-
PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG
DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG
TAHUN 2013
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah
(S.Sy)
Oleh:
ROHMAD HERI TRICAHYO
NIM : 109044100035
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/ 2014 M
-
iii
-
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk
memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di
Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil
asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
-
v
ABSTRAK
ROHMAD HERI TRI CAHYO. 109044100035. Pelaksanaan Pembayaran
Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang.
Peradilan
Agama. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum.
Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. xi+ 98+ 80.
Pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka
bekas suami
wajib: a) Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya,
baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; b)
Memberi nafkah, maskan
dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas
istri telah dijatuhi
talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Banyak
suami yang pergi
begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah
tersebut akibatnya
putusan menjadi sia-sia. Pengadilan Agama sebagai lembaga yang
berwenang dalam
menentukan pembayaran nafkah iddah harus memberikan upaya dalam
menjamin
pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan
pengadilan tersebut
agar putusan yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian,
kemanfaatan dan keadilan
bagi pihak-pihak yang berperkara
Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menjelaskan apa
pertimbangan
hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Cikarang dalam
memutuskan perkara nafkah iddah. Kemudian untuk menjelaskan
bagaimana
pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk
terlaksananya
pembayaran nafkah iddah.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode
deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian
lapangan. Sumber data
untuk mendeskripsikan masalah utama adalah umber data primer
(penelitian
lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik
pengumpulan data
dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode
analisis yang
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan Atas permasalahan yang
dibahas adalah
melalui Pendekatan kualitatif.
Nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang
suami
kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi
kebutuhannya, baik itu
berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Dasar hukum dalam
penetapan
nafkah iddah menggunakan pasal 149 (b) KHI, kemudian jumlah
nafkah yang
dikabulkan berdasarkan permintaan isteri dan kesanggupan pihak
suami. Pelaksanaan
putusan nafkah iddah dialakukan pada saat sidang ikrar talak.
Upaya yang dilakukan
Pengadilan Agama Cikarang dengan cara pendekatan persuasif dan
diambil
kesepakatan antara pihak yang berperkara.
Kata kunci : Perceraian, Putusan, Iddah, Nafkah,
Pelaksanaan.
Pembimbing : Dr. Asmawi, MA
DaftarPustaka : Tahun 1969 s.d Tahun 2014
-
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan
Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat,
Muhammad Rasulullah
Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai
suri tauladan yang
baik bagi kita semua.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi
ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis,
juga dengan penuh
kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul
“PELAKSANAAN
PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG DIAKIBATKAN PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013” tidak akan selesai
tanpa
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril
maupun materil.
Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal
hingga akhir, tidak
ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik
keberhasilan selalu ada
lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan
serta doa. Maka dalam
kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, M.A. selaku dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana,
MA., selaku ketua dan
sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
-
vii
3. Bapak Dr. Asmawi, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah sabar
membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada
penulis
sehingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Ketua, hakim, panitera, pegawai serta staf Pengadilan Agama
Cikarang, terima
kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data
yang penulis
perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan
Perpustakaan Utama
UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu
dalam mendapatkan
buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi
ini.
6. Ibu Dewi Sukarti, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis
selama kuliah
di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program
Studi Ahwal as-
Syakhsiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat
penulis sebutkan
satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis.
8. Ayahanda tercinta Heri Santoso dan Ibunda tercinta Sulastri,
terima kasih atas
segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun
materil, sujud
abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini
“Allahummagfirlii
Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”. Kepada
adikku Rizal
Aji Kurniawan kalian adalah motivasi dan inspirasiku.
9. Teman-teman seperjuangan PA (A/B) dan AKI angkatan 2009
terimakasih atas
kebersamaannya, selama kita empat tahun kita saling mengenal dan
menjalin
persahabatan bahkan persaudaraan.
10. Seluruh sahabat karibku terimakasih atas kebaikan, dukungan
dan semangat kalian,
semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita
tidak bersama
lagi.
11. Especially Khusushan kepada seseorang yang telah banyak
membantu dan
memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat
terselesaikannya penulisan
skripsi ini.
-
viii
Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah
diberikan, penulis
hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan
yang telah
diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat
kepada
semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan
menjadi
penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada
masa-masa
berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkembang
dengan pesat pada era globalisasi ini.
Jakarta, 12 Mei 2014
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
........................................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN
........................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN
.............................................................................................
iv
ABSTRAK
........................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR
......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI
.....................................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
..............................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah
...................................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
....................................................................
7
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu
....................................................................
8
E. Metode Penelitian
........................................................................................
9
F. Sistematika Penulisan
..................................................................................
13
BAB II NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nafkah dan Iddah
......................................................................
14
B. Dasar Hukum Memberi Nafkah
...................................................................
20
C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah
........................................................ 26
D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian
.................................................................
28
-
x
BAB III PENGADILAN AGAMA CIKARANG
A. Profil Pengadilan Agama Cikarang
.............................................................
35
B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang
................................ 40
C. Perkara Yang Diterima dan diputus Pengadilan Agama Cikarang
2013 .... 44
BAB IV PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013
A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah
.................... 45
B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah
Iddah ...... 61
C. Pelaksanaan Putusan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Cikarang
.......... 80
D. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya
Pembayaran
NafkahIddah..................................................................................................
81
E. Analisis Hukum Pelaksanaan Putusan dan Upaya Pengadilan
Agama
Cikarang Untuk Terlaksananya Pembayaran Nafkah
Iddah....................... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................................
93
B. Saran
............................................................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................................................
95
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Bukti Wawancara
2. Hasil Wawancara
3. Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr
4. Putusan Nomor: 0510/Pdt.G/2013/PA.Ckr
-
xi
5. Putusan Nomor : 0633/Pdt.G/2013/PA.Ckr
6. Putusan Nomor: 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari
ketentuan-ketentuan
Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan
bersifat
umum, menyeluruh, dan berlaku tanpa terkecuali, baik bagi
manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.1
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral
dan
mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan
sebuah
pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang
bertengger
dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan
sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi
cinta dan kasih
sayang.2
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal
berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah
perkawinan
1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1995), cet. I, h. 41.
2 Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan,
(Yogyakarta: Darussalam,
2004), cet. I, h. 19.
-
2
adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu
dihiasi
mawaddah dan rahmah.
Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan menurut Undang-Undang
No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga
bahagia dan
kekal, masing-masing suami istri saling membantu dan melengkapi
agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai
kesejahteraan spritual dan material.3
Memang tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh,
hal
tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam
perkawinan, yaitu
suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sehingga
menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga.
Percekcokan
dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan
biasanya akan
berakhir dengan jalan perceraian.
Tentu tidak bisa dikatakan salah satu tujuan pokok dalam
hubungan
keluarga itu adalah ketenangan, ketentraman, dan komunitas
(keberlangsungan).
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri jika dalam keadaan tertentu
terdapat hal-hal
yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila
hubungan
perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi.
Dalam hal ini
islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir
dari usaha
3 A. Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h.
268.
-
3
melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu
adalah sebagai
suatu jalan keluar yang baik.
Seandainya terjadi perceraian maka bukan berarti
persoalan-persoalan
rumah tangga akan berakhir begitu saja, justru dengan adanya
perceraian maka
akan timbul berbagai masalah yang akan diselesaikan oleh suami
istri, selain
permasalahan hak asuh anak, nafkah anak, harta bersama, juga
akan yang tak
kalah rumitnya adalah permasalahan nafkah istri dalam masa iddah
beserta
pengurusannya.
Menurut hukum perkawinan di Indonesia, Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (pasal 41 UU No.1
Th.1974).
Ketentuan di atas dimaksudkan agar bekas istri yang telah
diceraikan suaminya,
jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya
sendiri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi perceraian, maka
mantan suami masih mempunyai kewajiban terhadap mantan istri,
sebagaimana
yang telah diatur pada pasal 149, Bilamana perkawinan putus
karena cerai talak
maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul;
-
4
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba`in atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak
hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh
apabila qobla al-
dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21
tahun.
Ketika sebuah perkara permohonan cerai talak dikabulkan dan
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan
Agama
dapat mengadakan sidang penyaksian ikrar talak, sejak itulah
perceraian terjadi
dan ikatan perkawinan antara suami istri menjadi putus.
Dalam praktek, ketika Pengadilan Agama menggelar sidang
penyaksian ikrar talak untuk memberi kesempatan kepada
Pemohon
mengikrarkan talaknya kepada Termohon sebagaimana isi amar
putusan,
Termohon menyatakan dirinya siap untuk menerima talak dari
Pemohon dan
sekaligus meminta kepada Pemohon agar setelah ikrar talak
diucapkan, Pemohon
segera pula menyerahkan kepadanya semua yang menjadi haknya
sebagaimana
dinyatakan dalam amar putusan yaitu nafkah iddah, namun sering
sekali
keinginan Termohon tersebut tidak bisa dipenuhi karena Pemohon
dengan
berbagai alasan menyatakan dirinya belum siap memenuhi perintah
putusan
tersebut.
-
5
Tapi secara realita justru dengan ditundanya ikrar talak karena
ada
kewajiban suami yang harus dibayar lebih dulu, kaum wanita
sangat dirugikan,
banyak pembacaan ikrar talak tidak bisa dijalankan karena
menunggu suami
membayar nafkah iddah yang ditetapkan oleh Hakim.
Apabila Pemohon beritikad buruk, meskipun ia mampu membayar
sesuai dengan isi putusan, akan tetapi ia tidak mau membayar,
sehingga putusan
hakim banyak yang tidak dilaksanakan, pada akhirnya
putusan-putusan seperti
itu dianggap sebagai putusan yang tidak berguna. Banyak suami
yang pergi
begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah
tersebut
akibatnya putusan menjadi sia-sia.
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam
menentukan pembayaran nafkah iddah yang menjadi hak seorang
isteri yang
dicerai harus memberikan upaya dalam menjamin pelaksanaan
pembayaran
nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut agar
putusan yang
dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan
bagi pihak-
pihak yang berperkara. Dari latar belakang tersebut di atas,
maka penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut dan membuatnya dalam bentuk skripsi
yang berjudul:
“PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG
DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG
TAHUN 2013”
-
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Kewajiban suami pasca perceraian dalam pasal 149 KHI banyak
sekali
cakupan dan pembahasannya, agar pembahasan ini tidak melebar
dan
memperjelas pokok pembahasan dalam penelitian serta mengingat
keterbatasan
ruang lingkup objek penelitian, maka pembahasan akan difokuskan
pada :
a. Nafkah iddah yang dibahas dalam skripsi ini dibatasi pada
kewajiban suami
memberi nafkah kepada mantan isterinya yang dicerai talak.
b. Pengadilan agama dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah
iddah isteri
dalam perkara cerai talak khususnya di Pengadilan Agama
Cikarang, pada tahun
2013.
2. Rumusan Masalah
Pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam apabila perkawinan
putus
karena talak maka bekas suami wajib memberikan nafkah selama
masa iddah
kepada mantan isterinya. Tetapi dalam kenyataannya, apabila
suami beritikat
buruk tidak mau membayar nafkah iddah sesuai dengan isi putusan
dan istri tidak
dapat menuntut haknya ketika suami sudah tidak diketahui lagi
dimana
keberadaanya. Sebab dengan berakhirnya proses persidangan, maka
suami
terlepas dari istri, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang
dapat menjamin hak
istri. Dengan adanya kekhawatiran seperti itulah Pengadilan
Agama sebagai
lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah
yang
-
7
menjadi hak seorang isteri yang dicerai harus memberikan upaya
untuk
menjamin terlaksananya pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan
putusan
pengadilan agama cikarang tersebut. Agar putusan yang
dikeluarkan memenuhi
asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang
berperkara.
Sesuai masalah tersebut diatas, maka penulis rinci dengan
bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
Pengadilan
Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah ?
2. Bagaimana pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama
Cikarang untuk
terlaksananya pembayaran nafkah iddah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
yang
ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk menjelaskan pertimbangan hukum yang digunakan oleh
Majelis Hakim
Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah
iddah.
2. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan
Agama Cikarang
untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah.
Sedangkan manfaat penelitian ini :
1. Secara akademik dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan
serta
mengkaji UU dan fikih dalam pelaksanaan pembayaran nafkah iddah
di
Pengadilan Agama Cikarang.
-
8
2. Secara praktis dapat menghasilkan informasi sebagai rujukan
dalam memahami
bagaimana pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan
putusan
Pengadilan Agama Cikarang.
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara
khusus
membahas judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas
Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ilmiah ini,
penulis
menemukan data yang berhubungan dengan bahasan “Pelaksanaan
Pembayaran
Nafkah Iddah Yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang
Tahun
2013”, di antaranya:
1. Abrokhul Isnaini, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
2012, Judul
Skripsi: Jaminan Pelaksanaan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
Pada skripsi ini hanya membahas tentang dasar hukum dalam
pelaksanaan
kewajiban nafkah iddah dan langkah langkah menjamin nafkah iddah
di
Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sedangkan pada skripsi ini
penulis juga
membahas bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Cikarang
dalam
memutuskan perkara nafkah iddah dan bagaimana upaya Pengadilan
Agama
Cikarang agar terlaksananya pembayaran nafkah iddah.
2. Nurul Huda Binti Abdul Razak, Nafkah Masa Iddah Menurut
Prespektif Fikih
dan Implementasinya dalam Enakmen Keluarga Islam (studi pada
Mahkamah
rendah syariah perak Malaysia), 2009. Perbedaan dengan yang
dibahas oleh
penulis sangat berbeda karena penulis skripsi ini hanya membahas
mengenai
-
9
nafkah masa iddah menurut prespektif fikih dan implementasinya
dalam undang-
undang di perak Malaysia.
E. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar
mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan
metode
penelitian ilmiah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan jenis
penelitian
lapangan (field research), studi pustaka (library research) dan
menggunakan
gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis
empiris.
Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hanya
merupakan studi
dokumen.4 dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian
kenyataan lapangan
yang bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang
didambakan atau yang
diharapkan yang bersifat das sollen.5 Dalam penelitian ini yang
akan dicari
perihal pelaksanaan pembayaran nafkah iddah di Pengadilan Agama
dengan
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku.
4 Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA
Bersaudara, 2010, cet. Pertama),
h. 155.
5 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta:
Penerbit Universitas Atma
Jaya, 2007), h. 29.
-
10
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang
memusatkan perhatian kepada prinsip-prinsip umum yang mendasar
perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, yaitu
deskripsi berupa
kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari kasus
yang diteliti,
oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai Pelaksanaan
pembayaran
nafkah iddah yang diakibatkan putusan di Pengadilan Agama
Cikarang.
Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam
penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu penelitian lapangan yang
menggambarkan data dan
informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara
umum dan
mendalam. Kemudian, studi kasus penelitian yang pada umumnya
bertujuan
untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok,
institusi atau
masyarakat tertentu tentang latar belakang, kondisi,
faktor-faktor atau interaksi-
interaksi sosial yang ada didalamnya.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang
berkaitan dengan
masalah yang akan dijelaskan untuk dijadikan landasan teoritis
bagi penelitian
yang akan dilakukan.6
1) Sumber Primer
6 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta:
Granit, 2010, edisi ketiga), h. 57.
-
11
Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan disajikan
oleh
peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang memuat
informasi atau data
tersebut.7 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50
Tahun
2009, Kompilasi Hukum Islam, putusan Pengadilan Agama
Cikarang,
Ketua/Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para Hakim dan Panitera
serta para
pihak yang terkait dengan masalah ini.
2) Sumber Sekunder
Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama atau
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.8 Data
sekunder dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan, buku-buku, artikel
ilmiah, arsip-arsip
yang mendukung atau dokumen-dokumen data perceraian yang ada
di
Pengadilan Agama Cikarang yang berisikan informasi tentang data
primer,
terutama bahan pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan
mengikatnya dan
meliputi literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas.
7 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1995), h.
132.
8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), h.
195.
-
12
b. Wawancara (Interview)
Dengan mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama
Cikarang,
penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research),
yang bertujuan
untuk memperoleh kejelasan dan kesesuaian antara teori dan
praktek yang terjadi
di lapangan mengenai tinjauan terhadap pelaksanaan putusan
tentang nafkah
iddah di Pengadilan Agama Cikaranag.
Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan
data
dengan atau melalui wawancara, dimana dua orang atau lebih
secara fisik
langsung berhadap-hadapan yang satu dapat melihat muka yang lain
dan masing-
masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan
lancar.9
4. Tekhnik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu setelah data
terkumpul, kemudian
dipilah-pilah dan dianalisa dengan menggunakan analisis
deduktif. Analisis
kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisis,
yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis serta
lisan yang nyata
diteliti sebagai sesuatu yang utuh.10
Metode deskriptif analisis ini akan digunakan
untuk melakukan analisis terhadap wawancara hakim dan putusan
Pengadilan
9 Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI,
Metode Peneletian Sosial
(Terapan dan Kebijaksanaan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah RI,
2000), h. 39.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI
Press, 1984), h. 13.
-
13
Agama Cikarang. Selain itu metode ini akan digunakan ketika
menggambarkan
kasus yang ada dalam putusan tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari
sub-sub bab
sebagai berikut:
Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang
masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan penelitian
terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, dalam bab ini memuat pengertian nafkah iddah,
dasar
hukum nafkah iddah, syarat-syarat istri menerima nafkah, nafkah
istri setelah
perceraian.
Bab ketiga, dalam bab ini membahas Profil Pengadilan Agama
Cikarang, Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang,
Perkara Yang
Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013.
Bab keempat, dalam bab ini berisi putusan Pengadilan Agama
Cikarang tentang nafkah iddah, analisa putusan Pengadilan Agama
Cikarang
tentang nafkah iddah, pelaksanaan putusan nafkah iddah di
Pengadilan Agama
Cikarang, upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya
pembayaran
nafkah iddah dan analisis penulis.
Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk
kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.
-
14
BAB II
NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nafkah dan Iddah
Nafkah secara etimologi berasal dari kata ( النفقة ) yang
berarti
“belanja”, kebutuhan pokok” dan juga berarti biaya ataupun
pengeluaran uang,11
Dalam madzahib al arba‟ah disebutkan النفقة في اللغة االخراج
yaitu
pengeluaran.12
Sekilas bisa dipahami kalau nafkah tentu berkaitan dengan
kebutuhan hidup sehari-hari bagi manusia. Sementara dalam kamus
Bahasa
Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup (uang)
pendapatan.13
Kata nafkah
adalah bentuk masdar dari kata nafaqa yang berati harta yang
dinafkahkan. Bila
kata nafkah dihubungkan dengan pernikahan mengandung arti:
“pemberian yang
wajib dilakukan oleh suami terhadap isterinya dalam masa
penikahan”.14
Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan
yang
berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman,
pakaian,
11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, Cet-1, (Yogyakarta:
upbk. PP. al-Munawir,
1987) h. 1548.
12 Al Juzairi, Fiqih Ala Madzahib Al Arba‟ah Juz IV. (Beirut:
Darul Kutub Al Ilmiyah, 1990), h.
485.
13
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 679.
14 Amir Syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara
Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.
165.
14
-
15
rumah dan lain-lain.15
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya
dalam bentuk materi, karena kata nafaqa itu sendiri berkonotasi
materi.
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan
hajat seksual
istri tidak termasuk dalam artian nafakah, meskipun dilakukan
suami terhadap
isterinya.16
Menurut Sayyid Sabiq tidak hanya hal-hal yang dapat memenuhi
kebutuhan isteri yang bersifat primer akan tetapi juga sekunder
sekalipun sang
isteri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.17
Secara terminologi, Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh
as-Sunnah
menyebutkan nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk
mendapatkan
makanan, pakaian dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok
lainnya dan
pengobatan, bahkan sekalipun seorang isteri itu adalah wanita
yang kaya.18
Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid nafkah yaitu semua hajat
dan
keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya, sehingga
tidak dibatasi
apakah mesti pokok, tidak pokok, ataupun kebutuhan pelengkap,
sebab
kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas
pada kebutuhan
pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan
kewajiban
nafkah kebutuhan pokonya sudah terpenuhi, tetap terkena
kewajiban memenuhi
15
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,
2001), h. 383.
16
Amir syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara
Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, h. 165.
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT Al Maarif,
1980), h. 147.
18
Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, (Beirut: Dar- al Fikr, 1983),
Cet. Ke-4, Jilid 9, h. 28.
-
16
kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan
itu tergantung
dan sesuai dengan keadaan dan tempatnya.19
Hukum memberi nafkah untuk isteri dalam bentuk makan, minum,
tempat
tinggal dan pakaian, baik yang berisfat umum maupun khusus,
serta saran-sarana
hubungan kemasyarakatan lainnya yang diperlukan oleh isteri
adalah wajib.20
Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap isteri ini tidak
memandang status
sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin, atau
sebaliknya. Nafkah
adalah persoalan yang sangat berat dan harus ditanggung oleh
laki-laki sebagai
suami.
Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua
macam,
Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri, yakni kewajiban seseorang
manusia untuk
memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya
sendiri,
untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua:
nafkah untuk orang
lain, tentu saja dalam hal ini adalah anak, isteri, orang tuanya
dan berbagai
macam tanggung jawab nafkah bagi orang-orang diluar dirinya
sendiri.21
Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya
dari
sang suami, diantaranya itu dia berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya.
19
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru,
1998), h. 390.
20
Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Perceraian Salah Siapa?,
penerjemah Mudhor Ahmad
Assegaf dan Hasan Shaleh, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001),
Cet-1, h. 216.
21
Syeikh Abdullah Ibn Hasan al-Husain, Zadu Al-Mukhtaj bi Syahri
al-Minhaj, Beirut: Al-
Maktabah al-Isriyah, t.t, h. 563.
-
17
Dikarenakan isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang
menyebabkan
seorang isteri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.22
Kewajiban suami untuk meberikan nafkah kepada isteri terdapat
dalam
Al-Qur‟an dan al-Hadits. Ini berarti bahwa masalah nafkah memang
diperhatikan
dalam agama Islam. Dalil-dalil yang dijadikan dasar kewajiban
memberi nafkah
adalah sebagai berikut:
Q.S. an-Nissa (4): 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
besar.”
Dari dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Agama
mewajibkan
suami untuk memberikan nafkah pada isterinya karena dengan
adanya ikatan
perkawinan yang sah itu seorang isteri menjadi terikat
semata-mata kepada
22 Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang:
Pustaka Alawiyah, 1995),
h. 47.
-
18
suaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena dia berhak
menikmatinya secara
terus menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal
dirumahnya, mengatur
rumah tangganya, memelihara dan mendidik anaknya. 23
Sedangkan bagi suami,
ia wajib memenuhi kebutuhan isteri dan memberi nafkah kepadanya,
selama
ikatan suami isteri masih berjalan dan isteri tidak durhaka,
atau ada hal-hal lain
yang menghalangi penerimaan nafkah.
2. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya
Menurut bahasa Arab kata “iddah” masdar dari kata kerja “ عدد
“
berarti menghitung. Dalam hal ini, perempuan (isteri) menghitung
hari-hari masa
bersihnya setelah terjadi perceraian.24
Dalam kamus almunawir iddah berasal
dari kata al-„add yang bermakna perhitungan atau sesuatu yang
dihitung.25
Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal
dari kata
,yang berarti menghitung.26 Dengan demikian jika ditinjau dari
segi bahasa عّد
maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari
haid atau hari
suci pada wanita.27
23
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, h. 147.
24
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa Nur Hasanuddin. LC,MA,
dkk, (Jakarta: Pena Pundi
Akasara, 2006), h. 224.
25
Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, h. 904
26
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung,
1997), h. 42.
27
Chuzaiman T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
cet. I, (Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.
-
19
Secara istilah iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita
untuk
melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya, baik cerai
hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan
rahimnya
atau untuk berpikir bagi suami. Para ulama mendefinisikan iddah
sebagai waktu
untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau
diceraikan oleh
suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk
dinikahkan.28
Iddah secara terminologi hukum islam adalah masa tunggu yang
ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita untuk tidak melakukan
akad dengan
lelaki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati
atau perceraian
dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari
pengaruh dan akibat
hubungan dengan suaminya itu.29
Hukum iddah terdapat dalam firman Allah surat al-Baqarah (2)
ayat 228:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi para
28
Amiur Nuruddin dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 240.
29
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafidz Anshory (Editor), Problematika
Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Buku I, Cet. Ke-4, hal
181.
-
20
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dari definisi nafkah dan idah di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa
pengertian dari nafkah iddah adalah segala sesuatu yang
diberikan oleh seorang
suami kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi
kebutuhannya,
baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal.
Sedangkan pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana
terdapat
dalam tafsir as-Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagai
mut‟ah, yang berarti
pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik
itu berupa uang,
pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan
penghormatan kepada
isterinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang
dijatuhkannya itu.30
B. Dasar Hukum Memberi Nafkah
Seorang suami ketika berkeluarga pada saat itu pula memiliki
kewajiban
nafkah, karena tanpa nafkah kebahagiaan keluarga tidak akan
tercapai.
Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya
dari sang
suami, diantaranya itu dia berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Dikanerakan
isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang menyebabkan
seorang isteri
tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.31
30
M. Ali as-Sabuni, Rawa‟I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam,
(Makkah: Tnp, t.t.), h. 610.
31
Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang:
Pustaka Alawiyah, 1995),
h.47.
-
21
Kewajiban memberi nafkah kepada isteri merupakan kewajiban
agama.
Hal ini dikuatkan dengan dalil Al-Qur‟an dan al- Hadits sehingga
tidak ada
alasan bagi suami untuk menghindar dari kewajibannya. Kewajiban
tersebut
berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nissa (4): 34:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
besar.”
Q.S. Al-Baqarah ayat 228:
Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”
Q.S. Al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada
para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar
kesanggupannya.”
-
22
Menurut Muhammad Ali As-Sayis maksud pemberian dengan cara
ma‟ruf ialah pemberian menurut ukuran keadaan suami, bukan
berdasar pada
keadaan isteri, namun hal tersebut tentu disesuaikan dengan
besarnya kebutuhan
hidup yang wajar bagi isteri.32
Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah
secara
lahiriyah (materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau
ayah) untuk
keluarganya (istri dan anak) dengan cara yang ma‟ruf sesuai
dengan kadar
kemampuan yang dimilikinya. Kemudian sehubungan dengan nafkah
secara
bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut:
... ... ... ...
Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ...
... (Q.S Al
Nisaa‟: 19)
Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna
dan
optimal.33
Dan juga akar kata Asyara yaitu ‟isyrah‟ )العشرة( adalah
berkumpul atau
bercampur.34
Maka berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada
suami
istri seperti rasa saling terikat dan bertautan. Karena dalam
syariat islam antara
suami istri diwajibkan untuk bergaul dengan sebaik-baiknya,
tidak diperbolehkan
menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak boleh saling membenci
apalagi
bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut. Oleh
sebab itu dalam
32
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru,
1998), h. 390 33
Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2007). h. 327.
34
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani,
2006). h. 682.
-
23
memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya
yaitu
maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara
atau adab
serta akhlaq yang baik.
Dibawah ini merupakan ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan
pemberian
nafkah bagi mantan isteri setelah perceraian, Allah SWT
berfirman dalam Q.S.
al-Azhab ayat 49:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-
perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita
yang
diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan
isteri yang
diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah
dan jangka
waktu pemberiannya.35
Q.S. Al-Baqarah ayat 241:
35
M. Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Quran,
penerjemah: Saleh Mahfoed, Cet-
1, (Bandung: al-Ma‟rif, 1994), h. 501.
-
24
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban
bagi orang-
orang yang bertakwa.”
Dalam hal ini nafkah (mut‟ah) juga diartikan sebagai penghibur,
nafkah
sesuai dengan kemampuannya. Inti dari ayat tersebut merupakan
perwujudan
mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah
setelah
nafkah iddah habis. Mut‟ah juga berarti sesuatu yang dengannya
dapat diperoleh
suatu (beberapa) manfaat atau kesenangan.36
Kewajiban suami terhadap nafkah juga terdapat dalam beberapa
hadits
Nabi diantaranya adalah:
37
Artinya: “Dari Aisyah r.a. Hindun istri Abu Sofyan berkata
pada
Rosulullah, Ya Rosulallah sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki
yang amat
bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa mencukupiku dan anakku
kecuali apa
yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini
dosa bagiku?
Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi
dirimu dan
anakmu dengan cara yang baik.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu
Dawud,
dan Nasai‟)
36
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992),
h. 707.
37
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bari, (Beirut: al-Maktabah
al-Salafiyyah, 1470H), cet-III,
Juz IX, h. 419-420.
-
25
Hadis ini menunjukkan kewajiban suami memberi nafkah kepada
isterinya dan anak-anaknya. Menurut zhahirnya, sekalipun anak
sudah besar.
Hadis ini juga mengandung dalil bahwa yang wajib itu adalah
mencukupi nafkah
itu tanpa kikir.38
Menurut hukum positif di Indonesia kewajiban memberi nafkah
diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 terdapat pada
pasal 34 ayat
1 yang berbunyi: Suami wajib melindungi isterinya dan memberi
segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.39
Sementara
nafkah setelah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974
pada pasal 41 huruf c, yaitu: Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu
kewajiban
bagi bekas isteri.40
Adapun bahwa nafkah merupakan kewajiban suami ditegaskan
dalam
pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu, sesuai dengan
penghasilannya
suami menanggung:
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak.
38
Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam, (Surabaya: al-ikhlas,
1995), Cet ke- 1, h.
790.
39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Pasal 34.
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Pasal 41
huruf (c).
-
26
3. Biaya pendidikan bagi anak.41
Berdasarkan dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa suami
wajib
memberi nafkah kepada istrinya dengan jumlah yang disesuaikan
dengan kadar
kemampuannya. Jika suami memenuhi kewajibannya, maka istri wajib
taat
kepada suami. Namun jika istri telah melaksanakan kewajiban,
tapi suami tetap
tidak mau memberikan haknya, dalam hukum perdata, istri dapat
mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama.
C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah
Pernikahan adalah satu sebab yang mewajibkan nafkah. Sebab
dengan
adanya ikatan perkawinan yang sah seorang wanita menjadi terikat
dengan
suaminya semata, dan tertahan sebagai miliknya. Hak istri
memperoleh nafkah
itu telah dipunyai, apakah suaminya kaya atau miskin selama
istri masih terikat
dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya.42
Adanya ikatan perkawinan yang sah tidak berarti istri yang telah
ditalak
berhak atas nafkah dari mantan suaminya. Istri yang ditalak
raj‟i sebelum ia
menyelesaikan iddahnya, wajib diberi nafkah dari suaminya.
Begitu pula istri
yang ditalak bain dan sedang menjalani masa iddahnya. Jika istri
dalam keadaan
hamil maka harus diberi nafkah sampai ia melahirkan.
41
Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum
Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 256.
42
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
(Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 131.
-
27
Begitu pula istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada
suaminya, atau
suami tidak dapat menikmati dirinya, atau istri enggan pindah
ketempat yang
dikendaki suami, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban nafkah
oleh suami atas
isterinya. Sebab penahanan yang dimaksud sebagai dasar wajibnya
nafkah tidak
terwujud.43
Imam Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa syarat atau
sebab
diwajibkannya pemberian nafkah adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan perkawinan
2. Adanya hubungan kerabat
3. Adanya kepemilikan.44
Dalam hal ini semua ahli fiqih sependapat bahwa makanan,
pakaian, dan
tempat tinggal itu merupakan hak istri yang wajib dibayar oleh
suaminya. Hak
istri terhadap nafkah itu tetap berlaku, apakah ia kaya atau
miskin, selama ia
masih terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya.
Berdasarkan
keterangan isteri berhak menerima nafkah dari suaminya
apabila:
1. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad
nikah mereka masih
diragukan keabsahannya, maka istri belum berhak menerima nafkah
dari
suaminya.
2. Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-istri
dengan suaminya.
43
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT. Al Maarif,
1981), h. 149.
44
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh „ ala Madzhab al-Arba‟ah, Juz
4, Beirut: t. tp., 1969, h.
553.
-
28
3. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua
hak-hak suami.45
Menurut Sayyid Sabiq, untuk mendapatkan nafkah dari suami, istri
harus
memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat ini tidak
dipenuhi, maka ia
tidak wajib diberi nafkah. Syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Adanya ikatan perkawinan yang sah
2. Menyerahkan dirinya kepada suami
3. Suami dapat menikmati dirinya
4. Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki
suami
5. Keduanya saling dapat menikmati.
D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian
Tanggung jawab suami terhadap nafkah tidak hanya berlaku ketika
ia sah
menjadi suami dari seorang isteri, tetapi setelah terjadinya
perceraian pun suami
masih tetap bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya
dalam hal
nafkah.
Dalam pemberian nafkah, tidak semua isteri yang sedang menjalani
masa
iddah berhak mendapatkan nafkah. Berikut ini akan dijelaskan
macam-macam
isteri yang berhak mendapatkan nafkah dan yang tidak berhak
mendapatkan
nafkah.46
1. Isteri yang berhak mendapatkan nafkah iddah, adalah:
45
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Ditjen
Binbaga Islam, 1984/ 1985), h. 184.
46
Puenoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan
Dalam Kalangan Ahlus-
Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1998), Cet. I, h. 369.
-
29
Isteri dalam masa iddah raj‟i, para ulama telah sepakat bahwa
isteri yang
sedang menjalani iddah raj‟i berhak menerima nafkah lahir
sepenuhnyta dari
suaminya. Suami berkewajiban menjamin tempat tinggal, nafkah,
pakaian dan
kesehatan. Sedangkan isteri yang sedang hamil dalam masa iddah
ba‟in, ulama
telah sepakat bahwa isteri seperti itu berhak mendapat nafkah,
tempat tinggal dan
pakaian. Adapun iddah ba‟in karena suami wafat, meskipun isteri
itu sedang
hamil namun tidak mendapatkan nafkah, karena yang harus
membiayai nafkah
tersebut sudah tidak ada lagi.
2. Isteri yang sedang beriddah dan tidak mendapatkan nafkah:
Isteri yang beriddah wafat suaminya, karena yang berkewajiban
memberi
nafkah adalah suaminya dan ia telah meninggal. Kemudian isteri
yang akad
perkawinannya batal dan perempuan itu sudah dicampuri atau
menjadi watak
syubhat, karena perkawinan dengan akad fasid tidak wajib nafkah,
maka
demikian pula dalam masa iddahnya. Perceraian yang terjadi
karena fasakh, yaitu
karena kesalahan isteri, seperti isteri berbuat maksiat, maka
maksiatnya itulah
yang mencegah isteri tersebut mendapat nafkah iddahnya.
Kita ketahui bahwa tidak jarang ketika setelah perceraian,
seorang suami
salah memperlakukan isterinya dan menyengserakan hidup isterinya
selama masa
iddah berlangsung. Hal ini merupakan sikap keliru, karena suami
pada masa
tersebut tetap harus menafkahi isterinya selama masa iddah
berlangsung.
Perceraian yang dimaksud disini ialah perceraian talak raj‟i,
karena dalam
-
30
keadaan ini suami masih memiliki kesempatan untuk ruju‟ kepada
isterinya.47
Meskipun ruju‟ tidak dilakukan oleh suami, namun perceraian
harus dilakukan
secara terhormat, agar kedua belah pihak tidak memiliki dendam,
sehingga tidak
berimbas buruk kepada anak-anak mereka.
Tanggung jawab suami tidak hanya ketika seorang wanita itu
masih
menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk
memberikan nafkah juga
pada saat perceraian, Karena hakekatnya ucapan cerai itu baru
berlaku setelah
habis masa iddahnya. Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman
dalam Q.S.
al-Baqarah ayat 233:48
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para
ibu dengan cara ma'ruf.
Mengenai kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah setelah
nmenceraikan isterinya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
pasal 149,
yang berisi sebagai berikut.
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang
ataupun benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al
dukhul.
47
Abdur Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam
(Syari‟ah), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 124.
48
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet-1, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1991), h. 83.
-
31
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau
nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh
apabila qobla al
dukhul.
d. Memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur
21 tahun.49
Para ulama sependapat bahwa wanita yang sedang dalam masa
iddah
setelah terjadi talak raj‟i masih berhak mendapat nafkah dan
tempat tinggal,
demikian juga wanita yang ditalak ba‟in dalam keadaan
hamil.50
Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talak ayat 6:
Artinya: “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin”.
Adapun dalam talak ba‟in, para ahli fiqih berbeda pendapat
tentang hak
nafkah jika isteri dalam keadaan tidak hamil:
Menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi‟I, mantan isteri
tersebut
berhak mendapat nafkah, kecuali kalau hamil. Menurut Imam Abu
Hanifah,
mantan isteri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal,
seperti perempuan
49
Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum
Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 281.
50
Mahmud Syaltut, Fikih Tujuh Mazhab, penerjemah Abdullah Zakiy
Al-Kaaf, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000), h. 223.
-
32
yang ditalak raj‟i. Karena ia wajib menghabiskan masa iddah
dirumah suaminya.
Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suamimasih ada hak
kepdanya.
Nafkahnya ini dianggap sebgai hutang yang resmi sejak hari
jatuhnya talak,
tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya
putusan
pengadilan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mantan isteri
tersebut tidak
berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab nafkah hanya
diberikan kepada
perempuan yang suaminya mempunyai hak rujuk.51
Adapun dalam pemberian nafkah iddah, Muhammad Jawad
Mughniyah
mendefinisikan sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab,
diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk isteri yang masih kecil.
Isteri yang masih kecil (belum dapat digauli) dan terjadi
perceraian, maka
menurut mazhab yang ada (Hanafi, Hambali, Syafi‟i) mantan
isterinya tidak
berhak mendapat nafkah (suami tidak berkewajiban dalam
memberikan nafkah),
kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih
lanjut.
a. Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk
melayani suami, maupun
bermesraan, dan jika terjadi perceraian suami tidak
berkewajiban
memberikannya nafkah.
b. Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi perceraian
suaminya berkeajiban
memberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li‟an.
51
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jillid 8, h. 172.
-
33
c. Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa
digauli, maka jika
terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan
nafkah.
2. Untuk Suami yang masih kecil.
Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi
perceraian, maka
menurut mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hambali pemberian nafkah
wajib hukumnya
bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak
berkewajiban
bagi suami untuk memberikan nafkah.
3. Jika isteri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat
seksualnya.
Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab
yang ada
(Hanafi, Syafi‟i, Hambali) kewajiban suami untuk memberikan
nafkah tidak
gugur, kecuali mazhab Maliki yang menyatakan gugur.
4. Apabila isteri murtad.
Isteri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan
terjadi
perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan
nafkah.
5. Isteri yang Nusyuz.
Isteri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian,
maka suami
tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.
6. Talak Li‟an.
Talak li‟an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka
pihak
suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.52
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 403-404.
-
34
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pemberian nafkah (mut‟ah)
bagi
mantan isteri, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut‟ah)
itu wajib
diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah
sempat
berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau
belum, dan juga
terhadap isteri yang telah diceraikannya sebelum sempat
dicampurinya apabila
maharnya telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah
dalam surat al-
Baqarah (2) ayat 241. Persoalan mut‟ah juga dimuat dalam
Kompilasi Hukum
Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut‟ah wajib
diberikan oleh
mantan suamiu dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri
bada dukhul
dan perceraian itu atas kehendak suami.53
Tujuan pemberian mut‟ah seorang suami terhadap isteri yang
telah
diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan
dapat
menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan
dan dapat
menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk
membersihkan
hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap
penghinaan kaum
pria terhadapnya.54
53
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakara: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 328.
54
Maulana Rasyid Ridha, Penerjemah Afif Muhammad, Panggilan Islam
Terhadap Wanita, Cet-
1, (Bandung: al-Bayan, 1986), h. 159.
-
35
BAB III
PENGADILAN AGAMA CIKARANG
A. Profil Pengadilan Agama Cikarang
Menurut Cik Hasan Bisri peradilan adalah suatu pranata
(institusi) dalam
memenuhi hajat hidup, anggota masyarakat untuk menegakkan hukum
dan
keadilan. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi
(insitute) yang
menyelenggarakan penegakan hukum dan peradilan tersebut.55
Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan
muamalah,
yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia
dengan
manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan
(kegiatan)
peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh
tiap-tiap orang
dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau
beberapa
orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah
terpenuhi. Al Mawardi
di dalam buku al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan
peradilan adalah
merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.56
Selama ini sebagaimana diketahui bahwa kewenangan
organisasi,
administrasi dan finansial Peradilan Agama berada dibawah
Departemen Agama,
sedangkan kewenangan tekhnis yudisial berada di bawah Mahkamah
Agung.
Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
55
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia,
dari Otoriter Konservatif
Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2000), h. 27.
56
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000),
h.142.
35
-
36
Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “kekuasaaan
kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perasilan yang
ada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh
Mahkamah Konstitusi.” Dengan amandemen Undang-undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang
Kekuasaan
Kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap
penyesuaian
tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo
Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan
undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009
tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan
mengenai
organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud
ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam
undang-undang
sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.”
Dengan
demikian berdasarkan pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut
dengan peradilan
satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut, lahirlah apa
yang disebut dengan
peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut
lahirlah Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengadilan Agama Cikarang (selanjutnya disebut PA Cikarang)
dibentuk
oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998
tentang
http://img.pa-cikarang.go.id/upload/Keppres_145_1998.PDF
-
38
Pembentukan Pengadilan Agama Cikarang secara historis pada
dasarnya
tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan Agama lainnya
yang ada di
wilayah negara RI. Fase sebelum kemerdekaan dimana Indonesia
mengalami
beberapa kali masa penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda,
Jepang, dan
lain-lain mewarnai tumbuh kembang dan terbentuknya institusi
Peradilan Agama
di Indonesia.
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus
di
Indonesia. Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili
perkara-
perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu
saja. Dengan
perkataan lain, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang
perdata Islam
tertentu saja dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia.
Oleh karena itu,
Peradilan Agama dapat disebut sebagai peradilan Islam di
Indonesia, yang
pelaksanaannya secara limitatif telah disesuaikan dengan keadaan
di Indonesia.59
Oleh karena Peradilan Agama itu merupakan peradilan khusus,
maka
cakupan wewenangnya meliputi perkara-perkara tertentu di
kalangan golongan
rakyat tertentu. Perkara tertentu itu adalah perkara perdata di
bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum
Islam. Adapun
golongan rakyat tertentu itu adalah orang-orang yang beragama
Islam.
59
Roihan A. Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1991, h. 6.
-
39
Kekhususan itu meliputi unsur perkara perdata tertentu, hukum
Islam dan orang
Islam.60
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara
formal
maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan
dan
kekuasaan (wewenang) masih beragam dan hukum acara yang
dipergunakan
adalah HIR serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum
acara Peradilan
Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah
dikeluarkan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur:
susunan,
kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini
kemudian
mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan
dengan
perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan
di
lapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun
2006.61
Pengadilan Agama Cikarang mempunyai dasar-dasar hukum yang
sudah
di atur di dalam :
1). UUD 1945 Pasal 24.
2). UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3). UU No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
4). UU No.3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No.7 tahun 2006.
60
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2000), h. 160.
61
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h.
2.
-
40
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun
2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2
menyatakan:
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu
yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 Undang-Undang
Peradilan Agama
tersebut menyatakan :
1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Agama.
b. Pengadilan Tinggi Agama.
2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak
pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang
Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Republik
Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama Cikarang sebagai
Pengadilan
Tingkat Pertama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa,
memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang
-
41
bergama islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,
Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah.
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan
menurut syari‟ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 tahun,
dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan
pendapat.
3. Dispensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri.
8. Perceraian karena talak.
9. Gugatan perceraian.
10. Penyelesaian harta bersama.
11. Mengenai penguasaan anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak
yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas
istri atau penentuan auatu kewajiban bagi bekas istri.
-
42
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam
hal kekuasaan
seorang wali dicabut.
18. Menunjukkan seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup
umur 18
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali
oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul seorang anak.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang
lain.62
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama
Cikarang
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi
kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyelesaian perkara dan
eksekusi.
62
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
-
43
2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding,
kasasi dan
peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya.
3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan
Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan).
4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam pada
instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur
dalam pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan
pembagian harta
peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama
islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal
107 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50
Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989
tentang Peradilan Agama.
6. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan untuk
pengambilan deposito/
tabungan, pensiunan dan sebagainya.
7. Melaksanakan tugas penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah
sesuai dengan pasal
49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah
diperbaharui yang
kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan
hukum,
memberikan/ melaksanakan hisab rukyat dalam penentuan awal pada
tahun
hijriyah.
-
44
C. Perkara Yang Diterima dan Diputus PA Cikarang Tahun 2013
No Jenis Perkara Keadaan Perkara
Sisa Akhir
2012
Perkara
Diterima
2013
Jumlah Perkara
Putus
Sisa
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
PERKAWINAN
1. Izin Poligami 2. Izin Kawin 3. Dispensasi Kawin 4. Pencegahan
Perkawinan 5. Penolakan Perkawinan Dari
PPN
6. Pembatalan Perkawinan 7. Kelalaian Atas Kewajiban
Suami/Isteri
8. Cerai Talak 9. Cerai Gugat
10. Harta Bersama 11. Penguasaan Anak/ Hadhanah 12. Nafkah Anak
Oleh Ibu 13. Hak-hak Bekas Isteri 14. Pengesahan Anak 15. Perwalian
16. Pencabutan Kekuasaan Orang
Tua
17. Penetapan Ahli Waris 18. Penunjukan Orang Lain
Sebagai Wali
19. Ganti Rugi Terhadap Wali 20. Asal Usul Anak 21. Penolakan
Kawin Campuran 22. Istbat Nikah 23. Wali Adhol KEWARISAN
WASIAT
HIBAH
WAKAF
SHODAQOH
LAIN-LAIN
24. Pengangkatan Anak
-
-
-
-
-
1
-
130
236
-
3
-
-
-
-
-
7
-
-
-
-
174
1
1
-
-
-
-
-
-
11
-
2
-
-
3
-
578
912
7
4
-
-
-
4
-
21
-
-
-
-
785
1
1
-
-
-
-
2
3
11
-
2
-
-
4
-
708
1148
7
7
-
-
-
4
-
28
-
-
-
-
959
2
2
-
-
-
-
2
3
9
-
2
-
-
3
-
558
866
3
6
-
-
-
3
-
22
-
-
-
-
904
1
2
-
-
-
-
-
2
2
-
-
-
-
1
-
150
282
4
1
-
-
-
1
-
6
-
-
-
-
55
1
-
-
-
-
-
2
1
JUMLAH 553 2334 2887 2381 506
-
45
BAB IV
PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA CIKARANG
A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah
1. Putusan Nafkah Iddah Istri Nusyuz
Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr
Pada perkara ini pihak Pemohon adalah Muhamad Yunus bin
Sulemi,
umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat
tinggal di
Kampung Sempu Jalan Pasir Gombong RT.03 RW.03 No.14 Desa
Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi melawan
Sri Tati
binti Sriyanto, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati
Swasta, tempat
tinggal di Perumahan Telaga Pesona Jalan Raya Telaga Pesona Blok
M.3 RT.10
RW.17 No.05 Desa Telagamurni, Kecamatan Cikarang Barat,
Kabupaten Bekasi,
selanjutnya disebut sebagai: “Termohon”.
Duduk perkara perkara ini adalah bahwa Pemohon berdasarkan
surat
permohonannya tertanggal 01 Maret 2013 telah mengajukan
permohonan cerai
talak yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang
pada tanggal
tersebut dengan register Nomor : 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr telah
mengajukan
hal-hal sebagai berikut :
Bahwa pada tanggal 05 Oktober 1999, Pemohon dengan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Banjarharja, Brebes Jawa Tengah
sebagaimana
45
-
46
ternyata dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 807/32/X/1999
tanggal 05
Oktober 1999; Bahwa selama berumah tangga antara Pemohon
dengan
Termohon telah dikaruniai 1 orang anak bernama : DAFFA YUNUS
ALFARIDZI, lahir tanggal 05 Oktober 2000.
Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon pada awalnya
berjalan rukun dan harmonis, akan tetapi sejak Juni 2006 mulai
tidak rukun
karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.
Bahwa sebagai
penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran Pemohon dengan
Termohon
disebabkan masalah:
1. Antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada komunikasi yang
baik lagi;
2. Termohon tidak menghargai Pemohon sebagai kepala rumah
tangga;
3. Termohon kurang menerima penghasilan Pemohon;
4. Termohon tidak taat dan tidak patuh kepada Pemohon, bila
diberi saran atau
nasehat selalu melawan;
Pemohon pernah mengajukan perkara dengan Nomor :
1351/Pdt.G/2012/PA.Ckr, dan perkara tersebut dicabut pada
tanggal 18
Desember 2012 dengan upaya untuk rukun kembali akan tetapi
keharmonisan
tersebut tidak ada. Karena terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran,
maka sejak September 2012 Pemohon dengan Termohon tidak tinggal
bersama
lagi atau terjadi pisah tempat tinggal dimana Pemohon tinggal di
Kontrakan
Bapak Enok di Pasir Gombong, sedangkan Termohon tinggal di
Perumahan
Telaga Pesona, Telaga Murni.
-
47
Tentang hukumnya Hakim menimbang, bahwa pada pokoknya
Pemohon
mendalilkan bahwa pada awalnya rumah tangga Pemohon dengan
Termohon
berjalan rukun dan harmonis, namun sejak bulan Juni 2006 rumah
tangga
Pemohon dan Termohon mulai dirasakan tidak rukun karena sering
terjadi
perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena antara Pemohon
dengan
Termohon sudah tidak ada komunikasi yang baik lagi dan Termohon
tidak
menghargai Pemohon sebagai kepala rumah tangga serta Termohon
kurang
menerima penghasilan Pemohon dan Termohon sering menolak
diajak
berhubungan suami isteri, maka sejak September 2012 antara
Pemohon dengan
Termohon telah pisah rumah.
Menimbang, bahwa dari jawab menjawab ternyata Termohon
mengakui
dan membenarkan dalil-dalil permohonan Pemohon dan Termohon
tidak
keberatan bercerai dengan Pemohon, namun dalam hal perceraian
Pemohon tetap
dibebani untuk membuktikannya.
Menimbang. bahwa oleh karena itu permohonan Pemohon telah
terbukti
serta memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal
39 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam
sehingga
patut untuk dikabulkan.
Pertimbangan hukum dalam menetapkan nafkah iddah. Menimbang,
bahwa terhadap tuntutan tersebut Pemohon dalam repliknya
menyatakan tidak
keberatan anak diasuh oleh Termohon dan juga Pemohon menyanggupi
akan
-
48
memberikan nafkah untuk anak setiap bulan sebesar Rp. 900.000,
diluar biaya
pendidikan dan kesehatan, dan mengenai nafkah iddah dan mut‟ah
akan
memberikan berupa uang sebesar Rp. 1.000.000,- dan Termohon
dalam
dupliknya menerima sesuai denan yang akan diberikan Pemohon.
Menimbang, bahwa dengan telah dikabulkannya permohonan
Pemohon
untuk menceraikan isterinya dan berdasarkan pada pasal 149 huruf
a dan b
Kompilasi Hukum Islam, maka bekas suami wajib memberikan mut‟ah
dan
nafkah selama masa iddah terhadap Termohon, dan Pemohon telah
menyatakan
di dalam repliknya akan memberikan nafkah selama masa iddah dan
mut‟ah
sebesar Rp. 1.000.000, terhadap Termohon, maka berdasarkan
kesanggupan
tersebut Majelis Hakim menetapakan menghukum Pemohon untuk
membayar
nafkah selama masa iddah tiga bulan dan mut‟ah sebesar Rp.
1.000.000, kepada
Termohon.
Menimbang, bahwa mengenai nafkah anak berdasarkan pada pasal
105
huruf (c) ditanggung oleh ayahnya dan Pemohon sebagai ayah dari
anak tersebut
telah menyatakan akan memberikan nafkah terhadap anaknya setiap
bulan
sebesar Rp. 900.000, sesuai dengan tuntutan Termohon diluar
biaya pendidikan
dan kesehatan, maka oleh karena itu Majelis Hakim menetapkan
menghukum
Pemohon untuk membayar nafkah anak setiap bulan sebesar Rp.
900.000, kepada
Termohon.
M E N G A D I L I
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
-
49
2. Memberi izin kepada Pemohon ((MUHAMAD YUNUS bin SULEMI)
untuk
menjatuhkan talak satu raj‟i terhadap Termohon (SRI TATI binti
SRIYANTO)
didapan sidang Pengadilan Agama Cikarang,-
3. Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah selama masa iddah 3
bulan
sebesar Rp. 600.000, dan mut‟ah sebesar Rp. 400.000, kepada
Termohon,-
4. Menetapkan hak asuh anak yang bernama Daffa Yunus Alfaridzi,
berada pada
Termohon,-
5. Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah anak setiap bulanya
sebesar
Rp. 900.000,- kepada Termohon,-
6. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
261.000,
(dua ratus enam puluh satu ribu rupiah).
Putusan Nomor: 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr
Agus Sofyan Hadi bin Enceng Supriatna, Umur 28 tahun, Agama
Islam
pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Kampung Blok Situ
Jalan
Neglasari Rt. 21 Rw. 05 Desa Purwadadi Barat, Kecamatan
Purwadadi,
Kabupaten Subang Jawa Barat, sebagai Pemohon, melawan G. Indri
Megawati
binti Haryono, Umur 28 tahun, Agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga,
tempat tinggal di Perumahan Griya Husada Asri Blok C.11 Rt.04
Rw.04 No.15
Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sebagai
Termohon.
Tentang duduk perkarannya yaitu Pemohon berdasarkan surat
permohonannya tanggal 10 September 2013 yang telah terdaftar di
Kepaniteraan
-
50
Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal tersebut dengan Register
perkara
Nomor : 1046/Pdt.G/2013/PA.Ckr telah mengajukan hal-hal sebagai
berikut :
Bahwa pada tanggal 01 Mei 2010, Pemohon dengan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Mustikajaya Kota Bekasi sebagaimana
ternyata
dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 297/04/V/2010 tanggal 01
Mei 2010.
Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon membina rumah
tangga
di Perumahan Griya Husada Asri Blok C.11 Rt.04 Rw.04 No.15 Desa
Cijengkol,
Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sebagai tempat tinggal
bersama. Bahwa
selama berumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah
dikaruniai 1
orang anak bernama KEANU GAGAS ALRASKA, anak laki-laki, umur 9
bulan.
Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon pada awalnya berjalan
rukun
dan harmonis, akan tetapi sejak tahun 2011 mulai tidak rukun
karena terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Bahwa sebagai
penyebab
terjadinya perselisihan dan pertengkaran Pemohon dengan Termohon
disebabkan
masalah:
a. Termohon pernah minta cerai pada Pemohon;
b. Termohon pernah mencoba akan bunuh diri;
c. Termohon pernah menampar wajah Pemohon;
Bahwa karena terus menerus terjadi perselisihan dan pert