PROPOSAL PENELITIAN TESIS Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Korupsi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Padang
Disusun oleh : ANISA, SH 09 21211 002
Program Kekhususan : Hukum Pidana
PROGRAM STUDI ILMU HUKUMPASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 1
PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A PADANG 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat korupsi
yang sangat tinggi. Banyak kajian yang telah dilakukan1 salah
satunya oleh Political Economic Risk And Consultancy (PERC) pada
tahun 2004 memposisikan indonesia sebagai negara terkorup di Asia.
2 Realitas seperti itu memang menyakitkan rasa kebangsaan kita,
namun kita tidak mampu membantahnya karena memang demikianlah
adanya hingga saat ini. 3 Korupsi telah menjadi masalah serius bagi
bangsa Indonesia, yang telah merambah ke seluruh lini kehidupan
masyarakat yang dilakukan secara sistematis sehingga memunculkan
stigma negatif bagi negara dan bangsa indonesia di dalam pergaulan
masyarakat internasional.
Sungguh sebuah prestasi yang memalukan bagi masa depan bangsa
ini yang terkenal hidup bersahaja, ramah dan berbudaya tinggi. 4
Aneh nya, berbagai upaya telah ditempuh untuk memberantas korupsi,
namun belum. Hasil Survei Political Ekonnomi Risk Consultancy
(PERC) tahun 2010, Menempatkan Indoesia Sebagai Negara Terkorup di
Asia, www.antikorupsi.com di akses pada tanggal 28 November 2011 2
. www.bukumizam.com diakses tanggal 1 Desember 2011 3 . Elwi Danil,
2005, Melawan Hukum Sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi,
Disampaikan Dalam Seminar dan Lokakarya Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa, Padang, hal 1 4 . Teguh
Sulistya dan Aria Zurnetti, 2005, Konsep Efektif Hukum Dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme di Indonesia, dalam
majalah Projustisia, Padang , hal 27Proposal Penelitian Tesis,
ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas
(UNAND) 21
mampu menurunkan peringkat Indonesia dalam deretan negara
terkorup di dunia. Bahkan korupsi di Indonesia sekarang tak ubahnya
seperti cendawan dimusim hujan,5 kian hari semakin banyak.
Tindak pidana korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang
luar biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan penanganan
yang luar biasa pula (extra ordinary measure), untuk itu peran
serta seluruh komponen masyarakat dalam hal pencegahan dan
penindakan perkara korupsi sangat diperlukan. Hal ini dipertegas
oleh Basrief Arief, yang menyatakan bahwa meningkatnya aktivitas
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali, tidak saja akan
berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena itu, tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode
konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka
penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.6
. Sudi Pratiyo.2005, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah, di sampaikan pada diskusi bulanan
bertema strengthening Regulation Enforcement Integrity Assurance
and Public Participation On Local Budget In West Sumatera di
selenggarakan oleh PusatKajian Hukum Wilayah Barat
UniversitasAndalas, Padang, hal. 2 6 Basrief Arief, 2006, Korupsi
dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Jakarta: PT. Adika
Remaja Indonesia, hal. 87.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH.
Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 3
5
Sejak beberapa tahun belakangan, korupsi7 telah menjadi
permasalahan yang sangat serius di Indonesia, termasuk beberapa
kota di daerah Sumatera Barat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang,
menyatakan Kota Bukittinggi sebagai daerah yang terdapat dugaan
kasus korupsi paling tinggi di Sumatera Barat. Dari hasil
monitoring, Kota Bukittinggi menduduki peringkat teratas
terdapatnya dugaan kasus korupsi di Sumbar, kemudian baru disusul
Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok," kata Staf LBH
Padang Divisi Pendampingan Hukum dan Paralegal Deddi Alparesi, di
Padang, Jumat 9 Desember 2011. Dia menambahkan, dari monitoring LBH
Padang dugaan kasus korupsi didaerah itu saat ini telah mencapai 17
kasus, sedangkan di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat 16 kasus,
dan Kabupaten Solok sebanyak 13 kasus. Hasil monitoring LBH Padang
terkait kasus korupsi di provinsi itu berdasarkan audit dan laporan
Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPK), data Kejaksaan, laporan
masyarakat, serta hasil dari investigasi media massa setempat.
Munculnya Kota Bukittinggi sebagai daerah paling rawan akan korupsi
di Provinsi Sumbar dari data LBH Padang, terkait dengan banyaknya
proyek pengadaan barang dan jasa di wilayah tersebut, dimana sekor
itu juga merupakan penyumbang peluang terbesar terjadinya korupsi
di daerah itu. Dari 19 kota dan kabupaten di Sumbar yang didata LBH
Padang, untuk lingkungan. Korupsi Berasal dari kata corruption
dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokkan, lihat
dalam Elwi Danil, 2011, Korupsi (Konsep, tindak Pidana dan
Pembahasannya), PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal.3. sedangkan
Robert Klitgarrd, mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan
seseorang yang dilakukan secara tidak halal dengan meletakkan
kepentingan pribadinya diatas kepentingan rakyat serta cita-cita,
menurut sumpah akan dilayaninya, dengan ,menggunakan
instrument-intrument kebijakan atau prosedurprosedur sederhana,
baik disektor swasta maupun pemerintahan. Lihat dalam Robert
Klidgard, 2001, MembasmiKorupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
hal. xixProposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 47
pemerintahan Provinsi Sumbar juga masuk dalam monitoring, dimana
diwilayah itu tercatat sebanyak deapan kasus dugaan korupsi. Selain
Kota Bukittinggi, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok,
yang menduduki peringkat tiga teratas jumlah dugaan korupsi,
berikutnya diikuti oleh Kota Padang dan Kabupaten 50 Kota dengan 11
kasus, Kabuapaten Sijunjung serta Kabupaten Pasaman Barat 10 kasus,
Kabupaten Agam sembilan kasus, Kabupaten Dhamasraya delapan kasus.
Berikunya diikuti Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kabupaten Solok
Selatan, Kota Padangpanjang masingmasing enam kasus, Kota
Payakumbuh, Kota Sawahlunto lima kasus, Kabupaten Mentawai, Kota
Pariaman tiga kasus, serta yang terendah adalah Kota Solok dan
Kabupaten Pasaman dengan dua kasus. Total kasus dugaan korupsi di
Sumbar sendiri berdasarkan catatan LBH Padang pada tahun 2011 ini
telah mencapai 157 kasus, dan jumlah tersebut didata sejak tahun
2007.8
Melihat hal diatas sungguh ironis, karena korupsi akan menjadi
faktor penghambat pembangunan di segala bidang. Uang yang idealnya
digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan
ekonomi masyarakat, membayar gaji guru, dan sebagainya menjadi
terhambat karena anggaran telah dikorupsi oleh pejabat. Dampak
lain, korupsi juga memperbesar tindak pidana pencucian uang. Dampak
diataslah yang kita cemaskan bila
.
http://eksposnews.com/view/6/29476/Bukittinggi-Peringkat-Paling-Atas-Korupsi-diSumbar.html.
Diakses pada hari senen tanggal 30 Januari 2012. Jam. 13.00
WibProposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 5
8
kabupaten dan kota melakukan tindak pidana korupsi karena jumlah
uang di daerah jauh lebih kecil.9
Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu
utama, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil
korupsi (asset recovery). Amanat undang-undang itu bermakna,
pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan
maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan
yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari
tindak pidana korupsi. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka dapat
mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. Pada hakikatnya tindak
pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan
hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi-lah yang menjadi penyebab
timbulnya krisis ekonomi, merusak system hokum dan menghambat
jalannya pemerintahan yang demokritis. Dengan kata lain, korupsi
sudah menggoyakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, korupsi tidak digolongkan sebagai kejahatan biasa
tapi sudah merupakan kejahatan luar biasa.10 Bahkan sebagian
kalangan menilai bahwa saat ini tindak
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6140:tingkat
-persepsi-korupsi-kota-padang-relatif-buruk&catid=12:refleksi&Itemid=82.
Diakses tanggal 1Desember 2011 .Tim Task Force, 2008, Naskah
Akademis dan Rancangan Undang-undang Pengadilan Khusus Korupsi,
Konsorium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, hal 2Proposal
Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana
Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang,
Universitas Andalas (UNAND) 610
9
pidana itu telah berubah menjadi kelaziman 11 di dalam praktek
kehidupan bangsa ini. Bila berdasar pada konsep rasionalitas12 ini,
maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari
penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal13
secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan
pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah
dirumuskan terlebihdahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat
menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan
itu untuk menetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan
dilakukan. Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebutlah
sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula untuk
memberantasnya. Salah satu upaya luar biasa yang dimaksud adalah
dengan melakukan pembinaan yang serius di lembaga pemasyarakatan.
Dengan adanya pembinaan serius terhadap
. Hasril Hartanto, Proses Recruetment Hakim Pengadilan Khusus
Korupsi, Majalah Hukum dan Keadilan Teropong, MAPPI-FHUI, Jakarta,
hal. 24 12 . Rasionalitas: Kekuatan Memikir. Lihat juga dalam Tim
Prima Pena, 2006, Kamus ilmiah Populer, Surabaya, Gita Media Press,
hal. 400 13 . Kebijakan Kriminal adalah: Usaha-usaha rasional untuk
menanggulangi kejahatan, yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, dengan menggunakan konsepsi dengan
cara Penal dan juga kebijakan penanggulangan kejahatan yang
integral mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional
untuk menanggulangi kejahtan harus merupakan satu kesatuan yang
terpadu, ini berarti menanggulangi kejahatan dengan menggunakan
sanksi pidana atau dengan cara penal, yang nantinya juga
digabungkan dengan usaha-usaha lain yang bersifat non-penal.
Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas
sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan
nasional. Tujuan utama dari usaha-usaha nan penal ini adalh
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak
lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Menurut
Radzinowicz kebijakan kriminal harus mengkombinasikan
bermacam-macam kegiatan preventive itu dan mengaturnya sedemikian
rupa sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas dan
akhirnya menggkoordinasikan keseluruhnya itu kedalam suatu kegiatan
negara yang teratur .Lihat dalam Barda Nawawi Arief, 2010,
Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 34Proposal Penelitian
Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana
Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas
Andalas (UNAND) 7
11
narapidana
14
tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan maka
kedepannya diharapkan dapat memperbaiki narapidana agar tidak
lagi mengulangi perbuatannya dan tidak menularkan prilaku buruk
tersebut kepada orang lain. Sepanjang 2011, intensitas kasus
korupsi di Sumatra Barat meningkat hampir dua kali lipat dibanding
tahun 2010. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat, angka
korupsi sepanjang 2011 mencapai 157 kasus, pada 2010 hanya 84
kasus. Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan (PHP) LBH
Padang Roni Saputra kepada Media Indonesia, mengatakan, sepanjang
2011 ini hanya 64 kasus yang sudah divonis pengadilan. LBH Padang
juga menemukan 12 kasus yang baru ditangani secara khusus.15 Dengan
melihat peningkatan kasus korupsi di Sumatera Barat dari tahun
ketahun, hal ini tentu sangat menarik untuk melihat proses
pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, mengingat pembinaan terhadap
narapidana baik secara lansung maupun tidak lansung akan
berpengaruh terhadap penanggulangan kejahatan, khususnya terhadap
tindak pidana korupsi.
. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga pemesayarakatan. Lihat dalam Pasal 1 angka 7
Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 15
.http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/09/282437/126/101/-Korupsi-diSumbar-Mencapai-157-Kasus-Tahun-Ini.
Diakses pada hari Kamis, tanggal 1 Desember, Jam. 8.00 Wib
14
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 8
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai sub
system dalam peradilan pidana 16 yang mempunyai perangkat struktur
yang bekerja secara koheren, koordinatif dan integrative 17 agar
dapat mencapai effisiensi (penghematan) dan efektifitas
(ketepatgunaan) yang maksimal
sehingga nantinya mampu mengusahakan agar orang yang pernah
melakukan tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya 18 upaya
tersebut tentu saja dengan melakukan serangkaian pembinaan terhadap
orang yang pernah melakukan tindak pidana tersebut. Dalam tataran
ideal, pembinaan yang dilakukan di lembaga
pemasyarakatan tentu harus memperhatikan latar belakang
narapidana misalnya tingkat pendidkan dan pekerjaan yang
bersangkutan. Hal tersebut dibutuhkan dalam pembinaan agar hasil
yang dicapai maksimal. Khusus terhadap narapidana tindak pidana
korupsi, harus dipahami umumnya narapidana tersebut berlatar
belakang pendidikan yang tinggi dan memiliki jabatan yang strategis
(pejabat), tentu sangat tidak mungkin pembinaan terhadap narapidana
tindak pidana korupsi dipersamakan dengan narapidana lainnya
apabila lembaga pemasyarakatan hendak mencapai hasil yang maksimal
dalam16
. Muladi, 1998, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal, 21 17 .
Koheren adalah: Bersifat harmonis atau konsisten, atau melekat,
berhubungan dan bersangkut paut. Integrative (Integritas):
kesempurnaan kesatuan keterpadauan, ketulusan hati kejujuran, dan
tidak suap. Tim Prima pena, Op Cit hal. 253 . Marjono Reksodiporo,
1998, HAM dan Sitem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan
keadilan, sebagaimana dikutip oleh Shinta Agustina, Menuju Proses
Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu di
Indonesia (Kajian terhadap RUU dari Perspektif HAM), 2001, Makalah
dalam Diskusi Publik tentang membangun dukungan dari masyarakat
dalam proses Advocasi RUU KUHAP, Padang, hal, 1sProposal Penelitian
Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana
Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas
Andalas (UNAND) 918
melakukan pembinaan. Atas dasar latar belakang pemikiran itulah,
fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan
pengkajian dalam bentuk penelitian dengan judul : PELAKSAAN
PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KELAS II A PADANG. 1.2 RumusanMasalah Beranjak
dari hal di atas maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah pokok
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang? 2. Bagaimana Hambatan
yang ditemukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam
melaksanakan pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi?
3. Bagaimakah Upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam
mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak
Pidana Korupsi? 1.3 TujuanPenelitian Adapun tujuan yang ingin di
capai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk Mengungkapkan
Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang?
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
10
2. Untuk mengungkapkan Hambatan yang ditemukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam melaksanakan pembinaan
terhadap narapidana tindak pidana korupsi? 3. Untuk melihat Upaya
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam mengatasi Hambatan
pelaksanaan Pembinaan Terhadap
Narapidana Tindak Pidana Korupsi? 1.4 Manfaat Penelitian Adapun
manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah sebagai
berikut : 1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan dan pengetahuan
penulis tentang pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana korupsi
di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang, dalam mencapai tujuan
pemidanaan. 2. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan masukan atau manfaat bagi pihak-pihak, seperti penegak
hukum terutama petugas LAPAS dalam proses pemberian pembinaan
terhadap narapidana korupsi. 1.5 Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis Dalam penulisan penelitian ini adapun teori
yang digunakan adalah: A. Teori tentang Penegakan HukumProposal
Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana
Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang,
Universitas Andalas (UNAND)
11
Salah satu sebab kegagalan pemerintah memberantas korupsi adalah
karena tindakan-tindakan yang diambil tidak dilakukan secara
sistematis dan terfokus pada sektor tertentu. Ada dua sektor
penting yang harus ditangani secara serius yakni sektor perijinan
dan sektor penegakan hukum. Di Indonesia semua departemen, instansi
dan pemerintahan daerah memiliki peraturan dan jaringan perijinan
masing-masing, sehingga perijinan telah menjadi bagian dari hidup
kita dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta berusaha
atau berbisnis.19 Tindakan pemberantasan korupsi juga harus
difokuskan kepada sektor penegakan hukum, law enforcement harus
ditingkatkan. Berarti yang lebih utama bukan peraturan hukum yang
mesti dikuatkan hati nuraninya, ditebalkan imannya dan dibangkitkan
keberaniannya untuk memberantas korupsi. 20 Ada enam instansi atau
institusi yang terkait dengan penegakan hukum yakni, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, kementrian hukum dan hak asasi manusia,
mahkamah agung dan pengacara yang harus mempunyai komitmen,
semangat dan pemahaman yang sama dalam proses hukum terhadap tindak
pidana korupsi. Menurut Baharuddin Lopa mencegah kolusi dan korupsi
tidak begitu sulit, apabila setiap manusia secara sadar menempatkan
kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Sebab
. Frans Seda, Memberantas Korupsi didua Sektor Publik, Kompas,
hal. 7, edisi hari Senin tanggal 22 Desember 2003. 20 . Dyatmiko
Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi mencermati
Dinamikanya Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hal.
10.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
19
12
betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap
ada di hati yang memiliki peluang untuk melakuakan perbuatan tidak
terpuji tersebut, korupsi akan tetap terjadi dan faktor mentallah
yang paling menentukan.21 Dalam melakukan analisis atas perbuatan
korupsi dapat didasarkan pada tiga pendekatan berdasarkan alur
proses korupsi, yaitu: 22 1) Pendekatan pada posisi sebelum
perbuatan korupsi terjadi, 2) Pendekatan pada posisi perbuatan
korupsi terjadi, dan 3) Pendekatan pada posisi setelah perbuatan
korupsi terjadi. Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan
tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat,
yaitu strategi preventif, strategi detektif dan strategi
represif.23 Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkannya pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi.
Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu
dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan
korupsi, dengan dasar pemikiran ini banyak hal yang harus digunakan
sebagai asal dari strategi preventif dan melibatkan berbagai pihak.
Strategi detektif, harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan
diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi,
maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui21
dalam waktu yang sesingkat-
. Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,
Jakarta: Buku Kompas, hal. 2. 22 . Soedarjono, Strategi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi yang Komprehensif dan Terintegrasi,
Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan korupsi di Indonesia,
Jakarta 15 September 1997, hal. 2. 23 . Ibid, hal. 3.Proposal
Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana
Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang,
Universitas Andalas (UNAND)
13
singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat
ditindaklanjuti dengan cepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak
sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan
dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup memberikan sinyal apabila
terjadi suatu perbuatan korupsi. Strategi represif harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi
hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses
penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan disegala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Komisi
Pembernatasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan antara lain
kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, bahkan
penyidikan tanpa memerlukan ijin khusus. KPK berwenang mengambil
alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian dan
kejahatan terhadap perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak
hukum dan penyelenggaraan negara dan orang lain yang ada kaitannya
dengan perkara tersebut.24 Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5
tahun 1991, terjadi pergeseran posisi kedudukan kejaksaan Republik
Indonesia, tidak lagi sebagai alat negara penegak hukum, tetapi
oleh pasal 2 ayat (1) dinyatakan sebagai lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, meskipun di
dalam menjalankan fungsinya di bidang penuntutan24
. Dyatmiko Soemodihardjo, Op.Cit, hal. 7.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
14
tidak mengalami perubahan tetapi menyangkut penyidikan hanya
diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya terhadap
tindak pidana tertentu antara lain penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi melalui Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, ketika
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan, fungsi
penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi terjadi
pergeseran, tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan Republik
Indonesia.25 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah
ditarik suatu kesimpulan, bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut adalah:26 1) Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada
undang-undangnya saja. Undang-undang yang dimaksud adalah
undang-undang dalam arti materil, berarti peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum.. Chaerudin, dkk, Op.Cit, hal. 75-76 . Soerjono
Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 8.26 25
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
15
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan
eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga
merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia tentunya
akan menjadi objek untuk dianalisa dan dibandingkan terhadap kelima
faktor tersebut di atas. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan
Agung sebagai aparat penegak hukum juga akan terlihat upayanya
dalam meminimalisasi rintangan atau hambatan dari sudut pandang
kelima faktor ini. B. Teori pemidanaan Penempatan narapidana pada
LAPAS di Indonesia tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai
dalam pemidanaan. LAPAS melalui sistem
pemasyarakatannya adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum
pidana sehingga pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari konsep
umum pemidanaan. 27 Perdebatan mengenai tujuan pemidanaan ini telah
berlangsung sejak lama. Hal ini disebabkan karena perbedaan teori
dalam melihat tujuan pemidanaan tersebut. Dengan adanya perbedaan
pandangan tersebut melahirkan beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan yang dapat dijadikan acuan dan perbandinganDwidja
Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Rafika
Aditama, Bandung, 2006, hal. 103Proposal Penelitian Tesis, ANISA,
SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas
(UNAND)27
16
dalam memahami tujuan pemidanaan. Secara garis besar dapat
dikemukakan teori tentang pemidanaan sebagai berikut : a) Teori
absolut/ retributif
Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus
dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa pidana merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau
terjadinya kejahatan itu sendiri.28 Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa pidana adalah hal yang mutlak
diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. 29 Teori ini
menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak
pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang
diakibatkannya. Penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana
ini merupakan suatu hal yang memang sengaja ditimpakan karena
diyakini juga mempunyai manfaat yang berbeda-beda. 30 Namun, Andi
Hamzah lebih tegas menyatakan bahwa pidana secara mutlak ada,
karena dilakukan suatu kejahatan dan tidaklah perlu memikirkan
manfaat dijatuhkannya pidana tersebut. 31 Pendapat ini
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan
Pidana, Bandung : Alumni, hal.10-11. 29 Andi Hamzah, 1993, Sistem
Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita,
hal. 26. 30 JE.Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman
Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali, hal
201. 31 Andi Hamzah, Loc.CitProposal Penelitian Tesis, ANISA, SH.
Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
28
17
terkesan lebih tegas dari pernyataan sebelumnya karena
penjatuhan pidana itu terlepas dari manfaat yang akan
ditimbulkannya. Dari beberapa pandangan terhadap teori retributif
di atas terdapat dua pandangan yaitu, teori retributif murni dan
teori retributif tidak murni. Teori retributif murni beranggapan
bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan yang
diperbuat, sedangkan penganut paham retributif tidak murni
menyatakan harus ada batasan-batasan untuk menentukan sepadannya
pidana dengan kesalahan. b) Teori relatif/teori tujuan
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief pidana bukanlah untuk
sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini sering disebut
teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan
bukan quia peccatum est (karena membuat kejahatan) melainkan ne
peccetur (supaya jangan melakukan kejahatan). 32 Teori ini
mengutamakan terciptanya ketertiban masyarakat melalui tujuan untuk
membuat si pelaku tindak pidana tidak melakukan kejahatan lagi.
Teori relatif ini dalam hukum pidana dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu prevensi umum (generale preventie) dan prevensi khusus
(specialle preventie). Kedua bentuk ini mempunyai fokus perhatian
yang berbeda, namun pada dasarnya keduanya adalah saling
melengkapi. Sebagaimana dijelaskan32
. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
18
E.Utrech bahwa prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan
supaya orang pada umumnya tidak melanggar, sedangkan prevensi
khusus mempunyai tujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak
melanggar.33 Prevensi umum menekankan bahwa dengan melakukan
pemidanaan terhadap sipelaku, maka anggota masyarakat lainnya tidak
melakukan suatu kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya.
Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu
adalah terhadap pelaku itu sendiri. Pemidanaan terhadap sipelaku
adalah agar tidak diulanginya lagi kejahatan tersebut. Dalam hal
ini pidana itu mempunyai fungsi untuk mendidik dan memperbaiki
narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna,
sesuai dengan harkat dan martabatnya. c) Teori gabungan
Teori ini menurut Andi Hamzah bervariasi juga, ada yang menitik
beratkan kepada pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya
unsur pembalasan seimbang dengan unsur pencegahan. 34 Van Bemmelen
sebagai salah satu tokoh teori gabungan ini mengatakan bahwa pidana
bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan
bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi, pidana dan
tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana kedalam kehidupan masyarakat.35 Teori gabungan ini
mengkombinasikan dua tujuan pemidanaan
33 34
. Djisman Samosir, hal.12 . Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31. 35 .
Ibid, hal.32.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
19
yaitu pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku
dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyakat. Dari ketiga
teori pemidanaan tersebut terlihat bahwa pemikiran tentang tujuan
pemidanaan itu bergerak kearah yang lebih baik. Munculnya teori
absolut dengan sifat yang tegas terhadap perilaku jahat dirasa
sangat keras dan tidak memberi peluang terhadap tujuan lebih besar
yang ingin dicapai dalam menjatuhkan pidana. Sehingga melalui teori
relatif dimunculkan konsep tujuan yang ingin dicapai dari
pemidanaan. Kemudian disempurnakan lagi dengan munculnya teori
gabungan dengan menekankan tujuan pemidanaan yang seimbang.
Sehingga dengan teori ini akan terangkum semua tujuan yang ada pada
masing-masing teori sebelumnya. Muladi mengelompokkan teori-teori
tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu, teori
absolut (retributif), teori teleologis, dan teori retributif
teleologis.36 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang sehingga
teori ini berorientasi kepada unsur perbuatan dan terletak pada
telah dilakukannya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan
bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan sesuatu kejahatan. Sanksi ini merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan.36
. Muladi, 2004, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, : Penerbit
PT.Alumni, hal.49-
51.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
20
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi merupakan sarana
mencapai tujuan yang bermanfaat guna melindungi masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak
melakukan kejahatan, maka sanksi bukan bertujuan untuk pemuasan
absolut atas keadilan. Teori yang ketiga yaitu teori
retributif-teleologis yang memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural. Sifat plural dari teori tersebut terlihat karena
teori ini menggabungkan prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan
retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana
pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat
sebagai suatu kritik moral dalam menjawab suatu tindakan yang salah
dan menyimpang. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide
bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu perubahan perilaku
terpidana di kemudian hari. Teori retributif-teleologis
menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi
terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi
sekaligus. Pencegahan dan sekaligus rehabilitasi kesemuanya dilihat
sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana dalam
melakukan pemidanaan. Di Indonesia, mengenai teori yang menjadi
dasar sistem pemasyarakatan dapat dilihat melalui dua pendapat.
Pendapat tersebut yaitu, pendapat yang menyatakan bahwa teori yang
mendasari sistem pemasyarakatan adalah teoriProposal Penelitian
Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana
Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas
Andalas (UNAND)
21
relatif dan pendapat yang menyatakan bahwa teori yang mendasari
sistem pemasyarakatan adalah teori integratif. Pendapat mengenai
teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori relatif
atau tujuan disampaikan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa tidak
sulit untuk mengatakan, bahwa sistem itu termasuk teori yang
memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
bermanfaat, jadi jelas tidak dapat digolongkan kedalam teori
pembalasan37. Pendapat ini dapat dibenarkan karena pelaksanaan
sistem pemasyarakatan melalui pembinaan pada LAPAS tidak terlepas
dari maksud untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan. Sehingga
dengan maksud tersebut, maka diupayakan perlakuan-perlakuan yang
mengarah kepada tujuan yang akan dicapai. Pendapat berikutnya
disampaikan oleh Muladi yang menyebutkan bahwa di Indonesia tujuan
pemidanaan yang tepat diterapkan adalah teori integratif. Hal ini
dengan alasan bahwa pada saat ini masalah pemidanaan menjadi
permasalahan yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan perhatian
yang lebih banyak terhadap hak asasi manusia serta keinginan untuk
menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Sehingga
pilihan terhadap teori integratif ini menghendaki adanya pendekatan
multidimensi terhadap dampak pemidanaan.38
Pendapat ini menekankan kepada suatu
maksud bahwa didalam sistem pemasyarakatan tersebut tidak
semata-mata37
. Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4,
Bandung :Penerbit PT.Alumni, hal.99. 38 . Muladi, Ibid, hal.
53.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
22
mengutamakan tujuan yang akan dicapai dan melepaskan diri
sepenuhnya dari maksud pengimbalan atas perbuatan pelaku tindak
pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan penyempurnaan dari
sistem
kepenjaraan yang berangkat dari pemikiran perlunya perlakuan
yang lebih baik terhadap narapidana. Meskipun pada dasarnya
pelaksanaan sistem
pemasyarakatan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, namun unsur
pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh narapidana tetap
saja tidak dapat dipisahkan dalam pemikiran tujuan tersebut.
Pendapat yang disampaikan oleh Muladi tersebut lebih tepat dan
dapat diterima sebagai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan
di Indonesia. Dimana, teori integratif ini lebih jauh
mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana dari berbagai aspek
termasuk mengenai hak-hak asasi manusia. Didalam teori integratif
tersebut terkandung maksud pembalasan dan tujuan yang hendak
dicapai. Unsur teori retributif terlihat dengan adanya upaya untuk
mengekang kebebasan seseorang yang bersalah dalam jangka waktu
tertentu sebagai balasan atas perbuatannya. Pengekangan kebebasan
tersebut dilakukan pada LAPAS Tertutup atau RUTAN dengan sistem
maksimum security. Namun, pengekangan kebebasan tersebut tidak
semata-mata hanya sebagai bentuk pembalasan terhadap perbuatan
narapidana tetapi hal tersebut diselenggarakan untuk mencapai
tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah satu unsur teori
relatif. Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori
integratif, hanya saja unsur-unsur teori yang lebih lebih dominan
munculProposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
23
didalam penerapannya akan tergantung kepada tahap-tahap
pembinaan yang dilaksanakan pada sistem pemasyarakatan. C. Teori
Sistem Pemasyarakatan Teori ini dikemukakan oleh Saharjo tentang
hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap
narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana
penjara. 39 Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan
oleh keputusan Konferensi Dinas Para Pemimpin Kepenjaraan pada
ktanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana
penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu
pernyataan di samping sebagai arah dan tujuan, pidana penjara dapat
juga menjadi cara untuk membimbing dan membina. Amanat Presiden RI
dalam Konferensi Dinas menyampaikan arti penting terhadap
pembaharuan pidana penjara di Indonesia. Yaitu mengubah nama
kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini
amanat Presiden tersebut, disusunlah suatu petrnyataan tentang hari
lahir
pemasyarakatan RI pada hari senin tanggal 27 April 1964 dan
Piagam Pemasyarakatan Indonesia.40
39
. Riza Kestra Pernata,2004, Pelaksanaan Pola Binaan melalui
Konsep LABOR EDUCATION Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan kelas II A Padang, Universitas Andalas, hal. 15 40 .
Dwidja Priyatno, Op Cit, hal 97-98Proposal Penelitian Tesis, ANISA,
SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas
(UNAND)
24
Di dalam teori sistem pemasyarakatan yang dikemukakan oleh
Saharjo tersebut memuat prinsip-prinsip untuk bimbingan dan
pembinaan.41 1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan
bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna bagi masyarakat 2)
Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara 3)
Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa mealainkan dengan
membimbing 4) Negara tidak berhak membuat seorang narapidana
menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk
lembaga 5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus
dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat 6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tiak boleh
bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan
lembaga dan negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan
untuk kemajuan negara 7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan
Pancasila 8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan
kepada narapidana bahwa itu penjahat 9) Narapidana itu hanya
dijatuhi pidana hilang kemerdekaan 10) Sarana pisik bangunan
lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan system
pemasyarakatan.
41
. Ibid, hal. 98
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
25
D. Teori Tentang Tujuan atau Doelthheorieen Teori tentang tujuan
atau doelthheorieen adalh teori yang berusaha mencari dasar
pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan
tetentu, dimana tujuan tersebut dapat berupa:42 1) Teori pencegahan
umum atau Algemenee Preventive Theorieen, yang ingin mencapai
tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap
orang agar mereka itu tidak melakukan kejahtan-kejahatan. 2) Teori
pencegahan khusus atau Bijzondere Preventive Theorieen, yang ingin
mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan
memepertbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri menjadi
tidak mampu untuk melakukan kejahtan lagi. 2. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari kerancuan didalam memahami pengertian judul yang
dikemukakan, maka perlu adanya definisi dan beberapa konsep. Konsep
yang penulis maksud tersebut antara lain : 1) Pelaksanaan
Pelaksanaan berasal dari kata dasar laksana jika digunakan sebagai
kata sifat, maka mempunyai arti perbuatan. Kemudian awalan pe
dan
. P.A.F. Lumintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27Proposal Penelitian Tesis,
ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas
(UNAND)
42
26
akhiran an yang melekat pada kata dasar laksana menjadi kata
kerja yang berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan.43 2)
Pembinaan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada Pasal 1
angka 1 menyebutkan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan
rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 3) Narapidana
Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Narapidana adalah seseorang
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 4)
Tindak pidana korupsi Dalam bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. KBBI Dalam Jaringan,
http://pusatbahasa.diknas.go.id, Diakses pada Tanggal 11 Februari
2011.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)43
27
5) Lembaga Pemasyarakatan Adapun pengertian Lembaga
Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan.44 1.6 Metode Penelitian
A. Tipe dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris), yaitu suatu
penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder
sebagai data awalnya kemudian dilanjutkan dengan data primer atau
data lapangan.45 Penelitian ini mengkaji Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang dengan pendekatan kasus, yakni pendekatan yang dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap.46
. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Lembaran Negara R.I Tahun 1995 Nomor 77, Pasal 1 ayat 3 45 .
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 133 46 . Di dalam
penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain :
Pertama, pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang
den regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yng sedang
ditangani, pendekatan ini untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian
antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya; Kedua,
pendekatan historis ialah pendekatan pendekatan yang dilakukan
dengan cara menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi,; Ketiga,
pendekatan komperatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari
satu atau lebih negara lain menegnai hal yang sama; Keempat, adalah
pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum, guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevanProposal
Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana
Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang,
Universitas Andalas (UNAND)
44
28
B. Sumber Data dan jenis Data Data yang diperlukan dalam
penelitian ini berasal dari: 1. Penelitian kepustakaan (library
research). Di dalam penelitian kepustakaan data yang diperoleh
adalah data sekunder yakni data yang sudah terolah atau tersusun.
Data sekunder mencakup dokumendokumen resmi, hasil-hasil penelitian
yang berwujub laporan dan bukubuku yang relevan dengan
penelitian.47 Data sekunder ini diperoleh dari: a) Bahan hukum
Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat yaitu berupa peraturan
perundang-undangan seperti : 48 Undang-udang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 Peraturan perundang-undangan yang terkait
diantaranya, Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukm Acara
Pidana, Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
dengan isu hukum yang dihadapi; Kelima adalah pendekatan kasus,
Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana
Prada Media Grup, Jakarta, hal. 94-95 47 . Soejono Soekanto, 2006,
Pengantar Penelitian Hukum, penerbit Universitas indonesia,
Jakarta, hal. 12 48 . Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian
Hukum Edisi II, Ed.1 Cet.5, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal.
116-117.Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
29
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terkait dengan
penelitian yang dialkukan, diantaranya adalah:49 Rancangan
Undang-undang Hasil Penelitaian Hukum sebelumnya Teori-teori hukum
dan pendapat-pendapat sarjana melalui literatur yang dipakai Dan
juga bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum
primer dan sekunder, minsalnya kamus hukum Seosilo Prajogo,
Ensiklopedia dan sebgainya.50 2. Penelitian Lapangan ( field
research). Penelitian dilakukan di Lapangan guna mendapatkan data
primer. Penelitian dilakukan lansung pada Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Padang. Jenis data berupa: a. Data Primer. Data yang
diperoleh lansung dari pimpinan Lembaga Pemasryarakatan Kelas II A
Padang dan Narapidana tindak pidana korupsi.
49 50
. Ibid hal. 116-117. . Ibid.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
30
b. Data sekunder. Data ini mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.
C. Populasi dan Sampel Polpulasi merupakan himpunan variabel yang
dijadikan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang akan menjadi
populasi adalah narapidana tindak pidana korupsi dan pimpinan LAPAS
Kelas II A padang. Sedangkan sampel dalam penelitian nanti adalah
10 narapidana tindak pidana korupsi dan 5 pimpinan LAPAS Kelas II A
Padang, yang terdiri dari 1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (1
orang) 2. Kepala bagian pembinaan (1 orang) 3. Petugas teknis
bagian pembinaan ( 3 Orang) Penetapan sampel berdasarkan pada
pengmbilan data melalui purposive sampling yaitu peneliti sendiri
yang akan menentukan subjek yang akan di wawancara. Subjek akan
diwawancara adalah orang-orang yang dianggap relevan untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini
wawancara dilakukan dengn cara terstruktur dan menggunakan pedoman
wawancara.51
. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, wawancara pada umumnya
dibagi dalam dua golongan yaitu: Pertama, wawancara berencana,
yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan
yang telah disusun sebelumnya; Kedua, wawancara tak berencana yaitu
suatu wawancara yang tidak disertai dengan suatu daftar pertanyaan,
wawancara ini dibagi lagi menjadi wawancara berstruktur yaitu
wawancara walaupun tidak berencana, tapi memiliki struktur yang
rumit seperti wawancara untuk mengumpulkan data pangalaman
seseorang. Jenis wawancara selanjutnya adalah wawancara tak
berstruktur, yang kemudian dibagi lagi menjadi dua yakni wawancara
terfokus yaitu wawancara yang tidak mempunyai struktur tertentu,
tetapi selalu terpusat pada pokok permasalahan tertentu, dan
wawancara bebas yakni wawancara yangProposal Penelitian Tesis,
ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas
(UNAND)
51
31
D. Jenis-jenis Alat Pengumpulan Data Jenis-jenis alat
pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Studi Dokumen Studi
dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang
terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
setiap bahan hukum itu harus diperiksa ulang validitasnya
(keabsahan berlakunya) dan reliabilitasnya (hal atau keadaan yang
dapat dipercaya), sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu
penelitian. 2. Wawancara Wawancara adalah situasi peran antara
pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni
pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk
memperoleh jawabanjawaban yang relevan dengan masalah penelitian
kepada
seseorang.52 E. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan
data dilapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisis, 53 dalam
penelitian ini setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh,
makatidak terpusat artinya pertanyaan yang diajukan tidak terpusat
pada suatu permasalahan pokok, pertanyaannya dapat beralih-alaih
dari suatu pokok permasalahan ke pokok permasalahan lainnya. Lihat
dalam Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 84-85. 52 . Ibid 53
. Bambang Waluyo, 1999, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 72Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH.
Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
32
peneliti melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan
cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap
catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulakn oleh pencari
data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu reliabilitas data
yang hendak dianalisis.54 2. Analisa Data Analisa data sebagai
tindak lanjut proses pengolahan data, untuk dapat memecahkan dan
menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan hukum yang
diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum.
Setelah didapatkan data-data yang diperlukan, maka peneliti
melakukan analisis kualitatif, 55 yakni dengan melakukan penilaian
terhadap data-data yang didapatkan dilapangan denga bantuan
literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian,
kemudian ditarik kesimpulan nyang dijabarkan dalam penulisan
deskriptif. F. Lokasi Penelitian Penelitian lapangan penulis
lakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang. Provinsi
Sumatera Barat. G. Sistematika Penulisan Sebelumnya telah
dikemukakan mengenai latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, ruang lingkup penulisan serta metode54 55
. Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 168-169 . Bambang
Waluyo, Op Cit, hal. 77
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
33
penelitian untuk menjelaskan arah penulisan ini. Dengan demikian
perlu kiranya dikemukakan sistematika penulisan secara keseluruhan.
Adapun sistematika penulisan ini adalah : Bab I. Pendahuluan, pada
bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritis
dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab
II. Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan
umum tentang pidana penjara dalam lintas sejarah, sistem
pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana, Bab III.
Pembahasan, dalam bab ini penulis akan membahas tentang pelaksanaan
pembinaan narapidana tindak pidana korupsi, di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Padang, kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, dan upaya yang dilakukan
oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam mengatasi
kendala tersebut. Bab IV. Penutup, pada bab terakhir ini memuat
kesimpulan dan saran.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
34
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
35
LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN Nama Jurusan Universitas Judul
Korupsi : Anisa. SH : Ilmu Hukum (Pidana) : UNAND : Pelaksanaan
Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang NB: Judul Penelitian
sekarang merupakan hasil dari 3 kali perobakan judul sebelumnya,
adapun judul sebelumnya adalah: 1. Penerapan Prinsip Miranda
Warning dan Miranda rules, Terhadap Pemeriksaan tersangka oleh
Penyidik Di Bandingkan dengan Prinsip Pretumtion Of Innoncent.
Tinjauan Yuridis terhadap Pemberian Grasi Terhadap terpidana
Korupsi (Studi Khasus di Pengadilan Negeri Kelas I A padang).
Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di
Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang
2.
3.
Adapun Kendala yang dihadapi Peneliti, sehingga menyebabkan
perobahan judul adalah: 1. 1. Untuk judul pertama. Peneliti
mengalami kesulitan dalam menemukan literatur yang membahas tetang
judul tersebut diatas Hal yang berkaitan dengan Judul tersebut
diatas, sebelumnya belum pernah di tulis oleh pihak lain Belum ada
undang-undang tertulis yang mengatur tentang Miranda rule dan
Miranda warning yang menjadi tema utama dalam penelitiann ini
Setelah di lakukan Pra penelitian, ternyata ditemukan minimnya
pengetahuan aparat penegak hukum tentang keberadaan prinsip
2.
3.
4.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
36
miranda warning dan miranda rule, hal ini menimbulkan penulis
dalam melakukan penelitian. 5. Komisi pembimbing menyarankan
peneliti untuk melakukan reseach di Luar Negeri, tepatnya di
negara-negara yang memakai prinsip miranda rule dan miranda warning
contohnya Amerika. Waktu peneliti tidak memungkinkan ntuk melakukan
penelitian ke negara tersebut, mengingat kontrak yang study yang
harus di slesaikan dalam jangka 1 tahun ke depan, dan juga kendala
akomodasi dan kemammpuan peneliti sendiri.
6. 1.
Untuk Judul Kedua Kesulitan Penulis untuk masuk ke Institusi
yang bersangkutan dengan judul tersebut diatas, untuk pengambilan
data. Ex. Di Lapas Cipinang dan Mahkahmah Agung. Berkaitan dengan
data-data narapidana tindak pidana korupsi yang mendapatkan grasi,
dan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung terkait
pemberian putusan Grasi tersebut. Untuk judul ketiga Untuk judul
ketiga ini masih dalam proses, sebelumnya Peneliti sendiri telah
melakukan beberapa kali pra penelitian, dengan mengunjungi beberapa
Lapas lapas yang ada di Sumatera Barat, seperti, Lapas Padang,
Bukitinggi, Payakumbuh, dan Rutan Batusangkar.
2.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
37