PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL DALAM PENYELENGGARAAN PRODUK HALAL (Studi Kasus Sumatera Utara) TESIS Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Dalam Bidang Ilmu Kenotariatan Oleh : RIZKI FIRMANDA DARDIN NPM : 1620020002 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN 2019
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL DALAM
PENYELENGGARAAN PRODUK HALAL
(Studi Kasus Sumatera Utara)
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn)
Dalam Bidang Ilmu Kenotariatan
Oleh :
RIZKI FIRMANDA DARDIN NPM : 1620020002
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PELAKSANAAN KEWAJIBAN SERTIFIKASI HALAL PRODUK DALAM JAMINAN PRODUK HALAL DI KOTA MEDAN
ABSTRAKSI
Rizki Firmanda Dardin
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 sebagai landasan hukum memberi perlindungan hukum konsumen muslim terhadap ketidakpastian penggunaan pelbagai produk makanan dan minumam halal baik dalam bentuk barang dan jasa sesuai dengan kewajiban hukum Islam. Kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kini resmi beralih ke tangan pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah dibentuk pemerintah, untuk menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH), yang sebelumnya menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lahirnya BPJPH ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Penelitian ini dilakukan dengan menfokuskan pada permasalahan; bagaimana kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal?, bagaimana pelaksanaan jaminan produk halal oleh lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal?, kendala dan konsekuensi hukum kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal?. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bersifat deskriptif sebagai prosedur penyelesaian masalah dengan melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian yang berhubungan dengan fakta, masalah dan fenomena yang terjadi dengan interpretasi rasional lewat pendekatan literature, dan peraturan. sumber data dalam penelitian adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, wawancara dengan MUI Sumatera Utara dan Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dan data sekunder adalah seluruh buku- buku yang diangap relevan dan kapabel dengan masalah yang akan diteliti.
Hasil penelitian yang dilakukan maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Kendala kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal adalah pertama, kurangnya tenaga ahli, kedua, adanya tarik menarik kepentingan “jaminan produk halal”, karena melihat hal ini merupakan job yang memiliki keuntangan yang besar, ketiga, harga, diakui menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen, keempat, tarik menarik kepentingan dan kelima, ketidak siapan pemerintah dari segi anggaran. Adapun konsekuensi hukum: Kosekuensi hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administratif.
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ......................................................... 9
D. Kegunaan dan Manfaat Penelitian .................................... 9
E. Keaslian Penelitian ......................................................... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .......................................... 12
G. Metodologi Penelitian ................................................... 17
BAB II. KONSEP HALAL DALAM ISLAM
A. Pengetian Halal........................................................................ 20
B. Konsep Halal dalam Hukum Islam ......................................... 30
C. Gagasan Produk Halal Sebagai Perlindungan
Konsumen di Indonesia .......................................................... 34
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA SERTIFIKASI HALAL
A. Sertifikasi Halal dan Produk Halal ................................... 45
B. Proses Pengajuan Sertifikasi Halal ................................... 59
C. Penyelenggara Jaminan Produk Halal .............................. 64
BABIV. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kewajiban Sertifikasi Halal dalam Penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal............................................................ 72
B. Pelaksanaan Jaminan Produk Halal Oleh Lembaga yang
Berwenang Dalam melakukan Pengawasan Sertifikasi
Halal Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal......... 91
C. Kendala dan Konsekuensi Hukum Kewajiban Sertifikasi
Halal Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ....... 104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 127
B. Saran-Saran ............................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA .................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .....................................................
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa negara berkewajiban melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum. Landasan ini juga dipertegas dalam
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) yakni pada ayat 2 yang menyatakan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Salah satu sisi kehidupan masyarakat diatur oleh dogma Hukum
Islam adalah berlakunya Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
produk halal (UU JPH). Undang –Undang Nomor 33 Tahun 2014 sebagai
landasan hukum memberi perlindungan hukum konsumen muslim
terhadap ketidakpastian penggunaan pelbagai produk makanan dan
minumam halal baik dalam bentuk barang dan jasa sesuai dengan
kewajiban hukum Islam.1
1 Aal Lukmanul Hakim, Dissecting the contents of law of Indonesia on Halal
Product Assurance, Indonesia Law Review January-April 2015, hlm. 89.
2
Kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kini resmi beralih ke
tangan pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
telah dibentuk pemerintah, untuk menyelenggarakan jaminan produk halal
(JPH), yang sebelumnya menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Lahirnya BPJPH ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. BPJPH menjadi bagian
dari struktur Kementerian Agama sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Menteri Agama No 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja
(Ortaker) Kementerian Agama.
Walaupun sudah diberlakukan Undang- Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) belum
sepenuhnya memberikan perlindungan hukum bagi konsumen Muslim
terhadap produk makanan dan minuman halal, karena undang-undang ini
belum fektif berlakunya dan efektifnya berlakunya 5 tahun setelah
pengesahan yaitu tahun 2019, Berdasarkan Pasa 66 Undang Nomor 33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyatakan, Undang-undang
yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun
2014.
Berdasarkan Pasal 6 UU JPH, BPJPH berwenang diantaranya
menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal suatu produk;
melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri; Melakukan
akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); Melakukan
3
registrasi auditor halal; Melakukan pengawasan terhadap JPH; dan
melakukan pembinaan Auditor Halal. Selanjutnya, Pasal 7 (c) mengatur
soal kerjasama BPJPH dengan MUI, yang kemudian dijelaskan pada
Pasal 10 bahwa kerjasama dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi
auditor halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH.
Saat ini, banyaknya produk yang belum bersertifikat halal
mengakibatkan konsumen, terutama konsumen Muslim, sulit untuk
membedakan produk mana yang benar-benar halal dan dapat dikonsumsi
sesuai dengan syariat Islam dengan produk yang tidak halal atau haram.
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak
194.776. Namun demikian, hanya setengahnya yang telah memiliki
sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku
Tahun 2013 sampai 2017. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada
sebanyak 52.982.2 Jumlah produk yang telah didaftarkan rata-rata dari
perusahaan yang mempunyai nama besar di pasar.
Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, tentang hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Setelah lebih kurang
15 Tahun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen berlaku, pada Tahun 2014 ada angin segar bagi konsumen
Muslim dengan perjuangan yang panjang diterbitkan Undang-Undang
2 Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI,
www.halalmui.org, diakses pada Sabtu, tanggal 14 Februari 2018 Pukul 14.39 WIB
4
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Secara efektif akan
berjalan 5 (lima) tahun ke depan yaitu Tahun 2019.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal, Pasal 4 menyebutkan sertifikasi halal produk
adalah bersifat wajib. Norma sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal (Undang-Undang Jaminan Produk
Halal) bahwa ketentuan wajib bersertifikat halal bagi pelaku usaha yang
memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke Indonesia untuk
diperdagangkan hendaklah menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan halal bagi umat Islam. Penjelasan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal menyatakan bahwa keterangan halal untuk suatu produk
sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk
agama Islam.
Label adalah salah satu cara termudah untuk mengetahui suatu
produk itu halal atau tidak.3 Tanda atau label yang tidak benar karena
sengaja atau dipalsukan digolongkan menyesatkan. Label harus jelas dan
mencolok, informasi harus dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), isinya
harus jelas serta mudah dimengerti oleh konsumen pada produk
makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan kemasan. Suatu produk
makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan tidak boleh dijual dengan
isi atau kandungan yang berbeda dari isi dan kandungan yang
3 Farid Wajdi. 2014. Undang-Undang, Pentadbiran dan Penggunaan Logo Halal:
Kajian Kes Di Sumatera Utara, Indonesia (Tesis) Program Doktor Malaysia: Universiti Sains Malaysia, halaman 26
5
sebenarnya. Sertifikasi adalah proses atau prosedur atau serangkaian
proses yang merujuk pada kejadian atau peristiwa sehingga (untuk)
seseorang atau lembaga mendapatkan sertifikat atau piagam.4 Sertifikasi
Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui
beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan
sistem jaminan halal memenuhi standar Lembaga Pengkajian Pangan
Obat obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.5
Sertifikasi dan labelisasi halal sangatlah penting untuk
menenteramkan umat Islam Indonesia pada khususnya dalam memilih
makanan dan minuman, karena dengan demikian umat Muslim dapat
dengan mudah untuk memilih dan mengetahui mana produk yang boleh
dan mana produk yang tidak boleh dikonsumsi sesuai dengan ajaran
agama Islam. saat ini untuk mengetahui secara mudah prodak halal di
Kota Medan dapat melalui media elektronik berupa smarphon dengan
mendownload melalui play store dan ios aplikasi halal MUI segala jenis
prodak yang ada dicantumkan dalam aplikasi merupakan prodak yang
telah terjamin halal.6
Masalah ini menjadi penting untuk diperhatikan, karena untuk
sekarang ini tidak akan bisa dengan mudah untuk memilah-milah dan
membedakan mana yang haram dan mana yang halal. Ini berbeda
4 Kamus Besar Bahasa Indoenesia
5 Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI, 2008, hlm. 8.
6 Wawancara dengan H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc, selaku Pjs Sekretaris
Umum MUI Kota Medan, Sabtu, Tanggal 28 Juli 2019.
6
dengan puluhan tahun yang lalu, dimana tanpa mengalami kesukaran
yang berarti kita bisa membedakannya.
Jadi berdasarkan peraturan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, telah menggeser
norma hukum yang lama menuju norma hukum yang baru. Ada paradigma
bahwa sertifikasi halal adalah bersifat sukarela (voluntary). Menurut Pasal
1 angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk
yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) berdasarkan fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia.
Sejauh ini, pemerintah Indonesa telah melakukan berbagai
larangan yang dikenakan bagi para pelaku usaha. Pada prinsipnya
konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis sangat dirugikan.
Informasi yang diperoleh kepada konsumen pada umumnya bergantung
pada informasi yang disediakan dan diberikan oleh pelaku usaha.
Tentunya informasi yang diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan
kurang dirasakan manfaatnya bagii konsumen. Untuk memenuhi
kebutuhan informasi dan menghindari kerugian bagi konsumen
dilakukanlah sesuai dengan peraturan pemerintah melalui pemasangan
label atau standarisasi mutu.
Pemasangan label atau pelabelan produk dan sertifikasi produk
tentunya dirasakan sangat penting bagi masyaraat muslim khusunya
7
terutama pada produk makanan. Karena selain berhubungan dengan
nyawa manusia, hal ini berhubungan dengan perintah agama/ hubungan
dengan Tuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Label adalah
sepotong kertas (kain, logam, kayu, dan sebagainya) yang ditempelkan
pada barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik,
tujuan, alamat, dan lain-lain.
Pelabelan atau labelisasi adalah proses, cara, perbuatan
melabelkan. Selain produk yang belum bersertifikat, kasus beredarnya
makanan tidak halal beberapa tahun lalu menjadi bukti dan dasar
keresahan konsumen muslim yang berusaha menjalankan syariat
agamanya. Tidak halal dalam adalah proses pembuatan suatu produk
dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditentukan dalam ajaran agama Islam. Hebohnya kasus Ajinomoto yang
menggemparkan masyarakat muslim Indonesia pada tahun 2001 yang
ternyata mengandung zat babi didalamnya, kasus daging sapi
gelonggongan, sate dan bakso yang dicampur dengan daging tikus,
vaksin yang teridentifikasi mengandung zat babi dan penggunaaan
formalin atau zat kimia berbahaya lain dalam makanan, penggunaaan
minyak babi dan lain sebagainya. Contoh tersebut memperlihatkan gejala
lemahnya kedudukan konsumen.
Sengaja atau tidak, pelaku usaha sering sekali mengabaikan
standar atau aturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang berakibat pada hal-hal yang merugikan konsumen,
8
misalnya mempromosikan produk yang tidak sesuai dengan isi, kondisi,
mutu, komposisi, jaminan, janji atau keterangan yang tertera dalam label
atau etiket produk. Pada sistem perekonomian, pasar berperan sangat
penting khususnya yang menganut sistem ekonomi bebas/ liberal.
Pasarlah yang berperan untuk mempertemukan produsen dan konsumen.
Konsumen sangat menentukan kedudukan pasar, sebab konsumenlah
yang berperan untuk menentukan lalu lintas barang dan jasa.7
Menurut Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan, ada sepuluh jenis informasi yang bisa diketahui dari
label kemasan produk pangan, yakni nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal
dan kode produksi, waktu kadaluarsa, nomor izin edar bagi pangan
olahan, dan asal-usul pangan tertentu.
Sertifikasi halal hanya membutuhkan kesadaran pelaku usaha,
sementara lembaga yang memproses bersifat pasif dan bukan merupakan
kewajiban mengikat tetapi model sukarela telah bergeser pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 pergeseran
paradigma telah terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini
yang diberi judul: Pelaksanaan Kewajiban Sertifikasi Halal Produk
dalam Jaminan Produk Halal di Kota Medan.
7 Suhrawardi K.Lubis, 2012, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, hlm. 22.
9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan
jaminan produk halal?
2. Bagaimana pelaksanaan jaminan produk halal oleh lembaga yang
berwenang dalam melakukan pengawasan sertifikasi halal dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal?
3. Kendala dan konsekuensi hukum kewajiban sertifikasi halal dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah:
1. Untuk menganalisis kewajiban sertifikasi halal dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal.
2. Untuk menganalisis pelaksanaan jaminan produk halal oleh
lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan sertifikasi
halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
3. Untuk menganalisis kendala dan konsekuensi hukum kewajiban
sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
D. Kegunaan/ Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis, akan memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan tentang aspek hukum kewajiban sertifikasi halal
produk dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
10
2. Secara praktis, penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat
memberikan stimulus yang berakibat pada perkembangan hukum
untuk menghilangkan keraguan konsumen dalam mengkonsumsi
produk pangan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian terkait sertifikasi halal di Indonesia.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Rikka Cahyati NPM:
12.11.1001.3443.051 dalam skripsinya yang berjudul: Pengaruh
Pencantuman Label Halal Terhadap Minat Beli Luwak White Coffe Pada
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, penelitian ini berkesimpulan
Pencantuman Label Halal sebagai peringatan mempunyai pengaruh
signifikan karena adanya label halal maka banyak minat beli terhadap
luwak white coffe.8
Penelitian selanjutnya oleh Mazia Ulfa NIM: 2103005 dengan judul
skripsi analisis: Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Jawa Tengah Tentang
Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan Roti Basah Swiss Bakery.
Penelitian ini berkesimpulan: bahwa MUI Jawa Tengah dalam
menentukan sertifikasi kehalalan roti basah Swiss Bakery dilakukan
setelah mendapat laporan secara jelas dan terperinci serta didukung oleh
data-data otentik berkaitan dengan bahan yang digunakan Perusahaan
8 Rikka Cahyati NPM: 12.11.1001.3443.051, 2016. Pengaruh Pencantuman
Label Halal Terhadap Minat Beli Luwak White Coffe Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
11
Swiss Bakery untuk memproduksi makanan tersebut.Kejelasan data itu
dilakukan melalui audit di tempat Perusahaan Swiss Bakery dan melihat
secara langsung,mencocokkan dan meneliti semua bahan-bahan yang
ada di perusahaan,menelusuri dari mana bahan itu diproduksi, setelah
diketahui bahwa semua bahan dinyatakan halal dengan bukti sertifikat
halal,maka oleh Majelis Fatwa MUI Jawa Tengah dalam sidang yang yang
dihadiri oleh ketua,sekertaris dan anggota Majelis Fatwa MUI Jawa
Tengah serta dihadiri oleh tim auditor yang telah dibentuk pimpinan LP
POM MUI Jawa Tengah, berdasarkan tim auditor bahwa bahan yang
digunakan dinyatakan halal maka Majelis Fatwa memutuskan kehalalan
roti basah Swiss Bakery.Tentunya dengan pertimbangan proses yang
digunakan untuk membuat roti basah dicapai dengan cara yang benar
sesuai dengan syariat Islam jauh dari najis dan tidak terkontaminasi
dengan yang haram dalam agama.Disamping itu juga telah mendapat ijin
dari Dinas Kesehatan.9
Tesis Diana Susanti, NPM: 1320020047, dengan judul: Peran
Lembaga Pemerikasa Halal dalam Menyelenggarakan Jaminan Produk
Halal (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal. Dalam penelitian berkesimpulan bahwa
Kedudukan LPH sebagai penyelenggara JPH diatur secara tegas dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
(UU JPH). Peran lembaga pemerikasa produk halal dalam
9 Mazia Ulfa NIM: 2103005, 2009. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Jawa Tengah
Tentang Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan Roti Basah Swiss Bakery. Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
12
menyelenggarakan jaminan produk halal adalah melakukan pemeriksaan
dan/ atau pengujian suatu produk yang menginginkan sertifikasi halal.
Mekanisme kerja LPH dalam tahapan tatacara pengajuan setifikasi produk
halal yang diajukan oleh pihak pelaku usaha atas produknya. Oleh
karenanya pemerintah harus secepatnya membuat aturan organic dari
peraturan perundangan yang ada.10
Beberapa penelitian di atas yang terkait pembahasan sertifikasi
produk halal, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini “Aspek Hukum
Kewajiban Sertifikasi Halal Produk Dalam Jaminan Produk Halal”,
merupakan penelitian yang berbeda dari penelitian sebelumnya dan dari
beberapa penelitian yang terdahulu dapat dikatakan bahwa permasalahan
sertifikisi produk halal merupakan penelitian yang penting dan layak untuk
dilakukan secara mendalam dan luas.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Teori Keadilan: Hanz Kelsen
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny,
tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum
Alam mengutamakan “the search for justice”.11 Berbagai macam teori
mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut
hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
10
Diana Susanti, NPM: 1320020047, 2017. Peran Lembaga Pemerikasa Halal dalam Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.
11 L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh
enam Pradnya Paramita, , Jakarta), h. 11-12
13
Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori hukum dan keadilan Hans
Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.12
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara
yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.13
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme,
nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum
yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa
keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Lebih lanjut Hans
Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat
subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa
suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan
kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti
kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh
penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan
yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut
diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan
12
Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Nuansa dan Nusamedia. Bandung), h. 24
13 Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media), h. 9
14
rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh
faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.14
Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa
keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda
atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.
Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam.
Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan
hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih
tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari
penalaran manusia atau kehendak Tuhan.15
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut
aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara
hukum positif dan hukum alam. Menurut Hans Kelsen:16
“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan
karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika
tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat
Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung
karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang
berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa
itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide
yang tidak tampak.”
14
Ibid., h 12 15
Ibid., h. 14 16
Ibid.
15
Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen:
pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari
cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat
berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik
kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang
memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan
yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu
perdamaian bagi semua kepentingan.17
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas
dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans
Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan
umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu
peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.18 Konsep keadilan dan
legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia,
yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai
payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional
lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki
17
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Kalam Mulia, Jakarta, 1985.), h. 68
18 Ibid., h. 71
16
daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam
peraturan hukum tersebut.19
Pada penelitian ini akan menggunakan teori keadilan, guna melihat
sejauhmana pelaksanaan jaminan produk halal oleh lembaga yang
berwenang menimbulkan rasa keadilan bagi masyarakat umat islam
khususnya di Indonesia, baik bagi pelaku usaha dan pihak konsumen.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang memfokuskan pada kajian
sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, dan akan
melihat pelaksanaan jaminan produk halal oleh lembaga yang berwenang
dalam melakukan pengawasan sertifikasi halal dalam penyelenggaraan
jaminan produk halal. Sekaligus akan melihat secara utuh kendala
pelaksanaan jaminan produk halal oleh lembaga yang berwenang dalam
melakukan pengawasan sertifikasi halal.
Penelitian ini dilakukan di BPJPH di Kementerian Agama Provinsi
Sumatera Utara dan BPH di LPPOM MUI Sumatera Utara. Wawancara
akan dilakukan dengan bapak Dr. Ir. Basyarudin, M.Sc selaku Direktur
Lppom MUI dan bapak Prof. Dr. H. Ramli, M.A selaku ketua komisi fatwa
MUI. Selanjutnya penelitian ini dilakukan dengan waktu pelaksanaan dari
bulan 01Februari hingga 01 Mei 2018.
19
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Sinar Grafika, Jakarta; 2000), h. 50.
17
2. Metode Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang
bersifat deskriptif, penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara
tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan
ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat.20 Penelitian ini bersifat Penelitian hukum normatif yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
skunder.21
3. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan dalam mengumpulan data penelitian
adalah melalui studi dokumen berdasarkan studi pustaka yang dilakukan
sebagai data penelitian. Dalam pengumpulan data, penelitian ini
bersumber pada:22
a. Bahan hukum primer, bahan hukum yang meliputi peraturan
perundang-undangan yang mendukung yaitu Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tantang Jaminan Produk Halal, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang
20
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 25
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif.
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan
peraturan mendukung lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, bahan pustaka merupakan data dasar
yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder,
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi
berupa buku-buku yang berkaitan dengan bahan penelitian, karya
ilmiah, berita-berita dan internet.23
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, dan
seterusnya.24
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Metode dalam penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini
adalah penelitian kepustakaan dan lapangan. Studi kepustakaan ini
untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau
penemuan- penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
permasalahan. Sedangkan studi lapangan adalah cara memperoleh
data yang bersifat primer. Dalam hal ini akan melakukan
wawancara dengan lembaga terkait sertifikasi produk halal.25
23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif.., hlm. 24. Lihat juga Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum; Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan.
36 Iyad bin Nami Al-Silmiy, Usulu al-Fiqhi Lizi la Yasa„u al-Faqihi Jahlahu, h. 53
22
mubah dengan segala sesuatu yang dipilih oleh subjek hukum antara
melakukannya atau meninggalkannya yang diperbolehkan syari‟at, karena
melaksanakannya maupun meninggalkannya sama-sama mubah, maka
mubah tidak ada beban hukum didalamnya.37
Berdasarkan sejumlah pengertian kata halal di atas, maka kata halal
memiliki pemaknaan yang sama yakni diizinkan atau dibolehkan. Dalam
pengertian yang lebih luas, halal adalah doktrin yang memberikan pilihan
kepada subyek hukum (mukallaf) baik untuk melakukan suatu perbuatan
maupun meninggalkannya sama-sama sah (legitimate), karena perbuatan
tersebut dizinkan syari‟at (baik yang ditegaskan kehalalannya atau tidak
ditegaskan tetapi tidak ada larangannya), yang didalamnya tidak berkaitan
dengan pujian dan/atau cerlaan serta tanpa ada beban hukum dan imbalan.
Karena halal dan mubah memiliki pemaknaan yang sama dalam hukum
Islam, maka dengan mempertimbangkan kepentingan penelitian terkait
dengan produk halal, penulis memilih dan menggunakan kata halal dalam
penelitian ini.
Namun sesuatu yang halal jika disebutkan dengan rumusan perintah
(amar), maka hukumnya dapat menjadi wajib. Istilah wajib dalam Islam,
Zuhaili mengklasifikasi pembagian hukum wajib secara umum kepada empat
bagian, yakni; (1) Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya; (2) Wajib
37
Ahmad Sa„id Hawa, Al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Abi Hanifah al-Nu„man, h. 139
23
ditinjau dari segi ketentuan kadarnya Syari„; (3) Wajib ditinjau dari segi yang
tuntun pelaksanannya; dan (4) Wajib ditinjau dari segi spesifikasi perbuatan
yang dituntut pelaksanaannya, dengan perinciannya sebagai berikut:
1. Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya; dibagi menjadi dua
bagian yaitu wajib mutlak (wajib mutlaq) dan wajib terbatas (wajib
muqayyad atau mu‟aqqat). Wajib mutlaq adalah setiap perbuatan yang
dituntut Syari„ dengan pasti dan tegas yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya, atau tidak terikat waktu.38 Sedangkan wajib muqayyad
atau mu‟aqqat adalah setiap perbuatan yang dituntut Syari„ dengan tegas
dan pasti pada waktu yang telah ditentukan, atau terikat waktu.39
Bagi mayoritas ulama yang terdiri atas Mazhab Syafi‟i, Maliki dan
Hambali wajib mu‟aqqat terbagi atas dua bagian, yakni wajib dalam waktu
sempit (wajib mudayyaq) dan wajib dalam waktu luas (wajib muwassa„).
Wajib mudayyaq adalah setiap perbuatan wajib yang dilaksanakan
38
Seperti menebus kafarat bagi orang yang bersumpah dan mengingkarinya, maka tidak ada ketentuan waktu pelaksanaan atas perbuatan ini, jika dia mampu dan bersedia dapat melakukannya segera setelah mengingkarinya, atau dapat dilakukannya pada waktu yang lain setelah dia mengingkarinya. Lihat Wahbah al-Zuh}aili, Usulu al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 49
39Seperti shalat wajib, puasa bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji yang telah
ditentukan waktu pelaksanannya, dimana perbuatan tersebut tidak menjadi wajib jika belum masuk waktunya. Dalam wajib mu‟aqqat, mukallaf yang dengan sengaja menunda perbutan tersebut akan mendapatkan punnishment, karena terdapat dua kewajiban sekaligus dalam wajib muqayyad, yaitu perbuatan wajib itu sendiri dan perbuatan pada waktu yang telah ditentukan. Maka setiap orang yang melaksanakan perbuatan wajib setelah waktunya, sesungguhnya dia telah melaksanakan salah satu dari perbuatan wajib tersebut, yaitu perbuatan yang dituntut Syari„ seperti shalat. Namun dia telah meninggalkan perbuatan wajib lainnya, yaitu melaksanakannya pada waktunya, maka bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban yang kedua ini tanpa ada hambatan atau alasan akan mendapatkan punnishment. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 49.
24
dengan estimasi waktu yang sempit bagi mukallaf, seperti hari jika
dibandingkan dengan ibadah puasa. Sedangkan wajib muwassa„ adalah
setiap perbuatan wajib yang dilaksanakan memiliki waktu yang leluasa,
seperti waktu shalat.40
Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wajib muqayyad atau
mu‟aqqat terbagi atas tiga jenis, yakni; (1) Wajib muwassa„, dimana
waktu pelaksanaan perbuatan wajib disediakan oleh Syari„ dengan waktu
yang leluasa, seperti shalat zuhur adalah waktu yang luang dan dapat
melakukan perbuatan shalat lainnya. (2) Wajib mudayyaq, dimana waktu
pelaksanaannya hanya terbatas untuk perbuatan wajib jenis itu saja, dan
tidak dapat melakukan perbuatan wajib dalam jenis yang sama, seperti
puasa Ramadhan dimana seseorang tidak dapat melaksanakan jenis
puasa lain pada waktu yang sama. (3) Wajib yang memiliki kesamaan
diantara keduanya (wajib zawi al-syibhaini), dimana perbuatan wajib tidak
dapat dilaksanakan pada waktu lain dan harus dilaksanakan pada waktu
yang telah ditentukan, seperti haji yang tidak dapat dilakukan kecuali
pada bulan haji, dan mukallaf tidak dapat melakukannnya kecuali hanya
satu kali pada dalam satu tahun, walaupun mukallaf mampu
melaksanakannya namun dia tidak dapat melakukannya setiap bulan.41
40
Wahbah al-Zuhaili, Usulu al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 51-52 41
Ibid., h. 50
25
2. Wajib ditinjau dari segi ketentuan kadarnya; wajib dari sisi ketentuan,
kadar dan batasannya yang ditetapkan oleh Syari„,42
hal ini terbagi atas
dua bagian, yakni; (1) wajib dengan ketentuan dan kadarnya dibatasi
(wajib muh}addad) adalah setiap perbuatan wajib yang kadar dan
ketentuannya telah ditetapkan Syari„, dimana kadar dan ketentuan
tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan oleh mukallaf, kecuali
hanya melakukan apa yang telah ditetapkan Syari„.43 (2) wajib dengan
ketentuan yang tidak dibatasi (wajib gairu muhaddad) adalah setiap
perbuatan wajib yang kadarnya belum ditetapkan Syari„, atau perbuatan
yang dituntut Syari„ kepada mukallaf tanpa batasan kadar dan ketentuan,
namun perbuatan tersebut diwajibkan oleh Syari„ dimana mukallaf bebas
menentukan kadarnya.44
3. Wajib ditinjau dari segi yang dituntun melaksanakannya; dibagi menjadi
dua bagian, yakni (1) wajib „aini adalah setiap perbuatan yang dituntut
Syari„ untuk melakukannya kepada setiap orang mukallaf yang tidak
42
Baik merupakan hak Allah seperti shalat, puasa, dan haji maupun yang menjadi hak manusia memenuhi janji, membayar hutang, dan memberi nafkah. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 59
43Seperti; shalat yang telah ditetapkan rukun dan syaratnya, zakat yang telah
ditetapkan nisabnya, membayar barang yang dibeli sesuai dengan harganya, dan membayar upah sesuai dengan kesepakatannya. Maka hukum wajib muhaddad adalah wajib bagi agama yang ditetapkan pelaksanaannya, dan kebenaran atas perbuatan tersebut tidak dapat dikurangi atau berdasarkan keridaan individu, namun mukallaf hanya boleh melaksanakan sebagaimana yang ditetapkan syari‟at. Wahbah al-Zuhaili, Usulu al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 59
44Seperti; menolong orang susah, infaq, sedekah, dan memberi makan orang
kelaparan adalah perbuatan wajib yang tidak dibatasi Syari„ kadar dan jumlahnya hanya tergantung kepada hajat dan kondisinya. Maka hukum wajib gairu muh}addad adalah wajib bagi agama yang tidak ditentukan kadar pelaksanaannya, dan perbuatan tersebut juga berdasarkan kemampuan, keikhlasan dan keridhaan mukallaf. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 60
26
boleh diwakilkan pelaksanaannya kepada orang lain.45 (2) Wajib kafa‟i
atau kifayah adalah setiap perbuatan yang diwajibkan, dengan tidak
melihat kepada siapa individu yang melakukannya, tetapi dituntut
pelaksanaannya kepada seluruh mukallaf dalam arti kelompok atau
masyarakat.46
4. Wajib ditinjau dari spesifikasi perbuatan yang dituntut pelaksanaannya;
dalam hal ini dibagi kepada dua jenis, yaitu (1) Wajib mu„ayyan adalah
perbuatan wajib yang dituntut pelaksanaannya sebagaimana yang telah
ditetapkan atau dikhususkan sifat dan zatnya, tanpa adalah pilihan
dengan ataupun terhadap perbuatan lainnya.47 (2) Wajib mukhayyar
adalah setiap perbuatan wajib yang dituntut Syari„ pelaksanaannya,
dengan diberikan pilihan untuk melaksanakan salah satu diantaranya.48
45
Seperti; shalat, zakat, haji, dan menghindari perbuatan yang diharamkan. Maka hukum wajib „aini adalah wajib bagi setiap mukallaf, dan perintahnya tidak dijatuhkan kepada sekelompok mukallaf. Terkait dengan mewakilkan perbuatan kepada orang lain, jumhur ulama berpadangan; (1) Boleh mewakilkan perbuatan mukallaf dalam hal dan bidang harta. (2) Tidak boleh mewakilkan perbuatan mukallaf dalam bidang ibadah badaniah seperti shalat dan puasa. Dan (3) Boleh mewakilkan perbuatan mukallaf bagi yang sudah uzur, baik dari hartanya maupun dari badaniahnya, seperti ibadah haji. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 60-61
46Seperti; mencari orang yang hilang, membangun rumah sakit, memandikan
hingga menguburkan janazah, membalas salam, dan amar ma‟ruf nahi munkar. Dimana keseluruhan perbuatan yang dituntut tersebut harus diwujudkan dengan tujuan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 62
47Seperti; shalat, zakat, puasa, mengembalikan harta curian dan perbuatan wajib
lainnya yang sejenis. Hukum wajib mu„ayyan adalah perbuatan wajib yang tidak dapat dikurangi, diganti atau dihilangkan mukallaf kecuali hanya melaksanakan perbuatan tersebut sesuai dengan jenis, sifat, zat dan kekhususannya. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 65
48Seperti; dalam menebus kafarat bagi orang yang mengingkari sumpahnya, Syari„
mewajibkan bagi mereka untuk memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya, maka hukumnya wajib untuk melaksanakan salah satu diantara pilihan tersebut. Hukum wajib mukhayyar adalah perbuatan yang wajib dilakukan
27
Silmiy juga membagi hukum wajib kepada empat bagian
sebagaimana Zuh}aili, yakni:49
1. Wajib dilihat dari sisi zatnya, yang terbagi kepada dua jenis; (1) wajib
tertentu (wajib mu„ayyan), dan (2) wajib pilihan (wajib mukhayyar).
2. Wajib dilihat dari sisi waktunya, dibagi kepada dua jenis; (1) wajib yang
ditentukan waktunya (wajib mu‟aqqat), dan (2) wajib yang tidak
ulama, Silmiy juga membagi wa>jib mu‟aqqat kepada dua bentuk; yaitu
(a) wajib yang waktu pelaksanaannya sempit (wajib mudayyaq), dan (b)
wajib yang waktu pelaksanaannya lapang dan leluasa (wajib muwassa„).
3. Wajib dilihat dari sisi pelakunya, hal ini juga terbagi kepada dua bagian,
yakni; (1) wajib yang ditetapkan kepada setiap individu mukallaf (wajib
„aini), dan (2) wajib yang ditetapkan kepada mukallaf yang berlaku umum
dan jama‟ah (wajib kafa‟i).
4. Wajib dilihat dari sisi batasannya, juga dibagi kepada dua bagian; (1)
wajib yang ditentukan batasan pelaksanaannya (wajib muh}addad), dan
(2) wajib yang tidak ditentukan batasan pelaksanaannya (wajib gairu
muhaddad).
mukallaf dengan memilih salah satunya yang diberikan Syari„ pilihannya, jika dia tidak melakukan salah satu diantara keduanya maka dia akan mendapatkan punnishment. Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 65
49Iyad bin Nami Al-Silmiy, Usul al-Fiqhi Lizi la Yasa„u al-Faqihi Jahlahu, h. 32-39
28
Memang dalam pembagian hukum wajib, antara Zuhaili dan Silmiy
menggunakan beberapa istilah yang berbeda, namun sesungguhnya
keduanya memiliki padangan yang sama tentang pembagian hukum wajib
tersebut, sehingga tidak ada perbedaan makna dan tujuan diantara keduanya
tentang pembagian hukum wajib. Demikian juga dengan pembagian hukum
wajib yang ditulis oleh „Imad „Ali, yang membaginya kepada empat bagian
secara umum dalam bentuk skema atau bagan.50
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Namlati, bahwa hukum wajib
secara umum dibagi kepada empat bagian; (1) Wajib dari sisi zatnya terbagi
atas wajib mu„ayyan dan wajib mukhayyar. (2) Wajib dari sisi waktunya
terbagi atas wajib gairu mu‟aqqat dan wajib mu‟aqqat. (3) Wajib dari sisi
batasannya terbagi atas wajib muh}addad dan wajib gairu muhaddad. (4)
Wajib dari sisi pelakunya juga terdiri atas dua bagian, wajib „aini dan wajib
kafa‟i. Namun dalam kedua bukunya, Namlati membuka ruang yang
seluasnya terhadap perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan Muslim
jurists, berikut dengan dalil-dalil yang dipergunakan.51
Persolan perintah/kewajiban dalam Islam, hal ini sangat erat
kaitannya dengan produk halal, dimana manusia diperintahkan untuk
mengkonsumsi makanan yang halal. Setiap makanan yang ditegaskan
kehalalannya atau tidak ditegaskan, tetapi tidak ada juga larangannya,
50
„ Imad „Ali Jum„ah, Usul al-Fiqh al-Muyassar, h. 104 51
Namlati, Al-Jami„u al-Masa‟ilu Usul al-Fiqhi wa Tatbiqiha „ala al-Mazhabi al-Rajih, h. 25-35.
29
memang makanan tersebut adalah halal. Namun dalam hal mengkonsumsi
makanan hukumnya adalah wajib gairu muhaddad, dan subyek hukum
(mukallaf) diminta dengan kalimat perintah (amar) untuk mengkonsumsi
makanan halal merupakan wajib „aini. Jadi mengkonsumsi makanan halal
hukumnya wajib (obligatory), hal ini sangat jelas dalam QS. Al-Nahl [16]: 114:
Maka “makanlah” yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja
menyembah. Kata “makanlah” dalam bahasa Arab merupakan kata perintah
yang berasal dari kata “akala-ya‟kulu” berarti “makan”.52 Ayat ini berarti
memerintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang “halal”.
B. Konsep Halal dalam Hukum Islam
Sebagaimana penjelasan Yusuf Qardawi menyebutkan, halal ialah
sesuatu yang mubah (diperkenankan/ diperbolehkan/ di izinkan), yang lepas
dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh pembuat syari‟at untuk dilakukan,
yang kemudian Wahbah Zuhaili apakah mubah termasuk ke dalam suatu ke-
wajib-an atau tidak?”. Sebagian ulama usul menyatakan bahwa mubah
termasuk ke dalam wajib, karena mubah adalah segala sesuatu yang tidak
salah untuk dilakukan, dan hal ini membuktikan kepada wajib. Sedangkan
sebagian ulama usul lainnya mengatakan bahwa mubah tidak termasuk ke
dalam wajib, karena mubah adalah segala sesuatu yang diberikan pilihan
antara melakukannya atau meninggalkannya serta prinsip perbuatannya tidak
52
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi> al-Lugah, h. 15
30
terikat, dan hal ini tidak membuktikan bahwa mubah tidak termasuk ke dalam
wajib. Mengenai persoalan ini, Wahbbah Zuhaili berpendapat bahwa mubah
dapat juga diketahui dengan rumusan perintah (amar).53
Namlati berpendapat, mubah ditentukan dengan redaksi bahasa
(lafaz) tertentu, diantaranya uhilla (dihalalkan), la junaha (tidak salah), la
harajun (tidak ada yang salah), dan redaksi (lafaz}) perintah yang
diperguanakan dengan mensyaratkan wajib kepada perbuatan mubah karena
hubungan yang saling berdekatan. Menurutnya bahwa hukum setiap
perbuatan yang bermanfaat sebelum ditetapkan syari‟at adalah mubah dan
h}alal, hal ini karena asal dari segala sesuatu adalah halal dan boleh
dimanfaatkan, hingga kecuali ditetapkan syariat tentang keharamannya.
Namlati menyatakan bahwa mubah tidak termasuk kedalam jenis wajib,
karena perbedaan hakikat antara wajib dan mubah. Selanjutnya Namlati
menjelaskan bahwa mubah tidak termasuk ke dalam hukm taklifi (hukum
pilihan), karena didalamnya tidak terdapat perintah dan larangan. Namun
dalam klasifikasi hukum Islam, Namlati hanya membaginya kepada dua
bagian yakni hukm taklifi dan hukm wad„i, dimana mubah termasuk kedalam
hukm taklifi.54
Selanjutnya Asyqar menjelaskan bahwa dalil-dalil yang menyatakan
mubah adalah; (1) Kata (lafaz) yang menyatakan kehalalan, perizinan, tidak
53
Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqhi al-Islamiyi, h. 88-89 54
Namlati, Al-Jami„u al-Masa‟ilu Usulu al-Fiqhi wa Tat}biqiha „ala al-Mazhabi al-Rajih, h. 41-44. Lihat juga Namlati, Al-Muhazzab fi „Ilmi Usuli al-Fiqhi al-Muqaran, h. 274-278
31
bersalah, tidak berdosa, dan lainnya mengacu kepada makna mubah dan
halal. (2) Perbuatan Rasulullah yang menunjukkan tidak ada perintah untuk
melakukannya dan meninggalkannya. (3) Perkataan (iqrar) Rasulullah yang
disaksikan atau yang disampaikan kepada para sahabat, dan tidak
mengandung unsur wajib maupun sunnah. (4) Setiap perbuatan yang
didiamkan syari‟at dengan tidak menuntut untuk meninggalkannya yang
disebut dengan boleh secara akal (ibahah „aqliyyah), dan perbuatan yang
dibolehkan dalam syari‟at yang disebut dengan boleh secara syari‟at (ibahah
syar„iyyah), dimana keduanya termasuk dalam kategori halal.55
Mengacu kepada salah satu kaidah yang diajukan Asyqar bahwa
mubah dapat menjadi wajib dari sisi asalnya, dimana setiap orang boleh
mengkonsumsi jenis makanan halal yang dia sukai. Namun secara
keseluruhan mengkonsumsi makanan hukumnya wajib, karena berkaitan
dengan tujuan syari‟at yang bersifat primer (dharuriyyat) yakni menjaga
kehidupan manusia dari kepunahan. Demikian juga mengkonsumsi makanan
halal secara keseluruhan hukumnya menjadi wajib, karena disebutkan
dengan rumusan perintah (lafaz amar).56
Berdasarkan pemikiran tentang konsep halal dalam hukum Islam
tersebut di atas, tentunya dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang halal jika
disebutkan dengan rumusan dan lafaz perintah (amar) maka hukumnya
55
Muhammad Sulaiman „Abdullah Al-Asyqar, Al-Wadih fi Usuli al-Fiqh, h. 35-36 56
QS. Al-Baqarah [2]: 172
32
menjadi wajib. Sebagaimana halnya mengkonsumsi makanan yang halal,
dirumuskan dalam dalil-dalil syar‟iat dengan lafaz perintah (amar). Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konsep halal
dalam hukum Islam, serta kaitannya dengan kewajiban mengkonsumsi
makanan halal, maka harus digali pula salah satu jenis hukm taklifi lainnya,
yakni wajib.
Namlati menjelaskan bahwa perintah wajib dapat diketahui melalui
formulasi kalimat sebagai berikut;57 (1) Kata perintah;58 (2) Kata kerja masa
sekarang yang ditegaskan dengan huruf “lam” perintah;59 (3) Kata benda
yang menunjukkan perintah;60 (4) Kata asal (mas}dar) yang mewakili kata
perintah;61 (5) Penjelasan atau statement Syari„ dengan kata perintah;62 (6)
Penjelasan atau statement dengan kata wajib, fardu, ketetapan;63 (7) Setiap
gaya bahasa Arab (uslub) mengacu kepada wajib;64 (8) Ketentuan tentang
celaan dan hukuman untuk ditinggalkan perbuatannya.65
Berdasarkan rumusan dan formulasi yang dijelaskan oleh Namlati,
disimpulkan bahwa rumusan dan formulasi dalil yang menyatakan wajib
adalah keseluruhan dalil yang menyatakan perintah baik secara bahasa
57
Namlati, Al-Jami„u al-Masa‟ilu Usul al-Fiqhi wa Tatbiqiha „ala al-Mazhabi al-Rajih. h. 23-24. Lihat juga Namlati, Al-Muhazzab fi „Ilmi Usuli al-Fiqhi al-Muqaran, h. 155-156
58QS. Al-Baqarah [2]: 277
59QS. Al-Hajj [22]: 29
60QS. Al-Ma‟idah [5]: 105
61QS. Muhammad [47]: 4
62QS. Al-Nisa‟ [4]: 58
63QS. Al-Baqarah [2]: 183
64QS. Ali „Imran [3]: 97
65QS. Al-Nur [24]: 63
33
maupun makna, serta dalil-dalil yang menyatakan acaman dan hukuman
terhadap suatu perbuatan agar ditinggalkan.
Demikian juga dengan dalil yang menyatakan wajib, dirumuskan dan
diformulasikan dengan kata atau kalimat perintah, baik secara bahasa
maupun secara makna, serta dalil-dalil yang menyatakan ancaman dan
hukukan terhadap suatu perbuatan agar ditinggalkan. Jika dilihat dari ayat-
ayat yang tentang makanan halal, maka diketahui bahwa ayat-ayat tersebut
diformulasikan dalam susunan bahasa dan makna yang mengandung
perintah, dan setiap kata dan kalimat perintah maka hukumnya menjadi
wajib. Merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur‟an, jelas bahwa mengkonsumsi
makanan halal adalah perintah yang hukumnya wajib. Sedangkan
mengkonsumsi makanan halal telah ditentukan wilayah zatnya yaitu;
makanan yang tidak dilarang, makanan yang dibolehkan, dan makanan yang
didiamkan atau tidak disebutkan kehalalannya dan keharamannya.66 Ini
membuktikan bahwa mengkonsumsi makanan halal hukumnya adalah wajib
yang ditentukan zatnya. Selanjutnya jika dilihat dari sisi pelakunya, maka
mengkonsumsi makanan halal hukumnya wajib, karena perintah
mengkonsumsi makanan halal diwajibkan dan berlaku bagi semua mukallaf
secara individu. Hal ini terbukti dari dalil-dalil tentang makanan halal, dalam
66
Perhatikan formulasi konsep halal yang diajukan oleh Silmiy, Namlati dan Al-Asyqar. Lihat dalam Iyad bin Nami Al-Silmiy, Usul al-Fiqhi Lizi la Yasa„u al-Faqihi Jahlahu, h. 53-54. Namlati, Al-Jami„u al-Masa‟ilu Usulu al-Fiqhi wa Tatbiqiha „ala al-Mazhabi al-Rajih, h. 41-44. Lihat juga Namlati, Al-Muhazzab fi „Ilmi Usul al-Fiqhi al-Muqaran, h. 274-278. Muhammad Sulaiman „Abdullah Al-Asyqar, Al-Wadih fi Usuli al-Fiqh, h. 35-36
34
kaidah bahasa Arab disebut menggunakan kata perintah untuk semua orang
(jama‟),67
yaitu “makanlah kamu semuanya”.68
Sedangkan kelembagaan
sertifikasi dan labelisasi hukumnya dapat menjadi dikatakan menjadi wajib
pula.
C. Gagasan Produk Halal Sebagai Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai
hubungan keperdataan semata melainkan menyangkut kepentingan publik
secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah
SWT. Dalam konsep hukum Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan
hubungan vertikal (Manusia dengan Allah) dan horizontal (sesama manusia).
Dalam Islam melindungi manusia dan juga masyarakat sudah merupakan
kewajiban negara sehingga melindungi konsumen atas barang-barang yang
sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat Islam (konsumen
muslim) harus mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan
67
Kata “kulu” (كلوا) berasal dari kata “akala” (أكل), dilihat dari jenis kata kerjanya termasuk dalam kelompok kata kerja yang lengkap (sahih) dengan huruf hamzah di awal kata kerjanya (mahmuzu al-fa‟i). Jika kata kerja tersebut dirubah menjadi kata perintah, maka berubah menjadi “kul” (كل) yang artinya “makanlah”. Namun jika kata perintah tersebut diperuntukkan bagi banyak orang (jama„), maka berubah menjadi “kulu” ( اكلو ) yang artinya “makanlah kamu semuanya”. Penjelasan tentang bentuk kata kerja ini dapat dilihat dalam „Abdullah Sulaiman al-Jarbu‟, dkk., Ta‟limu al-„Arabiyyah li al-Natiqin Bigairiha, Juz II, (Al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su„udiyyah: Jami„ah Ummu al-Qura, 2007), h. 466. Muhammad Muhyi al-Dini „Abdu al-Hamid, Durusu al-Tasrif, (Bairut: Al-Maktabah al-„Asriyyah, 1995), h. 151
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, selain ditentukan
bahwa pangan harus memenuhi standar kesehatan (Thoyyib dalam istilah
hukum Islam) juga dijumpai beberapan ketentuan yang mensyaratkan label
halal bagi pangan yang diperdagangkan yang member petunjuk tentang
kehalalan atas produk makanan tersebut. Hal ini cukup penting bagi
konsumen muslim.
Adapun pengertian pangan halal dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang
menyatakan bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung
unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam,
baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan
bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan yang diolah melalui
proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengolahannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Pencantuman pada label pangan merupakan kewajiban apabila
setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan
yang bersangkutan halal bagi umat Islam. Keterangan halal tersebut
dimaksudkan agar masyarakat (umat Islam) terhindar dari mengkonsumsi
pangan yang tidak halal atau haram.70
70
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Rajawali Press, 2004). h. 78.
38
Di sinilah letak pentingnya suatu wadah yang mengurusi
perlindungan konsumen dari makanan yang tidak halal. Suatu wadah yang
berusaha meneliti, menyeleksi dan mengawasi peredaran makanan produk di
pasaran. Tentunya wadah semacam ini memerlukan tenaga-tenaga yang
memiliki latar belakang pengetahuan dan keahlian yang berbeda-beda.71
Memelihara kehalalan dari satu makanan, maka pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan rumah makannya harus meminta sertifikasi halal.
Sertifikasi halal dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan,
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP-POM MUI) yang mempunyai
masa belaku dua tahun dan dapat diperpanjang. Dalam kaitan ini sewaktu-
waktu LP-POM MUI dapat memeriksa kembali kehalalan suatu produk yang
telah mendapat sertifikasi halal apabila ada laporan dari masyarakat yang
meragukan kehalalan produk tersebut.
Sertifikasi halal sifatnya suka rela, artinya setiap produsen (pelaku
usaha) tidak wajib mengajukan sertifikasi halal untuk produk yang dihasilkan,
dan LP-POM MUI sendiri sifatnya pasif artinya hanya menunggu prosen yang
mengajukan sertifikasi halal. MUI yang telah memberikan sertifikasi halal atas
suatu produk makanan, Departemen Kesehatan dapat mengijinkan
pencantuman ”label halal” atas produk tersebut.
71
Abdul Ghofur Anshori. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Muslim terhadap Peredaran Makanan Haram”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. II, No. 40. (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2002), h. 90.
39
Definisi dari ”sertifikasi halal” adalah pemeriksaan yang rinci terhadap
kehalalan produk yang selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk
fatwa MUI, sedangkan ”labelisasi halal” merupakan perizinan pemasangan
kata halal pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Departemen
Kesehatan.
Ketentuan pangan halal dalam hukum positif yang mengatur khusus
mengenai sertifikasi halal dan labelisasi halal belum ada. Peraturan-
peraturan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Keputusan Menteri Agama
(Kepmen) Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pasal-pasal yang relevan
dengan masalah halal adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pasal 8 ayat (1) huruf h menyebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa
yang tidak memenuhi ketentuan produksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Yang
mengatur penandaan halal terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut: a)
40
Pasal 30 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa keterangan halal untuk
suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Keterangan halal dimaksudkan agar masyarakat
terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). b) Pasal 33
ayat (1), (2), dan (3) disebutkan bahwa setiap label dan atau iklan tentang
pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Setiap orang dilarang
memberikan keterangan dan atau pernyataan tentang pangan yang
diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila
keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.
Oleh karena itu pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan
yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak
memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang menyatakan
dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai
dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab
atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama tersebut.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalam
pasal 110 yang menyebutkan bahwa setiap orang/atau badan hukum yang
memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau
yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi
dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai
klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
41
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan. Pasal 10 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang
yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan
yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung
jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan
keterangan atau tulisan halal pada label. Pernyataan tentang halal tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari label. b) Pasal 11 ayat
(1) disebutkan untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10, setiap yang memproduksi atau memasukkan
pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan,
wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga
pemeriksaan yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan perturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut dimaksudkan
untuk memberikan ketentraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan
yang akan dikonsumsi aman dari segi agama.
Keputusan Menteri Agama (Kepmen) Nomor 518 Tahun 2001
tentang Pedomandan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Pasal 6 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa tim pemeriksaan terhadap
obyek yang berkaitan dengan proses produksi, yaitu cara berproduksi
meliputi cara penyembelihan hewan potong, pemilihan bahan baku,
42
pemilihan bahan penolong dan bahan baku tambahan, cara pengolahan, cara
penyajian. Pemeriksaan tersebut dimaksud agar dalam proses produksi
dilakukan dengan sistem halal. Dalam ayat (5) bahan baku dan bahan
penolong harus memenuhi persyaratan tidak mengandung babi atau produk-
produk yang berasal dari babi, alkohol, dan barang haram lainnya serta
bahan berupa daging harus berasal dari hewan halal yang disembelih
menurut tata cara syari‟at Islam. Dalam ayat (6) menyebutkan bahwa cara
pengolahan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan
dengan menghindari terkontaminasinya produk dari bahan-bahan haram dan
mengikuti prosedur pelaksanaan baku yang terdokumentasi.
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
menguntungkan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.72
Masalah perlindungan konsumen tidak lepas dari hal-hal yang terkait
dengankonsumen. Yang berkaitan dengan perlindungan konsumen baik
secara langsung maupun tidak langsung adalah kaitan antara konsumen,
produsen atau pelaku usaha, dan barang. Begitu pula hal-hal lain yang
berhubungan dengan perlindungan konsumen, antara lain mengenai asas
72
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 7.
43
dan tujuan perlindungan konsumen, dasar hukum perlindungan konsumen,
hak dan kewajiban konsumen, posisi konsumen dan produsen, hak dan
kewajiban pelaku usaha.
Definisi dan ketentuan dari perlindungan konsumen, konsumen,
produsen, pelaku usaha dan barang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen,
b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan,
c. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yan berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi,
d. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen. Perlu di kemukakan di sini istilah-
istilah yang saling terkait yang terdapat di dalam Undang-Undang
44
Perlindungan Konsumen. Hal ini penting untuk menghindari kerancuan
pemakaian istilah yang mengaburkannya dari maksud yang
sesungguhnya.
Pengertian Konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu,
b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau utuk
memperdagangkannya, dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama
dengan pelaku usaha,
c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau
rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.73
73
Heri Tjandrasari. “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen”. Jurnal Teropong Hukum Ilmiah. Vol. II, No. 8. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), h. 21
45
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SERTIFIKASI HALAL
A. Sertifikasi Halal dan Produk Halal
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu sertifikasi dan halal. Kata
sertifikasi (certificate) yang mempunyai tiga arti yaitu akte, surat
keterangan, diploma atau ijazah. Kata certificate kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia sertifikasi yang merupakan kata benda. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sertifikasi itu berarti
tanda atau surat keterangan atau pernyataan tertulis atau tercetak yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan sebagi
bukti, sementara itu sertifikasi berarti kegiatan penyertifikat atau proses
menjadi sertifikat.74
Sementara itu kata halal dari bahasa Arab yang berasal dari hukum
halal dan haram. Menurut Ibn Manzhur dalam buku Sopa menyebutkan,
halal itu berasal dari kata al-hillu yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh
karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh di perangi karena tidak
terkait perjanjian damai dengan kita. Lafadz halal lawan kata haram
sedangkan lafadz haram itu pada asalnya berarti mencengah atau
menghalangi (al-man’u). Setiap yang diharamkan (al-muhrimun) menjadi
tercegah atau terlarang. Lafadz al-muhrimu merupan lawan dari lafadz al-
74
Sopa. 2013. Op. Cit., halaman 12
46
muhillu yang berarti orang kafir yang tidak boleh diperangi karena terikat
perjanjian damai dengan umat Islam.75
Ibn Manzhur dalam Sopa menjelaskan bahwa haram itu berarti
segala sesuatu yang diharamkan Allah. Atas dasar itu Al-Munawi dalam
Sopa memberikan definisi halal sebagai sesuatu yang tidak diharamkan.
Maka didalamnya terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang tidak
dimakruhkan. Al-jurjani dalam Sopa memberikan definisi halal sebagai
sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa.
Definisi ini mulai mencoba menghubungkan substansi yang terdapat
cakupan halal dengan efek atau pengaruh dalam perbuatan mukallaf.
Pengaruh yang ditimbulkan adalah tidak mendapatkan siksa. Pengaruh
tersebut sebenarnya dapat timbul dari dua kategori perbuatan yaitu
makruh dan mubah.76
Menurut Qal’aji dan Qunaibi dalam Sopa, lafazd halal itu berasal
dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh karena
itu, pengertian halal identik dengan mubah yang terdapat dalam ahkam al-
khamsah. Atas dasar itu, maka wajar Al-Qardlawi secara tegas
mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang
diberikannya yaitu sesuatu yang mubah yang diizinkan syari’ untuk
dikerjakan dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Qardawi. Terdapat
dua unsur. Pertama, sesuatu yang tidak tegas penunjukan kepada yang
haram maka tetap suatu itu pada hukum asalnya mubah yang terdapat
75
Ibid. 76
Ibid.
47
dalam zat atau ‘ain.77 Dengan demikian, secara substantif benda tersebut
zatnya adalah mubah. Kedua, Islam telah membatasi wewenang untuk
menghalalkan dan mengharamkan, kerena itu wewenang tersebut dilepas
dari tangan semua makhluk, bagaimanapun kedudukannya dalam urusan
dunia dan agama dan jadi wewenang itu hanya milik allah saja.78 Diizinkan
oleh syari’ untuk dikerjakan berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu
mengerjakan (fi’l al-mukallaf). Oleh karena itu, cakupan mengerjakan itu
sangat luas termasuk didalamnya mengonsumsi pangan dalam upaya
memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.79
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat
Islam. Fatwah tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk
sesuai dengan syariat Islam menjadi syarat utama Bagi LPPOM untuk
bisa mengeluarkan Sertifikat halal. Sertifikat halal ini merupakan syarat
untuk mencantumkan lebel halal dalam setiap produk pangan, obat-
obatan, dan kosmetik
Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan termasuk
produk farmasi seperti obat-obatan dan kosmetik adalah untuk
memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat
77
Yusuf Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram. Jakarta: Robbani Press, halaman 20
78 Ibid., halaman 24
79 Sopa Op. Cit., halaman 13
48
menenangkan batin yang mengkonsumsinya.80 Sertifikat halal MUI
diberikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik
(LPPOM) MUI sebagai lembaga otonom dibentuk oleh MUI yang bertugas
untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-
produk pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetik aman
dikonsumsi baik dari segi kesehatan dan dari sisi agama Islam yakni halal
atau tidak untuk dikonsumsi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia.
Sertifikat halal yang dapat dari LPPOM MUI dari hasil sertifikasi halal
dapat dijadikan bukti bagi pengusaha untuk mendapat izin pencantuman
label halal pada kemasan produknya dari instansi pemerintahan yang
berwenang dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).81
Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI
pusat atau propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman,
obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh perusahaan setelah
diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI. Pemegang otoritas
menerbitkan sertifikasi produk halal adalah MUI yang secara teknis
ditangani oleh LPPOM. Bagi konsumen, sertifikat halal berfungsi:
terlindunginya konsumen Muslim dari mengkonsumsi produk pangan,
obat-obatan dan kosmetik yang tidak halal, secara kejiwaan perasaan hati
dan batin konsumen akan tenang, mempertahankan jiwa dan raga dari
80
Departemen Agama Republik Indonesia. 2003. Panduan Sertifikasi Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, halaman 1
81 Ibid., halaman 14
49
keterpurukan akibat produk haram, dan akan memberikan kepastian dan
perlindungan hukum.82
Bagi produsen sertifikat halal mempunyai peran sangat penting,
yakni sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen Muslim,
mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup Muslim,
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen, meningkatkan citra
dan daya saing perusahaan, dan sebagai alat pemasaran serta untuk
memperluas area jaringan pemasaran, memberi keuntungan pada
produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet produksi dan
penjualan.83
Sertifikasi juga harus menjangkau bahan baku, bahan tambahan
ataupun bahan penolong dalam bentuk bukan kemasan yang tidak
diecerkan untuk bahan produk makanan, minuman, obat-obatan,
kosmetik, dan produk lainnya yang beredar di masyarakat. Sertifikasi
produk halal diberlakukan tidak hanya terhadap produk dalam negeri
tetapi juga produk luar negeri. Mengenai produk yang bersertifikat halal
dari lembaga sertifikat luar negeri, perlu diperhatikan bahwa tidak semua
standar luar negeri dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia
batasan halal adalah yang paling ketat dan tidak dapat disimpangi.
Daging babi di luar negeri telah berubah menjadi suatu produk
dapat menjadi tidak diharamkan lagi, sedangkan di Indonesia daging babi
yang telah mengalami perubahan apapun tetaplah diharamkan. Oleh
82
Sofyan Hasan. 2014. Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, halaman 242
83Ibid.
50
kerena itu, produk yang mendapat sertifikasi halal di luar negeri harus
mendapat pengakuan dari lembaga dalam negeri dengan cara melakukan
perjanjian saling pengakuan yang berlaku timbal balik, penilaian terhadap
lembaga sertifikasi dan tempat proses produksi.84
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal menyatakan, Pemerintah dapat melakukan kerjasama
internasional dalam bidang JPH (Jaminan Produk Halal) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, kerjasama dibidang JPH dapat berbentuk
pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan pengakuan sertifikat
halal. Kesadaran Warga Negara Indonesia (WNI) yang mayoritas
beragama Islam untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang baik
dan dijamin kehalalannya cukup tinggi. Bagi umat Islam khususnya
jaminan halal jelas sangat penting selain kandungan gizinya. Makanan
halal sudah diatur dalam syariah Islam mulai dari jenis bahan hingga cara
memperoleh dan mengolahnya. Sesuai amanah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama pada Pasal 28 dan
Pasal 29 umat Islam wajib dilindungi dan diberi hak menjalankan
ibadahnya, karena tugas utama umat Islam dimuka bumi ini adalah untuk
beribadah dan mengabdi kepada Allah.
Lantas bagaimana mungkin ibadah dan doa munajad dapat
diterima Allah jika makanan dan minumannya tidak suci dan baik.85
84
Departemen Agama Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, halaman 166
85 Ma’ruf Amin, 2013. “Makanan Halal Mempengaruhi Amal Ibadah dan Doa”
dalam Jurnal Halal Nomor 102, halaman 26
51
Pemerintah Indonesia berkewajiban memberi jaminan ketersediaan
produk halal untuk melindungi masyarakat khususnya yang beragama
Islam dari produk yang tidak halal atau haram. Karena itu sertifikasi halal
produk menjadi sangat penting bagi umat Islam. Apalagi di era globalisasi
dan perdagangan bebas, berbagai produk baik makanan olahan,
makanan kemasan, makanan siap saja, minuman, obat-obatan, dan
kosmetik dari luar negeri begitu mudah masuk ke Indonesia.
Secara formal, jaminan produk halal menjadi wajib bagi konsumen
Muslim untuk membentengi atau filter pertama agar umat Islam terhindar
dari bahayanya produk pangandan farmasi yang tidak halal atau haram
dari luar negeri. Bahkan sebenarnya umat lain pun akan diuntungkan
dengan adanya jaminan prodak halal tersebut. Sebab halal memberikan
kebaikan dan keberkahan bagi hidup dan kehidupan.
2. Produk halal
Menyimak komposisi atau bahan baku obat, maka akan
mendapatkan bahwa ada merek-merek obat tertentu yang menggunakan
bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam. Misalnya, bahan
baku yang berasal dari hewan babi, ataupun bahan yang berpotensi
memabukkan. Sebagai contoh, ada obat suntikan untuk mengobati
penyakit diabetes yang berasal dari babi. Sementara banyak juga obat
52
suntik yang khasiat dan fungsinya sama untuk kencing manis, tetapi tidak
berasal dari porcine atau hewan babi.86
Binatang halal yang tidak disembelih menurut syara’ atau mati,
maka binantang itu menjadi haram dan tidak halal kecuali bangkai ikan
dan belalang dan binatang yang semakna dengan itu yaitu binatang yang
menempati makanan. Namun jika terdapat seseorang yang tidak merasa
jijik, maka makruh memakannya sebagaimana ingus dikumpulkan dan
diminum, maka hal itu dimakruhkan. Kemakruhan itu bukan karena najis
sebab mati.87
Produk-produk olahan, baik makanan minuman, obat-obatan,
maupun kosmetik, kiranya dapat dikatagorikan dalam kelompok syubahat,
kebanyakan produk tersebut berasal dari penduduk yang mayoritas non-
Muslim, sekalipun bahan bakunya bahan suci dan halal. Bukan tidak
mungkin dalam proses pembuatannya tercampur bahan yang tidak suci
atau haram. Produk-produk olahan tersebut bukan hal yang sepele bagi
tetapi persoalan besar dan serius.88
Banyaknya produk yang beredar dimasyarakat dari hasil teknologi
produksi yang tidak mudah mendeteksi kehalalannya, dengan kasat mata
dan campurannya seperti bahan tambahan, yang terkadang kita tidak
mengerti apa artinya karena ketidaktahuan kita atau ketidakpedulian kita,
86
Anton Apriyanto. 2003. Pengetahuan Bahan Haram dan Syubhat. Jakarta: Khairul Bayan Press, halaman 102
87 Imam Al Ghazali. 2007. Halal dan Haram. Surabaya: Amelia, halaman 24
88 Departemen Agama Republik Indoenesia. 2003. Sistem dan Pedoman
Penetapan Fatwa Produk Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, halaman 5
53
contohnya saja nama kandungan daging babi yang biasa di kenal prok,
ham dan gelatin. Sedangkan seperti swin yang sering di temukan dalam
penyedap rasa, sow nama lain dari babi betina yang di tangkarkan sebagi
induk, sow milk susu babi betina indukan, hog nama lain dari babi dewasa
yang memiliki bobot besar, boar babi yang sejenis babi hutan, ladr nama
lain dari lemak babi yang sering digunakan pada produk makan tapi ladr
ini sering di gunakan dalam produk kosmetik porcine semua bagian tubuh
babi yang di gunakan dalam industri farmasi, bacon untuk daging tipis.89
Bagi umat Islam, kehalalan terhadap produk konsumsi seperti
produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimiawi,
produk biologis, produk rekayasa genetika, serta barang guna dipakai,
digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat merupakan sesuatu yang
urgen. Oleh kerena itu, dapat mempengaruhi kualitas ibadah dan doa
seorang Muslim, bagaimana mungkin doa dan ibadah seorang akan
diterima oleh Allah jika makanan dan minumannya tidak suci dan baik hal
ini telah dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW wahai
manusia sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik) dan tidak akan menerima
kecuali yang thoyyib (halal dan baik) dan sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada orang beriman apa yang telah ia perintahkan
kepada rasulnya.90 Jadi produk bukan saja harus halal tetapi juga harus
Thoyyib menjadi satu rangkaian, produk yang halal berarti layak di
konsumsi secara syar’i, kandungan tidak membahayakan kesehatan, dan
89
Teribunnews, “ini dia istilah-istilah kandungan babi pada produk-produk makanan”, www.medan.tribunnews.com.
90Ma’ruf Amin, Op.Cit. halaman 26
54
bersih dalam pemprosesannya dan thoyyib berarti lezat, baik, sehat,
menentramkan dan paling utama dalam konteks makanan, kata thoyyib
berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa),
atau bercampur benda najis dan baik dari segi gizi91 aman bila di
konsumsi produk halal sudah pastilah thoyyib.
Produk halal yang dimaksud adalah produk yang telah dinyatakan
halal sesuai dengan syariat Islam. Standar kehalalan tersebut meliputi,
halal dzatnya, halal cara memperolehnya, halal dalam memprosesnya,
halal penyimpanannya, halal dalam pengangkutannya, dan halal dalam
penyajiannya.92 Berdasarkan penjelasan dari Departemen Agama
Republik Indonesia telah memberikan petunjuk dan syarat tentang
jaminan halal, diantaranya tidak mengandung bagian atau benda dari
binatang yang diharamkan dikonsumsi umat Islam, tidak mengandung
sesuatu yang dihukumi najis oleh hukum syara’, tidak diproses dengan
menggunakan alat yang tidak bebas dari najis, proses penyimpanan tidak
bersentuhan dan tidak berdekatan dengan benda yang dihukumi najis
oleh hukum syarak.93
Jaminan kehalalan suatu produk pangan dan farmasi dapat
diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk
makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik. Sertifikat halal adalah
fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan
Kompetensi MUI dalam menerbitkan sertifikat halal ditegaskan oleh
Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa: untuk mendukung kebenaran pernyataan halal
sebagaimana dimaksud Pasal 9 Ayat (1) setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan
tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diaktreditasi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pada ayat (2)
dinyatakan bahwa pemeriksaaan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat
(1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan
oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran
Lembaga Keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Bagian penjelasan disebutkan bahwa Lembaga Keagamaan yang
dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia mengingat bahwa MUI
merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim yang dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam
pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (iftat) yang terjadi di
Indonesia.110
Dalil hukum di atas memberi arahan bagi setiap produsen yang
hendak mendapatkan mencantumkan label halal pada produknya untuk
mengikuti proses atau tahapan memperoleh fatwa halal tersebut, berikut
110
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2003. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Departemen Agama, halaman 6
79
merupakan ketentuan pra- pendaftaran yang harus diikuti oleh
perusahaan:
1. Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal maka terlebih dahulu
harus mempersiapkan sistem jaminan halal. Penjelasan rinci
tentang sistem jaminan halal dapat merujuk kepada buku panduan
penyusunan sistem jaminan halal yang dikeluarkan oleh LPPOM
MUI.
2. Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim Auditor
Halal Internal (AHI) yang bertanggung jawab dalam menjamin
pelaksanaan produk halal.
3. Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk diinspeksi secara
mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI.
4. Membuat laporan berkala setiap 6 (enam) bulan tentang
pelaksanaan sistem jaminan halal.111
Adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum pendaftaran
sebagaimana tertera di atas, menunjukkan adanya upaya untuk menjamin
kehalalan produk tersebut sesuai syariat Islam yakni untuk menjamin
kehalalan zatnya, halal cara memperolehnya, halal cara memprosesnya,
halal dalam penyimpanannya, halal dalam pengangkutannya dan halal
dalam penyajiannya. Setelah melalui tahapan pra-pendaftaran,
selanjutnya produsen harus mengikuti prosedur pendaftaran hingga
penerbitan fatwa halal sebagai berikut:
111
Kemanag Riau. “Tata Cara Sertifikasi Halal produk pangan dan farmasi” www./riau1.kemenag.go diakses Sabtu, 27 Juni 2015 Pukul 23.00 WIB
80
1. Mengisi formulir permohonan yang disediakan oleh LPPOM
(Lembaga Pengkajian Pangan, obat-obatan dan Kosmetik) MUI
yang disediakan di kantor MUI dengan melampirkan:
a. permohonan pencantuman tulisan/logo halal pada label pangan
b. Photocopy sertifikat (pilihlah salah satu jenis produk)
1) Sertifikat persetujuan pendaftaran/ijin edar MD/ ML dari
Badan POM Republik Indonesia;
2) Sertifikat Nomor P-IRT (pangan industri rumah tangga) dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pangan produksi
industri rumah tangga;
3) Sertifikat laik Sehat dan sanitasi dan ijin usaha boga yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (untuk rumah
makan atau katering)
c. Daftar nama produk dan jenis produk yang diajukan untuk
sertifikasi dan labelisasi halal.
d. Daftar komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam produksi
berupa bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan
penolong untuk setiap jenis produksi yang diajukan, diurutkan
dalam jumlah bahan yang terbanyak.
e. Spesifikasi dan/atau sumber/asal bahan baku, bahan tambahan
pangan dan bahan penolong yang digunakan untuk tiap jenis
produk yang diajukan. Untuk bahan yang berasal dari hewan
dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak,
dinyatakan pada Pasal 39 Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Sertifikat halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan
oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan
mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir. Sertifikat halal yang telah
ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal efektif berlaku, dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktu sertifikat halal tersebut berakhir. Sebelum BPJPH
dibentuk pengajuan permohonan atau perpanjangan sertifikat halal
dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diundangkan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di
bidang sertifikasi halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Selanjutnya pada
Pasal 64 dinyatakan BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan walaupun hingga saat ini
2018 BPJP di tiap-tiap provinsi belum juga terbentuk.
C. Kendala dan Konsekuensi Hukum Kewajiban Sertifikasi Halal
Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Produk halal adalah produk yang dikategorikan aman menurut
syariat Islam. Label halal tersebut biasanya diberikan pada produk
makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetik yang telah memenuhi
105
standar menurut kaidah-kaidah Islam, baik yang menyangkut komposisi
bahan, proses pembuatan, dan tempat produksinya. Untuk berhak
menggunakan label halal pada kemasan produk yang diproduksi ataupun
pada tempat usaha seperti restauran dan catering, jaminan kehalalan
suatu produk pangan dan produk farmasi diwujudkan dalam bentuk
sertifikat halal yang menyertai suatu produk pangan dan produk farmasi,
dengan sertifikat halal tersebut pihak produsen dapat mencantumkan label
halal pada kemasan produknya.
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan
suatu produk yang dikeluarkan oleh lembaga pemeriksa. Dalam hal ini,
lembaga pemeriksa adalah lembaga keagamaan yang ditunjuk oleh
Menteri Agama untuk melakukan pemeriksaan produk halal setelah
diakreditasi oleh Komite Akreditsi Nasional (KAN). Tujuan pemberian label
pada produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik yang
dikemas adalah agar masyarakat yang membeli atau mengkonsumsi
produk tersebut memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang
setiap produk yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu
kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan sebelum
memutuskan akan membeli dan atau mengkonsumsi pangan tersebut.
Labelisasi halal merupakan suatu tanda yang memudahkan
konsumen yang beragama Islam untuk memilih produk-produk yang akan
dikonsumsinya sesuai dengan keyakinan agama Islam yang dianutnya.
Label halal tidak bisa begitu saja dicantumkan oleh pihak produsen tanpa
106
terlebih dahulu memiliki sertifikat halal. Untuk itu sertifikasi halal diadakan
dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepada konsumen dalam
mencapai ketenteraman batin masyarakat dalam mengkonsumsi makanan
dan minumannya setara dalam menggunakan obat-obatan dan kosmetik
sehingga lebih lanjut dapat menunjang kelancaran dan kestabilan
pembangunan nasional.
Kehalalan suatu produk juga diatur dalam Codex, suatu organisasi
dunia yang mengatur sistem perdagangan internasional. Kehalalan produk
makanan, minuman, obat dan kosmetika serta produk halal lainnya bukan
saja menjadi masalah intern umat Islam tetapi sudah masuk pada sistem
produksi dan perdagangan internasional. Kemampuan pelaku usaha untuk
melaksanakan sistem produksi halal, yang pada gilirannya akan
meningkatkan omzet produksi perusahaan yang bersangkutan dan
ekonomi negara.120
Pencantuman label halal jika dilihat dari sudut kepentingan pelaku
usaha dapat dijadikan ajang peningkatan promosi suatu produk karena
label halal merupakan sebuah cara yang cukup efektif dalam memberikan
rasa aman, nyaman dan ketenangan bagi konsumen muslim baik di
Indonesia maupun di dunia karena jika aspek kehalalan tersebut terpenuhi
bukan hanya syariat saja yang terpenuhi namun juga aspek kesehatan
dari produk itu sendiri. Kenyamanan dan ketenangan bagi konsumen
muslim merupakan persoalan penting. Apalagi dalam Islam dianjurkan
120
Departemen Agama Republik Indoneisa. 2003 Dalil dan Pertimbangan Penetapan Produk Halal. Jakarta: Departeman Agama Republik Indoneisa, halaman vi
107
meninggalkan semua hal yang bersifat ragu-ragu (syubhat) dan dilarang
oleh agama. Tanpa label halal, suatu produk barang yang dikonsumsi bisa
dikategorikan sebagai barang yang meragukan. Jadi dalam hal ini
diharapkan moralitas dari pihak produsen untuk memberikan perlindungan
yang baik terhadap konsumen dengan bentuk kerelaan produsen dalam
mencantumkan label halal bagi produk yang dikeluarkannya.
Konsumen menjadi lebih nyaman dan terhindar dari rasa khawatir,
mengingat bahwa bagi umat Islam kehalalan pangan sangatlah prinsipil
karena berkaitan dengan keyakinan agamanya. Sehubungan dengan hal
tersebut maka yang perlu diperhatikan dalam sertifikasi halal, yaitu:
1. Kendala Pelaksanaan Jaminan Produk Halal Oleh Lembaga Yang
Berwenang
a. Tenaga Ahli:
Pada awalnya MUI menjalankan fungsi pemberian Fatwa Halal,
namun saat itu para ulama mengeluarkan fatwa belum berdasarkan
penelitian sains ataupun keterlibatan tenaga ahli (sains). Sehingga
kalangan akademisi menyarankan MUI agar terlebih dahulu
mengkaji produk dari aspek ilmiahnya sebelum memutuskan halal
atau tidaknya suatu produk. Hingga kini Minimnya tenaga ahli
tentunya menjadi kendala MUI dalam melaksanakan tugasnya
dalam jaminan produk halal, karena harapannya dibentuk LPPOM
MUI sebagai jalan untuk menggunakan ilmu pengetahuan/sains
108
sebagai bahan pertimbangan pengambilan fatwa halal atau
tidaknya suatu produk.121
b. Ketidak percayaan masing-masing pihak/ lembaga dan tarik
menarik kepentingan;
MUI mengharapkan dukungan Ormas Islam agar kewenangan
sertifikasi halal tetap di MUI, tidak perlu diambil oleh pemerintah
karena masalah konsumsi halal merupakan ajaran agama, maka
perlu dasar fatwa ulama. MUI Sumatera Utara mengakui, telah
terjadi tarik-menarik yang sangat kuat karena pihak Kementerian
Agama bersikeras agar kewenangan menerbitkan sertifikasi halal
ditarik ke pihaknya. Selain itu, MUI Sumatera Utara juga
mengharap kerelaan dari Ormas Islam agar sertifikasi halal tidak
dicampuri oleh ormas yang memiliki lembaga fatwa. Tujuannya,
agar tak terjadi tumpang-tindih dan kebingungan terkait sertifikasi
halal. Di MUI sudah ada Komisi Fatwa yang terdiri dari sejumlah
Ormas Islam. Namun, disisi lain, DPR juga berkeinginan mengambil
jalan tengah dengan membentuk sebuah badan di bawah
Kementerian Agama yang berhak menerbitkan sertifikat halal,
sementara MUI hanya berfatwa.122
c. Perubahan Kewenangan Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal: Walaupun MUI dan
LPPOM MUI bukan merupakan lembaga yang berada dibawah
121
Wawancara dengan H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc, selaku Pjs Sekretaris Umum MUI Kota Medan, Kamis, Tanggal 26 Juli 2019.
122Hasil wawancara dengan MUI Sumatera Utara
109
pemerintah, bukan berarti kedua lembaga ini tidak memiliki legalitas
dalam menjalankan tugasnya. Pada Tahun 2001, Menteri Agama
RI mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun
2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal,
yang menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia ditunjuk sebagai
lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal,
yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia. Bahkan pada
tingkat internasional, LPPOM MUI sudah terkenal dan diakui oleh
berbagai negara dalam kompetensinya di bidang kehalalan.
LPPOM MUI sebagai perwakilan Indonesia dikenal sebagai inisiator
terbentuknya Dewan Halal Dunia (World Halal Food Council).
Dewan ini dibentuk untuk mendiskusikan standar kehalalan
bersama antar lembaga-lembaga pemeriksa halal seperti LPPOM
MUI yang ada di dunia. Pada dasarnya, Indonesia mengakui
Sertifikat Halal dari negara lain yang Lembaga Halalnya memegang
prinsip dan standar yang sama dengan yang dimiliki LPPOM MUI.
Namun pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, dan hingga saat ini belum
terlaksananya BPJPH pada tiap-tiap provinsi tentunya hal ini
berdampak pada kepercayaan dan kepatuhan hukum bagi pelaku
usaha atas kewajiban sertifikat halal atas prodak usahanya.
Sehingga menimbulkan asumsi negative bahwa dibalik lahirya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
110
Halal ada ketidak percayaan antara lembaga swasta (MUI) dan
pemerintah (Kemenag) atas kinerja lembaga terkait kehalalan dan
disamping asumsi tersebut adanya tarik menarik kepentingan
“jaminan produk halal”, karena melihat hal ini merupakan job yang
memiliki keuntangan yang besar.123
d. Harga
Perlindungan konsumen di negara dengan mayoritas Muslim
terbesar di dunia perlu dilakukan. Salah satunya ialah dengan
langkah sertifikasi halal. Namun, perlindungan konsumen acap kali
terbentur persoalan harga sertifikasi. Untuk itu, regulasi perlu
diperkuat. Sertifikasi halal didasari kekhawatiran akan beban
ekonomi yang ditanggung pengusaha. Namun ujung-ujungnya para
pengusaha bakal mengalihkan beban ekonomi tersebut kepada
konsumen. Masalah harga untuk mendapatkan label halal, diakui
menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini,
hanya pengusaha, misalnya pengusaha makanan dan minuman
yang besar saja, yang bisa mengantongi label halal. Sementara
industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial untuk melabeli
produknya dengan cap halal. untuk mendapatkan sertifikasi halal
dari MUI, perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga
Rp 5 juta per produk, tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain.
"Standar per sertifikat Rp 1 juta sampai Rp 5 juta untuk perusahaan
123
Hasil wawancara dengan MUI Sumatera Utara
111
menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil dan menengah Rp
0 sampai Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi,
tergantung besar atau kecilnya perusahaan.124
e. Ketidak siapan pemerintah dari segi anggaran
Tidak terbentuknya BPJPH hingga saat ini, ditiap-tiap provinsi
sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang No 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal, tentunya juga terkait
mengenai ketidak siapan pemerintah dalam hal anggaran.
Kementerian Agama Sumatera Utara menjelasakan bahwa untuk
membentuk BPJPH di Provinsi Suamatera Utara membetuhkan
dana 15 Miliar dan pemerintah hanya memberikan dana 3 miliar.
Tentunya dana yang diberikan yang jumlahnya jauh lebih sedikit
menjadi kendala Kementerian Agama dalam membentuk BPJPH di
Sumatera Utara, bahkan hingga kini BPJPH juga belum kunjung
terbentuk.125
Kendala-kendala dalam pelaksanaan jaminan produk halal yang di
alami oleh lembaga yang berwenang (Kementerian Agama Sumatera
Utara dan MUI Sumatera Utara) tentunya berdampak pada kepercayaan
masyarakat khususnya pelaku usaha dalam melakukan kewajiban
sertifikasi halal dalam prodak usahanya. Hal ini dapat dilihat sebagaimana
tabel dibawah ini;
Daftar Rekapitulasi Sertifikasi Halal, Produk dan Perusahaan
124
Hasil wawancara dengan MUI Sumatera Utara 125 Hasil wawancara dengan Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara
112
Provinsi Sumatera Utara
No Tahun Jumlah
Sertfikasi
Halal
Jumlah
Produk
Jumlah
Prusahaan
Keteranga
n
1 2017 184 1611 332 Sistem
Cerol
2 2018 1135 167 Januari-
Juli
2. Kosekuensi Hukum Kewajiban Sertifikasi Halal
Setiap produsen yang mengajukan sertifikat halal bagi produknya
harus melampirkan: spesifikasi dan sertifikat halal bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong serta bagan alir proses. Sertifikat halal
atau surat keterangan halal dari MUI Daerah (produk lokal) atau sertifikat
halal dari lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk
bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. Sistem jaminan halal
yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku
pelaksanaannya. Persyaratan tersebut kemudian diperiksa dengan
melakukan pemeriksaan atau audit ke lokasi produsen. Hasil pemeriksaan
atau audit dan hasil laboratorium akan dievaluasi dan jika telah memenuhi
persyaratan maka akan diajukan ke sidang komisi fatwa MUI untuk
ditetapkan status kehalalannya.
113
Sertifikat halal akan dikeluarkan oleh MUI, setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa. Produsen atau importer yang telah
memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada
kemasan produknya yang dicantumkan nomor sertifikat dan tulisan halal
dengan huruf arab dan huruf latin serta dibuat dalam bentuk yang tidak
mudah rusak dan tidak dapat dipalsukan, serta dalam ukuran tertentu.
Dengan adanya sertifikasi dan labelisasi halal ini, dapat membuat pihak
produsen tidak akan dirugikan, justru akan memberikan jaminan yang
lebih pasti kepada produsen dalam menjalankan usahanya. Selama ini
orang atau masyarakat menganggap bahwa suatu produk disebut halal
kalau tidak mengandung bahan-bahan yang secara eksplisit dilarang oleh
agama misalnya unsur-unsur dari daging babi, alkohol, narkotika dan lain-
lain.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan.
Sedangkan pada Pasal 97 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang
mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di
dalam dan/atau pada kemasan pangan saat memasuki wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan di atas ditujukan untuk jaminan kehalalan bagi
konsumen, karena mengkonsumsi makanan dan minuman halal bagi umat
114
Islam tidak sebatas memenuhi kebutuhan hidup saja tapi merupakan
bentuk aplikasi ajaran agama. Disebutkan pula dalam Alquran Surat
Abasa ayat 24 bahwa hendaklah manusia itu memperhatikan barang-
barang yang dikonsumsi dan yang digunakannya. Adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui sebelum pendaftaran sebagaimana tertera di
atas manunjukkan adanya upaya untuk menjamin kehalalan produk.
Bentuk dari jaminan kehalalan suatu produk makanan, minuman, obat-
obatan dan kosmetik adalah bahwa produk-produk tersebut tersebut
secara resmi memiliki sertifikat halal.
Secara umum didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang benar dan jujur atas setiap produk yang
dihasilkannya. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen lahir dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum bagi konsumen terhadap segala bentuk pelanggaran
dari produsen atau pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen termasuk bahaya atau kerugian yang mungkin timbul akibat
belum memberikan informasi yang tepat. Sedangkan berdasarkan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
salah satu hak konsumen adalah berhak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Terjadinya perbuatan-perbuatan yang berakibat merugikan
konsumen akibat penggunaan barang dan/atau jasa harus dihindari.
115
Seperti perbuatan mencantumkan label halal pada produk makanan,
minuman, obat-obatan dan kosmetik tidak sah. Berkaitan dengan jaminan
kehalalan suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik
secara normatif ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan
h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan
atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
116
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal yang di
cantumkan dalam label.
Adanya ketentuan seperti tersebut di atas terutama Pasal 8 ayat (1)
huruf h maka setiap pelaku usaha (produsen) dalam memproduksi suatu
barang dan /atau jasa mempunyai kewajiban untuk:
1. Mentaati atau memenuhi persyaratan peraturan atau ketentuan
yang telah di tetapkan pemerintah.
2. Menjamin produk-produk makanannya tersebut aman atau tidak
berbahaya jika dikonsumsi dan dicantumkan label halal.
Selain terdapat pada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, ada beberapa peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar pengaturan kehalalan suatu produk
makanan yang diwujudkan dalam bentuk sertifikasi halal dan labelisasi
halal di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan pada Pasal 97 Ayat 1,2 dan 3 dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada
Pasal 4 produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
117
Indonesia wajib bersertifikat halal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Ketentuan yang bersifat teknis diatur dalam beberapa surat
keputusan maupun ketetapan, yaitu Surat Ketetapan Nomor:
924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pecantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Selain itu, Departemen
Agama juga mengeluarkan keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun
2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan
Pangan Halal, SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal, serta Keputusan Menteri Agama Nomor 525
Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang
Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai Pelaksana Percetakan Label
Halal.
Sertifikasi sebenarnya adalah merupakan suatu kegiatan pengujian
secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi
suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan
sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang
dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal yang tujuan
akhirnya adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk
yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.
Berkaitan dengan pengaturan tentang sertifikasi halal terdapat
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
118
Produk Halal disebutkan produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, dan pada
Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
disebutkan juga pada ayat (1) setiap orang yang memproduksi pangan di
dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam
dan/atau ada kemasan pangan.
Pernyataan pada ayat (2) dinyatakan bahwa setiap orang yang
mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di
dalam dan/atau pada kemasan pangan pada saat memasuki wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya ayat (3) menyatakan
pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditulis atau dicetak
dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit
keterangan mengenai nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat
bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
mengimpor, halal bagi yang dipersyarakatkan, tanggal dan kode produksi,
tanggal bulan dan tahun kadaluarsa, nomor izin edar bagi pangan olahan
dan asal usul bahan pangan tertentu. Ayat 2 diatur selain keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah dapat menetapkan
keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label
pangan.
Labelisasi yang diwujudkan dalam label merupakan penanda dan
sumber-sumber informasi tentang substansi yang diwakilinya. Karena itu
119
isi label haruslah sesuatu yang benar dan harus dapat
dipertanggungjawabkan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal
dalam produk yang dijualnya untuk melengkapi dan mempertanggung
jawabkan kebenaran dari apa yang tertera dalam label tersebut.
Pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dinyatakan
bersalah jika pihak pelaku usaha tidak dapat membuktikan kebenaran
atas apa yang dicantumkan dalam label tersebut yaitu suatu produk
makanan dicantumkan label halal namun ternyata bahwa produk makanan
tersebut tidak melalui proses ataupun bahan yang halal.
Kosekuensi hukum bagi pelaku usaha yang melakukan
pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat
dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administratif.
Akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal
pada suatu produk makanan tidak memiliki sertifikat halal bisa terkena
sanksi bertanggung jawab secara perdata dapat dijelaskan pada Pasal 7
120
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang di buat dan/atau
diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang di terima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Berbicara mengenai akibat hukum bagi pelaku usaha yang
mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah yang
121
pada dasarnya sangat merugikan konsumen muslim maka kosekuensi
hukum bagi pelaku usaha tersebut akan berbentuk tanggung jawab pelaku
usaha tersebut terhadap konsumen, dimana tanggung jawab pelaku
usaha tersebut berupa tanggung jawab produk. Tanggung jawab produk
dapat diartikan sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang
dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung
jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual berdasarkan suatu
perjanjian maupun tanggung jawab perundang-undangan berdasarkan
perbuatan melawan hukum.
Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dapat ditemukan dalam
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (5) serta Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) dan ayat
(5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yang dinyatakan sebagi berikut pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Selanjutnya ayat (5) menentukan bahwa
ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen. Lebih lanjut dalam Pasal 28
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
122
dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di maksud dalam Pasal 19, Pasal
22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Apabila dikaji secara mendalam maka Pasal 19 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengandung makna bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk
memberikan ganti kerugian kepada konsumen apabila konsumen
mengalami kerugian, kerusakan, dan/atau pencemaran sebagai akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Membebankan tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian
secara langsung kepada pelaku usaha, sekalipun tidak terdapat hubungan
kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen, merupakan salah
satu indikasi penggunaan pertanggungjawaban produk. Sedangkan Pasal
19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa terdapat unsur kesalahan dari pelaku
usaha yang apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen, maka pelaku usaha
dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memberikan ganti kerugian.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa tujuan
pertanggungjawaban produk adalah pembagian risiko yang adil antara
pelaku usaha dan konsumen.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pertanggungjawaban produk adalah
lembaga hukum keperdataan yang merupakan perwujudan dari lembaga
hukum perbuatan melawan hukum seperti yang ditentukan dalam Pasal
123
1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum sering di sebut juga
sebagai pertanggungjawaban atas dasar kesalahan karena apabila
digunakan oleh konsumen untuk menggugat ganti kerugian dari pelaku
usaha, maka konsumen berkewajiban untuk membuktikan 4 unsur yang
terpenuhi sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:
1. Pelaku usaha telah melakukan perbuatan melawan hukum.
2. Pelaku usaha telah melakukan kesalahan.
3. Konsumen telah mengalami kerugian.
4. Kerugian yang dialami oleh konsumen merupakan akibat dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Terhadap kewajiban konsumen tersebut di atas, maka kewajiban
konsumen untuk membuktikan bahwa pelaku usaha telah melakukan
kesalahan merupakan kewajiban yang relatif paling sulit dipenuhi oleh
konsumen, karena selain dibutuhkan keahlian tertentu, pada umumnya
pelaku usaha sebagai pihak yang harus memberikan ganti kerugian
kepada konsumen tidak mudah akan mengakui kesalahannya sekalipun
sesungguhnya pelaku usaha memang telah melakukan kesalahan.
Padahal apabila konsumen tidak berhasil memenuhi keempat macam
kewajiban tersebut di atas secara kumulatif, maka konsumen akan
kehilangan haknya untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku usaha.
Jika kondisi ini terjadi, maka tujuan melindungi konsumen secara hukum
tidak akan tercapai, oleh karena itu, pertanggungjawaban produk yang
bertujuan melindungi konsumen meniadakan kewajiban konsumen untuk
124
membuktikan kesalahan pelaku usaha, dan sebaliknya pelaku usaha
berkewajiban membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
Konsekuensi logis dari konstruksi hukum bahwa pelaku usaha
harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah adalah bahwa pelaku usaha
di anggap telah melakukan kesalahan seketika setelah konsumen
mengalami kerugian akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh
pelaku usaha. Selain akibat hukum berupa sanksi pidana dan perdata
bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan
yang tidak sah maka pelaku usaha tersebut juga dapat terkena sanksi
administratif.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal pada Pasal 38 menyatakan Pelaku Usaha yang telah memperoleh
Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada kemasan produk,
bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk. Serta
pada Pasal 39 Undang-Undang Jaminan Produk Halal menyebutkan
pencantuman label halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus
mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Sanksi administrasi dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal dinyatakan pada pasal 41 yang
menyebutkan Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39
dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, dan
pencabutan sertifikasi halal.
125
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada
Pasal 100 ayat (2) yang menyebutkan Setiap Orang dilarang memberikan
keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan
pada label. Sanksi administratif tersebut di atur dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dinyatakan pada Pasal 102 ayat 1
bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 97 ayat 1 pasal 99 dan pasal 100 ayat 2 dikenakan
sanksi administratif. Tindakan administratif tersebut pada Pasal 102 ayat 3
meliputi:
1. Denda.
2. Penghentian sementara pada kegiatan produksi dan/atau
peredaran.
3. Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen.
4. Ganti rugi dan/atau.
5. Pencabutan izin.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan,
sebagai berikut:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
126
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
Sanksi administrasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen terdapat pada Pasal 60 ayat (1), (2)
yang menyebutkan:
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan
sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal
19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan.
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di akhir penulisan disertasi ini, dibuat beberapa kesimpulan sebagai
jawaban dari perumusan masalah, yaitu:
1. Kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan produk
halal bagi pelaku usaha disesuaikan dengan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang
menyebutkan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Ketetapan itu berimplikasi
bahwa semua atau setiap produk (makanan, minuman, obat-obatan
dan kosmetika) yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang
sertifikasi halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Selanjutnya pada
Pasal 64 dinyatakan BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan walaupun
hingga saat ini 2018 BPJP di tiap-tiap provinsi belum juga terbentuk.
3. Kendala kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan
produk halal;
128
a. Tenaga Ahli: Hingga kini Minimnya tenaga ahli tentunya menjadi
kendala MUI dalam melaksanakan tugasnya dalam jaminan
produk halal, karena harapannya dibentuk LPPOM MUI sebagai
jalan untuk menggunakan ilmu pengetahuan/sains sebagai bahan
pertimbangan pengambilan fatwa halal atau tidaknya suatu
produk.
b. Ketidak percayaan masing-masing pihak/ lembaga dan tarik
menarik kepentingan.
c. Perubahan Kewenangan Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal: Pasca lahirnya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal, dan hingga saat ini belum terlaksananya BPJPH pada tiap-
tiap provinsi tentunya hal ini berdampak pada kepercayaan dan
kepatuhan hukum bagi pelaku usaha atas kewajiban sertifikat
halal atas prodak usahanya. Sehingga menimbulkan asumsi
negative bahwa dibalik lahirya Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal ada ketidak percayaan
antara lembaga swasta (MUI) dan pemerintah (Kemenag) atas
kinerja lembaga terkait kehalalan dan disamping asumsi tersebut
adanya tarik menarik kepentingan “jaminan produk halal”, karena
melihat hal ini merupakan job yang memiliki keuntangan yang
besar.
129
d. Harga:. Masalah harga untuk mendapatkan label halal, diakui
menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh
ini, hanya pengusaha, misalnya pengusaha makanan dan
minuman yang besar saja, yang bisa mengantongi label halal.
Sementara industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial
untuk melabeli produknya dengan cap halal.
e. Ketidak siapan pemerintah dari segi anggaran
Konsekuensi hukum:
Kosekuensi hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman
label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat
dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administratif
B. Saran
1. Hendaknya kewajiban sertifikasi halal dalam penyelenggaraan jaminan
produk halal lebih disesuaikan dan dijelaskan lebih detail melalui
peraturan perundang-undangan karena BPJPH harus dibentuk paling
pada tahun 2019 nantinya.
130
2. Hendaknya kosekuensi kewajiban sertifikasi halal dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal pada sanksi administrasi lebih
diperjelas, karena tidak adanya bentuk konkrit sanksi admintratif.
3. Hendaknya lembaga yang diberi kewenangan untuk memberi sertifikat
halal pada suatu produk lebih dahulu dibentuk agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dan pengawasan sertifikasi halal bagi
pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Ghofur Anshori. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Muslim terhadap Peredaran Makanan Haram”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. II, No. 40. (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2002).
Ahmad al-Syarbasiy, Al-Mu’jam al-Iqtisadiy al-Islamiy, (tt: Dar al-Jaili, 1981). Ahmad Sanusi Luqman. 2015. Konsep Halal dan Haram Menurut Pandangan
Islam. Medan: Pelatihan Auditor Halal Internal Perusahaan.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta:
Rajawali Press, 2004). Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada). Anton Apriyanto. 2003. Pengetahuan Bahan Haram dan Syubhat. Jakarta:
Khairul Bayan Press. Asjiah Girindra, “Halalan Thayyiban”, www.halalguide.info/view/396. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2003. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Departemen Agama.
Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Nuansa
dan Nusamedia. Bandung). Departemen Agama Republik Indoenesia. 2003. Sistem dan Pedoman
Penetapan Fatwa Produk Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
..2003. Dalil dan
Pertimbangan Penetapan Produk Halal. Jakarta: Departeman Agama Republik Indoneisa.
. . 2003 Petujuk Teknis Sistem Produksi Halal.
. 2007. Tanya Jawab Seputar Produksi Halal.
. 2003. Panduan Sertifikasi
Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. . 2003. Petunjuk Teknis
Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Diana Susanti, NPM: 1320020047, 2017. Peran Lembaga Pemerikasa Halal
dalam Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan. Farid Wajdi. “Kewajiban Produk Bersertifikat Halal”, Farid Wajdi. 2014. Undang-Undang, Pentadbiran dan Penggunaan Logo
Halal: Kajian Kes Di Sumatera Utara, Indonesia (Tesis) Program Doktor Malaysia: Universiti Sains Malaysia.
Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media).
Harun Nasution, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992).
Heri Tjandrasari. “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen”. Jurnal Teropong Hukum Ilmiah. Vol. II, No. 8. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003).
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen.
(Bandung: Mandar Maju, 2002). Imad „Ali Jum„ah, Usul al-Fiqh al-Muyassar, (Bairut; Dar al-Fikr, 1960).
Imam Al Ghazali. 2007. Halal dan Haram. Surabaya: Amelia, halaman 24 Iyad bin Nami Al-Silmiy, Usul al-Fiqhi Lizi la Yasa‘u al-Faqihi Jahlahu, (Bairut;
Dar al-Fikr, 1960). Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Kalam Mulia, Jakarta, 1985.). Kamus Besar Bahasa Indoenesia L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh
enam Pradnya Paramita, , Jakarta). Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI,
www.halalmui.org.
Lembar Negara Republik Indonesia. 2015. Undang-Undang Jaminan Produk Halal. (Jakarta: Sinar Grafika).
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lugah, (Beirut-Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986).
Mazia Ulfa NIM: 2103005, 2009. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Jawa
Tengah Tentang Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan Roti Basah Swiss Bakery. Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
Muhammad Sulaiman „Abdullah Al-Asyqar, Al-Wadih fi Usuli al-Fiqh, (Bairut;
Dar al-Fikr, 1990). Namlati, Al-Jami‘u al-Masa’ilu Usul al-Fiqhi wa Tatbiqiha ‘ala al-Mazhabi al-
Rajih, (Bairut; Dar al-Fikr, 1960).. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI, 2008. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
Rikka Cahyati NPM: 12.11.1001.3443.051, 2016. Pengaruh Pencantuman Label Halal Terhadap Minat Beli Luwak White Coffe Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).