i PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM STUDI METODE YȖSUF AL-QARDHÂWÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh Acep Komarudin NIM: 1111034000088 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015 M
120
Embed
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32506/3/ACEP... · bermanfaat bagi manusia lain sukses dunia wal akhirah dan menyusul
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN
MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM STUDI
METODE YȖSUF AL-QARDHÂWÎ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
Acep Komarudin
NIM: 1111034000088
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
ii
iii
iv
ii
ABSTRAK
Acep Komarudin
Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non Muslim Studi Metode Yȗsuf al-Qardhâwî.
Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian
kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang
untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma
sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi sekarang ini. Isu sentral dalam
perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status, dan
autoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad Saw.) karena,
imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku di kalangan orang-orang
Muslim. Akan tetapi pesan-pesan hadis Nabi tersebut bisa saja keluar dari
koridornya karena keliru dalam memahami teks-teks hadis tersebut.
Perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti hadis untuk
meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang
terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat
menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang
pada akhirnya akan mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama.
Larangan Nabi mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim
dipahami dengan memperhatikan konteks historis, hubungan dan tujuannya,
dimana orang-orang Yahudi mengucapkan al-sâm ‘alaikum bukan al-salâmu
‘alaikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu,
kalaupun harus dijawab, dijawab dengan ‘alaikum (tanpa wa) yakni “terhadap
kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau wa’alaikum (dengan wa) yakni
“terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun demikian”. ‘Alaika
salâm atau salam yang tidak disertai dengan wa (dan) menurut Nabi Saw., adalah
salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi).
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka dengan
menggunakan metode Yȗsuf al-Qardhâwî yaitu: Pertama, Fahm al-Sunnah fî
Dau’i al-Qur’ân al-Karîm. Kedua, Al-Jam’u au al-Tarjîh baina Mukhtalif al-
Hadîts. Ketiga, Fahm al-Hadîts fî Dau’i Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa
Maqâsidihâ. Dengan ketiga metode ini penulis menemukan pemahaman yang
mendalam terkait pesan dan tujuan hadis tersebut.
iii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur saya ucapkan kepada
Allah Swt. Sang Maha Hati, Sang Maha Segalanya, Maha Pengasih dan
Penyayang yang telah memberikan cinta dan kasih-Nya, nikmat yang tidak pernah
berujung, dan juga terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu bisa
menengok ke atas melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat dan cobaan
yang penuh dengan pelajaran, terima kasih atas segala pejaman dan ketertundukan
dalam do’a yang telah membuat saya bangga bahagia hadir sebagai makhluk-Nya,
dan juga memberikan kesempatan kepada saya sehingga terselesaikannya skripsi
ini yang berjudul “Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab
Salam Terhadap non Muslim Studi Metode Yȗsuf Al-Qardhâwî” yang
dipergunakan untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar S.Th.I.
Terimakasih sembah sujud kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Atas segala
perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud secara baik (walau masih banyak kekurangan) tanpa adanya bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Maka perlu kiranya penulis
menyampaikan rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang
telah diberikan menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama
seluruh umat Muhammad di sisi Allah Swt nanti. Oleh karenanya, tanpa
mengurangi rasa hormat serta sembahan terimakasih kepada orang-orang yang
iv
tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara
khusus kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum (Ketua Jurusan Tafsir
2. Karya Tulis Yȗsuf al-Qardhawî .......................................................... 22
3. Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw ............................................. 28
B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis .......................... 30
1. فهم السنة فى ضوء القرأن الكريم (Memahami as-Sunnah dengan
berpedoman pada al-Qur’ân al-Karîm) .................................................. 31
2. جمع األحاديث الواردة فى الموضوع الواحد (Mengumpulkan Hadis-Hadis
dalam Satu Objek) ..................................................................................... 35
3. الجمع أو الترجيح بين مختلف الحديث (Memadukan Atau Mentarjih Antara
Hadis-Hadis yang Kontradiktif) ............................................................... 37
4. و مقاصدهافهم األحاديث فى ضوء أسبابها ومالبساتها (Memahami Hadis
dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya) ...................................................................................................................... 40
vii
5. التمييز بين الوسيلة المتغيرة و الهدف الثابت للحديث (Membedakan Antara
Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis) .................. 42
6. التفريق بين الحقيقة و المجاز فى فهم الحديث (Membedakan Antara Hakekat
dan Majas dalam Memahami Hadis) ....................................................... 43
7. التفريق بين الغيب و الشهادة (Membedakan Antara yang Gaib dengan
yang Nyata) ................................................................................................. 44
8. التأكد من مدلوالت ألفاظ الحديث (Mengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata
Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia,
karena itu kerukunan dan toleransi antara umat beragama bukan sekedar hidup
berdampingan yang pasif saja, akan tetapi lebih dari itu; untuk berbuat baik dan
berlaku adil antara satu sama lain. Bagi umat Islam dan agama lainnya seyogianya
perbedaan agama jangan sampai menghalangi untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap manusia tanpa diskriminasi agama dan kepercayaan.1
Selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak
diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih “demi mencapai rida
Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang
Mahakuasa.”2
Dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya, dan ia
merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan
Islam. al-Sunnah al-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci
konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implementasi praktis
terhadap al-Qur‟an.3
1 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih hubungan antar agama, (Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005), h. 16 2 Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,
1999), h. 39-40. 3 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar terj. Saifullah Kamalie,
(Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148
2
Oleh karena itu imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku
di kalangan orang-orang muslim, menjadi dasar bagi hukum Islam dan menjadi
standar bahkan bagi kebanyakan aktivitas keduniaan.
Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk yang
berbeda dalam tataran prakteknya; pertama skipturalistik yang lebih berorientasi
pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat subtansialistik yang berorientasi pada
makna dan isi atau konteks.4 Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam
memahami teks keagamaan seperti al-Qur‟an dan hadis untuk meminimalisir
kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat menyebabkan orang
bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan
mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama.
Seperti dalam memahami hadis tentang larangan mengucapkan salam
terhadap non-Muslim :
بة بن سعيد، ح ث نا ق ت ي ، عن سهيل، عن أبيو، عن أب ىري رة، أن رسول حد راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد دلم، فإذا لقيتم أحدىم ف »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى طريق، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
5«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
4 Djamhari Ma‟ruf, Iradikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesat? Dalam Bahtiar
Effendi dan Soe Trisno Hadi(ed.), Agama dan Radikalisme (East Lansing: Nuqtah, 2007), h. 45 5 Imam Muslim, Sahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707
3
ث نا ىشيم، بة، حد ث نا عثمان بن أب شي ث نا أنس بن مالك رضي حد أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عليكم أىل الكتاب ف قولو 6ا: وعليكم الل
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah
dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik secara harfiyah dapat dipahami
sebagai larangan bagi seorang muslim untuk mengucapkan salam kepada non-
Muslim. Akan tetapi makna yang secara harfiyah ini tidak serta merta dapat
dijadikan sebagai makna tunggal karena akan terlihat bertentangan dengan sikap
dasar agama Islam yang di gambarkan di dalam al-Qur‟an.
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).7
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisā‟
[4] ayat 86)
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku
6 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
7 Penghormatan dalam islam ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu `alaikum.
4
adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (al-
Mumtahanah [60]: 8)
Kedua ayat di atas setidaknya memberi penjelasan betapa indahnya Islam
dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, untuk memahami makna
subtansi dari hadis ini, perlu memperhatikan apa yang menjadi penyebab
terlarangnya muslim mengucapkan salam terhadap non-Muslim.
Salah seorang ulama yang secara tegas melarang mengucapkan salam
kepada non Muslim adalah Sayyid Quthb (1906-1966). Menurutnya, salam tidak
layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan
penghormatan (tahîyah) kepada sesama Muslim, salam juga merupakan budaya
Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.8
Berdasarakan pada al-Qur‟an surat al-Nisâ‟ ayat 86 Ibnu Katsîr (1301-
1372 M) memiliki pandangan yang hampir sama. Menurutnya, tidak boleh bagi
seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun,
Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi
mitslihâ/mutamâtsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan
lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadis
shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Anas bin Mâlik r.a, yakni
kalimat wa „alaikum.9
Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis
mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syekh
8 Sayyid Quth, Fî Dzilâl al-Qur‟an,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th., jild. 2, juz 5, h.
471 9 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 762
5
Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-Tâj”, umat Islam dianjurkan menjawab
salam dengan kalimat wa„alaikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud
menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang
memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan
sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam
wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim.
Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86
menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir
Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat
salam.10
Dalam syarah kitab Riyad al-Sâlihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa
al-Salâm mempunyai makna al-du‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari segala
sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan.
Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ
huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salâm
maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam pendekatan lain, kata “al-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika as-
Salâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki
keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh
Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut
berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah
yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok
10
Syekh Mansur „Ali Nasif, al-Taj al-Jam‟u Li Usul fi al-Hadits al-Rasul, penerjemah
Bahrun Abu Bakar (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996 M-1381 H), h. 249
6
ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti
yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.11
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta
dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam
kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat.
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan
yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan
menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwi,
sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul),
seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.12
Dalam buku Kaifa Nata‟âmal Ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‟âlim
wa Dhawâbith, menurut Yȗsuf al-Qardhâwî, setiap orang yang berinteraksi
dengan sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan
agama harus berpegang kepada 8 prinsip dasar metode dalam memahami hadis
Nabi, yaitu: 1. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur‟ân al-Karîm, 2.
menghimpun hadis-hadis yang setema, 3. Kompromi atau tarjih terhadap hadis-
hadis yang kontradiktif, 4. Memahami hadis dengan memperhatikan konteks
historis, hubungan dan tujuannya, 5. Membedakan antara sarana yang berubah-
ubah dan tujuan yang tetap, 6. Membedakan antara yang hakekat dan ungkapan, 7.
11
Jurnal pendidikan agama islam – Ta‟lim Vol. 9 No. 1 – 2011
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), h.
92.
7
Membedakan antara yang gaib dan yang nyata, 8. Memastikan makna kata-kata
dalam hadis13
Dari 8 prinsip dasar ini penulis hanya mengambil 3 metode saja, yaitu: 1.
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm 2.
Memadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3. Memahami
Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya.
Dengan alasan bahwa ketiga metode ini lebih relevan untuk dipakai sebagai bahan
kerangka dalam mengambil pemahaman hadis larangan mengucapkan dan
menjawab salam terhadap non-Muslim.
Tulisan ini juga sama sekali tidak mempunyai pretensi untuk
„mengeluarkan‟ masalah tersebut dari wilayah khilâfiyah. Tapi, setidak-tidaknya,
penulis dapat mengungkapkan bahwa pendapat ulama tentang salam yang
berkembang di masyarakat bukan satu-satunya, tetapi ternyata ada pendapat lain
yang berbeda yang juga berpijak pada teks al-Qur‟ân dan al-Ḥadîth yang disertai
dengan argumentasi yang tidak bisa dipandang lemah. Dengan tulisan skripsi ini,
diharapkan bagi para pembaca ataupun bagi penulis sendiri memiliki pemahaman
yang luas tentang hukum salam terhadap non-Muslim berikut implikasi sosialnya.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menemukan banyak akar
permasalahan yang timbul dalam pemahaman penulis dan perlu adanya
penelusuran lebih lanjut berkaitan dengan hadis larangan mengucapkan dan
13
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
8
menjawab salam terhadap non-Muslim yang telah disabdakan oleh Rasulullah
yang jika dipahami secara tekstualis seolah kontradiktif, diantaranya :
1. Hadis ini menunjukan intoleransi Islam atas agama lain bahkan membatasi
interaksi sosial umat Islam jika dipahami secara tekstualis.
2. Adanya kesalahan dalam memahami hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang mengucapkan atau
menjawab kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh
orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka yaitu dengan
mendesak siapapun diantara mereka ke pinggir jalan.
3. Perlunya pemahaman ulang terhadap hadis-hadis yang melarang Muslim
mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim melalui metode
pemahaman hadis yang lebih objektif dan komprehensif.
b. Pembatasan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadis-
hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al-Kutub al-Tis‟ah
dan fokus yang akan dibahas dalam kajian ini ialah memahami kembali hadis-
hadis yang menyatakan larangan mengucapkan dan menjawab salam teradap non-
Muslim yang penulis anggap kontradiktif dengan menggunakan tiga metode
Yȗsuf al-Qardhâwî 1. Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân
al-Karîm 2. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3.
Memahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan
Tujuannya..
9
c. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan
masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab
salam terhadap non-Muslim dengan menggunakan tiga teori Yȗsuf al-
Qardhâwî ?
2. Bagaimana penerapan hadis tersebut dalam konteks kehidupan umat
sekarang ?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dari sebuah
penelitian sehingga metode penelitian tidak bisa dipisahkan dari sebuah
penelitian. Bahkan metode penelitian akan membentuk karakteristik keilmiahan
dari penelitian, karena eksistensi metode dalam sebuah penelitian ini berfungsi
sebagai jalan bagaimana penelitian ini diselesaikan. Terkait dengan metode
penelitian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:
1. Jenis dan sifat penelitian
Ditinjau dari obyeknya, penelitian ini merupakan penelitian
pustaka (library research), yaitu penelitian yang berorientasi pada data-
data kepustakaan, yang dalam hal ini terutama pada kitab hadis yang
sembilan (al-Kutub al-Tis‟ah). Selain itu karena penelitian ini
menggunakan pendekatan metode pemahaman Yȗsuf Qardhâwî maka
semua karya yang berhubungan dengan teori ini dianggap penting serta
karya-karya lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
10
Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak
menggunakan mekanisme statistik dan sistematik dan matematis dalam
pengolahan data. Data diuraikan dan dianalisis dengan memahami dan
menjelaskan.
2. Metode pengunpulan data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan.14
Sedangkan data ialah
semua keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena
yang ada kaitannya dengan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam
suatu penelitian harus relevan dengan pokok permasalahan. Untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperlukan suatu
metode yang efektif dan efesien.
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan
jalan dokumentasi terhadap buku-buku atau kitab-kitab serta kajian yang
masih ada kaitannya dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini sumber
data dibagi atas dua kategori: primer dan skunder. Sumber data primernya
adalah kitab-kitab hadis yaitu sembilan kitab induk dan bulughul maram.
Pemilihan terhadap sembilan kitab induk ini didasarkan pada kehujjahan
kitab dan dianggap cukup untuk mewakili kitab-kitab hadis lainnya. Selain
itu penulis merujuk pada buku Yȗsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata‟aamal ma‟a
al-sunnah al-nabawiyah, ma‟alim wa dhawabith, terj. Drs. H. Saifullah
Kamalie, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar, serta karya-karya
14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.174
11
yang berhubungan dengan teori fungsi interpretasi Yȗsuf al-Qardhâwî.
Sedangkan sumber data sekundernya ialah semua karya baik berbentuk
buku, jurnal dan lainnya yang dapat mendukung argumen penelitian ini.
3. Analisis data
Penelitian ini mengkaji sebuah teks hadis dengan pendekatan
pemikiran tokoh yang dikenal dengan metode pemahaman Yȗsuf al-
Qardhâwî. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data yang
diperoleh dari penelitian pustaka adalah dengan deskriptif analitis.
Deskriptif analisis ialah penelitian yang menuturkan, menganalisis,
serta mengklarifikasikan yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada
pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.15
Analisis
ialah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta
menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.16
Dengan metode ini
diharapkan nantinya akan memperoleh pemahaman yang tepat terhadap
data-data yang telah diperoleh.
Maka dalam penelitian ini yang dimaksud deskriptif analisis adalah
memberikan gambaran secara sistematis dan akurat mengenai pemaknaan hadis
larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim dengan pendekatan metode
pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî, diantaranya sebagai berikut:
15
Winano Surahmad, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode tehnik (Bandung: Tarsito,
1994), h. 45
16
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.358
12
ALUR TAHAPAN REKONSTRUKSI PEMAHAMAN HADIS NABI
HADIS (sebagai teladan ideal Nabi)
Melalui
Rekonstruksi
TEKS-TEKS HADIS REALITAS
Menghasilkan
PENELITIAN HADIS (METODE TAKHRIJ) Memecahkan
Tidak Orisinal Orisinal : (dengan metode Yȗsuf al-Qardhâwî) Produk Pemahaman
Tidak dipakai
Memahami as-Sunnah) فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرمي .1
dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm) Memadukan Atau) اجلمع أو الرتجيح بني خمتلف احلديث .2
Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif) Memahami) فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا وملبساهتا و مقاصدىا .3
Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis,
Hubungan dan Tujuannya
13
D. Tinjauan Pustaka
Telaah atau kajian pustaka dalam sebuah penelitian merupakan hal yang
sangat urgen karena kajian pustaka ini akan menunjukan dan membuktikan
orisinalitas sebuah karya yang tujuannya untuk menghindari plagiasi karya orang
lain. Dalam penelitian ini ada dua aspek yang menjadi perhatian dalam kajian
pustaka, pertama berkaitan dengan metode fungsi interpretasi Yusuf Qardhawi
dan kedua hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non
muslim yang menjadi objek dari penelitian ini.
Hadis larangan mengucapkan salam terhadap non muslim ini sejauh
penulusuran penulis ternyata udah ada karya skripsi dan jurnal yang telah
menelitinya, pertama, skripsi Ai Popon Fatimah dari UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang berjudul: Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis. Oleh
karena itu perlu pembacaan secara jelas agar terhindar dari pengulangan
penelitian. Ai Popon Fatimah dalam skripsinya “Salam Terhadap Non-Muslim
Perspektif Hadis” menggunakan metode tematik (maudhu‟i). Pokok masalah
dalam sekripsi ini adalah apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap
non-Muslim, bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim, dan
bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam.
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah
“Bagaimana hadis mengatur tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal
memulai atau menjawab salam secara langsung ataupun melalui surat”. Dan
kesimpulannya adalah bahwa jawaban salam atas orang-orang non-Muslim sesuai
dengan hadis yaitu “wa‟alaikum” atau “wa‟alaika”. Serta hadis membolehkan
14
membalas surat dari non-Muslim yang disertakan salam. Secara kontekstual hadis
tersebut datang ketika sedang terjadi permusuhan antara muslim dan non muslim.
Kedua, skripsi Said Mujahid “hadis larangan mengucapkan salam terhadap
nonmuslim ditinjau studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia” UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2014. Skripsi ini lebih memfokuskan ke dalam teori Jorge
J.E Gracia yaitu dengan membagi fungsi interpretasi menjadi tiga aspek. Pertama,
fungsi historis (historical function). Kedua, fungsi perkembangan makna
(meaning function). Ketiga, fungsi implikatif (implikatif function). Dengan tiga
fungsi interpretasi yang ditawarkan Gracia ini mendeskripsikan mulai dari
pemaknaan salam, konteks dimana teks larangan tentang mengucapkan salam
terhadap non-Muslim dan perkembangan makna yang diakibatkan perbedaan
tempat dan kebudayaan serta implikasinya. Keseluruhan ini merupakan bahasan
pokok dalam skripsinya.17
Ketiga, Jurnal Johar Arifin, hadis-hadis Nabi dalam berinteraksi dengan
non-Muslim “Muharibun”, jurnal Ushuluddin vol. XVII No. 1, januari 2011.
Dalam jurnalnya hadis-hadis aplikatif dalam penataan konsep berinteraksi dengan
non Muslim difokuskan pada kelompok muharibun.18
Jurnal ini membahas
tentang berinteraksi dengan non Muslim Muharibun, pandangan Islam terhadap
17
Said Mujahid, Hadits larangan mengucapkan salam terhadap non muslim (Studi teori
fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia),( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
18 Berasal dari kata “haraba-yuharibu-muharabah-muharib”, al-Harbu berarti musuh,
contohnya “Fulan harab Fulan” bermakna Fulan itu memusuhinya. Secara terminologi menurut
ulama fiqh: orang yang memusuhi atau memerangi kaum muslimin, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
15
peperangan, dan sikap Rasulullah Saw., dalam berinteraksi dengan kelompok
muharibun.19
Keempat, Buku Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, (Jakarta:
Paramadina, 2004), hlm. 66-78 dalam bab dua dengan judul besarnya, Fiqih yang
Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam, dan dalam judul
kecilnya, Mengucapkan Salam kepada non-Muslim. Dalam buku ini mereka
menjelaskan bahwa fatwa larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim
tidak disetujui oleh semua ulama. Dan penetapan hukum mengucapkan salam
kepada orang-orang non-Muslim harus berdasarkan pada kemaslahatan dan
hikmah.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, antara
lain sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
hadis tersebut tidak hanya pada ranah harfiah saja melainkan menggali
makna subtansinya. Lebih jelasnya untuk mengungkapkan pesan yang
akan disampaikan hadis tersebut dengan ditinjau melalui prinsip metode
Yȗsuf al-Qardhâwî.
2. Membantu memberikan kontribusi serta pemahaman dalam konteks dunia
sosial sekarang ini.
19
Johar Arifin, Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non Muslim “Muharibun”,
Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 1, Januari 2011.
16
3. Dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.I) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya
dalam menambah wacana ilmu pengetahuan di bidang hadis larangan
mengucapkan salam terhadap non Muslim dengan tinjauan teori Yȗsuf al-
Qardhâwî.
2. Dengan penelitian ini diharapkan pula bisa menjadikan pemahaman
terhadap konsep teori Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami hadis Nabi.
F. Tehnik Penulisan
Adapun tehnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman akademik
program strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013, dan buku
pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) cetakan ke-1
(Ciputat: Center for quality development and assurance UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1 Januari 2007), dalam bentuk pdf.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini diperlukan sistematika pembahasan yang bertujuan
untuk memudahkan dalam mengolah data. Disamping itu, sistematika
pembahasan juga berfungsi untuk mengatur kedisiplinan dalam sebuah penelitian
agar penelitian dapat diselesaikan dengan baik dan teratur.
17
BAB Pertama, brupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah
penulisan skripsi, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah yang diangkat,
serta metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian ini. Selain itu, di
bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan sistematika
pembahasan.
BAB Kedua, berupa biografi intelektual Yȗsuf al-Qardhâwî, sumbangan
pemikirannya dan metode pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami
hadis Nabi; Memahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟an al-Karim,
Mengumpulkan hadis-hadis dalam satu objek, Memadukan atau mentarjih antara
hadis-hadis yang kontradiktif, Memahami hadis berpedoman pada sebab-sebab,
hubungan dan tujuannya.
BAB Ketiga, berupa hadis-hadis tentang mengucapkan salam terhadap
non-Muslim, teks hadis, Takhrij Hadis, Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan
Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim, Pemahaman Para
Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non-Muslim, dan interaksi Nabi dengan non-Muslim dalam kerukunan.
BAB Keempat, berupa penerapan pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî;
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm (dalam hadis
larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim), Memadukan atau mentarjih
antara hadis-hadis yang kontradiktif (dalam hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-muslim), Memahami hadis dengan Memperhatikan Konteks
Historis, Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-muslim).
18
BAB Kelima, berupa penutup, yang meliputi; Kesimpulan, yang berisi
jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan
saran, berisi saran-saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang
ditulis.
19
BAB II
YȖSUF AL-QARDHÂWÎ DAN METODE PEMAHAMAN
A. Biografi Intelektual Yȗsuf Al-Qardhâwî
Perubahan di Dunia Islam dewasa ini secara keseluruhan berpengaruh dan
mendorong kepada perubahan-perubahan di kalangan umat Islam Indonesia.
Perkenalan, pengenalan, dan penyerapan pikiran-pikiran pembaruan, pemurnian,
dan reorientasi pemikiran Islam di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi oleh
adanya teknik pencetakan buku dan terbitan berkala, media komunikasi dan
transportasi tentu akan, dan memang sedang dan sudah berpengaruh kepada
keadaan umat Islam Indonesia.1 Dalam hal ini agama memegang peranan penting
dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat. Tak ada yang menandingi
kekuatan agama, karenanya, ia merupakan sumbu utama dan pegangan pokok
bagi kehidupan manusia.2
Seorang pemikir, sarjana dan intelek kontemporer abad 20 (tahun 90-an
sampai sekarang) Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di
seluruh dunia khususnya di Indonesia. Beliau adalah Yȗsuf bin „Abd Allâh bin
„Alî bin Yȗsuf al-Qardhâwî.3 Dilahirkan pada tanggal 09 september 1926 di desa
Shaft At- Turâb terletak antara kota Thanta (Ibu kota provinsi Al Gharbiyah), dan
kota Al-Mahallah Al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling
terkenal di provinsi Al-Gharbiyyah. Ia berjarak sekitar 21 kilo meter dari Thantha
1 Budi Munawar Rachaman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 1 2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer. Penerjemah As‟ad Yasin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), h. 51 3 Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: n l- h l-
l mi h h h penerjemah: Cecep Taufikurrahman, dan Nandang Burhanuddin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 103
20
dan 9 kilo meter dari Al-Mahallah. Desa tersebut adalah tempat dimakamnya
salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Abdullah bin Harist RA.4 Kata
“al-Qardhâwî” dinisbahkan kepadanya karena kakek Qardhâwî, „Ali, berasal ari
desa al-Qardhah yang pindah ke Shafth Turab.5 Qardhâwî tumbuh di keluarga
petani dan lingkungan yang agamis dari sudut pandang tradisional. Ciri
tradisional-agamis masyarakat Shafth Turab terlihat dari ramainya aspek-aspek
formal tradisi keagamaan yang dilakukan, seperti keterikatan masyarakat pada
ma hab al-Sy fi‟ dan Hanaf dalam pelaksanaan ibadah keterikatan kepada
tarekat Sy d iliyyah, yȗmiyyah dan Kh liliyyah serta kepada Ihy ‟ „Ulȗm al-
n, karya Abȗ H mid al-Ghazâlî, yang diakui Qardhâwî cukup berpengaruh pada
pemikirannya, dalam bertasawuf. Masyarakat Shaft Turab juga melakukan
berbagai tradisi yang umumnya ada pada masyarakat tradisional, seperti perayaan
hari lahir Nabi Muhammad Saw., perayaan Isra‟ Mi‟raj, peringatan malam Nisfu
Sya‟ban, bahkan perayaan hari lahir l syaikh-syaikh tarekat, yang
dikemudian hari tradisi-tradisi itu menjadi sasaran kritik pemikiran Qardhâwî.6
Ayahnya meninggal dunia ketika Qardhâwî masih berumur dua tahun dan
bondanya ketika berumur 15 tahun sudah pasti memberikan kesan yang mendalam
kepada dirinya (Al-Qaradawi, 2010a; 2010b), dan ia bersama pamannya, bernama
A mad, A mad mengantarkan Qardhâwî ke surau tempat mengaji (kuttâb) ketika
4 Yusuf Al-Qaradhawi, Huda Al- l m F ‟ hi alih bahasa Abdurrahman Ali
Bauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-III, h. 45 5 Karena keturunan orang al-Qardhah inilah maka sebagian orang di mesir dan Timur
Tengah memanggilnya dengan sebutan al- Qardh w (tanpa “a” setelah huruf “r”). uku-bukunya
yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan nama Qardhâwî, baru
belakangan inilah ia dikenalkan dan ditulis dengan Qaradh w (dengan “ra” yang dibaca fat ah).
penulis menggunakan kata Qardhâwî, dengan alasan lebih sesuai dengan asal pembentukan
katanya (wazan). 6 Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-
Qardhawi: Analisis strukturalisme- emio ik k if N ‟ m l m ‟ l-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Tesis: 2007), h. 26-27
21
Qardhâwî masih berumur lima tahun. Beliau tidak menikmati kehidupan yang
mewah. Suasana keluarganya bersama-sama bapa saudaranya yang mendidik
beliau dengan didikan agama termasuk biah kampungnya yang mementingkan
ilmu dan amalan agama berjaya membentuk peribadi dan aspirasi Islam dalam diri
beliau.7
alam perjanan kehidupannya, Yȗsuf al-Qardhâwî pernah mengenyam
“pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia
masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatanya dalam
pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat
terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara
militer selama dua tahun. Yȗsuf al-Qardhâwî terkenal dengan khutbah-
khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang menjadi khatib di sebuah
mesjid di daerah Zamalik. Alasannya, karena khutbah-khutbahnya dinilai
menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.
(1) m ng n Pemiki n Yȗ f Al-Qardhâwî
Fazlur Rahman seorang pemikir yang mempelopori gagasan pembaharuan
neomodernisme Islam, berpandangan bahawa seorang pemikir hebat ialah mereka
yang mempunyai ciri-ciri berikut: (a) Menemukan suatu gagasan utama atau
prinsip dasar yang utama yang mengandung segala realita, lalu dia
mentafsirkannya dengan jelas dan menjadikannya sesuatu yang baru dan penting;
(b) Gagasan pokok itu seterusnya mampu merubah perspektif kita dalam
berinteraksi dengan realita tersebut; dan (c) Mampu mengemukakan suatu
7 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts Vol 3 Issue 1 (Juni
2013): h. 53.
22
penyelesaian yang baru dan jitu terhadap segala permasalahan yang setelah lama
mengganggu fikiran manusia (Rahman, 1975). Berdasarkan kepada ciri-ciri
pemikir hebat oleh Fazlur Rahman, Yȗsuf Al-Qardhâwî telah memenuhi setiap
kriteria tersebut. Beliau bukan saja mengenal pasti prinsip dasar dengan segala
realiti bahkan telah mentafsirkan, memperjelaskan dan menerangkannya dalam
bentuk yang lebih segar untuk manfaat semua.8
Pemikiran Yȗsuf al-Qardhâwî mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan di seluruh dunia. Pemikiran yang dinamik dan bersesuaian dengan
keadaan dan suasana semasa menjadikan beliau sering menjadi rujukan dan
panduan oleh umat Islam. Di antara sumbangan besar Yȗsuf al-Qardhâwî ialah
memperkenalkan pendekatan dinamik untuk memahami h i‟ h melalui
beberapa konsep fiqh dan manhaj yang beliau anjurkan dan ini termasuk fiqh al-
12) Syari'at- al-Islam Shalihah lil-Tathbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin
13) Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm
14) Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir
15) Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat 'Ala Ummatina
16) Al-Hill al-Islami Faridhah wa Dharurah
17) Bayyinal-Hill al-Islami wa Syubuhat al-'ilmaniyyin wal-
Mutagharribin
18) A'da' al-Hill al-Islami
19) Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah
20) Jailun-Nashr al-Mansyud
21) An-Naas wa al-Haq
22) Ummatuna bainal-Qarnayn
g. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam
1) Syumul al-Islam
2) Al-Marji'iyyah al-'Ulya fi al-Islam li al-Qur'an was-Sunnah
3) Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kaysf wa al-Ru'aa wa min al-
Tamaim wa al-Kahanah wa al-Ruqa
4) Al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Dhau' Nushush al-Syari'ah wa
Maqashidiha
h. Bidang Pengetahuan Islam Yang Umum
1) Al-'Ibadah fi al-Islam
2) Al-Khashaish al-'Ammah fi al-Islam
27
3) Madkhal li Ma'rifat al-Islam
4) Al-lslam Hadharat al-Ghad
5) Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi juz 1
6) Khuthab al-Syaikh al-Qaradliawi juz 2
7) Liqaat wa Muhawarat hawla Qadhaya al-Islam wal-'Ashr
8) Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq
9) Qadhaya Mu'ashirah 'Ala Bisath al-Bahts
i. Tentang Tokoh-Tokoh Islam
1) Al-Iman Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi
2) Asy-Syaikh al-Ghazali kama 'Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn
3) Nisaa' Mu'minaat
4) Al-Imam al-Juwaini Imam al-Haramain
5) „Um in A l Aziz Khamis al-Khulafa' al-Rasyidin
j. Bidang Sastra
1) Nafahat wa Lafahat (kumpulan puisi)
2) Al-Muslimin Qadimum (kumpulan puisi)
3) Yusuf ash-Shiddiq (naskah drama dalam bentuk prosa)
4) 'Alim wa Thagiyyah
k. Buku-Buku Kecil Tentang Kebangkitan Islam
1) Al-Din fi 'Ashr al-'Ilmi
2) Al-Islam wa al-Fann
3) Al-Niqâb lil-Mar'ah baina al-Qawl bi Bid'atihi wal-Qawl biWujubihi
4) Markaz al-Mar'ah fil-Hayah al-lslamiyyah
5) Fatawa lil-Mar'ah al-Muslimah
28
6) Jarimah ar-Riddah wa 'Uqububat al-Murtad fi Dhau' al-Qur'an was-
Sunnah
7) Al-Aqlliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami
8) Al-Mubasyyirat bi Intishar al-Islam
9) Mustaqbal al-Ushuliyyah al-lslamiyyah
10) Al-Quds Qadhiyat Kulli Muslim
11) Al-Muslimun wal-'Awlamah
(3) Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan
yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan
menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwî,
sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul),
seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.12
Pernyataan al-Qardhâwî tentang karakter dasar sunnah yang komprehensif,
seimbang, dan memudahkan adalah konsep-konsep ideologisnya tentang hadis.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan satu model pemahaman ke
dalam masyarakat. Sementara model pemahaman yang ditawarkannya itu
bertujuan untuk menjaga kemurnian (keaslian) Islam, mendorong kebangkitan
kembali Islam dan penguasaan syari‟ah atas negara.
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1994), h.
92.
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî berpandangan bahwa agama Islam adalah sangat
mudah dan ringan. Terutama mengenai hal-hal yang biasanya dianggap oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang susah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt:
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi ia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.” (Q.S Al Maidah: 6).22
Membebaskan masyarakat dari sifat fanatik dan taklid terhadap imam atau
madzhab tertentu. Karena Allah Swt tidak memerintahkan kita untuk mengikuti
i i ‟ kepada madzhab atau imam tertentu, tetapi Allah Swt memerintahkan kita
agar kita mengikuti i i ‟ kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.13
Pendapat beliau
sesuai dengan perkataan Imam Hasan Al-Banna pada prinsip keenam yang
merupakan bagian dari “20 prinsipnya”, “Semua orang boleh diambil atau
ditinggalkan perkataannya, kecuali al- ‟sȗm (terjaga dari kesalahan dan dosa)
yaitu nabi Muhammad Saw. Semua yang datang dari generasi salaf, yang sesuai
dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah maka kita terima. Sedangkan jika tidak, maka al-
Qur‟an dan as-Sunnah lebih utama untuk diikuti.”14
13
Biografi Yusuf Al-Qardhawi., h. 30 14 Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf. Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), cet. Ke- 1, h. 9
30
B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis
Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, setiap orang yang berinteraksi dengan
sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan agama
harus berpegang kepada tiga prinsip dasar. (1) memastikan keshahihan hadis:
prinsip pertama dalam berinteraksi dengan sunnah adalah dengan cara
memastikan keotentikan hadis (shahih atau hasan) sesuai dengan kriteria dan hasil
kerja para ahli hadis kemudian menerimanya sebagai hujjah. (2) memahami hadis
dengan seksama: memahami hadis-hadis Nabi Saw., harus dilakukan secara
seksama dan cermat. Menurut Qardhâwî, pemahaman atas hadis yang seksama
adalah pemahaman yang:
Sesuai dengan pengertian kebahasaan (Arab), dan dalam rangka konteks
hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam
kaitannya dalam nash-nash al-Qur‟an dan Sunnah yang lain, dan dalam
rangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua
itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan
demi menyampaikan risalah (misi Nabi) dan yang bukan untuk itu. Atau
dengan kata lain, antara sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri‟
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara
tasyri‟ yang memiliki sifat umum dan permanen, dengan yang bersifat
khusus dan sementara. Sebab diantara penyakit terburuk dalam
pemahaman sunnah adalah pencampuradukan antara bagian yang satu
dengan yang lain.15
(3) menyelesaikan atau menyelaraskan pertentangan antar hadis: tentang
prinsip ketiga ini Qardhawi berkata:
memastikan bahwa nash (hadis) tersebut tidak bertentangan dengan nash
lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Qur‟an,
atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya atau lebih shahih
darinya, atau labih sejalan dengan ushul (pokok ajaran agama). (hadis
tersebut juga) tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak
dengan hikmah tasyri‟, atau berbagai tujuan umum syari‟ah yang dinilai
telah mencapai tingkat qath‟i karena disimpulkan bukan hanya dari satu
15
Yȗsuf al-Qardhâwî, Al- j ‟i h l-„Ul â fi al-Islâm li-al- ‟ân wa al-Sunnah:
Dhawabithuh wa Mahadzir fi al-Fahm wa al-Tafsîr, ( eirut: Mu‟assasah al-Risalah, 1996), h. 126
31
atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang- setelah digabungkan
satu sama lain – mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubut-
nya (atau keberadaannya sebagai nash).16
Oleh karenanya, dalam bukunya if N ‟ m l ‟ l-Sunnah al-
N i h: ‟ lim Dawâbith, dijelaskan secara spesifik mengenai cara
memahami hadis Nabi dengan benar melalui 8 prinsip dasar, yaitu :
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman) فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرمي .1
pada al- ‟ n l-Karîm)
Menurut Al-Qardhâwî, pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan
dengan ayat-ayat al-Qur‟an agar pemahaman hadis tepat dan terhindar dari
interpretasi yang bias (al-tahrif wa al-intihal), bilamana pemahamannya selalu
dihadapkan kepada teks-teks al-Qur‟an yang jelas (al-muhkamat), karena al-
Qur‟an adalah asas pokok dan pedoman utama ajaran Islam yang tak dapat
disangkal.17
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al- ‟ n sebagai kalimat
yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-
Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui”. (al-
An‟ m 6:115)
Dalam ayat ini, kita dituntut untuk memahami al-Sunnah dengan benar,
jauh dari penyimpangan dan salah menta‟wilkan harus dilakukan di bawah
naungan al-Qur‟an, dalam lingkup orientasi Rabbani yang benar dan adil.
16
Yȗsuf al-Qardhâwî, Al-Marja‟iyyah, h. 126 17
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137
32
Al-Qardhâwî bersikap hati-hati dalam menerapkan metodenya.
Menurutnya dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya,
dan ia merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-
undangan Islam. al-Sunnah an-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan
memperinci konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan
implementasi praktis terhadap al-Qur‟an.
Dan al-Qardhâwî berpendapat bahwa tidaklah penjelasan akan
bertentangan dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan
pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad Saw. selamanya berkisar dalam
cakrawala al-Qur‟an dan tidak pernah melampauinya. Bila sebagian orang
mengira adanya pertentangan dengan ayat-ayat muhkam al-Qur‟an, maka dapat
dipastikan hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita terhadapnya tidak benar,
atau apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan
bukan pertentangan hakiki. 18
Kecendrungan keilmuan klasik justru sebaliknya: sunnah dipandang
sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungin salah dan tidak mungkin dibatalkan
oleh al-Qur‟an. Imam al-Sy fi‟ mempelopori pendapat yang menyatakan bahwa
sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur‟an karena sunnah berperan membuat
perintah-perintah al-Qur‟an yang umum menjadi spesifik. Apabila terlihat ada
kontradiksi, sarana yang bisa mendorong untuk menyelesaikannya adalah ta‟wil.
18
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
33
Menurutnya karena sunnah dianggap sumber independen yang tidak dapat
dibatalkan oleh al-Qur‟an.19
Dan juga menurut al-Qardhâwî perlunya penelitian seksama tentang
keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an. Mengenai hal ini, perlu kiranya
diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya
keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang shahih.20
Dan
adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang
dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama tidak ada
penafsirannya yang dapat diterima.
Karena itu, al-Qardhâwî tidak dapat begitu saja menerima hadis yang
dirawikan oleh Abȗ wud dan selainnya:
ث نا م ث نا ابن أب زائدة، أخب رن ممد بن صالح بن ذريح بعكب راء، قال: حد سروق بن المرزبن، قال: حدث نا أب، ]ص: الوائدة والموءودة »[ عن عامر، قال: قال رسول الل صلى الل عليو وسلم: 255قال: حد
21) صحيح ابن حبان («ف النار
“Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya dan si bayi
yang terkubur hidup-hidup, kedua-duanya di neraka”
Dan hadis lain:
م سل ت ف اإلسالم دة ائ الو ك در الأن ت إ ،الوائدة والموءودة ف النار
buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi kritis atas Hadis
Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, h. 19 20
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1994), h. 101
21Muhammad bin Hibban, Sahih ibn Hibban, Juz. 4, no hadis 4717, (Bairut: Taba‟ah al-
tsaniyah, 1414-1993) h. 230
34
“Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya yang
perempuan, kedua-duanya berada di neraka, kecuali jika si perempuan
(yang melakukan hal itu) mendapati agama Islam lalu ia memeluknya.”
Di hadis yang kedua ini masih ada peluang baginya untuk selamat dari
azab neraka, sedangkan si anak perempuan (yang menjadi korban) tidak ada
peluang baginya.
Dalam hal ini, para sahabat dahulu bertanya-tanya ketika mendengar Nabi
Saw bersabda:
ان ك و ن ؟ قال: إ ول قت ال ل ا ب م ،ف ل ات وا: ىذاالق ال "ق ار ىف الن ول قت وال ل ات الق ا، ف م يه يف س ب ان سلم ى ال ق ا الت إذ و ب اح ص ل تا على ق يص ر ح
“Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan kedua
pedang mereka masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh,
kedua-duanya di neraka.”
Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, si pembunuh memang berhak
memperoleh hukuman seperti it2wu; tetapi mengapa yang terbunuh (dimasukan
pula ke neraka)?” maka beliau menjawab:
“sebab ia (si pembunuh) juga bertekad untuk membunuh kawannya.
Begitulah Nabi Saw., menjelaskan kepada mereka, mengapa si korban
juga berhak atas hukuman neraka. Yaitu, karena niatnya untuk membunuh
temannya itu.22
Maka dengan keadaan hadis tadi “Jika si perempuan yang mengubur bayi
perempuannya, memperoleh hukuman neraka; mengapa pula si anak yang
menjadi korbannya? Bukankah hal itu berlawanan dengan firman Allah Swt23
.,:
22
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97 23
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97
35
„dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?‟ (Al-Takwîr [81]: 8-9)
Tidak hanya Al-Qardhâwî yang menyatakan bahwa sunnah harus
dievaluasi kembali dengan bantuan al-Qur‟an, namun Al-Ghazâlî, Rasyîd Ridhâ,24
Th H usain dan Muhammad H usain Haikal juga pendapat mereka hampir sama.
األحاديث الواردة ىف الوضوع الواحدمجع .2 (Mengumpulkan Hadis-Hadis dalam
Satu Objek)
Dalam memahami al-Sunnah dengan benar hadis-hadis shahih yang
berkaitan dengan suatu tema tertentu hendaknya di kumpulkan dalam satu objek.
Dimana yang bersifat mutasyâbih dikembalikan kepada yang bersifat muhkam,
yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang bersifat umum ditafsirkan oleh
yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadis yang dimaksud akan
jelas.25
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan “mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras
kepada pelakunya.
Perhatikanlah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a.,
bahwa Nabi Saw pernah bersabda:
و ب ت لع س . والنفق نة م ال ا إ يئ ى ش عط ى الي ذ ، ال نان : ال ة يام الق وم هللا ي م ه م ل ك ي ال ثة ال ث ، اب ذ الك لحلل ه ار ز إ ل سب وال
“Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara
oleh Allah: 1) seorang mannân (pemberi) yang tidak memberi sesuatu
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 106
36
kecuali untuk diungkit-ungkit; 2) seorang pedagang yang berusaha
melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah
bohong; dan 3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di
bawah kedua mata kakinya.”
Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar:
“Tiga jenis manusia yang kelak di hari kiamat tidak diajak bicara oleh
Allah, tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiyah oleh-Nya, dan bagi
mereka tersedia a ab yang pedih.” (Rasulullah Saw., mengulangi sabda
beliau itu tiga kali, sehingga Abu ar berkata: „Sungguh ya Rasulullah?‟
Maka jawab beliau): “Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai
ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian
diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan barang dagangannya
dengan bersumpah bohong.”
Kalau begitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan “orang
yang menjulurkan sarung sampai ke bawah mata kaki”? Apakah mencakup siapa
saja yang memanjangkan sarungnya, walaupun hal itu semata-mata karena
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat dan tanpa maksud
menyombongkan diri?26
Mungkin saja hal itu didukung oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih
al- ukhari, dari Abu Hurairah: “Sarung yang dibawah mata kaki, akan berada di
neraka.”
Yang dimaksud dengan “sarung” dalam hadis itu, ialah “kaki” seseorang
yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke
neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.
Akan tetapi, bagi orang yang sempat membaca semua hadis yang berkenaan
dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh Al-Nawawi, Ibn
Hajar dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud disini adalah sikap sombong yang
26
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi., h. 107
37
menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam
dengan hukuman yang keras.
Dari beberapa hadis Nabi lainnya yang telah dipaparkan di dalam buku Al-
Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Sebagai konklusinya bahwa,
apa yang telah menjadi adat kebiasaan, harus pula diperhitungkan, sebagaimana
dinyatakan oleh Al-Hâfidz Al-„Ir q . Sebab, adakalanya suatu perbuatan yang
menyimpang dari kebiasaan umum, mungkin justru menjadikan pelakunya makin
terkenal. Sedangkan cara berpakaian yang sengaja dimaksudkan untuk tujuan
seperti itu, adalah tercela pula. Maka yang paling baik adalah sikap tengah-tengah.
Walaupun demikian, sekiranya ada orang yang memendekkan tsaub-nya, demi
mengikuti al-sunnah dan menjauhkan diri dari tuduhan hendak menyombong, atau
ingin memilih jalan yang lebih “selamat” maka, insya Allah, ia akan beroleh
pahala juga. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain untuk
mengikutinya bahkan sampai berbuat radikalis.27
Memadukan Atau Mentarjih Antara) اجلمع أو الرتجيح بني خمتل الحلديث .3
Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Dalam pandangan Al-Qardhâwî, pada dasarnya nash-nash syari‟at tidak
akan saling bertentangan. Maka bila tampaknya ada kontradiksi,maka hal itu
hanya penglihatan sepintas yang pada hakekatnya tidak demikian dan merupakan
kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.28
27
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h.109-112 28
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-Sunnah Dengan Benar., h. 197
38
Tahap selanjutnya bila hadis-hadis yang memiliki tema yang sama nampak
kontradiktif, maka langkah pertama adalah melakukan kompromi (al-j m‟ l-
taufiq) terhadap hadis-hadis tersebut. Dasar pemikiran Al-Qardhâwî adalah bahwa
pada prinsipnya nash-nash tidak mungkin saling bertentangan secara substansi.
Jika mungkin melakukan kompromi, maka hal tersebut harus terlebih dahulu
dilakukan dibanding melakukan komparasi hadis (al-tarjih). Namun perlu dicatat
bahwa kompromi ini hanya dilakukan terhadap hadis-hadis yang sahih saja, tidak
termasuk hadis da‟if dan diragukan validitasnya.29
Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qardhâwî
nampaknya kurang memilih alternatif selanjutnya yakni nasakh, karena
menurutnya medan naskh dalam hadis lebih sempit dibanding pendekatan
kompromi (al-j m‟ l-taufiq) maupun komparasi (tarjih). Menurut Qardhâwî
hal ini disebabkan karena sebagian hadis hanya bersifat parsial dan temporal.30
Sebagai contoh: hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi
kuburan. Misalnya, hadis dari Abȗ Hurairah, bahwa Rasulullah Saw., “mel kn
k m ni ng e ing menzi hi k n”. (Dirawikan oleh Ahmad, Ibn
Majah dan al-Tirmid i yang berkata: “hadis ini hasan sahih”. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam sahih-nya).31
Diriwayatkan pula dari Ibn Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal:
“para wanita pen iarah kuburan.”
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 118 30
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h.140 31
Lihat juga al-Tirmidzi dalam bab Janâiz (1056), Ibn Mâjah (1576) dan Ahmad (2/337).
Juga dirawikan oleh Al-Baihaqi dalam al-Sunan (4/78).
39
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan
terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula
larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Namun ada hadis lain yang mengizinkan menziarahi kuburan, sama seperti
kaum laki-laki. Diantaranya, sabda Nabi Saw.:
32اوى ور ز ، ف ورب الق ة ر ي م عن ز ك يت ه م ن نت ك
“Aku pernah melarang kalian men iarahi kuburan kini iarahilah”
الوت ر ذك ا ت إن ف ور ب وا الق ور ز
“Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan
kepada maut.”
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum
wanita juga.
Juga hadis yang dirawikan oleh al-Bukhârî dan Muslim, dari Anas, bahwa
Nabi Saw., menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah
kuburan, lalu beliau berkata: “bertakwalah kamu dan bersabarlah” wanita itu
menjawab: “Menjauhlah kamu dariku. Engkau tidak mengalami musibah yang
kualami.” (Rupa-rupanya ia tidak mengenali Rasulullah Saw...).
Dalam hadis itu, Nabi Saw., menyatakan ketidak sukaannya kepada sikap
si wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau
tidak melarangnya berziarah.
Meskipun hadis-hadis ini, lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan
hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya
32
Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no.
1406 juz 2, h. 1025
40
menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan
mengartikan kata “melaknat” yang tersebut dalam hadis sebagaimana dinyatakan
oleh al-Qurthubi yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan
ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwârât, yang berkonotasi “amat
sering”. Menurut al-Qurthubi, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat
mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada para pemenuhan hak
suami, disamping kemudian membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi
orang-orang yang mati dengan suara keras. Dan dapat dikatakan pula bahwa jika
semua itu dapat dihindarkan, maka boleh menziarahi kuburan bagi kaum laki-laki
maupun perempuan.
Berkata al-Syauk ni: “pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan
dalam upaya menggabungkan antara hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan menurut ahirnya.”33
Memahami Hadis dengan) فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا ومالبساهتا و مقاصدىا .4
Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya)
Untuk memahami hadis dengan benar dan mendalam, haruslah
mengetahui hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan
penjelasan dan mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadis
tersebut dapat ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap
dugaan-dugaan sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya.
33
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 121-122
41
Sehingga kita harus memahami suatu hadis dari kesimpulan dan realita konteks
hadis tersebut.34
Jadi terkadang sebuah kandungan hadis yang bersifat umum dan abadi,
namun bila melihat illahnya, maka akan bersifat kontekstual. Bila illah tidak
terdapat, maka hilang kontekstual ini, tentu diperlukan pengetahuan yang
mendalam tentang hakikat agama, maqâshid al-syâri‟ah, keberanian moral, situasi
dan kondisi historis hadis (asbâb al- ȗ .
Disisi lain Qardhâwî juga mengkritik pemahaman tekstual terhadap hadis
karena pemahaman tekstual terkadang tidak sesuai dengan ruh dan tujuan hadis,
bahkan bertentangan. 35
Disebutkan dalam Sahih al-Bukhâri dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas,
secara marfu‟:
36م ر ها م ع إال و م ة أ ر إمر اف س ت ال
“Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang
mahram bersamanya”
„Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan
perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram.
Ini mengingat bahwa dimasa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal
ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mngarungi padang pasir
yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi itu,
34
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 223 35
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 141-142 36
Lihat al-Bukhari hadis no. 1863, juz 3, h. 19. dan Muslim dalam Program al-Maktabat
Shamel, hadis no. 418 juz 2, h. 976
42
seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya,
tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau – paling sedikit – nama baiknya
dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti dimasa kita
sekarang, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita
yang bepergian sendiri. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindakan
pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan
kandungan hadis marfu‟ yang dirawikan oleh al- ukh r , dari „Adi bin H tim:
37يوشك أن خترج الظعينة من الحلرية تقدم البيت )أى الكعبة( الزوج معها
“Akan datang masanya ketika seorang perempuan penunggang
unta pergi dari (kota) hijrah menuju ka‟bah, tanpa seorang suami
bersamanya”
Hadis ini, pada hakikatnya, menubuatkan tentang datangnya masa
kejayaan Islam sebagai mercusuar yang memancarkan sinarnya di seluruh alam.
Dan sekaligus juga menunjukan dibolehkannya seorang perempuan bepergian
tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan
Ibn Hazam dari hadis tersebut.38
Membedakan Antara Sarana) التمييز بني الوسيلة التغرية و اهلدف الثابت للحديث .5
yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis)
Menurut Al-Qardhâwî, Di antara sebab terjadinya kesalahan pemahaman
terhadap al-Sunnah adalah sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan
maksud yang permanen (al-ahdaf al-tsabitah) dimana al-Sunnah berusaha
37
irawikan oleh ukh ri dalam ab „Al m t Al-Nubuwwah fi al-Islâm. 38
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 136-137
43
merealisasikannya dan sarana yang bersifat temporal (al-wasâil al-
mutaghoyyirah) dan lokal yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.39
Membedakan Antara Hakekat dan) التفريق بني الحلقيقة و اجملاز ىف فهم الحلديث .6
Majas dalam Memahami Hadis)
Makna metaforis (majazi) di sini adalah mencakup al-majaz al-lughawi
(metaforis menurut bahasa) dan al-majaz al-„aqli (metaforis menurut rasio), al-
istiarah wa al-kinayah (kiasan), dan setiap bentuk kata atau kalimat yang memiiki
makna konotatif. Majaz dapat diketahui dengan memperhatikan indikator makna
(al-qarinah) dari sebuah kata atau kalimat.40
Al-Imam al-Rahib al-Ashfahani dalam bukunya yang bermutu Al- ar ‟ah
Ilâ Makârimi-sy-Syar ‟ah mengatakan :
“Ketahuilah bahwa pembicaraan, bila diucapkan dengan perumpamaan
untuk diambil pelajaran bukannya untuk memberikan berita, maka sebetulnya
tidak termasuk dusta. Oleh karena itu orang-orang yang sangat berhati-hati tidak
merasa rikuh menggunakannya”.
Hati-hati Untuk Tidak Mudah Menta‟wilkan Ungkapan Majazi
Al-Qardh w berpendapat, bahwa penta‟wilan hadis-hadis dan teks-tekas
dalil pada literal, adalah masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudah-
mudah dilakukan kecuali bila ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli. Seringkali
39
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.248 40
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 143
44
hadis-hadis dita‟wilkan karena berdasarkan pandangan subjektif, temporal atau
lokal.
Penta‟wilan Yang itolak
i antara penta‟wilan yang tidak boleh diterima adalah penta‟wilan kaum
kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks
perkataan.
Ibnu Taimiyyah dan Penolakan Majaz
Menurut Al-Qardhâwî, bahwa Syaikhu-I-Islam menolak adanya majaz
dalam al-Qur‟an, hadis dan dalam bahasa secara umum dan pendapatnya ini
diperkuat dengan sejumlah dalil dan ungkapan. Ibnu Taimiyyah ingin menutup
pintu bagi mereka yang berlebih-lebihan dalam menta‟wilkan hal-hal yang
berhubungan dengan sifat-sifat Allah „A a wa Jalla yaitu mereka yang
dinamakan kaum al-Mu‟athilah. Sifat-sifat Allah ta‟ala menurut pandangan
mereka hampir menjadi sekedar negatif bukan positif dan nafyun yang tidak
disertai itsbat.
Ia ingin menghidupkan apa yang ada pada umat terdahulu yang
mengitsbatkan bagi Allah ta‟ala apa-apa yang telah diitsbatkan-Nya dalam kitab-
Nya al-Qur‟an dan dalam sunnah Rasul-Nya dan menafikan apa-apa yang telah
dinafikan al-Qur‟an dan as-Sunnah.41
Membedakan Antara yang Gaib dengan yang) التفريق بني الغيب و الشهادة .7
Nyata)
41 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.312-317
45
Kesalahan pokok dalam memahami hadis yang terkait dengan hal-hal gaib
adalah menganalogikannya dengan hal-hal nyata. Sebuah analogi yang keliru (al-
qiyas mâ al-fariq bathil) karena hal-hal nyata memiliki perbedaan dengan hal-hal
gaib. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal bersifat gaib tidak perlu diperdebatkan.
Hadis-hadis tentang keadaan syurga, neraka, sirath, mizan, siksa kubur, dan
sebagainya tidak perlu dianalogikan dengan kondisi alam nyata. Pendekatan Al-
Qardhâwî nampak cenderung kepada Ahlu Sunnah yang menolak takwil terhadap
eksistensi hal-hal gaib.42
Oleh karena itu, para ulama kita menetapkan bahwa agama datang
membawa ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi ia tidak mungkin
membawa ajaran yang dapat dirubah oleh akal. Maka bagaimanapun juga, dalil
naqli yang shahih tidak bakal bertentangan dengan akal murni.43
Mengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata) التأكد من مدلوالت ألفاظ الحلديث .8
Hadis)
Hal yang sangat penting, menurut Al-Qardhâwî, untuk memahami hadis
dengan benar adalah memahami makna kata perkata dari teks hadis, karena
seringkali kata-kata tersebut berubah makna sesuai dengan konteks kalimat dan
zaman. Hal ini suatu hal yang telah maklum dalam sejarah bahasa. Al-Qardhâwî
mengutip perkataan al-Ghazali tentang perbedaan kalangan salaf dan khlaf tentang
pergeseran penggunaan kata dalam ilmu agama yang menyebabkan pencapur
adukan istilah.
42
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h.144 43
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 3221
46
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian ulama yang mengharamkan
lukisan dalam bentuk apapun termasuk photografi. Padahal orang arab tentu tidak
akan berpikir ketika menggunakan kata al-tashwir termasuk photografi. Oleh
karena itu kesimpulannya bahwa kata al-tashwir bukanlah sebutan kebahasaan,
tapi sebuah bahasa hukum, sehingga photografi tidak terwakili dalam kata al-
tashwir. Jadi photografi adalah suatu yang mubah.44
44
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 144
47
BAB III
HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM
TERHADAP NON-MUSLIM
A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non-Muslim
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي أب ىري رة، أن رسول حدل »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس يتم أحدىم ري ذا ل م،
و 1«اضطروه إل أضي
“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali megucapkan salam
kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka
di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim)
ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، ح بة، حد ث نا عثمان بن أب شي ث نا أنس بن مالك رضي حد د
ولوا: وعليكم عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم الل 2: " إذا سلم عليكم أىل الكتاب
“Menceritakan Yahya bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami
Husyaim dari Ubaidillah bin Abu Bakar ia berkata aku mendengar Anas
Ismail bin Salim kepada ku, Mentahditskan Husyaim kepada kami,
mengkhabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abu Bakar dari kakeknya
Anas bin Malik bahwasanya Rasulallah saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
1 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 2 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
48
1. Takhrij Hadis
Upaya penulis menguraikan mengenai hadis-hadis larangan mengucapkan
salam dengan Ahl al-Kitâb Untuk ditakhrij3 hanya sebatas sebagai bahan
pendukung agar mengetahui asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya-dari berbagai kitab koleksi hadis yang disusun oleh para kolektor
(mutakharrij)-nya, secara langsung. Dan untuk hadis larangan mengucapkan dan
menjawab salam terhadap non-Muslim penulis menemukan dalam kitab takhrij al-
Mu‟jam al-Mufahras l al- al- a îts, Mausȗ‟a râf al- a îts, dan Miftâ u
Kunȗz al-Sunah. Penjabarannya sebagai berikut:
Langkah pertama, setelah ditelusuri dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l
al- al- a îts al-Nabawî dari semua lafaz yang ada dalam matan hadis, Data
yang disajikan dari penelusuran kata adalah sebagai berikut:
4م عليكم أىل الكتاب ولوا )وعليكم(إذاسل سلم :
Kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l al- al- a îts al-Nabawî
سلم
Shahih al-Bukhari, kitab Isti‟dzhan no. 22, kitab
murtadain no.4
٤، مرتدين ٢٢استئذان :خ ٨ ٩,۷سالم : م
3 Takhrîj )ختريج( dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath )اإلستنباط(, artinya
“mengeluarkan”, at-tadrîb )التدريب(, artinya “melatih” atau “pembiasaan” dan at-tarjih artinya “menghadap. Sedangkan menurut istilah, menyampaikan hadis kepada orang)التجيح(
banyak dengan menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode
periwayatan masing-masingnya. Lihat, M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), h. 222 4 A.J. wensinck, al-Mu‟jam al-Mu a ras l al- al- a ts al-Nabawî, Jilid 5. (Leiden:
E.J. Bill 1936)
49
Shahih Muslim, kitab salam no.9 dan 87.
Muwatta Malik, kitab Salam no.3.
Sunan al-Darimi, kitab Isti‟dhan no.7.
Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan
jilid 3 halaman 99.
٣سالم : ط
۷استئدان : دي ٩٩،٣،..٩،٢ : حم
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam
lampiran 1.
Kedua, penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan
menggunakan kitab Mausuah al-Atraf, dan data yang disajikan oleh kitab ini
adalah sebagai berikut:
ta Mausȗ‟a r al- a ts
5إذاسلم عليكم أحد من أهل الكتاب
Sunan at-Tirmidly, nomor hadis 3301
Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697
Al-Suyuti, bab 67 nomor hadis 188
Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442
٣٣۱۰: ت
٣٦٩۷ : ه
۰۷۷: ٦۷ : منشور
٤٤٢: ٨ : ش
٢٥٢٩۷ : كنز
5 Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, Mausȗ‟a r al- a ts Jilid 1,
(Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah,t.t.), h. 332
50
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam
lampiran 2.
Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak dalam
kitab Kanz al-Umal nomor 25297.
Ketiga, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan
menggunakan kitab Kanz al-„Umal. Dan data yang terdapat dalam kitab ini adalah
sebagai berikut:
6( ت ه عن أنس(1إذاسلم عليكم أحد من أىل الكتاب ولوا : وعليكم )حم ق )
Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis
ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq „alaih (bukhari dan Muslim),
al-Tirmidzi, dan Ibn Majah.
Selain dari metode –metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui
metode tematik dengan menggunakan kitab Miftâ u Kunȗz al-Sunah, dan data
yang didapat dari kitab ini adalah sebagai berikut :
Dan juga ada hadis Nabi yang menunjukan bahwa Beliau (memulai)
mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi), Raja Etiopia, melalui suratnya.
Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut:
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Najasyi Raja Habasyah,
Raja Etiopia. Salam bagi anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada sekutu
bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan;
33
Setelah melakukan pembebasan Aelia (nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Abbasiyah). dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al
Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh
penduduk Aelia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka. Perjanjian tersebut
kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Aelia (ميثاق ايليا) atau Perjanjian Umar (العهدة العمرية)
yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Pembebasan al-Quds dan
perjanjian Aelia oleh Umar bin al-Khattab, Artikel diakses pada 9 September 2015 dari http://www.kitabklasik.net/2008/08/pembebasan-al-quds-dan-perjanijian.html
34 Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama., h. 6
66
hamba-Nya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan
menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Amma ba‟du: aku memuji Allah padamu yang tidak ada Tuhan selain Dia,
yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi
Aman, dan Maha Pembeda. Aku bersaksi bahawa Isa anakMaryam ruh
Allah, dan firman-Nya yang diberikan kepada Maryam yang suci lagi
perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya, sebagaiman Ia menciptakan
Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah yang Esa, yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, mematuhi dengan ketaatan kepada-Nya, dan
untuk mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah,
aku mengajakmu dan para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa
lagi Maha Timggi. Aku telah menyampaikan pesan dan memberi nasihat,
maka terimalah nasihatku. keselamatan bagi orang yang mengikuti
petunjuk.
Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan
dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan
Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad Saw., adalah “salam bagi anda” (Salamun „alayk). Salam ini
ditujukan kepada negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen (Nasrani).35
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad Saw telah melakukan
interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani),
budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia
dan Romawi). Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani,
Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan
diberi pedoman yang snagat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di
luar Islam.
Bahkan, al-Qur‟an juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik
terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk
menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya,
35
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 71-72
67
dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat
baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari
kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad Saw., berpesan, "Barangsiapa
menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa
menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).36
Islam merealisasikan kerukunan hidup beragama dalam konteks Indonesia,
dengan berpatokan pada tri kerukunan yakni, kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah. Khusus dalam kerukunan antar umat beragama, disebut SKB No.
1/1979 sebagai pedoman, dimana tanggung jawab dan tugas penertiban
pelaksanaannya berada di atas pundak Departemen Agama dan Departemen
Dalam Negri.37
36
Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama, h. 2 37
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997), h. 8-10
68
BAB IV
KAJIAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB
SALAM TERHADAP NON MUSLIM
A. Memahami al-Sunnah Dengan Berpedoman Pada al-Qur’ân al-Karîm
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim)
Dalam teorinya al-Qardhâwî, bahwa tidaklah penjelasan akan bertentangan
dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan pokok.1 Maka
dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan
dalam bukunya fiqih lintas agama bahwa, l- u ‟ n d n l- adîth tidak boleh
dikonfrontasikan, tetapi justru harus dicari dan dihayati dasar-dasar
pertemuannya.2
Langkah-langkah memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-
u ‟ n l-Karîm adalah dipastikan hadis yang kita teliti “s hih”, perlunya
penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an, Mengenai
hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan
tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang
sahih.3 Dan adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja
hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama
tidak ada penafsirannya yang dapat diterima. Maka kalaupun ada sebagian dari
kita memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, hal itu pasti disebabkan tidak
1 Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami al-Sunnah dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148 2 Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 55
3 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 101
69
sahihnya hadis yang bersangkutan, atau apa yang diperkirakan sebagai
“pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki.4
Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang berbunyi :
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي ن رسول أب ىري رة، أ حدلم، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
5«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim
untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapa saja di antara
mereka ke pinggir jalan.
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam
terhadap orang-orang non Muslim adalah:
ث نا ث نا أ حد ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد بة، حد نس بن مالك رضي عثمان بن أب شي عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عليكم أىل 6الكتاب ف قولوا: وعليكم الل
4 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94
5 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 6 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
70
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah
dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik adalah sahih.
Maka teorinya al-Qardhâwî dalam memahami al-Sunnah dengan
berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm adalah kalaupun ada sebagian dari kita
memperkirakan adanya pertentangan dalam memahami hadis, hal itu disebabkan
apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan
bukan pertentangan hakiki.7 Oleh karenanya, sesuai teorinya al-Qardhâwî
pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur‟an,8
Yȗsuf Qardhâwî berpendapat bahwa, keaneka ragaman agama terjadi
sesuai dengan kehendak Allah Swt., yang pasti memiliki hikmah yang besar.
Dalam surat (Yunus [10]: 99) :
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau, engkau memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya. (Yunus
[10]: 99).
Masyarakat pertama yang menjadi gambaran kehidupan agama yang
berbeda adalah masyarakat Nabawi di Madinah, ketika Rasulullah Saw., hijrah ke
7 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94
8 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137
71
Madinah sudah ada masyarakat Yahudi yang berada di sana. Mengakui
keberadaan Yahudi di sana lalu mengadakan perjanjian yang dikenal dengan
piagam madinah yang terkenal. Kedua pihak ini hidup rukun, saling membantu
dalam keadaan senang ataupun susah inilah yang ditetapkan Islam hidup saling
menghormati satu sama lain bukan dalam permusuhan.9
Hal ini ditegaskan pula oleh firman Allah Swt., dalam surah al-Nisâ‟ ayat
86 yang berbunyi :
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, Maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]10
. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu. (Al-Nisâ‟ [4]: 86)
Ini menunjukan bahwa membalas ucapan sesuai dengan yang lebih dulu
kalau tidak dapat dengan yang lebih baik darinya.11
Pada masa jahiliah,
masyarakatnya bila bertemu saling mengucapkan salam antara lain yang berbunyi
,ayyâka Allâh, yakni semoga Allah memberikan untukmu kehidupan (حياك هللا)
dari sini kata tahiyyah secara umum dipahami dalam arti mengucapkan salam.
Islam datang mengajarkan salam bukan dengan ayyâka Allâh atau (أنعم صباحا)
n‟im sabâhan/selamat pagi dan (أنعم مسا ءا) n‟im m s ‟ n/sel m t so e, tetapi
9 Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/
watch?v=cFT42sRfg5A dalam acara talkshow “non Muslim di tengah Masyarakat Muslim
Bersama Syeikh Yusuf al Qardhâwî” Courtesy Al-Jazirah, disiarkan langsung dari Doha, Qatar.
Diterbitkan 24 agustus 2013.
10 Penghormatan dalam Islam Ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu'alaikum.
11 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah :
Fathul Baari, juz 30 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 145
72
yang diajarkannya adalah al-s l mu „ l ikum, bahkan kata inilah yang diucapkan
Allah kepada mereka yang beriman dan memperoleh anugrah-Nya. “kepada
mereka dikatakan: “S l m”, sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang”
(QS. Yâsîn [36]: 58). Kepada para Nabi, Allah mengucapkan/mencurahkan
salam.12
Adapun maksud dari ayat di atas juga ada yang berpendapat bahwa
maksudnya adalah memberi penghormatan yang baik kepada orang-orang Islam,
atau memberi penghormatan dengan yang serupa atas orang-orang kafir.
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Salim bin
Nuh menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id bin Abi Urwah menceritakan
kepada kami dari Al-Qatadah, mengenai ayat (Wa idzâ huyyîtum bitahiyyatin
f h yyȗ bi ahsana minhâ) “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya,” bahwa maksudnya itu untuk (kepada) kaum Muslim (Aw uddȗh )
“atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa,” kepada ahli kitab.13
Abu Ja‟far berpendapat bahwa, itu ditujukan kepada orang-orang Islam.
Maksud dari makna tersebut adalah, diharuskan menjawab salam atas orang
muslim – apabila seseorang memberikan salam kepadanya – dengan yang lebih
baik dari salam yang telah diucapkan untuknya, atau sama seperti yang telah
diucapkan untuknya.14
12
Baca antara lain sekian banyak ayat dalam QS. Al-Safat [37]: 79, 109, 120, 130, 181. 13
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari, terj. Akhmad Affandi
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz 2, h. 409 14
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari., juz 2, h. 411
73
Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Ap bil seseo ng hli
kit b membe ik n s l m kep d mu, m k j w bl h, “w „ l ikum” „D n t s
k mu pul ‟.15
Dalam Tafsirnya Al Qurthubi, Ibnu Abbas dan selainnya berkata, “maksud
dari ayat وإذا حييتم بتحية , Jika ia seorang Muslim فحيوا أبحسن منها walaupun kepada
orang non Muslim, maka balaslah salam mereka sebagaimana yang Rasulullah
Saw., sabdakan dengan mengucapkan w „ l ikum.
Dalam Sahih Muslim ada huruf wawu yang terkadang ditulis dan
terkadang tidak („ l ik ) dan ia merupakan riwayat yang maknanya jelas. Adapun
kata „alaika yang bergandengan dengan huruf wawu merupakan huruf ataf yang
menyebabkan kalimat setelahnya mengikuti kalimat sebelumnya. Oleh karena itu
jika hal itu di lakukan, maka non Muslim dan juga orang-orang yang telah
meninggal termasuk dalam kewajiban menjawab salam.
Ahli tafsir berbeda pendapat mengenai hal itu. Pertama, wawu berfungsi
sebagai ataf hanya saja kita menjawab salam mereka dan mereka tidak wajib
menjawab salam kita, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Saw. Kedua,
wawu berfungsi sebagai isti‟naf (permulaan), namun pendapat pertama lebih
utama menurutnya.16
15
Al-Bukhari dalam Al Isti‟dzan (6258), Muslim dalam As-Salam (2163), Abu Daud dalam
Al Adab (5206), dan Ibnu Majah dalam Al Adab (2697) 16
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), juz. 2, h. 716-717
74
Al-Tabari menukil riwayat dari jalur Ibnu Uyainah, dia berkata, “boleh
memulai salam kepada orang non Muslim berdasarkan firman Allah dalam surat
al-Mumtahanah ayat 817
:
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku
adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (al-
Mumtahanah [60]: 8)
Ibnu Abi Syaibah menukil riwayat dari jalur Aun bin Abdullah, dari
Muhammad bin Ka‟ab bahwa dia menanyakan kepada Umar bin Abdul Aziz
tentang memulai salam kepada ahli dzimmah, maka diapun menjawab, “kita boleh
menjawab salam mereka tapi tidak boleh memulai salam kepada mereka.”
Aun berkata : Lalu aku katakan kepadanya (kepada Muhammad bin
ka‟ab), “menurutmu sendiri bagaimana?” ia menjawab, “menurutku, tidak apa-apa
memulai salam kepada mereka.” Aku bertanya lagi, “mengapa?” ia menjawab,
“karena firman Allah dalam surah Al-Zukhruf ayat 89 menyebutkan فاصفح عنهم وقل
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah, salam„ سلم
(selamat tinggal)‟.”18
Al-Qurthubi mengatakan tentang sabda Nabi Muhammad Saw:
tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa, surat al-Taubah ayat 113-114
memberikan penjelasan bahwa yang benar mengenai ayat ini adalah sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Uyainah.20
Mengenai hadis Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Muslim menunjukkan agar tidak lebih dulu memberikan salam
kepada mereka, karena sikap itu merupakan bentuk penghormatan.
B. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim)
Menurut al-Qardhâwî, nas-nas sy i‟ t tidak mungkin saling bertentangan.
Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya
dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Dan atas dasar
itu, wajib menghilangkannya dengan cara:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan antara kedua nas, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada,
sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama
daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Dalam hal ini al-Qardhâwî
menegaskan bahwa penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan.21
Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah yang melarang mengucapkan salam terhadap non Muslim sebagai
berikut:
20
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid 11, h. 299 21
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 118
78
، عن سهيل، عن أ راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي بيو، عن أب ىري رة، أن رسول حدلم، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
22«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Berkenaan dengan hadis di atas tentang larangan mengucapkan salam dan
anjuran untuk berbuat kasar terhadap non Muslim, sesuai dengan arahan metode
al-Qardhâwî penulis akan menggabungkan atau menyesuaikan dengan beberapa
hadis Nabi lainnya yang tentu sama-sama sahih.
Pertama, Perlu pula memperhatikan hadis Nabi Saw., yang melalui Anas
bin Malik yang mengatakan bahwa:
ث نا عثمان ث نا أنس بن حد ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد بة، حد مالك رضي بن أب شي عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم 23ف قولوا: وعليكم : " إذا سلم عليكم أىل الكتاب الل
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî di atas menunjukkan bahwa
orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab.
Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah Ahli Kitab, tentu saja salam yang
22
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707 23
Imam Bukhari, Shahih Bukhari., h. 75
79
wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga
salam orang-orang non Muslim lain.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Fathul Bâri menjelaskan tentang
mengucapkan salam dalam perkumpulan yang terdiri dari orang-orang Muslim
dan orang-orang Musyrik. Pada pembahasan ini Imam Bukhârî mencantumkan
hadis Usamah bin Zaid yang menceritakan kisah Abdullah bin Ubai.
Dalam hadis Usamah bin Zaid disebutkan, حت مر ف اجمللس فيو أخلط من
Hingga beliau melewati suatu kumpulan orang yang terdiri dari) املسلمني و املشركني
kaum Muslimin, kaum musyrikin), dan disebutkan صلى هللا عليو و سلم فسلم عليهم النب
(Lalu Nabi Saw., mengucapkan salam kepada mereka).
Al-Tabari berkata: tidak ada kontradiksi antara hadis Usamah yang
menyebutkan ucapan salam Nabi Saw., kepada orang-orang kafir yang sedang
bersama orang-orang Islam, dengan hadis Abu Hurairah yang melarang
mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat
umum sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu
Hurairah khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa
keperluan yang terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas
kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada
mereka dengan salam yang disyariatkan.24
24
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 136
80
Diriwayatkan oleh al-Darimi dan al-Tirmidzi melalui „Abdullah bin Salâm
yang menjelaskan tentang anjuran menyebarkan salam kepada seluruh manusia,
anjuran ini bukan hanya kepada seorang Muslim ataupun Ahli Kitab.
د بن جعفر ، ومم اب الث قفي ث نا عبد الوى ار، قال: حد د بن بش ث نا مم ، ويي بن سعيد، حد ، وابن أب عديا ق ، عن زرارة بن أوف، عن عبد هللا بن سلم، قال: لم يلة األعراب دم رسول هللا صلى عن عوف بن أب ج
اس إليو، وقيل: قدم رسول هللا صلى الل عليو وسلم، فجئت ف الناس الل عليو وسلم المدينة انفل الن ا است ب نت وجو رسول هللا صلى الل عليو وسلم عرفت أن وجهو ليس اب وكان أ ألنظر إليو، ف لم ول بوجو ك
لم، وأطعموا شيء تكلم بو أن قال الطعام، وصلوا والناس نيام تدخلون اجلنة : ي أي ها الناس، أفشوا الس بسلم.
25ىا حديث صحيح.
“Wahai seluruh manusia! Sebarkan salam, berilah makanan,
sambunglah tali kekerabatan, dan shalatlah saat orang-orang tidur niscaya
kamu masuk surga dengan aman”. (HR. Al-Darimi dan Al-Tirmidzi) Al-
Tirmidzi berkata, “Hadis s hih”.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim melalui
„Abdullah ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah
mengucapkan salam kepada orang non Muslim boleh atau dilarang :
ث نا ث نا الليث، عن يزيد، حد هما، عمرو بن خالد، قال: حد عن عن أب اخلي، عن عبد الل بن عمرو رضي اللر؟ قال: لم على من »أن رجل سأل النب صلى هللا عليو وسلم: أي اإلسلم خي تطعم الطعام، وت قرأ الس
26عرف عرفت ومن ل ت
Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah
Saw., tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: “Memberikan
25
Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa
Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 4, hadis ke-2485, ( Daar
al-Fikr,Beirut), h. 233 26
Imam Bukhari, Shahih Bukhari.,h. 12
81
makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang
tidak engkau kenal”.
Makna zahir ungkapan “siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak
engkau kenal” dalam hadis ini menunjukan keumuman pada seluruh manusia (kull
al-nâs), baik yang beriman maupun yang kafir, karena makna zahir ini
menunjukan bahwa salam adalah milik Allah Swt., bukan untuk pemenuhan hak
pengenalan.
Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan salam),
kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan terwujud,
kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomena-fenomena Islam
dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata. Hadis ini
menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian.27
Karena itu, dengan menggabungkan dan menyesuaikan antara hadis Imam
Muslim melalui Abȗ Hurairah dengan hadis-hadis lainnya bukan berarti dalam
penjama‟an ini penulis berupaya untuk menghilangkan atau menumpulkan legal
standing hadis Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah tersebut, tetapi tentu kedua-
duanya setelah digabungkan memiliki peranan masing-masing dalam konteks
masing-masing pula. Tidak ada kontradiksi antara hadis satu dengan hadis yang
lainnya. Dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada
orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan hadis
Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah khusus dalam
kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang terkait
27
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 73
82
dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas kebaikan dan
sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan
salam yang disyariatkan.
C. Memahami Hadis Dengan Memperhatikan Konteks Historis,
Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan
salam terhadap non-muslim)
Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, suatu hukum yang dibawa oleh suatu
hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun
jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan
dengan suatu „ill h tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang
„ill h-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku „ill h-nya.
Oleh karenanya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah yang berbunyi:
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي أب ىري رة، أن رسول حدل »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى م، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
28«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Perlu dicatat bahwa, dalam memahami hadis Nabi ini, selain dari dipahami
dengan berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm dan dengan menggabungkannya,
28
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707
83
maka selanjutnya penulis teliti melalui konteks historis (asbâb al-wu ȗd), kondisi
lingkungan dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian
maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang
menyimpang dan terhindar dari ditetapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan
sebenarnya.29
Pada umumnya mayoritas fuqaha30
dan banyak ulama berpendapat bahwa
hukum mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah haram, terlarang. Sahabat
Nabi Saw., Ibn „Abbâs dan sekelompok ulama selain beliau berpendapat
demikian.31
Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw., Nabi berkata:
“J ng nl h k mu memul i (menguc pkan) salam kepada orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah
di ke pinggi .” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis
ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap
kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapapun di antara mereka ke
pinggir jalan. Hadis ini menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar.
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam kepada
orang-orang non-Muslim adalah hadis yang menceritakan bahwa sekelompok
orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad Saw., sambil mengucapkan
(al-s m „ l ikum) ”kematian bagimu”, “celaka bagimu”, “kehinaan bagimu”.
29
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 131-132 30
Imam Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab, penerjemah Abdul Somad, Umar
Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1037 31
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 539
84
Melihat peristiwa itu, Aisyah, istri Nabi, mengucapkan (w ‟ l ikum l-sâm wa al-
l ‟n h) “Dan bagimu kematian dan laknat” kepada tamu Yahudi yang tidak sopan
itu. Nabi menegur Aisyah, perlahan-lahan, hai Aisyah. Sesungguhnya Allah
menyukai keramahan dalam semua urusan. Maka Aisyah bertanya kepada beliau,
“Ya Rasulallah. Apa engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”
Rasulullah menjawab, “Aku telah mengucapkan w ‟ l ikum (bagimu [kematian]).
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah.
Namun petunjuk Nabi Saw., yang melarang memulai salam kepada orang
Yahudi dan Nasrani, (HR. Muslim dari Abu Hurairah) ini karena ketika itu
permusuhan mereka sudah sangat jelas: “me ek tid k henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu, mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan
oleh h ti me ek lebih bes l gi” ( S. Ȃl „Im n [3]: 118).
Larangan Nabi mereka pahami dalam konteks zamannya, dimana orang-
orang Yahudi mengucapkan (االس)م عليكم al-s m „ l ikum bukan al-salâmu
„ l ikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu,
kalaupun harus dijawab, dijawab dengan (عليكم) „alaikum (tanpa wa) yakni
“terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau (و عليكم) wa‟alaikum
(dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun
demikian”. (عليك السلم) „Al ik s l m atau salam yang tidak disertai dengan wa
85
(dan) menurut Nabi Saw., adalah salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud
dan at-Tirmizi).32
Ada sembilan hadis lain yang pada intinya, meskipun dengan redaksi-
redaksi yang sedikit berbeda, sama dengan hadis ini. Sembilan hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui tiga orang: enam hadis melalui Aisyah, dua
hadis melalui Abdullah Ibn Umar, dan satu hadis melalui Anas Ibn Malik.
Larangan hadis ini para ulama memahaminya dalam konteks zamannya.
Beberapa catatan tentang sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang
Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “al-sâm „ l ikum” bukan salam
perdamaian, yaitu “al-s l mu „ l ikum”. Kedu , yang memulai mengucapkan
salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-orang Yahudi bukan Nabi. Ketiga,
sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan
permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi menegur
Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang tidak sopan
itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidak
sopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima
tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang
Yahudi itu dengan “wa‟alaikum” (dan bagimu [kematian].33
Jika syariaat islam dilaksanakan sebagaimana mestinya maka tidak
menjadi masalah, karena syariaat islam datang dengan kemaslahatan untuk
kehidupan dunia dan akhirat. Untuk muslimin dan non muslimin datang dengan
32
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 515 33
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 69-70