Page 1
PEMAKNAAN ANGGOTA
KOMUNITAS HIP HOP DI
KOTA BATU TERHADAP
KONSEP MISOGYNY DALAM
MUSIK RAP
Estu Widiyowati –
105120203111002
Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Penelitian ini meneliti mengenai
pemaknaan anggota komunitas hip hop
di Kota Batu terhadap konsep misogyny
dalam musik rap. Masalah yang akan
diteliti ini oleh peneliti ini akan dikaji
dengan menggunakan teori
interaksionisme simbolik. dalam
penelitian ini peneliti menggunakan
paradigma interpretif dan metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah
metode kualitatif. sedangkan untuk
teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik wawancara mendalam dan
observasi partisipasi. sampel dalam
penelitian ini diambil dari komunitas hip
hop di Kota Batu dengan jumlah
informan empat orang. untuk analisis
data, peneliti menggunakan analisis
data model interaktif Miles Huberman.
PENDAHULUAN Musik rap, sebagai bagian
atau salah satu elemen dari budaya
hip hop, mengalami perkembangan
antara tahun 1980an dan 1990an.
Dari awal kemunculannya, musik rap
selalu menjadi kontroversi, terkait
dengan lirik – liriknya yang bertema
kekerasan, seks, dan materialisme
(Taylor & Taylor, 2007). Musik rap,
dianggap selalu identik dengan
misogyny, yaitu rasa benci terhadap
wanita. Melalui lirik – liriknya,
musik rap kerapkali menggunakan
kata – kata vulgar atau frontal yang
ditujukan kepada wanita sebagai
bentuk kebenciannya terhadap
wanita. Dalam musik rap, terkait
dengan misogyny, seringkali
mengangkat hal – hal yang meliputi,
penghinaan dan mempermalukan
wanita, ketidakpercayaan wanita,
wanita sebagai objek seksual,
legitimasi kekerasan terhadap wanita,
dan perayaan prostitusi dan mucikari
(Weitzer & Kubrin, 2009).
Dalam mengungkap
pemaknaan mengenai konsep
misogyny serta sejauh mana
pemaknaan tersebut dibawa dalam
kehidupan sehari – hari dapat
menggunakan berbagai kajian, salah
satunya ialah dengan menggunakan
kajian ilmu komunikasi. Dalam
konteks kajian komunikasi,
pemahaman mengenai komunikasi
sebagai fenomena pemaknaan akan
berujung pada pemahaman atau
penafsiran terhadap tindakan atau
teks sebagai bagian dari proses
pembentukan makna oleh manusia
(Antoni, 2004, h. 327).
Page 2
Studi komunikasi melalui
pendekatan budaya sudah ada di
Amerika Serikat melalui studi yang
dilakukan oleh Mead di Chicago
School. Mead merupakan seseorang
yang memiliki suatu pemikiran yang
original yang pada perkembangannya
merupakan cikal bakal lahirnya
“Teori Interaksi Simbolik” (Rogers,
1994, h.166). Mahzab Chicago
dipelopori oleh Herbert Blumer dan
mahasiswanya, Blumer melanjutkan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Mead. Blumer melakukan
pendekatan kualitatif, yang mana
pendekatan tersebut meyakini
bahwasannya studi tentang manusia
tidak bisa disamakan dengan studi
terhadap benda mati dan lebih
mengarah terhadap pendekatan
interpretif (Ardianto, 2007, h. 135).
Dalam penelitian ini,
pendekatan interaksionisme simbolik
sebagai suatu pendekatan
komunikasi yang dapat digunakan
untuk menjelaskan mengenai
bagaimana pemaknaan anggota
komunitas hip hop di Kota Batu
terhadap konsep misogyny dalam
musik rap, sekaligus mengetahui
sejauh mana pemaknaan tersebut
dibawa dalam kehidupan sehari –
sehari anggota komunitas. Teori
interaksionisme simbolik berasumsi
bahwasannya individu tergerak untuk
bertindak berdasarkan makna yang
diberikannya pada orang, benda, atau
pikiran peristiwa. Makna – makna
tersebut diciptakan dalam bahasa
yang digunakan orang, baik untuk
berkomunikasi dengan orang lain
maupun dengan dirinya – sendiri,
atau pikiran pribadinya (West, 2008,
h. 99).
TEORI
INTERAKSIONISME SIMBOLIK Interaksi simbolik lahir pada
dua universitas yang berbeda,
University of Iowa dan University of
Chicago. Kedua mahzab tersebut
berbeda terutama pada
metodologinya. Mahzab Chicago,
yang dipelopori oleh Herbert Blumer
yang melanjutkan karya Herbert
Mead, memfokuskan pada
pendekatan terhadap teori sosial yang
menekankan pentingnya komunikasi
bagi kehidupan dan interaksi sosial
(West, Turner, 2008, h. 97). Blumer
melakukan pendekatan kualitatif,
dimana meyakini bahwa studi
tentang manusia tidak bisa
disamakan dengan studi terhadap
benda mati, dan para pemikir yang
ada di dalam mahzab Chicago
banyak melakukan pendekatan
interpretif berdasarkan rintisan
pikiran George Herbert Mead
(Ardianto & Anees, 2007, h. 135).
Esensi dari teori interaksi
simbolik ialah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yakni
komunikasi atau pertukaran simbol
yang diberi makna (Mulyana, 2001,
h. 68). Interaksi simbolik berusaha
memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Herbert
Blumer mengemukakan tiga premis
Page 3
utama yang mendasari teori interaksi
simbolik, yaitu (Kuswarno, 2008, h.
22 ):
1. Manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna –
makna yang ada pada sesuatu
itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil
interaksi sosial yang
dilakukan dengan orang lain.
3. Makna – makna tersebut
disempurnakan di saat proses
interaksi sosial sedang
berlangsung.
KOMUNIKASI RITUAL Dalam konsepsi ritual,
komunikasi dikaitkan dengan kata
sharing (saling berbagi), partisipasi,
asosiasi, pengikut, dan kepemilikan
akan keyakinan bersama. Definisi
tersebut merupakan buah eksploitasi
ide tradisional tentang identitas dan
akar kebersamaan ke dalam konsep
commonnes, communion, community,
dan communication. Pandangan
mengenai komunikasi sebagai ritual
tidak lagi ditujukan langsung pada
penyebarluasan pesan melalui suatu
ruang tertentu melainkan sebagai
bentuk pemeliharaan masyarakat
dalam suatu waktu, bukan suatu
tindakan menanamkan informasi
melainkan bentuk penghadiran suatu
keyakinan bersama (Carey, 1989, h.
18).
Berikut merupakan
karakteristik – karakteristik
mendasar dari komunikasi ritual:
1. Komunikasi ritual
berhubungan erat dengan
kegiatan berbagi,
berpartisipasi, berkumpul,
bersahabat, dan kepemilikan
akan keyakinan yang sama
(Carey, 1992, h. 18).
2. Proses komunikasi ritual,
Rothenbuhler dan Coman
(2005, h. 4), dengan merujuk
pada pandangan James W.
Carey, menekankan bahwa
sebagai salah satu bentuk dan
model dari komunikasi sosial,
proses komunikasi yang
terjadi dalam komunikasi
ritual bukanlah berpusat pada
transfer atau pemindahan
informasi, melainkan lebih
mengutamakan sharing atau
berbagai mengenai common
culture atau budaya bersama.
3. Komunikasi sebagai sebuah
kegiatan sakral dan keramat.
Pola komunikasi dalam
perspektif ritual ibarat sebuah
upacara suci atau sacred
ceremony dimana setiap
orang ikut mengambil bagian
secara bersama dalam
bersekutu atau berkumpul.
Yang lebih diutamakan
adalah soal kebersamaan
masyarakat dalam melakukan
doa, bernyanyi dan
seremonialnya (Radford,
2005, h. 15)
4. Penggunaan bahasa.
Penggunaan bahasa dalam
komunikasi ritual dilakukan
Page 4
secara artifisial dan simbolik.
Hal mana dapat terlihat dalam
wujud tarian, permainan,
kisah, dan tutur lisan (Carey,
1992, h. 19).
5. Keterlibatan komunikasi.
Komunikasi dalam perspektif
ritual diibaratkan sebagai
sebuah upacara suci dan
mengharuskan komunikan
untuk ikut mengambil bagian
secara bersama. Keterlibatan
komunikan seperti halnya
bermain di dalam suatu
drama suci (Radford, 2005, h.
15).
6. Pemilihan simbol
komunikasi. Penggunaan
simbol – simbol komunikasi
yang unik atau khas
merupakan salah satu ciri
yang menonjol dalam
komunikasi ritual. Simbol –
simbol komunikasi yang
digunakan tersebut tidak
dipilih oleh partisipan,
melainkan sudah tersedia
sejak turun – temurun
berdasarka tradisi budaya
yang bersangkutan (Carey,
1992, h. 54).
7. Ambiguitas pesan. Pesan
yang disampaikan dalam
komunikasi ritual biasanya
tersembunyi (latent),
membingungkan dan
bermakna ganda atau ambigu
(Carey, 1992, h. 54).
8. Media adalah pesan. Dalam
komunikasi ritual, McQuail
(2000, h. 54) mengatakan
bahwa “medium and message
are usually hard to separate”.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini secara
metodologi menggunakan model
penelitian kualitatif. Bogdan dan
Taylor, mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata – kata tertulis atau lisan
dari orang – orang dan perilaku yang
dapat diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar
dan individu tersebut secara holistik
(utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau
hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari
sesuatu keutuhan (Moleong, 2011, h.
4). Penelitian kualitatif bertujuan
untuk menjelaskan fenomena dengan
sedalam – dalamnya melalui
pengumpulan data sedalam –
dalamnya. Penelitian ini tidak
mengutamakan besarnya populasi
atau sampling bahkan populasi atau
samplingnya sangat terbatas.
Selanjutnya, terkait dengan
penelitian ini yang membahas
mengenai pemaknaan anggota
komunitas terhadap konsep misogyny
dan perilaku keseharian anggota
komunitas berdasarkan pemaknaan
tersebut, penelitian ini menggunakan
paradigma interpretif. Penelitian
interpretif adalah analisis sistematis
mengenai aksi sosial yang bermakna
Page 5
melalui observasi manusia secara
terperinci dan langsung dalam latar
alamiah, supaya dapat memperoleh
pemahaman dan interpretasi
mengenai cara orang menciptakan
dan mempertahankan dunia sosial
mereka. Paradigma interpretif
menetapkan realitas sosial sebagai
terdiri dari orang yang membentuk
makna dan menciptakan interpretasi
melalui interaksi sosial mereka sehari
– hari.
Dalam penelitian kualitatif
ini, pemilihan informan sebagai
sumber data primer dilakukan secara
purposive dan bersifat snowball
sampling. Teknik purposive
sampling adalah teknik pengambilan
sample dengan pertimbangan tertentu
seperti orang tersebut yang dianggap
paling tahu tentang apa yang peneliti
harapkan sehingga memudahkan
peneliti menjelajahi obyek atau
situasi sosial yang diteliti.
Teknik snowball sampling
merupakan teknik penentuan sample
yang awalnya berjumlah kecil,
kemudian berkembang selama
penelitian. Hal ini karena dari jumlah
sumber data yang sedikit tersebut
belum mampu memberikan data
yang memuaskan, sehingga perlu
untuk mencari orang lain lagi yang
dapat digunakan sebagai sumber
data. Proses ini baru berakhir apabila
penulis merasa data telah jenuh,
artinya penulis tidak lagi menemukan
sesuatu yang baru dari hasil
observasi (Moleong, 2011, h. 224).
Pemilihan sample yang
digunakan sebagai sumber data
primer dalam penelitian ini mengacu
pada pertimbangan – pertimbangan
sebagai berikut :
1. Anggota yang sudah aktif dalam
komunitas hip hop di Kota Batu
dalam kurun waktu minimal dua
tahun. Hal ini bertujuan untuk
memperoleh informan yang
benar – benar berkompeten
(memahami sejarah hip hop dan
hal – hal yang berkaitan dengan
komunitas).
2. Dalam komunitas hip hop di
Kota Batu terdiri dari beberapa
individu yang memiliki latar
belakang berbeda – dilihat dari
sisi keahlian yang dimiliki,
diantaranya b – boy dan rapper.
Terkait dengan tema penelitian,
sample yang digunakan ialah
anggota komunitas yang berlatar
belakang seorang rapper.
ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis model
interaktif Miles Huberman. Menurut
Miles Huberman (dalam Sugiyono,
2005, h. 91) menjelaskan
bahwasannya aktivitas analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus –
menerus hingga tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas
analisis data model interaktif Miles
Huberman terdiri dari proses reduksi
data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Page 6
1. Reduksi Data. Reduksi data
merupakan bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian
rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat diambil. Data yang
direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah penulis untuk
melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan.
2. Penyajian Data. Penyajian data
merupakan kegiatan ketika
sekumpulan data disusun,
sehingga memberi kemungkinan
akan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dalam penulisan
kualitatif, penyajian data dapat
dilakukan dengan bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar
kategori dan sejenisnya, tetapi
yang sangat sering digunakan
adalah teks yang bersifat naratif
(Sugiyono, 2005, h. 95).
3. Penarikan Kesimpulan atau
Verifikasi. Langkah yang
terakhir dilakukan dalam analisis
data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
Upaya penarikan kesimpulan
dilakukan peneliti secara terus –
menerus selama berada di
lapangan. Dari permulaan
pengumpulan data, peneliti
kualitatif mulai mencari arti
benda – benda, mencatat
keteraturan pola – pola (dalam
catatan teori), penjelasan –
penjelasan, konfigurasi –
konfigurasi yang mungkin, alur
sebab akibat, dan proposisi.
Kesimpulan – kesimpulan ini
ditangani secara longgar, tetap
terbuka dan skeptis, tetapi
kesimpulan sudah disediakan.
Mula – mula belum jelas, namun
kemudian meningkat menjadi
lebih rinci dan mengakar dengan
kokoh.
PEMBAHASAN
Konsep misogyny yang selalu
muncul dalam lagu – lagu rap
memiliki makna tertentu dalam diri
informan masing – masing. Dalam
hal ini, pemaknaan mengenai kosep
misogyny yang dimaksudkan ialah
bagaimana para informan memaknai
konsep misogyny dalam musik rap,
dan sejauh mana konsep misogyny
tersebut dimaknai dalam kehidupan
para informan. Penggalian makna
mengenai misogyny dalam hal ini
juga diikuti dengan pemaknaan
mengenai wanita bagi para masing –
masing informan.
Dalam melihat pemahaman
keempat informan terhadap konsep
misogyny, peneliti berangkat dari tiga
premis utama yang mendasari teori
interaksi simbolik yang dikemukakan
oleh Herbert Blumer (Kuswarno,
2008, h. 22), yakni (1) manusia
bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna – makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2)
Page 7
makna itu diperoleh dari hasil
interaksi sosial yang dilakukan
dengan orang lain, (3) makna –
makna tersebut disempurnakan di
saat proses interaksi sosial sedang
berlangsung.
Makna Pesan berawal dari Pikiran
(Mind) Individu
Berdasarkan dari proses
wawancara yang dilakukan oleh
peneliti terhadap keempat informan
penelitian, peneliti memperoleh
beberapa pendefinisian mengenai
wanita. Pada dasarnya, keempat
informan memiliki anggapan yang
sama dengan anggapan masyarakat
pada umumnya mengenai wanita.
Masyarakat seringkali
mendefinisikan laki – laki dan
perempuan tidak secara alamiah,
namun lebih kepada
pengkonstruksian secara sosial. Laki
– laki pada umumnya digambarkan
sebagai makhluk yang kuat, tegas,
rasional, berkuasa, pemimpin dan
sebagainya, sedangkan wanita
digambarkan sebagai makhluk yang
lemah, emosional, dan lain
sebagainya.
Definisi mengenai wanita
tersebut, membawa atau
mengarahkan terhadap pendefinisian
atau pemaknaan mengenai konsep
misogyny, dilihat dari sudut pandang
keempat informan penelitian.
Misogyny seringkali muncul
dijadikan sebagai tema dalam suatu
lagu rap, tidak jarang misogyny juga
seringkali muncul dalam kehidupan
sehari – hari. Secara umum,
misogyny dimaknai sebagai perasaan
benci dari laki – laki terhadap
wanita, sebagai emosi yang meluap –
luap yang melambangkan
ketidaksukaan dan kemarahan
terhadap wanita. Perasaan benci
tersebut tidak semata – mata merasa
benci, namun terdapat beberapa
faktor di dalamnya sebagai penyebab
timbulnya rasa benci tersebut (Data
diolah peneliti dari hasil wawancara
dengan informan, 2014).
Faktor – faktor tersebut
diantaranya, pertama, misogyny
muncul ketika berada pada kondisi
yang tidak sepaham, tidak
sependapat, atau sesuai antara diri
pribadinya dengan seorang wanita.
Kedua, misogyny muncul ketika
berada pada keadaan terganggu,
merasa dibohongi, dikhianati, dan
dikecewakan. Ketiga, misogyny
muncul dikarenakan ego dari laki –
laki, yang mana terkait dengan
anggapan masyarakat, bahwasannya
laki – laki yang selalu digambarkan
sebagai sosok yang selalu kuat,
berkuasa, membuat laki – laki
terkadang sangat sulit, bahkan
“gengsi” untuk mengakui
kesalahannya di depan seorang
wanita, demi sebuah harga diri (Data
diolah peneliti dari hasil wawancara
dengan informan, 2014).
Misogyny, dalam suatu
kondisi atau situasi tertentu
berpeluang untuk memunculkan
suatu tindakan – tindakan yang
Page 8
berlatarbelakang pada rasa
pelampiasan. Kondisi atau situasi
yang dimaksud ialah ketika perasaan
benci tersebut muncul secara
berlebihan yang kemudian juga dapat
memunculkan suatu perasaan kesal,
jengkel, marah, dendam, dan lain –
lain, sehingga dapat mendorong
seseorang untuk bertindak lebih jauh
lagi dari sekedar benci. Tindakan –
tindakan yang dimaksud ialah
pertama, tindakan berupa kekerasan
secara verbal, misalnya penggunaan
bahasa yang kasar melalui lagu yang
ditujukan terhadap wanita. Kedua,
tindakan kekerasan secara fisik,
misalnya mengarah adanya
perlakuan – perlakuan kasar terhadap
wanita (Data diolah peneliti dari
hasil wawancara dengan informan,
2014).
Makna merupakan Hasil Interaksi
Sosial yang dilakukan dengan
Orang lain
Pandangan interaksi simbolik
sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Mulyana (2002, h. 70)
menyarankan bahwa perilaku
seseorang itu sewajarnya dipelajari
sebagai proses yang membentuk dan
mengatur perilakunya sendiri
sekaligus mempertimbangkan
harapan – harapan orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka.
Terkait dalam penelitian ini, individu
akan memiliki suatu ide yang
semakin kuat karena mendapat suatu
dukungan dari orang lain sehingga
membuat individu tersebut semakin
merasa yakin atas ide yang ia miliki.
Dukungan diperoleh individu dari
orang lain tidak hanya membuat ide
semakin kuat namun ideologi
individu tersebut bahkan bisa
berubah arah.
Dalam budaya hip hop, pada
umumnya, wanita seringkali
memiliki citra yang negatif dan
wanita juga seringkali dijadikan
sebagai “objek” lagu oleh para
rapper laki – laki. Dalam lagu – lagu
rap, pengangkatan tema mengenai
wanita seringkali dibarengi dengan
penggunaan kata – kata yang frontal,
fulgar, yang cenderung merendahkan
wanita. Dan terkait dengan gambaran
konsep misogyny dalam budaya hip
hop, terutama dalam musik rap,
mengarah pada penggambaran sikap
yang menghina dan mempermalukan
wanita, ketidakpercayaan wanita,
wanita sebagai objek seksual,
legitimasi kekerasan terhadap wanita,
dan perayaan prostitusi dan mucikari
(Data diolah peneliti dari hasil
wawancara dengan informan, 2014).
Beberapa hal tersebut secara
langsung berpengaruh kepada
keempat informan, yang mana
keempat informan tersebut
merupakan bagian dari budaya hip
hop, yang tidak lain merupakan
anggota dari komunitas hip hop di
Kota Batu. Seperti halnya didasarkan
pada premis kedua dari teori
interaksi simbolik, dimana makna
tidak muncul atau melekat pada
sesuatu atau suatu objek secara
alamiah, melainkan makna berasal
Page 9
dari hasil proses interakasi melalui
penggunaan bahasa. Penggunaan
bahasa yang terlihat pada lagu – lagu
rap, melalui proses interaksi,
memberikan pengaruh terhadap cara
pandang para rapper mengenai
bagaimana kedudukan wanita dalam
budaya hip hop, dan bagaimana
seharusnya wanita terhadap laki –
laki (Data diolah peneliti dari hasil
wawancara dengan informan, 2014).
Penggunaan bahasa yang
cenderung kasar dalam lagu rap,
seperti penggunaan bahasa slang
yang memiliki makna denotasi
negatif (ass, assh*le, b*tch, d*mn,
f*ck, f*cking, godd*mn,
motherf*cking, nigg*r, sh*t, dan lain
– lain) yang juga dikaitkan dengan
penggunaan tema tentang wanita,
membuat keempat informan
memiliki pandangan yang juga
sejalan dengan gambaran dari
budaya, dimana mereka menjadi
bagian dari budaya tersebut.
Termasuk mengenai konsep
misogyny. Misogyny dijadikan
sebagai suatu tanda “keaslian” untuk
beberapa rapper sebagai bukti bahwa
mereka ialah gangsta otentik.
Misogyny dalam budaya hip hop,
khususnya musik rap, mengacu pada
sudut pandang dalam melihat
kedudukan wanita yang lebih rendah
daripada laki – laki, sebagai cara
untuk menegaskan sisi maskulinitas
laki – laki. Wanita selayaknya harus
patuh dan tunduk terhadap laki – laki
(Data diolah peneliti dari hasil
wawancara dengan informan, 2014).
Gambaran wanita dan konsep
misogyny dalam budaya hip hop,
yang dapat dikatakan sejalan dengan
bagaimana pandangan informan
penelitian mengenai wanita dan
konsep misogyny, berpengaruh
terhadap kuatnya keyakinan atas
pandangan – pandangan yang
dikemukakan oleh informan
penelitian. Sehingga dalam hal ini
dapat berdampak pada adanya
perasaan yang menggambarkan
bahwasannya apa yang dikatakan
oleh informan penelitian tersebut,
mengenai wanita dan konsep
misogyny merupakan suatu
kebenaran. Dan secara lebih jauh,
pemahaman – pemahaman mengenai
wanita dan konsep misogyny tersebut
dibawa dalam keseharian informan
yang disesuaikan dengan pemaknaan
tersebut (Data diolah peneliti dari
hasil wawancara dengan informan,
2014).
Penyempurnaan Makna dalam
Proses Interaksi Sosial
Proses pemaknan yang telah
dilakukan oleh keempat informan
mengenai konsep misogyny
berpengaruh terhadap bagaimana
informan berinteraksi dengan orang
lain, yang dalam hal ini ialah wanita.
Hal tersebut, didasarkan pada hasil
wawancara dengan informan
penelitian, dapat dilihat pada suatu
bentuk tindakan – tindakan sebagai
wujud munculnya misogyny dalam
diri masing – masing informan.
Dapat dikatakan bahwa misogyny
Page 10
merupakan sebuah awal atau “pintu
masuk” terjadinya suatu kekerasan,
baik verbal maupun fisik. Bentuk –
bentuk tindakan tersebut terdiri dari,
pertama, berupa pembuatan lagu.
Kedua, tindakan – tindakan berupa
pembuatan lagu sekaligus bersamaan
dengan adanya tindakan – tindakan
kekerasan secara fisik.
Pertama, dalam hal lagu,
terlihat pada lagu yang yang berjudul
P*ki Horny. Lagu tersebut dibuat
sebagai bentuk dari rasa kebencian
terhadap wanita, dimana wanita
digambarkan semata sebagai objek
seksual atau semata sebagai pemuas
nafsu laki – laki saja. Dalam lirik
lagu tersebut juga menggunakan kata
– kata kasar, jorok, dan merendahkan
wanita dijadikannya sebagai simbol
atas kemarahan dan kebenciannya
terhadap wanita. Seperti terlihat pada
lirik berikut ini (Data diolah peneliti
dari hasil wawancara dengan
informan, 2014):
Kalo asik dugem dapat pria
langsung ngent*t
Cari kont*l besar dari
lulusannya mak erot
Ngira gadis baik – baik
nyatanya pelacur
Ngomongnya ngelantur
Ketemu langsung ngajak tidur
Rambut berantakan
dibilangnya gaul
Cari salon ternama masih
tetap melacur
Pasang body dugem bikin
kont*l semua ngac*ng
Loe hamil duluan dia cuma
bilang.. serem..
Hancur masa depan dibuat
obral mem*k doank
Keturunan anj*ng seks butuh
waktu luang
Tanpa uang tapi puas nikmat
yang mereka cari
Gak peduli kalau dia lagi
menstruasi
Lagu kedua yang berjudul
Big Boss, lirik – lirik yang ditulis
dalam lagu tersebut merupakan suatu
simbol atas kebenciannya pada
wanita. Lagu tersebut
menggambarkan wanita yang dapat
dengan mudah dibeli dengan uang
atau kekayaan. Dalam lagu ini wanita
disimbolkan sebagai “permata”.
Terlihat dalam liriknya sebagai
berikut (Data diolah peneliti dari
hasil wawancara dengan informan,
2014):
Punya banyak uang hidup
seperti raja
Punya sedikit uang hidup di
jalan raya
Diriku istimewa
Rumah besar dan megah
Banyak mobil mewah
bermilyar harganya
Ku tak peduli semua orang
berkata,
Yang penting hidupku penuh
foya – foya
Ku buang – buang uang
dimana – mana
Inilah aku “berhias permata”
Lagu ketiga berjudul Song
For Girl. Sekalipun lirik dalam lagu
ini tidak menggunakan kata – kata
yang terkesan frontal atau kasar,
Page 11
namun lagu ini tetap
menggambarkan suatu ekspresi
kebencian pada wanita. Melalui lagu
– lagu tersebut, wanita digambarkan
sebagai wanita “murahan”,
menggunakan segala cara untuk
mendapatkan perhatian dari laki –
laki. Terlihat dalam lirik lagunya
sebagai berikut (Data diolah peneliti
dari hasil wawancara dengan
informan, 2014):
Hey motherf*cking girl
Hey everybody sing a song
I like body girl
Don’t ever loving girl
I like body girl
Don’t ever loving girl
Terlalu lebay gayamu
berlagak sok artis
Memakai aksesoris berlebih
kayak selebritis
Hey dasar si cewek yang
selalu narsis
Pengennya jadi alay biar elo
tambah eksis
Percuma elo pengen beken
tapi elo kagak keren
Bikin semua tertawa.. wow
kasihan men..
Gemercikan tertawa
Terbayang kelakuanmu yang
pengen jadi cewek nomor
satu
Cewek – cewek sekarang sok
jual murah, sok jual tampang
Selanjutnya, lagu keempat,
berjudul Save Me B*tch. Lagu
tersebut menggambarkan kondisi
dikhianati oleh seorang wanita. Lirik
dalam lagu tersebut sekalipun
mengekspresikan suatu kemarahan,
kekecewaan, namun tetap tidak
menggunakan kata – kata yang kasar
atau sarkas. Terlihat pada liriknya
sebagai berikut (Data diolah peneliti
dari hasil wawancara dengan
informan, 2014) :
Dan kini semua telah terjadi
Semua telah berakhir
Tiada lagi harapan
Kembali tuk ulangi kisah
yang pernah ada
Dan tak usah kau sesali
Usah kau tangisi lagi
Karna telah ku ikhlaskan
maaf
Namun tak ku harap kau
kembali
Tak perlu air mata
Iringi rangkaian kata untuk
engkau yang hina
Selanjutnya, bentuk tindakan
kedua, yang berupa tindakan –
tindakan yang mengarah pada bentuk
– bentuk kekerasan fisik terhadap
wanita. Misogyny dapat
memunculkan sikap antipati terhadap
wanita yang mendorong munculnya
tindakan – tindakan lain, termasuk
kekerasan fisik, sebagai usaha yang
menggambarkan penghindaran,
menjauhkan diri, ataupun
pelampiasan atas hal – hal yang
dialami, atau atas suatu kondisi yang
bertentangan dengan diri pribadi.
Tindakan kekerasan sebagai wujud
dari munculnya misogyny terjadi
pada mantan kekasih, mantan istri,
dan anggota keluarga karena
dilatarbelakangi oleh kondisi yang
merasa dibohongi, dikecewakan, dan
sulit diatur (Data diolah peneliti dari
Page 12
hasil wawancara dengan informan,
2014).
Tindakan kekerasan fisik
terjadi karena dipengaruhi oleh
adanya nilai – nilai atau prinsip –
prinsip hidup dalam suatu budaya hip
hop, yang mana dalam suatu budaya
hip hop, dalam penyelesaian masalah
tidak mengenal suatu kompromi,
tidak mengenal siapapun yang
dihadapi. Terlebih laki – laki dengan
wanita. Pandangan mengenai laki –
laki sebagai makhluk yang berkuasa
atas wanita, membuat laki – laki
dituntut untuk bersikap sangat tegas
terhadap wanita, tidak ada toleransi
sedikitpun dan dalam bentuk apapun,
ketika wanita tersebut melakukan
suatu kesalahan, sehingga sangat
rentan sekali terjadi kekerasan fisik
terhadap wanita (Data diolah peneliti
dari hasil wawancara dengan
informan, 2014).
Misogyny dalam Musik Rap
sebagai Bentuk Komunikasi Ritual
Konsep misogyny dalam
budaya hip hop mengukuhkan bentuk
kekuasan laki – laki atas wanita.
dalam sudut pandang budaya hip
hop, seorang laki – laki memiliki
sebuah kontrol yang lebih kuat
daripada wanita, sehingga wanita
seringkali dipandang sebelah mata
oleh kaum laki – laki. Seorang laki –
laki dituntut untuk bersikap tegas
terhadap wanita, dan bentuk – bentuk
kekerasan terhadap wanita pun
seringkali diberlakukan, guna
mengukuhkan label “garis keras”
dalam budaya hip hop dan kekuasaan
laki – laki atas wanita. Bentuk –
bentuk kekerasan tersebut dapat
berupa lagu – lagu dengan diikuti
penggunaan kata – kata kasar yang
bertujuan untuk menghujat,
merendahkan, atau menghina wanita,
dan secara lebih jauh, bentuk –
bentuk kekerasan tersebut juga
berupa tindakan secara nyata (Data
diolah peneliti dari hasil wawancara
dengan informan, 2014).
Selanjutnya, untuk lebih
memahami konsep misogyny dalam
musik rap sebagai bentuk
komunikasi ritual, berikut ini
disajikan karakteristik – karakteristik
mendasar dari komunikasi ritual,
terkait dengan misogyny dalam
musik rap:
Pertama, komunikasi sebagai
kegiatan berbagi, berpartisipasi,
berkumpul, dan bersahabat.
Komunikasi ritual dipahami sebagai
kegiatan berbagi, berpartisipasi,
berkumpul, bersahabat, dan
kepemilikan keyakinan yang sama
(Carey, 1992, h. 18). Dalam praktik
komunikasi ritual, keberadaan
misogyny dalam budaya hip hop,
khususnya dalam elemen musik rap,
ditempatkan sebagai salah satu
konsepsi atau nilai yang terkandung
dalam budaya hip hop, termasuk
pada komunitas hip hop di Kota
Batu. Anggota komunitas yang
terdiri dari masing – masing individu
dengan latar belakang yang berbeda
kemudian menjadi satu kesatuan
karena adanya keyakinan yang sama,
Page 13
termasuk keyakinan mengenai suatu
nilai atau konsepsi yang terkandung
dalam budaya hip hop, yakni
misogyny. Misogyny, secara bersama,
dimaknai sebagai suatu perasaan
benci terhadap wanita sebagai akibat
dari suatu kondisi tidak sepaham atau
tidak sependapat, terganggu, kecewa,
dibohongi atau dikhianati. Misogyny
dapat dikatakan telah menjadi suatu
tradisi dalam budaya hip hop sebagai
bentuk pengukuhan atas kekuasaan
laki – laki terhadap wanita.
Pemaknaan misogyny, secara lebih
jauh, telah mengarahkan pada
munculnya tindakan – tindakan lain
dalam keseharian anggota komunitas,
yakni munculnya lagu – lagu yang
liriknya cenderung menghujat,
menghina, atau merendahkan wanita,
dan bentuk kekerasan secara fisik
yang dilakukan oleh anggota
komunitas terhadap wanita (teman,
istri, atau kekasih). Dan sebagai
bentuk kegiatan berbagi,
berpartisipasi, biasanya dalam suatu
event hip hop, untuk para rapper laki
– laki yang membawakan lagu – lagu
yang bertemakan misogini, dengan
keberanian penggunaan kata – kata
yang cenderung kasar, jorok, ataupun
merendahkan wanita, biasanya justru
akan mendapatkan “pujian” dari para
audiens. “Pujian” tersebut
tersampaikan melalui tindakan –
tindakan nonverbal yang dilakukan
oleh para audiens, seperti teriakan,
berjoget bersama, ataupun bernyanyi
bersama.
Kedua, proses komunikasi.
Rothenbuhler dan Coman (2005, h.
4), dengan merujuk pada pandangan
James W. Carey, menekankan bahwa
sebagai salah satu bentuk dan model
dari komunikasi sosial, proses
komunikasi yang terjadi dalam
komunikasi ritual tidak berpusat
pada transfer atau pemindahan
informasi, melainkan lebih
mengutamakan pada sharing atau
berbagi mengenai common culture
atau budaya bersama. Hal ini berarti
bahwa walaupun terjadi proses
transmisi pesan, akan tetapi tidak
menjadi tekanan atau fokus utama
dalam proses komunikasi ritual.
Misogyny dalam konteks praktek
komunikasi ritual pun demikian. Ia
lebih banyak menunjukkan upaya
berbagi budaya bersama, yakni
misogyny sebagai suatu tradisi
anggota komunitas hip hop di Kota
Batu, daripada proses transmisi
pesan dari satu komunitas kepada
komunitas hip hop yang lainnya.
Walaupun pada prinsipnya terdapat
unsur transmisi pesan yang
diutarakan terkait dengan konsep
misogyny dalam musik rap, namun
hal tersebut bukanlah suatu esensi
dari misogini dalam musik rap.
Proses yang terjadi lebih
mementingkan pada kualitas kosa
kata yang digunakan. Dalam musik
rap, seorang rapper dituntut untuk
pandai memainkan kosa kata, seperti
penggunaan majas, pengandaian atau
kiasan, dan juga tata letak kata,
sehingga lagu yang dihasilkan benar
Page 14
– benar dapat mewakili segala yang
dialami atau dirasakan oleh si
pembuat lagu tersebut, termasuk
mengenai penggambaran misogyny.
Ketiga, komunikasi sebagai
suatu kegiatan sakral dan keramat.
Pola komunikasi dalam perspektif
ritual diibaratkan seperti sebuah
upacara suci atau sacred ceremony
dimana setiap orang ikut mengambil
bagian secara bersama dalam
bersekutu dan berkumpul. Dalam hal
ini, yang lebih diutamakan adalah
mengenai kebersamaan masyarakat
dalam melakukan doa, bernyanyi,
dan seremonialnya (Radford, 2005,
h. 15). Misogyny dapat dikatakan
sebagai salah satu nilai atau konsepsi
yang terkandung dalam suatu budaya
hip hop yang sekaligus dapat
dikatakan sebagai salah satu tradisi
guna mengukuhkan status sosial laki
– laki yang lebih tinggi daripada
wanita. Bagi para pengikut budaya
hip hop, terlebih mereka yang berada
pada jalur rap, beranggapan
bahwasannya misogyny dapat
dikatakan sebagai suatu media untuk
menegaskan bahwa mereka, sebagai
kaum laki – laki memiliki kekuasan,
memiliki kontrol yang lebih kuat,
daripada wanita. Dan biasanya,
misogyny seringkali digambarkan,
baik dalam bentuk lagu, maupun
tindakan – tindakan lain yang
mengarah pada bentuk – bentuk
kekerasan secara fisik.
Penggambaran misogyny dalam lagu,
seringkali diikuti dengan penggunaan
kata – kata yang kasar, jorok, yang
bersikap merendahkan wanita.
Dalam suatu event hip hop, lagu –
lagu yang menampilkan tema – tema
yang berani (termasuk penggunaan
tema misogyny) dan juga disajikan
dengan permainan kata yang
berkualitas dalam lirik lagu, maka
akan lebih “diakui” oleh komunitas –
komunitas hip hop yang lain.
Keempat, penggunaan
bahasa. Penggunaan bahasa dalam
komunikasi ritual dilakukan secara
artifisial dan simbolik. Hal mana
dapat terlihat dalam wujud tarian,
permainan, kisah, dan tutur lisan
(Carey, 1992, h. 19). Misogyny
dalam budaya hip hop, seringkali
terlihat dalam lirik – lirik lagu rap.
Dalam penyampaian tema lagu,
termasuk tema lagu mengenai
misogyny, bahasa yang digunakan
adalah bahasa slang. Bahasa slang
merupakan varitas bahasa yang tidak
formal atau tidak baku dan seringkali
digunakan oleh kalangan atau
kelompok tertentu yang pada
umumnya sulit dimengerti oleh orang
biasa atau orang – orang yang berada
di luar kalangan atau kelompok
tersebut (Ardhani, 2010). Tidak
jarang juga dalam lirik – lirik lagu
tersebut juga menggunakan
permainan majas yang
memanfaatkan bahasa – bahasa
kiasan, yakni bahasa yang dipakai
untuk mengungkapkan sesuatu
dengan tidak menunjuk secara
langsung, terhadap objek yang dituju
(Ardhani, 2010). Sehingga dapat
disimpulkan bahwasannya
Page 15
penyampaian inti pesan dalam suatu
lagu tdak disampaikan secara
eksplisit. Setiap bahasa yang
digunakan tidak dapat diterjemahkan
secara kata per kata, tetapi juga harus
mengetahui rentetan kata – kata yang
mengikutinya, atau dengan kata lain,
dibutuhkan pemahaman secara
menyeluruh dalam
menginterpretasikan bahasa yang
disampaikan dalam lirik – lirik lagu
rap.
Kelima, keterlibatan
komunikan. Komunikasi dalam
perspektif ritual diibaratkan sebagai
sebuah upacara suci dan
mengharuskan komunikan untuk ikut
mengambil bagian secara bersama di
dalam suatu drama suci (Radford,
2005, h. 15). Keterlibatan komunikan
dalam setiap event hip hop, misalnya
keterlibatan dalam bentuk berdiri
untuk sekedar memberi teriakan,
berjoget bersama, atau mungkin
bernyanyi bersama, seringkali
terlihat pada saat lagu – lagu yang
dibawakan erat sekali dengan tema –
tema yang kontroversial, salah
satunya mengenai tema misogyny.
Terlebih lagi apabila dalam
pengemasan lagu tersebut, si
pembuat lagu sangat mampu atau
pandai dalam memainkan kosa kata
dalam lirik, sehingga
memperlihatkan kualitas dari lirik
lagu tersebut, maka akan semakin
banyak audiens bergabung sebagai
bentuk “support” ataupun sebagai
bentuk penghargaan atas kemampuan
si pembuat lagu. Sekalipun anggota
dari suatu komunitas hip hop yang
lain tidak ikut maju untuk berjoget
ataupun bernyanyi bersama, namun
kehadiran mereka pun tetap
menandakan suatu bentuk
keterlibatan ataupun suatu bentuk
sikap menghargai atas karya sesama
anggota komunitas hip hop.
Keenam, pemilihan simbol
komunikasi. Penggunaan simbol –
simbol komunikasi yang unik atau
khas merupakan salah satu ciri yang
menonjol dalam komunikasi ritual.
Simbol – simbol komunikasi yang
digunakan tersebut tidak dipilih oleh
partisipan, melainkan sudah tersedia
sejak turun – temurun berdasarkan
tradisi budaya yang bersangkutan
(Carey, 1992, h. 54). Terdapat
beberapa simbol komunikasi yang
seringkali digunakan para rapper
sebagai cerminan bahwa mereka
merupakan bagian dari budaya hip
hop dan sekaligus mencerminkan
aura “misogynist” yang melekat pada
diri mereka. Mereka para pengikut
budaya hip hop selalu identik dengan
pakaian yang serba “gombrong”.
Apabila dilihat dari sejarahnya,
budaya hip hop, khususnya elemen
musik rap, lahir di kalangan
masyarakat Kulit Hitam, yang secara
mayoritas, mereka memiliki sisi
kehidupan yang keras dan terkesan
“berandalan”. Tidak sedikit dari
mereka yang sering keluar – masuk
penjara karena kehidupannya yang
tidak jauh dari kriminalitas. Budaya
berpakaian “gombrong” dalam
budaya hip hop tersebut lahir dari
Page 16
“penjara”, karena seragam penjara
hanya mempunyai satu ukuran saja
yang memang kebanyakan dipakai
oleh para tahanan, termasuk mereka
yang berasal dari masyarakat Kulit
Hitam yang juga menjadi bagian dari
budaya hip hop.
Ketujuh, ambiguitas pesan.
Pesan yang disampaikan dalam
komunikasi ritual biasanya
tersembunyi (latent),
membingungkan dan bermakna
ganda atau ambigu (Carey, 1992, h.
54). Ambiguitas pesan sebagaimana
yang dimaksudkan oleh Carey
tersebut juga tampak dalam lirik –
lirik lagu rap. Bahasa yang
digunakan dalam setiap lirik lagu
seringkali menggunakan bahasa
kiasan. Dalam lirik lagu,
penyampaian tema misogyny tidak
dilakukan secara terang – terangan,
dibutuhkan kemampuan untuk
menginterpretasikan tiap – tiap bait
dalam lagu. Terkadang lagu dibuat
seperti layaknya percakapan antara
dua orang yang saling bermusuhan,
ataupun dikemas seperti layaknya
seseorang sedang “curhat” kepada
orang lain mengenai masalah yang
sedang di hadapi, dan seringkali juga
menggunakan sebutan objek – objek
lain untuk mewakili objek yang
dituju, misalnya sebutan “permata”,
“jalang” untuk menggantikan
sebutan “wanita” . Lirik – lirik lagu
juga selalu diwarnai dengan kata –
kata yang kasar, jorok, berupa
hujatan, sebagai ekspresi kemarahan.
Dalam hal ini, sangat memungkinkan
seseorang yang mendengarkan akan
memiliki interpretasi yang berbeda –
beda sekalipun inti pesan yang
disampaikan melalui lagu tersebut
dapat dipahami.
Kedelapan, media adalah
pesan. Dalam komunikasi ritual,
McQuail (2000, h. 54) mengatakan
bahwa “medium and message are
usually hard to separate”.
Pandangan McQuail ini terlihat pula
dalam konsep misogyny dalam
budaya hip hop, terutama musik rap.
pesan – pesan misogyny yang
disampaikan melalui lagu – lagu rap
akan menjadi sangat kuat dan
mengikat manakala dinyanyikan
pada suatu event hip hop. Sebaliknya
apabila pesan misogyny yang
dikemas dalam lagu – lagu rap
tersebut dinyanyikan pada
momentum lain di luar event hip hop
maka maknanya menjadi tidak
powerful. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwasannya event hip
hop – lah (dalam hal ini berperan
sebagai media) yang memberi andil
bagi kuatnya pesan – pesan misogyny
yang disampaikan dalam bentuk lagu
– lagu rap.
KESIMPULAN Dari data penelitian dapat
disimpulkan bahwasannya keempat
informan memiliki pandangan
mengenai wanita yang cenderung
mengarah pada sudut pandang
negatif. Didasarkan pada sisi
kedudukan atau status sosial, wanita
dianggap memiliki kedudukan yang
Page 17
lebih rendah, di bawah laki – laki.
Laki – laki memiliki gambaran
sebagai seseorang yang lebih
memiliki kekuasaan daripada wanita,
sehingga wanita seringkali dituntut
untuk selalu patuh dan tunduk di
bawah kuasa laki – laki. Keberadaan
wanita dianggap semata hanya
pelengkap, pemuas nafsu, atau objek
seksual bagi kaum laki – laki. Wanita
juga dianggap sebagai makhluk
materialistis, segala sesuatu selalu
diukur dengan nominal uang dan
selalu memikirkan kesenangan
sendiri, selain itu, wanita juga
dianggap sebagai pembawa
kehancuran bagi laki – laki, karena
wanita dapat mempengaruhi
sekaligus mendorong laki – laki
untuk melakukan perbuatan –
perbuatan yang bersifat negatif. Dan
hanya sedikit pandangan positif dari
informan penelitian mengenai
wanita. Wanita, dalam sudut pandang
positif, dianggap sebagai
penyemangat bagi laki – laki, dapat
memotivasi, dan mendorong laki –
laki untuk menjadi lebih baik.
Selanjutnya berdasarkan
proses pemaknaan keempat informan
terhadap konsep misogyny, peneliti
dapat menyimpulkan bahwasannya
definisi misogyny secara khusus,
dilihat dari sudut pandang subjek
penelitian, ialah suatu perasaan
benci, tidak suka, marah, emosi yang
meluap – luap yang ditujukan kepada
wanita, yang berawal dari kondisi
tidak sepaham atau tidak sependapat,
merasa dibohongi, dan dikecewakan.
Misogyny juga dapat muncul
dikarenakan adanya ego dari diri
pribadi laki – laki. Misogyny dalam
budaya hip hop dianggap sebagai
suatu bentuk upaya untuk
mengukuhkan kepemilikan
kekuasaan yang lebih kuat oleh laki –
laki. Dan dalam keseharian keempat
informan, praktik misogyny muncul
dalam bentuk baik kekerasan secara
verbal maupun kekerasan secara fisik
sebagai wujud dari sikap antipati dan
pelampiasan kemarahan. Kekerasan
secara verbal mengarah pada
pembuatan lagu yang dalam lirik –
liriknya diikuti dengan penggunaan
kata – kata yang kasar, keras, dan
frontal, yang menggambarkan suatu
sikap merendahkan wanita.
Sedangkan dalam bentuk kekerasan
secara fisik, terjadi pada lingkungan
pertemanan, percintaan, maupun
keluarga, dalam kehidupan informan.
PROPOSISI
Penelitian mengenai
pemaknaan anggota komunitas hip
hop di Kota Batu terhadap konsep
misogyny dalam musik rap ini
menghasilkan teori misogyny yang
berdasarkan pada tiga proposisi.
Proposisi pertama, konsep misogyny
dalam musik rap tidak semata untuk
menggambarkarkan aktivitas
“gangster” tetapi lebih kepada suatu
bentuk upaya untuk mengukuhkan
kepemilikan kekuasaan yang lebih
kuat oleh laki – laki.
Proposisi kedua, didasarkan
pada pemaknaan terhadap konsep
Page 18
misogyny dalam musik rap, misogyny
muncul dilatarbelakangi oleh empat
kondisi atau situasi sosial, yaitu
adanya perspektif negatif mengenai
wanita, kondisi tidak sepaham atau
tidak sependapat antara laki – laki
dan wanita, merasa dibohongi oleh
wanita, dan perasaan kecewa
terhadap wanita.
Proposisi ketiga, pemaknaan
konsep misogyny dalam kehidupan
sehari – hari ditampilkan dalam
bentuk kekerasan secara verbal
(melalui lagu rap) atau dalam bentuk
kekerasan secara fisik atau
kombinasi antara keduanya.
SARAN
Untuk penelitian selanjutnya, peneliti
memberikan saran mengenai
penggunaan metode etnografi kritis
sehingga dapat lebih mengetahui dan
memahami realitas – realitas yang
tersembunyi dalam dunia hip hop,
serta dapat memberikan solusi atas
adanya praktik – praktik misogyny
dalam dunia hip hop. Dan
mendatang, dapat dilakukan bentuk
penelitian serupa dengan
menggunakan pendekatan teori
kekerasan simbolik, sehingga dapat
memahami secara mendalam
mengenai bentuk – bentuk kekerasan
lain yang tidak terlihat wujudnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antoni. (2004). Riuhnya
Persimpangan Itu: Profil dan
Pemikiran Para Penggagas
Kajian Ilmu Komunikasi.
Solo: Tiga Serangkai.
Ardhani. (2010). Analisis komponen
makna pada slang dalam
album Snoop Dogg “Malice
N Wonderland”. (Skripsi,
Universitas Diponegoro,
2010). Diakses dari
http://core.kmi.open.ac.uk/do
wnload/pdf/11725366.pdf
Ardian, Vicky. (2011). Subjek
perempuan dalam filsafat
menurut tiga filsuf laki – laki
berperspektif feminis.
(Skripsi, universitas
Indonesia, 2011). Diakses
dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=dig
ital/20291626-S1387-
Vicky%20Ardian%20Amir%
20Harahap.pdf
Ardianto, E. & Anees, B.Q. (2007).
Filsafat ilmu komunikasi.
Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Arif, S. (2008). Orientalis dan
diabolisme pemikiran. Jakarta: Gema
Insani.
Astuti, S. I. (2003). Cultural studies
dalam studi komunikasi:
suatu pengantar. MediaTor, 4
(1), 55 – 68.
Artika, M. D. (2014). Manajemen
komunikasi seorang social
climber (studi fenomenologi
pada perantau domestik yang
Page 19
menetap di Bali). Malang:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Brawijaya.
Barker, C. (2004). Cultural studies
theory and practice. London:
SAGE Publications.
Bungin, B. (2010). Penelitian
kualitatif; komunikasi,
ekonomi, kebijakan publik,
dan ilmu sosial lainnya.
Jakarta: Kencana.
Carey, J. W. (1989). A cultural
approach to communication,
communication as culture:
Essays on Media and Society.
Boston: Unwin Hyman.
Carey, J. W. (1992). Communication
as culture: Essays on media
and society. Newyork:
Routledge
Case, H. (2009). Hip Hop Impact of
us History. Diakses pada 20
September 2014, dari
http://www.entertainmentsce
ne360.com/index.php/hip-
hop-impact-of-us-history-
17311/
Chang, J. (2005). Can’t stop won’t
stop: a history of the hip –
hop generation. New York:
St. Martin’s Press.
Cundiff, G. (2013). The influence of
rap and hip – hop music: an
analysis on audience
perceptions of misogynistic
lyrics. Elon Journal of
Undergraduate Research in
Communications, 4 (1), 1 – 4.
Cyssco, D.R. (2001). Kamus standar
lengkap: inggris – indonesia
dan indonesia – inggris.
Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.
Fatkhiyah, N. (2012). Hip hop
Indonesia sebagai majalah
online yang bersifat
edutainment. (Tugas Karya
Akhir, Universitas Indonesia,
2012). Diakses dari
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20
281073...pdf
Fitri, Meyta, M. (2011). Pemaknaan
masyarakat terhadap
program Community
Oriented Policing (studi
interaksionisme simbolik di
Kecamatan Semampir Kota
Surabaya). Malang: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya.
Frangky. (2012). Pemaknaan
mengenai nilai – nilai
maskulinitas dan citra tubuh
dalam program komunikasi
pemasaran oleh laki – laki
homoseksual dan laki – laki
heteroseksual (studi kualitatif
pada program komunikasi
pemasaran l - men). (Skripsi,
Universitas Indonesia, 2012).
Diakses dari
Page 20
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20
318867-S-PDF-
Frangky%20E.pdf
Fudhaili, A. (2012). Perempuan di
lembaran suci. Jakarta:
Kementrian Agama Republik
Indonesia.
Goodman, D. J. (2007). Teori
sosiologi modern. Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group.
Griffin, EM. (2003). A first look at
communication theory. New
York: McGraw – Hill.
Idrus, Muhammad. (2009). Metode
penelitian ilmu-ilmu sosial.
Yogyakarta: Erlangga
Jones, J.L. Hegemonic rhythms: The
role of hip – hop music in 21st
century American Public
diplomacy. (Dissertation,
Clark Atlanta University,
2009). Diakses dari
http://digitalcommons.auctr.e
du/dissertations/94/
Kriyantono, R. (2007). Teknik
praktis riset komunikasi,
Jakarta: Kencana.
Kuswarno, E. (2008). Metode
penelitian komunikasi;
etnografi komunikasi suatu
pengantar dan contoh
penelitiannya. Bandung:
Widya Padjajaran.
McQuail, D. (2000). McQuail’s mass
comunication theory.
London: SAGE Publications.
Moleong, L. (2006). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya
Moleong, L. (2011). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D. (2001). Ilmu
komunikasi suatu pengantar.
Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, D. (2002). Ilmu
komunikasi suatu pengantar.
Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, D. (2008). Ilmu
komunikasi suatu pengantar.
Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pamungkas, P.T. (2011). Memahami
konsep glokalisasi budaya
populer di indonesia: Studi
kasus glokalisasi budaya
musik rap dalam budaya lokal
jawa pada jogja hip hop
foundation. Diakses dari
https://www.scribd.com/doc/
57883788/Memahami-
Konsep-Glokalisasi-Budaya-
Populer-di-Indonesia-Studi-
Kasus-Glokalisasi-Budaya-
Musik-Rap-dalam-Budaya-
Lokal-Jawa-pada-Jogja-Hip-
hop-Foundati
Page 21
Poloma, Margareth, M. (2000).
Sosiologi kontemporer. Jakarta:
Rajawali Press.
Radford, G. (2005). On the
philosophy of communication.
Wadsworth, Belmont.
Rahayu, N.T. (2010). Teori interaksi
simbolik dalam kajian
komunikasi. Widyatama, 19
(1), 99 – 107.
Rahman, B. (2012). Diplomasi hip
hop sebagai diplomasi
budaya Amerika Serikat.
(Skripsi, Universitas
Indonesia, 2012). Diakses
dari
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20
288841-S...pdf
Rogers, E. M. (1994). A history of
communication study: a
biographical approach. New
York: The Free Press.
Rothenbuhler, E. W., Coman, M.
(2005). The promise of media
anthropology. SAGE
Publications, Thousand Oaks.
Samovar, L. A., Porter, R. E.,
McDaniel, E. R. (2010)
Komunikasi lintas budaya:
Communication between
culture. Edisi 7. Jakarta:
Salemba Humanika.
Storey, J. (2007). Cultural studies
dan kajian budaya pop,
pengantar komprehensif teori
dan metode. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sugiyono. (2005). Metode penelitian
kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2007). Metode penelitian
kuantitatif kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Taylor, C. & Taylor, V. (2007). Hip
hop is now: an evolving
youth culture. Reclaiming
Children and Youth, 15 (4),
210 – 213.
Weitzer, R. & Kubrin, C.E. (2009).
Misogyny in rap music: a
content analysis of
prevalence and meanings. en
and Masculinities, 12 (1), 3 –
29.
West, R. & Lynn H.T. (2008).
Pengantar teori komunikasi:
analisis dan aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
West, R. & Lynn H.T. (2009).
Pengantar teori komunikasi:
analisis dan aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Yanuarti, E. (2006). Semantic and
sociolinguistic analysis of
harsh diction in rap lyrics
according to rappers of
marstrack. (Skripsi, Binus
University, 2006). Diakses
dari
http://library.binus.ac.id/Thes
is/RelatedSubject/2006-2-
00898-IG
Page 22
Yoshikawa, M. 1987. The double –
swing model of intercultural
communication between the
East and the West, in Kincaid
(ed.): Communication theory:
Eastern and Western
Perspectives. London:
Academic Press inc. Harcourt
Brace Jovanovich College
Publishers.
Yunus, Muhammad. (2010).
Misogini dalam ayat Al –
Qur’an. Diakses pada 26 Juni
2014, dari
http://agama.kompasiana.com
/2011/01/25/misogini-dalam-
ayat-al-quran-337302.html