Page 1
PEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PENGEMBANGAN
RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN ESTIMASI
SUHU PERMUKAAN DARATAN
DI KOTA PEKALONGAN
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
Trida Ridho Fariz
NIM 3211411024
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
Page 2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia
Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial UNNES pada:
Hari :
Tanggal :
Semarang, 2015
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Tjaturrahono Budi S, M.Si. Prof. Dr. Dewi Liesnoor S, M.Si
NIP 19621019 198803 1 002 NIP 19620811 198803 2 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Geografi
Dr. Tjaturrahono Budi S, M.Si
NIP 19621019 198803 1 002
Page 3
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:
Hari :
Tanggal :
Penguji Utama
Drs. Satyanta Parman, M.T
NIP 19611202 1990021 001
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Dewi Liesnoor S, M.Si Dr. Tjaturrahono Budi S, M.Si.
NIP 19620811 198803 2 001 NIP. 19621019 198803 1 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP. 19630802 198803 1 001
Page 4
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar
hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian maupun
seluruhnya. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 16 November 2015
Trida Ridho Fariz
3211411024
iv
Page 5
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ilmu itu bukan yang dihafal tetapi yang memberi manfaat (Imam Syafi’i)
Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang
lain. Harus semakin mengenal batas. (Pramoedia Ananta Toer)
Yang benar pasti menang (Trida Ridho Fariz)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang saya
persembahkan untuk diri saya sendiri dan orang yang paling saya cintai yaitu
kedua orangtua saya.
v
Page 6
vi
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Pemanfaatan Citra Satelit Dan Sistem Informasi Geografis Untuk
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Suhu Permukaan Daratan
Di Kota Pekalongan ”.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari dukungan
keluarga dan teman-teman. Pada kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan
terima kasih kepada orangtua tercinta yang tidak pernah berhenti memberi do’a
serta dukungan dan juga kepada bapak ibu dosen pembimbing, yaitu Dr.
Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si dan Prof. Dr. Dewi Liesnoor Setyowati, M.Si yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Selain itu, dengan
rendah hati penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1) Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang;
2) Drs. Moh. Solehatul Mustofa, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang;
3) Drs. Apik Budi Santoso, M.Si selaku Ketua Jurusan Geografi;
4) Drs. Satyanta Parman, M.T selaku Dosen Penguji utama yang telah memberi
masukan dalam skripsi ini;
5) Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Geografi yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis;
vi
Page 7
vii
6) Keluarga besar KSG Social Adventure Club yang senantiasa memberikan
inspirasi dan pembelajaran untuk selalu maju;
7) Teman – teman Geografi UNNES 2011 yang memberikan dorongan maupun
dukungan;
8) Bu Esti dari Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada
serta Pak Heri dan Pak Sofjan dari Magister Fisika Universitas Diponegoro
yang telah memberi masukan dan meminjamkan alat;
9) Bapak Larry Page dan Sergrey Brin yang memudahkan dalam pembuatan
skripsi ini dengan mahakarya mereka yang bernama mesin pencarian Google;
10) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu
dan mendukung dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Semoga semua bimbingan, dorongan, dan bantuan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada kekurangannya, karena
kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Sempurna, tetapi usaha maksimal telah
penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Semarang, 16 November 2015
Penulis
vii
Page 8
viii
SARI
Trida Ridho Fariz, 2015. Pemanfaatan Citra Satelit Dan Sistem Informasi
Geografis Untuk Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Estimasi
Suhu Permukaan Daratan Di Kota Pekalongan. Skripsi. Jurusan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Kata Kunci : Citra Satelit, Pola Persebaran, Ruang Terbuka Hijau (RTH), Sistem
Informasi Geografis (SIG), Suhu Permukaan Daratan
Dampak perubahan iklim di kota pesisir berpotensi menyebabkan kenaikan
muka air laut, banjir dan peningkatan suhu. Meningkatnya suhu bumi
berhubungan dengan fenomena Urban Heat Island dan fenomena ini sudah terjadi
di pesisir utara Jawa Tengah ditandai dari tahun 2004 sampai 2014 terjadi
peningkatan suhu sebesar 0,2530
C. (BMKG Statklim Semarang). Kota
Pekalongan yang merupakan kota pesisir di utara Jawa Tengah luasan area
terbangunnya meningkat dari 25,61 km2
pada tahun 2011 menjadi 25,71 km2 pada
tahun 2012 (BPS Kota Pekalongan, 2013). Salah satu cara mengatasi femomena
urban heat island adalah dengan RTH atau Ruang Terbuka Hijau, tetapi luas RTH
Kota Pekalongan sekitar 6,91 km2 atau 15,39% dari luas wilayah (BLH Provinsi
Jawa Tengah, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kondisi persebaran RTH di Kota
Pekalongan dengan menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis; 2)
Mengetahui persebaran suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan dengan
menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis; 3) Mengetahui wilayah
prioritas pengembangan RTH di Kota Pekalongan dengan sistem informasi
geografis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil interpretasi penutup lahan dari citra
satelit Quickbird mempunai akurasi sebesar 92,5% dan dari hasil interpretasi citra
satelit Quickbird didiketahui bahwa luas RTH Kota Pekalongan adalah 12,796
Km2
atau 27,88% dari luas wilayah dengan persebaran mengelompok pada
Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Selatan. Suhu
permukaan daratan hasil pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM+ di Kota
Pekalongan adalah 26,870 sampai 32,09
0C dengan korelasi terhadap suhu
dilapangan adalah sebesar 0,66. Dan wilayah yang menjadi prioritas
pengembangan RTH adalah Kelurahan Bendan, Kelurahan Kergon, Kelurahan
Medono, Kelurahan Pringlangu di Kecamatan Pekalongan Barat, Kelurahan
Kradenan di Kecamatan Pekalongan Selatan, Kelurahan Landungsari dan
Kelurahan Noyontaan di Kecamatan Pekalongan Timur. dengan jenis RTH yang
dikembangkan adalah RTH sempadan jalan, sempadan SUTT, sempadan sungai
dan pekarangan rumah maupun kantor dengan jenis vegatasi berkanopi besar.
Saran yang didapat dari penelitian ini adalah pemerintah sebaiknya tidak hanya
sebatas untuk memenuhi batas persentase minimal berdasarkan peraturan tetapi
harus benar-benar efektif sesuai dengan fungsi dari peraturan perundangan
tersebut.
viii
Page 9
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
PRAKATA ...................................................................................................... vi
SARI ................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................... 4
1.5. Batasan Penelitian. ........................................................................ 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Citra Satelit ................................................................................ 8
2.1.1. Citra Satelit Landsat 7 ETM+ .................................................... 9
2.1.2. Citra Satelit Quickbird ............................................................... 12
2.1.3. Interpretasi Citra......................................................................... 13
2.1.4. Pengolahan Citra Satelit Untuk Penutup Dan Penggunaan
Lahan ......................................................................................... 14
2.1.5. Pengolahan Citra Satelit Untuk Suhu Permukaan Daratan ........ 18
ix
Page 10
x
2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)………………………………21
2.2.1. Kemampuan dan Sistem SIG ..................................................... 22
2.2.2. Analisis Sistem Informasi Geografis ......................................... 24
2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) ..................................................... 26
2.3.1. Tipologi dan Fungsi RTH .......................................................... 26
2.3.2. Pengembangan RTH. ................................................................. 26
2.4. Pemanfaatan Citra Satelit Dan SIG ............................................ 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Dan Obyek Penelitian........................................................ 32
3.2. Variabel Penelitian ........................................................................ 32
3.3. Data Dan Peralatan Dalam Penelitian ........................................... 33
3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 34
3.5. Teknik Penentuan Sampel ............................................................. 36
3.6. Diagram Alir ................................................................................. 42
3.7. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ......................................... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ............................................ 50
4.1.1. Kondisi Fisik .............................................................................. 52
4.1.2. Kondisi Kependudukan .............................................................. 53
4.1.3. Kondisi Jaringan Transportasi .................................................... 55
4.2. Hasil Penelitian .......................................................................... 57
4.2.1. Kondisi Sebaran RTH Di Kota Pekalongan ............................... 57
4.2.2. Suhu Permukaan Daratan Di Kota Pekalongan .......................... 68
4.2.3. Pengembangan RTH .................................................................. 79
4.3. Pembahasan ................................................................................ 91
4.3.1. Pemanfaatan Intregasi Data Citra Satelit dan SIG......................91
4.3.2. Efek Dari Persebaran RTH ......................................................... 96
4.3.3 Efek Dari Suhu Permukaan Daratan .......................................... 97
4.3.4. Keterkaitan RTH Eksiting Dengan RTRW ................................ 101
x
Page 11
xi
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 105
5.2. Saran ................................................................................................. 107
Daftar Pustaka .................................................................................................. 108
Lampiran – Lampiran ....................................................................................... 111
xi
Page 12
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Spesifikasi Citra Satelit Landsat 7 ETM+ .................................. 9
Tabel 2.2. Karakteristik Sistem Satelit Quickbird ....................................... 12
Tabel 2.3. Klasifikasi Penutup Lahan Dari Malingreau & Christiani .......... 15
Tabel 2.4. Nilai Emisivitas Berdasarkan NDVI dan Jenis Tutupan Lahan .. 21
Tabel 2.5. Tipologi RTH .............................................................................. 26
Tabel 3.1. Total Sampel Minimal Berdasarkan Skala Peta .......................... 37
Tabel 3.2. Tingkat Hubungan Koefisien Korelasi ....................................... 48
Tabel 4.1. Tipe tutupan lahan dan luasannya di Kota Pekalongan .............. 62
Tabel 4.2. Sebagian Hasil Uji Lapangan dan Suhu Pengolahan Citra ......... 71
Tabel 4.3. Luasan Dan Persentase Tiap Kelas Suhu .................................... 75
Tabel 4.4. Wilayah Di Kota Pekalongan Dengan Suhu Diatas 320C ............ 76
Tabel 4.5. Kelas Luasan Suhu Diatas 320C Per Kelurahan .......................... 79
Tabel 4.6. Wilayah Prioritas Pengembangan RTH Beserta Alternatif
Pengembangannya ...................................................................... 88
xii
Page 13
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Tampilan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ SLC Off ................... 9
Gambar 2.2. Kategori Kelas Penutup dan Penggunaan Lahan Untuk
Tiap Dimensi ............................................................................ 17
Gambar 2.3. Diagram perbandingan suhu lapangan dengan suhu
pengolahan citra ................................................................... 20
Gambar 2.4. Kedudukan Citra Satelit Dalam Sistem SIG ............................ 23
Gambar 3.1. Citra Satelit Quickbird Tahun 2010 ......................................... 38
Gambar 3.2. Band 6 Citra Satelit Landsat 7 +ETM Tahun 2015 .................. 39
Gambar 3.3. Peta Titik Survey Dan Kunci Interpretasi Tutupan Lahan ....... 40
Gambar 3.4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Pekalongan ............................ 41
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Pekalongan ......................................... 49
Gambar 4.2. Peta Topografi Kota Pekalongan.............................................. 50
Gambar 4.3. Peta Kepadatan Penduduk Kota Pekalongan ........................... 54
Gambar 4.4. Peta Jaringan Transportasi Kota Pekalongan ........................... 56
Gambar 4.5. Peta Tutupan Lahan Kota Pekalongan ..................................... 59
Gambar 4.6. Tutupan lahan berupa lahan terbangun pada citra satelit
Quickbird dan di lapangan di Kecamatan Pekalongan Utara ... 59
Gambar 4.7. Kenampakan tutupan lahan berupa tubuh air pada citra satelit
Quickbird dan di lapangan di Kecamatan Pekalongan Utara ... 60
Gambar 4.8. Kenampakan tutupan lahan berupa RTH pada citra satelit
Quickbird dan di lapangan........................................................ 60
Gambar 4.9. Kenampakan tutupan lahan berupa lahan terbuka pada citra
Quickbird dan di lapangan Kecamatan Pekalongan Timur ...... 61
Gambar 4.10. Peta RTH Di Kota Pekalongan................................................. 64
Gambar 4.11. Peta Pola Persebaran RTH Di Kota Pekalongan ...................... 66
Gambar 4.12. Kenampakan sebaran terpadat RTH pada Peta Pola
Persebaran RTH dan kenampakan pada citra satelit
Quickbird di Kel. Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan .... 66
xiii
Page 14
xiv
Gambar 4.13. Kenampakan sebaran RTH pada Peta Pola Persebaran RTH
dan kenampakan pada citra satelit Quickbird di Kel. Klego,
Kecamatan Pekalongan Timur dan sekitarnya ......................... 67
Gambar 4.14. Tampilan rona red-yellow hasil pengolahan suhu permukaan
daratan wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya .................... 69
Gambar 4.15. Pengkuran suhu permukaan daratan di lapangan dan alatnya .. 70
Gambar 4.16. Diagram Sactter Hasil Uji Korelasi Suhu Permukaan Daratn
Dari Pengolahan Citra Dengan Pengkuran Lapangan .............. 72
Gambar 4.17. Peta Suhu Permukaan Daratan Kota Pekalongan ..................... 73
Gambar 4.18. Kondisi Suhu Permukaan Daratan Pada Tutupan Lahan Serta
Profilnya ................................................................................... 77
Gambar 4.19. Kenampakan wilayah suhu permukaan daratan tertinggi di
Kota Pekalongan pada citra satelit Quickbird dan di lapangan 77
Gambar 4.20. Peta Prioritas Pengembangan RTH Di Sebagian Kecamatan
Pekalongan Barat....................................................................... 81
Gambar 4.21. Peta Prioritas Pengembangan RTH Di Sebagian Kecamatan
Pekalongan Barat.......................................................................83
Gambar 4.22. Peta Prioritas Pengembangan RTH Di Sebagian Kecamatan
Pekalongan Selatan................................................ ................... 85
Gambar 4.23. Peta Prioritas Pengembangan RTH Di Sebagian Kecamatan
Pekalongan Timur...................................................................... 87
Gambar 4.24. Tanaman Trembesi dan Ketapang ............................................ . 90
Gambar 4.25. Tanaman Tanjung dan Sarai Raja ............................................ . 90
xiv
Page 15
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Peningkatan Dan Trend Suhu Pesisir Utara Jawa Tengah . 111
Lampiran 2. Proses Pra Pengolahan Citra Satelit............................................ 112
Lampiran 3. Proses Pembuatan Peta Tutupan Lahan & Peta Pola Persebaran
RTH ............................................................................................ 117
Lampiran 4. Pembuatan Peta Suhu Permukaan .............................................. 124
Lampiran 5. Hasil Atmosphere Correction Parameters Calculator ................. 128
Lampiran 6. Histogram Hasil Pengolahan Citra ............................................. 129
Lampiran 7. Hasil Survey Lapangan................................................................130
xv
Page 16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Fenomena perubahan iklim telah menjadi perhatian utama negara-
negara di seluruh dunia saat ini. Meskipun banyak pro kontra dari kalangan
para ahli mengenai sebab fenomena perubahan iklim ini, tetapi yang pasti
dampak dari perubahan iklim telah dirasakan sekarang. Dampak perubahan
iklim di perkotaan berpotensi menyebabkan ancaman kenaikan permukaan
laut, banjir dan peningkatan suhu udara yang menimpa kota-kota di pesisir
dan menghancurkan infrastruktur sosial maupun ekonomi.
Peningkatan permukaan air laut disebabkan mencairnya es dikutub
yang merupakan akibat dari peningkatan suhu bumi. Meningkatnya suhu
bumi tak bisa dilepaskan dari fenomena Urban Heat Island. Urban Heat
Island merupakan fenomena iklim di mana daerah perkotaan memiliki suhu
udara lebih tinggi dari pinggiran mereka karena modifikasi antropogenik dari
permukaan tanah (Abutaleb dkk, 2015). Urban Heat Island merupakan
dampak dan penyebab dari meningkatnya suhu bumi. Urban Heat Island
akan menyebabkan peningkatan ketidaknyamanan manusia, sehingga
meningkatnya kebutuhan pendingin seperti AC yang berdampak peborosan
energi dan polusi, dan menyebabkan Green house effect. Pemakaian energi
listrik akan meningkakan emisi yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang
akan berkontribusi pada pemanasan global.
1
Page 17
2
Kota Pekalongan yang merupakan kota pesisir di utara Jawa Tengah
ini adalah salah satu kota yang terdampak perubahan iklim berupa
peningkatan suhu. Di pesisir utara Jawa Tengah dari tahun 2004 sampai 2014
terjadi peningkatan suhu sebesar 0,2530
C. (Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika Statklim Semarang), peningkatan suhu ini juga dibarengi
dengan bertambahnya luas area terbangun di Kota Pekalongan, pada tahun
2011 luas area terbangunnya sebesar 25,61 km2 dan meningkat menjadi 25,71
km2 pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, 2013). Hal ini
membuat Kota Pekalongan terdapat fenomena urban heat island dan
mengurangi kenyamanan kota
Salah satu cara mengatasi femomena urban heat island adalah dengan
ruang terbuka hijau atau bisa disingkat menjadi RTH. Kota Pekalongan saat
ini memiliki luasan RTH sekitar 6,91 km2 atau 15,39% dari luas wilayah yang
terdiri dari taman kota, hutan kota, sempadan sungai, sempadan rel kereta api,
sempadan SUTT, perlindungan pantai, lapangan, makam dan taman fasilitas
lain seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain (Dinas Cipta Karya
dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah, 2013). Tetapi jumlah ini belum
memenuhi luasan minimal RTH menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yaitu paling sedikit sebesar 30% dari luas wilayah
kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008
proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
Page 18
3
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota.
Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
membuat suatu arahan dalam pengembangan RTH untuk menanggulangi
dampak perubahan iklim di Kota Pekalongan berupa urban heat island. Salah
satunya dapat dilakukan dengan pemanfaatan integrasi data citra satelit dan
Sistem Informasi Geografis. Hal tersebut dikarenakan dalam penataan dan
pengembangan wilayah sangat membutuhkan data dan informasi yang
mengilustrasikan kondisi suatu wilayah. Citra satelit mampu menunjukkan
gambaran obyek bahkan suhu suatu wilayah dan dengan sistem informasi
geografis citra satelit tersebut dianalisis dan diolah bersama data lain
sehingga mengahasilkan data keluaran berupa peta yang kita inginkan.
Melalui data citra satelit, fenomena urban heat island dapat diketahui melalui
deteksi persebaran suhu permukaan daratan, begitu juga dengan persebaran
keruangan RTH. Hasil pengolahan citra satelit tersebut digabungkan dengan
data-data yang mendukung ke dalam satu Sistem Informasi Geografis.
Sehingga didapat hasil berupa arahan wilayah mana saja di Kota Pekalongan
yang perlu ditingkatkan RTHnya.
Page 19
4
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya.
Maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi persebaran RTH di Kota Pekalongan?
2. Bagaimana persebaran suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan?
3. Di wilayah manakah yang menjadi prioritas utama pengembangan RTH
di Kota Pekalongan?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kondisi persebaran RTH di Kota Pekalongan dengan
menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis.
2. Mengetahui persebaran suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan
dengan menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis.
3. Mengetahui wilayah prioritas pengembangan RTH di Kota Pekalongan
dengan sistem informasi geografis.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan untuk pengembangan kajian tentang
RTH dan suhu permukaan daratan dengan memanfaatkan citra satelit dan
sistem informasi geografis.
Page 20
5
2. Manfaat Praktis
Dinas terkait seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH). Penelitian
ini dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk
mengambil suatu kebijakan, terkait dengan pengembangan RTH di
Kota Pekalongan.
1.5. Batasan Penelitian
1. Citra Satelit
Citra digital penginderaan jauh adalah citra yang menggambarkan
kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi yang diperoleh
melalui proses perekaman pantulan (reflectance), pancaran (emittance),
maupun hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik
dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana, baik
itu wahana dimenara, pesawat udara maupun wahana luar angkasa
(Danoedoro 2012:21). Jadi citra satelit adalah citra digital penginderaan
jauh dari sensor optik-elektronik di wahana luar angkasa yaitu satelit.
2. Sistem Informasi Geografis
Menurut Rice (Suryantoro 2009:4), Sistem Informasi Geografis yang
selanjutnya disingkat menjadi SIG adalah sistem komputer yang
digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data
yang berhubungan dengan permukaan bumi.
Page 21
6
Penelitian ini menggunakan integrasi data citra satelit dengan sistem
informasi geografis dimana citra satelit merupakan data masukan
sedangkan sistem informasi geografis digunakan dalam pembuatan peta
dari citra satelit tersebut dan menganalisisnya sehingga menghasilkan
sebuah sebuah arahan pengembangan RTH di Kota Pekalongan.
3. Suhu Permukaan Daratan
Menurut Earth Observatory NASA (Risalah, 2011). Suhu
permukaan daratan atau land surface temperature (LST) adalah panas
permukaan bumi yang menyentuh di lokasi tertentu (dari titik pandang
satelit, permukaan adalah apa saja yang terlihat melalui atmosfer ke
tanah, berupa rumput di halaman, atap bangunan atau daun-daun pada
kanopi tanaman hutan). Dengan demikian,suhu permukaan daratan
berbeda dengan suhu udara yang disertakan dalam laporan cuaca harian.
Pada penelitian ini, suhu permukaan daratan didapat dari pengolahan
band termal citra satelit Landsat 7 ETM+ dan peta suhu permukaan
daratan hasil pengolahan citra hanya estimasi suhu permukaan daratan
pada waktu dimana proses perekaman terjadi.
4. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH Di Kawasan
Perkotaan. RTH adalah area memanjang atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Page 22
7
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2007 (Khairunnisa dan Natalivan, 2013:2) RTH sebagai bagian dari
ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan
dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi,
dan estetika. Sehingga RTH pada penelitian ini adalah semua tutupan
lahan bervegetasi baik itu vegetasi lebat seperti hutan maupun vegetasi
jarang seperti rumput dan lahan pertanian yang hijau pada saat
perekaman citra terjadi. Penelitian ini akan memberi arahan wilayah
mana di Kota Pekalongan yang harus ditingkatkan kuantitas maupun
kualitas ruang terbuka hijau (RTH) berdasarkan suhu permukaan
daratan.
Page 23
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Citra Satelit
Citra digital penginderaan jauh adalah citra yang menggambarkan
kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi yang diperoleh melalui
proses perekaman pantulan (reflectance), pancaran (emittance), maupun
hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik dengan sensor
optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu wahana
dimenara, pesawat udara maupun wahana luar angkasa (Danoedoro 2012:21).
Jadi citra satelit adalah citra digital penginderaan jauh dari sensor optik-
elektronik di wahana luar angkasa yaitu satelit.
. Karakteristik citra satelit penginderaan jauh perlu diketahui agar
pemanfaatannya efektif dan efisien. Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2009:24)
karakteristik citra satelit meliputi:
1. Resolusi spasial yaitu ukuran obyek terkecil yang masih dapat terdeteksi
terpisah oleh sensor.
2. Lebar sapuan yaitu lebar permukaan bumi yang diindera secara sekaligus
pada saat penginderaan.
3. Resolusi spektral yaitu jumlah saluran spektral (band) dan makin
sempitnya kanal-kanal spektral tersebut.
8
Page 24
9
4. Resolusi temporal yaitu periode waktu (standar) satelit kembali berada
diatas tempat yang sama di bumi.
5. Resolusi radiometrik dari datanya, pada umumnya adalah 8 bit.
2.1.1. Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Citra Landsat 7 ETM+ adalah citra dari satelit Landsat seri ketujuh,
satelit ini diluncurkan pada April 1999. Citra satelit ini memiliki resolusi
spasial 30 m pada band 1 sampai 5 dan 7 multispektral, 15 m pada band 8
pankromatik dan 60 m band 6 termal.
Tabel 2.1. Spesifikasi citra satelit Landsat 7 ETM+
Band Panjang
Gelombang Aplikasi
1 0.45–0.52 Tanggap peningkatan peneterasi air dan mendukung
analis sifat khas pengguna lahan, tanah, serta
vegetasi.
2 0.53–0.61 Mengindera puncak pantulan vegetasi dan perbedaan
vegetasi, dan nilai kesuburan.
3 0.63 -0.69 Memisahkan vegetasi vegetasi dan memperkuat
kontras vegetasi dan bukan vegetasi.
4 0.78–0.90 Tanggap terhadap biomass vegetasi dan identifikasi
tanaman. Memperkuat kontras tanaman, tanah dan
air
5 1.55 -1.75 Menentukan jenis tanaman serta kandungan airnya
dan menentukan kondisi kelembaban tanah.
6.1 &
6.2
10.40-12.50 Deteksi perubahan suhu obyek, analisa gangguan
vegetasi dan perbedaan kelembaban tanah.
7 2.09 – 2.35 Formasi batuan dan analisis bentuk lahan
8 0.52 – 0.90 Resolusi spasial yang relatif lebih tinggi dan
digunakan untuk aplikasi dengan akurasi tinggi
Sumber: Purwadhi dan Sanjoto, 2008:60-61
Peluncuran Satelit Landsat 7 ETM+ hanya bertahan kurang dari 5
tahun, pada bulan Mei 2003 satelit tersebut mengalami kerusakan pada Scan
Page 25
10
Line Corrector (SLC). Kerusakan ini mengakibatkan munculnya strip atau
garis hitam pada area perekaman sehingga citra tidak utuh.
Citra satelit Landsat 7 ETM+ masih dapat digunakan, salah satunya
adalah dengan melakukan restorasi citra berupa pengisian strip atau garis
hitam yang terdapat pada citra hasil perekaman. Citra pengisi yang
dimaksudkan merupakan citra area tersebut yang berada pada waktu
pengamatan yang berbeda tetapi masih pada musim yang sama dan
tanggal perekamannya berdekatan dengan citra utamaernanya. Hal ini
dikarenakan letak strip pada citra berbeda untuk tiap waktu pencitraannya.
Gambar 2.1. Tampilan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ SLC Off
Citra yang akan digunakan sebagai citra master sebaiknya dipilih citra
yang daerah penelitiannya tidak tertutup oleh awan. Apabila tutupan awan
terlalu lebar, sebaiknya memilih citra yang lain. Citra master merupakan
citra acuan dan datanya paling banyak digunakan untuk pengolahan
citra selanjutnya. Proses pengisian gap pada citra master dilakukan
dengan cara menumpangtindihkan citra master dengan citra pengisi.
Page 26
11
Sebaiknya citra pengisi lebih dari satu sehingga semua gap pada citra dapat
tertutup dengan maksimal.
Citra satelit Landsat 7 ETM+ terdapat Band IR Termal yaitu pada
band 6. Band 6 Landsat 7 ETM+ dapat digunakan untuk aplikasi terkait
suhu, salah satunya untuk mengetahui fenomena urban heat island melalui
persebaran suhu permukaan daratan. Band 6 yang dipakai pada penelitian
ini adalah band 6.1 (mode low-gain) karena pencitraan oleh citra Landsat 7
ETM+ dilakukan pada pagi hari.
Citra Landsat 7 ETM+ band 6.1 memiliki resolusi spasial sebesar 60
meter, lebih besar dari Band Termal Citra Aster yaitu sebesar 90 meter
bahkan Band IR Termal Citra Landsat 8 OLI/TIRS yaitu sebesar 120 meter.
Selain itu Citra Landsat 7 ETM+ saluran 6.1 memiliki akurasi paling tinggi
dalam pengolahan suhu permukaan. Hal ini berdasarkan hasil penelitian
Wisnawa (2008) yang melakukan pengolahan suhu permukaan daratan
menggunakan citra satelit Landsat dan citra satelit ASTER yang ditandai
oleh rms difference band 6.1 untuk citra satelit Landsat 7 ETM+ sebesar
4,95, diikuti saluran 13 pada citra ASTER dengan rms difference sebesar
5,73. Oleh karena itu, walaupun terdapat stripping peneliti tetap
menggunakan Band Termal citra Landsat 7 ETM+ dalam melakukan
estimasi suhu permukaan daratan.
Page 27
12
2.1.2. Citra satelit Quickbird
Citra Quickbird ialah citra digital hasil penginderaan sensor satelit
Quickbird yang dikelola oleh Digital Globe. Berhasil diluncurkan di SLC-
2W, Vandenberg AFB California, Amerika Serikat pada tanggal 18 Oktober
2001.
Tabel 2.2. Karakteristik sistem satelit Quickbird
Saluran Resolusi
Spektral
Resolusi
Spasial
Sensor:
Linear array, pushbroom
1 0,45-0,52 2,44 m Swath: 16 km
2 0,52-0,60 2,44 m Rate: 50 Mb/detik
3 0,63-0,69 2,44 m Revisit: 1-5 hari, tergantung lintang
4 0,76-0,89 2,44 m Bit Coding: 11 bit (0-2047)
Pan 0,45-0,90 0,61 m Orbit: 600 km
Sumber: Danoedoro, 2012:91
Berdasarkan karakteristiknya citra satelit Quickbird sangat cocok
untuk pemetaan RTH, karena resolusi spasialnya yang tinggi sehingga dapat
membedakan jenis tutupan lahan dengan mudah dibandingkan citra satelit
Landsat. Ketelitian citra satelit Quickbird juga lebih tinggi dari foto udara
pankromatik hitam putih. Rini dan Hadi (2013) melakukan penyusunan
neraca perubahan lahan di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta
dengan menggunakan interpretasi foto udara pankromatik hitam putih
skala 1:8900 tahun 1996 dan citra Quickbird berwarna skala 1:5400 tahun
2008. Hasil tingkat ketelitian untuk interpretasi penggunaan lahan di
wilayah Kecamatan Umbulharjo masing-masing adalah 85% dan 90,02%.
Ketelitian kategori hasil interpretasi citra Quickbird menunjukan hasil yang
lebih teliti karena semua kategori memiliki ketelitian di atas 85%.
Page 28
13
2.1.3. Interpretasi Citra
Interpretasi atau penafsiran citra pengindraan jauh merupakan
perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek yang
tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya objek tersebut.
Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi
dan Sanjoto, 2008:49).
Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan
jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara
keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur
interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur,
situs, asosiasi dan konvergensi bukti.
Interpretasi digital yang dilakukan oleh komputer memiliki
keunggulan waktu yang singkat namun demikian, metode ini juga memiliki
kelemahan-kelemahan yang cukup besar dibandingkan metode manual atau
visual. Kelemahan yang paling menonjol bersumber dari keterbatasan
kemampuan komputer untuk membaca kunci-kunci interpretasi obyek.
Perkembangan teknologi komputer untuk penafsiran citra saat ini umumnya
baru sampai pada tahap pemanfaatan rona dan warna sebagai penciri obyek.
Jika kualitas citra kurang bagus, maka hasil interpretasi juga kurang bagus.
Page 29
14
2.1.4. Pengolahan Citra Satelit Untuk Penutup Dan Penggunaan Lahan
Hal yang paling umum dari pemanfaatan citra satelit adalah untuk
memperoleh informasi tentang penggunaan dan penutup lahan. Menurut
Lillesand dan Kiefer (Purwadhi dan Sanjoto, 2008:8) penutup atau tutupan
lahan berkaitan dengan jenis kenampakan di permukaan bumi seperti
bangunan, danau, vegetasi. Sedangkan menurut Lindgren (Purwadhi dan
Sanjoto, 2008:8) penggunaan lahan adalah semua jenis penggunaan atas
lahan oleh manusia, mencakup penggunaan untuk pertanian hingga
lapangan olahraga, rumah, rumah makan, rumah sakit hingga makam.
Penutup lahan lebih sederhana dari penggunaan lahan karena penutup lahan
hanya jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi berbeda dengan
penggunaan lahan yang lebih spesifik yaitu penggunaan kegiatan manusia
terhadap lahan. Oleh karena itu, peneliti dapat mengetahui persebaran RTH
yang dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan lahan bervegetasi dengan
identifikasi penutup lahan. Untuk mengetahui informasi tentang penutup
lahan di permukaan bumi, diperlukan interpretasi citra. Interpratasi
tersebut dilakukan berdasarkan jenis citra satelit yang dipakai. Untuk citra
satelit beresolusi spasial tinggi seperti Quickbird dan Pleaides maka
interpretasi dilakukan secara manual visual. Sedangkan untuk citra satelit
beresolusi spasial menengah seperti Landsat dan ASTER bahkan kebawah
maka interpretasi dilakukan secara digital maupun secara hibrida.
Sebelum melakukan interpretasi, terlebih dahulu harus dilakukan
skema klasifikasi penggunaan lahan. Danoedoro (2012:299) menyatakan
Page 30
15
bahwa di Indonesia, Bakosurtanal (sekarang Badan Informasi
Geospasial/BIG) memiliki sistem klasifikasi penggunaan lahan yang secara
konseptual tercampur. Begitu pula yang dikembangkan oleh Malingreau dan
Chritiani (1982) Kementrian Kehutanan, dan berbagai BAPPEDA tingkat
provinsi. Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah mengembangkan
sistem klasifikasi yang sudah lebih jelas mengarah ke penggunaan lahan
dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain. Meskipun demikian, sistem
klasifikasi ini belum secara tegas mengaitkan metode penginderaan jauh
(apalagi klasifikasi digital) dengan rincian kategori yang dispesifikasikan.
Tabel 2.4. Klasifikasi Penutup Lahan Dari Malingreau & Christiani
Sumber: Purwadhi dan Sanjoto, 2008
Danoedoro (2006) mengembangkan sistem klasifikasi multiguna
(versatile) yang memuat aspek-aspek penutup dan penggunaan lahan
sekaligus, serta dikembangkan dengan menggunakan citra penginderaan
jauh sebagai sumber data utama. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa secara
konseptual penutup atau penggunaan lahan mempunyai enam dimensi, yaitu
Page 31
16
dimensi spektral, spasial, temporal, ekologis, fungsi sosial-ekonomi dan
politis/legal. Dari keenam dimesi tersebut, hanya lima dimensi pertama yang
dapat diekstrak melalui citra penginderaan jauh, dengan tingkat komplek-
sitas dan kebutuhan data bantu nir-penginderaan jauh yang berbeda-beda.
Secara ideal, setiap dimensi disajikan sebagai satu lapis atau layer informasi
yang berdiri sendiri sehingga suatu peta penggunaan lahan multidimensional
atau multiguna. Setidaknya terdiri dari lima lapis informasi yang berturut-
turut memuat aspek spektral, spasial, temporal, ekologis, fungsi sosial-
ekonomi.
Page 32
17
Gambar 2.2. Kategori Kelas Penutup dan Penggunaan Lahan Untuk Tiap Dimensi
(Danoedoro, 2006)
Dalam penelitian ini menggunakan skema klasifikasi spectral-related
cover dimension (dimensi spektral) level 1 dari Danoedoro (2006) dimana
ada 4 pembagian kelas yaitu Tubuh Air, Vegetasi, Lahan Terbuka dan
Lahan Terbangun. Skema klasifikasi ini dinilai peneliti cocok untuk
Page 33
18
diterapkan dalam mengetahui persebaran RTH karena hanya membedakan
tutupan lahan berupa vegetasi yang merupakan RTH dengan lahan
terbangun, lahan terbuka dan tubuh air yang merupakan non RTH.
2.1.5. Pengolahan Citra Satelit Untuk Suhu Permukaan Daratan
Fenomena urban heat island merupakan fenomena iklim di mana
daerah perkotaan memiliki suhu udara lebih tinggi dari pinggiran mereka
karena modifikasi antropogenik dari permukaan tanah (Abutaleb dkk,
2015). Salah satu cara untuk mengetahui fenomena ini secara keruangan
adalah dengan pemetaan suhu permukaan daratan. Menurut Earth
Observatory NASA (Risalah, 2011). Suhu permukaan daratan atau land
surface temperature (LST) adalah panas permukaan bumi yang menyentuh
di lokasi tertentu (dari titik pandang satelit, permukaan adalah apa saja yang
terlihat melalui atmosfer ke tanah, berupa rumput di halaman, atap
bangunan atau daun-daun pada kanopi tanaman hutan). Dengan
demikian,suhu permukaan daratan berbeda dengan suhu udara yang
disertakan dalam laporan cuaca harian. Suhu permukaan daratan bisa
digunakan sebagai indikator dari suhu permukaan udara yang berasal dari
pengukuran stasiun cuaca. Widyasamrati (2013) melakukan estimasi suhu
permukaan daratan dengan suhu udara di DKI Jakarta dengan penginderaan
jauh. Koefesien determinasi antara suhu udara dengan suhu permukaan
daratan adalah sebesar 0,74. Sehingga suhu permukaan daratan bisa
dijadikan sebagai indikator pada suhu udara.
Page 34
19
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa suhu permukaan
daratan didapat dari ekstrasi band termal citra satelit Landsat 7 ETM+.
Konversi ini berbeda dengan indeks dan transformasi dari band tampak
semacam indeks vegetasi seperti NDVI dan lain lain yang menggunakan
nilai reflektan. Untuk band termal, level koreksi hanya pada konversi
menjadi nilai radian spektral, hal tersebut dikarekan band termal bukanlah
band pantulan, tetapi pancaran energi inframerah termal. Berbeda
dengan band yang perlu dilakukan koreksi lanjutan yang berguna
menurunkan variabilitas antar scene citra.
Berdasarkan Landsat-7 Science Data Users Handbook (2006) untuk
mengkonversi band termal menjadi suhu sebenarnya hanya melalui dua
tahapan, yaitu konversi menjadi nilai radiansi lalu konversi nilai menjadi
suhu radian. Suhu radian bukan nilai suhu permukaan yang langsung dapat
digunakan untuk analisis, tetapi hanyalah suhu pancaran obyek yang
terekam pada sensor. Untuk mendapatkan suhu yang mendekati objek
permukaan bumi atau suhu permukaan, maka beberapa koreksi harus
dilakukan.
Salah satu metode untuk mengkonversi band termal menjadi suhu
permukaan daratan antara lain adalah dengan menambahkan koreksi
absorbsi dan re-emisi yang terjadi di atmosfer juga koreksi emisivitas dan
kekasaran permukaan. Metode ini digunakan Srivastava dkk (2009) untuk
mengestimasi suhu permukaan daratan di Singhbhum Shear Zone di India.
Page 35
20
Gambar 2.3. Diagram perbandingan suhu lapangan dengan suhu
pengolahan citra (Srivastava dkk, 2009:1570)
Metode ini mendekati dengan hasil pengukuran dilapangan untuk
jenis tutupan yaitu lahan campuran. Sehingga peneliti menyimpulkan
metode ini sesuai untuk diterapkan pada daerah perkotaan.
Metode ini juga memerlukan nilai emisivitas obyek atau permukaan.
Emisivitas atau daya pancar (ε) merupakan perbandingan antara tenaga
pancar suatu obyek apabila dibandingkan dengan tenaga pancar benda hitam
pada temperatur yang sama pada saat pemancaran terjadi. Karena
merupakan perbandingan, maka besarnya ε radiasi benda hitam pada suhu
bumi berkisar antara nol sampai dengan satu. Emisivitas juga dapat berarti
sebuah fungsi panjang gelombang, yang biasanya mengacu kepada
emisivitas spektral. Perkiraan nilai emisivitas untuk obyek di permukaan
tanah dari data sensor pasif diukur menggunakan teknik yang berbeda.
Semua teknik tersebut mengunakan metode normalisasi emisivitas, indeks
spektral termal, metode rasio spektral, metode residual alpha, metode
Page 36
21
NDVI, estimasi klasifikasi, dan metode pemisahan emisivitas temperatur
(Weng, Q Dalam Widiastuti 2013:24)
Tabel 2.4. Nilai Emisivitas Berdasarkan Jenis Tutupan Lahan
No Features Tractional
Vegetation Cover NDVI Emissivity
1.
2.
3.
4.
5.
6
Water Bodies
Agricultural Cropland
Dense Vegetation (Forest)
Sparse Vegetation (Grass)
Urban (Built-up)
Waste Land / Bare Soil
0,000
0,977
0,682
0,507
0,154
0,030
-0,070
0,472
0,377
0,320
0,107
0,027
0,989
0,972
0,967
0,957
0,912
0,896
Sumber: Alipour dkk, 2010
Dalam penelitian ini menggunakan nilai emisivitas dari Alipour dkk
(2010) pada Tabel 2.4 yang didapat dari pendekatan estimasi klasifikasi
tutupan lahan. Dikarenakan obyek penelitian adalah di Kota Pekalongan
yang penutup lahan didominasi oleh lahan terbangun. Oleh karena itu nilai
emisivitas yang dipakai pada penelitian ini adalah sebesar 0,912.
3.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2008:236) Sistem Informasi
Geografis (SIG) sebenarnya adalah komputerisasi dari kartografi, oleh
karena itu hasil SIG harus dapat memenuhi persyaratan kartografi baik
menyangkut kaidah dan esensinya.
Dalam SIG data spasial maupun data atribut dapat diintegrasikan
sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan spasial maupun non spasial.
Sehingga SIG memiliki peran yang sangat stategis dalam beberapa bidang
seperti penataan ruang dan analisis potensi wilayah.
Page 37
22
2.2.1. Kemampuan dan Sistem SIG
Secara teknis SIG memiliki tugas utama melakukan analisis dan
pemprosesan data geospasial. Adapun perannya dalam penyusunan
informasi atau peta-peta adalah sebagai berikut:
1. Input data
2. Pembuatan peta.
3. Manipulasi data.
4. Manajemen data.
5. Analisis query.
6. Memvisualisasi hasil, baik dalam bentuk peta, grafik maupun sistem
informasi.
Dalam melakukan peran tersebut, SIG jauh lebih unggul
dibandingkan dengan pemetaan manual. Dengan SIG penyusunan informasi
atau peta-peta dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah. Dalam
pemetaan tata ruang, SIG memiliki kemampuan antara lain: memetakan
letak, memetakan kuantitas, memetaan densitas, memetakan perubahan
(trend), dan memetakan apa yang ada didalam dan diluar area (Prasetyo
dalam Muta’ali 2013:322). Oleh karena itu SIG dapat mencari tempat-
tempat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan diguakan untuk
pengambilan keputusan, ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-
masing tempat tersebut
Page 38
23
Dalam penyusunan informasi atau peta-peta dengan SIG tidak bisa
dipisahkan dari citra satelit penginderaan jauh. Citra satelit merupakan data
masukan dalam analisis spasial dalam SIG, selain itu SIG juga menawarkan
banyak banyak manfaat bagi sistem pengolahan citra satelit seperti proses
analisis dan tampilan kartografis.
Gambar 2.4. Kedudukan Citra Satelit Dalam Sub Sistem SIG
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara
penginderaan jauh yang meliputi citra satelit sudah merupakan satu kesatuan
atau terintegrasi dengan SIG. Dalam Danoedoro (2012:356) SIG juga dapat
membantu menigkatkan kinerja proses klasifikasi citra satelit. Integrasi
pengolahan citra dengan SIG bisa dilakukan dengan cara. Pertama, integrasi
yang bersifat longgar yaitu memanfaatkan produk klasifikasi spektral dalam
proses tumpangsusun dengan SIG dan yang kedua adalah integrasi yang
bersifat lebih ketat yang memandang bahwa pengolahan citra digital
merupakan salah satu anggota dari keluarga besar SIG, khususnya SIG
Page 39
24
berbasis raster. Dengan demikian proses penurunan informasi dari citra pun
sudah dilakukan dalam konteks SIG.
2.2.2. Analisis Sistem Informasi Geografis
Secara umum dalam sistem informasi geografis terdapat dua analisis
yaitu analisis data spasial dan analisis spasial. Contoh analisis data spasial
antara lain, mencari luasan suatu area/poligon, geostatistika, interpolasi,
analisis pola persebaran dan lain-lain. Dalam analisis pola persebaran
terdapat beberapa metode antara lain:
1. Analisis Quadran
2. Kernel Density Estimation (K means)
3. Nearest Neighbor Distance.
Metode-metode tersebut hanya menganalisai penyebaran lokasi dari
suatu titik namun tidak membedakan titik-titik berdasarkan atributnya. Dan
untuk metode Kernel Density dapat menampilkan pola persebaran secara
spasial dalam bentuk raster. Kernel density ini penggunaannya tidak terbatas
hanya untuk mengetahui persebaran kepadatan penduduk. Banyak sekali
hal - hal yg dapat dianalisis dengan bantuan perhitungan ini dalam konteks
ilmu perencanaan wilayah dan kota. Persebaran kepadatan wilayah
terbangun, perumahan, atau pun terkait dengan persebaran lokasi potensial
terjadi tindak kejahatan, persebaran fasilitas, atau pun kemacetan dengan
mengukur tingkat utilitas penggunaan jaringan ( line ) tertentu juga dapat
dianalisis melalui perhitungan kernel density. Oleh karena itu peneliti
Page 40
25
menggunakan analisis Kernel Density Estimation untuk mengetahui pola
persebaran RTH.
Selain analisis data spasial, dalam sistem informasi geografis juga
terdapat analisis spasial. Beberapa contoh analisis spasial antara lain:
1. Analisis Tumpang Susun (Overlay)
2. Pencarian Spasial (Spatial Search)
3. Operasi Buffer ( Buffer Operation)
4. Operasi Raster ( Raster Operation)
5. Operasi Jaringan ( Network Operation).
. Analisis tumpang susun (overlay) adalah teknik analisis yang penting
dalam sistem informasi geografis. Muta’ali (2013:327) menyatakan bahwa
dalam teknik ini data input yang berupa informasi spasial tematik
dimanupulasi dengan teknik tumpangsusun untuk menghasilkan satu peta
tematik utama sebagai output. Sebagai contoh, didalam Rencana Tata Ruang
akan dihasilkan Peta Struktur Ruang Wilayah yang merupakan hasil overlay
dari sejumlah data input dalam bentuk layer layer tematik seperti peta
distribusi penduduk, peta permukiman, peta areal terbangun, peta jaringan
infrastruktur wilayah (transportasi, irigasi, telekomunikasi, energi) dan peta
keberadaan sarana dan prasarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan,
peribadatan, ekonomi).
Page 41
26
2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2.3.1. Tipologi dan Fungsi RTH
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, RTH kota luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008
proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estetika kota. RTH memiliki beberapa tipologi
berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan
berikut ini adalah tipologi RTH berdasarkan klasifikasinya.
Tabel 2.5. Tipologi RTH
RTH
(RTH)
Fisik Fungsi Struktur Kepemilikan
RTH Alami Ekologis Pola
Ekologis RTH Publik
Sosial Budaya
RTH Non
Alami
Estetika Pola
Planologis RTH Privat
Ekonomi
Sumber: Permen PU No: 05/PRT/M/2008 Tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH Perkotaan
Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Tahun 2008, Fungsi ekologis
Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan antara lain sebagai berikut.
1. Memberi jaminan pengadaan RTH sebagai bagian dari sistem
sirkulasi udara (paru-paru kota).
Page 42
27
2. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara
alami dapat berlangsung lancar.
3. Ruang peneduh.
4. Produsen oksigen.
5. Penyerap air hujan.
6 Penyedia habitat satwa.
7. Penyerap polutan media udara, air, dan tanah.
8. Penahan angin.
2.3.2. Pengembangan RTH
Pengembangan RTH Kota sebenarnya harus sesuai dengan kondisi kota
tersebut. Rushayati dkk (2011:26) menyatakan bahwa pengembangan RTH
termasuk hutan kota sebaiknya tidak hanya sebatas untuk memenuhi batas
persentase minimal berdasarkan peraturan perundang-undanganan tetapi
harus benar-benar efektif sesuai dengan tujuan dari diberlakukannya
peraturan perundangan tersebut. Oleh karena itu perlu pengembangan
RTH dilokasi-lokasi dengan suhu udara tinggi agar kondisi iklim mikro kota
menjadi lebih baik dan nyaman.
Selain itu Sari dan Kustiwan (45 dan 52, 2013) juga menyatakan Kota
pesisir memiliki karakteristik kota sebagai konsentrasi kegiatan
pembangunan karena posisinya yang strategis. Hal ini akan berpengaruh
pada keberadaan RTH kota. Sebagai kota yang berada di wilayah hilir
Daerah Aliran Sungai (DAS), kota pesisir tidak memiliki RTH hutan
Page 43
28
lindung yang memiliki fungsi perlindungan pada kawasan di bawahnya,
namun kota pesisir memiliki karakteristik RTH yang tidak dimiliki oleh
kota pegunungan dan dataran rendah, yaitu sempadan pantai dan hutan
mangrove. Dari beberapa aspek -aspek penting yang harus diperhatikan
dalam penyediaan RTH publik pada kota- kota tersebut salah satunya adalah
distribusi dan jangkauan pelayanan RTH publik, dimana harus terdistribusi
merata pada wilayah kota sehingga setiap orang tercukupi dan tipe vegetasi
pengisi RTH publik, dimana peningkatan penyediaan dapat dilakukan
dengan menanam atau mengganti jenis vegetasi menjadi dominan bertajuk
pohon serta vegetasi sesuai dengan iklim pesisir.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan. Rencana
pengembangan RTH Privat seluas 585 Ha atau sekitar kurang lebih 12 (dua
belas) persen dari luas wilayah kota, sedangkan RTH publik seluas 907 Ha
atau sekitar kurang lebih 20(dua puluh) persen dari luas wilayah kota,
meliputi:
a. Taman kota terdistribusi di Kecamatan Pekalongan Utara, Kecamatan
Pekalongan Selatan, Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan
Pekalongan Timur, dengan luas kurang lebih Ha
b. Sempadan pantai dipesisir kota, dengan luas kurang lebih 61 Ha
c. Sempadan sungai di seluruh kota, dengan luas kurang lebih 359 Ha
d.Sempadan SUTT terletak di Kecamatan Pekalongan Selatan dan
Kecamatan Pekalongan Barat, dengan luas kurang lebih 15 Ha
Page 44
29
e. Sempadan rel kereta api terletak di Kecamatan Pekalongan Timur dan
Kecamatan Pekalongan Barat, dengan luas kurang lebih 8 Ha.
f. Kawasan hutan kota terletak di Kelurahan Yosorejo Kecamatan
Pekalongan Selatan, di Kelurahan Sokorejo, Kelurahan Landungsari
dan Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur, di Kelurahan
Podosugih Kecamatan Pekalongan Barat, dan di Kelurahan Krapyak
Lor Kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas kurang lebih 5 Ha.
g. Sempadan saluran drainase primer tersebar di seluruh wilayah Kota,
dengan luas kurang lebih 159 Ha
h. Lapangan olah raga tersebar di seluruh wilayah kota, dengan luas
kurang lebih 24Ha
i. Taman makam pahlawan terletak di Kelurahan Panjang Baru Kecamatan
Pekalongan Utara dan pemakaman umum tersebar di seluruh wilayah
Kota Pekalongan, dengan luas kurang lebih 41 Ha
j. RTH kawasan pariwisata terletak di Kelurahan Krapyak Lor dan
KelurahanPanjang Wetan Kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas
kurang lebih 4 Ha
k. RTH kawasan perkantoran pemerintah terletak di Kelurahan Podosugih
Kecamatan Pekalongan Barat, dengan luas kurang lebih 2Ha;
l. RTH fasilitas pendidikan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas
kurang lebih 5Ha
m.RTH fasilitas kesehatan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas
kurang lebih 1) Ha
Page 45
30
n. RTH fasilitas peribadatan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas
kurang lebih 0,5Ha
o. Sempadan polder terletak di Kelurahan Kandang Panjang dan
KelurahanKrapyak Lor Kecamatan Pekalongan Utara,dengan luas
kurang lebih 6 Ha
p. Sempadan jalan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas kurang
lebih 124 Ha
q. RTH Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan terletak di Kelurahan
Krapyak Lor danKelurahanPanjang Wetan Kecamatan Pekalongan
Utara, dengan luas kurang lebih 4 Ha.
r. RTH kawasan terminal bis terletak di Kelurahan Gamer Kecamatan
Pekalongan Timur, dengan luas kurang lebih 0,3Ha.
s. Kawasan konservasi pantai (mangrove) terletak dipesisir utara Kota,
dengan luas kurang lebih 60 Ha.
2.4. Pemanfaatan Citra Satelit dan SIG
Integrasi data citra satelit dan sistem informasi geografis (SIG)
merupakan dua sistem teknologi yang revolusioner pada abad ini. Kedua
sistem ini sama-sama berlatar belakang ilmu kebumian, sehingga keberadaan
satu sama lainnya sebenarnya banyak mempunyai keterkaitan.
Maimaitiying dkk (2014) menganalisis pengaruh pola sebaran RTH
terhadap suhu permukaan daratan pada area terbangun seluas 28,1 Km2 di
Kota Aksu, Tiongkok. Data yang digunakan adalah Citra Landsat 5 TM dan
mengetahui pola sebaran RTH melalui metrik lanskap PLAND, Patch Density
Page 46
31
dan Edge Density. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konfigurasi RTH
secara signifikan mempengaruhi suhu permukaan daratan . Selain itu, varian
nilai dari suhu permuukaan daratan sebagian besar ditunjukkan oleh
komposisi dan konfigurasi RTH.
Kridalaksana (2011) memanfaatkan penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis dalam penentuan lokasi hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi berdasarkan suhu permukaan ,
kemiringan lahan, jarak dari pemukiman dan jenis tanah. Hasil overlay
menunjukkan bahwa daerah yang masuk dalam kelas prioritas pertama
pengembangan hutan kota adalah sebesar 5,494% (303,466 Ha), kelas
prioritas kedua sebesar 45,762% (2.527,465 Ha) dan kelas prioritas ketiga
sebesar 48,744% (2.692,175 Ha). Tapak yang dipilih untuk pembangunan
hutan kota adalah Pantai Boom.
Kumar dkk. (2012) menggunakan metode pengindraan jauh untuk
menduga distribusi suhu permukaan tanah dan korelasinya dengan indeks
kehijauan vegetasi di Kota Vijayawada, India dengan data berupa Citra
Landsat 7 ETM+. Hasil interpretasi dan analisis menunjukkan bahwa tutupan
lahan mempengaruhi suhu permukaan Kota Vijayawada yang didapat
berdasarkan estimasi band 6 pada Citra Landsat. Suhu permukaan tertinggi
yaitu 320oK pada bangunan perkotaan sedangkan terendah yaitu 299
oK pada
lahan terbuka hijau. Suhu permukaan tanah berkorelasi negatif terhadap
indeks kehijauan vegetasi.
Page 47
105
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti,
terdapat beberapa kesimpulan yaitu:
1. Berdasarkan hasil dari analisis citra satelit Quickbird tahun 2009 daerah
perekaman Kota Pekalongan dan sekitarnya proses intepretasi penutup
lahan menghasilkan tingkat akurasi sebesar 92,5% dengan empat kelas
penutup lahan, sehingga peta penggunaan lahan yang dihasilkan dapat
dipergunakan untuk analisis selanjutnya. Dari intepretasi tutupan lahan
diperoleh luasan RTH eksisting sebesar 12,796 Km2
atau 27,88% dari luas
wilayah Kota Pekalongan. Dan pola persebaran RTH di Kota Pekalongan
cenderung mengelompok dan tidak merata pada setiap wilayah. RTH di
Kota Pekalongan paling banyak berkumpul di Kecamatan Pekalongan
Barat dan Kecamatan Pekalongan Selatan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa citra satelit Quickbird dapat dipergunakan sebagai sumber data
utama untuk arahan pengembangan ruang terbuka hijau di daerah
penelitian.
2. Suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra di Kota Pekalongan pada
tanggal 21 Mei 2015 pukul 09.47 berkisar antara 26,870 sampai 32,09
0C.
Persebaran suhu didominasi suhu diantara 30-310C seluas 12,829 Km
2 atau
27,95% dari luas wilayah dan suhu diantara 31-320C seluas 12,494 Km
2
atau 27,22% dari luas wilayah. Suhu permukaan daratan tinggi
105 105
Page 48
106
dipengaruhi oleh RTHnya. Semakin tinggi persentase RTH maka semakin
rendah suhu permukaan daratannya sedangkan semakin tinggi persentase
lahan terbangunnya maka semakin tinggi suhu permukaan daratannya.
Korelasi suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra dengan kondisi
dilapangan adalah sebesar 0,66 (Kuat). Sehingga dapat disimpuulkan
bahwa estimasi suhu permukaan daratan dari band 6.1 citra satelit Landsat
7 ETM+ dapat digunakan sebagai data utama untuk mengetahui suhu
permukaan.
3. Wilayah yang menjadi prioritas arahan pengembangan RTH adalah
Kelurahan Bendan, Kelurahan Kergon, Kelurahan Medono, Kelurahan
Pringlangu di Kecamatan Pekalongan Barat, Kelurahan Kradenan di
Kecamatan Pekalongan Selatan, Kelurahan Landungsari dan Kelurahan
Noyontaan di Kecamatan Pekalongan Timur. dengan jenis RTH yang
dikembangkan adalah RTH berupa sempadan jalan, sempadan SUTT,
sempadan sungai dan pekarangan rumah maupun kantor dengan jenis
vegatasi berkanopi besar.
5.2. Saran
1. Dalam memanfaatkan citra satelit untuk dalam mengkaji RTH bisa
dilakukan dengan teknik fusi atau pan sharpening. Hal ini dapat dilakukan
jika tidak ada citra dengan resolusi spasial tinggi yang terbaru.
2. Untuk hasil yang lebih baik dalam penelitian pengolahan citra untuk
estimasi suhu permukaan daratan adalah dengan penentuan nilai emisivitas
Page 49
107
berdasarkan NDVI dan pengukuran dilapangan harus tepat saat proses
perekaman citra terjadi.
3. Penyajian peta pengembangan ruang terbuka hijau atau peta rencana
disajikan dalam bentuk sistem informasi yang bisa diakses oleh siapapun
dan dimanapun contohnya adalah webGIS.
4. Bagi stakeholder terkait terutama BAPPEDA dan BLH dalam
mengembangkan RTH sebaiknya tidak hanya sebatas untuk memenuhi
batas persentase minimal berdasarkan peraturan tetapi harus benar-benar
efektif sesuai dengan fungsi serta tujuan dari diberlakukannya peraturan
perundangan tersebut. Pengembangan RTH sebagai pengatur iklim mikro
kota akan lebih efektif jika dilakukan pada daerah dengan suhu tertinggi.
5. Diperlukan sebuah peraturan tentang pengertian RTH, jenisnya dan
petunjuk teknis pemetaannya yang tunggal. Sehingga memudahkan
pemerintah, stakeholder dan peneliti dalam melakukan perencanaan,
pengembangan dan pengendalian RTH.
Page 50
108
DAFTAR PUSTAKA
Abutaleb, Khaled. dkk. 2015. Assessment of Urban Heat Island Using
Remotely Sensed Imagery over Greater Cairo, Egypt. Advances in Remote
Sensing, 201 5, 4, 35-47.
Adiningsih, Erna Sri. 2014. Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan
Berbasis Data Penginderaan Jauh. Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2014
Alipour, Tayeb. Sarajian M R. Esmaeily. 2010. Land Surface Temperature
Estimation From Termal Band Of Landsat Sensor, Case Study: Alashtar
City. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing
and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVIII-4/C7.
artikel non-personal. 2015. Kota Pekalongan, Wikipedia Bahasa Indonesia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota Pekalongan, diakses 7-2-2015 9.24.
Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan. 2013. Kota Pekalongan Dalam Angka.
Danoedoro, Projo. 2006. Versatile Land-use Information for Local Planning in
Indonesia: Contents, Extraction, Methods, and Intergration based on
Moderate and High Spatial Resolution Imagery. PhD Thesis. The
University of Queensland, Brisbane.
Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah. Statistik Ruang
Terbuka Hijau Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013. Diperoleh 5 Februari
2015 Dari http://penataanruangjateng.info/index.php/statistikrth
Dwiyanto, Agung. 2009. Kuantitas Dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Di
Permukiman Perkotaan. Paper. TEKNIK – Vol. 30 No . 2 Tahun 2009
,ISSN 0852-1697.
Hidayati, Iswari Nur. dkk. 2014. Analysis of Image Transformation and Land
Use/Land Cover for Temperature Trends on Landsat Imagey. Springer
Link Chapter Thematic Cartography for the Society Part of the series
Lectures Notes in Geoinformation and Cartography pp 275-291.
Iswari, Ardina Nur. 2014. Strategi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Surabaya Dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan.
Kebijakan dan Manajemen Publik Vol 1, No 1 Januari 2014.
Khairunnisa, Ezra Salikha dan Natalivan, Indrajati Petrus. 2013. Evaluasi
Fungsi Ekologis Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung Dalam Upaya
Pengendalian Iklim Mikro Berupa Pemanasan Lokal dan Penyerapan Air
Page 51
109
(Studi Kasus: Taman-Taman di WP Cibeunying). Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota A V2N2
Kridalaksana, Age. 2011. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk
Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota Di
Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi. Skripsi. Bogor:
Departemen Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Kumar, K. Sundara. Bhaskar P. Udaya. Padmakumari K. 2012. Estimation Of
Land Surface Temperature To Study Urban Heat Island Effect Using
Landsat ETM+ Image. International Journal of Engineering Science and
Technology (IJEST) Vol. 4 No.02 Februari 2012.
Maimaitiyiming, Matthew. dkk. 2014. Effects of green space spatial pattern on
land surface temperature: Implications for sustainable urban planning and
climate change adaptation. ISPRS Journal of Photogrammetry and
Remote Sensing Volume 89, March 2014, Pages 59–66.
Muta’ali, Lutfi. 2013. Penataan Ruang Wilayah Dan Kota (Tinjauan Normatif-
Teknis).Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada.
Peraturan Daerah Kota Pekalongan No 30 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun 2009 – 2029. Kota Pekalongan.
Permen No 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
RTH di Kawasan Perkotaan.
Purwadhi, Sri Hardiyanti dan Sanjoto, Tjaturahono Budi. 2008. Pengantar
Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang.
Rini, Melania Swatika dan Hadi, Bambang Syaeful. 2013. Penyusunan Neraca
Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Umbulharo Kota
Yogyakarta Berbantuan Teknik Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi
Geografis. Geomedia Volume 11 Nomor 2 November 2013.
Risalah, Nurkhalima. 2011. Keterkaitan Polutan Udara Dengan Suhu
Permukaan Daratan Serta Distribusinya Di DKI Jakarta. Skripsi. Depok:
Prodi Geografi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Indonesia
Rushayati, Siti Badriyah dkk. 2011. Pengembangan RTH Berdasarkan
Distribusi Suhu Permukaan Di Kabupaten Bandung. Forum Geografi, Vol.
25, No. 1, Juli 2011: 17 – 26
Page 52
110
Sari, Renitha dan Kustiwan, Iwan. 2013. Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan
RTH Publik di Kota Pesisir (Kasus: Kota Surabaya dan Bengkulu). Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N 1.
Sitanggang, Gokmaria. 2008. Teknik dan Metode Fusi (Pan Sharpening) Data
ALOS (AVIR-2 dan PRISM) Untuk Identifikasi Penutup Lahan/Tanaman
Perrtanina Sawah. Majalah Sains dan Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret
2008:33-48
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Srivastava, Pradeep Kumar. Majumdar, T J. Bhattacharya, Amit. 2009. Surface
temperature Estimation in Singhbhum Shear Zone of India using Landsat-
7 ETM+ Thermal Infrared data. Advances in Space Research 43 (2009)
1563–1574.
Suryantoro, Agus. 2009. Integrasi Aplikasi Sistem Informasi Geografis
(Dukungan Bahasa Pemograman dan Basisdata Relational Dalam
Penyusunan Program Aplikasi Berbasis SIG). Yogyakarta: Penerbit
Ombak
USGS. 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook.
Weng, Qihao & Yang S. 2006. Urban Air Pollution Patterns, Land Use, and
Thermal Landscape: An Examination Of The Linkage Using GIS.
Environmental Monitoring and Assessment, 117(4), pp.463-489, (2006)
Widiastuti, Aryati. 2013. Analisis Dan Visualisasi Perubahan Suhu
Lingkungan Genangan Lumpur Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+
Multitemporal. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Widyasamratri, Hasti dkk. 2013. Air Temperature Estimation from Satellite
Remote Sensing to Detect the Effect of Urbanization in Jakarta, Indonesia.
Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences
(JETEAS) 4(6): 800-805
Wisnawa, I Gede Yudi. 2008. Kemampuan Saluran Termal Citra Landsat 7
ETM+ dan Citra ASTER Dalam Memetakan Pola Suhu Permukaan di
Kota Denpasar dan sekitarnya. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Utami, Shinta Anindityas, Suharyadi. Hidayati, Iswari Nur. 2012. Penentuan
Lokasi RTH Daerah Permukiman Di Sebagian Kota Bekasi Menggunakan
Aplikasi PJ dan SIG. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Dalam Jurnal
Bumi Indonesia Volume 1, Nomor 3, Tahun 2012.