporan penelitian. Bogor: Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Page 32: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

332

PENAPISAN AWAL KOMPONEN BIOAKTIF DARI KERANG DARAH (Anadara granosa) SEBAGAI SENYAWA ANTIBAKTERI

Ella Salamah1, Komariah Tampubolon dan Ika Pranata Wahyu Daluningrum1

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengekstrak komponen aktif pada kerang darah dengan tiga

jenis pelarut yaitu heksana, etil asetat dan metanol, menguji ekstrak sebagai senyawa antibakteri, mengamati zona hambat yang dihasilkan pada penyimpanan suhu 10

oC dan 30

oC

selama tujuh hari serta analisis fitokimia terhadap ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling baik.

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu analisis proksimat kerang darah, ekstraksi senyawa aktif dari kerang darah, uji aktivitas antibakteri dari ekstrak yang dihasilkan terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan konsentrasi ekstrak 2%, 3,5%, 5% dan 6,5% serta analisis fitokimia terhadap ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri paling baik.

Penelitian ini menunjukkan hasil analisis proksimat kerang darah mempunyai kadar air 81,82%, kadar abu 2%, kadar protein 11,84%, kadar lemak 0,6% dan kadar karbohidrat 3,75%. Ekstrak kerang darah dengan pelarut heksana adalah 3,00±1,40 mg, dengan pelarut etil asetat adalah 107,50±3,50 mg dan dengan pelarut metanol adalah 995,50±0,70 mg. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat mampu menghasilkan zona hambat pada S. aureus untuk konsentrasi 2%, 3,5%, 5% dan 6,5% masing-masing 3 mm, 4 mm, 6 mm dan 7 mm, serta menghambat E. coli dengan zona hambat masing-masing konsentrasi 1 mm, 2 mm, 3 mm dan 4 mm. Ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol tidak menunjukkan penghambatan pada konsentrasi 2% dan 3,5%, tetapi pada konsentrasi 5% dan 6,5% menghasilkan zona hambat sebesar 0,5 mm dan 1 mm pada E. coli dan S. aureus. Kemampuan penghambatan ekstrak kerang darah dari pelarut etil asetat yang lebih baik daripada pelarut metanol berarti senyawa antibakteri yang terdapat pada kerang darah bersifat semi polar karena larut dalam pelarut etil asetat.

Hasil pengamatan diameter zona hambat selama tujuh hari pada suhu 10oC dan suhu

30oC menunjukkan bahwa pada suhu 10

oC E. coli mulai tumbuh pada hari keempat

pengamatan dan S. aureus mulai tumbuh pada hari ketiga pengamatan. Pada suhu 30oC E. coli

mulai tumbuh kembali pada hari ketiga pengamatan dan S. aureus mulai tumbuh pada hari kedua pengamatan. Kemampuan E. coli dan S. aureus untuk tumbuh kembali selama pengamatan berarti ekstrak kerang dari pelarut etil asetat mengalami penurunan aktivitas penghambatan dengan semakin lamanya kontak ekstrak dengan bakteri uji. Analisis fitokimia terhadap ekstrak etil asetat kerang darah menunjukkan hasil bahwa ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat mengandung senyawa alkaloid dan steroid tetapi tidak mengandung senyawa flavonoid.

Kata kunci: Kerang darah, Antibakteri, Ekstraksi bertingkat

PENDAHULUAN

Kerang darah banyak ditemukan di sepanjang pantai di daerah tropis dengan substrat lumpur halus atau kadang-kadang pasir berlumpur dan dilindungi atau berasosiasi dengan pohon-pohon bakau. Pathansali (1966) diacu dalam Erianto (2005) menyebutkan bahwa habitat ideal untuk kerang darah adalah lumpur halus berukuran kurang dari 0,124 mm, terlindung dari ombak dan dengan salinitas antara 18-30‰.

Inswiasri et al. (1995) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kerang darah memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (±20%) sehingga banyak dibudidayakan untuk mencukupi kebutuhan protein yang berasal dari hewan, selain itu kerang darah memiliki kemampuan menyerap Cd dari perairan lebih tinggi daripada jenis kerang yang lain, sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator pencemaran logam berat pada perairan dibandingkan jenis kerang lainnya. Trilaksani dan Nurjanah (2004) diacu dalam Erianto (2005) menyebutkan bahwa bagian yang dapat dimakan dari kerang terdiri dari mantel 3-5%, kaki 5-7%, otot adduktor 2,5-3%, sedangkan siphon, insang dan organ pencernaan merupakan bagian yang tidak dapat dimakan sebesar 4-7%.

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 33: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

333

Ninda (2008) dalam artikelnya menyatakan bahwa kerang mampu membantu melawan bakteri dan beberapa jenis penyakit. Tan dan Ng (2008) juga menyebutkan bahwa beberapa daerah berpantai di Malaysia dan Thailand telah membudidayakan kerang darah, namun belum terlalu populer. Pada daerah tersebut, kerang darah telah dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk penyakit kolera, hepatitis A dan disenteri. Pemanfaatan kerang darah sebagai obat tradisional tersebut memberikan dugaan bahwa kerang darah memiliki suatu senyawa aktif yang bersifat antibakteri. Senyawa antibakteri adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Irianto 2006). Senyawa-senyawa aktif dari kerang darah yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi, pangan, industri, dan lain-lain

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya senyawa antibakteri pada kerang darah (Anadara granosa) melalui proses ekstraksi bertingkat, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain: 1. Mengekstrak komponen aktif dari kerang darah (Anadara granosa) dengan ekstraksi

bertingkat dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. 2. Menguji aktivitas ekstrak yang dihasilkan sebagai senyawa antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

3. Mengamati zona hambat ekstrak yang memiliki aktivitas terbaik pada penyimpanan suhu 10oC dan 30oC.

4. Mengetahui komponen penyusun senyawa aktif pada kerang darah (Anadara granosa) dari ekstrak terbaik melalui analisis fitokimia.

METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga bulan November 2008 di

Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratourium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi serta Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.

Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah kerang darah (A. granosa) yang diambil dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Bahan untuk ekstraksi adalah pelarut teknis (heksana, etil asetat dan metanol). Bahan untuk uji aktivitas antibakteri adalah kloramfenikol sebagai antibakteri standar, NB (Nutrient Broth), TSA (Trypticase Soy Agar), media MHA (Mueller Hinton Agar), bakteri uji (Escherichia coli dan Staphylococcus aureus), akuades, korek api, spiritus dan alkohol 70%. Sedangkan bahan untuk analisis fitokimia antara lain H2SO4 2N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, kloroform, H2SO4 pekat, anhidrida asetat, serbuk magnesium dan amil alkohol.

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu analisis proksimat kerang darah, ekstraksi senyawa aktif dari kerang darah, uji aktivitas antibakteri dari ekstrak yang dihasilkan, mengamati zona hambat yang dihasilkan pada penyimpanan suhu 10oC dan 30oC selama tujuh hari dan analisis fitokimia. Analisis proksimat kerang darah meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Ekstraksi senyawa bioaktif dari kerang darah dilakukan secara bertingkat dengan tiga pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Ekstrak yang telah diperoleh kemudian diuji aktivitasnya sebagai senyawa antibakteri terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. Ekstrak dengan kemampuan penghambatan paling baik kemudian diamati zona hambatnya selama tujuh hari pada suhu 10oC dan 30oC dan dianalisis fitokimia untuk mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Proksimat

Kerang darah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kerang darah yang diambil dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara pada bulan September 2008.

Page 34: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

334

Analisis proksimat yang dilakukan pada kerang darah meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Data analisis proksimat kerang darah ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data proksimat kerang darah Tabel 2. Kadar proksimat kerang

Komponen Kadar (%)* Komponen Kadar (%)**

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

81,82 2,00 11,84 0,60 3,75

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

85 2,3 8,0 1,1 3,6

*Hasil penelitian **Poedjiadi (1994)

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2, diketahui bahwa kadar air, kadar abu dan kadar lemak kerang darah contoh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar air, kadar abu dan kadar lemak kerang secara umum. Tetapi kadar protein dan kadar karbohidrat kerang darah contoh lebih tinggi daripada kadar protein dan kadar karbohidrat kerang seecara umum. Perbedaan kadar proksimat kerang darah contoh dengan kerang pada umumnya diduga karena terjadinya perbedaan waktu dan lokasi pengambilan contoh. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan Trilaksani dan Nurjanah (2004) diacu dalam Erianto (2005) yang menjelaskan bahwa perbedaan komposisi kimia kerang darah terjadi karena adanya perbedaan waktu dan lokasi pengambilan contoh. Komposisi kimia kerang sangat bervariasi, tergantung pada spesies, jenis kelamin, umur, musim dan habitat.

Ekstraksi Komponen Bioaktif Tahap ekstraksi merupakan tahap awal ekstraksi senyawa bioaktif dari kerang

darah. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ekstraksi bertingkat menurut Darusman et al. (1994). Pelarut yang digunakan dalam metode ini berturut-turut adalah heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Kesempurnaan esktraksi bertingkat tergantung pada jenis ekstraksi yang dilakukan, terutama apabila ekstraksi dilakukan secara berulang dengan jumlah pelarut sedikit demi sedikit.

Tabel 3. Berat ekstrak kasar kerang darah (A. granosa) Jenis pelarut Berat ekstrak (mg)

Heksana Etil asetat Metanol

3,00±1,40 107,50±3,50 995,50±0,70

Pelarut metanol dapat menghasilkan rendemen paling besar diduga karena kemampuan metanol dalam mengikat komponen-komponen dari kerang darah lebih baik daripada pelarut etil asetat dan heksana. Hasil tersebut didukung pernyataan yang menjelaskan bahwa metanol merupakan pelarut alkohol paling sederhana yang dapat membentuk ikatan hidrogen, dapat bercampur dengan air hingga kelarutan tak terhingga, sehingga metanol sering digunakan sebagai pelarut dalam proses isolasi senyawa organik (Fessenden dan Fessenden 1997). Ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut heksana memiliki nilai yang rendah dikarenakan heksana merupakan pelarut non polar yang biasa digunakan untuk memisahkan lipid dari bahan. Rendemen hasil ekstraksi kerang darah ditunjukkan pada Gambar 1.

0,0538

0,4978

0,00150.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

Heksana Etil asetat Metanol

Jenis Pelarut

Rendemen (%)

Rendemen

Ekstrak Kerang

Darah

Gambar 1 Rendemen ekstrak kerang darah dengan tiga jenis pelarut.

Page 35: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

335

Uji Aktivitas Antibakteri Uji pendahuluan aktivitas antibakteri

Ekstrak kerang darah yang telah diperoleh dari proses ekstaksi selanjutnya diuji aktivitasnya sebagai senyawa antibakteri terhadap dua jenis bakteri patogen yang mewakili bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, yaitu S. aureus (OD = 0,723) dan E. coli (OD = 0,788). Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak kerang darah dengan konsentrasi ekstrak 2% disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Aktivitas antibakteri ekstrak kerang darah pada konsentrasi 2%

Jenis bakteri

Diameter zona hambat (mm)

Ekstrak kerang darah dengan

pelarut etil asetat

Ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol

Kontrol (kloramfenikol)

E. coli S. aureus

6 7

- -

23 28

Ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol tidak menunjukkan aktivitas penghambatan baik pada pertumbuhan E. coli maupun S. aureus, hal ini diduga karena komponen aktif kerang darah yang berpotensi sebagai senyawa antibakteri pada ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol lebih rendah apabila dibandingkan dengan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat, selain itu diduga karena konsentrasi ekstrak yang digunakan terlalu rendah sehingga tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Pelarut etil asetat merupakan pelarut organik yang banyak digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi senyawa antimikroba, misalnya ekstraksi senyawa antimikroba dari daun ketimun dan babadotan (Gunawan et al. 1999) dan ekstraksi senyawa antibakteri dari produk gambir (Pambayun et al. 2007).

Uji aktivitas antibakteri dengan berbagai konsentrasi Uji aktivitas antibakteri pada media MHA dari ekstrak kerang darah dengan

pelarut etil asetat dan ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol pada beberapa konsentrasi dilakukan berdasarkan uji pendahuluan aktivitas antibakteri ekstrak kerang darah. Konsentrasi ekstrak kerang darah yang digunakan adalah 2%, 3,5%, 5% dan 6,5% (modifikasi Darusman et al. 1994).

Tabel 5. Aktivitas antibakteri ekstrak kerang darah pada berbagai konsentrasi Konsentrasi ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat (%)

Zona hambat (mm)

E. coli S. aureus

2 3,5 5 6,5

1 2 3 4

3 4 6 7

Konsentrasi ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol (%)

Zona hambat (mm)

E. coli S. aureus

2 3,5 5 6,5

- -

0,5 1

- -

0,5 1

Konsentrasi kloramfenikol (%)

Zona hambat (mm)

E. coli S. aureus

2 3,5 5 6,5

25 27 31 36

31 38 41 43

Diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang darah dengan pelarut

etil asetat dan ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol pada E. coli selalu lebih

Page 36: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

336

kecil apabila dibandingkan dengan diameter zona hambat S. aureus. Dugaan diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan Alakomi et al. (2000) diacu dalam Adolf (2006) yang menjelaskan bahwa E. coli memiliki lapisan tambahan pada dinding sel yang disebut membran luar terdiri dari lapisan lipopolisakarida yang berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel.

Zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol lebih besar apabila dibandingkan dengan zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol dan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat. Hal ini dikarenakan kloramfenikol mampu menghambat pertumbuhan bakteri dalam spektrum yang luas dalam konsentrasi rendah.

Pengamatan zona hambat pada penyimpanan suhu 10oC dan 30oC Aktivitas desinfektan bergantung dari beberapa faktor, antara lain konsentrasi

desinfektan, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta perlakuan suhu dan pH. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan diameter zona hambat selama tujuh hari pada suhu 10oC dan suhu 30oC dengan tujuan mengetahui kemampuan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat karena ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat menunjukkan kemampuan penghambatan lebih baik apabila dibandingkan dengan ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol.

Suhu 10oC Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri dan efektivitas kerja

senyawa antibakteri. Suhu dibawah suhu optimum pertumbuhan dapat menekan laju metabolisme dan apabila suhu cukup rendah maka metabolisme dan pertumbuhan bakteri akan terhenti. Tetapi bakteri mempunyai kemampuan yang unik untuk dapat bertahan hidup pada keadaan yang sangat.

Tabel 6. Pengamatan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada penyimpanan suhu 10oC

Konsentrasi ekstrak

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7

2% + + + ++ ++ ++ ++ - - + + + + +

3,5% + + + ++ ++ ++ ++ - - + + + + +

5% - - - - + + + - - - - - + +

6,5% - - - - + + + - - - - - - - Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Zona hambat yang terbentuk baik pada E. coli maupun S. aureus terus mengalami peningkatan kekeruhan diduga karena terjadi penurunan efektivitas ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri tersebut.

peningkatan kekeruhan pada zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan S. aureus diduga karena terjadi penurunan aktivitas kerja dari senyawa antibakteri serta kemampuan bakteri uji dalam berkembang biak pada suhu 10oC. Tetapi E. coli tidak mampu tumbuh pada suhu 10oC, sehingga bakteri yang tumbuh pada area zona hambat diduga merupakan bakteri kontaminasi dari alat selama penelitian.

Zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol terhadap E. coli dan S. aureus yang masih jernih dan stabil hingga akhir pengamatan menunjukkan bahwa kloramfenikol mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Hasil ini didukung oleh pernyataan bahwa kloramfenikol merupakan senyawa antibiotik yang paling stabil dan masih banyak digunakan oleh masyarakat di

Page 37: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

337

negara-negara berkembang karena harganya yang murah dan aktivitas yang baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri pada spektrum luas apabila dibandingkan dengan antibiotik lainnya (Syah et al. 2005).

Tabel 7. Pengamatan zona hambat kloramfenikol pada penyimpanan suhu 10oC

Konsentrasi kloramfenikol

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7

2% - - - - - + + - - - - - - +

3,5% - - - - - - + - - - - - - +

5% - - - - - - - - - - - - - -

6,5% - - - - - - - - - - - - - - Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Suhu 30oC Zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat terhadap E. coli

dan S. aureus pada penyimpanan suhu 30oC terus mengalami peningkatan kekeruhan. Zona hambat yang ditunjukkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan S. aureus pada hari pertama adalah jernih pada konsentrasi ekstrak 2%, 3,3%, 5% dan 6,5% (Tabel 8).

Tabel 8. Pengamatan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada penyimpanan suhu 30oC

Konsentrasi ekstrak

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7

2% + + ++ ++ +++

+++

+++

- + ++ ++ +++

+++

+++

3,5% + + ++ ++ +++

+++

+++

- + ++ ++ ++ +++

+++

5% - - + + ++ ++ +++

- - + + ++ ++ ++

6,5% - - + + + ++ ++ - -

+ + + ++ ++

Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Peningkatan kekeruhan zona hambat diduga karena kemampuan penghambatan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat telah mengalami penurunan, sehingga bakteri kembali mengalami pertumbuhan. Havsteen (2002) diacu dalam Sabir (2005) menjelaskan bahwa semakin lama waktu kontak senyawa antibakteri dengan bakteri uji, maka akan terjadi penurunan aktivitas antibakteri. Sumber lain menyebutkan bahwa semakin rendah suhu yang digunakan maka waktu untuk membunuh mikroorganisme tersebut akan semakin lama. Tetapi pada uji aktivitas antibakteri, peningkatan suhu akan mengurangi tegangan permukaan sehingga mengurangi viskositas dan akhirnya mengurangi absorpsi. Akibat berkurangnya absorpsi ini, efektivitas desinfektan akan berkurang (Irianto 2006).

Zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan bakteri S. aureus cenderung stabil dari awal hingga akhir pengamatan, diduga karena kloramfenikol merupakan antibiotik yang efektif dalam menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri uji. Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Pelczar dan Chan 1988).

Page 38: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

338

Tabel 9. Pengamatan zona hambat kloramfenikol pada penyimpanan suhu 30oC

Konsentrasi kloramfenikol

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7

2% - - - - + + + - - - - - + +

3,5% - - - - + + + - - - - - - +

5% - - - - - + + - - - - - - +

6,5% - - - - - - + - - - - - - + Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Analisis Fitokimia Analisis fitokimia merupakan analisis yang diterapkan untuk mengetahui

golongan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek menguntungkan bagi manusia (Astawan dan Kasih 2008).

Tabel 10. Analisis fitokimia ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat Jenis senyawa Hasil Tanda

Alkaloid : Wagner Meyer Dragendorff

(+) (+) (+)

Terbentuk endapan coklat Terdapat endapan putih Terdapat endapan jingga

Steroid (+) Larutan berwarna hijau

Flavonoid (-) Tidak terbentuk warna kekuningan pada lapisan amil alkohol

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat mengandung senyawa metabolit sekunder yang berupa alkaloid dan steroid, sedangkan senyawa flavonoid menunjukkan hasil negatif dalam ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat. Verpoorte dan Alfermann (2000) menyebutkan bahwa alkaloid pada tumbuhan berfungsi sebagai pelindung dari prodator karena bersifat racun pada satwa misalnya serangga, sebagai zat perangsang dan pengatur tumbuh dan membantu aktivitas metabolisme dan reproduksi tumbuhan. Yunus (1998) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa alkaloid memiliki sifat farmakologis, salah satunya adalah memperlebar saluran pernafasan pada penderita sesak nafas.

Steroid merupakan senyawa yang dapat dijumpai hampir pada semua makhluk hidup kecuali pada bakteri. Steroid telah banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, seperti sebagai bahan terapeutik yaitu bahan untuk pengobatan suatu penyakit (Fessenden dan Fessenden 1997).

Uji flavonoid terhadap ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat tidak menunjukkan hasil positif. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai faktor pertahanan alam, seperti mencegah serangan bakteri, yang ditemukan pada sebagian besar tumbuhan KESIMPULAN DAN SARAN

Ekstraksi kerang darah mengahasilkan ekstrak dengan pelarut heksana (3,00±1,40 mg), ekstrak dengan pelarut etil asetat (107,50±3,50 mg) dan ekstrak dengan pelarut metanol (995,50±0,70 mg). Uji pendahuluan aktivitas antibakteri dengan konsentrasi ekstrak 2% menunjukkan hasil bahwa ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat mampu menghambat pertumbuhan E. coli dengan diameter zona hambat sebesar 6 mm dan menghambat pertumbuhan S. aureus dengan diameter zona hambat sebesar 7 mm, sedangkan ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol tidak menunjukkan penghambatan pada kedua bakteri uji.

Page 39: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

339

Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak dengan konsentrasi 2%, 3,5%, 5% dan 6,5%. Daya hambat rendah ditunjukkan oleh ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan E. coli pada setiap konsentrasi ekstrak dan daya hambat sedang dalam menghambat S. aureus. Ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol tidak menunjukkan penghambatan pada konsentrasi 2% dan 3,5%, tetapi menunjukkan penghambatan lemah pada konsentrasi ekstrak 5% dan 6,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa antibakteri pada kerang darah diduga bersifat semi polar karena larut dalam pelarut etil asetat. Pengamatan zona hambat selama tujuh hari pada suhu 10oC dan 30oC menunjukkan penurunan efektivitas antibakteri dari ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat yang ditandai dengan terjadi pertumbuhan kembali bakteri uji.

Analisis fitokimia terhadap ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil positif terhadap senyawa alkaloid dan steroid, tetapi menunjukkan hasil negatif terhadap senyawa flavonoid.

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan pemisahan dan pemurnian masing-masing komponen dari ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dan pengkajian lain dari ekstrak kerang darah, misalnya sebagai senyawa antioksidan. DAFTAR PUSTAKA

Adolf JN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthozylum acanthopodium DC) terhadap bakteri patogen pangan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1994. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga karang, dan ganggang di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu (Tahap II: Fraksinasi dan Bioassay). Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian; Jakarta, Januari 1994. Jakarta: DIKTI-Depdikbud. hlm 18-29.

Erianto D. 2005. Analisis pengolahan dan pengembangan budidaya kerang darah (Anadara granosa) di Kecamatan Kuala Indragiri Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Maun S, Anas K, Sally TS, penerjemah; Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari Fundamental of Organic Chemistry.

Gunawan PW, Yulinah E, Soediro I. 1999. Uji Antiinfeksi pada Punggung Kelinci dan Telaah Fitokimia Ekstrak Etil Asetat dan Etanol Daun Ketimun dan Babadotan [tesis]. Bandung: Sekolah Farmasi ITB.

Inswiasri, Agustina L, Tri T. 1995. Kandungan logam kadmium dalam biota laut jenis kerang-kerangan dari Teluk Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 103:19-21.

Irianto K. 2006. Mikrobiologi: Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 1. Bandung: Yrama Widya.

Ninda. 17-30 April 2008. Be Fit: Brain-Workout. Olga 56:88.

Page 40: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

340

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii)

TANPA MEDIA AIR1

Komariah Tampubolon1 dan Wida Handini2

ABSTRAK Penelitian ini mengkaji berbagai aspek teknik media suhu pembiusan, yaitu

perbandingan volume media air pembius dengan es dan jumlah udang, serta proses pembiusan secara bertahap dan langsung pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup udang galah dalam kemasan media serbuk gergaji dingin. Berdasarkan hasil diperoleh bahwa perbandingan volume media air pembius, jumlah es dan jumlah udang yang optimum adalah 1 liter air : 1 kg es : 10 ekor udang. Teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap menghasilkan tingkat kelulusan hidup udang yang lebih tinggi dalam sistem transportasi udang galah tanpa media air. Udang galah yang disimpan hingga lama penyimpanan kurang dari 15 jam menghasilkan tingkat kelulusan hidup lebih dari 50 %.

PENDAHULUAN

Permintaan konsumen akan komoditas perikanan dalam bentuk hidup terus meningkat, terutama untuk jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti lobster, udang, ikan karang dan beberapa jenis ikan air tawar. Salah satu jenis udang yang prospektif sebagai komoditas perikanan Indonesia adalah udang air tawar yaitu udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Menurut BPS (2006), produksi udang galah Indonesia meningkat setiap tahun. Pada tahun 2001 sebesar 43 ton, pada tahun 2004 produksinya sebesar 290 ton dan akhir tahun 2005 mencapai 898 ton. Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) memiliki peluang yang sangat besar untuk ditransportasikan dalam keadaan hidup sehingga mempertinggi nilai jual.

Transportasi dengan sistem kering (media bukan air) dapat menjadi pilihan, apabila kondisi optimalnya dapat dikendalikan dan merupakan cara yang efisien dan aman meskipun beresiko tinggi. Prinsip transportasi udang hidup dengan sistem kering adalah udang dikondisikan dalam keadaan metabolisme dan respirasi rendah sehingga daya tahan pada saat kondisi pengangkutan hidupnya tinggi. Untuk maksud tersebut dapat digunakan suhu rendah. Secara umum yaitu suhu di bawah 14 oC dan di atas 35 oC menjadi letal untuk M. rosenbergii, sedangkan suhu antara 14-16 oC sebagai suhu pembiusan untuk udang galah. Udang galah tersebut bertahan hidup lebih baik selama penyimpanan dalam serbuk gergaji dingin (Salin 2005).

Selama ini, sistem transportasi udang hidup tanpa media air hanya sebatas pada penentuan suhu dan waktu pembiusan yang optimum, tetapi bila ditinjau dari aspek teknik pembiusan belum dicoba. Padahal aspek teknik pembiusan seperti penentuan jumlah es akan berpengaruh terhadap kecepatan penurunan suhu, sedangkan kecepatan penurunan suhu ini berpengaruh terhadap daya hidup udang galah dalam kemasan serbuk gergaji dingin (Salin 2005). Dalam penelitian ini dikaji berbagai aspek teknik media suhu pembiusan, yaitu perbandingan volume media air pembius dengan es dan jumlah udang, serta proses pembiusan secara bertahap dan langsung pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup udang galah dalam kemasan media serbuk gergaji dingin.

METODOLOGI Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah udang galah

(Macrobrachium rosenbergii) ukuran 40-50 ekor/kg atau ukuran ekspor yang diperoleh dari kolam udang di desa Ciapus-Ciomas, Bogor. Bahan pembantu yang dipakai

1 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta,

3-4 Desember 2009 2 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 41: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

341

adalah air laboratorium yang telah diendapkan selama dua hari, es batu, serbuk gergaji sebanyak 15 kg yang diperoleh dari pengrajin kayu di Darmaga-Bogor, kotak styrofoam berukuran 40x30x30 cm3, kantong plastik, karet gelang dan lakban.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan, akuarium yang berukuran 150x50x30 cm3 untuk adaptasi dan pemuasaan udang serta akuarium yang berukuran 50x30x20 cm3 untuk pembiusan udang, pipa paralon, aerator, ember plastik, dan peralatan untuk pengukuran kualitas air, yaitu termometer, pH-meter, DO-meter, spektrofotometer, dan pengukur waktu. BAHAN DAN METODA

Persiapan penelitian a) Media air

Untuk mengetahui kualitas media air yang digunakan dalam percobaan dilakukan pengukuran suhu, kadar oksigen terlarut (DO), CO2, pH, amoniak, dan alkalinitas terhadap media air kolam tempat udang hidup,media air laboratorium serta media air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. b) Media serbuk gergaji dingin

Media pengemas yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji. Media serbuk gergaji didinginkan hingga mencapai kisaran pembiusan udang (15 oC) agar udang tetap pingsan selama penyimpanan dalam kemasan styrofoam. c) Udang uji

Udang galah berukuran 40-50 kg/ekor yang baru dibeli dalam keadaan hidup dari kolam dipindahkan pada akuarium untuk dilakukan adaptasi kemudian dipuasakan.

Penelitian pendahuluan a) Penentuan jumlah es untuk pembiusan

Tujuannya untuk mengetahui kecepatan waktu penurunan suhu media air yang akan digunakan untuk pembiusan udang galah pada perbandingan volume media air dan jumlah es tertentu tanpa udang. Pada penelitian tahap pertama, perbandingan volume media air dan jumlah es yang memberikan waktu penurunan suhu media air yang paling lama mencapai perkiraan kisaran suhu pembiusan udang (15 oC) dan lamanya bertahan pada suhu tersebut paling lama akan digunakan untuk penelitian berikutnya. b) Penentuan kepadatan udang galah untuk pembiusan

Tujuannya untuk mengetahui kecepatan waktu penurunan suhu media air mencapai suhu pembiusan bila diisi dengan jumlah udang tertentu untuk dibius. Dalam proses pembiusan tingkah laku udang diamati sampai udang mengalami pingsan. Dari hasil penelitian ini perbandingan volume media air, jumlah es dan jumlah udang yang memberikan penurunan suhu media air paling lambat mencapai kisaran suhu pembiusan (15 oC) udang dan waktu bertahan pada suhu tersebut paling lama digunakan untuk penelitian penyimpanan udang tanpa media air atau penelitian utama.

Penelitian utama a) Pembiusan suhu rendah dengan penurunan suhu secara bertahap dan langsung

Sejumlah udang dimasukkan ke dalam akuarium untuk dibius dengan penurunan suhu secara bertahap dan secara langsung sampai udang tersebut pingsan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup udang galah apabila dibius secara bertahap dan langsung. Teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap dilakukan dengan memasukkan udang dan es bersamaan ke dalam media air hingga udang pingsan pada suhu 15 oC. Teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara langsung dilakukan dengan memasukkan udang galah dalam media air yang bersuhu 15 oC. Selama pembiusan dilakukan pencatat waktu, suhu dan pengamatan tingkah laku udang galah selama proses tersebut berlangsung.

b) Uji penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) hidup

Page 42: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

342

Selama penyimpanan dilakukan pengamatan dan pengukuran beberapa parameter yang berpengaruh terhadap tingkat mortalitas udang galah yaitu lama penyimpanan, suhu media pengemas dan penghitungan persentase jumlah udang hidup setelah penyimpanan.

Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor teknik pembiusan dengan taraf penurunan suhu secara bertahap dan langsung serta lama penyimpanan dengan taraf 3, 6, 9, 12 dan 15 jam dengan tiga kali ulangan. Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tukey (Multiple comparisons) (Torrie dan Steel 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Udang Galah Udang galah memerlukan kualitas air yang cukup layak untuk mendukung

kelangsungan hidupnya. Kualitas air yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang galah antara lain temperatur, pH air, amoniak dan oksigen terlarut (Sandifer et al. 1983 diacu dalam Susilawati 1991).

Tabel 1. Data hasil analisis kualitas air pada kolam, air laboratorium dan air laboratorium yang diendapkan selama 2 hari

Sumber air

Parameter kualitas air

Suhu (oC)

pH DO (mg/l)

CO2

(mg/l) Alkalinita

s (mg/l)

Salinitas

(‰)

Amoniak (mg/l)

Kolam asal udang

26,20 7,77 5,40 3,96 63,68 0 0,469

Air dari laboratorium

26,00 7,69 5,77 5,94 31,84 0 0,234

Air dari lab. yang diendapkan

selama 2 hari 26,00 7,80 5,46 3,96 31,84 0 0,344

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kualitas air laboratorium yang diendapkan selama 2 hari hampir sama dengan kualitas air yang berasal dari kolam. Dengan demikian air laboratorium yang diendapkan selama 2 hari layak digunakan untuk adaptasi, pemuasaan dan pembiusan.

Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan banyaknya es dan

kepadatan udang galah yang terbaik yang digunakan untuk proses pembiusan udang galah.

Penentuan jumlah es untuk pembiusan Jumlah es sebanyak 1 kg membutuhkan waktu paling lama (70 menit) untuk

menurunkan suhu mencapai 15 oC, dibandingkan dengan proporsi media air 1 liter dan es 1,5 kg membutuhkan waktu 46 menit untuk mencapai suhu 15 oC. Proporsi media air 1 liter dan es 2 kg membutuhkan waktu selama 19 menit untuk mencapai suhu 15 oC (Tabel 2). Suhu pembiusan udang yang diperlukan, selain dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pembiusan sekitar 15 oC, juga lamanya suhu bertahan setelah mencapai 15 oC. Proporsi es sebanyak 1 kg dalam 1 liter air dapat mempertahankan suhu 15 oC selama 5 menit, sedangkan jumlah es sebanyak 1,5 kg dan 2 kg es hanya dapat mempertahankan suhu 15 oC selama 2 menit. Pada percobaan berikutnya media air sebanyak 1 liter dan jumlah es 1 kg digunakan untuk menentukan kepadatan udang galah dalam pembiusan.

Page 43: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

343

Tabel 2. Kecepatan penurunan suhu media air pada berbagai perbandingan air dan es

Air (l) : Es (kg) Suhu (oC) Waktu (menit)

Bertahan pada waktu (menit)

1 : 0,5 25 5 11

22 36 8

20 55 7

17 77 4

15 - -

1 : 1 25 2 1

22 17 6

20 43 4

17 60 4

15 70 5

1 : 1,5 25 1 1

22 7 2

20 12 3

17 32 3

15 46 2

1 : 2 25 0,27 0,12

22 3 1

20 5 1

17 11 3

15 19 2

Penentuan kepadatan udang galah untuk pembiusan Berdasarkan percobaan sebelumnya, proporsi media air pembius sebanyak 1

liter dan 1 kg es digunakan untuk menentukan kepadatan udang galah yang paling tepat untuk dibius, agar menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi. Percobaan dilakukan untuk mengetahui berbagai perbandingan jumlah udang dengan media pembius yang sesuai.

Berdasarkan Tabel 3, waktu yang dibutuhkan untuk membius 5 ekor udang galah mencapai suhu 15 oC diperlukan waktu selama 28 menit, dimana udang galah tersebut pingsan semua pada menit ke-41. Untuk jumlah 10 ekor udang galah, waktu yang dibutuhkan adalah 29 menit, dimana udang dapat pingsan semua pada menit ke-39. Waktu yang dibutuhkan untuk membius 15 ekor udang galah adalah 29 menit sedangkan untuk 20 dan 25 ekor udang galah yaitu 22 menit. Udang sebanyak 15 ekor pingsan semua pada menit ke-36, sedangkan jumlah udang sebanyak 20 dan 25 ekor pingsan semua pada menit ke-28.

Jika dilihat dari kecepatan waktu penurunan suhu mencapai 15 oC dan waktu pembiusan, maka kepadatan udang galah sebanyak 10 ekor lebih baik jika dibandingkan dengan kepadatan udang yang lain. Hal ini dikarenakan waktu penurunan suhu mencapai 15 oC lebih lambat dibanding yang lain dan memiliki waktu pembiusan yang lebih lama yaitu 10 menit.

Tabel 3. Perbandingan jumlah udang dengan media pembius terhadap kecepatan penurunan suhu pembiusan

Air : Es : jumlah udang

Suhu (oC)

Waktu (Menit)

Kondisi dan aktivitas udang

1 : 1 : 5 25 0,08 Normal, aktif, berdiri kokoh dan respon cepat

22 3 Masih berdiri, mulai tenang

20 9 Sebagian tenang, tidak ada pergerakan, respon cukup cepat, 2 miring

17 15 Tenang dan respon lemah

15 28 Sebagian besar roboh, yang lain panik

15 41* Pingsan, sedikit gerakan insang

Page 44: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

344

1 : 1 : 10 25 0,08 Normal, aktif, berdiri kokoh dan respon cepat

22 2 Masih berdiri, mulai tenang

20 8 Tenang, tidak ada pergerakan, respon cukup cepat

17 13 4 panik, yang lain masih tenang

15 29 1 panik, sebagian roboh

15 39* Pingsan, sedikit gerakan insang

1 : 1 : 15 25 0,08 Normal, aktif, berdiri kokoh dan respon cepat

22 2 Masih berdiri, mulai tenang

20 8 Sebagian tenang, tidak ada pergerakan, respon cukup cepat, 5 miring

17 20 2 panik, 7 miring, yang lain masih tenang

15 29 4 panik, yang lain mulai pingsan dengan posisi udang roboh

15 36* Pingsan, sedikit gerakan insang

1 : 1 : 20 25 0,08 Normal, aktif, berdiri kokoh dan respon cepat

22 2 Masih berdiri, mulai tenang

20 6 Tenang, tidak ada pergerakan dan respon cukup cepat

17 14 3 panik, 7 miring, yang lain masih tenang

15 22 Sebagian besar roboh

15 28* Pingsan, sedikit gerakan insang

1 : 1 : 25 25 0,08 Normal, aktif, berdiri kokoh dan respon cepat

22 2 Masih berdiri, mulai tenang

20 4 Tenang, tidak ada pergerakan

17 13 Sebagian miring, yang lain masih tenang

15 22 Roboh dan mulai pingsan

15 28* Pingsan, sedikit gerakan insang

* = waktu yang dicapai pada saat suhu bertahan pada 15 oC

Penelitian Utama Berdasarkan percobaan sebelumnya diperoleh hasil bahwa proporsi volume

media air, banyaknya es dan jumlah udang yang optimum adalah 1 liter air : 1 kg es : 10 ekor udang. Hasil ini kemudian dicoba untuk penyimpanan udang dalam media serbuk gergaji dingin.

Perubahan perilaku udang akibat pengaruh pembiusan suhu rendah Sebelum dilakukan penyimpanan, udang dibius menggunakan dua teknik

pembiusan yaitu pembiusan menggunakan suhu secara bertahap dan langsung. Hasil pengamatan perilaku udang galah selama proses pembiusan secara

bertahap tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan perilaku udang galah akibat pendinginan pembiusan bertahap

Waktu (menit)

Suhu (oC)

Kondisi dan aktivitas udang

0,08 25 Udang dalam kondisi normal, berdiri kokoh dan respon cepat

2 22 Udang masih berdiri dan mulai tenang

9 20 Seluruh udang sudah tenang, tidak ada pergerakan, respon cukup cepat

14 17 Sebagian udang panik dengan meloncat tidak tentu arah, sebagian lagi masih tenang

29 15 Masih ada yang panik, sebagian besar sudah mulai roboh

39 15 Udang roboh, makin lemah, dan pingsan

Page 45: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

345

Hasil pengamatan perilaku udang galah selama proses pembiusan secara langsung tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Aktivitas udang galah selama pendinginan pembiusan langsung Waktu (menit)

Kondisi dan aktivitas udang

0 Udang langsung roboh, kaki renang dan kaki jalan bergerak-gerak teratur dan aktif, responsif

5 Semua udang roboh, diselingi sebagian udang melompat-lompat dengan keseimbangan mulai hilang

10 Sebagian besar udang tegak kembali tetapi keseimbangan belum pulih benar, sebagian masih roboh

15 Udang tenang, diam, tidak bergerak, jika disentuh diam. Pada saat diangkat udang tenang tetapi masih ada sebagian yang meronta dan meloncat

Kelulusan hidup udang galah Persentase kelulusan hidup udang galah setelah penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan

15 jam disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase kelulusan hidup udang galah setelah penyimpanan dalam media serbuk gergaji dingin (15 oC)

Perlakuan pembiusan

Jumlah hidup (%)

3 jam 6 jam 9 jam 12 jam 15 jam

Suhu bertahap 100,0 ± 0,0 100,0 ± 0,0 93,3 ± 0,6 70,0 ± 1,0 50,0 ± 1,0

Suhu langsung

100,0 ± 0,0 96,7 ± 0,6 80,0 ± 0,0 53,3 ± 0,6 10,0 ± 1,0

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap menghasilkan tingkat kelulusan hidup udang yang lebih tinggi dalam sistem transportasi udang galah tanpa media air. Udang yang disimpan hingga lama penyimpanan kurang dari 15 jam menghasilkan tingkat kelulusan hidup udang galah lebih dari 50 %.

Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa pembiusan udang galah dengan penurunan suhu bertahap hingga mencapai 15 oC dengan waktu pembiusan 10 menit (Tabel 4) menghasilkan tingkat ketahanan hidup udang dalam media bukan air yang lebih tinggi daripada pembiusan langsung pada suhu rendah, sehingga peluang penerapannya lebih tinggi daripada pembiusan langsung pada suhu rendah.

Waktu penyimpanan yang semakin lama sampai 15 jam mengakibatkan ketahanan hidup udang galah dalam media serbuk gergaji dingin semakin rendah. Kelulusan hidup 100 % tidak bisa dicapai lebih dari 6 jam. Salah satunya, akibat adanya kenaikan suhu media serbuk gergaji. Perubahan suhu media serbuk gergaji dingin selama penyimpanan tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Perubahan suhu media serbuk gergaji dingin dalam kemasan styrofoam

Lama penyimpanan (jam)

Suhu bertahap (oC) Suhu langsung (

oC)

Awal Akhir Awal Akhir

3 15 16 15 16

6 15 17 15 17

9 15 18 15 18

12 15 20 15 20

15 15 22 15 22

Hasil analisis statistika menggunakan RAL dua faktor dengan tiga kali ulangan, diketahui bahwa pada selang kepercayaan 95 % perlakuan teknik pembiusan, lama penyimpanan serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelulusan hidup udang galah. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut yaitu Uji Tukey untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata.

Page 46: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

346

Gambar 1 menunjukkan persentase kelulusan hidup udang setelah diberi perlakuan teknik pembiusan.

82,7

68

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Suhu bertahap Suhu langsung

Teknik pembiusan

Kelulusan hidup udang (%)

Gambar 1. Persentase kelulusan hidup udang galah setelah teknik pembiusan

Gambar 2 menunjukkan rata-rata persentase kelulusan hidup udang galah setelah penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan 15 jam.

100 98,3

86,7

61,7

30

0

20

40

60

80

100

120

3 6 9 12 15

Lama penyimpanan (jam)

Kelulusan hidup udang (%)

Gambar 2. Persentase kelulusan hidup udang galah setelah penyimpanan

Gambar 3 menunjukkan persentase kelulusan hidup udang galah setelah perlakuan teknik pembiusan dan lama penyimpanan.

10093,3

70

50

100

80

53,3

10

10096,7

0

20

40

60

80

100

120

3 6 9 12 15

Lama penyimpanan (jam)

Kelulusan hidup udang (%)

Suhu bertahap

Suhu langsung

Gambar 4. Persentase kelulusan hidup udang galah setelah perlakuan teknik

pembiusan dan penyimpanan KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dapat diperoleh bahwa perbandingan volume media air pembius, jumlah es dan jumlah udang yang optimum adalah 1 liter air : 1 kg es : 10 ekor udang.

Teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap lebih baik dibandingkan dengan teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara langsung untuk membius udang galah. Lama penyimpanan 3 jam dan 6 jam menghasilkan persentase kelulusan hidup sebesar 100 % dan 98,3 % yang merupakan lama penyimpanan terbaik, sedangkan lama penyimpanan 15 jam merupakan lama penyimpanan yang menghasilkan kelulusan hidup terendah, yaitu sebesar 30 %.

SARAN Perlu diaplikasikan ke transportasi yang sebenarnya dan perlu dilakukan uji

coba kepadatan udang galah dalam kemasan styrofoam serta teknik penyusunannya dalam kemasan agar menghasilkan kelulusan hidup udang galah yang lebih tinggi.

Page 47: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

347

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Ditjen Perikanan dan Kelautan. Jakarta: BPS. Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk

Konsumsi. Bogor: Departemen teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Salin KR. 2005. Live transportation of Macrobrachium rosenbergii (De Man) in chilled sawdust. Aquaculture Research. India: Blackwellpublishing. Volume 36 Issue 3. P: 300.

Susilawati. 1991. Pengaruh penambahan zeolit dalam pengangkutan sistem tertutup udang galah (Macrobrachium rosenbergii De man) berukuran rata-rata 2,0 gram [skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Torrie JH, Steel RGD. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo S. 1993. Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup di Indonesia. Jakarta: Sub BPPL, Slipi.

Page 48: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

348

KARAKTERISTIK DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) INDUSTRI RUMAH TANGGA, DESA GEGUNUNG WETAN KABUPATEN REMBANG

JAWA TENGAH

Nurjanah Dwi 2, Ariyanti1, Tati Nurhayati2 dan Asadatun Abdullah2

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan observasi langsung di industri rumah tangga pengupasan rajungan untuk mengetahui karakteristik daging rajungan industri rumah tangga melalui pengukuran panjang dan bobot rajungan, penentuan rendemen rajungan, uji organoleptik rajungan segar dan daging rajungan industri rumah tangga, analisis TPC daging rajungan, analisis kandungan gizi daging rajungan. Karakteristik organoleptik rajungan pada 3 kondisi (udara terbuka, air tawar dan air tawar < 10

oC) dilakukan secara subyektif setiap 3 jam

selama 24 jam. Nilai organoleptik daging rajungan matang sebesar 8,11 dengan nilai TPC sebesar 4,2

x 105 koloni/gram dan telah memenuhi SNI 01-4244-1996. Persentase nilai rendemen yang

tertinggi adalah pada cangkang sebesar 25,88%, sedangkan total rendemen daging sebesar 25,28%. Kandungan gizi rajungan sebelum dan setelah pengolahan dengan perebusan tidak berbeda nyata dengan kandungan segarnya Rajungan yang paling cepat mengalami kemunduran mutu organoleptik adalah pada kondisi udara terbuka, fase rigor mortis berlangsung selama 8 jam. Penanganan yang paling cocok bagi rajungan sebagai bahan mentah industri rumah tangga adalah pada kondisi udara terbuka, dimana didapatkan tekstur daging yang paling baik, meskipun kemunduran mutu rajungan segar terjadi sangat cepat. Oleh karenanya diperlukan proses penanganan dan pengolahan yang cepat agar dihasilkan mutu daging rajungan rebus yang baik.

Kata kunci: karakteristik, industri rumah tangga, rajungan

PENDAHULUAN Perusahaan pengekspor rajungan kaleng ada yang mengambil bahan baku

berupa daging rajungan rebus (fresh meat crabs) dari mini plant dan ada juga yang mengambil daging rajungan hasil olahan dari industri rumah tangga melalui pengumpul. Secara umum “karakteristik” dapat diartikan, sifat khas pada suatu bahan atau produk, baik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Asal bahan baku, cara penanganan dan pengolahan, serta perlakuan yang berbeda pada suatu bahan dapat menghasilkan karakteristik yang berbeda pula. Karakteristik fisik daging rajungan dapat dilihat secara organoleptik dengan panca indera seperti penampakan, tekstur dan aromanya. Sedangkan karakteristik kimia daging rajungan diantaranya dapat tercermin pada kandungan gizi yang terdapat di dalamnya. Karakteristik biologis diantaranya dapat tercermin dari kandungan mikrobiologi pada bahan baku yang digunakan dalam pengolahan.

Industri rumah tangga pengupasan rajungan merupakan unit usaha perorangan yang menghasilkan daging rajungan rebus yang selanjutnya dijual kepada pengumpul. Pengolahan rajungan di industri rumah tangga berupa pemasakan dan pengambilan daging (picking) dilakukan dengan cara yang sangat sederhana serta kurang saniter dan higienis. Baik dan buruknya penanganan dan pengolahan akan mempengaruhi karakteristik hasil akhir daging rajungan sebagai bahan makanan atau bahan baku untuk pengolahan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan agar dapat diperoleh data dan informasi karakteristik daging rajungan yang dihasilkan dari industri rumah tangga secara lengkap dan sistematis.

METODOLOGI Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan uji mikrobiologi, proksimat dan organoleptik, Sedangkan bahan-bahan yang digunakan

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

2 Departemen Dalam Negeri

Page 49: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

349

Jaring kejer Bubu

Mini plant

Tengkulak

Industri

Rumah Tangga

Pengumpul

Perusahaan Pengalengan rajungan

Penangkapan

diantaranya: rajungan (Portunus pelagicus) ukuran tangkap, dengan bobot antara 50-230 gram/ekor, ukuran panjang karapas antara 3,5-6,3 cm dan lebarnya antara 8,2-14 cm., Plate Count Agar (PCA), es batu serta bahan-bahan lain yang digunakan dalam pengujian proksimat.

Metode Penelitian Penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu: (1) observasi untuk mengetahui upaya penangkapan dan penanganan rajungan yang dilakukan nelayan setempat, upaya penanganan dan pengolahan rajungan selama di industri rumah tangga, penanganan rajungan di pengumpul daging rajungan rebus. Pengukuran panjang, lebar dan bobot rajungan, serta menghitung rendemen daging rajungan rebus di industri rumah tangga, pengujian pada titik pengamatan, yaitu setelah penangkapan (P1) dan setelah pengolahan di industri rumah tangga (P2), yang meliputi uji organoleptik, uji mikroba (TPC), dan uji proksimat (AOAC 1995). (2) Pengamatan kemunduran mutu organoleptik terhadap rajungan hidup selama 24 jam pada 3 kondisi yang berbeda, yaitu di udara terbuka, di air tawar, dan di air tawar suhu <10 oC. Pengamatan organoleptik dilakukan secara subyektif oleh penulis setiap 3 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum penangkapan rajungan di Desa Gegunung Wetan Pada umumnya alat tangkap rajungan rajungan ada 2 macam, yaitu bubu dan

jaring kejer (DKP Kabupaten Rembang 2006). Nelayan penangkap rajungan di daerah Rembang hampir setiap hari melaut, karena rajungan merupakan komoditas yang tidak mengenal musim. Namun musim puncak tangkapan terbanyak yaitu Oktober sampai Januari. Bubu adalah semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk masuk dan menyulitkan ikan untuk keluar. Rajungan dapat terperangkap masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh umpan didalamnya. Bubu dapat dioperasikan pada kedalaman antara 5-70 meter, hasil yang didapat antara 1-25 kg tergantung musim tangkap. Jaring kejer tergolong bottom gillnet, yaitu jaring yang dipasang pada dasar atau dekat dasar. Rajungan dapat tertangkap dengan jaring kejer karena kaki-kakinya terjerat jaring. Jaring kejer dapat dioperasikan pada kedalaman 1-7 meter, hasil tangkapan yang didapat 0,5-1 kg rajungan, atau jika musim tangkap antara 5-20 kg. Setelah penangkapan rajungan, tidak dilakukan sortasi, pencucian dan penerapan sistem rantai dingin. Hasil tangkapan rajungan dijual kepada kepada tengkulak, industri rumah tangga pengupasan rajungan, maupun mini plant. Alur distribusi rajungan setelah penangkapan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur distribusi rajungan setelah penangkapan Keadaan umum industri rumah tangga pengupasan rajungan

Page 50: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

350

Industri rumah tangga pengupasan rajungan merupakan usaha rumah tangga yang menghasilkan produk daging rajungan matang (fresh meat crabs), yang selanjutnya dijual ke pengumpul daging rajungan untuk dikirimkan ke perusahaan pengekspor rajungan sebagai bahan baku rajungan kaleng pasteurisasi. Usaha ini merupakan milik perorangan yang mempunyai beberapa orang pekerja, yang sebagian besar pekerjanya merupakan kerabat maupun tetangga pemilik industri rumah tangga tersebut. Bahan baku berupa rajungan segar yang masuk ke industri rumah tangga tersuplai langsung dari nelayan penangkap rajungan maupun tengkulak yang secara rutin menyetor rajungan. Industri rumah tangga tidak terikat oleh pengumpul daging rajungan, maupun perusahaan pengekspor rajungan, sehingga proses penanganan dan pengolahan rajungan yang terjadi di sana tanpa adanya pengawasan dari pihak manapun. Segala proses produksi di industri rumah tangga berlangsung dengan cara yang sangat sederhana, sanitasi lingkungan, peralatan dan pekerja tak terjaga, serta tanpa aturan baku apapun.

Proses penanganan dan pengolahan rajungan selama di industri rumah tangga secara urut adalah penerimaan rajungan segar, penimbangan, perebusan ± 15-20 menit, pendinginan selama ± 20-30 menit, sortasi bagian, pencucian, pengambilan daging (picking), pengemasan, pengesan dan pengiriman daging rajungan ke pengumpul. Tahapan yang paling banyak menyebabkan daging rajungan mengalami perubahan mutu adalah tahap pengambilan daging dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau kecil stainlessteel. Pada saat proses pengambilan daging dapat terjadi kontaminasi silang yang berasal dari pekerja, peralatan dan lingkungan pengolahan. Kebersihan sarana pengolahan dan lingkungannya mempengaruhi mutu dan keamanan produk pangan. Sarana pengolahan dan lingkungannya yang kotor dapat mencemari pangan, baik bahaya fisik, kimia maupun biologis (Rahayu 2002). Oleh karenanya sebaiknya proses pengambilan daging rajungan dilakukan di ruangan khusus yang bersih, digunakan peralatan yang bersih, dikerjakan oleh pekerja yang higiene. Hal ini dapat berguna dalam mencegah terjadinya rekontaminasi pada produk daging rajungan. Selain itu perlu diterapkan rantai dingin selama proses pengambilan daging berlangsung, dimana adanya rantai dingin dapat menghambat aktivitas mikroba sehingga kemunduran mutu daging rajungan dapat diperlambat.Pemisahan daging rajungan di industri rumah tangga berdasarkan bagian tubuh dan spesifikasi masing-masing yaitu jumbo (besar dan kecil), daging besar (back fin), reguler kembang (flower meat), daging kecil (reguler/lump), kaki besar (claw fingers) dan kaki kecil (claw meat).

Keadaan Umum Pengumpul Daging Rajungan Rebus Daging rajungan hasil pengupasan dari industri rumah tangga biasanya dijual

kepada pengumpul daging rajungan. Salah satu pengumpul rajungan di Rembang adalah UD Udang Sari. Setiap pengumpul daging rajungan memiliki buyer tersendiri yaitu perusahaan pengekspor rajungan kaleng pasteurisasi. Buyer UD Udang Sari adalah PT Rex Canning di Pasuruan Jawa Timur dimana perusahaan tersebut berhak menentukan kriteria terhadap produk daging rajungan yang layak diterima dan berhak melakukan peninjauan sewaktu-waktu. Proses penanganan daging rajungan selama di pengumpul adalah penerimaan daging rajungan, sortasi, penimbangan, pengemasan ke dalam toples, pengemasan ke dalam blong pendingin, dan pendistribusian. Spesifikasi dan harga daging rajungan di UD Udang Sari Kabupaten Rembang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan spesifikasi daging rajungan dan harga (per-kg) No. Jenis daging Spesifikasi dan ukuran Harga (per-kg)

1 Jumbo besar daging dari abdomen yang berhubungan langsung dengan kaki renang. Jumbo besar berukuran ≥ 4 gram

Rp.207.000 sampai Rp.220.000

Page 51: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

351

2 Jumbo kecil daging dari abdomen yang berhubungan langsung dengan kaki renang. Jumbo kecil berukuran ≤ 4 gram

Rp.140.000 sampai Rp.170.000

3 Daging besar (backfin)

daging pecahan jumbo yang berukuran <2 gram

Rp.90.000 sampai Rp.102.000

4 Reguler kembang (flower)

daging dari sekat ruas thorax yang dibentuk seperti bunga

Rp.75.000 sampai Rp 80.000

5 Daging kecil (lump/reguler)

daging pecahan reguler kembang (flower)

Rp.52.000 sampai Rp.60.000

6 Kaki besar (claw finger)

daging dari kaki capit Rp.30.000

7 Kaki kecil (claw meat)

daging dari semua kaki, kecuali capit Rp.17.000 sampai Rp. 20.000

Karakteristik Daging Rajungan Industri Rumah Tangga Karakteristik daging rajungan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi karakteristik panjang dan bobot, rendemen, nilai organoleptik daging rajungan rebus, nilai TPC daging rajungan rebus, kandungan gizi daging rajungan.

Panjang dan bobot rajungan

Berdasarkan hasil pengukuran yang tertera pada Tabel 7 menunjukkan bahwa rajungan yang masuk sebagai bahan mentah industri rumah tangga di Desa Gegunung Wetan memiliki bobot total rata-rata 114,8 g, rata-rata panjang dan lebar berturut-turut 5,33 cm dan 11,63 cm. Rajungan dapat mencapai ukuran panjang 15 cm dan lebar sampai 30 cm (Ensiklopedia Indonesia diacu dalam Elyuna 2005). Hal ini berarti rajungan yang ditangkap saat ini jauh lebih kecil dibandingkan ukuran yang ada. Makin turunnya ukuran tangkapan rajungan diduga disebabkan populasi komoditas rajungan di alam terganggu perkembangannya, karena sampai saat ini di Kabupaten Rembang seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan hasil tangkapan dari laut.

Rendemen Rajungan yang diolah di industri rumah tangga memiliki nilai rendemen tertinggi

untuk bagian cangkang (kulit) sebesar 25,88 %, lalu bagian daging sebesar 25,28 % yang terdiri dari 9,18 % claw meat, 9,05 % daging jumbo, dan 7,05 % daging reguler. Persentase bagian jeroan dan telur sebesar 11,18 %, karapas sebesar 8,82 %, dan insang sebesar 2,93 %.

Nilai organoleptik daging rajungan rebus Pada penilaian organoleptik daging rajungan rebus digunakan score sheet penilaian sensori daging rajungan. Kriteria pengujian sensori meliputi penampakan, bau dan tekstur. Penampakan diukur dari segi ada tidaknya pengotor, warna diukur dari cemerlang atau kusam, sedangkan bau (aroma) diukur dari ketajaman dan kesegaran bau khas rajungan. Pengujian dilakukan pada setiap jenis daging rajungan matang yaitu jumbo, daging besar (backfin), reguler kembang (flower meat), daging kecil (reguler), kaki besar (claw fingers), dan kaki kecil (claw meat). Tabel 2 menyajikan rata-rata nilai organoleptik daging rajungan rebus.

Tabel 2. Rata-rata nilai organoleptik daging rajungan rebus

No Tahapan proses penanganan Waktu Nilai organoleptik

1 Setelah penangkapan rajungan 4 jam setelah penangkapan

9

2 Setelah pengambilan daging (picking) di industri rumah tangga

3 jam setelah perebusan

8,11± 0,08

Page 52: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

352

Penurunan mutu sensori tersebut diduga disebabkan oleh penanganan daging rajungan yang kurang saniter dan higienis. Proses penurunan mutu daging rajungan disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme yang menjadi kontaminan pada produk daging rajungan. Aktivitas mikroba dapat menguraikan komponen-komponen pada daging rajungan, sehingga menyebabkan rusaknya struktur jaringan daging dan teksturnya menjadi lebih lunak. Selain itu, hasil penguraian senyawa mikromolekul pada daging seperti asam amino bebas, peptida, asam laktat, gula pereduksi, akan menghasilkan metabolit-metabolit penyebab bau busuk (Hadiwiyoto 1993).

Nilai TPC daging rajungan rebus Nilai total bakteri (TPC) menggambarkan kemunduran mutu secara

mikrobiologis dari suatu produk. Tabel 3 menunjukkan rata-rata total nilai bakteri pada setiap tahapan penanganan rajungan sampai menjadi produk daging rajungan rebus (fresh meat crabs).

Tabel 3. Nilai rata-rata total bakteri rajungan (Portunus pelgicus) pada setiap tahapan proses penanganan

No Tahapan proses penanganan Rata-rataTPC(koloni/gram)

1 Setelah penangkapan 4,5 x 104

2 Setelah pengambilan daging di industri rumah tangga

4,2 x 105

Pada daging rajungan mentah setelah penangkapan didapatkan nilai rata-rata TPC sebesar 4,5x104 koloni/g. Tumbuhnya bakteri pada tangkapan kepiting segar mencerminkan keadaan lingkungan hidup kepiting dan menunjukkan kualitas dan kuantitas yang berbeda tergantung akan musim, kualitas, lokasi geografis (Cockey dan Chai 1983). Standar mikrobiologi untuk daging kepiting segar nilai APC (An Aerobic Plate Count) maksimum adalah 1x105 koloni/gram (Cockey 1983). Hal ini berarti setelah penangkapa, rajungan masih dalam kondisi segar.

Nilai TPC daging rajungan matang setelah proses pengambilan daging (picking) di industri rumah tangga adalah sebesar 4,2 x 105 koloni/gram. Pada daging rajungan yang telah diolah dengan pemanasan, seharusnya jumlah bakteri menurun. Perebusan merupakan suatu proses pengawetan, yaitu untuk mencegah autolisis, dan juga dapat mematikan beberapa jenis mikroorganisme (Gaman dan Sherrington 1992). Jumlah total bakteri pada daging rajungan matang yang makin meningkat diduga disebabkan oleh rekontaminasi selama proses pengolahan dan penanganan. Berdasarkan rata-rata nilai total bakteri daging rajungan, diketahui bahwa secara mikrobiologis daging rajungan yang diolah di industri rumah tangga memenuhi persyaratan spesifikasi persyataran mutu daging rajungan rebus dingin berdasarkan SNI 01-4244-1996, yaitu memiliki nilai rata-rata total bakteri di bawah maksimum (5 x 105 koloni/g).

Kandungan gizi daging rajungan Uji proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dalam tubuh

rajungan secara kasar (crude) baik pada rajungan segar maupun yang sudah diolah. Hasil pengujian proksimat rajungan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 3. Hasil pengujian proksimat rajungan (Portunus pelagicus)

Kandungan gizi

Daging rajungan segar

Daging rajungan betina matang

Jantan (%)

Betina (%)

Sedang bereproduksi (%)

Kondisi biasa (%)

Air 80,59 79,11 77,68 76,41

Abu 2,54 2,39 2,22 2,25

Protein 14,58 14,49 19,83 20,13

Lemak 0,09 0,07 0,07 0,07

Page 53: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

353

Persentase kandungan protein dan lemak pada daging rajungan jantan lebih tinggi daripada rajungan betina. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan serta kondisi bertelur. Pada rajungan yang sedang bereproduksi persentase kandungan proteinnya lebih rendah dibandingkan rajungan dalam kondisi biasa. Pada kondisi bertelur kandungan nutrisi lebih terkonsentrasi digunakan untuk keperluan reproduksi dibandingkan untuk pertumbuhan tubuh, sehingga kandungan protein dalam otot cenderung menurun.

Persentase kadar air rajungan matang mengalami penurunan dibandingkan rajungan mentah. Penurunan kadar air dipengaruhi oleh faktor pemasakan yang menyebabkan cairan dari dalam daging rajungan merembes keluar (terjadi drip). Air yang keluar dari dalam produk ikut membawa komponen gizi yang lain seperti vitamin C, riboflavin, tiamin, karoten, niasin, vitamin B6, Co, Mg, Cu, P, asam amino (Haris 1989). Persentase kadar air pada daging rajungan jantan lebih tinggi dibandingkan rajungan betina. Ketersediaan air dalam tubuh rajungan jantan lebih banyak diduga karena kebutuhan air yang lebih besar dalam tubuhnya. Kandungan air tubuh tergantung pada proporsi jaringan otot yang ada dalam tubuh, biasanya pada jantan lebih banyak dibandingkan pada betina (Almatsier 1999).

Kadar abu pada daging rajungan matang lebih rendah apabila dibandingkan daging rajungan mentah. Hal ini diduga disebabkan kandungan bahan anorganik pada daging rajungan ikut terbawa bersama air yang keluar dari daging selama perebusan. Kandungan mineral pada rajungan adalah C, Fe, Mg, P, K, S, Cu, Mg, dan Se (http://www.nutritiondata.com 2006).

Karakteristik daging rajungan di pengumpul daging rajungan rebus Berdasarkan pengujian organoleptik dan pengujian mikroba (TPC) terhadap

sampel daging rajungan yang ada di pengumpul, diperoleh rata-rata nilai organoleptik terhadap parameter tekstur, penampakan, dan bau daging rajungan sebesar 7,20 dengan nilai TPC sebesar 3,8 x 106 koloni/gram. Secara organoleptik daging rajungan yang ada di pengumpul memenuhi standar spesifikasi mutu daging rajungan rebus dingin berdasarkan SNI 01-4244-1996. Namun nilai rata-rata total bakteri daging rajungan di pengumpul daging rajungan rebus berada di atas nilai maksimum yang dipersyaratkan, karena nilai total bakteri >5 x 105 koloni/g. Hal ini diduga disebabkan kondisi penanganan rajungan yang ada di pengumpul kurang saniter dan higienis dari segi peralatan, pekerja, dan lingkungan sarana penanganan. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri pada daging rajungan dan meningkatkan kandungan TPC-nya.

Pengamatan Kemunduran Mutu Organoleptik Rajungan Penelitian ini bertujuan membandingkan kemunduran mutu rajungan pada

kondisi media dan suhu yang berbeda, sehingga dapat menghasilkan informasi bagi penanganan bahan baku rajungan segar yang akan diolah di industri rumah tangga. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada 3 kondisi yaitu udara terbuka, air tawar dan air<10 oC didapatkan hasil bahwa fase pre rigor pada 3 kondisi tersebut berlangsung selama 2 jam, fase rigor selama 8 jam (udara terbuka), 10 jam (air tawar), dan 13 jam (air tawar <10oC). Fase post rigor masing–masing setelah mati berlangsung selama 11 jam (udara terbuka), 12 jam (air tawar), setelah mati 25 jam (air tawar <10oC). Fase rigor pada rajungan ditandai kaki dan ruas-ruas kaki sulit digerakkan (kaku), serta antara ruas tubuh dan kaki juga sulit digerakkan. Pada bagian di balik karapas mulai ada bercak coklat suram, daging rajungan kompak dan kenyal. Pada fase rigor mortis terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga terjadi penurunan pH, diikuti penurunan jumlah ATP serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannnya sehingga tubuh ikan menjadi kaku (Junianto 2003).

Page 54: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

354

Penanganan yang terbaik pada rajungan sebagai bahan mentah pengolahan daging rajungan rebus (fresh meat crabs) adalah di udara terbuka, karena mempunyai tekstur daging yang baik. Sementara itu kemunduran mutu organoleptik rajungan di udara terbuka mengalami kemunduran mutu yang paling cepat diantara 2 perlakuan lainnya.

KESIMPULAN Penangkapan rajungan di Desa Gegunung Wetan dilakukan dengan 2 macam

alat tangkap yaitu bubu dan jaring kejer. Pasca penangkapan tidak dilakukan sortasi, pencucian, serta tanpa adanya penanganan dengan rantai dingin. Hasil tangkapan langsung dijual kepada industri rumah tangga, mini plant, dan tengkulak. Semua proses penanganan dan pengolahan rajungan selama di industri rumah tangga dilakukan secara sederhana, dengan sanitasi dan higiene peralatan, lingkungan dan pekerja yang tak terjaga sehingga dimungkinkan dapat menjadi kontaminan terhadap produk daging rajungan yang dihasilkan.

Daging rajungan yang dihasilkan di industri rumah tangga telah memenuhi SNI 01-4244-1996 dari segi organoleptik dan mikrobiologis, dengan nilai TPC sebesar 4,5 x 104 koloni/g dan nilai rata-rata organoleptik sebesar 8,11. Panjang rata-rata rajungan yang diolah di industri rumah tangga sebesar 5,33 cm, lebar sebesar 11,63 cm dan berat sebesar 114,8 gram. Rendemen tertinggi dari pengolahan rajungan sebagai daging rajungan rebus adalah cangkang rajungan yaitu sebanyak 25,88%, sedangkan rendemen daging terbesar adalah jenis claw meat sebesar 9,18%. Daging rajungan setelah diolah di industri rumah tangga memiliki perubahan nilai gizi yaitu peningkatan persentase protein, serta penurunan persentase kadar air dan abu. Berdasarkan pengamatan karakteristik organoleptik rajungan selama 24 jam didapatkan bahwa kemunduran mutu secara organoleptik rajungan pada kondisi udara terbuka lebih cepat, dibandingkan pada kondisi air tawar dan air tawar <10oC. Penanganan yang terbaik diterapkan pada rajungan sebagai bahan mentah rajungan yang diolah di industri rumah tangga adalah di udara terbuka

SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan sanitasi dan higiene serta

penerapan rantai dingin selama proses penanganan rajungan harus diterapkan di industri rumah tangga maupun di pengumpul. Selain itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik proses kemunduran mutu rajungan secara mikrobiologis dan biokimiawi. DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 1999. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Panebar Swadaya. Cockey RR, Chai T. 1983. Microbiology of crustacea processing: crabs. Dalam:

Microbiology of Marine Food Products. Ward DR, Hackney C. Eds. New York: AVI Publishing Company

Hadiwiyoto. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta: CV Paripurna

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang. 2006. Statistik Produksi Perikanan Kabupaten Rembang. Direktorat Jenderal Perikanan

DSN. 1996. Standar Nasional Indonesia 01-4224-1996. Daging Rajungan Rebus Dingin. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional

Gaman PM dan Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gardjito M, Naruki S, Murdiati A dan Sardjono, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Nutrition Data. 2006. Nutrition Raw Blue Swimming Crabs. http://www. nutritiondata.com. [20 November 2006]

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Page 55: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

355

PENGARUH UMUR PANEN TERHADAP KOMPOSISI ASAM LEMAK IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy)

Nurjanah1, Tati Nurhayati1, Asadatun Abdullah1 dan Ardilla Prameswarie Raharjo1

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur panen terhadap komposisi kimia dan asam lemak ikan gurami pada berbagai umur panen

Tahap awal pada penelitian ini adalah mengetahui karakteristik ikan gurami, yaitu asal sampel, jenis pakan, ukuran, serta rendemen ikan gurami dengan berbagai umur panen, yakni umur 2,5-3 tahun (A), 1,5-2 tahun (B) dan umur 7 bulan-1 tahun (C). Ikan gurami A memiliki berat rata-rata 1000 gram dengan panjang total rata-rata 37 cm, ikan gurami B memiliki berat rata-rata 650 gram dengan panjang total rata-rata 33 cm, dan ikan gurami C memiliki berat 350 gram dengan panjang total 28 cm. Rendemen gurami adalah daging 45-52 %; tulang 30-38 %; jeroan 6-8 %; insang 1-2 %; sirip 3-5 % dan sisik 4%. Komposisi kimia ikan gurami adalah kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,95-1,03 %; lemak 2,20-2,79 % dan protein 18,71-20,67 %.

Komposisi asam lemak jenuh yang terkandung dalam ikan gurami paling banyak yaitu palmitat, berkisar antara 24,31-26,78 %; dan stearat, berkisar antara 4,66-7,92 %. Komposisi asam lemak tak jenuh tunggal didominasi oleh oleat (C18:1), yaitu sebesar 30,23-35,21 %. Komposisi asam lemak tak jenuh jamak didominasi oleh linoleat (C18:2, n-6), yaitu berkisar antara 17,81-22,80 % dari total asam lemak ikan gurami.

Kata kunci : ikan gurami, asam lemak, dan umur panen

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Sebagian besar dari wilayah Indonesia terdiri atas perairan. Potensi perikanan yang berpeluang besar untuk dikembangkan yaitu budidaya air tawar, dimana komoditasnya didominasi oleh udang 327.260 ton, ikan mas 285.250 ton, nila 227.000 ton, lele 94.160 ton, dan gurami 35.570 ton (Irianto dan Soesilo 2007).

Ikan gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah lama dibudidayakan dan dikonsumsi masyarakat karena rasa dagingnya yang sangat lezat sehingga memiliki nilai ekonomis tinggi. Produksi ikan gurami di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2007 cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tahun 2007 produksi ikan gurami mencapai nilai tertinggi, yaitu 31.600 ton (Ditjen Perikanan Budidaya 2007).

Ikan pada umumnya sangat penting untuk dikonsumsi sebagai sumber nutrisi karena selain mengandung protein yang memiliki komposisi asam amino yang lengkap, juga diketahui mengandung lemak yang kaya akan asam lemak tak jenuh. Asam lemak merupakan komponen rantai panjang yang menyusun lipid. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh, asam lemak esensial seperti linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3) digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural dari membran sel, serta mempunyai peran penting dalam perkembangan otak (Duthie dan Barlow 1992 diacu dalam Nurjanah 2002).

Komposisi lemak dan asam lemak ikan sangat bervariasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain spesies, musim, letak geografis, tingkat kematangan gonad, dan ukuran ikan tersebut (Stansby 1967). Menurut Ozogul dan Ozogul (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan asam lemak ikan, antara lain spesies, pakan, letak geografis, serta umur dan ukuran ikan tersebut. Komposisi asam lemak ikan air tawar mengandung kadar C16 dan C18 yang tinggi, sedangkan C20 dan C22 rendah, sebaliknya komposisi asam lemak ikan air laut mengandung C20 dan C22 yang tinggi dan C16 dan C18 yang rendah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan komposisi jenis lemak yang dikonsumsi dari lingkungan hidupnya (Ackman 1994).

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 56: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

356

Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia dan sangat disukai oleh masyarakat, namun belum ada informasi yang jelas mengenai jenis dan komposisi asam lemak ikan gurami. Sehingga dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah informasi yang berharga dalam pemenuhan gizi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dari ikan gurami yang meliputi asal ukuran tubuh (panjang dan berat), dan rendemen ikan, serta untuk mengetahui pengaruh umur panen terhadap komposisi kimia (proksimat) dan profil asam lemak ikan gurami (Osphronemus gouramy). METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2008, pengambilan sampel dilakukan di kolam budidaya Cibereum, Petir, Bogor. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta analisis di Pusat Penelitian Seafast Centre, Institut Pertanian Bogor.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama yaitu ikan gurami, bahan-bahan untuk analisis proksimat adalah akuades, H2SO4, NaOH, HCl dan pelarut heksana. Analisis asam lemak menggunakan bahan-bahan seperti akuades, heksana, metanol, kloroform (CHCl3), NaOH, NaCl, dan BF3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator (analisis kadar air), tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung soxhlet, pemanas (analisis kadar lemak), tabung Kjeldahl, destilator, buret (analisis kadar protein kasar), tanur dan desikator (analisis kadar abu). Analisis asam lemak menggunakan homogenizer, sentrifuse, evaporator, erlenmeyer, corong pisah dan botol vial, serta kromatografi gas (gas chromatography) Shimadzu GC 9A. Metodologi penelitian yaitu pertama-tama dilakukan pengukuran panjang, berat, dan rendemen ikan gurami. Setelah itu dilakukan analisis proksimat analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak (AOAC 1995) dan analisis asam lemak ikan gurami. Metode analisis asam lemak yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. Hasil analisis akan terekam dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Ikan gurami yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam ikan budidaya di desa Cibereum Petir, Bogor. Budidaya ikan gurami yang dilakukan di kolam tersebut adalah usaha pembesaran. Pakan yang digunakan yaitu pelet dan pakan alami daun talas. Umur panen ikan dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5-3 tahun (sampel A), berumur 1,5-2 tahun (sampel B) dan yang berumur 7 bulan-1 tahun (sampel C). Umur panen, panjang, dan berat ikan gurami dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang dan berat ikan gurami semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur panen. Pertumbuhan ikan gurami tergolong sangat lambat jika dibandingkan ikan budidaya lainnya, ikan gurami baru dapat mencapai ukuran konsumsi 500 gram/ekor setelah memerlukan waktu pemeliharaan lebih dari satu tahun (Sitanggang dan Sarwono 2007). Rendemen ikan gurami A, B, dan C berupa daging, sirip, jeroan, tulang, insang dan sisik dapat dilihat pada Gambar 1, 2, dan 3.

Page 57: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

357

Tabel 1. Umur panen, panjang, dan berat ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Ikan gurami Umur panen Panjang rata-rata

(cm) Berat rata-rata (gram)

A 2,5-3 tahun 37 1000

B 1,5-2 tahun 33 650

C 7 bulan-1 tahun 28 350

daging

52%

tulang

30%

sisik

4%

sirip

5%

insang

1%Jeroan

8%

Gambar 1. Persentase rendemen ikan gurami A

daging

49%

tulang

34%

sisik

4%

sirip

3%

insang

2%Jeroan

8%

Gambar 2. Persentase rendemen ikan gurami B

tulang

38%

daging

45%

sisik

4%

sirip

5%

insang

2%

Jeroan

6%

Gambar 3. Persentase rendemen ikan gurami C

Rendemen yang paling banyak dimiliki ikan gurami, yaitu rendemen daging dan tulang. Rendemen daging berturut-turut untuk ikan A, B, dan C, yaitu 52 %, 49 %, dan 45 %. Rendemen daging semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur panen. Rendemen tulang berturut-turut untuk ikan A, B, dan C, yaitu 30 %, 34 %, dan 38 %. Rendemen tulang semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur panen. Rendemen jeroan, insang, sirip, dan sisik ikan A, B, dan C memiliki nilai yang tidak berbeda jauh, yaitu jeroan berkisar antara 6-8%, insang 1-2%, sirip 3-5%, dan sisik sekitar 4%. Rendemen ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan tersebut. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis kelamin, umur, faktor keturunan, dan ketersediaan makanan (Effendi 1997 dan Kayama 1999 diacu dalam Nurjanah et al. 2007).

Komposisi Kimia Ikan Gurami Komposisi kimia ikan meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak Komposisi kimia yang terkandung dalam ikan berbeda-beda dan menunjukkan seberapa besar kuantitas dan kualitas ikan tersebut memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan manusia. Komposisi kimia ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia ikan gurami (Osphronemus gouramy) pada berbagai umur panen

Komposisi kimia (%) Ikan A Ikan B Ikan C

Kadar air 72,96 ± 0,05 74,62 ± 0,08 75,48 ± 0,28

Kadar abu 0,90 ± 0,01 0,95 ± 0,05 1,03 ± 0,08

Kadar protein 20,67 ± 0,28 18,93 ± 0,01 18,71 ± 0,13

Kadar lemak 2,79 ± 0,04 2,43 ± 0,08 2,21 ± 0,42 Keterangan : A = umur panen 2,5-3 tahun C = umur panen 7 bulan-1 tahun B = umur penen 1,5-2 tahun

Page 58: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

358

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air dan abu ikan gurami semakin menurun seiring dengan meningkatnya ukuran ikan, sedangkan kadar protein dan lemak semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur panen. Ikan gurami tergolong jenis ikan berlemak rendah (low fat fish) karena memiliki kandungan lemak 2-4 % (Ackman 1994). Keragaman komposisi kimia dapat disebabkan oleh faktor makanan, spesies, jenis kelamin, dan umur ikan (Kusumo 1997). Kadar air Air merupakan komponen utama penyusun tubuh ikan. Kandungan air pada ikan terdapat dalam dua bentuk yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas yang terdapat dalam ruang antar sel dan plasma, dapat melarutkan berbagai vitamin, garam mineral dan senyawa-senyawa nitrogen tertentu. Air terikat terdapat dalam beberapa macam yaitu terikat secara kimiawi, terikat secara fisikokimia, dan terikat oleh daya kapiler. Kadar air ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dilihat pada Gambar 7.

72,96

74,62

75,48

71.5

72

72.5

73

73.5

74

74.5

75

75.5

76

ikan A ikan B ikan C

Umur panen

Kadar air (%)

Gambar 7. Kadar air ikan gurami pada berbagai umur panen

Gambar 7 menunjukkan bahwa kandungan air ikan gurami berkisar antara 72,96-75,48 %. Kandungan air tertinggi pada ikan C, yaitu 75,48 % dan paling rendah terdapat pada ikan A, yaitu 72,96 %. Semakin kecil ukuran ikan maka kandungan air cenderung semakin tinggi. Kadar air berbanding terbalik dengan kandungan protein, artinya semakin meningkatnya kandungan protein maka kandungan air semakin rendah. Senyawa protein yang terdapat pada suatu bahan mengandung air konstitusi yang terikat secara kimiawi. Air konstitusi adalah air yang merupakan bagian dari molekul senyawa padatan tertentu dan bukan dalam bentuk H2O (Syarief et al. 1993).

Kadar abu Komposisi bahan makanan sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air,

sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yaitu zat anorganik atau disebut juga kadar abu. Mineral yang ditemukan dalam tubuh makhluk hidup dan dalam bahan pangan tergabung dalam persenyawaan anorganik, dan ada pula yang ditemukan dalam bentuk unsur (Harper et al. 1998). Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi, baik macam maupun jumlahnya. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Sudarmadji dan Suhardi 1989). Kadar abu pada ikan gurami dengan umur panen yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8.

Kadar abu ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara 0,90-1,03 %. Kadar abu tertinggi terdapat pada ikan C dengan nilai 1,03 % dan kadar abu terkecil terdapat pada ikan A dan ikan B dengan nilai 0,90 %. Kandungan abu yang tinggi pada ikan C disebabkan karena rendemen tulang ikan C yang cukup besar, ikan C merupakan ikan yang masih dalam tahap pertumbuhan, sehingga banyak terdapat komponen-komponen mineral penyusun tulang dan meningkatkan kandungan abu/mineral ikan tersebut. Kadar mineral tulang mencapai puncaknya di awal masa dewasa, kemudian secara perlahan menurun bersama umur (Linder 1992).

Abu atau mineral dan unsur lainnya dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi utamanya di dalam tubuh ikan, yaitu (a) fungsi struktural, contohnya kalsium, fosfor, dan magnesium (pembentukan tulang dan gigi); (b) fungsi pernapasan, contohnya

Page 59: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

359

besi, copper, dan kobalt (pembentukan hemoglobin); (c) metabolisme (fungsi pada sel dan tubuh). Pada fungsi metabolisme, unsur yang berperan adalah natrium, kalium, kalsium dan klorin sebagai pengatur keseimbangan sistem osmosis dan sel turgor (Lagler et al. 1962).

0,90

0,95

1,03

0.8

0.85

0.9

0.95

1

1.05

ikan A ikan B ikan C

Umur panen

Kadar abu (%)

Gambar 8. Kadar abu ikan gurami pada berbagai umur panen

Manusia memerlukan berbagai jenis mineral untuk metabolisme terutama

sebagai kofaktor dalam aktivitas-aktivitas enzim. Keseimbangan ion-ion mineral di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan pekerjaan enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan otot dan saraf terhadap rangsangan (Almatsier 2000).

Kadar protein Ikan pada umumnya memiliki kadar protein yang tinggi dengan protein yang

mudah untuk dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh. Komposisi asam-asam amino dalam bahan makanan hewani sesuai dengan komposisi jaringan di dalam tubuh manusia itu sendiri. Kadar protein ikan gurami yang cukup tinggi memeberikan peluang pemanfaatan ikan tersebut sebagai sumber protein bagi konsumsi sehari-hari. Kadar protein ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dilihat pada Gambar 9.

20,67

18,9318,71

17.5

18

18.5

19

19.5

20

20.5

21

ikan A ikan B ikan C

Umur panen

Kadar protein (%)

Gambar 9. Kadar protein ikan gurami pada berbagai umur panen

Gambar 9 menunjukkan bahwa kandungan protein berkisar antara sekitar 18,71-20,67 %. Kadar protein tertinggi terdapat pada ikan A, yaitu sebesar 20,67% dan yang terendah pada ikan C, yaitu 18,71%. Kandungan protein ikan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran ikan (Lehninger 1990). Semakin tinggi perubahan bobot tubuh dalam kurun waktu tertentu, maka laju pertumbuhan akan semakin tinggi. Laju pertumbuhan ini erat kaitannya dengan bobot tubuh dan bobot tubuh erat kaitannya dengan protein. Hal tersebut dapat dimengerti karena hampir 45-75 % berat kering tubuh ikan terdiri dari protein (Watanabe 1988 diacu dalam Suprayudi et al. 1994).

Protein dibutuhkan oleh manusia karena asam amino yang bertindak sebagai penyusunnya merupakan prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein dalam tubuh manusia memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat gizi yang lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2000).

Kadar lemak Lemak yang terkandung dalam ikan sangat mudah untuk dicerna langsung oleh

tubuh, sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan untuk

Page 60: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

360

pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Kadar lemak dari ikan gurami dengan berbagai umur panen dapat dilihat pada Gambar 10.

2,79

2,432,21

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

ikan A ikan B ikan C

Umur panen

Kadar lemak (%)

Gambar 10. Kadar lemak ikan gurami pada berbagai umur panen

Kadar lemak ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara 2,2-2,79 %. Berdasarkan banyaknya lemak yang dikandung ikan gurami tersebut, maka ikan gurami tergolong ke dalam jenis ikan berlemak rendah (low fat fish) (Ackman 1994). Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan lemak tertinggi terdapat pada ikan A, yaitu sebesar 2,79 % dan terendah pada ikan C, yaitu 2,21 %. Pada ukuran ikan yang lebih besar, kandungan lemak ikan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena pada ikan berukuran kecil atau dalam masa pertumbuhan, pemanfaatan pakan yang digunakan untuk energi jauh lebih besar daripada jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh (Suprayudi et al. 1994).

Komposisi Asam Lemak Ikan Gurami Analisis asam lemak menunjukkan bahwa ikan gurami pada berbagai umur panen mengandung 11 jenis asam lemak yang tergolong dalam asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid / SAFA), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid / MUFA), dan asam lemak tak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acid / PUFA). Komposisi asam lemak ikan gurami dapat dilihat pada Gambar 4, 5, dan 6.

Gambar 4 menunjukkan bahwa asam lemak jenuh (SAFA) ikan gurami A, B, dan C terdiri dari miristat (C14:0), palmitat (C16:0), margarat (C17:0), stearat (C18:0), dan behenat (C22:0). Asam lemak jenuh yang paling mendominasi adalah palmitat (C16:0), berkisar antara 24,31-26,78 %; dan stearat (C18:0), berkisar antara 4,66-7,92 % dari total asam lemak. Menurut Osman et al. (2007), palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling banyak terdapat dalam minyak ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ackman (1994), yaitu komposisi asam lemak ikan air tawar mengandung kadar C16 dan C18 yang tinggi sedangkan C20 dan C22 rendah.

24,46

2,561,75

4,66

0,59

26,78

2,402,90

7,92

0,59

24,31

2,533,23

7,26

0,380

5

10

15

20

25

30

miristat palmitat margarat stearat behenat

Asam lemak jenuh

Kadar asam lemak (%)

Ikan A

Ikan B

Ikan C

Gambar 4. Komposisi asam lemak jenuh ikan gurami pada berbagai umur panen

0,461,18

35,21

3,35 1,661,23

30,23

3,90

0,680,89

33,04

3,63

0

5

10

15

20

25

30

35

40

palmitoleat oleat gadoleat erukat

Asam lemak tak jenuh tunggal

Kadar asam lemak (%)

Ikan A

Ikan B

Ikan C

Gambar 5. Komposisi asam lemak tak jenuh tunggal ikan gurami pada berbagai

umur panen

Page 61: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

361

Gambar 5 menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) ikan gurami A, B, dan C terdiri dari palmitoleat (C16:1), oleat (C18:1), gadoleat (C20:1), dan erukat (C22:0). Jenis asam lemak tak jenuh tunggal didominasi oleh oleat (C18:1), yaitu 30,23-35,21 %; dan palmitoleat (C16:1), yaitu 3,35-3,90 % dari total asam lemak ikan. Kandungan MUFA, khususnya oleat (C18:1 n-9) ikan gurami yang relatif tinggi ini sesuai dengan pernyataan Ackman (1994), yaitu komposisi asam lemak ikan air tawar mengandung kadar C16 dan C18 yang tinggi sedangkan C20 dan C22 rendah.

Asam lemak tak jenuh jamak didominasi oleh linoleat (C18:2, n-6), yaitu berkisar antara 17,81-22,80 %. Sedangkan untuk kandungan linolenat (C18:3, n-3) hanya 1,26-5,39 % dari total asam lemak. Kandungan asam lemak tak jenuh jamak yang dikandung ikan gurami lebih besar apabila dibandingkan dengan beberapa jenis ikan air tawar lainnya seperti ikan mas, patin, dan tilapia. Berdasarkan penelitian Rahman et al. (1994), kandungan linoleat dan linolenat ikan mas sebesar 15,6 % dan 0,12 %, patin 9,97 % dan 0,94 %, dan tilapia mengandung linoleat sebesar 5,09 %, namun tidak mengandung linolenat. Menurut Osman et al. (2007), ikan air tawar memiliki kandungan asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang lebih rendah daripada ikan air laut. Perbedaaan tersebut dapat disebabkan karena fakta bahwa ikan air tawar lebih banyak mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan sedangkan ikan air laut mengkonsumsi zooplankton yang kaya akan PUFA.

5,39

20,39

4,57

17,81

1,26

22,80

0

5

10

15

20

25

linoleat linolenat

Asam lemak tak jenuh jamak

Kadar asam lemak (%)

Ikan A

Ikan B

Ikan C

Gambar 6. Komposisi asam lemak tak jenuh jamak ikan gurami pada berbagai

umur panen

Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh pada ikan gurami seperti oleat dan linoleat sangat berguna bagi tubuh manusia apabila mengonsumsinya karena asam lemak tak jenuh yang berasal dari ikan memiliki berbagai fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh, asam lemak esensial digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural dari membran sel dan untuk membuat bahan-bahan seperti hormon (hormonlike) yang disebut eikosanoid. Eikosanoid membantu mengatur tekanan darah, proses pembekuan darah, lemak dalam darah dan respon imun terhadap luka dan infeksi (Whitney et al. 1998 diacu dalam Thoha 2004). Asam lemak omega 3 merupakan kelompok Long Chain Polyunsaturated Fatty Acid (LCPUFA) mempunyai peran penting dalam perkembangan otak dan fungsi penglihatan (Hornstra 2000 diacu dalam Thoha 2004). Oleh karena itu, defisiensi n-3 dapat beresiko menderita penyakit pembuluh darah dan jantung (Muchtadi et al. 1993).

KESIMPULAN DAN SARAN

Ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5-3 tahun (ikan A) memiliki bobot rata-rata 1000 g dengan panjang total 37 cm, umur panen 1,5-2 tahun (ikan B) bobot rata-rata 650 g dan panjang total 33 cm, serta umur 7 bulan-1 tahun (ikan C) bobot rata-rata 350 g dengan panjang total 28 cm. Rendemen daging meningkat seiring dengan bertambahnya umur panen, sedangkan rendemen tulang menurun seiring dengan bertambahnya umur panen. Kadar air dan abu ikan menurun seiring dengan bertambahnya umur panen,

Page 62: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

362

sedangkan kadar protein dan lemak meningkat seiring dengan bertambahnya umur panen.

Asam lemak ikan gurami meliputi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh jamak. Asam lemak jenuh terdiri dari miristat, palmitat,margarat, stearat, dan behenat, yang paling mendominasi adalah palmitat pada ikan B yaitu 26,78 %. Asam lemak tak jenuh tunggal terdiri dari palmitoleat, oleat, gadoleat, dan erukat, didominasi oleh oleat (C18:1) pada ikan A, yaitu 35,21 %. Asam lemak tak jenuh jamak terdiri dari linoleat dan linolenat, didominasi oleh linoleat (C18:2, n-6), pada ikan C yaitu 22,80 %.

Berdasarkan penelitian ini, disarankan untuk dilakukan penelitian mengenai kandungan gizi terutama asam lemak dari organ tubuh ikan yang biasa dimakan, yaitu telur, otak, dan mata baik ikan air tawar maupun ikan air laut. DAFTAR PUSTAKA

Ackman RG. 1994. Seafood lipids. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editors. Seafoods: Chemistry, Processing Technology & Quality. London: Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall.

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Arlington, Virginia, USA

Ditjen Perikanan Budidaya. 2007. Data produksi gurame. http://www.dkp.go.id [26 Februari 2008].

Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan. http://www.litbang.deptan.go.id [26 Februari 2008].

Kusumo WA. 1997. Keragaan asam lemak beberapa ikan pelagis dan demersal yang didaratkan di Palabuhanratu, Jawa Barat serta Muara Angke, Jakarta [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi D, Palupi NS, dan Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Bogor: Pustaka Sinar Harapan, Pusat Antar Universitas, IPB.

Nurjanah. 2002. Omega-3 dan kesehatan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana. Program Studi DAS, Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net [16 Juli 2008].

Nurjanah, Nurhayati T, dan Zulaikha F. 2007. Karakteristik mutu ikan bandeng (Chanos chanos) di tambak Sambiroto Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dalam Prosiding Seminar Internasional Perikanan; Jakarta, 11-12 Desember 2007.

Osman F, Jaswir I, Khaza’ai H, Hashim R. 2007. Fatty acid profiles of fin fish in Langkawi Island, Malaysia. J. Oleo Science 56:107-113.

Rahman SA, Huah TS, Hassan O, Daud NM. 1994. Fatty acid composition of some Malaysian freshwater fish. Food Chemistry 54:45-49.

Sitanggang M, Sarwono B. 2007. Budi Daya Gurami. Ed ke-28. Jakarta: Penebar Swadaya.

Thoha. 2004. Asam lemak esensial untuk optimalisasi fungsi otak balita [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Program Studi Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Page 63: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

363

KOMPOSISI KIMIA, ASAM LEMAK, DAN KOLESTEROL (Harpiosquilla raphidea) AKIBAT PEREBUSAN

Nurjanah1, Dewi Mariana Manurung1, Tati Nurhayati1, dan Asadatun Abdullah1

ABSTRAK

Udang merupakan makanan yang memiliki cita rasa yang khas dan lezat serta banyak diminati oleh masyarakat. Kandungan gizi yang khas pada udang salah satunya adalah asam lemak tak jenuh majemuk yaitu Omega-3 yaitu eucosapentnoic aciD (EPA), docosahexanoic acid (DHA), dan Omega-9 yaitu oleat, serta komponen utama kolesterol pada udang adalah high density lipoprotein (HDL). Salah satu jenis udang yang belum dikenal masyarakat, namun bernilai ekonomis penting dan diduga mengandung nilai gizi yang tinggi adalah udang ronggeng.

Penelitian ini bertujuan mengkaji karakteristik udang ronggeng, yaitu ukuran, rendemen, cita rasa, komposisi kimia dan asam lemak serta kolesterol daging udang ronggeng. Udang ronggeng yang digunakan terdiri dari udang ronggeng segar dan udang ronggeng yang diberi perlakuan perebusan. Metode penelitian diawali dengan mengukur panjang bagian tubuh, dan rendemen udang ronggeng. Tahap selanjutnya adalah menghitung komposisi kimia (kadar air, abu, lemak, dan protein), asam lemak, dan kolesterol udang ronggeng.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen daging, cangkang, dan jeroan udang ronggeng segar berturut-turut 41,27%, 54,15%, dan 4,59%, sedangkan rendemen udang rebus berturut-turut yaitu 20,08%, 45,32%, 1,69% dan berat yang hilang (lost) sebesar 32,90%. Komposisi kimia yang meliputi kadar air, abu, lemak, dan protein daging udang ronggeng segar berturut-turut 76,55%; 5,41%; 6,57%; dan 87,09%; udang rebus, yaitu 74,09%; 5,37%; 86,33%; dan 3,2%. Asam lemak jenuh daging udang ronggeng yaitu miristat, palmitat, dan stearat. Total asam lemak jenuh daging udang ronggeng segar, yaitu 33,90% dan udang rebus yaitu 30,58% dari total asam lemak udang. Total asam lemak tak jenuh tunggal terdiri dari oleat yaitu pada daging udang ronggeng segar 20,61% dan udang rebus, yaitu 19,26%. Asam lemak tak jenuh majemuk udang ronggeng, adalah linoleat dan linolenat yaitu udang segar 22,66% dan udang rebus yaitu, 14,50%. Total asam lemak tak jenuh mejemuk berantai panjang EPA dan DHA udang segar yaitu, 8,7% dan udang rebus yaitu, 8,12%. Total kolesterol udang ronggeng segar yaitu 115,33% dan udang rebus 86,61%.

Kata kunci: Asam lemak, kolesterol, udang ronggeng, perebusan

PENDAHULUAN Sumberdaya perikanan Indonesia memiliki potensi yang sangat baik untuk

berkontribusi di dalam pemenuhan gizi masyarakat, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Salah satu komoditas perikanan yang bernilai gizi adalah udang. Udang merupakan makanan yang memiliki cita rasa yang khas dan lezat serta banyak diminati oleh masyarakat.. Kandungan gizi yang khas pada udang salah satunya adalah asam lemak tak jenuh majemuk yaitu Omega-3 yaitu EPA dan DHA Omega-9 yaitu oleat. Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh, asam lemak esensial seperti linoleat (Omega-6) dan linolenat (Omega-3) digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural dari membran sel, serta mempunyai peran penting dalam perkembangan otak (Duthie dan Barlow 1992 diacu dalam Nurjanah 2002). Selain itu, komponen utama kolesterol pada udang adalah HDL yang berfungsi mengurangi LDL dalam tubuh sehingga mampu mencegah penyakit arterosklerosis (Felix dan Velazquez 2002).

Udang ronggeng merupakan salah satu jenis komoditas air laut yang sudah lama dikenal dan dikonsumsi masyarakat karena rasa dagingnya yang sangat lezat sehingga memiliki nilai ekonomis tinggi. Udang ronggeng tergolong komoditas ekspor bagi negara Jepang, Singapura, dan China. Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat udang ronggeng merupakan hasil perairan Indonesia dan sangat disukai oleh masyarakat, namun belum ada informasi yang jelas mengenai jenis, komposisi

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 64: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

364

asam lemak dan kandungan kolesterol udang ronggeng, sehingga dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah informasi yang berharga dalam pemenuhan gizi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dari udang ronggeng yang meliputi asal sampel, ukuran tubuh (panjang dan berat), dan rendemen, serta untuk mengetahui pengaruh perebusan terhadap komposisi kimia (proksimat, profil asam lemak serta kandungan kolesterol udang ronggeng.

METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2009, pengambilan

sampel dilakukan di pasar ikan tradisional Muare Angke Jakarta Utara. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan analisis asam lemak dan kolesterol dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Cimanggu.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu udang ronggeng, bahan-bahan untuk analisis proksimat adalah akuades, H2SO4, NaOH, HCl, H3BO3, pelarut heksana, dan katalis selenium. Analisis asam lemak menggunakan bahan-bahan seperti akuades, heksana, metanol, kloroform (CHCl3), NaOH, NaCl, dan BF3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator (kadar air), kompor listrik, tanur (kadar abu), gelas erlenmeyer, kapas, kertas saring, tabung soxhlet, pemanas (kadar lemak), tabung Kjeldahl, Kjeltech, destilator, buret, erlenmeyer, pipet volumetrik, labu ukur (kadar protein). Analisis asam lemak dan kolesterol menggunakan homogenizer, sentrifuse, evaporator, erlenmeyer, corong pisah dan botol vial, serta kromatografi gas.

Metodologi penelitian yaitu melakukan pengukuran panjang total, panjang bagian tubuh, berat total, dan rendemen udang ronggeng. Setelah itu dilakukan analisis proksimat yaitu, analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak (AOAC 1995). Tahap salanjutnya adalah melakukan analisis asam lemak, dan kandungan kolesterol udang ronggeng (AACC 1983) dengan identifikasi kromatografi gas Shimadzu GC 9-A (AACC 1983).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Udang Ronggeng Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pasar ikan tradisional Muare Angke Jakarta Utara yang telah memenuhi panjang rata-rata tangkapan yaitu dengan panjang total 30,08 cm, panjang baku 24,63 cm dan bobot rata-rata 206,08 g. Rendemen udang ronggeng segar dan rebus meliputi berat daging, cangkang dan jeroan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Rendemen udang ronggeng segar berdasarkan Gambar 1 adalah 41,27% (daging), 54,15% (cangkang) dan 4,59% (jeroan). Rendemen udang dipengaruhi oleh pola pertumbuhan udang tersebut. Pertumbuhan udang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis kelamin, umur, faktor keturunan, dan ketersediaan makanan (Effendi 1997 dan Kayama 1999 diacu dalam Nurjanah et al. 2007). Gambar 2 menunjukkan bahwa rendemen udang ronggeng setelah perebusan adalah 20,08% (daging), 45,32% (cangkang) dan 1,69% (jeroan). Perlakuan perebusan menyebabkan terjadinya penyusutan atau kehilangan berat (lost) sebesar 32,90%. Selama proses perebusan berlangsung, terjadi pengurangan kadar air pada daging udang ronggeng. Bersamaan dengan keluarnya air dari udang, komponen zat gizi lain juga berkurang yaitu protein, lemak, vitamin dan mineral. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai rendemen pada daging, cangkang dan jeroan pada udang ronggeng rebus. Faktor-faktor yang menyebabkan udang kehilangan berat selama proses pemasakan (perebusan) berlangsung adalah lama perebusan, suhu yang diterapkan, luas permukaan udang yang dimasak, jenis udang, penambahan garam dan tingkat kerusakan fisik pada daging udang sebelum udang dimasak (Aitken dan Connel 1979)

Page 65: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

365

Gambar 1. Persentase rendemen udang segar

Gambar 2. Persentase rendemen udang rebus

Komposisi Kimia Udang Ronggeng Komposisi kimia udang meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak. Komposisi kimia yang terkandung dalam udang berbeda-beda dan menunjukkan seberapa besar kuantitas dan kualitas udang tersebut memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan manusia. Komposisi kimia udang ronggeng segar dan rebus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia daging udang ronggeng segar dan rebus

Komposisi kimia rata-rata (%)

Daging udang ronggeng segar

Daging udang ronggeng rebus

Kadar air (bb) 76,55 74,09 Kadar abu (bk) 5,41 5,37 Kadar protein (bk) 20,42 22,37 Kadar lemak (bk) 1,53 0,83

Keterangan : bb = berat basah ; bk = berat kering

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan perebusan menyebabkan terjadinya penurunan terhadap komposisi kimia udang ronggeng. Berdasarkan penelitian ini, penurunan komposisi kimia disebabkan oleh adanya proses hidrolisis selama pemanasan, sehingga protein, meneral, dan lemak terbawa keluar dari daging udang bersama drip (Harikedua 1992).

Selain itu, komposisi kimia daging udang dipengaruhi oleh faktor endogenus (internal) dan faktor eksogenus (eksternal). Faktor internal yang mempengaruhi komposisi kimia udang antara lain faktor genetik, spesies udang, jenis kelamin, ukuran, golongan udang, tingkat kematangan gonad (TKG), dan sifat warisan, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi kandungan gizi udang yaitu suhu, salinitas, habitat, musim, dan jenis komposisi dan ketersediaan makanan (Gokce et al. 2004).

Komposisi Asam Lemak Udang Rongeng Analisis asam lemak menunjukkan bahwa udang ronggeng baik segar maupun rebus mengandung 10 jenis asam lemak yang tergolong dalam asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid / SAFA), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid / MUFA), dan asam lemak tak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acid / PUFA), dan asam lemak tak jenuh majemuk berantai panjang (long chain polyunsaturated fatty acid / LCPUFA). Komposisi asam lemak udang ronggeng dapat dilihat pada Gambar 3, 4, dan 5.

Gambar 3 menunjukkan bahwa asam lemak jenuh yang paling mendominasi adalah palmitat (C16:0), yaitu 29,23%, dan menyusut pada udang rebus yaitu 24,83%

Page 66: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

366

dari total asam lemak. Menurut Osman et al. (2007), palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan pada bahan pangan, yaitu 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang ada. Asam kaprat dan laurat dalam kondisi segar tidak terdeteksi kandungan asam lemaknya. Hal ini disebabkan oleh tidak sempurnanya ekstraksi dan hidrolisis asam lemak daging udang ronggeng. Selain itu juga dipengaruhi oleh limit deteksi kromagrafi gas yang digunakan yaitu < 10-12 gram zat organik dari sampel yang direspon oleh detector FID (flame ionization detector) (Fardiaz 1989).

0 0,86 0 0,46

3,32 3,18

29,23

24,83

1,35 1,25

0

5

10

15

20

25

30

kaprat laurat miristat palmitat stearat

Gambar 3. Komposisi asam lemak jenuh rata-rata gading udang

ronggeng segar dan rebus, segar rebus

20,61%19,26%

14,97%

8,9% 7,69%

5,6%

0

5

10

15

20

25

oleat linoleat linolenat

Gambar 4. Komposisi asam lemak tidak jenuh rata-rata daging udang

ronggeng, segar rebus

Gambar 4 menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh tunggal yaitu oleat (C18:1) dan asam lemak tak jenuh majemuk (PUFA) yaitu linoleat (C18:2, n-6), dan linolenat (C18:3, n-3) . Jenis asam lemak tak jenuh tunggal didominasi oleh oleat (C18:1), yaitu 20,61% dari total asam lemak udang ronggeng. Kandungan PUFA atau asam lemak tak jenuh majemuk didominasi oleh linoleat (C18:2, n-6), yaitu 14,97% dan menurun setelah perebusan yaitu 8,90%, sedangkan kandungan linolenat (C18:3, n-3) adalah 7,69% dari total asam lemak dan menyusut setelah perebusan yaitu 5,60%. Proses pemanasan dengan perebusan dapat menyebabkan lipida mengalami hidrolisis dan menghasilkan asam-asam lemak bebas. Proses pemasakan udang maupun ikan akan menghasilkan adanya senyawa-senyawa karbonil. Senyawa-senyawa ini berasal dari pembentukan dan dekomposisi termal produk-produk lipida yang teroksidasi (Gladyshev et al. 2006). Pada penelitian ini, perubahan-perubahan yang terjadi pada asam lemak udang ronggeng akibat faktor pemasakan dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk sampel, suhu dan lamanya perebusan, serta kondisi post mortem udang sebelum direbus (Harikedua 1992). Perebusan dengan suhu 100 oC selama +10 menit sangat baik diterapkan karena penyusutan gizi yang ditimbulkan sangat kecil.

Gambar 5 menunjukkan, asam lemak tak jenuh majemuk berantai panjang (PUFA) terdiri dari EPA dan DHA dalam kondisi segar, berturut-turut 7,49% dan 1,25%, dan terjadi penurunan kadar EPA dan DHA setelah diberi perlakuan perebusan yaitu 7,17% dan 0,95%. Proses yang terjadi saat udang direbus adalah pemanasan dengan air mendidih yang kontak langsung dengan bahan baku udang ronggeng. Perubahan akibat pemanasan umumnya terjadi pada ikatan rangkap dari asam lemak pada gliserida. Hal ini menyebabkan penurunan kandungan EPA dan DHA pada daging udang ronggeng yang diberi perlakuan perebusan (Gladyshev et al. 2006). Menurut Morris et al. (2004), bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh jamak pada udang mudah dioksidasi dan laju oksidasi akan meningkat sajalan dengan lamanya pemanasan apabila tidak dihambat dengan penggunaan antioksidan.

Page 67: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

367

7,49% 7,17%

1,25%0,95%

0

1

2

3

4

5

6

7

8

EPA DHA

Gambar 5. Komposisi asam lemak EPA dan DHA udang ronggeng

segar dan rebus, segar rebus

Kandungan Kolesterol Udang Rongeng Analisis kolesterol dilakukan untuk mengetahui kandungan kolesterol pada udang ronggeng. Krustase merupakan komoditas perairan yang kaya akan PUFA (n-3) yaitu rendah asam lemak jenuh dan tinggi kandungan kolesterol (Sampaio et al. 2006).

115,33 mg/100 g

86,61 mg/100 g

0

20

40

60

80

100

120

140

udang segar udang rebus

Gambar 6. Kandungan kolesterol pada udang ronggeng segar dan rebus

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa kadar kolesterol rata-rata udang ronggeng adalah 115,33 mg/100 g (bb) dan menurun setelah perebusan yaitu 86,61 mg/100 g (bb). Selama proses perebusan atau pengolahan, terjadi perubahan terhadap komponen lemak, yaitu asam lemak dan kadar kolesterol pada udang ronggeng melalui proses hidrolisis Aitken dan Connel (1979). Hal inilah yang menyebabkan kandungan kolesterol udang yang telah dimasak menurun. Proses perebusan udang (water in boiling) merupakan cara pengolahan yang baik yaitu bagi produk (pangan) karena dapat mereduksi komponen kolesterol oksida (COPs), khususnya koleterol bebas dan komponen 7-ketokolesterol (7-keto) sehingga tidak berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsi udang rebus (Sampaio et al. 2006). KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pasar ikan Muare Angke Jakarta Utara, dan merupakan hasil tangkapan nelayan yang berasal dari kepulauan Seribu. Udang ronggeng yang ditangkap telah memenuhi panjang rata-rata tangkapan yaitu dengan panjang total 30,08 cm, panjang baku 24,63 cm dan bobot rata-rata 206,08 gram.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perebusan menyebabkan penurunan rendemen daging, cangkang, dan jeroan udang ronggeng yaitu 32,90%. Analisis proksimat menunjukkan terjadinya penurunan terhadap kadar air sebesar 2,46%, abu 0,04%, lemak 3,37%, dan protein 0,76% setelah perebusan. Komposisi asam lemak dan kolesterol secara keseluruhan mengalami penurunan setelah perebusan. Asam lemak jenuh tertinggi adalah palmitat dan mengalami penurunan sebesar 4,4%, sedangkan asam lemak tak jenuh tunggal didominasi oleh asam oleat, dan penurunan asam lemak tak jenuh majemuk paling tinggi adalah linoleat yaitu, 6,07%. Asam lemak tak jenuh majemuk rantai panjang didominasi oleh EPA yaitu 7,49% dan mengalami penurunan setelah perebusan sebesar 0,33%. Selain

Page 68: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

368

itu, perebusan menyebabkan penurunan kadar kolesterol udang ronggeng sebesar 28,72%.

Saran Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi kimia, asam lemak dan kolesterol daging udang ronggeng dengan perlakuan pengolahan pangan selain perebusan, yaitu penggorengan, pemanggangan, dan pengukusan, serta juga perlu dilakukan penelitian mengenai analisis komposisi kolesterol (HDL, VHDL, dan LDL) sehingga dapat dibuktikan bahwa daging udang ronggeng memiliki komponen utama HDL tertinggi yang berfungsi menurunkan LDL dalam darah sehingga udang ronggeng aman dikonsumsi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan cangkang udang ronggeng dalam berbagai bidang, yaitu kitin kitosan, dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA

[AACC] American Association of Cereal Chemist. 1983. Approved Methods of The American Association of Cereal Chemist. Ed ke-8. USA: American Association of Cereal Chemist.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Aitken A dan Connel. 1979. Fish, In: Effect of Heating on Foodstuff, Prietsley. Ed. Applied Science Publisher. Ltd. London.

Fardiaz D. 1989. Kromatografi Gas dalam Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Felix M L, Velazquez M. 2002. Current status of lipid nutrition white shrimp, Litopenaeus vannamei. Food Chem. 96:36-45.

Gladyshev M, Sushchik N N, Gubanenko G, Demirchieva S, Kalachova G. 2006. Effect of way of cooking on content of essestial polyunsaturated fatty acid in muscle tissue of humback salmon (Oncorhynchus gorbuscha). Food Chem. 96:446-451.

Gokce M A, Tazbozan 0, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Seasonal variation in pro ximate anf fatty acid of female common sole (Solea solea). Food Chem. 88:419-423.

Harikedua JW. 1992. Pengaruh perebusan terhadap kompoen zat gizi ikan layang (Decapterus ruselli) khususnya asam lemak tidak jenuh Omega-3 [tesis]. Bogor : Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Morris et al. 2004. Effect of processing on nutrient content of foods. Can J Art. Vol.37 No. 3

Nurjanah. 2002. Omega-3 dan kesehatan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana. Program Studi DAS, Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net [20 Desember 2008].

Osman F, Jaswir I, Khaza’ai H, Hashim R. 2007. Fatty acid profiles of fin fish in Langkawi Island, Malaysia. J. Oleo Science 56:107-113.

Sampaio GR, Bastos D, Soares R, Queiroz Y, Torres E. 2006. Fatty acid and cholesterol oxidation in salted and dried shrimp. Food Chem. 95:344-351.

Page 69: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

369

PERUBAHAN KANDUNGAN ANTIOKSIDAN ANGGUR LAUT (Caulerpa racemosa) AKIBAT PENGOLAHAN

Ruddy Suwandi1 dan Komariah Tampubolon1, Nia Dwihandita1

ABSTRAK

Permasalahan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh radikal bebas dapat diatasi dengan mengkonsumsi antioksidan. Salah satu sumber antioksidan alami yang telah diteliti adalah anggur laut (Caulerpa racemosa). Anggur laut (Caulerpa racemosa) merupakan salah satu spesies yang belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang usaha pemanfaatan anggur laut dengan beberapa jenis pengolahan, seperti: pengeringan, pembuatan manisan, dan pembuatan acar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara pengolahan produk anggur laut dan mempelajari pengaruh cara pengolahan terhadap kandungan antioksidan produk anggur laut.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi persiapan dan pengolahan anggur laut, analisis kadar air, nilai pH, kadar gula total manisan, TPC, total kapang-khamir, uji organoleptik, ekstraksi dengan etil asetat serta uji antioksidan dengan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Anggur laut diambil dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kadar air rata-rata dari anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 93,48%; 19,48%; 81,91%; dan 84,57%. Nilai pH rata-rata dari anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 7,20; 6,72; 7,18; dan 6,78. Kadar gula total rata-rata manisan anggur laut adalah 78,39 mg/g. Nilai TPC anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 1,0x10

4koloni/g;

9,9x102koloni/g; 2,0x10

6koloni/g; dan 3,1x10

3koloni/g. Nilai total kapang-khamir anggur laut

segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 2,0x101koloni/g; 0;

5,5x101koloni/g; dan 1,5x10

1koloni/g.

Hasil uji organoleptik hedonik dengan kisaran skala 1-9 pada penampakan anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 5,93; 4,05; 4,62; dan 4,78. Warna anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 6,15; 4,23; 5,10; dan 4,75. Aroma anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 4,07; 4,87; 3,87; dan 3,95. Rasa anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 4,57; 4,18; 5,82; dan 4,32. Tekstur anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 5,37; 3,90; 5,23; dan 4,70. Rendemen ekstrak anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 0,085%; 1,00%; 0,09%; dan 0,06%. Nilai persentase penghambatan (IC50) BHT, anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 13,90 ppm; 1.115,94 ppm; 2.716,20 ppm; 2.271,98 ppm; dan 3.369,10 ppm.

Kata kunci : anggur laut, Caulerpa racemosa, antioksidan, pengolahan, DPPH.

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara dengan luas wilayah laut lebih dari 70 %. Hasil laut umumnya adalah ikan, alternatif hasil laut yang bisa diolah adalah rumput laut. Rumput laut diketahui kaya oleh nutrisi esensial, seperti enzim, asam nukleat, asam amino, mineral, trace elements, dan vitamin A, B, C, D, E, dan K (Abumie 2007). Sebagian besar usaha penanganan pasca panen rumput laut yang dilakukan oleh para nelayan cenderung masih tradisional. Beberapa jenis pengolahan yang dapat dilakukan sebagai bentuk dari usaha diversifikasi pengolahan rumput laut adalah dengan teknik pengeringan, pembuatan manisan, dan pembuatan acar rumput laut.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat menimbulkan banyak gangguan kesehatan yang disebabkan oleh radikal bebas. Efek negatif dari radikal bebas terhadap jaringan tubuh pada manusia adalah kerusakan struktur dan fungsi membran (Munifah dan Krisnawang 2007). Salah satu cara menghadapi radikal bebas adalah dengan mengoptimalkan pertahanan tubuh melalui aktivitas antioksidan (Sauriasari

1 Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 70: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

370

2006). Saat ini, penggunaan antioksidan alami cenderung lebih aman (Heo et al. 2005). Salah satu sumber antioksidan alami yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah cukup melimpah adalah rumput laut.

Pemanfaatan anggur laut (Caulerpa racemosa) yang masih terbatas dalam bentuk segar atau mentah ini perlu dikembangkan lebih lanjut supaya dapat memberikan manfaat yang optimal. Pengolahan pasca panen pada anggur laut dapat mempengaruhi kandungan gizi maupun senyawa bioaktifnya. Oleh karena itu perlu dipelajari tentang pengaruh berbagai jenis pengolahan pasca panen terhadap kandungan senyawa bioaktif anggur laut terutama yang berpotensi sebagai senyawa antioksidan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara pengolahan produk anggur laut dan mempelajari pengaruh cara pengolahan terhadap kandungan antioksidan produk anggur laut.

METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga November 2008,

pengambilan sampel dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Biokimia, Laboratorium Karakterisasi Hasil Perairan dan Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan 1, SEAFAST Centre IPB, serta Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama yaitu anggur laut (Caulerpa racemosa), bahan untuk analisis mikrobiologi adalah PDA, larutan garam fisiologis, dan PCA, Bahan untuk pengolahan anggur laut adalah alumunium foil, garam, gula, dan cuka makan (asam asetat) 25%. Bahan untuk analisis kadar gula total adalah air destilata, akuades steril, Na2S2O3, NaOH 30%, Pb asetat, Na2HPO4 1%, Na3PO4 1%, HCl 25%, KI 30%, NaCl, H2SO4 25%, fenolftalein, larutan luff, dan indikator kanji. Bahan untuk ekstraksi adalah etil asetat, dan bahan untuk uji aktivitas antioksidan adalah metanol pro analysis, BHT, dan DPPH.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pisau, gelas ukur, baskom, topless, dan timbangan (pengolahan anggur laut), gunting, timbangan, pipet volumetrik, gelas ukur, tabung erlenmeyer, bulb, corong kaca, botol sampel, shaker, kain kasa, kertas saring, kertas Whatman No. 42, rotary evaporator vakum, dan freezer (ekstraksi bahan aktif), labu ukur, gelas piala, pipet volumetrik, bulb, micropippette, timbangan analitik, tabung reaksi, botol ekstrak, inkubator, dan spektrofotometer UV-Vis Hitachi U-2800 (uji aktivitas antioksidan), oven, cawan, penjepit, sudip, timbangan analitik, gunting, dan desikator (analisis kadar air), gelas piala, water batch, hot plate, timbangan analitik, labu ukur, pipet volumetrik, corong kaca, dan kertas Whatman No. 42 (analisis kadar gula total), timbangan analitik, homogenizer, dan pH-meter (analisis nilai pH), serta tabung reaksi, cawan petri, timbangan analitik, pipet volumetrik, labu erlenmeyer, bunsen, gelas ukur, autoklaf, dan inkubator (analisis mikrobiologi TPC dan total kapang-khamir). HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kadar Air Penentuan kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat

menentukan mutu suatu bahan pangan. Kadar air produk anggur laut berkisar antara 19,48-93,48%. Anggur laut (Caulerpa racemosa) segar memiliki rata-rata kadar air tertinggi sebesar 93,48%, sedangkan rata-rata kadar air yang terendah adalah anggur laut kering sebesar 19,48%. Manisan anggur laut memiliki rata-rata kadar air sebesar 81,91%, sedangkan acar anggur laut memiliki rata-rata kadar air sebesar 84,57%. Kadar air sampel anggur laut dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 71: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

371

93,48d

19,48a

81,91c 84,57

b

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

segar kering manisan acar

perlakuan

rata-rata kadar air (%)

Gambar 1. Histogram kadar air produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses pengolahan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air produk anggur laut. Anggur laut segar tidak mengalami pengolahan lebih lanjut sehingga kadar airnya masih tinggi. Penambahan gula maupun asam pada anggur laut dapat menyebabkan penurunan kadar air karena selama pengolahan terjadi proses osmosis dimana pergerakan molekul air rumput laut dari dalam menuju keluar berjalan cepat, bersamaan dengan itu masuk pula molekul gula dan asam ke dalam rumput laut. Semakin lama, pergerakannya semakin lambat dan akhirnya tercapai keseimbangan (Ponting et al. 1966 diacu dalam Riyadi 2007). Proses pengeringan dengan bantuan panas matahari menyebabkan air dalam anggur laut banyak yang menguap sehingga kadar airnya rendah (Winarno et al. 1980).

Penentuan Nilai pH Parameter yang diamati pada uji pH yaitu konsentrasi ion hidrogen (H+) dan ion hidroksida (OH-) dalam skala 0-14 (Sari 2002 diacu dalam Wijayanti 2006). Nilai pH produk anggur laut berkisar antara 6,72-7,20. Anggur laut segar memiliki nilai pH 7,20 dan manisan anggur laut memiliki nilai pH 7,18 sehingga cenderung bersifat basa. Sedangkan anggur laut kering memiliki nilai pH 6,72 dan acar anggur laut memiliki nilai pH 6,78 sehingga cenderung bersifat asam. Nilai pH dari produk anggur laut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

7,18b

6,78a

6,72a

7,20b

6,40

6,50

6,60

6,70

6,80

6,90

7,00

7,10

7,20

7,30

segar kering manisan acar

perlakuan

rata-rata nilai pH

Gambar 2. Histogram nilai pH produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses pengolahan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH produk anggur laut. Anggur laut segar memiliki nilai pH yang tinggi diduga karena masih sesuai dengan pH perairan sehingga tidak terjadi perubahan pH yang signifikan. Penambahan larutan gula dalam pembuatan manisan anggur laut cenderung menurunkan nilai pH namun perubahannya tidak terlalu signifikan. Acar anggur laut bersifat asam dapat disebabkan karena adanya penambahan asam cuka pada proses pengolahannya sehingga mampu menurunkan pH produk akhir (Winarno et al. 1980). Anggur laut kering memiliki nilai pH yang cenderung asam diduga karena selama proses pengeringan terjadi penguapan air dan senyawa bioaktif yang bersifat basa volatil.

Analisis Mikrobiologi Perhitungan total mikroorganisme dalam bahan pangan penting untuk

mengukur tingkat kesegaran, kualitas sanitasi pangan selama penanganan, transportasi, dan penyimpanan (Fardiaz 1992). Analisis mikrobiologi yang dilakukan

Page 72: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

372

pada penelitian ini adalah total plate count (TPC) dan total kapang-khamir. Analisis TPC dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroorganisme yang dapat tumbuh pada produk olahan anggur laut. Nilai TPC masing-masing produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai TPC produk anggur laut Produk olahan Nilai TPC (koloni/gram)

Anggur laut segar 1,0 x 104

Anggur laut kering 9,9 x 102

Manisan anggur laut 2,0 x 106

Acar anggur laut 3,1 x 103

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa nilai total mikroba produk anggur laut berkisar antara 3,1x103-2,0x106 koloni/gram. Manisan anggur laut. memiliki nilai total mikroba tertinggi sebesar 2,0x106 koloni/gram sedangkan nilai total mikroba yang terendah adalah anggur laut kering sebesar 9,9x102 koloni/gram. Menurut Solberg et al. (1977) diacu dalam Retnowati (2005), kandungan mikroorganisme tidak patogen maksimum yang ada pada bahan pangan yang siap dikonsumsi tidak lebih dari 105 koloni/gram produk. Penanganan bahan baku anggur laut yang kurang steril dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme.

Selain analisis TPC, pada penelitian ini juga dilakukan analisis total kapang-khamir. Nilai total kapang-khamir dari produk anggur laut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai total kapang-khamir produk anggur laut Produk olahan Nilai total kapang-khamir (koloni/gram)

Anggur laut segar < 3,0 x 101 (2 ,0 x 10

1)

Anggur laut kering 0

Manisan anggur laut < 3,0 x 102 (5,5 x 10

1)

Acar anggur laut < 3,0 x 101 (1,5 x 10

1)

Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa produk anggur laut rata-rata memiliki nilai total kapang-khamir < 50 koloni/gram, kecuali untuk manisan anggur laut, yang berarti masih layak untuk dikonsumsi. Adanya kapang dan khamir pada produk pangan dapat disebabkan karena kapang dan khamir memiliki karakteristik kebutuhan air, pH, oksigen, dan suhu yang lebih luas daripada bakteri. Kapang pada umumnya mampu hidup pada bahan-bahan yang mengandung pektin, pati, dan selulosa. Khamir cenderung menyerang bahan-bahan yang banyak mengandung gula (Buckle et al. 1985).

Uji Organoleptik Penampakan

Penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan produk olahan anggur laut berkisar antara 4,05–5,93. Nilai penampakan tertinggi dihasilkan oleh anggur laut segar dengan nilai rata-rata 5,93 dan nilai terendah pada anggur laut kering dengan nilai rata-rata 4,05. Nilai rata-rata masing-masing penampakan produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Gambar 3.

4,78ab4,62ab

4,05a

5,93b,c

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

Segar Kering Manisan Acar

perlakuan

hedonik penampakan

Gambar 3. Histogram nilai rata-rata organoleptik penampakan produk anggur

laut

Page 73: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

373

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan terhadap anggur laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada penampakan produk olahan anggur laut. Panelis lebih menyukai penampakan anggur laut segar karena penampakannya utuh dan masih segar. Adanya penambahan gula dan asam cuka membuat penampakan anggur laut menjadi kurang menarik karena terjadi penyusutan ukuran. Anggur laut kering mengalami penyusutan yang cukup besar sehingga kurang disukai panelis.

Warna Penilaian rata-rata panelis terhadap warna produk olahan anggur laut berkisar

antara 4,23–6,15. Nilai warna tertinggi dihasilkan oleh anggur laut segar dengan nilai rata-rata 6,15 dan nilai terendah pada anggur laut kering dengan nilai rata-rata 4,23. Nilai rata-rata masing-masing warna produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Gambar 4.

4,75a5,10

ab

4,23a

6,15b

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

Segar Kering Manisan Acar

perlakuan

hedonik warna

Gambar 4. Histogram nilai rata-rata warna produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan anggur laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada warna produk olahan anggur laut. Panelis lebih menyukai anggur laut segar karena anggur laut segar tidak mengalami pengolahan lebih lanjut sehingga warnanya masih terlihat cerah dan segar. Anggur laut segar ini memiliki warna hijau terang dan terlihat menarik. Penambahan gula membuat warna manisan menjadi mengkilap dan menarik. Penambahan asam cuka membuat peluruhan pigmen anggur laut sehingga terlihat pucat. Proses pengeringan membuat warna anggur laut menjadi coklat karena adanya reaksi Maillard.

Aroma Penilaian rata-rata panelis terhadap aroma produk olahan anggur laut berkisar

antara 3,87–4,87. Nilai aroma tertinggi dihasilkan oleh anggur laut kering dengan nilai rata-rata 4,87 dan nilai terendah pada manisan anggur laut dengan nilai rata-rata 3,87. Nilai rata-rata masing-masing aroma produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Gambar 5.

3,95abc

3,87ab

4,87bc

4,07abc

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Segar Kering Manisan Acar

perlakuan

hedonik aroma

Gambar 5. Histogram nilai rata-rata aroma produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan anggur laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada aroma produk olahan anggur laut. Aroma anggur laut kering lebih disukai oleh panelis karena cenderung netral dan tidak amis. Pada produk anggur laut lain masih tercium bau amis sehingga kurang disukai.

Page 74: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

374

Rasa Penilaian rata-rata panelis terhadap rasa produk olahan anggur laut berkisar

antara 4,18–5,82. Nilai rasa tertinggi dihasilkan oleh manisan anggur laut dengan nilai rata-rata 5,82 dan nilai terendah pada anggur laut kering dengan nilai rata-rata 4,18. Nilai rata-rata masing-masing rasa produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Gambar 6.

4,32a

5,82b

4,18a4,57

a

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

Segar Kering Manisan Acar

perlakuan

hedonik rasa

Gambar 6. Histogram nilai rata-rata rasa produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan anggur laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada rasa produk olahan anggur laut. Anggur laut segar memiliki karakteristik rasa yang khas rumput laut. Adanya penambahan gula dan asam cuka dapat memodifikasi rasa anggur laut sehingga lebih disukai panelis. Anggur laut kering memiliki rasa cenderung netral sehingga kurang disukai.

Tekstur Penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur produk olahan anggur laut berkisar

antara 3,90–5,37. Nilai tekstur tertinggi dihasilkan oleh anggur laut segar dengan nilai rata-rata 5,37 dan nilai terendah pada anggur laut kering dengan nilai rata-rata 3,90. Nilai rata-rata masing-masing tekstur produk olahan anggur laut dapat dilihat pada Gambar 7.

4,70ab

5,23b

3,90a

5,37b

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Segar Kering Manisan Acar

perlakuan

hedonik tekstur

Gambar 7. Histogram nilai rata-rata tekstur produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan anggur laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada tekstur produk olahan anggur laut. Kandungan air yang tinggi membuat tekstur anggur laut segar lebih disukai oleh panelis. Penambahan gula dan asam cuka membuat tekstur anggur laut menjadi sedikit lunak. Proses pengeringan membuat anggur laut kering kurang disukai karena teksturnya menjadi keras dan liat.

Kadar Gula Total Manisan Pengukuran gula total penting dilakukan karena gula turut menentukan

karakteristik bahan makanan (warna, rasa, tekstur) terutama untuk produk manisan. Berdasarkan uji kadar gula total yang dilakukan pada manisan anggur laut dapat diketahui bahwa manisan anggur laut memiliki nilai rata-rata gula total sebesar 78,39 mg/g. Kadar gula total manisan anggur laut ini tergolong tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi gula yang digunakan dalam larutan gula sebesar 50% sehingga konsentrasi gula yang terabsorbsi ke dalam anggur laut cukup besar.

Rendemen Ekstrak Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi senyawa bioaktif anggur laut

adalah etil asetat yang bersifat semi polar. Ekstrak dari anggur laut segar dan manisan

Page 75: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

375

anggur laut memiliki karakteristik warna hijau gelap sedangkan ekstrak anggur laut kering dan acar anggur laut memiliki karakteristik warna kekuningan. Berdasarkan hasil ekstraksi dapat diketahui bahwa nilai rata-rata rendemen tertinggi diperoleh dari ekstrak anggur laut kering sebesar 1,00% sedangkan nilai rata-rata rendemen terendah diperoleh dari ekstrak acar anggur laut sebesar 0,06%. Nilai rata-rata rendemen dari ekstrak anggur laut segar adalah 0,085% dan 0,09% untuk manisan anggur laut. Rendemen hasil ekstraksi produk anggur laut selengkapnya disajikan pada Gambar 8.

0,085a

1b

0,09a

0,06a

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

segar kering manisan acar

perlakuan

rata-rata rendemen (%)

Gambar 8. Histogram nilai rata-rata rendemen ekstrak produk anggur laut

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa banyaknya rendemen ekstrak produk anggur laut dipengaruhi secara nyata oleh jenis pengolahan yang dilakukan. Ekstrak anggur laut kering memberi nilai rendemen yang tertinggi diduga karena pada proses pengeringan terjadi penurunan kadar air sehingga ketika diekstraksi, yang banyak terekstrak adalah senyawa bioaktifnya. Anggur laut segar, manisan anggur laut, dan acar anggur laut memiliki rendemen ekstrak yang lebih rendah diduga karena senyawa bioaktif yang terkandung masih berikatan dengan air sehingga tidak banyak terekstrak.

Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Aktivitas suatu radikal bebas dapat dihentikan dengan senyawa antioksidan.

Pada penelitian ini panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur absorbansi aktivitas antioksidan ekstrak anggur laut adalah 515 nm. Sebagai kontrol positif digunakan BHT (buthylated hydroxytoluene) karena BHT termasuk antioksidan sintetis yang biasa digunakan dalam bahan pangan (Ketaren 1986). Nilai IC50 untuk BHT adalah 13,90 ppm sehingga sifat antioksidannya tergolong sangat aktif karena batasan maksimum IC50 suatu bahan dapat disebut memiliki aktivitas antioksidan adalah 200 ppm (Blois 1958 diacu dalam Aryudhani 2007). Persentase penghambatan radikal bebas oleh BHT semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi yang digunakan.

Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak produk anggur laut dapat diketahui bahwa produk anggur laut memiliki kandungan antioksidan yang berbeda. Ekstrak anggur laut segar memiliki aktivitas antioksidan paling baik dengan nilai IC50 yang paling kecil yaitu 1.115,94 ppm. Ekstrak anggur laut kering dan ekstrak manisan anggur laut memiliki nilai IC50 masing-masing 2.716,20 ppm dan 2.271,98 ppm, sedangkan ekstrak acar anggur laut memiliki nilai IC50 yang paling tinggi yaitu 3.369,10 ppm. Nilai persentase penghambatan IC50 masing-masing ekstrak produk anggur laut telah melebihi batasan maksimum IC50 suatu bahan dapat disebut memiliki aktivitas antioksidan yaitu 200 ppm (Blois 1958 diacu dalam Aryudhani 2007) sehingga aktivitas antioksidannya cenderung bersifat tidak aktif lagi. Nilai IC50 ekstrak produk anggur laut dapat dilihat pada Gambar 9.

3.369,10ab

2.271,98b

2.716,20ab

1.115,94a

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

segar kering manisan acar

perlakuan

rata-rata nilai IC50 (ppm)

Gambar 9. Histogram nilai IC50 ekstrak produk anggur laut

Page 76: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

376

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses pengolahan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan ekstrak anggur laut. Berbagai jenis pengolahan dapat mengakibatkan hilangnya senyawa antioksidan yang terdapat dalam suatu bahan. Pembuatan manisan anggur laut menurunkan kandungan antioksidan, namun cenderung lebih baik daripada pengeringan dan pembuatan acar. Hal ini diduga karena larutan gula dapat mengurangi proses oksidasi dengan melapisi bagian luar anggur laut sehingga akan mencegah hubungan antara anggur laut dengan oksigen luar (Apriyantono 1985).

Pada proses pengeringan, anggur laut terpapar langsung oleh cahaya matahari dan panas. Hal ini dapat membuat hilangnya sebagian senyawa bioaktif dan kerusakan struktur senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan sehingga senyawa tersebut kehilangan kemampuannya (Sumampouw 2008). Anggur laut diduga memiliki senyawa bioaktif golongan fenol sebagai senyawa antioksidan (Aryudhani 2007). Senyawa antioksidan golongan fenol ini bersifat mudah teroksidasi karena cahaya matahari sehingga menurunkan kemampuan anggur laut kering dalam menangkal radikal bebas.

Adanya penambahan asam cuka (asam asetat) pada pembuatan acar anggur laut dapat mengakibatkan kerusakan senyawa bioaktif anggur laut karena asam asetat memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air (Marshal et al. 2000) sehingga dapat mengganggu fungsi senyawa fenol yang cenderung mampu berikatan dengan air. Akibatnya, kemampuan anggur laut dalam menangkal radikal bebas menjadi menurun.

Kemampuan antioksidan suatu bahan dapat diketahui melalui persentase penghambatan terhadap radikal bebas. Rata-rata persentase penghambatan tertinggi untuk masing-masing ekstrak anggur laut terdapat pada interval konsentrasi tertinggi, yaitu 2.000 ppm dengan nilai rata-rata persentase penghambatan ekstrak anggur laut segar 62,15%; ekstrak anggur laut kering 54,71%; ekstrak manisan anggur laut 49,43%; dan ekstrak acar anggur laut 45,17%. Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa perbedaan konsentrasi larutan ekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan ekstrak anggur laut. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka persentase penghambatan radikal bebas cenderung semakin besar. Hal ini diduga karena pada konsentrasi tertinggi, jumlah ekstrak yang digunakan paling banyak sehingga ekstrak lebih efektif untuk menangkap molekul radikal bebas. KESIMPULAN DAN SARAN

Kadar air rata-rata dari anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 93,48%; 19,48%; 81,91%; dan 84,57%. Nilai pH rata-rata dari anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 7,20; 6,72; 7,18; dan 6,78. Hasil perhitungan TPC pada anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut yaitu, 1,0x104koloni/gram; 9,9x102koloni/gram; 2,0x106koloni/gram; dan 3,1x103koloni/gram.

Nilai total kapang-khamir anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 2,0x101koloni/gram; 0; 5,5x101koloni/gram; dan 1,5x101koloni/gram. Kadar gula total rata-rata manisan anggur laut adalah 78,39 mg/g.

Berdasarkan uji organoleptik skala hedonik diketahui bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 5,93; 4,05; 4,62; dan 4,78. Warna anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 6,15; 4,23; 5,10; dan 4,75. Aroma anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 4,07; 4,87; 3,87; dan 3,95. Rasa anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 4,57; 4,18; 5,82; dan 4,32. Tekstur anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 5,37; 3,90; 5,23; dan 4,70. Panelis lebih menyukai anggur laut segar dan kurang menyukai anggur laut kering. Persentase rendemen ekstrak anggur laut segar, anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 0,085%; 1,00%; 0,09%; dan 0,06%. Nilai persentase penghambatan (IC50) BHT, anggur laut segar,

Page 77: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

377

anggur laut kering, manisan anggur laut, dan acar anggur laut, yaitu 13,90 ppm; 1.115,94 ppm; 2.716,20 ppm; 2.271,98 ppm; dan 3.369,10 ppm. Proses pengolahan mampu menurunkan kandungan antioksidan anggur laut sehingga bersifat tidak aktif.

Saran dari penelitian ini adalah perlu diketahui umur panen anggur laut yang digunakan untuk mengetahui waktu terbaik anggur laut dalam menghasilkan senyawa bioaktif; perlu dilakukan pe

nelitian lanjutan dalam usaha diversifikasi produk untuk mengetahui formulasi produk anggur laut yang tepat dalam mencegah kerusakan kandungan antioksidan; perlu dilakukan preparasi anggur laut segar yang tepat agar kandungan antioksidannya tetap tinggi dan terjaga tingkat higienisnya; dan perlu dilakukan proses ekstraksi anggur laut yang tepat untuk mengurangi kerusakan senyawa bioaktifnya. DAFTAR PUSTAKA

Abumie. 2007. Rumput laut kaya serat penuh manfaat. http://www.abumie.wordpress.com/2007/06/28 [29 Februari 2008].

Apriyantono A. 1985. Panduan Praktikum Pembuatan Manisan Buah-buahan. Di dalam Buku III Pendidikan dan Latihan Tenaga Penyuluh Lapangan Spesialis Industri Kecil Pengolahan Pangan dan Pengawetan. Anonymous (ed). Bogor: Departemen Pertanian kerjasama dengan Fakultas Teknologi Pertanian.

Aryudhani N. 2007. Kandungan senyawa fenol rumput laut Caulerpa racemosa dan aktivitas antioksidannya. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press.

Fardiaz S. 1992. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Heo SJ, Park EJ, Lee KW, Jeon YJ. 2005. Antioxidant activities of enzymatic extracts

from brown seaweeds. J Bioresource Technology 96: 1613-1623. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:

Universitas Indonesia (UI) Press. Marshal DL, Cotton LN, Ba’al FA. 2000. Acetic Acid. Di dalam Natural Food

Antimicrobial Systems. Naidu AS (ed). New York: CRC Press. Munifah I, Krisnawang H. 2007. Isolation and antioxidative assay of several marine

macroalgae components within ethyl-acetate fraction. http://www.scribd.com/doc/Isolation-eminternationalUGM/2558795. [16 Juli 2008].

Retnowati Y. 2005. Pemanfaatan Gracilaria sp. Dalam pembuatan permen jelly. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Riyadi D. 2007. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) dalam pembuatan manisan dengan penambahan kayu manis. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sauriasari R. 2006. Mengenal dan menangkal radikal bebas. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-01-22. [16 Juli 2008].

Sumampouw AGO. 2008. Radikal bebas dan anti oksidan. www.shafamedica.wordpress.com/2008/6/25 [9 Desember 2008].

Wijayanti F. 2006. Pembuatan kecap manis dari air kelapa serta mempelajari karakterisasi fisik dan pH. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wuriyandari D. 2006. Studi kasus fisika pangan pembuatan acar ketimun dalam kemasan botol. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Page 78: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

378

LARUTAN ANTI-ICING DENGAN BAHAN DASAR PROPILEN GLIKOL DAN KITOSAN

Winarti Zahiruddin1, Bambang Riyanto2 dan Muhammad Ubit M. Adam2

ABSTRAK

Deicing didefinisikan sebagai suatu proses menghilangkan akumulasi salju, embun beku, lumpur salju dan es dari suatu permukaan lapisan, celah atau engsel yang biasa terjadi pada pesawat terbang. Deicing yang menggunakan tambahan bahan pengental dalam penggunaannya dapat disebut juga sebagai anti-icing. Anti-icing adalah suatu proses pencegahan terhadap akumulasi salju, lumpur salju, pasir dan es pada permukaan bagian kritis pesawat terbang atau tempat-tempat lainnya yang dapat mengganggu mobilitas pesawat. Kitosan adalah salah satu thickener agent yang dapat digunakan sebagai bahan pengental pada larutan anti-icing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kitosan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan bahan anti-icing dan pengaruhnya pada pembentukan bunga es.

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, tahapan penelitian yang pertama yaitu penentuan penambahan kitosan yang paling baik. Tahap kedua yaitu menentukan efektivitas larutan anti-icing terbaik hasil penelitian tahap pertama.

Pada tahap penentuan penambahan kitosan yang paling baik, holdovertime perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 0,5 %; 1 % dan 1,5 % adalah 70, 90 dan lebih dari 120 menit. Holdovertime perlakuan propilen glikol tanpa larutan kitosan adalah 50 menit dan holdovertime perlakuan tanpa pemberian larutan anti-icing (kontrol) adalah 0 menit. Perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 0,5 % adalah perlakuan terbaik dan perlu diuji efektivitasnya karena memiliki holdovertime paling lama dibandingkan perlakuan lain yang masuk dalam kisaran waktu 30-80 menit. Efektivitas propilen glikol dan kitosan diukur berdasarkan berat bunga es yang terbentuk. Semakin sedikit bunga es maka semakin efektif propilen glikol dan kitosan mencegah pembentukan bunga es. Berat bunga es yang dihasilkan oleh perlakuan propilen glikol dengan penambahan kitosan 0,5 % pada jam ke-8, 16 dan 24 adalah 0,80 gram; 1,02 gram dan 2,89 gram. Perlakuan propilen glikol tanpa penambahan kitosan pada jam ke-8, 16 dan 24 menghasilkan bunga es dengan berat 1,05 gram; 1,60 gram dan 3,12 gram. Sedangkan berat bunga es yang terbentuk pada perlakuan kontrol jam ke-8, 16 dan 24 adalah 1,29 gram; 1,72 gram dan 3,68 gram. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa penambahan kitosan pada propilen glikol efektif mencegah pembentukan bunga es.

Kata kunci : Anti-icing, propilen glikol, kitosan.

PENDAHULUAN

Pesawat terbang telah menjadi pilihan utama masyarakat dalam bertansportasi sejak awal abad 20, karena selain waktu tempuh yang singkat, juga dianggap lebih baik dalam segi kenyamanan. Penerbangan di Indonesia pada awalnya bertujuan untuk mengangkut pos dan dilakukan oleh dinas penerbangan militer. Sejak tanggal 26 Januari 1949 Indonesian Airways diresmikan sebagai maskapai penerbangan resmi di Indonesia, kemudian berganti nama menjadi “Garuda Indonesia Airways” pada tanggal 31 Maret 1950. Kehadiran Garuda Indonesia memiliki peran penting terhadap kemajuan perekonomian Indonesia, baik nasional maupun secara internasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah penerbangan hingga saat ini (Sumbodo 2008). Jumlah penerbangan pesawat di 10 bandara internasional Indonesia pada tahun 1999 adalah 166.476 penerbangan dan meningkat menjadi 510.570 penerbangan pada tahun 2007. Selain peningkatan pada jumlah penerbangan, terjadi juga peningkatan pada jumlah penumpang yang menggunakan pesawat untuk bepergian. Pada tahun 1999 jumlah penumpang yang bepergian dengan menggunakan pesawat terbang adalah 10.826.521 penumpang dan meningkat menjadi 44.710.002 penumpang pada tahun 2007 (Angkasa Pura II 2007).

1 Alumni Departemen Teknologi Hasil Perairan, IPB

2 Staf Pengajar Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Page 79: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

379

Peningkatan pengguna pesawat terbang juga terjadi di wilayah lainnya. Rata-rata jumlah penerbangan pesawat setiap hari di Eropa selama tahun 1997 adalah 20.615 penerbangan. Pada tahun 2007 rata-rata jumlah penerbangan pesawat setiap hari di Eropa telah mencapai 28.154 penerbangan atau meningkat 36,57 % (Waldinger 2008). Penerbangan di Amerika Serikat juga mengalami peningkatan jumlah penerbangan dan jumlah penumpang selama rentang waktu 1996-2006. Rata-rata peningkatan jumlah penerbangan di Amerika Serikat dalam rentang waktu 1996-2006 sebesar 6,7 %. Sedangkan rata-rata peningkatan jumlah penumpang selama rentang waktu tersebut sebesar 3,6 % (International Civil Aviation Organization 2008).

Meningkatnya jumlah penerbangan juga diiringi dengan meningkatnya standar keamanan yang digunakan dalam dunia penerbangan. Menurut European Aviation Safety Agency (2008), selama rentang tahun 1945-1997 terjadi penurunan probabilitas kecelakaan pesawat terbang dari 5 menjadi 0,05 kecelakaan per 100.000.000 mil penerbangan. Pada akhir tahun 2008, diestimasikan probabilitas kecelakaan pesawat terbang menurun menjadi 0,01 per 100.000.000 mil penerbangan. Meskipun probabilitas kecelakaan pesawat terbang semakin menurun, namun rata-rata kecelakaan fatal per 10.000.000 penerbangan semakin meningkat. Tiga wilayah peringkat teratas yang memiliki rata-rata kecelakaan fatal terbesar adalah Afrika (48,1); Eropa bagian utara (25,6) dan Eropa bagian tengah (20,6). Terdapat beberapa faktor yang berpotensi sebagai penyebab kecelakaan dalam pesawat terbang, seperti kasus gagal lepas landas (take off) yang bisa disebabkan kurangnya daya mesin, kesalahan manusia (human error) ataupun gangguan pada sistem kontrol pesawat. Berdasarkan catatan (Lee et al. 2001) kasus-kasus penyebab kecelakaan pesawat untuk penerbangan internasional banyak disebabkan oleh sistem kontrol pesawat yang kurang berfungsi dengan baik.

Umumnya maskapai penerbangan dan industri pesawat terbang sudah menggunakan beberapa bahan kimia pada badan pesawat yang berfungsi sebagai penghilang sekaligus pencegah timbulnya es dan kotoran (deicing anti-icing) seperti etilen glikol dan propilen glikol (Wijk dan Karlberg 1993). Etilen glikol dan propilen glikol merupakan golongan alkohol yang mempunyai 2 gugus –OH (diol) yang biasa digunakan sebagai anti freezing di bidang otomotif. Etilen glikol lebih dulu digunakan sebagai deicing dan anti- icing, karena memiliki titik beku yang rendah sehingga dapat mencegah timbulnya timbunan es pada badan pesawat (Ritter 2001). Namun bahan ini mudah larut dalam air, memiliki nilai Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) yang besar dan sangat toksik terhadap makhluk hidup, oleh karena itu penggunannya dibatasi dan diganti dengan propilen glikol. Jika dilihat dari tingkat toksisitasnya, propilen glikol jauh lebih rendah dari pada etilen glikol (Lee et al. 2001).

Penelitian terbaru dari larutan deicing anti-icing saat ini adalah adanya penggunaan bahan yang dapat memfungsikan larutan deicing anti-icing menjadi kental (Lee et al. 2001). Jia et al. (2007) memaparkan bahwa karaginan adalah salah satu material deicing anti-icing yang berfungsi sebagai pengental serta memiliki sifat tidak toksik. Dalam aplikasinya, propilen glikol juga memiliki beberapa kekurangan dimana salah satunya adalah sifat propilen glikol yang dapat meningkatkan kadar Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) pada suatu wilayah perairan. Oleh karena itu, saat ini dibutuhkan suatu bahan yang memiliki kemampuan pengental serta memiliki kemampuan untuk mengurangi kadar KOB. Salah satu bahan yang mampu berfungsi sebagai pengental dan dapat mengurangi toksisitas adalah kitosan. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari alam dan diperoleh setelah melalui proses deasetilasi kitin. Kitosan mempunyai dua kutub, yaitu muatan negatif pada gugus OH (hidroksil) dan muatan positif pada gugus NH (amina) (Prashanth dan Tharanathan 2007). Karakterisasi kitosan dapat ditentukan dari kelarutannya dalam asam lemah, seperti asam asetat. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2 % dan akan membentuk suatu kompleks ammonium asetat (Tang et al. 2007). Kitosan juga memiliki kemampuan menurunkan nilai Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) pada wilayah perairan dengan proses penguraian ion-ion

Page 80: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

380

logam (Ohkawa et al. 2000). Dengan adanya dua gugus yang dimiliki (hidroksil dan amina), larutan kitosan diduga dapat menjadi bahan tambahan deicing yang lebih baik dibandingkan karaginan.

Penggunaan kitosan merupakan terobosan baru untuk industri yang menggunakan bahan anti-icing sebagai pencegah terbentuknya bunga es. Aplikasi kitosan diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar dalam industri penerbangan Indonesia, terutama untuk penerbangan internasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kitosan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan larutan anti-icing selama waktu penghambatan pembentukan bunga es.

METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2008 hingga Februari 2009 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah larutan propilen glikol 90 % (v/v), aquades dan larutan kitosan 5 % (b/v) yang kemudian diencerkan hingga konsentrasi 0,5 %; 1 % dan 1,5 % (b/v). Larutan kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dibeli dari PT Araminta Sidhakarya (spesifikasi kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sprayer dengan volume 100 ml, erlenmeyer, pipet, sudip, gelas ukur 50 ml, termometer merk Yenaco dengan suhu terendah -20 oC dan suhu tertinggi 50 oC, pengaduk, timbangan merk Sartorius 5025 dengan ketelitian 1/100, stopwatch, botol sampel volume 100 ml, Viscometer Brookfield LV, plat alumunium (10 x 5 cm) dan freezer Goldstar GR-191 ADA.

Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penentuan penambahan kitosan yang paling baik. Konsentrasi larutan kitosan yang ditambahkan meliputi 0,5 %, 1 % dan 1,5 % (b/v). Rentang konsentrasi ini berdasarkan penelitian Tye et al. (1987) yang menggunakan karaginan dengan konsentrasi 0,05 % - 1,5 %. Jumlah volume kitosan yang digunakan sebanyak 50 ml dari 100 ml larutan anti-icing. Parameter uji yang digunakan meliputi holdovertime atau waktu mulai dari plat aluminium disemprotkan larutan anti icing hingga terbentuknya bunga es (menit) serta pengukuran berat awal dan berat akhir es yang terbentuk (gram). Penelitian tahap kedua bertujuan untuk melihat efektivitas campuran propilen glikol dan kitosan hasil terbaik dari penelitian tahap pertama dalam menghambat terbentuknya bunga es dibandingkan dengan larutan anti-icing yang hanya berupa pemberian propilen glikol dan tanpa pemberian larutan anti-icing. Waktu pengamatan yang digunakan meliputi 8, 16 dan 24 jam. Respon pada penelitian ini adalah berat bunga es yang terbentuk. Semakin sedikit bunga es yang terbentuk maka semakin efektif larutan anti-icing tersebut dalam mencegah pembentukan bunga es. Secara lengkap tahapan penelitian yang dilakukan adalah :

Penentuan perlakuan kitosan Larutan kitosan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan kitosan 5 %

(b/v). Larutan kitosan konsentrasi ini selanjutnya diencerkan dengan aquades menjadi 3 larutan kitosan berbeda dimana konsentrasi masing-masing tersebut adalah 0,5 %, 1 % dan 1,5 % (b/v). Kemudian 50 ml dari larutan kitosan tersebut dicampur dengan 50 ml propilen glikol 90 % (v/v), perbandingan volume larutan kitosan dan propilen glikol adalah 1:1. Campuran tersebut kemudian diaduk hingga merata selama ± 30 detik. Setelah itu masing-masing disemprotkan dengan menggunakan sprayer pada plat aluminium hingga larutan propilen glikol dan kitosan yang ada di dalam sprayer habis. Selain itu dilakukan juga penyemprotan pada plat aluminium dengan menggunakan

Page 81: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

381

propilen glikol tanpa penambahan kitosan. Kode perlakuan dan jenis perlakuan yang digunakan adalah :

A1 = Kontrol (tanpa pemberian larutan anti-icing) A2 = Perlakuan propilen glikol tanpa larutan kitosan A3 = Perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 0,5 % A4 = Perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 1 % A5 = Perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 1,5 %

Plat aluminium selanjutnya diletakkan dalam freezer yang memiliki kecepatan blower 605 rpm dengan suhu -5 oC. Pengamatan holdovertime dilakukan setiap 10 menit selama 2 jam. Respon pertama yang diamati pada penelitian ini adalah holdovertime atau waktu yang dihitung mulai dari plat aluminium diberi perlakuan hingga terbentuknya bunga es. Holdovertime terbaik adalah waktu yang paling lama dan berada pada kisaran waktu 30-80 menit (Lemma 1998). Respon yang kedua adalah berat bunga es. Bunga es yang terbentuk pada plat aluminium ditimbang secepat mungkin agar bunga es tidak mencair.

Viskositas setiap perlakuan diukur dengan menggunakan Viscometer Brookfield LV (gambar alat yang digunakan ada pada Lampiran 5.). Spindle yang digunakan adalah spindle nomor 1 dengan kecepatan putaran 60 rpm. Semakin besar nomor spindle maka larutan yang diuji semakin kental. Larutan yang akan diuji viskositasnya dimasukkan ke dalam botol ukur. Kemudian spindle yang dipasang pada bagian bawah viskometer dicelupkan ke dalam larutan yang diuji. Spindle harus tercelup pada larutan hingga mencapai batas yang ditentukan agar jarum penunjuk viskometer dapat membaca viskositas larutan yang diuji. Saat viskometer dinyalakan spindle akan berputar dan jarum penunjuk pada viskometer akan bergerak menunjukkan seberapa besar viskositas dari larutan yang diuji.

Penentuan efektivitas campuran propilen glikol dan kitosan Penelitian tahap kedua bertujuan untuk melihat efektivitas campuran propilen glikol dan kitosan hasil terbaik dari penelitian tahap pertama dalam menghambat terbentuknya bunga es dibandingkan dengan pemberian propilen glikol tanpa kitosan dan kontrol yaitu tanpa pemberian larutan anti-icing. Pada penelitian tahap kedua ini terdapat 2 faktor pengujian yaitu pemberian larutan anti-icing dan lama waktu penyimpanan plat aluminium dalam freezer dimana setiap faktor memiliki 3 taraf berbeda. Taraf pada faktor pertama adalah: B1 = Campuran propilen glikol dan kitosan yang paling baik hasil penelitian tahap

pertama B2 = Propilen glikol tanpa kitosan B3 = Kontrol (tanpa pemberian larutan anti-icing)

Faktor kedua adalah lama waktu penyimpanan dalam freezer dengan taraf sebagai berikut : C1 = 8 (delapan) jam C2 = 16 (enam belas) jam C3 = 24 (dua puluh empat) jam

B1 dan B2 disiapkan dalam sprayer berukuran 100 ml, kemudian dilakukan penyemprotan pada 2 plat yang berbeda masing-masing 2 kali ulangan. Plat yang telah disemprot dengan B1 dan B2 kemudian dimasukkan ke dalam freezer selama 24 jam. Respon pertama yang diamati pada penelitian tahap kedua ini adalah berat bunga es yang terbentuk. Penimbangan bunga es dilakukan pada jam ke-8, 16 dan 24. Penimbangan harus dilakukan secepat mungkin agar tidak ada bunga es yang mencair dalam proses penimbangan tersebut. Respon yang kedua adalah holdovertime.

Page 82: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

382

Prosedur Pengujian Holdovertime

Holdovertime dihitung mulai dari plat aluminium dimasukkan ke dalam freezer hingga terbentuknya bunga es pada lapisan permukaan plat aluminium. Plat aluminium yang telah dimasukkan ke dalam freezer diamati setiap 10 menit selama 2 jam. Plat aluminium yang lapisan permukaannya mulai terbentuk bunga es diangkat dan dihitung waktu pembentukannya dengan menggunakan stopwatch.

Berat bunga es Bunga es terbentuk karena adanya udara yang masuk ke dalam freezer atau

ruangan yang memiliki suhu maksimal 0 °C. Untuk bisa menjadi bunga es udara tersebut membutuhkan media tumbuh baik mikroskopis seperti CO2 dan N2 maupun makroskopis seperti besi sebagai tempat pembentukannya. Pengujian berat bunga es yang terbentuk pada plat aluminium di dalam freezer dilakukan bersamaan dengan pengujian holdovertime. Plat aluminium yang lapisan permukaannya mulai terbentuk bunga es dikeluarkan dari freezer. Bunga es yang terbentuk kemudian dikerik dengan menggunakan sudip dan ditimbang beratnya. Penimbangan harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah pencairan bunga es karena adanya kenaikan suhu lingkungan.

Analisis Data Analisis data yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial) dengan dua kali ulangan (Steel dan Torrie 1993). Data yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dianalisis dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dengan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial atau Anova Two Factor With Replication. Faktor pertama dalam rancangan ini yaitu pemberian larutan anti-icing (propilen glikol dengan kitosan, propilen glikol tanpa kitosan dan kontrol). Sedangkan faktor kedua adalah lama waktu penyimpanan dalam freezer (8, 16 dan 24 jam). Respon yang diamati adalah berat bunga es yang terbentuk serta interaksi antara waktu dan pemberian larutan anti-icing.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Perlakuan Kitosan Kitosan mampu meningkatkan kekentalan dari propilen glikol. Meningkatnya kekentalan dari propilen glikol membuat waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya timbunan bunga es lebih lama, karena propilen glikol lebih lama bertahan pada suatu lapisan permukaan. Konsentrasi kitosan paling baik yang digunakan sebagai bahan tambahan pada propilen glikol diukur berdasarkan 2 parameter yaitu holdovertime dan berat bunga es.

Holdovertime Holdovertime menjadi salah satu bagian dalam panduan prosedur pemeriksaan sebelum keberangkatan pesawat, khususnya untuk negara-negara yang memiliki 4 musim. Adanya holdovertime memberikan informasi waktu yang efektif dari suatu larutan anti-icing untuk menghilangkan sekaligus mencegah akumulasi es dan kotoran pada suatu lapisan permukaan akan lebih mudah didapatkan (Nixon dan Williams 2001). Semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan pada propilen glikol maka waktu untuk terbentuknya bunga es akan semakin lama. Holdovertime A1 (kontrol) memperlihatkan waktu sebesar 0 menit, holdovertime A2 (propilen glikol tanpa penambahan kitosan) 50 menit dan holdovertime perlakuan A3 (propilen glikol dengan kitosan 0,5 %) adalah 70 menit. Sedangkan holdovertime A4 (propilen glikol dengan kitosan 1 %) adalah 90 menit dan holdovertime A5 (propilen glikol dengan kitosan 1,5 %) adalah lebih dari 120 menit (>120 menit). Holdovertime masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 83: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

383

Holdovertime menunjukkan daya tahan larutan anti-icing untuk menghambat terbentuknya bunga es pada suatu lapisan permukaan dari timbunan bunga es atau salju dalam selang waktu tertentu. Suatu larutan anti-icing dapat dikatakan ideal jika memiliki holdovertime berkisar antara 30-80 menit (Lemma 1998). Berdasarkan hasil yang didapat maka larutan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah A2 dan A3, karena memiliki holdovertime yang masuk kategori ideal. A2 memiliki holdovertime sebesar 50 menit sedangkan A3 memiliki holdovertime 70 menit. Hal tersebut dapat dilihat dari bunga es pada lapisan permukaan aluminium perlakuan A2 yang mulai terbentuk setelah pengamatan pada menit ke-60, sedangkan pada A3 bunga es mulai terbentuk pada menit ke-80. Perlakuan A3 dapat disebut sebagai perlakuan yang terbaik karena memiliki holdovertime yang lebih lama dari perlakuan A2. Selain itu, holdovertime A3 juga masuk dalam kisaran holdovertime antara 30-80 menit.

Gambar 5. Grafik holdovertime dan berat bunga es dari larutan anti-icing pada

berbagai perlakuan yang dicobakan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi kitosan yang dicampurkan pada propilen glikol maka holdovertime akan semakin lama. Penggunaan kitosan mampu meningkatkan kekentalan dari propilen glikol. Campuran propilen glikol dan kitosan diduga mampu menghambat pembentukan bunga es dengan membentuk suatu lapisan pada permukaan plat aluminium sehingga uap air atau udara tidak berubah menjadi bunga es. Uap air dan udara yang menempel pada lapisan tersebut membutuhkan suhu lebih rendah untuk membentuk bunga es karena propilen glikol memiliki titik beku yang rendah. Propilen glikol dapat menurunkan titik beku pada suatu lapisan permukaan dengan cara menghalangi bergabungnya molekul-molekul air dalam proses pembekuan sehingga titik beku menjadi lebih rendah. Titik beku dari propilen glikol lebih rendah dari etilen glikol yaitu

sebesar -51 °C dan dapat diturunkan lagi hingga suhu -60 °C dengan modifikasi konsentrasi (Ritter 2001). Kitosan juga diduga berikatan baik dengan propilen glikol sehingga gaya tarik menarik antara propilen glikol dan lapisan permukaan cukup kuat.

Kemampuan kitosan untuk membentuk gel lebih baik dari polimer lain seperti karaginan karena kitosan memiliki gugus hidroksil dan amina sehingga gel yang terbentuk lebih stabil (Rinaudo 2006). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil perbandingan viskositas antara campuran propilen glikol dan kitosan dengan campuran propilen glikol dan karagenan hasil penelitian Tye et al. (1987) pada Gambar 6.

Hasil perbandingan memperlihatkan bahwa viskositas campuran propilen glikol dan kitosan 0,5 %; 1 % dan 1,5 % adalah 14,5 cP; 16,4 cP dan 24,5 cP. Sedangkan propilen glikol dan karagenan 0,5 %; 1 % dan 1,5 % adalah 154,5 cP; 180 cP dan 225 cP. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Tang et al. 2007). Kitosan yang larut dalam asam mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai dua kutub, yaitu muatan negatif pada gugus hidroksil dan muatan positif pada gugus amina.

Page 84: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

384

Gambar 6. Grafik perbandingan viskositas campuran propilen glikol kitosan dan

propilen glikol karagenan

Berat bunga es Berdasarkan Gambar 4 dapat juga dilihat bahwa berat awal bunga es yang

terbentuk pada perlakuan A1 adalah 0,02 gram. Seiring dengan bertambahnya waktu maka berat bunga es yang terbentuk juga terus meningkat. Pada menit 120 yang merupakan akhir penelitian, berat bunga es yang terbentuk sebesar 0,14 gram. Pada perlakuan A2, berat awal bunga es yang terbentuk adalah 0,02 gram dan meningkat menjadi 0,06 gram setelah 120 menit. Pada perlakuan A3, berat awal bunga es yang terbentuk adalah 0,02 gram dan meningkat menjadi 0,05 gram setelah 120 menit. Pada perlakuan A4 berat awal bunga es yang terbentuk sebesar 0,02 gram dan meningkat menjadi 0,03 gram setelah 2 jam. Sedangkan untuk perlakuan A5 berat awal bunga es awal yang terbentuk tidak diketahui karena hingga 120 menit yang merupakan akhir dari penelitian tidak terjadi pembentukan bunga es pada lapisan permukaan plat aluminium. Semakin lama waktu penyimpanan maka berat bunga es yang terbentuk semakin besar.

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan ke dalam propilen glikol maka semakin sedikit jumlah bunga es yang terbentuk pada akhir penelitian. Adanya modifikasi kekentalan propilen glikol dengan menggunakan kitosan mampu menghambat pembentukan bunga es. Suatu bahan pengental dapat ditambahkan pada larutan berbasis glikol sehingga meningkatkan daya adhesi dari larutan tersebut (Tye et al. 1987).

Munculnya timbunan bunga es dapat terjadi bila holdovertime dari larutan anti-icing telah terlewati sehingga kemampuan dalam mencegah pembentukan bunga es hilang (Beisswenger 2006). Timbunan bunga es mulai terbentuk pada suhu 0°C dan semakin lama akan semakin terakumulasi. Bunga es terbentuk karena adanya udara yang masuk ke dalam freezer atau ruangan yang memiliki suhu maksimal 0 °C. Untuk bisa menjadi bunga es udara tersebut membutuhkan media tumbuh baik mikroskopis seperti CO2 dan N2 maupun makroskopis seperti besi sebagai tempat pembentukannya. Seiring dengan berjalannya waktu maka jumlah udara yang kemudian berubah menjadi bunga es akan semakin banyak (Brookes 2006). Rata-rata berat bunga es yang terbentuk selama 2 jam dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Berat rata-rata bunga es yang terbentuk dari campuran propilen

glikol kitosan dengan konsentrasi berbeda, propilen glikol tanpa kitosan dan kontrol

Page 85: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

385

Efektivitas Campuran Propilen Glikol dan Kitosan Campuran propilen glikol dan kitosan dapat dikatakan efektif bila mampu menghambat pembentukan bunga es pada lapisan permukaan plat aluminium yang telah dilapisi. Parameter yang diamati adalah berat bunga es dan lama waktu penyimpanan dalam freezer. Diagram batang berat pembentukan bunga es pada plat aluminium dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Perbandingan rata-rata berat bunga es yang terbentuk dari perlakuan

propilen glikol dengan kitosan, propilen glikol tanpa kitosan dan kontrol (tanpa perlakuan apapun).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa berat bunga es perlakuan B1 (propilen glikol dengan kitosan), B2 (propilen glikol tanpa kitosan) dan B3 (kontrol) yang terbentuk pada jam ke-8 adalah 0,80 gram; 1,05 gram dan 1,29 gram. Berat bunga es perlakuan B1, B2 dan B3 pada jam ke-16 adalah 1,02 gram; 1,60 gram dan 1,72 gram. Sedangkan untuk jam k-24 berat bunga es yang terbentuk pada perlakuan B1, B2 dan B3 adalah 2,89 gram; 3,12 gram dan 3,68 gram. Rendahnya berat es pada perlakuan B1 terjadi karena propilen glikol menurunkan titik beku pada lapisan permukaan plat aluminium. Mekanisme kerja propilen glikol adalah dengan cara menurunkan titik beku atau freezing point (Samuels et al. 2006). Propilen glikol menghalangi bergabungnya molekul-molekul air dalam proses pembekuan sehingga titik beku dari permukaan plat aluminium yang disemprot dengan propilen glikol menjadi lebih rendah (Puspitasari

2009). Propilen glikol memiliki titik beku yang rendah yaitu -51 °C dan dapat diturunkan

lagi hingga suhu -60 °C dengan modifikasi pengenceran (Ritter 2001). Selain itu penggunaan kitosan diduga mampu memperbaiki kekentalan dari propilen glikol sehingga menunda pembentukan bunga es. Adanya partikel terlarut dalam air akan menurunkan titik beku larutan tersebut, karena pada peristiwa pembekuan molekul-molekul air yang akan bergabung terhalang oleh partikel terlarut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian propilen glikol baik yang dicampur kitosan maupun yang tidak dicampur kitosan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 2). Hasil dari uji lanjut Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa perlakuan B1 memberikan respon yang paling baik karena jumlah bunga es yang dihasilkan paling sedikit dan berbeda nyata dengan perlakuan B2 dan B3. Dengan uji BNT juga dapat diketahui bahwa perlakuan B2 berbeda nyata dengan B3 karena selisih nilai tengah perlakuan B2 dan B3 lebih besar dari nilai BNT sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan B2 dan B3 berbeda nyata terhadap pembentukan bunga es (Lampiran 3).

Adanya zat terlarut akan mengganggu gaya kohesif normal antar molekul air sehingga semakin sulit bagi molekul air untuk membentuk struktur kristal pada suhu pembekuan normal. Sulitnya suatu molekul air membentuk struktur kristal berakibat pada semakin rendahnya suhu yang dibutuhkan untuk penataan ulang struktur kristal pelarut dan terlarut (Puspitasari 2009). Kekentalan dari propilen glikol juga meningkat dengan penggunaan kitosan sehingga propilen glikol lebih lama bertahan pada permukaan yang disempotkan. Perlakuan propilen glikol dan kitosan menghasilkan bunga es dengan jumlah yang paling sedikit karena kitosan dapat memberikan pelapisan terhadap permukaan plat aluminium sehingga pembentukan bunga es dapat dihambat. Suatu bahan pengental dapat ditambahkan pada larutan berbasis glikol sehingga meningkatkan daya adhesi dari larutan tersebut (Tye et al. 1987).

4,00 3,50

Page 86: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

386

Saat bahan pelapis ditempatkan pada permukaan suatu material maka akan terbentuk 2 gaya yang berbeda yaitu kohesi dan adhesi. Kohesi terjadi saat molekul dari bahan pelapis berinteraksi dengan molekul lain yang ada di dalam bahan pelapis tersebut, sedangkan adhesi terjadi saat molekul dari bahan pelapis berinteraksi dengan material yang dilapisinya. Besarnya gaya kohesi akan membuat daya lapis pada material semakin membesar dan mengurangi fleksibilitas dari lapisan film yang terbentuk. Sedangkan besar gaya adhesi dipengaruhi oleh afinitas elektrostatik antara pelapis dan bahan yang dilapisi (Guilbert dan Biquet 1996).

Berdasarkan hasil dari analisis ragam dapat diketahui bahwa lama waktu penyimpanan dalam freezer memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan bunga es (Lampiran 2). Hasil uji BNT untuk faktor lama waktu penyimpanan dalam freezer menunjukkan bahwa perlakuan C1 memiliki perbedaan yang nyata dengan perlakuan C2 dan perlakuan C3. Selisih nilai tengah perlakuan C1 dan C2 serta selisih nilai tengah perlakuan C1 dan C3 lebih besar dari nilai BNT. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan C1 memiliki perbedaan yang nyata dengan perlakuan C2 dan juga memiliki perbedaan yang nyata dengan perlakuan C3. Untuk perlakuan C2 dan C3, selisih nilai tengah perlakuan C2 dan C3 juga lebih besar dari nilai BNT sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan C2 dan C3 berbeda nyata terhadap pembentukan bunga es (Lampiran 3). Udara yang masuk ke dalam freezer membutuhkan suatu partikel yang berfungsi sebagai tempat pembentukan bunga es. Partikel tersebut dapat berukuran mikroskopis maupun makroskopis. Semakin lama udara tertahan di dalam freezer maka semakin banyak jumlah udara yang terbentuk menjadi bunga es dalam partikel tersebut (Brookes 2006). Untuk interaksi antara pemberian larutan anti-icing dengan perbedaan waktu penyimpanan memperlihatkan bahwa interaksi pemberian propilen glikol dan kitosan dengan waktu penyimpanan dalam freezer tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan bunga es. Hal tersebut dapat terjadi diduga karena kemampuan propilen glikol dan kitosan hanya dalam menghambat pembentukan bunga es terbatas hingga 70 menit. Setelah melewati 70 menit bunga es akan terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu maka jumlah udara yang kemudian berubah menjadi bunga es akan semakin banyak (Brookes 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN Holdovertime perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 0,5 %,

1 % dan 1,5 % adalah 70, 90 dan lebih dari 120 menit. Holdovertime perlakuan propilen glikol tanpa larutan kitosan adalah 50 menit dan holdovertime perlakuan tanpa pemberian larutan anti-icing (kontrol) adalah 0 menit. Perlakuan propilen glikol dengan penambahan larutan kitosan 0,5 % disebut perlakuan yang terbaik dan perlu diuji efektivitasnya karena memiliki holdovertime paling lama dibandingkan perlakuan lain yang masuk dalam kisaran waktu 30-80 menit. Efektivitas propilen glikol dan kitosan diukur berdasarkan berat bunga es yang terbentuk. Semakin sedikit bunga es maka semakin efektif propilen glikol dan kitosan mencegah pembentukan bunga es. Berat bunga es yang dihasilkan oleh perlakuan propilen glikol dengan penambahan kitosan 0,5 % pada jam ke-8, 16 dan 24 adalah 0,80 gram; 1,02 gram dan 2,89 gram. Perlakuan propilen glikol tanpa penambahan kitosan pada jam ke-8, 16 dan 24 menghasilkan bunga es dengan berat 1,05 gram; 1,60 gram dan 3,12 gram. Sedangkan berat bunga es yang terbentuk pada perlakuan kontrol jam ke-8, 16 dan 24 adalah 1,29 gram; 1,72 gram dan 3,68 gram. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa penambahan kitosan pada propilen glikol efektif mencegah pembentukan bunga es. Saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya uji kekuatan penempelan larutan anti-icing pada lapisan plat aluminium dengan menggunakan blower kecepatan tinggi. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui batas kemampuan penempelan larutan anti-icing pada suatu lapisan permukaan. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian kadar KOB pada lingkungan perairan yang terpapar larutan anti-icing.

Page 87: PEMANFAATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA PEMBUATAN DODOL KENTANG

Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3333----4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan

387

DAFTAR PUSTAKA

Angkasa Pura II. 2007. Laporan Tahunan 2007:Together We Build a Better Future. Jakarta : PT. Angkasa Pura II.

Beisswenger A. 2006. Aircraft Deicing and Anti-icing Fluid Testing. Aircraft and Airfield Deicing and Stormwater Conference. Anti-icing Materials International Laboratory.

Brooks M. 1999. Get a Grip on Genetics. London : The Ivy Press Limited. European Aviation Safety Agency. 2008. Annual Safety Review 2008. Cologne : Safety

Analysis and Research Department of European Aviation Safety Agency. Guilbert S, Biquet B. 1996. Edible films and coatings. Dalam: G. Bureau and J. L.

Multon (Ed). Food Packaging Technology. New York:VCH Publishers, Inc.Internatioanal Civil Aviation Organization. 2008. Regional Report:APAC Reinforcing The Principles of Efficiency and Safety in An Unprecedented Era of Growth. Montreal : ICAO Kanada.

Jia YT, Gong J, Gu Xy, Kim HY, Dong J, Shen XY. 2007. Fabrication and characterization of polyvinyl alcohol/chitosan blend nanofibers produced by electrospinning method. Carbohydrate Polymers 67 : 403-409

Landsberg B. 2008. Safety Advisor : Aircraft Icing. AOPA Air Safety Foundation. Lee R, Gulley, Meltzer P. 2001. Materials Research Results in Improved Aircraft Anti-

icing/Deicing Fluid. Air Force Research Laboratory's Materials and Manufacturing.

Lemma S. 1998. Anti-icing Fluids. US Patent Issued on 12 May 1998. Nixon WA, Williams AD. 2001. A Guide for Selecting Anti-icing Chemicals. IIHR

Technical Report No. 420. Ohkawa K, Yamada M, Nishida A, Nishi N dan Yamamoto H. 2000. Biodegradation of

Chitosan-Gellan and Poly(L-lysine)-Gellan Polyion Complex Fibers by Pure Cultures of Soil Filamentous Fungi. Journal of Polymers and the Environment.

Prashant KVH, Tharanathan RN. 2007. Chitin/chitosan: modification and their unlimited application potential – an overview. Food Science and Technology vol. 18. Hal : 117-131

Puspitasari D. 2009. Sifat Koligatif Larutan : Kenaikan Titik Didih dan Penurunan Titik Beku. Universitas Pendidikan Indonesia e-Learning.

Ritter S. 2001. Aircraft Deicers. Chemical & Engineering News. Rinaudo M. 2006. Chitin and Chitosan : properties and applications. Prog. Polym. Sci.

31 : 603-632 Samuels WD, Conkle HN, Monzyk BF, Simmons KL, Frye Jr. JG, Werpy TA, Kuczek

SF, Chauhan SP. 2006. Deicing/Anti-icing Fluids. Battelle Memorial Institute, Columbus, OH (US). United States Patent. Patent number 7105105 B2.

Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Matematika. Terjemahan : Bambang Sumantri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumbodo S. 2008. Kisah Indonesian Airways dan Kontroversi Sejarah. www. indoflyer.net

Tang ZX, Shi LE, Qian JQ. 2007. Neutral lipase from aqueous solutions on chitosan nano-particles. Biochemical Engineering Journal 34 : 217-223

Tye RJ, Wiscasset, Lauterbach GE, Standel PR, Lamoine. 1987. Aircraft anti–icing fluid containing carrageenan. United States Patent. Patent number 4698172.

Waldinger P. 2008. Future of Air-Traffic-Management : How to Overcome A Potential Capacity Wall. DFS Deutsche Flugsicherung GmbH Technical University Darmstadt Feldstraße 24 E, D-61352 Bad Homburg, Germany.

Wijk A and Bo K. 1993. Determination of Glycol in Aircraft Ground Deicing/Anti-icing Fluids Using Flow Injection with Refractive index Detection. Department of Analytical Chemistry, Stockholm University, Stockholm, Sweden.